You are on page 1of 10

See discussions, stats, and author profiles for this publication at: https://www.researchgate.

net/publication/311650618

Development of Indirect Dipstick ELISA for Aflatoxin B1 in feed and corn

Article · January 2013

CITATIONS READS

0 470

3 authors, including:

Hasim Munawar
Indonesian Agency for Agricultural Research and Development
16 PUBLICATIONS   0 CITATIONS   

SEE PROFILE

Some of the authors of this publication are also working on these related projects:

Statue of Zn and Fe in cattle serum at Sukabumi, Bogor, Garut, and Cianjur, Indonesia View project

Development of Molecularly Imprinted Polymer nanoparticles for several toxins in animal feed and products View project

All content following this page was uploaded by Hasim Munawar on 07 June 2017.

The user has requested enhancement of the downloaded file.


Pengembangan Indirect Dipstick ELISA untuk Deteksi Aflatoksin B1 pada
Pakan dan Jagung
Sri Rachmawati, Prima Mei W idiyanti, Hasim Munawar
Balai Besar Penelitian Veteriner
Jl.. R E Martadinata 30, Bogor
Email: srizai@hotmail.com
Diterima Maret 2013 disetujui untuk diterbitkan Mei 2013

Abstract
Enzyme Linked Immunosorbent Assay (ELISA) is an immunological method can be
used to analyze aflatoxin B1 (AFB1) in feed. ELISA technique must be done by using an
instument (ELISA reader) which is not effective when used in the field. Therefore, the simple
ELISA technique is needed such as indirect dipstick ELISA (d-ELISA). The aim of research is
to develop AFB1 screening method using d-ELISA. The research is focusing on
development and validation of indirect d-ELISA, and its application on sa mple of feed and
corn. The results showed that the best coating time for antigen AFB1 -BSA (0,4 ug/ml) is 24
hours, reaction time for antibody anti AFB1 (1/800) and AFB1 standard is 15 minutes, and
reaction time for goat anti rabbit-HRPO conjugate 1/2500 and substrate of orthodiasianin
(ODN) is 20 minutes. The results of indirect d-ELISA on 22 samples are found that 7 sa mples
are contaminated by AFB1 with concentration above 20 ng/g and 7 samples are contaminated
by AFB1 with concentration in the range of 0 – 20 ng/g. Finally, it is concluded that the indirect
d-ELISA is applicable to be used in the fields.

Key words: feed, aflatoxin B1 (AFB1), indirect d-ELISA

Abstrak
Enzyme Linked Immunosorbent Assay (ELISA) adalah metode i mmunologi yang dapat
digunakan untuk menganalisis aflatoxin B1 (AFB1) pada pakan. Teknik ELISA harus
dilakukan dengan menggunakan instrumen (ELISA reader) yang tidak efektif pada saat
digunakan di lapangan. Oleh karena itu, suatu teknik ELISA sederhana diperlukan seperti
indirect dipstick ELISA (d-ELISA). Penelitian ini terfokus pada pengembangan dan validasi
indirect d-ELISA, dan aplikasinya pada sampel pakan dan jagung. Hasil penelitian ini
menunjukkan bahwa waktu coating terbaik untuk antigen AFB1 -BSA (0,4 ug/ml) adalah 24
jam, waktu reaksi untuk antibody anti AFB1 (1/800) dan AFB1 standar adalah15 menit, dan
reaksi waktu untuk goat anti rabbit-HRPO conjugate 1/2500 dan substrat orthodiasianin
(ODN) adalah 20 menit. Hasil analisis indirect d-ELISA pada 22 sampel menunjukkan bahwa
7 sampel terkontaminsai AFB1 dengan konsentrasi di atas 20 ng/g dan 7 sa mpel lainnya
terkontaminsai oleh AFB1 dengan konsentrasi antara 0 – 20 ng/g. Akhirnya, dapat
disimpulkan bahwa indirect d-ELISA dapat diaplikasikan di lapangan.
Kata kunci: pakan, aflatoksin B1 (AFB1), indirect d-ELISA

