You are on page 1of 12

HUBUNGAN KECUKUPAN KONSUMSI GIZI DAN

AKTIVITAS FISIK DENGAN STATUS GIZI ANAK AUTIS


DI SLB NEGERI PELAMBUAN BANJARMASIN

Ayu Wulan Puspitawati 1, Atikah Rahayu2, Abdul Basit3


Program Studi Kesehatan Masyarakat Fakultas Kedokteran Universitas Lambung
Mangkurat Banjarbaru
2
Bagian Gizi Program Studi Kesehatan Masyarakat Fakultas Kedokteran
Universitas Lambung Mangkurat Banjarbaru
3
Bagian Gizi Dinas Kesehatan Provinsi Kalimantan Selatan

Abstract: Autism is some syndromes caused by nerve damage is known from


indications of the developmental disorders. Sufficient levels of nutrition will affect the
nutritional status of autism children. Spending time in heavy activity of autism children
is lower than normal children so they tends to perform sedentary activities. Purpose this
study to determine the relation of nutritional adequacy consumption and physical activity
with nutritional status of autism children in SLB Negeri Pelambuan Banjarmasin. This study
used observational analytic design with cross sectional approach. The study population are all
children with autism in SLB Negeri Pelambuan Banjarmasin with sample are 23 autism
children with inclusion criteria. Instrument of research is measuring height and weight, 3x24
hour food recall and physical activity questionnaires. Results of this study showed the
majority of respondents had good nutritional status (60,9%), bad energy adequacy
consumption (65,2%), good carbohydrat adequacy consumption (56.5%), good protein
adequacy consumption (60,9%), bad fat adequacy consumption (60,9 %) and high physical
activity (52,2%). Based on fisher exact test is known that there is a significant correlation
between energy adequacy consumption (p-value = 0,023), fat (p-value = 0,003) and physical
activity (p-value = 0.036) with nutritional status, but there is no significant relationship
between carbohydrate adequacy consumption (p-value = 0,068) and protein (p-value = 0.162)
with nutritional status. There is a correlation between energy adequacy consumption, fat and
physical activity with nutritional status, but there is no relationship between carbohydrate
adequacy consumption and protein with nutritional status.
Keywords: autism, nutritional adequacy consumption, physical activity, nutritional status

Abstrak: Autis merupakan kumpulan sindrom akibat kerusakan syaraf yang


diketahui dari gejala yang ditunjukkan dengan adanya penyimpangan perkembangan.
Tingkat kecukupan gizi akan berpengaruh terhadap status gizi anak autis. Waktu yang
dihabiskan melakukan aktivitas berat pada anak autis lebih rendah dibandingkan anak
baik, sehingga cenderung melakukan aktivitas menetap. Penelitian ini bertujuan
mengetahui hubungan kecukupan konsumsi gizi dan aktivitas fisik dengan status gizi anak
autis di SLB Negeri Pelambuan Banjarmasin. Penelitian ini menggunakan rancangan
observasional analitik dengan pendekatan cross sectional. Populasi penelitian adalah semua
anak autis di SLB Negeri Pelambuan Banjarmasin dengan jumlah sampel 23 anak autis
dengan kriteria inklusi. Data penelitian didapatkan dengan pengukuran tinggi badan dan berat

badan, food recall 3x24 jam dan kuesioner aktivitas fisik. Hasil penelitian menunjukkan
sebagian besar responden mempunyai status gizi baik (60,9%), kecukupan konsumsi energi
tidak baik (65,2%), kecukupan konsumsi karbohidrat baik (56,5%), kecukupan konsumsi
protein baik (60,9%), kecukupan konsumsi lemak tidak baik (60,9%) dan aktivitas fisik
tinggi (52,2%). Berdasarkan uji fisher exact terdapat hubungan yang bermakna antara
kecukupan konsumsi energi (p-value = 0,023), lemak (p-value = 0,003) dan aktivitas fisik (pvalue = 0,036) dengan status gizi, tetapi tidak terdapat hubungan yang bermakna antara
kecukupan konsumsi karbohidrat (p-value = 0,068) dan protein (p-value = 0,162) dengan
status gizi. Ada hubungan kecukupan konsumsi energi, lemak dan aktivitas fisik dengan
status gizi, tetapi tidak ada hubungan kecukupan konsumsi karbohidrat dan protein dengan
status gizi.
Kata-kata kunci: autis, kecukupan konsumsi gizi, aktivitas fisik, status gizi.

