Professional Documents
Culture Documents
Sejarah.....(Y.R. Subakti)
PARADIGMA PEMBELAJARAN SEJARAH
BERBASIS KONSTRUKTIVISME
Y.R. Subakti
Abstract
There are many problems emerge in learning history nowadays such as,
the weakness of theory usage, low imagination, textbook reference, and
state oriented curriculum. Besides, the tendency to not give attention to
the globalization fenomena and the historical background. Moreover,
learning history is low theory. The result is that learning is not
interesting and tedious, not to mention the convensional model of
learning history. In this case, learning history should alive and
insteresting.
In order to have the good result of learning history, the use of method
have to be able to construct the historical memory and supported by
the emotional memory. This kind of memory is formed by involving
the emotional aspect to construct the awareness of the student and
elucidate the significant of the historical events. Therefore, the change
of learning model is needed from the conventional to the constructive.
The theory of constructivism stated that students had to construct the
knowledge with their own skill. The basic concepts are scaffolding, topdown process, Zone of Proximal Development (ZPD), and cooperative
learning. The aim is to construct their understanding since contributes
the meaning of what is learned.
There are some models in the use of constructivism learning approach
such as, learning model based on the problems, the characteristics of
Interactive learning model, and others. Thus, this learning style is not
only transfers the knowledge, but also stimulates student to think
rasionally and not depend on the memorization.
Drs. Y.R. Subakti, M.Pd., adalah dosen tetap pada Program Studi Pendidikan Sejarah,
FKIP - Universitas Sanata Dharma Yogyakarta.
SPPS,
SPPS, Vol. 24, No. 1, April 2010
A. Pendahuluan
Pembelajaran sejarah saat ini menghadapi banyak persoalan.
Persoalan itu mencakup lemahnya penggunaan teori, miskinnya
imajinasi, acuan buku teks dan kurikulum yang state oriented, serta
kecenderungan untuk tidak memperhatikan fenomena globalisasi
berikut latar belakang historisnya.
dengan paradigma konvensional. Dengan usaha yang keras, usaha para guru
tersebut akhirnya berhasil mengubah paradigma yang mereka gunakan, dan
perubahan paradigma tersebut memberikan manfaat yang positif bagi para siswa
mereka, karena dengan penggunaan paradigma yang kedua tersebut, para siswa
menjadi terbiasa mengeksplorasi secara aktif dan konstruktif konsep-konsep,
prinsip-prinsip, prosedur-prosedur, dan soal-soal sejarah (termasuk soal-soal
yang non rutin), sehingga mereka merasa bahwa sejarah adalah milik mereka,
karena liku-likunya telah biasa mereka telusuri. Lebih jauh, hal tersebut
menambah rasa percaya diri mereka dalam menghadapi materi-materi sejarah
yang baru dan soal-soal yang sebelumnya belum pernah mereka jumpai. Hal ini
juga sangat membantu mereka pada waktu mereka menjumpai masalah-masalah
dalam kehidupan mereka sehari-sehari; sehingga secara umum, kemampuan
mereka dalam memecahkan masalah kesejarahan meningkat. Kemampuan
memecahkan masalah ini akan sangat berguna pula dalam bidang-bidang di
mana mereka nanti akan berkarya.
Belajar sejarah berarti peserta didik mampu berpikir kritis dan mampu
mengkaji setiap perubahan di lingkungannya, serta memiliki kesadaran akan
perubahan dan nilai-nilai yang terkandung dalam setiap peristiwa sejarah.
Pembelajaran sejarah yang baik adalah pembelajaran yang mampu
menumbuhkan kemampuan siswa melakukan konstruksi kondisi masa sekarang
dengan mengkaitkan atau melihat masa masa lalu yang menjadi basis topik
pembelajaran sejarah. Kemampuan melakukan konstruksi ini harus
dikemukakan secara kuat agar pembelajaran tidak terjerumus dalam
pembelajaran yang bersifat konservatif. Kontekstualitas sejarah harus kuat
mengemuka dan berbasis pada pengalaman pribadi para siswa. Apalagi sejarah
tidak akan terlepas dari konsep waktu, kontinyuitas dan perubahan.