Pendahuluan mendeteksi antibodi atau antigen dalam


suatu sampel. Pemanfaatan ELISA secara
Enzyme Linked Immunosorbent
luas dapat digunakan untuk mendeteksi
Assay (ELISA) adalah metode immunologi
senyawa toksik dalam makanan (Asensio
yang melibatkan suatu enzim untuk et al.,2008). Metode ini dapat digunakan
74 Biosfera 30 (2) Mei 2013

juga untuk berbagai matrik sampel maupun status kesehatan ayam yang
(jagung, pakan, kacang, hati dan telur) ditetaskan.Percobaan mengenai efek
dengan ELISA format indirect dan direct berbagai dosis AFB1 (15,6 - 250 ng)
microplate-ELISA (p-ELISA) untuk terhadap embrio (telur bertunas) ayam
mendeteksi Aflatoksin B1 (AFB1) menunjukkan adanya gangguan
(Rachmawati, 2005; Rachmawati, 2006). perkembangan, kematian dan daya
ELISA mempunyai kelebihan dibandingkan tetasnya terutama pada dosis 250 ng
dengan alat sebelumnya yaitu (Bahri et al., 2005). Sedangkan residu
kromatografi cair kinerja tinggi (KCKT) AFB1 dan senyawa turunannnya seperti
yaitu lebih spesifik, murah, mudah, dan Aflatoksikol dan Aflatoksin M1, juga
sensitif. Aflatoksin adalah senyawa dite mukan pada jaringan tubuh (daging)
metabolit sekunder yang dihasilkan dari dan hati dari ayam yang berhasil menetas
kapang ,terutama oleh Aspergillus flavus, (Widiastuti et al., 2003). Selain pada
yang diketahui dapat membahayakan hewan, AFB1 sangat berbahaya juga bagi
kesehatan hewan dan manusia. Diantara manusia. International Agency for
jenis-jenis aflatoksin yang paling banyak Research on Cancer (IARC)
mendominasi di alam adalah Aflatoksin B1 mengklasifikasikan aflatoksin sebagai
(AFB1) dan merupakan jenis aflatoksin salah satu penyebab kanker pada manusia
yang paling berbahaya. AFB1 diketahui sehingga AFB1 diklasifikasikan dalam grup
sering kali mencemari berbagai komoditas 1 (bahan yang bersifat karsinogenik
pertanian seperti kelompok serealia dan terhadap manusia) (IARC, 1993). AFB1
bahan pakan ternak terutama di daerah dapat menyebabkan kanker hati yang akut
tropis dan sub-tropis yang mendukung dan secara epidemiologi melalui
pertumbuhan kapang dan produksi biomarker, pengaruh AFB1 dengan kanker
senyawa tersebut (Eraslan et al., 2005). hati menunjukkan korelasi positif (Probst et
AFB1 juga dapat menimbulkan al., 2007; Groopman et al., 2005).
kerugian ekonomi karena terjadi Pencemaran pakan oleh aflatoksin
penurunan kualitas dan kuantitas produk banyak juga dilaporkan di Indonesia.
peternakan.Kerugian ekonomi yang Status cemaran AFB1 di Propinsi Lampung
disebabkan oleh cemaran mikotoksin dan Jawa Ti mur menunjukkan tingkat
teruta ma aflatoksin di Asia mencapai 400 kejadian 100% untuk pakan komersial dan
juta dolar per tahun (Zanelli, 2000). jagung asal Jawa Ti mur. Selain itu, tingkat
Berbeda dengan di Amerika, kerugian kejadian 86,7% dan 70% untuk jagung dan
akbibat senyawa ini dapat ditaksir dari pakan komersial asal Lampung (Bahri et
laporan tahunan kehilangan sekitar 932 al.2005). Sedangkan, hasil pengujian
juta dollar dan 446 juta dolar untuk mikotoksin pada jagung lokal (Jawa,
penanggulangan dari aflatoksin (Cast, Sumatera Utara, Lampung dan Sulawesi
2003). AFB1 dilaporkan dapat Selatan) maupun impor (USA dan
menyebabkan efek toksisitas pada hewan Argentina) asal berbagai pabrik pakan di
ternak (Mani et al., 2001). Efek kronis dari Indonesia yang diuji secara ELISA
keracunan AFB1 dapat meyebabkan menunjukkan bahwa AFB1 terdeteksi pada
penurunan bobot badan ternak ayam kisaran konsentrasi 19,1 - 87,4ng/g
pedaging secara nyata terjadi pada (Tangendjaja et al., 2008). Sehingga,
pemberian pakan yang mengandung AFB1 keadaan diatas bertentangan dengan SNI
200 ng/g selama 8 minggu. Selain itu, tentang batas kadar aflatoksin yang
AFB1 menyebabkan gangguan kesehatan dipersyaratkan yaitu 20 ng/g untuk
ternak seperti pertumbuhan terhambat dan pangan dan 50 ng/g untuk pakan (Dewan
kematian, sehingga produksi ternak Standardisasi Nasional, 2000).
menurun (Muthiah et al., 1998). Penelitian ini dilakukan untuk
Keberadaan aflatoksin dalam telur tetas menge mbangkan metode skrining AFB1
juga berpengaruh terhadap daya tetas menggunakan indirect dipstick ELISA (d-
Sri Rachmawati dkk., Pengembangan Indirect Dipstick ELISA. : 73-81 75