PENDAHULUAN
Anak merupakan individu yang
berada pada satu rentang perubahan
perkembangan yang dimulai dari bayi
hingga remaja. Proses perkembangan
anak memiliki ciri fisik, kognitif,
konsep diri dan perilaku sosial. Pada
beberapa kondisi terdapat anak-anak
yang
mengalami
masalah
perkembangan, salah satu kelainan
yang diderita anak yang menjadi
sorotan saat ini adalah autis (1).
Autis
merupakan
suatu
gangguan neurologis berat yang dapat
mempengaruhi cara seseorang untuk
berkomunikasi atau berhubungan
dengan orang lain disekitarnya secara
wajar. Gejala autis mulai tampak pada
anak usia 18-36 bulan. Autis bisa
terjadi pada siapapun, tanpa ada
perbedaan status sosial ekonomi,
pendidikan, golongan etnis, maupun
bangsa (1,2).
Berdasarkan laporan United
Nations Educational Scientific and
Cultural Organization (UNESCO)
pada tahun 2011, terdapat 35 juta
orang penyandang autis di seluruh
dunia, dengan rata-rata 6 dari 1000
orang. Di Amerika Serikat, autis
dimiliki oleh 11 dari 1000 orang.
Sedangkan
di
Indonesia,
perbandingannya berjumlah 8 dari
setiap 1000 orang. Angka ini
menunjukkan bahwa penderita autis di
Indonesia lebih besar jumlahnya jika
dibandingkan dengan penderita autis
pada penduduk dunia umumnya (3).
Tingkat kecukupan gizi akan
mempengaruhi status gizi seseorang.
Kurangnya kecukupan energi dalam
tubuh
akan
mempengaruhi
kelangsungan proses-proses di dalam
tubuh, sehingga dengan kurangnya

energi
dalam
tubuh
akan
mempengaruhi aktivitas anak, semakin
tinggi aktivitas anak maka akan
semakin besar energi yang dibutuhkan
oleh tubuh. Energi dalam tubuh dapat
timbul karena adanya pembakaran
karbohidrat, protein dan lemak, karena
itu agar energi tercukupi perlu
pemasukan makanan yang cukup
dengan mengonsumsi makanan yang
cukup dan seimbang (4,5).
Pola konsumsi dan aktivitas fisik
merupakan salah satu faktor yang
memberikan kontribusi terhadap status
gizi pada anak autis. Waktu yang
dihabiskan dalam melakukan aktivitas
berat pada anak autis lebih rendah
dibandingkan dengan anak normal,
sehingga anak autis cenderung
melakukan aktivitas yang menetap
sehingga
berpotensi
mengalami
kelebihan berat badan. Kelebihan berat
badan pada anak autis juga dapat
disebabkan karena pola konsumsi pada
anak autis yang tidak terbiasa
melakukan
diet.
Anak
autis
mempunyai alat pengecapan yang
sangat peka, sehingga hanya menyukai
makanan yang itu-itu saja. Anak autis
juga sering memiliki pencernaan yang
buruk karena 25% mengalami diare
kronis dan sembelit, selain itu juga
terdapat
permasalahan
berupa
peradangan
usus
yang
dapat
membatasi penyerapan zat gizi.
Gangguan
ini
tentunya
akan
berpengaruh terhadap kecukupan
konsumsi zat gizi anak autis (1,6).
Berdasarkan uraian tersebut
calon
peneliti
tertarik
untuk
melakukan
penelitian
tentang
hubungan kecukupan konsumsi gizi
dan aktivitas fisik dengan status gizi
anak autis di SLB Negeri Pelambuan
Banjarmasin.

METODE PENELITIAN
Penelitian ini menggunakan
rancangan
observasional
analitik
dengan pendekatan cross sectional.
Populasi penelitian adalah semua anak
autis di SLB Negeri Pelambuan
Banjarmasin. Sampel penelitian yang
ditentukan
berdasarkan
teknik
sampling jenuh sebesar 23 responden
dengan kriteria inklusi (7). Data
penelitian
didapatkan
dengan
pengukuran tinggi badan dan berat
badan, food recall 3x24 jam dan
kuesioner aktivitas fisik.
Variabel penelitian ini adalah
variabel bebas, yaitu kecukupan
konsumsi energi, karbohidrat, protein,
lemak dan aktivitas fisik serta variabel
terikat, yaitu status gizi. Data
dianalisis
dengan
menggunakan
univariat untuk mengetahui gambaran
distribusi
frekuensi
karakteristik
subjek penelitian. Sedangkan analisis
bivariat dilakukan untuk mengetahui
variabel yang berhubungan dengan
status gizi responden. Uji statistik yang
digunakan dalam analisis bivariat
adalah fisher exact dengan derajat
kepercayaan 95%.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Pada penelitian ini responden
paling banyak berjenis kelamin lakilaki yaitu 78,3% dibandingkan dengan
responden perempuan 21,7%. Umur
responden paling banyak terdapat pada
golongan umur 7-9 tahun dan 13-15
tahun yaitu masing-masing 34.8%.
Responden yang berumur 10-12 tahun
sebanyak 26.1% dan responden yang
berumur 4-6 tahun sebanyak 4,3%.
Rata-rata umur pada responden adalah

