Professional Documents
Culture Documents
01 Meirani
01 Meirani
Indonesia merupakan negara multibudaya karena Indonesia memiliki banyak suku bangsa
dan budaya. Negara Kesatuan Republik Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar di dunia
yang terletak di Asia Tenggara, dengan luas wilayah kurang lebih 1,9 juta mil persegi. Penduduk
Indonesia secara garis besar dapat dibagi dalam dua kelompok, yaitu bagian barat Indonesia
berpenduduk suku Melayu, sementara di bagian timur berpenduduk suku Papua, yang mempunyai
akar sejarah di kepulauan Melanesia. Banyak penduduk Indonesia yang menyatakan dirinya sebagai
bagian dari kelompok suku yang lebih spesifik, yang dibagi menurut bahasa dan asal daerah, seperti
Jawa, Sunda, atau Batak. Selain itu ada juga etnis pendatang yang jumlahnya minoritas, yaitu
diantaranya etnis Tionghoa, India, dan Arab. Dari segi keyakinan, agama yang dianut oleh mayoritas
penduduk Indonesia adalah agama Islam, yaitu dipeluk oleh sekitar 85,2% penduduk Indonesia. Hal
ini menjadikan Indonesia sebagai negara dengan penduduk muslim terbesar di dunia. Agama lain
selain Islam adalah agama Protestan (8,9%), Katolik (3%), Hindu (1,8%), Buddha (0,8%),
sedangkan yang lain-lain sebanyak 0,3% (Indonesia, 2007).
Beragamnya budaya dan agama yang dianut oleh penduduk Indonesia seringkali
menyebabkan organisasi-organisasi di Indonesia menjadi organisasi yang multibudaya. Menurut
Wibowo (2006), keberagaman budaya di Indonesia cenderung meningkat. Keberagaman ini
mencakup perbedaan gender, suku, agama, dan latar belakang pendidikan. Adanya berbagai
perbedaan tersebut akan dapat mempengaruhi budaya organisasi dan dengan pemikiran
memerlukan metode penanganan secara beragam pula. Mengembangkan budaya keberagaman
adalah tentang bagaimana melihat orang lain sebagai pribadi yang merdeka, yaitu menghargai
keterampilan dan kemampuan yang mereka miliki dan dibawa ke dalam organisasi, bukan melihat
seseorang dalam keanggotaannya pada kelompok tertentu.
Perusahaan-perusahaan di dunia, termasuk di Indonesia, menghadapi beberapa tantangan
sebagai akibat dari meningkatnya keberagaman tenaga kerja. Banyaknya anggota organisasi dari
berbagai latar belakang budaya yang berbeda ini akan berimplikasi pada kompetensi yang harus
dimiliki oleh para manajer perusahaan (Elashmawi, 2002).
Kesadaran para manajer dewasa ini dalam memandang isu-isu keberagaman semakin
meningkat karena adanya keyakinan bahwa organisasi dengan latar belakang tenaga kerja yang
beragam akan mampu meningkatkan keefektifan organisasi (Bhawuk & Triandis, 1995). Thomas dan
Elly (1996, dalam Nursanti (2006) menambahkan bahwa keberagaman akan membawa pengaruh
baik bagi bisnis karena kemampuannya dalam meningkatkan moral dan memberi akses yang lebih
baik bagi segmen baru marketplace dalam rangka meningkatkan produktivitas.
Agar keberagaman sumber daya manusia dalam organisasi dapat menghasilkan keunggulan
kompetitif, maka organisasi harus menjadi organisasi multibudaya. Dan salah satu cara agar dapat
menjadi organisasi multibudaya adalah melalui pelatihan (training). Sedangkan pelatihan yang dapat
dieselenggarakan untuk mencapai organisasi multibudaya antara lain adalah pelatihan managing
value diversity (MVD), pelatihan bahasa, dan pelatihan manajemen konflik. Selanjutnya, agar dapat
mencapai program pelatihan sesuai dengan yang direncanakan, diperlukan beberapa strategi
pelatihan dan adanya peran manajer yang kuat. Tulisan ini akan membahas tentang pelatihan
sebagai salah satu alat menuju organisasi multibudaya Pembahasan dimulai dari penjelasan tentang
organisasi multibudaya dan cara menciptakan organisasi multibudaya. Selanjutnya, akan dibahas
pentingnya dilakukan pelatihan dan pelatihan mengenai keberagaman untuk mencapai organisasi
multibudaya.