ELISA) yang menggunakan prinsip relatif Stick dicelupkan pada 400 µl larutan
sama dengan p-ELISA. Namun, p-ELISA AFB1-BSA 0,4 µg/ml dan diinkubasi
memerlukan alat ELISA reader sebagai semalam. Kemudian, stick dicuci
alat ukurnya sehingga membutuhkan menggunakan air keran, dibloking dengan
tenaga teknis yang handal untuk susu skim 2,5% dalam PBS, dan
pengoperasiannya dan juga tidak efektif diinkubasi selama 2 jam. Selanjutnya, stick
digunakan di lapang sedangkan d-ELISA dicuci, dicelupkan pada campuran antibodi
sebaliknya tidak perlu alat ukut dan tidak anti AFB1 (1/800) dan standar AFB1 (0, 20
perlu teknisi yang handal. Oleh karena itu, dan 50 ng/g) atau spike ekstrak sampel (0,
d-ELISA mempunyai keuntungan yaitu kontrol negatif dan 20 ng/g serta 50 ng/g,
biaya analisis relatif murah, mudah positif AFB1) atau ekstrak sampel,
dilakukan dan dapat diaplikasikan di selanjutnya diinkubasi 10-60 menit.
lapang (Zheng et al., 2006). Setelah itu, stick dicuci, ditambah konjugat
goat anti rabbit-HRPO (1/2500) dan
Materi dan Metode diinkubasi 10-30 menit. Kemudian, stik
dicuci, dicelupkan kembali kedalam larutan
Bahan dan Alat substrat ODN selama 10-30 menit, dan
Bahan yang digunakan adalah dia mati warna yang menempel pada stick.
antibodi anti AFB1 (Produksi Balai Besar Makin tinggi analit AFB1 yang terkandung
Penelitian Veteriner (Bbalitvet)) pada sampel, warna yang terbentuk
(Rachmawati et al.,2004), Antigen AFB1- semakin pudar atau warna hilang,
BSA SIGMA, dan konjugat goat anti rabbit- sedangkan warna kuning kecoklatan pada
HRPO SIGMA, TMB dan ODN. stick kontrol negatif paling jelas terlihat.
Pengambilan sampel dilakukan dengan Lamanya waktu pencelupan pada setiap
metode purposive sa mpling dengan jumlah tahap dipelajari dan yang memberikan
yang disesuikan dengan jumlah respon cepat dan sensitif dipilih. Evaluasi
maksimum adalah 22 sampel yang warna yang terbentuk/terlihat menempel
disesuaikan menurut Isaac dan Micahel pada stick, dilakukan dengan memberikan
(Isaac and Michael, 1995). tanda (si mbol) sbb:
* = terlihat warna kuning kecoklatan sedikit
Sensitifitas antibodi anti AFB1 tes, indirect menempel pada stick.
p- ELISA **= terlihat warna kuning kecoklatan lebih
banyak menempel pada stick
Metode analisis dengan p-ELISA
Tidak ada bintang (-) = tidak terbentuk
dilakukan dengan coating 100 µl (10
warna
µg/ml) antigen AFB1 -BSA dalam
microplate, diinkubasi semalam, dicuci
Validasi metode
dengan akuades, dibloking dengan 200 µl
skim milk (2,5%) selama 2 jam, dicuci Validasi metoda dilakukan dengan
dengan akuades, ditambahkan 100 µl membuat spiked sample dengan
antibodi anti AFB1 yang di tes, selanjutnya menambahkan standar AFB1 konsentrasi
diinkubasi selama 1 jam, plate di cuci 50 ng/g pada matrik sampel jagung dan
kembali dan ditambahkan konjugat goat pakan dan menggunakan prosedur seperti
anti rabbit-HRPO (1/2500) selama 1 jam, pada bagian pengembangan metode.
dicuci dengan akuades, direaksikan
dengan 100 µl substrat tetrametilbenzidin Analisis sampel dengan indirect d-ELISA
(TMB) selama 30 menit, ditambah 50 µl Sampel ditimbang 5 g jagung atau
H2SO4 2,5 M, diukur optical density (OD)
pakan, dimasukkan dalam tabung
dengan ELISA reader.
sentrifugasi, ditambahkan 25 ml metanol
60%, dikocok, disentrifus, diambil lapisan
Optimasi waktu uji indirect d-ELISA atas untuk dianalisis dengan d-ELISA
76 Biosfera 30 (2) Mei 2013

