Professional Documents
Culture Documents
Abstract
This paper explained an economic study in international trading after Asian China
Free Trade Area (ACFTA) implementation using an econometrics model.
On this paper, dometic fruits and vegetables as a part of holticulture commodities are
used as an object of the research, where the analysis include model identification, predicting
model, validating model, and economic policy simulation; hence 3 SLS is using to get a
parameter value to predict and support the simulation of results.
The result showed that an explanatory variable (total production) in the model can
explain, the model behavior for 73.46 %, while F statistics 4.69 , which means that
explanatory variable affect the endogenous variable (total export, total import, and Gross
domestic Product) simultaneously and significantly.
At the end, the paper conclude that the research is representative enough to explain
the phenomenon of domestic fruits and vegetables market comparing to the interntional
market, preferably from China fruits and vegetables commodities. Therefore, some of
implications for policy are identified as well, such as (1) improvement of competitiveness
domestic holticulture products which include in export tax subsidy, banking credit systems,
standardization and labeling product, cost efficiency, physically
and non-physcically
1. Latar Belakang
1
Sudah
hampir
enam
tahun
terhitung
sejak
tanggal
November
2004
ACFTA
5,146
5,779
ACFTA
3,770
3,162
ACFTA
7,940
6,780
2. Perumusan Masalah
Berbagai pendapat dikemukakan mengenai dampak dari pelaksanaan ACFTA yang
merupakan salah satu bagian dari kebijakan liberalisasi perdagangan. Sebagian pihak
meyakini bahwa liberalisasi perdagangan akan mampu menciptakan dampak positif bagi
setiap negara, sebagian lagi meyakini bahwa liberalisasi perdagangan dunia hanya akan
menguntungkan negera maju dan akan merugikan negara miskin.
Pembuktian
bahwa
liberalisasi
perdagangan
menguntungkan
setiap
negara
ditunjukkan antara lain oleh Holst and Melo, 1991 (dalam Widjaja, 2000). Sebaliknya,
pembuktian bahwa negara berkembang dirugikan oleh liberalisasi perdagangan antara lain
ditunjukkan oleh Devaragan (1990). Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa penerapan
liberalisasi perdagangan di negara-negara Afrika melalui berbagai perubahan terms of trade
mendorong peningkatan impor yang lebih tinggi daripada ekspor sehingga menyebabkan
terjadinya neraca perdagangan yang negatif yang dibiayai dengan meningkatnya pinjaman
asing.
Pembebasan tarif impor pada beberapa negara Asean termasuk Indonesia dipandang
cukup menakutkan, terutama untuk sebagian pengusaha, petani, dan pelaku ekonomi
terutama yang bergerak di sektor pertanian untuk jenis komoditas holtikultura khususnya.
3
Menurut mereka bahwa pembebasan tarif tersebut akan mengancam daya saing produkproduk holtikutura (khususnya sayuran dan buah-buahan domestik), karena dengan
pembebasan tersebut, jelaslah semakin banyak dan membanjirnya produk holtikultura (baik
sayur maupun buah-buahan) masuk ke Indonesia, padahal seperti diketahui, sebelum
diberlakukannya ACFTA komoditas-komoditas tersebut sudah cukup banyak membanjiri
pasar domestik, bahkan mengalahkan dominasi komoditas sayuran dan buah-buahan lokal.
Dengan membanjirnya produk komoditas di pasar domestic ditambah dengan harganya yang
ternyata relatif murah jika dibandingkan dengan produk lokal, tentu saja akan mengurangi
daya saing produk-produk domestik tersebut.
Melihat berbagai masalah yang diperkirakan akan muncul, perlu ditemukan suatu
jawaban apakah ACFTA dapat menguntungkan semua anggota, atau hanya menguntungkan
sekelompok negara saja dalam hal ini adalah China. Salah satu indikator yang dapat
merefleksikan dampak ACFTA adalah kinerja neraca perdagangan dari setiap negara-negara
anggota.
Oleh karena itu, pertanyaannya adalah bagaimana dampak kebijakan ekonomi
terhadap upaya peningkatan daya saing komoditas buah-buahan dan sayuran local
pasca diberlakukannya ACFTA?
3. Tujuan Penelitian
Penelitian ini secara umum bertujuan untuk mempelajari dan menganalisis dampak kebijakan
ekonomi terhadap upaya peningkatan daya saing komoditas buah-buahan dan sayuran lokal,
sehingga secara spesifik tujuan penelitian ini adalah :
1. Mengkaji kondisi perdagangan komoditas sayuran dan buah-buahan local di
Indonesia
2. Menganalisis bagaimana dampak kebijakan ekonomi terhadap perkembangan
perdagangan sayuran dan buah-buahan lokal
3. Menganalisis faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi kebijakan ekonomi
terhadap perkembangan perdagangan sayuran dan buah-buahan lokal setelah
diberlakukannya ACFTA
4. Fakta-Fakta Kesiapan Dalam Menghadapi ACFTA
Adapun tujuan dari ACFTA yang sebenarnya adalah meliberalisasi perdagangan
barang dan jasa melalui pengurangan atau penghapusan tarif serta mengembangkan kerja
sama ekonomi yang saling menguntungkan, termasuk memfasilitasi integrasi ekonomi yang
4
lebih efektif kedua belah pihak. Khusus mengenai tarif bea masuk barang-barang hasil
pertanian,
termasuk
sayur-sayuran,
kacang-kacangan,
dan
buah-buahan
semuanya
dikelompokkan dalam EHP (Early Harvest Programme)3. Kerjasama ini mempunyai target
mempercepat implementasi penurunan tarif barang-barang tertentu dimana di tahun 2010
akan menjadi 0%. Pengaruh pertama sebagai konsekuensinya adalah akan membanjirnya
produk-produk hasil pertanian atau buah-buahan dari sesama negara Asean maupun dari
China ke Indonesia mengingat sekarang ini sudah banyak produk China yang ikut
meramaikan pasar dalam negeri. Perlu dipertimbangkan apabila produkproduk tersebut tidak
dapat bersaing karena tingginya biaya (high cost) maupun inefisien, sehingga pertanyaan
yang muncul dalam benak adalah Bagaimana sesungguhnya peta kesiapan industri dalam
negeri menghadapi pemberlakuan ACFTA? dan Bagaimana kesiapan dunia usaha dalam
menghadapi ACFTA?