ORGANISASI MULTIBUDAYA
Pengertian budaya (culture), menurut Orbe dan Harris (2001) adalah: learned and a shared
values, briefs, and behaviors common to a particular group of people; culture forges a groups identity
and assists in its survival. Race is culture, but a persons culture is more than her or his race (hal.69).
Selanjutnya, Fernando (1993), menyatakan bahwa budaya tidak lagi dipandang sebagai
suatu sistem yang tertutup yang dapat didefinisikan secara jelas, tidak juga sesuatu yang terdiri dari
kepercayaan dan praktek tradisional yang diwariskan dari satu generasi ke generasi berikutnya,
tetapi merupakan sesuatu yang hidup, dinamis dan berubah; merupakan suatu sistem nilai yang
fleksibel dan dunia memandang bahwa orang-orang hidup dengan menciptakan kembali secara
terus menerus. Beberapa peneliti memandang budaya sebagai ide-ide atau teori tentang perilaku
dan mental yang bersifat umum dan menjadi keyakinan bersama bagi kelompok-kelompok individu
(Allaire & Firsirotu, 1984; Hofstede, 1994). Oleh karena itu, budaya bukan merupakan karakteristik
individual. Beberapa ahli cenderung sepakat bahwa komponen budaya secara umum seperti
kepercayaan, nilai, norma, persepsi, dan sikap, prioritas adalah invisible (Kotler & Haskett, 1992,
Schein, 1993). Berdasarkan pada pengertian budaya tersebut, maka selanjutnya dikembangkan
pengertian multibudaya. Multibudaya secara umum dapat diartikan sebagai banyak budaya. Chang
dan Tharenou (2004) mendefinisikan multibudaya sebagai suatu situasi dimana terdapat tiga atau
lebih budaya atau subbudaya etnis yang saling berinteraksi.
suatu keunggulan/kemanfaatan. Beberapa manfaat yang dapat diperoleh dari keberagaman tenaga
kerja antara lain munculnya bermacam ide, gaya, bentuk ketaatan, visi, kreatifitas, inovasi, sejarah,
dan gaya hidup (Parvis, 2003). Arenofsky (2002) memberikan pendapat yang hampir sama yaitu
bahwa adanya perbedaan multi budaya dapat memahami keunggulan dan potensi tiap-tiap individu.
Hal ini dapat meningkatkan budaya kerja, sehingga bermacam-macam pemikiran yang kreatif dan
pola hidup dapat diakomodasikan untuk memperoleh keuntungan dari budaya organisasi.
Keberagaman tenaga kerja dalam suatu organisasi juga dapat membantu organisasi meningkatkan
marketsharenya, yaitu organisasi akan memahami dengan lebih baik perbedaan-perbedaan para
konsumennya sehingga dapat mengetahui bagaimana memasarkan produk kepada konsumen yang
berbeda-beda tersebut (Allen & Montgomery, 2001).
Tabel 1. Alat-alat untuk Menciptakan Organisasi Multibudaya
Dimensi Model
I. Pluralism
Tujuan:
1. Menciptakan proses sosialisasi dua arah antara
kelompok mayoritas dan kelompok minoritas
2. Memastikan adanya pengaruh perspektif budaya
kelompok minoritas terhadap norma-norma inti dan
nilai-nilai organisasi
Alat-alat
Managing Value Diversity (MVD) training
Program-program orientasi anggota baru organisasi
Pelatihan bahasa
Adanya diversitas di dalam anggota komite inti
organisasi
5. Pembahasan/perlakuan terhadap diversitas secara
eksplisit di dalam mission statement organisasi
6. Adanya kelompok pembela kelompok minoritas yang
memiliki akses langsung ke manajer senior
7. Menciptakan fleksibilitas di dalam sistem-sistem
norma organisasi.
1. Program-program pendidikan
2. Program-program pengembangan karir
3. Perubahan dalam performance management.
4. Adanya perubahan-perubahan kebijakan
sumberdaya manusia
1. Program-program mentoring
2. Perusahaan mensponsori social event yang
mendukung integrasi ke dalam informal network
1. Seminar-seminar mengenai persamaan peluang
bagi semua anggota organisasi
2. Kelompok focus (focus group)
3. Penelitian mengenai training untuk mengurangi bias
kultural
4. Task forces
Semua item dari lima dimensi yang lain (dimensi I-IV
dan dimensi VI) dapat diterapkan di sini.