(sesuai prosedur pada bagian optimasi d- anti rabbit-HRPO (1:2) selama 1 jam,
ELISA). dicuci dengan akuades, direaksikan
dengan 100 µl substrat TMB selama 30
Analisis sampel dengan direct p-ELISA menit, dita mbah 50 µl H2 SO4 2,5 M, diukur
nilai OD dengan ELISA reader, dan
Metode analisis dengan p-ELISA
dihitung persen inhibisinya dengan rumus .
dilakukan dengan coating 100 µl antibody-
Kadar AFB1 dihitung dengan
anti AFB1 dalam microplate, diinkubasi
membandingkan % inhibisi sampel dan %
semalam, dicuci dengan akuades,
inhibisi seri standar AFB1 pada linier
dibloking dengan 200 µl skim milk selama
kalibrasi (Rachmawati et al., 2012).
2 jam, dicuci dengan akuades, direaksikan
75 µl campuran sampel dan konjugat goat
Astandar - Ablanko standar
% Inhibisi Standar = 1- x 100
A kontrol - A blanko standar

Asampel - A blanko standar


% Inhibisi Sampel = 1- x 100
Akontrol - A blanko standar

Hasil dan pembahasan Gambar 1, bahwa antibodi-anti AFB1


(terutama kode 2 dan 3) masih dapat
Sensitifitas antibodi anti AFB1 tes, indirect digunakan untuk pengembangan d-
p- ELISA ELISA. Nilai OD antibodi masih cukup
Penelitian pengembangan d-ELISA tinggi yaitu berkisar 0,9 - 1,2 untuk
diawali dengan pengujian sensitifitas penggunaan pada pengenceran 800-1600
antibodi yang dilakukan secara indirect p- kali.
ELISA. Hasil pengujian ditunjukan pada