10 tahun dengan umur termuda 7


tahun, sedangkan umur tertua adalah
15 tahun.
Berdasarkan hasil penelitian
terdapat 65,2% responden yang
kecukupan energinya baik dan 34,8%
yang kecukupan energinya tidak baik.
dengan rata-rata konsumsi energi yaitu
1687,82 Kal/hari. Sebanyak 52,2%
responden
memiliki
kecukupan
karbohidrat baik, sedangkan responden
yang kecukupan karbohidratnya tidak
baik sebanyak 47,8% dengan rata-rata
konsumsi karbohidrat sebanyak 266,17
g/hari.
Pada penelitian terdapat 73,9%
responden yang memiliki kecukupan
protein baik, sedangkan responden
yang kecukupan proteinnya tidak baik
sebanyak 26,1% dengan rata-rata
konsumsi protein sebanyak 58,09
g/hari. Sebanyak 39,1% responden
memiliki kecukupan lemak baik,
sedangkan responden yang kecukupan
lemaknya tidak baik sebanyak 60,9%.
Rata-rata konsumsi lemak sebanyak
42,17 g/hari.
Selain itu, terdapat 52,2%
responden yang melakukan aktivitas
fisik tinggi sedangkan responden yang
beraktivitas fisik ringan sebanyak
47,8%. Rata-rata aktivitas fisik
responden selama satu minggu sebesar
1018,35
METs-menit/minggu.
Sebanyak 60,9% responden memiliki
status gizi baik dan responden dengan
status gizi tidak baik sebanyak 39,1%.
Berdasarkan hasil penelitian,
didapatkan
hubungan
antara
kecukupan konsumsi energi dengan
status gizi anak autis di SLB Negeri
Pelambuan Banjarmasin yang tersaji
pada tabel 1.

Tabel 1. Hubungan Kecukupan Konsumsi Energi dengan Status Gizi Anak Autis di
SLB Negeri Pelambuan Banjarmasin

No

Kecukupan
Konsumsi
Energi

Status Gizi
Tidak Baik
Baik
n
%
n
%

Total
n

Tidak Baik

75,0

25,0

100

Baik

20,0

12

80,0

15

100

39,1

14

60,9

23

100

Total

Berdasarkan hasil uji statistik


dengan derajat kepercayaan 95%
didapat p-value = 0,023 yang berarti
ada hubungan yang bermakna antara
kecukupan konsumsi energi dengan
status gizi anak autis di SLB Negeri
Pelambuan Banjarmasin. Hasil analisis
diperoleh nilai OR 12,00 yang berarti
bahwa anak yang kecukupan energinya
tidak baik berpeluang 12 kali lebih
besar untuk mengalami status gizi
tidak baik dibandingkan dengan anak
yang kecukupan energinya baik.
Hasil penelitian ini senada
dengan penelitian Isdaryanti tahun
2007 bahwa ada hubungan yang
signifikan antara asupan energi dan
status gizi anak sekolah dasar. Serta
penelitian Andyca tahun 2012 yang
menyatakan terdapat hubungan yang
bermakna antara kecukupan konsumsi
energi dengan status gizi anak autis di
Depok (6,9). Asupan makanan
merupakan faktor yang berpengaruh
langsung
secara
linear
dalam
menentukan status gizi seseorang.
Berdasarkan penelitian Berkey et al
dalam Paratmanitya tahun 2012
menyatakan bahwa peningkatan IMT
dalam masa satu tahun pengamatan
terjadi lebih besar pada responden

p
value

OR

0,023

12,000

yang memiliki rata-rata asupan kalori


lebih tinggi (10).
Penelitian Kusramadhanty tahun
2012 menyatakan bahwa tingkat
kecukupan gizi akan mempengaruhi
status gizi seseorang. Konsumsi zat
gizi yang cukup akan mengakibatkan
status gizi yang baik pada seseorang.
Sebaliknya jika konsumsi zat gizi
berlebih atau kekurangan akan
menimbulkan status gizi lebih atau
kurang pada seseorang. Kekurangan
atau kelebihan konsumsi zat gizi dari
kebutuhan baik dalam jangka waktu
yang lama dapat membahayakan
kesehatan sehingga mempengaruhi
status kesehatan (4).
Berdasarkan
hasil
analisis,
diperoleh hasil bahwa kecukupan
energi responden pada umumnya
sudah cukup, sebanyak 65,2%
responden yang kecukupan energinya
baik sedangkan responden yang
kecukupan energinya tidak baik
sebanyak 34,7%. Tingkat kecukupan
energi yang baik menunjukkan bahwa
asupan atau konsumsi bahan makanan
yang merupakan sumber tenaga atau
energi pada anak autis di SLB Negeri
Pelambuan Banjarmasin sudah sesuai
dengan kebutuhan harian, sedangkan