Sementara itu, produk Indonesia lain yang siap mengikuti kesepakatan FTA
diantaranya industri-industri yang berbasis sumber daya alam seperti industri minyak sawit
mentah (crude palm oil/CPO) dan industri pertambangan. Akan tetapi sangat bertolak
belakang dengan industri dan produk-produk lainnya, khususnya indutri dan produk non
migas lainnya seperti pertanian dan holtikultura, pangan, jasa, telekomunikasi dan
manufaktur, kecemasan begitu besar mulai dialami oleh para pelaku ekonomi di bidang
tersebut, mengingat produk yang ada tidak mampu menyaingi produk dan industri China
yang masuk ke dalam negeri selama ini, hal ini terbukti dari semakin membanjirnya produkproduk tersebut di pasar dalam negeri mengalahkan produk lokal.
Dari sisi daya saing industri, hal ini menunjukkan Indonesia masih ada masalah dalam
menghadapi liberalisasi perdagangan tersebut, terutama dengan China. Permasalahan daya
saing muncul karena Indonesia masih menghadapi sejumlah persoalan mendasar, baik pada
tataran makro dan mikro industri, serta kondisi infrastruktur Indonesia yang buruk, sehingga
menyebabkan proses pengintegrasian ekonomi dalam negeri belum tercapai secara efisien.
Dari sisi produksi dan integrasi ekonomi, terdapat kelemahan mendasar dalam
kemampuan produksi barang jadi, setengah jadi dan komponen yang menandakan kerapuhan
struktur industri dalam negeri. Hal itu antara lain disebabkan karena keterbatasan pasokan
bahan baku dan energi, ketergantungan impor bahan baku dan penolong, kapasitas produksi
3
Early Harvest Programme, suatu program untuk mempercepat implementasi ACFTA dimana tarif most
Favored Nation (MFN) sudah dapat dihapus untuk beberapa kategori komoditas tertentu. MFN adalah status yag
diberikan kepada suatu negara oleh negara lain dalam suatu hubungan perdagangan. Status ini memberikan
kepada suatu negara keuntungan dalam perlakukan perdagangan dalam bentuk (misalnya) tarif rendah atau
kuota impor yang lebih tinggi. Negara dengan status MFN harus memperoleh perlakuan dagang yang sama dari
negara pemberi status, (http://budikolonjono.blogspot.com/2010/09/sedikit-kata-tentang-acfta.html)
yang tidak optimal, kelemahan penerapan standardisasi, hingga penguasaan pasar domestik
yang lemah.
Dengan demikian, dapat dijelaskan bahwa tantangan Indonesia dalam mempersiapkan
perdagangan bebas ACFTA, tidak hanya berasal dari aspek daya saing industri, tetapi juga
bersumber dari masalah kesiapan infrastruktur lunak seperti perangkat hokum, misalnya
terkait lembaga anti dumping, safeguard, dan lembaga/orang-orang yang bisa melaksanakan
standar-standar tersebut dalam rangka menjaga fair trade (perdagangan berkeadilan).
5. Konsep Daya Saing
Menurut Porter dalam Arief (2009) konsep daya saing yang dapat diterapkan dalam level
nasional tidak lain adalah produktivitas yang didefinisikan sebagi nilai output yang dihasilkan
oleh seorang tenaga kerja. Oleh Bank Dunia, produktivitas juga dinyatakan sebagai besaran
laju perubahan nilai tambah per unit input yang dicapai oleh perusahaan.
Sedangkan Institute Management Development (IMD) menyatakan bahwa daya saing
nasional merupakan bentuk kemampuan suatu negara dalam menciptakan nilai tambah dalam
rangka menambah kekayaan nasional dengan cara mengelola aset dan proses, daya tarik dan
agregativitas, globality dan proximity serta dengan mengintegrasikan hubungan-hubungan
tersebut ke dalam suatu model ekonomi dan sosial sehingga negara dalam hal ini mampu
menciptakan daya saing domestik dan global melalui peranannya menciptakan iklim yang
kondusif bagi ekonomi nasional.
Adapun faktor-faktor yang dapat menentukan daya saing suatu negara oleh Arief
(dalam bukunya Model-model Kuantitatif Untuk Perencanaan Pembangunan Ekonomi
Daerah, 2010) adalah sebagai berikut:
1. Cakupan daya saing lebih luas dan tidak sebatas produktivitas dan efisiensi saja.
2. Pelaku ekonomi (economic agent) berada dalam suatu sistem ekonomi yang
bersinergi.
3. Sasaran peningkatan
daya
saing
suatu
perekonomian
bermuara
pada
and rivalry). Adapun dua faktor penunjangnya adalah peluang (chance) dan peranan
pemerintah (role of government).