1,3
1,2
optical density

1,1
1
1
0,9
0,8 2
0,7 3
0,6
800x 1600x 3200x 6400x
pengenceran antibodi

Gambar 1. Respon aktifitas antibodi-anti AFB1(nilai OD) pada berbagai pengenceran


Figure 1. Antibody anti AFB1 activity response (OD value) on variety of dilution factor

Optimasi waktu uji indirect d-ELISA pencelupan dalam konjugat goat anti
rabbit-HRPO 1/2500 dan substrat masing-
Waktu kondisi opti mum dari metode
masing 10 menit, sehingga total total
d-ELISA diketahui yaitu waktu coating
waktu uji yang diperlukan adalah 35 menit.
antigen AFB1-BSA (0,4 µg/ml) adalah 24
Data selengkapnya dapat dilihat pada
jam, waktu pencelupan dalam antibodi anti
Tabel 1.
AFB1(1/800) (AB) dan standar AFB1 20
dan 50 ng/g adalah 15 menit, waktu
Sri Rachmawati dkk., Pengembangan Indirect Dipstick ELISA. : 73-81 77

Tabel 1. Waktu optimum reaksi antibodi,, standar AFB1 dan konjugat pada pengembangan
uji d-ELISA
Table 1.Optimation time of reaction between antibody, AFB1 standard and conjugate on
development of d-ELISA
Waktu Waktu Pengamatan warna
+ substrat
inkubasi inkubasi Positif AFB1
(terbentuk
(menit) (menit)
Negatif AFB1 warna pada
AB + std Konjugat 20 ng/g 50 ng/g
menit ke-
AFB1 (1/2500)
60 30 ** * (-) 5
30 15 ** * (-) 5
15 10 ** * (-) 10

Keterangan: AB= Antibodi anti AFB1, **= stick berwarna kuning kecoklatan; *= warna
memudar; (-) = tidak berwarna

Selain waktu opti mum, hasil semakin memudar pada stick sebagai kontrol
penga matan visual menunjukkan positif yang menunjukkan naiknya
terbentuknya warna kuning kecoklatan pada konsentrasi AFB1. Visualisasi pembentukan
stick sebagai kontrol negatif yang warna pada stick dapat dilihat pada Gambar
menunjukkan tidak adanya AFB1, dan warna 1.

(a) (b) (c)


Gambar 2. d-ELISA kondisi optimum (a) Kontrol negatif (tidak ada AFB1), stik berwarna
kecoklatan (**), (b) AB + 20 ng/g AFB1, stik berwarna sedikit coklat (*), dan (c) AB +
50 ng/g AFB1, stik tidak berwarna (-)
Figure 2. Opti mum condition of d-ELISA. a) Negative control, stick was colored (**), (b) AB +
20 ng/g AFB1, stick was less colored (*), dan (c) AB + 50 ng/g AFB1, stick was not
colored (-)
Validasi Metode spiked tersebut dianalisis secara d-ELISA
pada kondisi optimum. Hasil validasi
Validasi uji d-ELISA dilakukan dalam
menunjukkan bahwa dari sampel spiked
matrik sampel jagung dan pakan yang
matriks jagung, hanya satu dari tiga
tidak mengandung aflatoksin. Sampel-
ulangan yang memberikan sedikit warna
sampel tersebut diekstrak dalam metanol
kecoklatan. Sedangkan pada sampel
60%, kemudian ditambahkan (spiked)
spiked matrik pakan, semua perlakuan
standar AFB1 50 ng/g, selanjutnya sampel
78 Biosfera 30 (2) Mei 2013

menunjukkan tidak berwarna. Berdasarkan kembali) pada analisa kuantitatif, maka


hasil tersebut, d-ELISA dapat mengukur metode d- ELISA mempunyai validasi
konsentrasi AFB1 50 ng/g dalam jagung yang cukup baik, recovery sebesar
dan pakan sehingga hal ini sangat sesuai 83,3%, karena 5 dari 6 perlakuan
dengan yang diharapkan. Jika uji ini menunjukkan kesesuaian. Data
dianggap seperti uji recovery (perolehan selengkapnya dapat dilihat pada Tabel 2.