untuk tingkat kecukupan energi yang


tidak baik menunjukkan bahwa
konsumsi sumber tenaga atau energi
tidak sesuai dengan kebutuhan harian
responden. Salah satu penyebab
kecukupan energi responden yang
kurang disebabkan karena frekuensi
makan dan jumlah porsi makan
responden yang kurang (11,12).
Kecukupan energi yang tidak
baik kemungkinan disebabkan karena
adanya permasalahan makan pada
anak autis. Sebagian besar anak autis
mempunyai perilaku makan yang tidak
biasa, dapat berupa keengganan pada
tekstur makanan tertentu atau sangat
suka pada makanan tertentu. Kesukaan
yang berlebihan terhadap suatu jenis
makanan tertentu atau disebut
faddisme
makanan
akan
mengakibatkan
tubuh
tidak
memperoleh semua zat gizi yang
dibutuhkan (8,13).

Hasil dari kuesioner juga


menunjukkan bahwa sebagian anak
sering mengonsumsi berbagai jenis
makanan jajanan, sehingga hal ini
membuat anak cenderung menyukai
makanan jajanan dibandingkan dengan
makanan utama. Pengenalan makanan
jajanan pada anak autis juga
berpengaruh
terhadap
konsumsi
makanan sehari-hari, sebab biasanya
mereka akan menjadi susah makan dan
hanya menginginkan makan-makanan
tertentu yang justru tidak baik untuk
mereka. Hal inilah yang juga
mempunyai pengaruh terhadap jumlah
konsumsi makanan yang berakibat
pada kurangnya kecukupan energi
pada anak autis (8).
Hasil analisis hubungan antara
kecukupan konsumsi karbohidrat
dengan status gizi anak autis di SLB
Negeri Pelambuan Banjarmasin yang
tersaji pada tabel tabel 2.

Tabel 2. Hubungan Kecukupan Konsumsi Karbohidrat dengan Status Gizi Anak

Autis di SLB Negeri Pelambuan Banjarmasin

No

Kecukupan
Konsumsi
Karbohidrat

Status Gizi
Tidak Baik
Baik
n
%
n
%

Total
n

Tidak Baik

45,5

54,5

11

100

Baik

33,3

66,7

12

100

39,1

14

60,9

23

100

Total

Berdasarkan hasil uji statistik


dengan derajat kepercayaan 95%
didapat p-value = 0,68 yang berarti
tidak ada hubungan yang bermakna
antara
kecukupan
konsumsi
karbohidrat dengan status gizi anak

p value

OR

0,680

1,667

autis di SLB Negeri Pelambuan


Banjarmasin. Hasil penelitian ini
senada dengan dua hasil penelitian
sebelumnya yaitu hasil penelitian
Amelia et al tahun 2013 bahwa tidak
ada hubungan yang bermakna antara

asupan karbohidrat dengan status gizi


pada anak balita di Kabupaten
Gorontalo. Serta penelitian dari
Mustapa et al tahun 2013 yang
menyatakan tidak terdapat hubungan
antara asupan karbohidrat dengan
status gizi santri putri
pondok
pesantren (14,15).
Hubungan yang tidak bermakna
ini dapat disebabkan oleh penggunaan
metode food recall. Metode ini
mempunyai
kelemahan
karena
pengisian kuesionernya membutuhkan
ingatan yang baik dari responden atas
asupan makan responden penelitian
sejak seminggu sebelum wawancara.
Dengan demikian potensi bias yang
terjadi berupa bias informasi yang
tidak dapat dihindari. Selain itu
responden pada penelitian ini yaitu
orang
tua anak autis
kurang
memperhatikan
makanan
yang
dikonsumsi oleh responden sehingga
terdapat kemungkinan data konsumsi
yang didapat berbeda dengan data
yang
dikonsumsi
responden
sebenarnya.