Mengutip pendapat Fernand Braudel (Lechte, 2001) memahami sejarah
dari sudut waktu. Menurutnya dalam memahami sejarah ada tiga kerangka
waktu, event history (short term/jangka pendek), conjucture (mid term/jangka
menengah) dan longue duree (long term/jangka panjang). Sejarah pada satu
tempat dan komunitas terkait dengan ketiga konsep waktu tersebut. Selain itu
dari sudut ruang, Braudel menambahkan satu lagi, yaitu ekonomi dunia di mana
ini merupakan unit analisis makro terkait dengan perkembangan pertukaran
barang dan jasa. Jika dikaitkan dengan waktu kalender,event history
berlangsung antara beberapa minggu, musim sampai beberapa tahun.
Conjungture berlangsung sekitar 10 50 tahun sedangkan longue duree
berlangsung lebih lama, bisa sampai beberapa abad.
Perubahan yang mempengaruhi sejarah dalam jangka waktu yang lama,
dicontohkan oleh Braudel yaitu mengenai perubahan musim atau iklim.
Perubahan jangka menengah, misalnya yang terkait bidang ekonomi seperti
perubahan-perubahan harga, pertumbuhan populasi dan hasil-hasil produksi.
Perubahan-perubahan ini bisa dipengaruhi oleh keadaan-keadaan sepuluh,
duapuluh, lima puluh tahun yang lalu. Event history atau jangka pendek
digambarkan oleh Braudel seperti pada awal tulisan ini. Seperti cahaya kunangkunang, bersinar singkat dan lemah, tetapi cukup melepaskan cahaya untuk
menyinari dataran kecil di bawahnya. Pada event history ini Braudel memberi
tekanan pada perang, politik dan diplomasi.
Pembedaan ketiga konsep waktu ini, evant history, conjucture dan longue
duree tidak merupakan pembedaan yang hirarkis, satu lebih penting dari yang
lain. Masing-masing berperan dan mempunyai fungsi sendiri-sendiri, dan ketika
tiga konsep waktu itu ditambah dengan unit analisis makro, ekonomi dunia,
menurut Braudel keempatnya tersebut akan memberikan sudut pandang kita
mengenai total history.
Apabila pemikiran Fernand Braudel tersebut diterapkan dalam
pembelajaran sejarah, maka perlu adanya perubahan paradigma pembelajaran
agar aktualitas akibat adanya perubahan dalam konsep waktu dapat dipahami
dan disadari oleh para siswa.
Beberapa faktor di atas diangkat dalam makalah singkat ini, yaitu
perubahan pembelajaran sejarah dari pola lama menjadi pembelajaran sejarah
dengan paradigma baru. Paradigma ini adalah pendekatan pembelajaran sejarah
yang
kontekstual
berbasis
konstruktivisme
dengan
memperhatikan
perkembangan kekinian yang semakin global.
B. Perubahan Paradigma Pembelajaran
Tuntutan terhadap pelayanan pembelajaran yang ditunjang oleh
perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, mendorong terjadinya
pergeseran konsep pembelajaran. Model mengajar bergeser ke arah model
belajar. Asumsi pergeseran tersebut bertolak dari peserta didik yang diharapkan
dapat meningkatkan upaya dirinya memperkaya pengetahuan, sikap dan
ketrampilan. Guru di sekolah bukan lagi satu-satunya sumber pengetahuan,
akan tetapi bagian integral dalam sistem pembelajaran. Berdasarkan teori belajar
yang ada, bermuara pada tiga model utama, yaitu: 1) Behaviorisme, 2)
Kognitivisme, dan 3) Konstruktivisme.
1. Pembelajaran Behaviorisme
Good et. al.(1973) menganggap behaviorisme atau tingkah laku dapat
diperhatikan dan diukur. Prinsip utama bagi teori ini ialah faktor rangsangan
(stimulus), Respon (response) serta penguatan (reinforcement). Teori ini
menganggap faktor lingkungan sebagai rangsangan dan respon peserta didik
terhadap rangsangan itu ialah responsnya. Pendapat ini sejalan dengan
pendapat Thorndike (2001) yang menyatakan bahwa hubungan di antara
stimulus dan respon akan diperkuat apabila responnya positif diberikan
reward yang positif dan tingkah laku nagatif tidak diberi apa-apa (hukuman).
