You are on page 1of 7

Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2006

PENGARUH PENGGUNAAN SAMBILOTO (Andrographis


paniculata NEES) TERHADAP KANDUNGAN RESIDU
AFLATOKSIN DALAM HATI ITIK DAN HUBUNGANNYA
DENGAN AFLATOKSIKOSIS
(The Effect of the Andrografhis Paniculata Nees Use on Aflatoxins Residue
in Ducks Liver and its Relation to Aflatoxicosis)
SRI RACHMAWATI DAN HELMY HAMID
Balai Penelitian Veteriner, Jl. R.E. Martadinata No. 30, Bogor 16114

ABSTRACT
Aflatoxin contamination on livestock product has been reported. Aflatoxin can influence animal and
human health. Aflatoxin poisoning on livestock is called aflatoxicosis. The experiment aim is exploring the
extent of Andrographis paniculata use (known locally as sambiloto) in reducing the formation of aflatoxins
residue on ducks liver and its effectiveness in protecting the liver. Hundred of day old tegal ducks were
adapted for 2 weeks and then divided into 5 groups: (I) control), (II) group, given 150 ppb aflatoxins only,
(III) group treated with 150 ppb aflatoxins + 0.04% sambiloto, (IV) group treated with 150 ppb aflatoxins
+ 0.08% sambiloto and (V) treatment with 0.08% sambiloto only. The solution of B1 aflatoxin in propylene
glycol dosage 150 ppb/ body weight and Andrographis paniculata (sambiloto) water extract were given
alternately and orally on ducks groups every two days for 6 weeks. The duck liver samples were taken on-0,
-1, -2, -4, and -6 weeks by slaughtering 3 ducks from each group during that period. Pathological anatomy
observation was conducted on the liver samples and the aflatoxins residual content of chromatographically.
The statistic test shows that the Andrographis paniculata in water extract is significantly capable of reducing
the aflatoxins residue in ducks liver (P < 0.05%), and suppress the damage on the liver. In fact, the group
treated with 150 ppb aflatoxins and 0.08% Andrographis paniculata (IV) shows the decrease of B1 aflatoxin
residue content and quite significant aflatoxicol on the liver. The average content of B1 aflatoxin residue and
aflatoxicol on ducks liver on the group IV were 3.96 and 11. 66 ppb at the end of experimental. Where as in
the group II (given aflatoxin only), the residue were in the average of 12.80 ppb and 19.51 ppb respectively. It
is concluded that sambiloto 0.08% can effectively reduce AFB1 and aflatoxicol residues in the liver and
protect the liver from damage by aflatoxin.
Key Words: Aflatoksin Residue, Sambiloto, Liver
ABSTRAK
Terdeteksinya residu aflatoksin pada produk ternak sudah dilaporkan. Aflatoksin dapat menyebabkan
pengaruh terhadap kesehatan ternak dan manusia. Keracunan yang disebabkan oleh aflatoksin disebut
aflatoksikosis. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh penggunaan tanaman sambiloto
(Andrographis paniculata Nees) dalam mengurangi pembentukan residu aflatoksin pada hati itik dan
efektifitasnya dalam menanggulangi aflatoksikosis (melindungi kerusakan organ hati). Seratus ekor itik tegal
diadaptasikan selama 2 minggu, kemudian itik dibagi menjadi 5 kelompok yaitu: (I) kontrol, (II) itik diberi
aflatoksin B1 (AFB1) 150 ppb; (III) kelompok perlakuan AFB1 150 ppb dan 0,04% sambiloto; (IV) kelompok
perlakuan AFB1 dan 0,08% sambiloto; (V) kelompok perlakuan sambiloto 0,08%. AFB1 dalam propilin glikol
dosis 150 ppb/bobot itik dan ekstrak air daun sambiloto diberikan pada itik secara dicekok setiap 2 hari sekali
selama 6 minggu. Hati itik diambil dengan cara memotong 3 ekor itik setiap kelompok perlakuan pada
minggu ke-0, -1, -2, -4, dan -6. Pengamatan patologi anatomi dilakukan terhadap sampel hati tersebut dan
residu AFB1 serta aflatoksikol dianalisis secara kromatografi. Hasil uji statistik menunjukkan bahwa
penggunaan ektrak air daun sambiloto mampu mengurangi residu AFB1 pada hati itik (P < 0,05%) dan
mengurangi kerusakan organ hati akibat aflatoksin. Ternyata bahwa kelompok (IV), perlakuan AFB1 150 ppb
dan 0,08% sambiloto menunjukkan adanya penurunan kandungan AFB1 dan aflatoksikol dalam hati itik lebih
banyak. Rata-rata kadar residu AFB1 dan aflatoksikol dalam hati itik grup 4 ini adalah 3,96 dan 11,66 ppb,
pada akhir penelitian (minggu ke 6). Sedangkan kadar residu AFB1 dan aflatoksikol kelompok yang diberi