Tabel 2. Hasil uji validasi d-ELISA pada matrik sampel jagung dan pakan
Table 2. Method validation of d-ELISA on corn and feed samples
Uraian sampel Hasil pengamatan warna pada dipstick (ulangan)
ke-
1 2 3
Kontrol negatif ** ** **
Spike (Jagung + 50ng/g * (-) (-)
AFB1)
Spike (Pakan + 50 ng/g (-) (-) (-)
AFB1)
Keterangan:** = berwarna kuning kecoklatan, * = warna memudar (sedikit terlihat warna),
(-) = tidak terlihat warna

Tes d-ELISA sudah dikembangkan hasilnya akan dibandingkan dengan hasil


untuk pengujian penyakit toksoplasma pengukuran dengan p-ELISA.
pada hewan ternak, dimana sampel yang Pada sampel jagung dan pakan,
dianalisis adalah serum (Subekti, 2007). hasil uji d-ELISA diperoleh 7 sampel yaitu
Rapid test tidak hanya menggunakan stick J2, J6, J7, J10, P1, P5, dan P8,
polystyrene, tetapi juga menggunakan mempunyai kandungan AFB1 diatas 20
membrane nitrocellulose sebagai media, ng/g yang ditandai dengan tidak terbentuk
seperti pada deteksi cepat analisis AFB1 warna pada stick (-). Sampel jagung J4,
pakan babi dengan melihat perbedaan J8, dan J9 dan sa mpel pakan P6, P7, P11
intensitas warna. Kontrol negatif akan dan P12 terbentuk sedikit warna pada
memberikan warna merah muda stick (*) yang menunjukkan sampel
sedangkan kontrol positif akan tersebut mempunyai kandungan AFB1
memberikan warna yang memudar berada disekitar 0-20 ng/g. Sampel jagung
berdasarkan tingkat konsentrasi AFB1 dan pakan lainnya menunjukkan
(Demulle et al., 2005). Secara prinsip, kandungan AFB1 sangat rendah yang
pendekatan pembentukan warna pada ditunjukan dengan pembentukan warna
penelitiannya cenderung memiliki pekat pada stick (**). Hasil uji d-ELISA
kesamaan dengan penelitian yang pada sampel jagung dan pakan,
dilaporkan pada makalah ini. menunjukkan bahwa semua sampel yang
dianalsis mempunyai hasil yang sama jika
Hasil analisis sampel jagung dan pakan diukur dengan p-ELISA. Kesesuaian ini
secara d-ELISAdan p-ELISA ditunjukkan dengan adanya kesamaan
dengan ketentuan pengukuran dari d-
Selanjutnya, metoda d-ELISA diuji
ELISA yaitu jika konsentrasi diatas 20 ng/g
cobakan untuk menganalisis 22 sampel
maka tidak akan memberikan warna, tetapi
dengan rincian 10 sampel jagung dari
jika dibawah 20 ng/g maka akan
mulai kode sampel J1- J10 dan 12 sampel
memberikan warna pada stick dengan
pakan dari mulai kode sampel P1-P12 dan
intensitas warna yang berbeda tergantung
Sri Rachmawati dkk., Pengembangan Indirect Dipstick ELISA. : 73-81 79

dari konsentrasi AFB1. Data selengkapnya dapat dilihat pada Tabel 4.