6. Faktor Daya Saing4 dan Fakta-Faktanya Terhadap Perkembangan Ekspor
Indonesia
Pada kenyataannya terlepas dari argumentasi mengenai pro dan kontra ACFTA,
pemerintah masih punya banyak 'pekerjaan rumah' yang belum selesai berkaitan dengan
export chain. Lemahnya daya saing produk ekspor Indonesia karena sejumlah faktor yang
menyebabkan ekonomi biaya tinggi. Pertama, biaya mengurus kontainer di pelabuhan (THC)
masih tertinggi di ASEAN. Hal ini masih ditambah biaya parkir dan lewat kontainer yang
dinilai memberatkan. Kedua, biaya pungutan liar (pungli) yang minimal 7,5% dari biaya
ekspor. Pungli masih ditemui di jembatan timbang, jalan raya, pelabuhan, dan pelayanan
perijinan baik di pusat maupun daerah. Program 100 hari kabinet belum secara signifikan
mengurangi sumber-sumber ekonomi biaya tinggi. Ketiga, masalah struktural yang dihadapi
industri kita belum tuntas digarap secara serius. Industri Indonesia menghadapi masalah
masih sangat tingginya kandungan impor bahan baku, bahan antara, dan komponen untuk
seluruh industri, yang berkisar antara 28-90 persen. Masalah lainnya mencakup lemahnya
penguasaan dan penerapan teknologi karena industri kita masih banyak yang bertipe tukang
jahit dan tukang rakit, rendahnya produktivitas tenaga kerja industri, belum
terintegrasinya UMKM dalam satu mata rantai pertambahan nilai dengan industri skala besar,
kurang sehatnya iklim persaingan karena banyak subsektor industri yang beroperasi dalam
kondisi mendekati monopoli, dan masih terkonsentrasinya lokasi industri di pulau Jawa dan
Sumatra. Keempat, Kementrian Perdagangan dan Perindustrian perlu menyelamatkan produk
Indonesia yang lemah daya saingnya. Studi Tri Widodo tentang Dynamic Comparative
Advantages in the ASEAN+3 dalam Journal of Economic Integration edisi September 2009
perlu dijadikan perhatian. Studi ini menemukan adanya perubahan keunggulan komparatif
kelompok produk yang tidak memiliki atau memiliki keunggulan komparatif yang rendah di
masa lalu. Pola keunggulan komparatif ASEAN ternyata mengikuti Jepang yang disebabkan
oleh: (1) ASEAN mulai kehilangan keunggulan komparatif dalam kelompok produk
tradisional yang berbasis pertanian dan sumberdaya alam; (2) penanaman modal asing
langsung (FDI) Jepang yang masuk ke ASEAN mengikuti pola angsa terbang sehingga
terjadi perubahan spesialisasi dari produk berbasis buruh murah menjadi berbasis tenaga
kerja trampil dan teknologi/litbang. Selain itu, pemerintah harus proaktif menyelesaikan
4
kasus-kasus sengketa perdagangan Indonesia-China. April 2006, perusahaan eksportir buahbuahan nasional PT Friendship Prima melayangkan keluhan adanya penolakan ekspor produk
papaya, mangga dan salak oleh Kepabeanan China, dengan alasan bahwa Indonesia hanya
diperbolehkan mengekspor manggis, pisang, dan longan. China menawarkan konsesi bebas
bea masuk atas produk cocoa powder Indonesia ke China (turun dari 15% yang berlaku saat
ini). Sebagai kompensasinya, China mengusulkan agar Indonesia dapat memberikan
preferensi tarif (0%) untuk produk chili powder (turun dari 5% yang berlaku saat ini).
Singkatnya, ACFTA menimbulkan tantangan dan sekaligus peluang. Tinggal
bagaimana pemerintah bersama Kadin bergandengan tangan menjawab tantangan yang belum
terpecahkan. Dalam setiap perjanjian, baik multilateral maupun bilateral, akan selalu ada
pengaman yang diterapkan masing-masing negara. Bentuknya bisa dalam safeguard,
fleksibilitas, atau pengecualian yang mengamankan adanya potensi kerugian. Jadi terkait
dengan hal itu, semestinya pemerintah menyiapkan terlebih dahulu safeguard dan instrumen
lainnya dengan baik.
Dengan demikian dapat dikatakan bahwa liberalisasi perdagangan dalam kerangka
ACFTA akan meningkatkan volume perdagangan Asean-China, tetapi apakah Indonesia dapat
memanfaatkan peningkatan volume perdagangan tersebut secara optimal? Itulah kenyataan
dan fakta yang harus dihadapi setelah diberlakukan ACFTA saat ini.
7. Dampak ACFTA Terhadap Produk Pertanian Dalam Negeri
Pengalaman menghadapi berbagai perubahan kondisi yang dinamis mulai dari
dampak resesi ekonomi pada awal 1980-an, krisis moneter 1997/1998, krisis energi dan
pangan pada 2006-2007, dan belakangan krisis keuangan global yang terjadi mulai
pertengahan 2008, seharusnya mampu menciptakan pebisnis Indonesia menjadi lebih
tangguh, yang tidak lagi panik menghadapi dinamika ekonomi global termasuk pelaksanaan
liberalisasi perdagangan seperti ACFTA, meski tidak pula harus pasrah terhadap ketentuan
liberalisasi yang berlaku, seperti yang dirasakan oleh para petani terhadap produk pertanian
yang dihasilkan dalam Early Harvest Package (EHP) pada 2004-2006 yang lalu. Apakah
ACFTA akan memberikan dampak sistemik terhadap aktivitas ekonomi masyarakat
ketimbang masalah perubahan pasar global dan isu-isu domestik seperti ketersediaan energi,
bahan baku, pembiayaan, nilai tukar, pungutan, dan perlindungan persaingan lainnya?
Terlepas dari apakah keikutsertaan Indonesia dalam ACFTA merupakan strategi untuk
memperluas ekspor dan investasi atau keterpaksaan. Tetapi secara umum, terlihat ada
kegamangan pelaku bisnis dalam menghadapi kebijakan kerja sama perdagangan tersebut.
ACFTA diprakarsai dalam pertemuan para Kepala Negara Asean dan China di Bandar
Seri Bengawan Brunei Darussalam 6 November 2001, maka setahun kemudian, November
2002 di Pnhom Penh Kamboja, para Kepala Negara tersebut menandatangani pembentukan
ACFTA yang ditetapkan selama 10 tahun.
Setelah itu ditetapkan skema dan jadwal penurunan tarif yang terdiri dari: (1) Early
Harvest Package of products 2004-2006, (2) Normal Track 2005-2010, dan (3) Sensitive
Track. Pada 1 Januari 2010 merupakan tahap akhir jadwal liberalisasi Normal Track terhadap
2528 komoditas dari tarif 5% menjadi 0%, sehingga rata-rata tarif yang berlaku untuk impor
dari China menjadi 2,9%.
Salah satu kerangka Agreement on Comprehensive Cooperation Between ACFTA
adalah mengenai cakupan produk yang masuk dalam Early Harvest Program (EHP) ACFTA
mengenai penurunan tarif pada produk-produk pertanian seperti hewan hidup, daging dan
produk daging olahan, ikan, produk susu, produk hewan lainnya, pohon hidup, sayuran
dikonsumsi, buah-buahan dikonsumsi, dan kacang-kacangan, juga berdampak bagi
kelangsungan produk-produk sejenis yang dihasilkan dalam negeri.