759

Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2006

aflatoksin saja (II) rata-rata 12,80 dan 19,51 ppb. Disimpulkan bahwa sambiloto 0,08% cukup efektif dalam
mengurangi residu aflatoksin dan melindungi kerusakan organ hati.
Kata Kunci: Residu Aflatoksin, Sambiloto, Hati

PENDAHULUAN
Pakan, bahan pakan dan pangan sangat
potensi terkontaminasi oleh kapang dan
mikotoksin, dimulai sejak saat tanam di ladang,
saat
dipanen,
tranportasi,
pengepakan,
penyimpanan dan saat dikonsumsi oleh hewan
hingga siap dikonsumsi manusia. Mikotoksin
diantaranya aflatoksin, merupakan senyawa
toksik hasil metabolit sekunder kapang, yang
dapat membahayakan kesehatan ternak dan
manusia. Komoditas pertanian yang rusak dan
mempunyai kadar air yang tinggi sangat mudah
tercemar kapang-kapang seperti Aspergillus
flavus dan A. parasiticus yang dapat
menghasilkan aflatoksin, Umumnya kapangkapang tersebut tumbuh pada kisaran suhu 10
40C, pH 4 8 dan kadar air 17 25% (JAY,
2000).
Indonesia, sebagai negara tropis dengan
suhu, curah hujan dan kelembaban yang tinggi
sangat kondusif untuk berkembang biaknya
kapang pada berbagai komoditas pertanian.
Berbagai bahan pangan seperti jagung, kacang
tanah, pakan dan bahan pakan di Indonesia
dilaporkan
terkontaminasi
aflatoksin
(RACHMAWATI, 2005; BAHRI et al., 2005).
AFB1 merupakan senyawa toksik yang
paling berbahaya, bersifat karsinogenik,
hepatotoksik dan mutagenik, immunosupresif.
Paparan dosis tinggi menyebabkan keracunan
yang akut, yang dapat menyebabkan kematian,
sementara paparan dosis rendah dalam waktu
lama akan bersifat karsinogenik. Pada
keracunan akut, di hati terjadi kegagalan
metabolisme karbohidrat dan lemak serta
sintesa protein, sehingga terjadi penurunan
fungsi hati karena adanya perombakan
pembekuan darah, dan penurunan sintesa
protein serum. Sedangkan pada keracunan
kronik akan menyebabkan immunosupresif
yang diakibatkan penurunan aktifitas vitamin
K dan penurunan aktifitas fagositas pada
makrofak (BOMMAKANTI dan WALIYAR,
2006). AFB1 pada hewan ternak menyebabkan
terhambatnya pertumbuhan, penurunan bobot
badan unggas maupun ruminansia, penurunan
produksi telur, penyerapan unsur mineral, Cu,