Tabel 4. Kandungan AFB1 (ng/g) sampel jagung dan pakan dengan metode d-ELISA dan p-
ELISA
Table 4. AFB1 concentration of corn and feed samples (ng/g) analyzed by d-ELISA and p-
ELISA
Kode d-ELISA p-ELISA Kode d-ELISA p-ELISA
sampel sampel
J1 ** Tt P2 ** Tt
J2 (-) 34,1 P3 ** Tt
J3 ** Tt P4 ** Tt
J4 * 10,9 P5 (-) 26,5
J5 ** Tt P6 * 11,5
J6 (-) 26 P7 * 0,7
J7 (-) 47,2 P8 (-) 37,1
J8 * 10 P9 ** Tt
J9 * 1,9 P10 ** Tt
J10 (-) 46,8 P11 * 6,3
P1 (-) 45 P12 * 10,8
Keterangan: J = sampel jagung, P = sampel pakan, tt= tidak terdeteksi (kadar lebih kecil
dari 0,,3ng/g) pada pengujian dengan p-ELISA, ** = stick berwarna kuning kecoklatan (kadar
AFB1 tidak terdeteksi), *= stick sedikit berwarna (tt > kadar AFB1 <20 ng/g), (-)=
stick tidak berwarna (kadar AFB1> 20ng/g)

Hasil analisis AFB1 dengan uji d- belum mempresentasikan kehandalan dari


ELISA diatas menunjukkan bahwa metode metode ini.
ini dapat diaplikasikan untuk analisis
sampel lapangan, sehingga
Ucapan terima kasih
mempermudah pengguna seperti Ucapan terima kasih perlu
peternak, petani, dan petugas karantina disampaikan kepada Kemenristek yang
untuk monitoring kualitas produknya dari telah mendanai penelitian ini serta Dr.
residu AFB1 secara langsung. Andria Agusta yang telah memberikan
saran dan kritik dalam perbaikan karya
Simpulan ilmiah ini.
Waktu kondisi optimal uji indirectd- Daftar Pustaka
ELISA diperoleh, yaitu coating antigen Asensio, L., Isabel G., Teresa G., Rosario
AFB1-BSA (0,4 µg/ml semalam, M.2008. Determination of food
pencelupan dalam antibodi anti authenticity by enzyme-
AFB1(1/800) yang ditambahkan standar linkedi mmunosorbent assay
AFB1 selama 15 menit, pencelupan dalam (ELISA).Food Control 19: 1–8.
konjugat goat anti rabbit-HRPO (1/2500)
Bahri, S., R. Maryam dan R. Widiastuti.
10 menit dan substrat 10 menit.
2005. Cemaran aflatoksin pada
Indirect d-ELISA dapat digunakan pakan dan bahan pakan dari
untuk menganalisis 22 sampel (pakan dan Propinsi Lampung dan Jawa Timur.
jagung). Namun, aplikasi metode ini perlu J Ilmu Ternak dan Veteriner. 10(3):
terus dikembangkan dan direvisi 236-241.
mengingat jumlah sampel yang dianalisis
80 Biosfera 30 (2) Mei 2013

Bahri, S., R. Widiastuti dan Y. Demulle, B.S., S. M.D.G. De Saeger., L.