1.
2.
3.
4.
1.
2.
3.
4.
Survey feedback
Pelatihan mengenai manajemen konflik
MVD Training
Focus group
Pengelolaan keberagaman sumber daya manusia tidak terlepas dari peran pimpinan
organisasi. Kunci keberhasilan pengelolaan keberagaman adalah komitmen dari level atas
organisasi. Suatu organisasi yang memiliki keberagaman pada semua level manajernya akan
memiliki kesempatan yang lebih baik dalam hal merekrut, memotivasi, dan mempertahankan tenaga
kerja dari kalangan minoritas yang potensial. Keberagaman dalam kepemimpinan ini dapat
meningkatkan produktivitas dan inovasi melalui penciptaan ide-ide baru dan pengembangan kepada
tenaga kerja minoritas sehingga termotivasi. Organisasi harus menentukan tujuan yang jelas dalam
pengelolaan keberagaman sumber daya manusianya. Dasar dari pengelolaan keberagaman adalah
kesadaran untuk memahami dan bukan menolak orang-orang yang berasal dari kelompok yang
berbeda. Kesadaran bahwa keberagaman sumber daya manusia diperlukan untuk menjadikan
organisasi semakin kreatif dan inovatif perlu ditanamkan kepada para maanjer.
Ada 2 cara yang dapat digunakan untuk menciptakan iklim yang menghargai keragaman
budaya. Pertama dengan meminta seorang yang mewakili suatu perusahaan yang telah berhasil
mengelola keberagaman sumber daya manusianya untuk menceritakan pengalamannya dalam
mengelola sumber daya manusia yang beragam. Kedua, melalui pelatihan dan lokakarya mengenai
value dari keberagaman budaya kepada para pekerja. Cox (1991) menyebutkan beberapa cara untuk
menciptakan organisasi multibudaya sebagaimana terdapat pada Tabel 1.
PELATIHAN SEBAGAI ALAT MENUJU ORGANISASI MULTIBUDAYA
Program pelatihan dan pengembangan sumber daya manusia mutlak diperlukan, meskipun
merupakan investasi yang mahal (Cheng & Ho, 1999). Pelatihan merupakan suatu upaya untuk
meningkatkan kinerja karyawan agar mencapai standar kinerja yang diharapkan. Philips (1996)
berpendapat bahwa pelatihan merupakan the most critical competitive weapon bagi suatu
organisasi. Pelatihan dapat menjadi kendaraan yang dapat membawa perubahan menuju kepada
bentuk organisasi yang diharapkan melalui perubahan sumber daya manusianya. Program pelatihan
dan pengembangan sumber daya manusia merupakan satu kekuatan yang diharapkan mampu
menciptakan nuansa baru dalam upaya mempercepat pembinaan sumber daya manusia. Program
pelatihan ini dikembangkan agar dapat memenuhi kompetensi sumber daya manusia yang memiliki
kemampuan dan tingkat profesionalisme yang sesuai dengan kebutuhan organisasi.
Pelatihan harus dikelola dengan baik dan benar. Sebuah organisasi akan efektif
melaksanakan pelatihan apabila memiliki sistem pelatihan dengan komitmen dan pelibatan para
stakeholders kunci, yaitu manajer sumber daya manusia, pelatih, dan peserta pelatihan. Mereka
harus melakukan kolaborasi mulai dari penentuan desain, pengembangan, serta implementasi
pelatihan, sehingga pelatihan merupakan sebuah proses yang integratif dalam peningkatan kinerja.
Dengan demikian kendali pencapaian mutu pelatihan tidak tertumpu pada pelatih dan peserta
pelatihan saja (Wargahadibrata & Rahmat, 2004).