760

Fe, Ca dan P, penurunan kekebalan tubuh,


kegagalan program vaksinasi, kerusakan
kromosom, perdarahan dan memar, yang
berakibat kematian meningkat sehingga
produksi ternak menurun, juga ditemukannya
residu AFB1 dan metabolitnya pada telur, hati
dan daging unggas (JASSAR dan B. SINGH,
1989; ABDELHAMID dan DORRA, 1990; DIMRI
et al.,1994; MANI et al., 2001; PRABAHARAN et
al.,1999; BITHIVOK et al., 2002).
Mengingat efek yang dapat ditimbulkan
akibat tercemarnya pakan oleh aflatoksin
cukup merugikan, telah banyak dicoba upaya
penanggulangannya. Upaya menanggulangan
cemaran aflatoksin dengan senyawa kimia
diantaranya arang dan zeolit dan bahan alami
seperti kunyit telah dicoba (BAHRI, 1994).
Sambiloto (Andrographis paniculata Nees)
merupakan tanaman obat yang secara empiris
mempunyai banyak khasiat. Pemanfaatan
sambiloto sebagai obat pada manusia di
Indonesia dan negara Asia lain telah banyak
dilaporkan, antara lain sebagai obat
antispasmodik, antelmintik, antipiretik, dan
antibakteri, dan dilaporkan dapat digunakan
untuk
mengatasi
kerusakan
hati
(DZULKARNAIN et al., 1996; KANNIAPPAN et
al., 1991). Hasil penelitian yang dilakukan di
India menunjukkan bahwa daun sambiloto
dapat menghambat pertumbuhan kapang
penghasil aflatoksin, yaitu Aspergillus flavus
dan Aspergillus parasiticus (KUMAR dan
PRASAD, 1992) Penelitian serupa di Indonesia
telah memperkuat pernyataan tersebut.
Penggunaan ekstrak-air daun sambiloto dengan
konsentrasi 20 mg/ml dapat menghambat
pertumbuhan Aspergillus flavus isolat BCC
(Balitvet Cultur Collection) dan isolat pakan
berturut-turut sebesar 65,04% dan 62,40%
(CAHYADI, 1996). Selain ekstrak daun, ekstrak
batang dan ekstrak akar sambiloto dalam air
juga mampu menghambat pertumbuhan kapang
penghasil aflatoksin tersebut (SUGITA et al.,
1999). Pengujian in vitro, penggunaan serbuk
daun sambiloto untuk mengurangi pencemaran
aflatoksin pada pakan ayam komersial telah
pula dilaporkan RACHMAWATI et al., 1999)
Hasil percobaan dengan kondisi laboratorium

Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2006

menunjukkan bahwa makin tinggi konsentrasi


serbuk daun sambiloto yang ditambahkan pada
pakan, makin tinggi pula daya hambat serbuk
itu
terhadap
pembentukan
aflatoksin.
Penambahan serbuk daun sambiloto pada
pakan dengan konsentrasi 0.16% memberi
daya hambat tertinggi terhadap produksi
aflatoksin total dan aflatoksin B1. Pada
makalah ini akan dievaluasi pengaruh
penggunaan tanaman sambiloto (Andrographis
paniculata
Nees)
dalam
mengurangi
pembentukkan residu aflatoksin pada hati itik
dan efektifitasnya dalam menanggulangi
aflatoksikosis (melindungi kerusakan organ
hati).
MATERI DAN METODE
Perlakuan pada itik
Sejumlah 100 ekor itik umur 1 hari
dipelihara dan sebelum diberi perlakuan itik
diadaptasikan dulu selama 2 minggu. Setelah
itu itik-itik tersebut dibagi kedalam 5
kelompok, masing-masing 20 ekor dan diberi
perlakuan. Kelompok itik perlakuan yaitu: I).
Kontrol, itik tanpa diberi AFB1 dan sambiloto,
II) itik dengan perlakuan AFB1 150 ppb, III)
itik diberi AFB1 150 ppb dan sambiloto 0,04
%, IV) kelompok itik yang diberi sambiloto
0,08% sambiloto dan V) itik diberi sambiloto
0,08%. AFB1 dan sambiloto diberi secara
dicekok setiap 2 hari sekali. AFB1 yang
dicekokkan berupa larutan dalam propilen
glicol dan sambiloto berupa ekstrak dalam air
yang dipersiapkan dengan mendidihkan
sejumlah serbuk daun sambiloto dalam air,
kemudian disaring. Dosis 150 ppb AFB1dan
sambiloto 0,04 dan 0,08% yang diberikan pada
itik dihitung per bobot itik. Setelah perlakuan
pemeliharaan itik dilanjutkan selama 6 minggu.
Parameter yang diamati dan pengambilan
sampel
Parameter yang diamati adalah residu AFB1
dan aflatoksikol dalam organ hati itik dan
pengamatan kerusakan organ hati itik, secara
patologi anatomi dan histopatologi. Sampel
organ hati itik diambil dengan memotong itik
sebanyak 3 ekor itik setiap kelompok pada
minggu ke 0, 1, 2, 4 dan 6 setelah perlakuan.