Ini berarti lagi-lagi daya saing produk dalam negeri dipertanyakan, mampukah produk
lokal bersaing dengan produk China tersebut, meskipun mungkin masih terlalu prematur
untuk menilainya, akan tetapi selama beberapa tahun ke belakang (sebelum diberlakukan
ACFTA) produk-produk China tersebut di atas sudah banyak sekali membanjiri pasaran
dalam negeri, mengalahkan produk dan komoditas dalam negeri, baik dari segi kualitas,
kuantitas, maupun harga (yang menjadi unggulan dari produk-produk China).
Dari tabel 2 terlihat bagaimana dampak free trade area Asean-China terhadap jumlah
ekspor impor barang dalam negeri, di mana secara garis besar dengan kenaikan TOT (term of
trade) yang disebabkan oleh harga ekspor yang lebih dibandingkan dengan harga impor,
menyebabkan jumlah impor di Indonesia lebih tinggi daripada ekspor, implikasinya adalah
Indonesia harus mampu meningkatkan daya saing melalui perbaikan iklim investasi yang
lebih kondusif.
Tabel 2. Dampak Free Trade Area dalam Skema Asean-China Terhadap Ekspor (qxw),
Impor (qiw), Output (qo), dan Harga Domestik (ppd).
Deskripsi Sektor
Ekspor
Impor
Output
Harga
Domestik
Paddy
-0,570
38,978
-0,39
0,43
9
Wheat
Ceral gain nec
Vegetables, Fruits, Nuts
Oilseeds
Sugar cane, sugar beat
Plant based fibers
Crops nec
Catles, sheep, goats, horses
Animal Production nec
Raw milk
Wool, silk, worm cocoons
Forestry
Fishing
Coal
Oil
Gas
Mineral nec
Meat cattle, sheep, goat
Meat Product nec
Vegetable oil and fats
Dairy product
Processed rice
Sugar
Food Product nec
Beverage and Tobacco product
Textiles
Wearing apparel
Leather product
Wood Product
Paper Prod, Publishing
Petroleum, coal prod
Chemical, rubber, plastic prod
Ferrous metals
Metals nec
Metals nec
Motor vehicle and parts
Transport equipment
Electronic equipment
Machinery and Equipent
Manufacture products
Electricity
Water
Construction
Trade
Transport
Sea transport
Air transport
Communication
-3,586
5,023
3,333
5,421
23,331
-0,148
3,226
1,515
3,769
-3,738
-3,975
7,330
1,944
-0,620
-0,507
-0,785
0,016
0,221
-6,997
0,556
0,749
0,691
4,998
0,251
25,252
7,603
-1,433
-3,781
-1,735
2,776
2,738
7,596
1,496
1,231
-2,413
0,856
15,187
-2,404
4,403
4,256
-1,357
-4,938
-2,478
3,590
-2,742
-1,244
0,835
-4,473
0,162
5,621
0,899
-22,935
0,982
5,549
0,896
1,742
0,082
2,059
1,772
3,487
9,327
25,928
1,410
25,928
1,410
2,286
5,486
2,257
1,741
23,525
20,711
4,992
10,301
9,384
8,571
6,678
6,001
2,295
2,014
4,627
7,682
1,283
1,308
12,390
2,684
2,991
2,361
2,120
10,06
2,420
2,507
1,757
1,494
1,032
0,566
2,232
-2,768
-0,031
0,055
-0,326
-11,076
0,777
0,841
0,077
0,316
0,110
0,093
-0,459
0,157
0,460
0,534
0,603
-0,671
-0,225
0,467
0,426
-0,380
-0,363
-11,927
-0,167
0,951
0,775
-2,004
-2,960
-1,352
1,115
-0,339
1,243
0,169
-2,017
-1,961
-0,476
2,115
-1,48
3,552
1,711
-2,674
-0,00-4
1,219
0,145
0,063
0,358
0,054
-0,606
0,651
0,583
0,578
0,495
-3,673
0,295
0,890
0,536
0,558
-0,480
0,295
-0,010
-1,302
0,348
-0,201
0,074
0,844
0,649
1,079
0,847
0,639
0,569
-1,664
0,761
-0,378
-0,316
0,197
0,760
0,990
0,675
0,273
0,684
0,896
0,660
0,805
0,406
0,489
0,645
0,250
0,324
0.479
0,913
0,620
1,016
0,759
0,892
0,254
1,177
10
Financial services
-4,469
Insurance
-4,138
Business services
3,607
Recreation and other services
-3,941
Public adm/defence/health/education -3,956
Dweelings
0,084
Sumber: Rina Oktaviani, Ph.D dkk (2009)
2,215
1,554
1,083
1,952
1,924
0,084
0,063
-0,215
-0,577
-0,190
-0,179
0,107
1,153
1,074
1,000
1,029
1,010
1,290
Di lain pihak, manfaat dari ACFTA bagi sektor pertanian dapat dilihat sebagai berikut:
(a) peningkatan volume perdagangan produk pertanian melalui penurunan tarif bea masuk di
negara China yang penduduknya terbesar di dunia dan merupakan salah satu negara dengan
tingkat pertumbuhan ekonomi tertinggi di dunia; (b) peningkatan kerjasama investasi; (c)
kerjasama ekonomi melalui kerjasama peningkatan capacity building. Dengan kata lain
meskipun masih banyak ketakutan-ketakutan dan kekhawatiran diantara kalangan usahawan
dalam negeri dalam menghadapi ACFTA, jika kita mampu mengambil hikmahnya adalah
selain ancaman yang muncul akan tetapi dibalik itu semua ternyata terdapat peluang yang
cukup besar bagi Indonesia untuk memperluas ekspor dan investasi di China jika industri ini
mampu meningkatkan daya saing5. Selain itu juga diperlukan kemampuan untuk merespon
penawaran yang begitu cepat melalui manajemen rantai (supply chain) yang efisien untuk
memenuhi keinginan konsumen melalui peningkatan kualitas, ketepatan waktu, harga yang
kompetitif, dan jumlah yang tepat.