Menciptakan program pelatihan yang efektif tidaklah mudah. Masalah yang seringkali muncul
adalah tidak tercapainya transfer of learning dari pelatihan tersebut. Tidak sedikit pelatihan yang
telah didesain dan diselenggarakan dengan baik tidak berhasil meningkatkan kualitas kinerja para
pesertanya sehingga standar kinerja yang ditetapkan belum dapat terpenuhi. Hal ini karena pelatihan
yang diadakan tidak menyebabkan terjadinya transfer of learning, padahal transfer of learning inilah
yang memiliki dampak langsung terhadap perbaikan kinerja, bukan pelatihan itu sendiri. Pelatihan
hendaknya didesain sedemikian rupa sehingga mendorong para peserta agar dapat
mengembangkan pengetahuan strategis untuk memaksimalkan transfer of learning, meskipun
kualitas pelatihan itu sendiri tidak hanya ditentukan oleh terjadinya transfer of learning, tetapi juga
tidak terlepas dengan budaya organisasi. Perubahan yang terjadi sebagai akibat optimalnya transfer
of learning tetap harus memiliki keselarasan dengan budaya organisasi. Budaya organisasi dibentuk
dan dikembangkan oleh para pendiri organisasi dan menjadi the way of our work dari orang-orang
dalam organisasi yang bersangkutan.
Menciptakan pelatihan yang menarik dan dapat menimbulkan transfer of learning
memerlukan praktek-praktek tertentu sehingga pelatihan tersebut menjadi suatu kegiatan yang
menarik baik bagi pelatih maupun peserta pelatihan. Hawk (2005) menyatakan terdapat tiga praktek
yang dapat digunakan agar pelatihan menjadi lebih menarik, yaitu pelibatan peserta pelatihan,
menggunakan sedikit teks dan lebih banyak gambar/foto dan contoh, serta eksperimen.
Permasalahan yang seringkali muncul dalam pelatihan adalah orang seringkali kehilangan
minat ketika mendengarkan orang lain berbicara. Walaupun tampaknya mereka memberi perhatian,
namun hanya sedikit sekali informasi yang dapat diingat. Suatu hasil penelitian menyatakan bahwa
dua minggu setelah pertemuan, orang hanya mengingat rata-rata 8,4%, sedangkan 42% dari yang
mereka ingat adalah salah atau bahkan tidak pernah disampaikan diutarakan dalam pertemuan.
Untuk itu, jika menginginkan pelatihan berhasil, maka harus melibatkan sepenuhnya peserta
pelatihan.
Pelatihan tentang Keberagaman
Seperti telah disebutkan dalam Tabel 1 bahwa pelatihan merupakan suatu alat yang dapat
digunakan untuk mencapai organisasi multibudaya, maka perlu dilakukan pelatihan berkaitan dengan
topik-topik multi budaya dan keberagaman. Rolph (2003) menyatakan bahwa sebagian besar
organisasi (69%) telah memiliki kebijakan keberagaman dan seringkali berkaitan dengan masalah
gender, status etik dan disability. Namun demikian, hanya 58% yang menyediakan pelatihan tentang
keberagaman. Ini berarti terdapat gap antara kebijakan dan praktek. Hal ini mengindikasikan bahwa
organisasi mungkin hanya bereaksi terhadap tekanan-tekanan legal eksternal daripada menanggapi
keebragaman dari sudut pandang yang lebih kontruktif.
Pelatihan tentang keberagaman tidak harus selalu sulit atau mahal agar dapat memberikan
nilai bagi organisasi. Beberapa bentuk pelatihan seperti apprenticeship programs, cross training, and
off-site training dapat dilakukan. Bahkan, pelatihan melalui internet dapat juga dijadikan sebagai satu
pilihan. Akhir-akhir ini, pelatihan secara virtual (virtual training) semakin meningkat karena metode ini
dinilai sangat efektif baik dari sisi waktu dan biaya.
Beberapa penelitian menunjukkan bahwa organisasi yang memiliki fokus terhadap
keberagaman memiliki return on investment yang lebih baik. Hal ini dapat dilihat pula dari daftar yang
dikeluarkan majalah Fortune pada tahun 1998 bahwa 50 perusahaan yang mempekerjakan ras
minoritas memiliki total pendapatan untuk para shareholder selama lima tahun sebesar 201 persen
dibandingkan perusahaan lain yang hanya menghasilkan return sebesar 171 persen (Yamashita,
2004). Schuler (1990) menyebutkan keberhasilan perusahaan-perusahaan yang melakukan
pelatihan tentang keberagaman, antara lain Hewlett-Packard melakukan pelatihan bagi para manajer
untuk mengajari mereka tentang perbedaan budaya dan ras dan tentang bias gender. Proctor dan
Gamble juga melakukan hal serupa yaitu mengimplementasikan program valuing diversity ke
seluruh perusahaan. Program ini dilakukan dengan cara melakukan mentor program dalam suatu
pabrik yang didesain untuk meningkatkan kemampuan manajer perempuan berkulit hitam serta
workshop satu hari tentang keebragaman yang diberikan kepada seluruh pekerja baru.