Sebagian ditimbang untuk analisis residu.


Perubahan kelainan organ hati itik diamati dan
sampel hati itik diambil sedikit, disimpan
dalam formalin untuk pengamatan histopat.
Analisis histopatologi dilakukan untuk organ
hati itik yang diambil pada minggu 1 dan akhir
perlakuan (minggu ke 6).
Analisis residu AFB1, aflatoksikol dan
histopatologi
Analisis residu AFB1 dan aflatoksikol
dalam organ hati itik, dilakukan secara
kromatografi kinerja tinggi (KKT) mengikuti
prosedur TRUCKNESS dan STOLOFF (1979)
melalui tahapan ektraksi, pemurnian dan
penentuan kadar, sedangkan perubahan
mikroskopik organ hati diamati dibawah
mikroskop
berupa
degenerasi
lemak,
proliferasi, infiltrasi sel radang, pembendungan/
perdarahan, fibriosis dan megalocytosis.
Tingkat kerusakan organ hati dinilai
berdasarkan scoring dengan nilai 1 = sedikit,
2 = sedang, 3 = banyak, 4 = banyak sekali.
Untuk degerasi lemak dan pembendungan/
perdarahan dilihat distribusinya dengan kriteria
nilai 1 = focal, 2 = mutifocal, 3 = diffuse dan
4 = ektensif diffuse.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Residu AFB1 dan aflatoksikol
Penentuan residu AFB1 dan aflatoksikol
pada organ hati perlu diketahui, karena hati
merupakan salah satu organ penting dalam
menilai kejadian aflatoksikosis, disamping itu
hati juga memiliki fungsi untuk detoksifikasi
yaitu proses menawarkan racun melalui
biotransformasi, hematosis dan ekskresi. Data
pengaruh sambiloto terhadap residu AFB1 pada
organ hati itik disajikan pada Tabel 1 dan pada
Tabel 2 adalah hasil pengolahan data dengan
ANOVA (Analysis of Variance) serta uji
Duncan rata-rata AFB1 berdasarkan perlakuan.
Sedangkan pada Gambar 1, terlihat hubungan
antara minggu perlakuan dengan konsentrasi
residu aflatoksikol pada hati.
Dari data Tabel 1, dapat menunjukkan
bahwa kelompok itik dengan pemberian AFB1
saja (II) ternyata mempunyai kadar residu
AFB1 yang tinggi selama waktu penelitian,

761

Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2006

ternyata bahwa pemberian AFB1 150 ppb dosis


berulang secara oral menimbulkan tingkat
akumulasi tinggi pada jaringan hati. Berbeda
dengan kelompok itik yang diberi AFB1 dan
sambiloto 0,04% dan 0,08% (III dan IV),
ternyata kadar residu AFB1 pada hatinya lebih
rendah dibandingkan kelompok itik II, hal ini
menunjukkan adanya pengaruh pemberian
sambiloto terhadap penurunan residu AFB1
pada hati itik. Namun demikian hasil uji
statistik (penurunan antar minggu) pada Tabel
1, memperlihatkan penurunan kadar residu
AFB1 (pengamatan minggu 1 6) tidak
berbeda nyata antar kelompok III dan IV.
Keadaan ini bukan berarti pemberian
sambiloto tersebut tidak berpengaruh, tetapi