Sebagai contoh, seseorang peserta didik diberikan ganjaran positif
setelah dia menunjukkan respon positif. Dia akan mengulangi respon
tersebut setiap kali rangsangan yang serupa ditemui. Hal demikian akan
diperoleh dalam pengajaran guru dengan adanya latihan dan ganjaran
terhadap sesuatu latihan. Penguatan (reinforcement) akan memberi
rangsangan supaya belajar lebih bersemangat dan bermotivasi tinggi. Peserta
didik yang berprestasi memperoleh pengetahuan yang mereka inginkan
dalam sesuatu sesi pembelajaran, dapat dikatakan mendapat response positif.
2. Pembelajaran Kognitif
Model kognitif berkembang sebagai protes terhadap teori perilaku
yang berkembang sebelumnya. Model kognitif ini memiliki perspektif bahwa
para peserta didik memproses infromasi dan pelajaran melalui upayanya
mengorganisir, menyimpan, dan kemudian menemukan hubungan antara
pengetahuan yang baru dengan pengetahuan yang telah ada. Model ini
dalam bentuk yang serba sempurna. Dengan kata lain, pesera didik harus
membangun suatu pengetahuan itu berdasarkan pengalamannya masingmasing. Pembelajaran adalah hasil dari usaha peserta didik itu sendiri. Pola
pembinaan ilmu pengetahuan di sekolah merupakan suatu skema, yaitu
aktivitas mental yang digunakan oleh peserta didik sebagai bahan mentah
bagi proses renungan dan pengabstrakan. Fikiran peserta didik tidak akan
menghadapi kenyataan dalam bentuk yang terasing dalam lingkungan
sekitar. Realita yang diketahui peserta didik adalah realita yang dia bina
sendiri. Peserta didik sebenarnya telah mempunyai satu set idea dan
pengalaman yang membentuk struktur kognitif terhadap lingkungan
mereka.Untuk membantu peserta didik dalam membina konsep atau
pengetahuan baru, guru harus memperkirakan struktur kognitif yang ada
pada mereka. Apabila pengetahuan baru telah disesuaikan dan diserap untuk
dijadikan sebagian daripada pegangan kuat mereka, barulah kerangka baru
tentang sesuatu bentuk ilmu pengetahuan dapat dibina.
John Dewey menguatkan teori konstruktivisme ini dengan
mengatakan bahwa pendidik yang cakap harus melaksanakan pengajaran
dan pembelajaran sebagai proses menyusun atau membina pengalaman
secara berkesinambungan. Beliau juga menekankan kepentingan
keikutsertakan peserta didik di dalam setiap aktivitas pengajaran dan
pembelajaran.
Ditinjau persepektif epistemologi yang disarankan dalam
konstruktivisme, maka fungsi guru akan berubah. Perubahan akan berlaku
dalam teknik pengajaran dan pembelajaran, penilaian, penelitian dan cara
melaksanakan kurikulum. Sebagai contoh, perspektif ini akan mengubah
kaidah pengajaran dan pembelajaran yang menumpu kepada kemampuan
peserta didik mencontoh dengan tepat apa saja yang disampaikan oleh guru,
kepada kaidah pengajaran dan pembelajaran yang menumpu kepada
kemampuan peserta didik dalam membina skema pengkonsepan
berdasarkan pengalaman yang aktif. Ia juga akan mengubah tumpuan
penelitian dari pembinaan model berdasarkan kaca mata guru kepada
pembelajaran sesuatu konsep ditinjau dari kaca mata peserta didik.
C. Penerapan Cara Belajar Sejarah Secara Aktif dan Konstruktif
Agar pembelajaran sejarah di sekolah-sekolah dapat sungguh-sungguh
meningkatkan kualitas sumber daya manusia Indonesia, kiranya cara belajar
sejarah yang aktif dan konstruktif perlu diterapkan oleh para siswa. Proses
penggunaan cara tersebut memang membutuhkan kemauan yang kuat,
mengingat para siswa dan para guru di Indonesia, seperti yang juga terjadi di
banyak tempat lain di dunia, telah terbiasa dengan paradigma yang lama, yaitu
guru menjelaskan siswa mendengarkan dan mengikuti petunjuk guru,
ditambah lagi dengan adanya faktor-faktor sosial-budaya yang memberi warna
tertentu pada proses pembelajaran. Akan tetapi, jika memang betul-betul ingin
mengatasi kelemahan-kelemahan yang ada dalam pendidikan sejarah,
perubahan tersebut harus dilakukan.