Berdasarkan
hasil
analisis,
diperoleh hasil bahwa kecukupan
karbohidrat
responden
sebanyak
52,1%
mempunyai
kecukupan
karbohidrat baik sedangkan kecukupan
karbohidrat responden yang tidak baik
sebanyak
47,8%.
Kecukupan
konsumsi karbohidrat responden yang
baik membuktikan bahwa konsumsi
makanan pokok responden pada
umumnya
masih
baik
karena
karbohidrat disuplai dari makanan
pokok. Sedangkan untuk kecukupan
karbohidrat responden yang tidak baik
ini kemungkinan disebabkan oleh
porsi sumber karbohidrat seperti nasi
yang dikonsumsi oleh responden tidak
sesuai dengan kebutuhan, selain itu
sumber karbohidrat sering kali
digantikan atau ditambah dengan
mengonsumsi mie instant atau roti
(16).
Hasil analisis hubungan antara
kecukupan konsumsi protein dengan
status gizi anak autis di SLB Negeri
Pelambuan Banjarmasin yang tersaji
pada tabel tabel 3.

Tabel 3. Hubungan Kecukupan Konsumsi Protein dengan Status Gizi Anak Autis
di SLB Negeri Pelambuan Banjarmasin

Kecukupan
Konsumsi
Protein
Tidak Baik

Baik

No

Total

Status Gizi
Tidak Baik
Baik
n
%
n
%
4
66,7
2
33,3

Total
n
6

%
100

29,4

12

70,6

17

100

39,1

14

60,9

23

100

p value

OR

0,162

4,800

Berdasarkan hasil uji statistik


dengan derajat kepercayaan 95%
didapat p-value = 0,162 yang berarti
tidak ada hubungan yang bermakna
antara kecukupan konsumsi protein
dengan status gizi anak autis di SLB
Negeri Pelambuan Banjarmasin. Hasil
penelitian ini senada dengan dua
penelitian sebelumnya yaitu hasil
penelitian dari Makalew et al tahun
2013 bahwa tidak ada hubungan yang
signifikan antara asupan protein
dengan status gizi anak sekolah dasar
di Kecamatan Langowan Barat. Serta
penelitian Yulni et al tahun 2013 yang
menyatakan tidak terdapat hubungan
antara asupan protein dengan status
gizi pada anak sekolah dasar di
Makassar (16,17).
Berdasarkan
hasil
analisis,
diperoleh hasil bahwa kecukupan
protein responden pada umumnya
sudah baik yaitu sebanyak 74%
mempunyai kecukupan protein baik
sedangkan
kecukupan
protein
responden yang tidak baik sebanyak
26%. Responden dengan kecukupan
protein yang kurang disebabkan oleh
konsumsi sumber protein berupa ikan
yang rendah berdasarkan dari hasil
recall yang dilakukan. Kekurangan
protein
akan
berdampak
pada
pertumbuhan yang kurang baik, daya

tahan tubuh menurun, rentan terhadap


penyakit
dan
penurunan
daya
kreativitas. Menurut Muchlisa tahun
2013 menyatakan bahwa asupan
protein yang kurang atau lebih tidak
berpengaruh pada perubahan berat
badan karena kelebihan asupan protein
tidak disimpan oleh tubuh seperti yang
terjadi pada kelebihan energi (11).
Hasil
wawancara
melalui
kuesioner diperoleh hasil bahwa
responden yang status gizinya tidak
baik memiliki konsumsi makanan yang
buruk. Hal ini sesuai dengan pendapat
Soekirman tahun 2000 bahwa status
gizi tidak baik disebabkan asupan
energi maupun protein tidak baik pula
selain itu disebabkan karena faktor
ekonomi keluarga yang kurang
sehingga menyebabkan terbatasnya
daya beli terhadap bahan makanan
yang pada akhirnya mempengaruhi
variasi menu yang disajikan. Ada
faktor lain yang dapat mempengaruhi
status gizi seperti aktivitas fisik,
kebudayaan, sosial ekonomi dan
tingkat pengetahuan ibu (9,16,17).
Hasil analisis hubungan antara
kecukupan konsumsi lemak dengan
status gizi anak autis di SLB Negeri
Pelambuan Banjarmasin yang tersaji
pada tabel tabel 4.