kemungkinan efeknya terhadap penurunan


residu aflatoksin agak lambat. Menurut
NORTON (1975) dan GARY et al. (1976) bahwa
laju biotransformasi senyawa toksin dalam
tubuh dipengaruhi oleh beberapa faktor
diantaranya spesies, umur, sex, penyakit, rute
dan waktu administrasi, penurunan suhu tubuh,
peningkatan protein pada plasma, lokalisasi
obat pada jaringan tubuh, penghambatan enzim
oleh obat lain, makanan serta interaksi/
kompetisi dengan substansi endogenous (zat
yang berasal/dibentuk dalam tubuh organisme).
Pengaruh
perlakuan
sambiloto
dalam
menurunkan kadar residu AFB1 pada hati itik
terlihat nyata pada hasil uji statistik antar
perlakuan (Tabel 2).

Tabel 1. Pengaruh sambiloto terhadap residu AFB1 pada jaringan hati itik
Kadar rata-rata residu AFB1/minggu ke (ppb)

Kelompok
0
I (Kontrol)

3,055

4,129

2
d

5,708

7,913

b)c)

9,422a
12,800a

III (+AFB1 + 0,04% sambiloto)

2,518b

4,807a

5,523a

5,586a

IV (+AFB1 + 0,08% sambiloto)

4,626

3,960a) b)

4,627

b) c)

1,626d

V (+ 0,08% sambiloto)

2,420

5,471

10,057

3,055

d) c)

8,598

6
b

II (+ AFB1)

2,420

7,209

4
c

4,727

a) b)

3,888

3,329

5,497a

Kadar residu aflatoksikol (ppb)

Indeks huruf yang berbeda pada baris yang sama menyatakan ada beda nyata pada taraf P<0,05

25

20

15

10

5
0

2
4
Minggu keI

II

III

6
IV

Gambar 1. Hubungan antara konsentrasi residu aflatoksikol pada hati itik dengan minggu perlakuan

762

Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2006

Tabel 2. Hasil uji Duncan


berdasarkan perlakuan

rata-rata

AFB1

kelompok III 15,0 ppb, kelompok IV, 11,7 ppb


dan kelompok V 10,2 ppb.

Kelompok

Rata-rata
kadar AFB1
(ppb)

Perubahan makroskopik dan mikroskopik


organ hati itik

I (Kontrol)

6,046 a) b)

Pengamatan secara patologi anatomi


(makroskopik) organ hati itik perlakuan selama
6 minggu, disajikan pada Tabel 3.Hasil
pengamatan pada Tabel 3, menunjukkan bahwa
secara makroskopik tidak ada kelainan organ
hati pada kelompok I ( Kontrol), dimana itik
hanya diberi pakan tanpa perlakuan aflatoksin
dan sambiloto. Akan tetapi pada kelompok II,
ternyata semua organ hati nya mengalami
perubahan/ kerusakan. Perubahan yang tampak
berupa warna pucat agak kekuningan,
pengbengkakan, dan terdapat nodul-nodul kecil
benjolan tumor pada permukaan organ hati.
Keadaan ini sesuai dengan hasil penelitian
pada ayam yang dilaporkan oleh CARNAGHAN
et al., 1996, dimana aflatoksikosis pada ayam
menyebabkan warna kuning pucat pada hati,
yang disebabkan oleh akumulasi lemak dengan
perdarahan yang multifocal serta terbentuknya
bintik-bintik
menyerupai
tumor
pada
permukaan hati. Untuk perlakuan dengan
aflatoksin dan sambiloto, kelompok III dan
IV, warna organ hati itik sedikit pucat dan pada
pengamatan minggu ke 6 mengalami perbaikan
dan tidak terlihat adanya pembengkakan
ataupun nodul.
Pengamatan mikroskopik (hasil analisis
histopatologi) lebih jelas menunjukkan adanya
kerusakan organ hati (Tabel 4). Ternyata
bahwa pemberian AFB1, 150 ppb yang
dihitung perbobot mulai minggu pertama
perlakuan dan semakin parah pada akhir
percobaan (minggu ke 6).