Di atas telah disinggung bahwa pembelajaran sejarah masih bersifat
pendekatan konvensional, yakni ceramah, tanya jawab dan pemberian tugas atau
mendasarkan pada behaviorist atau strukturalist. Pengajaran sejarah secara
tradisional mengakibatkan siswa hanya bekerja secara prosedural dan
Paradigma Konstruktivisme
Terpusat Guru
Transmisi pengetahuan
Otoriter
Inisiatif Guru
Siswa Pasif
Tabu melakukan kesalahan
Kewajiban
Orientasi hasil
Cepat dan tergesa-gesa
Layanan kelas
Penyeragaman
Ekspositori,ceramah
Abstrak; Ingatan
Sejarah Murni
Motivasi eksternal
Sangat formal
Sentralistik
Sangat Terstruktur
Pengajar
Kontak guru siswa berjarak
Terikat kelas
Deduktif
Guru pelaksana kurikulum
Evaluasi kurang bervariasi
Terpusat Siswa
Pengembangan kognisi
Demokratis
Inisiatif Siswa
Siswa Aktif
Kesalahan bernilai paedagogis
Kesadaran, kebutuhan
Orientasi proses dan hasil
Sabar dan menunggu
Layanan kelas dan individu
Pengakuan adanya perbedaan
Diskusi, variasi metode
Konkrit;Pemahaman;Aplikasi
Sejarah sekolah
Motivasi internal
Sedikit Informal
Otonomi
Fleksibel
Pendidik; Fasilitator; Pendamping
Kontak lebih dekat
Tidak hanya terikat kelas
Induktif; deduktif
Guru pengembang kurikulum
Assesmen, Evaluasi bervariasi
Peran melayani
Problem kontekstual-realistik
Kemampuan siswa
Sekarang
Kemampuan
awal siswa
ZPD
d. Pembelajaran Kooperatif
Vygotsky dalam Slavin (1997) menyarankan agar dalam
pembelajaran
digunakan
pendekatan
pembelajaran
kooperatif,
pembelajaran berbasis proyek, dan penemuan.
Salah satu implikasi penting teori Vygotsky dalam pendidikan
adalah perlunya kelas berbentuk pembelajaran kooperatif antar siswa,
sehingga siswa dapat berinteraksi dalam menyelesaikan tugas-tugas dan
dapat saling memunculkan strategi pemecahan masalah yang efektif di
dalam masing-masing ZPD mereka. Pendekatan konstruktivitis dalam
pengajaran kelas yang menerapkan pembelajaran kooperatif secara
ekstensif, atas dasar teori bahwa siswa akan lebih mudah menemukan
dan memahami konsep-konsep yang sulit apabila mereka dapat saling
mendiskusikan masalah-masalah yang mereka hadapi dengan temannya.
Model pembelajaran kooperatif dikembangkan untuk mencapai
tiga tujuan pembelajaran yang penting, yaitu prestasi akademik,
penerimaan akan penghargaan dan pengembangan keterampilan sosial.
Meskipun pembelajaran kooperatif mencakup berbagai tujuan sosial,
namun pembelajaran kooperatif dapat juga digunakan untuk
meningkatkan prestasi akademik.
E.
Selain bahan ajar yang disiapkan harus bermakna bagi kognitif siswa
agar siswa terlibat secara emosional maupun sosial, dalam pembelajaran
konstruktivis guru perlu menciptakan lingkungan pembelajaran yang
kondusif.