Mustikaningsih. 2005. Efek Sibanda., I. B. Vetro., and C.H. Van
aflatoksin B1 (AFB1) pada embrio Peteghem. 2005. Development of
ayam. J Ilmu Ternak dan an immunoasssay-based lateral
Veteriner.10(2): 160-168 flow dipstick for the rapid detectin
of aflatoxin B1 in pig feed. Faculty
Cast.2003. Council of Agricultural Science
of Pharmacetical Sciences, Ghent
and Technology.Mycotoxins: Risk
University, Belgium. p. 1-4.
in plant, ani mal and human
systems. CAST,Ames,IA.p.139
Dewan Standardisasi Nasional. 2000. of direct fed microbials (DFM) on
Standar Nasional Indonesia (SNI), egg production in egg type
persyaratan kadar aflatoksin pada breeders. Indian.Vet. J. 75 (3): 231-
pangan dan pakan. 233.
Eraslan,G.khan, D. Epsuz, M. Akdouan, Probst, C., H. Njapau and P.J. Cotty.
F.Pahundokuyucu, 2007. Outbreak of an acute
andL.Altintap.2005. The Effects of aflatoxicosis in Kenya in 2004:
Aflatoxin and Sodium Bentonite Identification of the causal agent.
Combined andAlone on Some App. Environ. Mcrobiol. 73(8): 2762-
Blood Electrolyte Levels in Broiler 2764.
Chickens. Turk J Vet Anim Sci.
Rachmawati, S. 2005. Aflatoksin dalam
29:601-605
pakan ternak di Indonesia:
Groopman, J.D., and T.W. Kensler. 2005. Persyaratan kadar dan
Role of metabolism and viruses in penegembangan teknik deteksinya.
aflatoxin-induced liver cance. Wartazoa 15: 26-37.
Toxicol.and Applied Pharmacol. 206:
Rachmawati, S. 2006. Pengembangan
131-137.
metode analisis aflatoksin B1 dalam
IARC. 1993. IARC Monographs on the hati ayam secara Enzyime Linked
evaluation of carcinogenic risks to Immunosorbent Assay (ELISA).
human. Vol. 56. Some naturally Pros. Seminar Nasional Peternakan
occurring substances: food items dan Vetriner 2006. Pusat Penelitian
and constituents, heterocyclic dan Pengembangan Peternakan.
aromatic amines and mycotoxins. Badan penelitian dan
International Agency for Research Pengembangan Pertanian.
on Cancer, Lione. hal 245-395. Departemen Pertanian. Bogor 5-6
September 2006. p. 783-789.
Isaac, S. and Michael, W.B. 1995.
Handbook in Research and Rachmawati, S., A. Lee, T.B. Murdiati dan
rd
Evaluation 3 Edition. SanDiego I. Kennedy.2004. Pengembangan
CA: EdITS Enzyme Linked Immunosorbent
Assay (ELISA) Teknik untuk Analisis
Mani, K., K. Sundaresan and K.
Aflatoksin B1pada Pakan
Viswanathan. 2001. Effect of
Ternak.Prosiding Seminar
immunomodulators on the
Parasitologi dan Toksikologi
performance of petelurs in
Veteriner, 2004.134-148
aflatoxicosis. Indian. Vet. J. 78 (12):
1126-1129. Rachmawati,S. dan H. Munawar. 2012.
Validation of Analysis of Aflatoxin
Muthiah, J., P. Reddy and N.D.J.
B1 in Corn using Enzyme
Chandran. 1998. Effect of graded
Linked Immunosorbent Assay.
levels of aflatoksin B1 and the effect
Proceeding of National Seminar
Sri Rachmawati dkk., Pengembangan Indirect Dipstick ELISA. : 73-81 81

for Standardization. 2012 p 97 - aflatoksin B1 pada telur berembrio


108 dan residunya pada ayam yang
menetas. Prosiding Seminar
Subekti,, D.T. 2007. Laporan akhir
Nasional. Teknologi Peternakan dan
penelitian. Balai Besar Penelitian
Veteriner. Bogor 29-30 September
Veteriner. p. 8-13.
2002, hal. 462-465.
Tangendja ja,B; s . Rachmawati and E.
Zanelli. 2000. Mould, bacteria and solution.
WINA. 2008. Mycotoxin
Feed Industry Service (FIS). Italy:2.
contamination on corn used by feed
mills in Indonesia. Indon. J. Agric. Zheng, M.Z., J.L. Richard dan J. Binder.
Sci.9(2): p.68-76 2006. A review of rapid methods for
the analysis of mycotoxins. J.
Widiastuti, R., Darminto,S. Bahri dan R.
Mycophatologia 161: 261-273
Firmansyah. 2003. Inokulasi

View publication stats

You might also like