II (+ AFB1)

8,344 a)

III (+AFB1 + 0,04% sambiloto)

4,786 b)

IV (+AFB1 + 0,08% sambiloto)

4,242 b)

V (+ 0,08% sambiloto)

3,178 b)

Indeks huruf yang berbeda menyatakan ada beda


nyata pada taraf P < 0,05

Terlihat pada kelompok yang hanya diberi


sambiloto 0,08%, residu AFB1 turun cukup
banyak (penurunan yang nyata setiap minggu).
Pada kelompok V ini, dan juga kelompok
kontrol (I), AFB1 tidak diberikan, tetapi
terdeteksi adanya residu pada organ hati
itiknya. Hal ini disebabkan karena pakan yang
diberikan mengandung aflatoksin, yaitu kadar
AFB1 pakan starter rata-rata 81,8 ppb,
sedangkan pakan finisher mengandung AFB1
rata-rata 71,1 ppb. Keadaan ini dapat
dimengerti, karena sulit mendapatkan pakan
bebas aflatoksin di Indonesia.
Pada Gambar 1, terlihat penurunan kadar
aflatoksikol pada hati itik kelompok perlakuan
sambiloto 0,08% (IV dan V). Aflatoksikol (Ro)
merupakan salah satu metabolit dari aflatoksin.
GREGORY et al., 1983 dan RICHARD et al.,
1986
menyatakan
bahwa
aflatoksikol
terakumulasi dalam tubuh, tertinggi pada organ
hati, kemudian ginjal, kerongkongan dan feses.
Kadar rata-rata aflatoksikol pada akhir
perlakuan (minggu ke 6) tertinggi adalah pada
kelompok II yaitu 19,5 ppb, selanjutnya adalah

Tabel 3. Hasil pengamatan patologi anatomi organ hati itik perlakuan


Tingkat perubahan organ hati per kelompok

Minggu perlakuan
1
2
4
6

I
TKS
TKS
TKS
TKS

II
P (-)
P (+)
P (++)
P (++)

III
TKS
P (-)
P (-)
P (-)

IV
P (-)
P (-)
TKS
TKS

V
P (-)
TKS
TKS
TKS

TKS = tidak ada kelainan spesifik; P = pucat; P (-) = sedikit pucat; P (+) = membesar; P (++) = timbul nodul;
I = kelompok itik kontrol; II = + AFB1 150 ppb; III = + AFB1 + Sambiloto 0,04%; IV = + AFB1 + Sambiloto
0,08%; V = + Sambiloto 0,08%