Lingkungan pembelajaran sejarah yang perlu diupayakan oleh guru
dalam pembelajaran secara konstruktivis adalah sebagai berikut:
a. Menyediakan pengalaman belajar dengan mengaitkan pengetahuan yang
telah siswa sedemikian rupa sehingga belajar melalui proses
pembentukan pengetahuan;
b. Menyediakan berbagai alternatif pengalaman belajar, tidak semua
mengerjakan tugas yang sama, misalnya suatu masalah dapat
diselesaikan dengan berbagai cara;
c. Mengintegrasikan pembelajaran dengan situasi yang realistik dan relevan
dengan melibatkan pengalaman kongkret, misalnya untuk memahami
suatu konsep sejarah melalui kenyataan dalam kehidupan sehari-hari;
d. Mengintegrasikan pembelajaran sehingga memungkinkan terjadinya
transmisi sosial, yaitu terjadinya interaksi dan kerjasama seseorang
dengan orang lain atau lingkungannya, misalnya interaksi dan kerjasama
antara siswa, guru, siswa-siswa;
e. Memanfaatkan berbagai media termasuk komunikasi lisan dan tertulis
sehingga pembelajaran menjadi lebih efektif;
f.
B. Permodelan
6. Permasalahan
A. Topangan
C. Bimbingan
LANGKAH-LANGKAH
pembelajaran
berda-sarkan
2.
3.
4.
5.
berdasarkan
masalah
a) Pendahuluan
Pada kegiatan ini guru mengingatkan siswa tentang
materi
pelajaran
yang
lalu,
memotivasi
siswa,
mengkomunikasikan tujuan pembelajaran yang akan dicapai
secara rinci dan jelas, dan menjelaskan model pembelajaran
yang akan dijalani.
b) Kegiatan Inti
Penutup
Guru membimbing siswa menyimpulkan pembelajaran dan
memberikan tugas untuk diselesaikan di rumah.
5) Ciri-ciri Model pembelajaran Interaktif
Fase dalam model pembelajaran interaktif sebagai berikut.
Fase pertama. Guru memulai pelajaran dengan mengorganisasi
kelas. Siswa diminta untuk belajar secara individual ataukah belajar
secara berkelompok. Kemudian
guru menjelaskan tentang
kegiatan-kegiatan yang akan dilakukan siswa dalam proses
pembelajaran, bisa berupa menyelesaikan masalah, melanjutkan
mempelajari suatu topik, mengerjakan tugas (proyek) ataupun
melakukan aktivitas-aktivitas lainnya yang dapat membantu siswa
memahami suatu topik pelajaran. Guru juga dapat meminta siswa
untuk mencatat hasil dari aktivitas yang mereka lakukan.
Fase kedua. Siswa mulai melaksanakan aktivitas yang telah
ditentukan guru pada fase pertama. Siswa dapat bekerja secara
individual ataupun berkelompok tergantung pada pengorganisasian
kelas yang dilakukan guru di fase pertama. Di fase ini guru dapat
memberikan bimbingan atau bantuan terbatas kepada siswa dalam
mengerjakan tugasnya, tanpa memberikan jawaban masalah secara
langsung kepada siswa.
Fase ketiga. Presentasi hasil kerja, bisa berupa hasil kerja kelompok
ataupun hasil kerja individual. Fase ini merupakan fase interaksi
kelas. Beberapa siswa (dapat mewakili kelompok, jika pada fase
kedua dilakukan secara berkelompok) diminta untuk menampilkan
dan menjelaskan hasil pekerjaannya kepada teman-teman
sekelasnya, siswa-siswa lainnya diberikan kesempatan untuk
memberikan tanggapan (pertanyaan atau komentar) terhadap hasil
pekerjaan temannya. Guru dapat pula mengajukan pertanyaanpertanyaan untuk membantu siswa lebih memahami topik yang
sedang mereka pelajari.
Fase keempat. Fase menarik kesimpulan. Pada fase ini siswa
diminta untuk memperhatikan kembali hasil pekerjaannya di fase
kedua dan memperbaikinya jika ternyata setelah dilakukan diskusi
kelas terdapat kesalahan pada pekerjaan mereka. Di fase ini juga,
guru dapat mengecek kembali pemahaman siswa dengan
memberikan beberapa permasalahan ataupun soal latihan yang
dapat dijawab secara lisan ataupun tulisan. Siswa juga dapat
mengajukan permasalahan ataupun pertanyaan jika ada hal-hal
yang kurang dipahaminya dari topik yang sedang dipelajari. Di
akhir fase ini guru mengarahkan siswa untuk menarik kesimpulan
tentang apa yang telah dipelajarinya.