Tabel 4. Hubungan Kecukupan Konsumsi Lemak dengan Status Gizi Anak Autis di
SLB Negeri Pelambuan Banjarmasin

Kecukupan
Konsumsi
Lemak
Tidak Baik

Baik

No

Total

Status Gizi
Tidak Baik
Baik
n
%
n
%
9
64,3
5
35,7

Total
N
14

%
100

100

100

39,1

14

60,9

23

100

p value

OR

0,003

Berdasarkan hasil uji statistik


dengan derajat kepercayaan 95%
didapat p-value = 0,003 yang berarti
ada hubungan yang bermakna antara
kecukupan konsumsi lemak dengan
status gizi anak autis di SLB Negeri
Pelambuan
Banjarmasin.
Hasil
penelitian ini senada dengan penelitian
Rahayuningtyas tahun 2012 yang
menyatakan adanya hubungan yang
bermakna antara asupan lemak dengan
status gizi lebih pada siswa SMP. Serta
penelitian dari Muchlisa et al tahun
2013 yang menyatakan terdapat
hubungan yang signifikan antara
asupan lemak dengan status gizi
berdasarkan IMT pada remaja putri
(11,18).
Berdasarkan
hasil
analisis,
diperoleh hasil bahwa kecukupan
lemak responden pada umumnya tidak
termasuk dalam kategori baik yaitu
sebanyak
39,2%
mempunyai
kecukupan lemak baik sedangkan
kecukupan lemak responden yang
tidak
baik
sebanyak
60,8%.
Berdasarkan hasil food recall yang
dilakukan didapatkan gambaran bahwa
konsumsi sumber lemak pada anak
autis yang kecukupan lemaknya tidak
baik disebabkan karena jumlah porsi
dan frekuensi makan responden yang
kurang sehingga belum mampu

mencukupi
kebutuhan
lemak
responden yang sebagian besar hanya
berasal dari minyak (bahan makan
yang di goreng dan di tumis),
sedangkan anak autis yang asupan
lemaknya baik dan cenderung lebih,
sumber lemaknya selain dari minyak
juga berasal dari kacang-kacangan.
(11).
Menurut penelitian Pittsburgh
dalam Martiani tahun 2012 anak autis
memiliki pola makan yang berbeda
dengan anak baik. Anak autis sering
membuang makanan dan menolak
makanan berdasarkan tekstur, warna
dan
jenis
makanan,
sehingga
mempunyai variasi makanan yang
lebih sedikit (13).
Lemak merupakan penyumbang
energi
terbanyak.
Lemak
menghasilkan lebih dari dua kali
energi yang dihasilkan karbohidrat.
Kelebihan karbohidrat pada tubuh
diubah menjadi lemak dan disimpan
dalam jaringan lemak, dengan
demikian lemak merupakan simpanan
energi yang penting dalam tubuh (15).
Hasil analisis hubungan antara
aktivitas fisik dengan status gizi anak
autis di SLB Negeri Pelambuan
Banjarmasin yang tersaji pada tabel
tabel 5.

Tabel 5 Hubungan Aktivitas Fisik dengan Status Gizi Anak Autis di SLB Negeri

Pelambuan Banjarmasin

No

Aktivitas
Fisik

Status Gizi
Tidak Baik
Baik
n
%
n
%

Total
n

Ringan

63,6

36,4

11

100

Tinggi

16,7

10

83,3

12

100

39,1

14

60,9

23

100

Total

p value

OR

0,036

8,750

Berdasarkan hasil uji statistik


dengan derajat kepercayaan 95%
didapat p-value = 0,036 yang berarti
ada hubungan yang bermakna antara
aktivitas fisik dengan status gizi anak
autis di SLB Negeri Pelambuan
Banjarmasin. Dari hasil analisis
diperoleh nilai OR 8,75 yang berarti
bahwa anak yang mempunyai aktivitas
fisik ringan berpeluang 8,75 kali lebih
besar untuk mengalami status gizi
tidak baik dibandingkan dengan anak
yang mempunyai aktivitas tinggi.
Hasil penelitian ini senada
dengan penelitian dari Kairupan tahun
2012 yang menyatakan bahwa terdapat
hubungan yang bermakna antara
aktivitas fisik dengan status gizi siswa
SMP kristen di Manado. Serta
penelitian Yolahumaroh 2013 bahwa
terdapat hubungan yang signifikan
antara akifitas fisik dengan kejadian
obesitas pada anak sekolah dasar di
Pekanbaru (20,21).
Menurut Katahn dalam Aziza
tahun 2008, kegiatan fisik cukup besar
pengaruhnya terhadap kestabilan berat
badan. Semakin aktif seseorang
melakukan aktivitas fisik, maka energi
yang diperlukan semakin banyak.
Semakin aktif secara fisik maka
kemungkinan semakin baik status gizi.
Selain asupan energi, faktor aktivitas
fisik anak juga berpengaruh terhadap
status gizi anak tersebut. Ada anak
yang melakukan aktivitas ringan
seperti melihat-lihat buku, menonton
TV, dan ada juga yang melakukan
aktivitas
berat
seperti
berlari,
melompat dan melakukan gerakangerakan tubuh lain (21,22,23).
Aktivitas fisik yang kurang akan
menyebabkan pengeluaran energi yang
sedikit. Ketidakseimbangan antara
aktivitas fisik, pengeluaran energi dan