Tujuan pelatihan multibudaya tidak hanya terbatas pada masalah bahasa saja. Dalam
mengembangkan pelatihan, termasuk pelatihan tentang keberagaman, terdapat beberapa topik yang
penting yang harus dilakukan yaitu, penilaian mengenai kebutuhan pelatihan, cara-cara untuk
mennyelenggarakan pelatihan, serta cara-cara untuk mengevaluasi pelatihan (Yamashita, 2004).
1. Penilaian mengenai kebutuhan pelatihan
Menilai kebutuhan pelatihan merupakan satu bagian yang penting dalam mengembangkan
pelatihan. Hal ini meliputi standar dalam melakukan pelatihan dengan benar, dampaknya, dan
dana yang akan dikeluarkan serta waktu pekerja karena meninggalkan pekerjaannya.
2. Cara-cara untuk menyelenggarakan pelatihan
Apakah pelatihan dilakukan melalui kelas ataupun on the job training, manajer harus dapat
mendorong keinginan, motivasi, tujuan dan lingkup dilakukannya pelatihan. Peserta pelatihan
perlu untuk berbicara dalam level peserta, membentuk kelompok, melakukan pertukaran dan
melaporkan poin-poin utama, diberi pertanyaan, dan melibatkan kelompok dalam aktivitas
sebanyak mungkin. Hal ini berarti bahwa manajer pelatihan harus mampu mencakup tugastugas untuk mengembangkan pelatihan dalam organisasi meliputi beberapa aspek yang
berkaitan dengan pekerjaan dan organisasi.
3. Cara-cara untuk mengevaluasi pelatihan
Hal ini berarti bahwa pelatih harus selalu memberi feedback secara berkesinambungan kepada
peserta untuk menguji setiap aspek yang mereka kerjakan selama pelatihan. Evaluasi dilakukan
karena beberapa tujuan, namun secara umum evaluasi terbagi kedalam dua kategori:
meningkatkan proses pengembangan sumber daya manusia atau untuk menentukan apakah
perlu meneruskan program yang sudah ada.
PENUTUP
Indonesia merupakan negara multibudaya karena Indonesia memiliki banyak suku bangsa
dan budaya. Hal ini menyebabkan organisasi di Indonesia memiliki anggota dari berbagai suku
bangsa. Adanya keberagaman tenaga kerja seringkali dipandang hanya akan menimbulkan masalah
bagi perusahaan. Namun, pengelolaan keberagaman yang baik justru dapat memberikan keunggulan
kompetitif bagi perusahaan. Agar dapat memperoleh keunggulan kompetitif tersebut, maka
organisasi harus mengarah pada terbentuknya organisasi multibudaya yaitu organisasi yang
menghargai, mempromosikan, dan secara proaktif mengelola perbedaan-perbedaan budaya yang
ada diantara sumberdaya manusia yang dimilikinya. Pengelolaan organisasi ini dilakukan untuk
meminimumkan konflik dan memaksimalkan keunggulan-keunggulan yang dapat diperoleh dari
adanya keberagaman budaya sumber daya manusia.
Salah satu alat yang dapat digunakan untuk mencapai organisasi multibudaya adalah
melalui pelatihan. Pelatihan merupakan suatu upaya untuk meningkatkan kinerja karyawan agar
mencapai standar kinerja yang diharapkan. Pelatihan dapat menjadi kendaraan yang dapat
membawa perubahan menuju kepada bentuk organisasi yang diharapkan melalui perubahan sumber
daya manusianya. Namun demikian, pelatihan seringkali tidak dapat mencapai hasil yang diharapkan
dari para peserta karena tidak adanya transfer of learning. Agar terjadi transfer of learning maka
diperlukan praktek-praktek yang menjadikan pelatihan tersebut menghasilkan dampak perubahan
kinerja karyawan sesuai dengan yang diinginkan.