Fase kelima. Fase menilai belajar unit materi. Walaupun fase ini
adalah fase terakhir, tetapi bukan berarti penilaian hanya dilakukan
pada akhir pembelajaran, tetapi penilaian dilakukan sebelum,
selama dan setelah pembelajaran dilaksanakan. Dapat dikatakan
bahwa penilaian yang dilakukan adalah penilaian proses.
G. Kesimpulan
Pembelajaran berbasis konstruktivisme bukan monopoli pelajaran yang
bersifat eksak, namun pelajaran yang mendasarkan diri pada ilmu-ilmu sosial
juga dapat disampaikan kepada siswa dengan menggunakan paradigma ini.
Mengapa? Karena prinsip dasar ilmu yang disampaikan harus mendasarkan diri
pada logika berpikir dan mampu merangsang siswa untuk berkembang secara
eksak dan sosial.
Pembelajaran berbasis konstruktivisme menjadi sangat penting dalam upaya
untuk mengubah pardigma pembelajaran karena:
1. Pembelajaran berdasarkan konstruktivisme memberikan kesempatan kepada
siswa untuk mengungkapkan gagasan secara eksplisit dengan menggunakan
bahasa siswa sendiri, berbagi gagasan dengan temannya, dan mendorong
siswa memberikan penjelasan tentang gagasannya. Demikian juga dalam
pelajaran sejarah, siswa diharapkan mampu untuk mengungkapkan ide,
pemikiran, argumentasi yang logis, ilmiah.
2. Pembelajaran berdasarkan konstruktivisme memberi pengalaman yang
berhubungan dengan gagasan yang telah dimiliki siswa atau rancangan
kegiatan disesuaikan dengan gagasan awal siswa agar siswa memperluas
pengetahuan mereka tentang fenomena dan memiliki kesempatan untuk
merangkai fenomena, sehingga siswa terdorong untuk membedakan dan
memadukan gagasan tentang fenomena yang menantang siswa. Terlebih
pada era globalisasi sekarang ini, banyak fenomena yang menantang siswa
untuk lebih mampu menganalisis dan menghubungkan dengan berbagai
fakta sejarah.
3. Pembelajaran konstruktivisme memberi siswa kesempatan untuk berpikir
tentang pengalamannya. Ini dapat mendorong siswa berpikir kreatif,
imajinatif, mendorong refleksi tentang model dan teori, mengenalkan
gagasan-gagasanpada saat yang tepat.
4. Pembelajaran berdasarkan konstruktivisme memberi kesempatan kepada
siswa untuk mencoba gagasan baru agar siswa terdorong untuk memperoleh
kepercayaan diri dengan menggunakan berbagai konteks, baik yang telah
dikenal maupun yang baru dan akhirnya memotivasi siswa untuk
menggunakan berbagai strategi belajar.
5. Pembelajaran konstruktivisme mendorong siswa untuk memikirkan
perubahan gagasan merka setelah menyadari kemajuan mereka serta
memberi kesempatan siswa untuk mengidentifikasi perubahan gagasan
mereka.
6. Pembelajaran konstruktivisme memberikan lingkungan belajar yang
kondusif yang mendukung siswa mengungkapkan gagasan, saling
menyimak, dan menghindari kesan selalu ada satu jawaban yang benar.
Dengan demikian pembelajaran ini bukan hanya sekedar transfer
knowledge, tetapi memang merangsang siswa untuk nantinya mampu berpikir
secara rasional dan bukan mendasarkan diri pada sisi hapalan belaka.
Daftar Pustaka
Arend, Richard. 1997. Classroom Instruction and Management. New York: Mc Graw
Hill
Confrey, J. 1995. A Theory of Intelectual Development. For the Learning of
Mathematics. Vol. 15, No. 3, pp. 8-48.
Jonassen, D. 1999. Designing Constructivist Learning Environment. In C.M.
Reigeluth (Ed.), Instructional-Design Theories and Models, Volume II: A New
Paradigm of Instructional Theory. Mahwah, NJ.: Lawrence Erlbaum.
Lechte, J.
2001. 50 Filsuf Kontemporer. Dari
Postmodernitas. Yogyakarta: Penerbit Kanisius
Strukturalisme sampai