763

Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2006

Tabel 4. Hasil analisis histopatologi organ hati itik perlakuan


Pengamatan minggu ke- setelah perlakuan/kelompok
Minggu ke-1
Minggu ke-6

Jenis kerusakan
I

II

III

IV

Peri portal

0,75

Diffuse
Bile duck proliferasi

0
1,5

II

1,2

2,25

0
3

0
3

0
3

2,25
1,5

0
1,5

3,6
3

IV

0
1,6

0
1,5

1
1
1
0,5
1
1
0
0

III

Degenerasi lemak

Infiltrasi sel-sel radang

1,25

1,5

Proliferasi sel Kupler


Pembendungan/perdarahan

0
1

1,25
1,25

1,25
1,5

1
1,25

0,75
0,75

1
2

1
2

2
2

1
1

Fibriosis

Megalocytosis

0,5

Degenerasi lemak terjadi pula pada itikitik kelompok III dan IV, namun pada
minggu ke 6 setelah perlakuan, pada akhir
percobaan, hasil pengamatan menunjukkan
perbaikan (Tabel 4). Dari hasil ini
menunjukkan bahwa sambiloto mempunyai
efek
pengobataan
atau
perlindungan
kerusakan hati akibat keracunan aflatoksin.
Penelitian yang dilakukan CHOUDHURY et
al., 1984, juga menunjukkan bahwa
penggunaan ektrak daun sambiloto dosis 500
mg/kg bobot tikus (0,05%) mampu
memberikan efek melindungi hati yang rusak
akibat pemberian CCl4. Perubahan organ hati
berupa perdarahan petihae sampai bentuk
echimose terjadi pada semua kelompok itik
perlakuan, namun pada akhir percobaan
organ hati kelompok itik dengan perlakuan
sambiloto dosis 0,08% (IV) mengalami
perbaikan dan tidak ada lagi perubahan yang
spesifik. Pada kelompok II, itik yang diberi
aflatoksin saja tanpa penambahan sambiloto,
pada akhir pengamatan mulai terlihat adanya
fibriosis dan megalocytosis pada organ
hatinya.

764

KESIMPULAN
Penggunaan hatinya, selain itu juga
penggunaan sambiloto mampu melindungi
organ hati itik dari kerusakan parah akibat
aflatoksin.
Dosis 0,08% sambiloto menyebabkan
penurunan residu AFB1 dan aflatoksikol
lebih besar dan lebih cepat memulihkan selsel hati yang rusak akibat aflatoksin
dibandingkan penggunaan sambiloto 0,04%.
Pada akhir percobaan, kadar residu AFB1
dan aflatoksikol pada hati itik kelompok
perlakuan AFB1 150 ppb dan sambiloto
0,08% (IV) yaitu rata-rata 3,96 dan 11,66 ppb,
sedangkan pada kelompok itik yang hanya
diberi aflatoksin (II) rata-rata 12,80 dan 19,51
ppb. Tidak ada lagi perubahan yang spesifik
pada organ hati itik pada akhir perlakuan
dengan penggunaan 0,08% sambiloto.
DAFTAR PUSTAKA
ABDELHAMID, A.M. and T.M. DORRA. 1990. Study
on effect of feeding laying hens on separate
mycotoxins (aflatoxins, patulin or citrinin)
contaminated diets on the egg quality and
tissue constituents. Arch. Anim. Nutr. 40(4):
305 316.

Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2006

BAHRI S. 1994. Tinjauan kegiatan penelitian


mikotoksin dan mikotoksikosis di Balai
Penelitian Veteriner. Kumpulan makalah
lengkap KONAS PMKI I dan Temu Ilmiah.
Bogor, 21 2 4 Juni 1994. PMKI Pusat.
hlm. 110 122.
BAHRI,S., R. MARYAM dan R. WIDIASTUTI. 2005.
Cemaran aflatoksin pada bahan pakan dan
pakan di beberapa daerah propinsi Lampung
dan Jawa Timur. JITV 10(3): 236 241.
BINTIVOK,A., S. THIENGNIN, K. DOI and S.
KUMAGAI. 2002. Residue of aflatoxins in
liver, muscle and eggs of domestic fowls. J.
Vet. Med. Sci. 64(11): 1037 1039.
BOMMAKANTI, A.S. and F. WALIYAR. 2006.
Importance of aflatoxins in human and
livestock health. Diakses dari http:/www.
aflatoxin.info/health.asp. (5 Maret 2006).
CAHYADI, A. 1996. Pengaruh Hambatan Ekstrak
Daun Sambiloto (Andrographis paniculata
Nees) Terhadap Pertumbuhan dan Produksi
Aflatoksin dari Aspergillus flavus. Skripsi
S1. Jurusan Kimia Fakultas Matematika dan
Ilmu Pengetahuan Alam,Institut Pertanian
Bogor.
CARNAGHAN, R.B.A., G. LEWIS, D.S.P. PATTERSON
and R. ALLCROFT. 1996. Biological and
pathological aspect of groundnut poisioning
in chicken. Pathological Vet. 3: 601 615.
CHOUDHURY, B.R., and M.K. PODDER. 1984.
Andrographis and kalmegh intestinal brushborder membrane- bound hydrolases
methods. Clin. Pharmacol. 12: 617 662.
DIMRI U., V.N. RAO and H.C. JOSHI. 1994. Effect
of chronic aflatoxin B1 feeding on serumcalcium, magnesium and iron profile in
chicken. Indian. J. Anim. Sci. 71 (9): 907
910.
DZULKARNAIN, B., D. SUNDARI dan A. CHOZIN.
1996. Tanaman obat brsifat anti bakteri di
Indonesia. Cermin Dunia Kedokteran 110:
35 43
GARY, D.O., T.L. CARSON, W.B. BUCK and G.A.V.
GELDER. 1976. Clinical and Diagnostic
Veterinary
Toxicology.
Kendall/Hunt
Publishing Company, Iowa.
GREGORY, J.F., S.L. GOLSTEIN, and G.T. EDDS.
1983. Metabolite distribution and rate of
residue clearance in turkeys fed a diet
containing aflatoxin. Food Chem. Toxicol
21: 637 642