Sebagai salah satu alat menuju organisasi multibudaya, pelatihan mengenai keberagaman
sangat diperlukan untuk mencapai organisasi multibudaya. Dalam mengembangkan pelatihan
tentang keberagaman, terdapat beberapa topik yang penting yang harus dilakukan yaitu (1) penilaian
mengenai kebutuhan pelatihan, (2) cara-cara untuk menyelenggarakan pelatihan, dan (3) cara-cara
untuk mengevaluasi pelatihan.
REFERENSI
Allaire, Y. & Firsirotu, M.F. (1984). Theories of organizational culture. Organization Studies, 5, 193226.
Allen, R.S. & Montgomery, K.A. (2001). Applying an organizational development approach to creating
diversity. Organizational Dynamics, 30 (2/), 149-161.
Arenofsky, J. (2002). Cultural diversity and your future. Career World, 31 (3).
Bhawuk, D.P.S. & Triandis, H.C. (1995). Diversity in the workplace: Emerging corporate strategies.
The labor market and the changing workforce, 5 (3), 45-55.
Bruhn, J.G. (1996). Creating an organization climate for multiculturalism. Health Care Supervisor, 14,
11-18.
Chang, S. & Tharenou, P. (2004). Competencies needed for managing a multiculture workgroup.
Asia Pacific Journal of Human Resources. 42 (1,: 57-74. London: Sage Publication.
Cheng, E.W.L., & Ho, D.C.K. (1999). A review of transfer of training atudies in the past decade.
Personnel Review, 30 (1): 102-118.
Cox, T., Jr. (1991). The multicultural organization. Academy of Management Executive, 5, 34-47.
Elashmawi, F. (2002). Saya lebih percaya pada Multiculture. Majalah Manajemen bagi Manajer dan
Eksekutif: Membangun budaya perusahaan multikultur, No. 16.
Fernando, S. (1993). Cultural diversity, mental health and psychiatric: The struggle against racism.
New York: Brunner-Routledge
Hawk, R. (2005). Training: Making it interesting. Professional Safety, August.
Hofstede, G. (1994). Management scientists are human. Management Science, 40 (1), 4-13.
Hubbard, A. (2003). Accommodating diversity in training environment. Mortgage Banking, 63 (4106).
Kotler, J.P. & Heskett, J.L. (1992). Corporate culture & performance. New York: Free Press.
Kumalaningrum, M.P. (1999). Multicultural organization; Strategi mengelola keberagaman tenaga
kerja. Usahawan, No. 2 Th. XXVII.
Nursanti, T.D. (2000). Strategi pengelolaan menuju organisasi multiculture. Usahawan, No. 11 Th.
XXIX
Orbe, M.P. & Harris, T.M. (2001). Interracial communication: Theory into practice. Belmont. CA:
Wadsworth.
Parvis, L. (2003). Diversity and effective leadership in multicultural workplaces. Journal of
Environmental Health, 65 (7): 37-65.
Philips, J.J. (1996). Measuring the result of training, dalam: The ASTD training and development
handbook: A guide to human resources development. Robert L. Craig (ed). New York:
McGraw Hill.
Rolph, J. (2003). Lessons in learning. People Management, May 1st, 9 (9).
Salomon, M.F. & Schork, J.M. (1998). Turn diversity to your advantage. Research Technology
Management, 46 (4): 37-44.
Schein, E.H. (1993). On dialogue, culture, & organizational learning. Organizational Dynamics, 22 (2),
40-51.
Schuler, R.S. (1990). Repositioning the human resource function: Transformation or demise?
Academy of Management Executive, 4 (3), 49-60.
Thomas, D.A. & Ely, R.J. (1996). Making differences matter: A new paradigm for managing diversity.
Harvard Business Review, (September-Oktober), 79-90.
Wargahadibrata, R.A.H, & Rahmat, D. (2004). Peran manajemen multikultural untuk Transfer of
Training yang optimal di dalam suatu organisasi. Makalah disampaikan dalam Seminar
Nasional Teknologi Pembelajaran, Jakarta 1-2 Desember 2004.
Wibowo. (2006), Manajemen perubahan. PT. Raja Grafindo Persada.
Yamashita, K. (2004). Importance of developing multicultural diversity training program in hotel
industry in Minneapolis area. A research paper. The Graduate School University of
Wisconsin-Stout.
Indonesia. (n.d.) Diambil 2 September 2006, dari http://id.wikipedia.org/wiki/Indonesia