8. Dampak ACFTA Bagi Perdagangan Produk-Produk Holtikultra Dalam Negeri
Pada kenyataannya berdasarkan laporan Kadin disebutkan bahwa dampak dari
ACFTA yang diberlakukan 1 Januari lalu khususnya untuk produk pertanian cukup berat
terutama bagi produk hortikultura Indonesia. Tanpa ACFTA, produk buah dan sayur asal
Indonesia sudah begitu terdesak oleh produk sejenis asal China, terutama jeruk. Produk dari
Negeri Tirai Bambu ini telah membanjiri pasar Indonesia. Sayangnya, konsumen dalam
negeri justru mencintai produk impor itu yang harganya jauh lebih murah.
Konsumen lokal seolah tidak memperhatikan bagaimana proses pengadaan buahbuahan asal China tersebut dilakukan kendati Badan Karantina Kementerian Pertanian
menyatakan produk buah asal China sudah disimpan selama setahun. Produk itu merupakan
buah yang tidak laku dijual di dalam negeri, sehingga dijual murah, dan dibeli oleh importir
asal Indonesia. Produk tersebut, meski sudah setahun disimpan, tetapi masih digemari karena
5
Oktaviani, Rina,. Widyastutik,. Amaliah, Syarifah,. 2010. Dampak Asean China Terhadap Ekonomi Makro dan
Ekonomi Sektoral Indonesia. Institut Pertanian Bogor
11
harganya murah dan sesuai dengan kocek mayoritas masyarakat Indonesia, yang daya belinya
masih rendah6.
Laporan departemen Pertanian juga menyatakan bahwa selama ini banyak produk
buah-buah asal negara China yang masuk ke Indonesia sudah dalam kondisi tidak bagus
karena telah lama dipanen sehingga harganya sangat murah. Selain kualitasnya rendah,
sejumlah faktor yang dinilai menjadikan produk buah-buahan asal China bisa dijual murah
antara lain adanya subsidi dari negara, dan dumping. Meskipun di lain pihak sejak beberapa
tahun terakhir Indonesia sudah mengekspor buah hasil pertanian Indonesia ke China. Negara
itu meminta Indonesia mengekspor buah tertentu, karena jenis buah tersebut tidak ada di
China. Secara umum, kualitas buah dan hasil pertanian Indonesia lainnya tidak kalah dengan
hasil pertanian negara lain. Untuk lebih mempersiapkan lagi pemberlakuan perdagangan
bebas, diperlukan peningkatan kualitas hasil pertanian, sehingga para petani dan masyarakat
umum bisa percaya diri kalau hasil pertanian Indonesia benar-benar bagus atau tidak kalah
dengan hasil pertanian negara lain. Selain itu, Indonesia harus tetap mewaspadai taktik dan
'trik' perdagangan China dimana pada tahun 2006, misalnya, melalui perusahaan eksportir
buah-buah nasional PT Friendship Prima yang melayangkan complain adanya penolakan
ekspor produk papaya, mangga dan salak oleh Kepabeanan China, alasannya Indonesia hanya
diperbolehkan mengekspor manggis, pisang, dan longan. Pada konsultasi bilateral RI - China
di Hanoi, Vietnam, Indonesia telah meminta klarifikasi dari pihak China atas penolakan
ekspor buah-buahan tersebut, tetapi tidak mendapatkan jawaban yang memuaskan karena
instansi yang berwenang tidak ikut serta dalam sidang 7. Padahal, sebagaimana diketahui,
produk buah-buahan yang masuk dalam kerangka EHP ACFTA maka sejak 1 Januari 2004
tarif bea masuknya sudah turun. Secara formal, Direktorat Jenderal Hortikultura mengajukan
surat resmi kepada Departemen Perdagangan c.q. Direktorat Regional selaku focal point
Indonesia. Kendati pemerintah, dalam hal ini Kementerian Pertanian siap memperketat
tindakan kontrol terhadap produk buah-buah asal China yang masuk ke Indonesia, seperti
menerapkan SNI wajib dan mendorong para petani menanam produk hortikultura sesuai
dengan asas good agricultural practices (GAP), tetapi ada hal yang tetap harus diingat dari
fenomena tersebut, maka perlu dicarikan formulasi yang tepat dalam menghadapi produkproduk buah dan sayuran impor yang masuk ke Indonesia, khususnya daya saing produk
lokal terhadap produk buah dan sayur impor. Salah satu cara untuk meningkatkan daya saing
6
Lestari, Diena,. 2010. Produk Hortikultura di Bawah Bayangan Keterpurukan. Bisnis Indonesia
12
ini adalah melalui pembinaan kepada petani yang selama ini masih dirasakan belum optimal,
khususnya di tingkat daerah. Bahkan pemerintah pusat, misalnya, menuding selama ini peran
pendampingan yang dilakukan oleh pemerintah daerah masih sangat kurang. Padahal, dalam
era otonomi daerah, program pendampingan sudah sepenuhnya dilimpahkan oleh pemda.
Dalam konferensi pers baru-baru ini yang dilakukan oleh Dewan Hortikultura Indonesia
menyarankan untuk melakukan penerapan SNI wajib (meski sudah terlambat). Jika hal
tersebut dilakukan, sementara instrumen pendukung lainnya seperti infrastruktur jalan,
pelabuhan tidak dibenahi, produk pertanian-tidak hanya hortikultura-tidak akan efisien dan
mampu bersaing dengan produk impor. Selain itu juga dikatakan bahwa pembenahan sektor
pertanian khususnya hortikultura tidak hanya menjadi tanggung jawab dari Kementerian
Pertanian, tapi juga dari institusi yang lain8.