konsumsi pangan akan berdampak


pada status gizi dan status kesehatan.
Perkembangan
fasilitas-fasilitas
berbasis
teknologi
menyebabkan
terbatasnya gerak dan aktivitas. Hal ini
menyebabkan meningkatnya waktu
menonton televisi (4).
Berdasarkan hasil wawancara
melalui kuesioner, responden yang
melakukan aktivitas fisik ringan
sebanyak 47,8%, sedangkan responden
yang melakukan aktivitas tinggi
sebanyak 52,2%. Waktu keseharian
responden lebih banyak dihabiskan
untuk bermain sendiri atau asik sendiri
tanpa pengeluaran energi yang berarti
seperti menonton, bermain menyusun
benda dengan posisi duduk. Waktu
yang dihabiskan dalam melakukan
aktivitas berat pada anak autis lebih
rendah dibandingkan dengan anak
tanpa autis, oleh karena itu perlu
adanya peningkatan aktivitas dengan
intensitas sedang dan tinggi untuk
anak autis (6).

PENUTUP
Kesimpulan penelitian ini adalah
terdapat hubungan yang bermakna
antara kecukupan konsumsi energi (pvalue = 0,023) dengan nilai odds ratio
sebesar 12,00, lemak (p-value = 0,003)
dan aktivitas fisik (p-value = 0,036)
dengan nilai odds ratio sebesar 8,75
dengan status gizi, tetapi tidak terdapat
hubungan yang bermakna antara
kecukupan konsumsi karbohidrat (pvalue = 0,068) dan protein (p-value =
0,162) dengan status gizi.
Saran yang dapat diberikan dari
hasil penelitian ini yaitu Perlunya
partisipasi pihak sekolah untuk dapat
mengawasi anak autis agar tidak

makan dan jajan sembarangan di luar


sekolah,
peningkatan
kegiatan
olahraga, penyuluhan kepada orang
tua anak autis untuk meningkatkan
kesadaran dan kemauan dalam
memperhatikan pola makan yang baik
serta kerjasama dinas terkait dan
sekolah
untuk
mengadakan
pemeriksaan status gizi secara berkala,
memberikan
penyuluhan
dan
pendidikan
kesehatan,
serta
mengembangkan
program-program
kesehatan yang menunjang untuk
meningkatkan kualitas hidup anak
autis.
DAFTAR PUSTAKA
1.

2.

3.

4.

5.

Mujiyanti
DM.
Tingkat
pengetahuan ibu dan pola
konsumsi pada anak autis di Kota
Bogor. Skripsi. Bogor: Institut
Petanian Bogor, 2011.
Hady NA, Wahyuni, Wahyu P.
Perbedaan efektivitas terapi musik
klasik dan terapi musik murrotal
terhadap perkembangan kognitif
anak autis di SLB Autis Kota
Surakarta. GASTER 2012; 9(2);
72-81.
Harnowo PA. 8 dari 1000 orang di
Indonesia adalah penyandang
autis. (online), (http//autis.info
situs informasi seputar autisme,
diakses tanggal 30 Maret 2013).
Kusramadhanty M. Hubungan
aktivitas fisik, waktu menonton
televisi, dan konsumsi pangan
dengan status gizi dan status
kesehatan anak usia prasekolah.
Skripsi. Bogor: Institut Petanian
Bogor, 2012.
Dewi LM, Lilik H. Kontribusi
kondisi
ekonomi
keluarga
terhadap status gizi (BB/TB Skor

Z) pada anak usia 3-5 tahun.


Bandung:
Fakultas
Ilmu
Kesehatan Universitas Siliwangi,
2012.
6. Andyca F. Faktor-faktor yang
berhubungan dengan status gizi
pada anak autis di Tiga Rumah
Autis (Bekasi, Tanjung Priuk,
Depok) dan Klinik Tumbuh
Kembang Kreibel Depok. Skripsi.
Depok:
Fakultas
Kesehatan
Masyarakat Universitas Indonesia,
2012.
7. Sugiyono. Metode Penelitian
kuantitatif kualitatif dan r&d.
Bandung: CV Alfabeta, 2011.
8. Ramadayanti S, Ani M. Perilaku
pemilihan makanan dan diet bebas
gluten bebas kasein pada anak
autis. Journal of Nutrition College
2013; 2(1); 82-98.
9. Isdaryanti C. Asupan energi
protein, status gizi, dan prestasi
belajar anak Sekolah Dasar
Aryowinangun 1 Pacitan. Skripsi.
Yogyakarta: Fakultas Kedokteran
Universitas Gajah Mada, 2007.
10. Paratmanitya Y, Hamam H,
Susetyowati. Citra tubuh, asupan
makan dan status gizi wanita usia
subur pranikah. Jurnal Gizi Klinik
Indonesia 2012; 8(3); 126-134.
11. Muchlisa,
Cittrakesumasari,
Rahayu I. Hubungan asupan zat
gizi pada remaja putri di Fakultas
Kesehatan Masyarakat Universitas
Hasanuddin Makassar tahun 2013.
Makassar: Program Studi Ilmu
Gizi
Fakultas
Kesehatan
Masyarakat
Universitas
Hasanuddin, 2013.
12. Kusuma FD, Yanti E, Ariyan W.
Gambaran asupan zat gizi dan
status gizi anak usia pra sekolah di
TK Raudhaturrahmah tahun 2013.