JAY, J.M. 2000. Modern Food Microbiology 6 rd


ed. New York: Chapman and Hall.
KANIAPPAN, M., L.N. MATHURIN and R.
NATARAJAN. 1991. A study on the antipyretic
effect of Andrographis paniculata Nees.
Indian Vet. J. 68: 314 316.
KUMAR, S. and PRASAD G. 1992. Efficacy of
medical plant (Andrographis paniculata
Nees) extract on aflatoxin production and
growth of Aspergillus flavus. Lett Appl.
Microbiol. 15: 131 142.
MANI, K., K. SUNDARESAN and VISWANATHAN.
2001. Effect of immunomodulators on the
performance of broilers in aflatoxicosis.
Indian. J. Anim. Sci. 78(12): 1126 1129.
NORTON, T.R. 1975. Methabolism of toxic
substances. Toxicology The Basic Science
of Poison. Mc Millan Publishing Co., Inc.
New York.
PRABAHARAN S., V.T. GEORGE and G.A.
BALASUBRAMANIAM. 1999. Influence of
dietary aflatoxin and coccidiosis on growth
rate in broiler chicken. Indian. J. Anim. Sci.
76(9): 827 828.
RACHMAWATI S, P. ZAHARI, Z. ARIFIN. 1999.
Sambiloto (Andrographis paniculata Nees)
untuk mengurangi cemaran aflatoksin pada
pakan ayam komersial. JITV 4(1): 84 90.
RACHMAWATI, S.2005. Aflatoksin dalam pakan di
Indonesia:
Persyaratan
kadar
dan
pengembangan teknik deteksinya. Wartazoa
15(1):26 37.
RICHARD, J.L., R.D. STUBBLEFIELD, R.D. LYNN,
W.L. PEDEN, J.R. THURSON and R.B.
RIMLER. 1986. distribution clearance of
aflaytoxin B1 and M1 in turkey fed diets
containing 50 and 150 ppb aflatoxin from
naturally contaminated corn. Avian Dis. 30:
788 793.
SUGITA P, HASTIONO S, WIDIASTUTI R. 1999.
Skrining bioaktivitas tanaman sambiloto
(Andrographis paniculata Nees) dalam
menghambat pertumbuhan dan produksi
aflatoksin oleh kapang Aspergillus sp. J
Sains Teknol. Indones. 1(5): 114 123.
TRUCKSESS and STOLOFF. 1979. Extraction, clean
up and quantitative determination of
aflatoxin B1 and M1 in beef liver. J. Assoc.
Off Anal. Chem. 62: 1080 1082.

JASSAR, B.S. and BALWANT-SINGH. 1989.


Immunosupressive effect of aflatoxin in
broiler chicks. Indian. J. Anim. Sci. 59(1):
61 62.

765

You might also like