Tabel 3. Perkembangan Ekspor Sayuran dan Buah-Buah Indonesia-China
Tahun
2004
2005
2006
2007
2008
2009
Komoditi
Neraca Perdagangan
Buah
Sayuran Total
(Indonesia-China)non migas
153
139.3
292.3
8,706,064.20
206.1
175.8
381.9
12,505,216.30
225.8
171.9
397.7
14,980,466.40
279.9
122.4
402.3
18,233,389.80
302.1
264.3
566.4
26,883,672.60
230.7
246.7
477.4
22,567,793.70
Sumber: Depdag, 2009 (data diolah)
Komoditi
Neraca Perdagangan
Buah Sayuran Total
(Indonesia-China)non migas
216.4
109.3
325.7
8,706,064.20
217.5
127.4
344.9
12,505,216.30
327.8
190.6
518.4
14,980,466.40
435.4
245.1
680.5
18,233,389.80
452
292.7
744.7
26,883,672.60
549.5
275.8
825.3
22,567,793.70
Sumber: Depdag, 2009 (data diolah)
9. Metodologi Pengukuran Dampak ACFTA Terhadap Daya Saing Produk BuahBuahan dan Sayuran.
13
Seperti diketahui bahwa ACFTA memberikan dampak positif maupun negatif bagi
perkembangan perdagangan nasional khususnya di sektor pertanian, melalui konsep
comparative advantage di mana hubungan perdagangan antar negara dapat terjadi apabila
negara yang melakukan hubungan dagang masing-masing memiliki keunggulan-keunggulan
tertentu dalam menghasilkan dan memproduksi barang/jasa. Besarnya pengaruh dan dampak
kebijakan tarif sangat mempengaruhi perkembangan perdagangan dan produksi secara
keseluruhan.
Studi empiris mengenai seberapa besar dampak kebijakan ekonomi yang diambil oleh
pemerintah terhadap perkembangan perdagangan sayuran dan buaha-buahan lokal dalam
rangka meningkatkan daya saing pasca ditandanganinya ACFTA, kali ini akan dibahas secara
kuantitatif di mana penelitian ini menggunakan data time series. Adapun model ekonomi
yang diterapkan dalam penelitian ini berfungsi untuk menjelaskan fenomena ekonomi yang
terjadi berkaitan dengan kondisi perdagangan internasional setelah diberlakukannya ACFTA.
Dalam model yang digunakan terdapat empat model persamaan yaitu:
1)
2)
GDP = b0 + b1INF + b2 CG + b3 CT + b4 NP
3)
X = c0 + c1Xsb*ER - c2 T
4)
M = d0 + d1Msb*ER d2 T
Di mana diketahui:
Xsb: eksport buah dan sayur,
NPsb= neraca perdagangan ekspor buah dan sayur,
M= import buah dan sayur,
NP= neraca perdagangan total
X = total ekspor,
M= total import
INF= inflasi
ER = exchange rate
T = pajak
CT = konsumsi rumah tangga
CG = Konsumsi pemerintah
14
TP = total perdagangan
Sebagai variabel endogen adalah: TP, GDP, X, dan M. Sedangkan variabel eksogen terdiri
dari: CT, CG, ER, Xsb, Msb, NPsb, NP, dan INF.
Model dapat diartikan sebagai suatu penjelasan dari suatu fenomena nyata sebagai
suatu sistem atau proses yang sistematis (Koutsoyiannis, 1977). Labys (1973) menjelaskan
lebih lanjut bahwa model suatu komoditas merupakan penjelasan formal dari suatu pasar
domestik dan industri yang mencakup masalah ekonomi, kebijakan dan kelembagaan.
Suatu model merupakan representasi atau penyederhanaan dari fenomena aktual yang
ada didunia nyata (Intriligator, 1980). Untuk menyederhanakan fenomena tersebut dikenal
bentuk model aljabar. Model aljabar merupakan suatu model yang mampu mempresentasikan
keadaan dunia nyata atau fenomena dengan menggunakan berbagai sistem persamaan.
Suatu fenomena disederhanakan agar dapat melakukan estimasi yang akurat atas
perilaku dan fenomena. Model pendekatan yang dapat digunakan dalam menganalisis suatu
fenomena ekonomi adalah salah satu model ekonometrika.
Menurut Suharyono (1996) suatu model dikatakan baik jika memenuhi kriteria di
bawah ini :
1.
2.
3.
Dalam
2000 yang dikumpulkan dari berbagai sumber, baik dari instansi terkait seperti Badan Pusat
Statistik, Departemen Perdagangan dan Perindustrian, Bank Indonesia, Bank Dunia, FAQ,
ASKINDO, dam Departemen Pertanian maupun dari berbagai informasi-informasi lain
seperti jurnal-jurnal perkebunan, ekonomi dan hasil penelitian terdahulu serta internet. Data
yang digunakan merupakan data tahunan dan merupakan agregrasi secara nasional.
Sedangkan secara umum, analisa data digunakan untuk menjawab permasalahan yang
muncul dan mencapai tujuan yang ditetapkan serta dilakukan melalui beberapa tahapan
analisis. Adapun tahapan analisis tersebut mencakup: (1) identifikasi model, (2) metode
pendugaan model, (3) validasi model, dan (4) simulasi kebijakan ekonomi.
Setelah tahap perumusan model, langkah selanjutnya adalah melakukan analisis untuk
menduga model dalam bentuk persamaan simultan dengan melakukan identifikasi model
(Koutsoyiannis, 1977). Identifikasi berhubungan dengan masalah estimasi model. Jika suatu
persamaan tidak teridentifikasi (under identified), maka tidak ada teknik ekonometrika yang
dapat dilakukan untuk pendugaan semua parameter. Jika persamaan teridentifikasi secara
15
tepat (exactly identified), maka teknik yang paling tepat digunakan adalah Indirect Least
Square (ILS), sedangkan jika teridentifikasi secara berlebihan (over identified) maka berbagai
teknik dapat digunakan seperti Two Stage Least Squares (2SLS), Three Stage Least Squares
(3SLS), Limited Information Maximum Likehood (LIML) dan Full Information Maximum
Likehood (FIML). Identifikasi dilakukan dengan mengikuti dua syarat yaitu syarat keharusan
(order condition) dan syarat kecukupan (rank condition). Syarat keharusan terpenuhi jika
jumlah peubah predeterminan yang dikeluarkan dari persamaan yang diperiksa lebih besar
atau sama dengan jumlah peubah endogen yang di masuk-kan dalam persamaan tersebut
dikurangi satu.