13.

14.

15.

16.

17.

Riau:
Fakultas
Kedokteran
Universitas Riau, 2013.
Martiani M, Elisabeth SH,
Martalena BP. Pengetahuan dan
sikap orang tua hubungannya
dengan pola konsumsi dan status
gizi anak autis. Jurnal Gizi Klinik
Indonesia 2012; 8(3); 135-143.
Amelia AR, Aminuddin S, Siti F.
Hubungan asupan energi dan zat
gizi dengan status gizi santri putri
Yayasan
Pondok
Pesantren
Hidayatullah Makasar Sulawesi
Selatan tahun 2013. Makassar:
Program Studi Ilmu Gizi Fakultas
Kesehatan Masyarakat Universitas
Hasanuddin, 2013.
Mustapa Y, Saifuddin S, Abdul S.
Analisis
faktor
determinan
kejadian masalah gizi pada anak
balita di wilayah kerja Puskesmas
Tilote
Kecamatan
Tilango
Kabupaten Gorontalo tahun 2013.
Makassar: Program Studi Ilmu
Gizi
Fakultas
Kesehatan
Masyarakat
Universitas
Hasanuddin, 2013.
Yulni, Veni H, Devintha V.
Hubungan asupan zat gizi makro
dengan status gizi pada anak
Sekolah Dasar di Wilayah Pesisir
Kota Makassar tahun 2013.
Makassar: Program Studi Ilmu
Gizi
Fakultas
Kesehatan
Masyarakat
Universitas
Hasanuddin, 2013.
Makalew YM, Sherly ESK, Nancy
SHM. Hubungan antara asupan
energi dan zat gizi dengan status
gizi anak sekolah dasar kelas 4
dan kelas 5 SDN 1 Tounelet dan
Sd Katolik St. Monica Kecamatan
Langowan
Barat.
Manado:
Program Studi Gizi Masyarakat.

18.

19.

20.

21.

22.

23.

Fakultas Kesehatan Masyarakat


Universitas Sam Ratulangi, 2013.
Ratnasari R. Hubungan antara
asupan energi, asupan protein dan
status gizi siswa di SMA Sekar
Kemuning Kota Cirebon. 2011.
Rahayuningtiyas F. Hubungan
antara asupan serat dan faktor
lainnya dengan status gizi lebih
pada siswa SMPN 115 Jakarta
Selatan tahun 2012. Depok:
Program Studi Gizi Fakultas
Kesehatan Masyarakat, 2012.
Yolahumaroh.
Faktor
sosial
determinan, pola makan dan
aktifitas fisik terhadap kejadian
obesitas pada anak sekolah dasar
kelas IV dan V di Kecamatan
Tampan Kota Pekanbaru. Tesis.
Yogyakarta: Fakultas Kedokteran
Universitas Gadjah Mada, 2013.
Kairupan TS. Hubungan antara
aktivitas fisik dan screen time
dengan status gizi pada siswasiswi SMP Kristen Eben Haezar 2
Manado. Manado: Program Pasca
Sarjana Program Studi Ilmu
Kesehatan Masyarakat, 2012.
Aziza F. Analisis aktivitas fisik,
konsumsi pangan dan status gizi
dengan produktivitas kerja pekerja
wanita di industry konveksi.
Skripsi. Bogor: Program Studi
Gizi Masyarakat dan Sumberdaya
Keluarga
Fakultas
Pertanian
Institut Pertanian Bogor, 2008.
Bawuoh ML, Nancy SHM, Nita
M. Hubungan antara asupan
energi dengan status gizi anak
kelas IV dan V sekolah dasar di
Kelurahan Maasing Kecamatan
Tuminting. Manado: Fakultas
Kesehatan Masyarakat Universitas
Sam Ratulangi, 2013.

You might also like