Rumusan identifikasi model berdasarkan order condition adalah sebagai berikut :
(K-M) (G-1)
Di mana,
K
Jika (K-M) lebih besar dari (G-1), maka suatu persamaan dalam model teridentifikasi
berlebih; jika (K-M) sama dengan (G-1) , maka persamaan tersebut teridentifikasi secara
tepat; sedangkan jika (K-M) lebih kecil dari (G-1), maka persamaan tersebut tidak
teridentifikasi.
Sementara itu, syarat kecukupan (rank condition) untuk suatu persamaan dapat diidentifikasi
adalah jika dan hanya jika mungkin membentuk sekurang-kurangnya satu determinan tidak
nol dari (G-1) susunan dan koefisien-koefisien struktural peubah yang dikeluarkan dari
persamaan yang diperiksa tersebut.
Dalam penelitian ini, model yang telah dirumuskan terdiri dari 4 persamaan atau 4
peubah endogen (G) dan 9 peubah eksogen. Sedangkan untuk pendugaan model digunakan
model persamaan simultan dengan kondisi setiap persamaan yang teridentifikasi terlebih
dahulu, maka pendugaan parameternya dapat menggunakan beberapa metode yang ada
seperti 2SLS, 3SLS, LIML, dan FIML. Pemilihan metode harus disesuaikan dengan tujuan
penelitian, yaitu untuk mendapatkan koefisien peubah dari persamaan struktural secara
simultan. Pendugaan parameter secara simultan akan membantu simulasi kebijakan secara
16
tepat dan efisien. Metode yang dipilih untuk memperoleh nilai parameter dugaan pada model
perkembangan dan ekspor kakao di Indonesia adalah 3SLS. Metode 3SLS memberikan
pendugaan parameter struktural yang lebih efisien secara asimptotis dibandingkan metode
2SLS, karena dalam metode 3SLS digunakan informasi penuh berupa penggunaan kolerasi
unsur galat dalam persamaan struktural (Intriligator, 1980).
Alasan-alasan mengapa memilih metode 3SLS adalah:
1.
2.
3.
(53)
Di mana,
h
var
DW
lebih besar dari satu, maka uji statistic Durbin h tidak valid. Jika
statistik Durbin h lebih besar dari nilai kritis distribusi normal, maka model tidak mengalami
korelasi.
Dalam penelitian ini juga digunakan suatu validasi model yang dilakukan untuk
mengetahui apakah model tersebut cukup valid untuk simulasi kebijakan atau tidak. Dalam
validasi model, untuk melihat keragaman antara kondisi aktual dengan yang disimulasi maka
dilakukan dengan menggunakan RMSE (Root Mean Square Error), RMSPE (Root Mean
Square Precent Error) dan U-theil (Theils Inequqlity Coefficent) (Pindyck dan Rubinfeld,
1991).
Untuk melihat keeratan arah (slope) antara yang aktual dengan yang disimulasi
digunakan R (koefisien determinan). Makin kecil RMSE, RMSPE, U, serta makin besar R
maka model semakin valid untuk disimulasi. Nilai U berkisar antara 0 dan 1, jika U=0, maka
pendugaan model sempurna. Sebaliknya jika U=1, maka pendugaan model naf.
Nilai statistik tersebut dapat diperoleh dengan menggunakan rumus sebagai berikut :
RMSE =
.(54)
RMSPE =
.(55)
...(56)
Di mana,
= Nilai simulasi dasar
18
Dari hasil validasi tersebut, pada akhirnya penulis dapat melakukan suatu simulasi
yang digunakan untuk mengetahui dampak kebijakan terhadap peubah-peubah endogen.
Analisis simulasi diterapkan pada periode 1988-2009 karena lebih lengkap dan terjamin.
Analisis ini mencakup periode yang sudah lampau, sehingga simulasi ini dinamakan simulasi
historis. Dengan demikian alternatif kebijakan ekonomi yang disimulasi adalah sebagai
berikut :
1.
2.
Depresiasi nilai tukar rupiah (IDR) terhadap dolar (USD) sebesar 18 persen.
Adanya krisis ekonomi yang terjadi pada tahun 1997 yang mengakibatkan nilai tukar
rupiah melemah sampai dengan 18 persen. Skenario ini dilakukan untuk melihat
pengaruh penurunan nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat terhadap
ekspor buah dan sayuran Indonesia.
3.
Penurunan Nilai Ekspor Buah dan Sayuran sebesar 20 persen akibat globalisasi
perdagangan dan kebijakan perdagangan semenjak diberlakukannya ACFTA.
4.
Pembebasan Tarif Perdagangan (T=0) baik ekspor maupun impor sebagai konsekuensi
dan komitmen dari pelaksanaan kesepakatan free trade area, di mana masing-masing
anggota negara yang menandatanganinya harus berkomitmen dalam membebaskan
tarif dari barang/jasa yang masuk ke suatu negara anggota yang menandatangani
kesepakatan.
10. Hasil Pendugaan Model
Hasil pendugaan model metode 3SLS menunjukan bahwa R sistem cukup tinggi
yaitu mencapai 0.73456. Hal ini berarti seluruh peubah penjelas dalam model dapat
menerangkan perilaku model sebesar 73.46 persen, sedangkan sisanya yang hanya 23.54
persen diterangkan oleh peubah-peubah di luar model. Secara keseluruhan statistik F
19
mempunyai nilai yang cukup tinggi. Nilai statistik F berkisar 4.69, oleh karena itu secara
bersama-sama peubah penjelas berpengaruh nyata secara statistik terhadap peubah endogen,
digunakan uji statistik t.
Hasil statistik t menunjukkan bahwa terdapat beberapa peubah penjelas yang secara
individu tidak berpengaruh nyata terhadap peubah endogen jika menggunakan taraf nyata
atau sebesar 5 persen. Namun dengan taraf nyata yang lebih fleksibel yaitu menggunakan
yang lebih besar hingga 15 persen, maka sebagian besar peubah penjelas dalam setiap
persamaan perilaku berpengaruh nyata terhadap peubah endogennya. Taraf nyata yang
digunakan dalam penelitian ini adalah A merupakan taraf nyata sebesar 5 persen, B
merupakan taraf nyata sebesar 10 persen, C merupakan taraf nyata sebesar 15 persen .
Pengujian uji statistik DW pada model persamaan simultan yang mengandung lag merupakan
hal yang tidak valid, maka untuk menguji apakah terjadi autokorelasi atau tidak digunakan uji
statistik Durbin h. Berdasarkan hasil dugaan tersebut, dapat disimpulkan bahwa model yang
digunakan dalam penelitian ini cukup representatif dalam menjelaskan fenomena-fenomena
perdagangan sayur dan buah lokal di pasar domestik dan pasar dunia.
8.1.
Total Perdagangan
Dari hasil model diperoleh Total Perdagangan (TP) dipengaruhi oleh nilai total ekspor
(X), nilai total impor (M), total GDP, (GDP), Exchange rate (ER), dan Pajak
Perdagangan (T). Secara rinci hasil estimasi parameter dan elastisitas dari peubahpeubah yang mempengaruhi nilai total perdagangan disajikan pada table 5 berikut.
Tabel. 5. Hasil Pendugaan Parameter Fungsi Total Perdagangan (TP)
Peubah
Intersep
Ekspor Total
Impor Total
GDP
ER
Total Pajak Perdagangan
R = 0.59456
Parameter
dugaan
T for H0
Parameter=0
16885031
25.4817
-94.2654
69.40472
321.3292
26.22723
-0.27
-0.89
0.87
0.68
3.05 A
Elastisitas
Jk pendek
Jk panjang
0.032
-0.73
-0.22
0.12
-0.08
0.15
-0.58
0.36
0.09
-0.18
Fhit = 4.69
Dari tabel di atas, terlihat secara keseluruhan R square yang diperoleh adalah sebesar
0.59456, terlihat bahwa hanya Total Pajak Perdagangan yang berpengaruh secara
signifikan yaitu pada taraf nyata 5 persen, dengan nilai parameter sebesar 26.23
20
berarti setiap kenaikan pajak sebesar 1000 rupiah per-kg akan meningkatkan nilai
perdagangan sebesar 26.23 rupiah per-kg.
Sementara nilai parameter peubah total ekspor terhadap total perdagangan
adalah 25.48 yang menunjukkan bahwa jika terjadi kenaikan ekspor sebesar 1000
rupiah per-kg akan menaikkan nilai total perdangangan sebesar 25.48 rupiah per-kg.
Hal ini disebabkan karena dengan naiknya nilai ekspor secara keseluruhan maka total
perdagangan baik dalam negeri maupun luar negeri akan berpengaruh meskipun tidak
secara signifkan. Sesuai dengan teori dikatakan bahwa total perdagangan suatu negara
merupakan jumlah keseluruhan barang-barang yang diekspor dikurangi dengan
barang-barang yang diimpor. Apabila nilai ekspor lebih besar dibanding dengan nilai
impor, menunjukkan bahwa negara tersebut mengalami surplus pada neraca
perdagangan dan sebaliknya apabila nilai impor lebih besar daripada nilai ekspor,
maka dapat dikatakan negara tersebut mengalami defisit perdagangan sehingga neraca
perdagangannyapun mengalami defisit. Pada penelitian ini diketahui bahwa untuk
parameter peubah total impor terhadap total perdagangan adalah sebesar 94.27 yang
mana menunjukan bahwa jika terjadi kenaikan impor sebesar 1000 rupiah per-kg akan
menyebabkan terjadinya penurunan total perdagangan sebesar 94,27 rupiah per-kg.
Nilai parameter peubah GDP terhadap total perdagangan adalah sebesar 69.40
yang menandakan bahwa dengan kenaikan total perdagangan sebesar 1000 rupiah
akan menyebabkan kenaikan GDP sebesar 69.40 rupiah. Sedangkan untuk parameter
peubah nilai tukar (ER) terhadap total perdagangan sebesar 321.33 yang berarti bahwa
jika nilai tukar IDR menguat sebesar 1000 IDR per USD akan meyebabkan kenaikan
total perdagangan sebesar 321.33 rupiah per-kg.
Dalam jangka pendek dan jangka panjang total ekspor cukup responsif (respon
positif) terhadap total perdagangan karena elastistas yang diperoleh hanya sebesar
0,032 dan 0.15. Ini menunjukkan bahwa dengan kenaikan nilai ekspor akan
menyebabkan terjadinya kenaikan total perdangangan Indonesia secara keseluruhan
akibat semakin tingginya penawaran komoditas sayur dan buah lokal di luar negeri
yang menyebabkan nilai total perdagangan akan ikut meningkat.
Dalam jangka pendek dan jangka panjang total impor responsif terhadap total
perdagangan di mana elastisitas yang diperoleh adalah sebesar -0.73 dan -0.58 yang
menunjukkan bahwa dengan meningkatnya nilai impor sayur dan buah lokal akan
21
Akan tetapi jika dilihat dari sisi ekspor tentu saja hal ini sangatlah menghambat bagi
para petani dan khususnya para eksportir, karena dengan kenaikan pajak ini tentu saja
akan mengurangi daya saing produk/komoditas sejenis di negara lain, sehingga akan
berpotensi menurunkan nilai ekspor sayur dan buah secara khusus dan total ekpor
secara keseluruhan.
8.2.
Intersep
Inflasi
CP
CT
NP
Parameter
dugaan
T for H0
Parameter=0
33031.71
-335.979
0.011746
-0.00282
-0.52519
6.94
-1.26
0.21
-0.67
-1.81B
R = 0.35089
Elastisitas
Jk pendek
Jk panjang
-0.162
0.56
-0.082
0.018
-0.008
0.92
-0.133
0.11
Fhit = 2.3
Tabel di atas menunjukkan bahwa secara keseluruhan R square dari persamaan model
tersebut diperoleh sebesar 0.35089 yang menunjukkan terdapat hubungan antara
variabel dependen terhadap variabel independen meskipun hanya sebesar 0.35089
atau 35 persen, dan sisanya dipengaruhi oleh faktor-faktor lain (eksogen).
Nilai parameter peubah inflasi terhadap GDP adalah sebesar -335.979 yang
menunjukkan bahwa jika terjadi kenaikan harga sebesar 1000 rupiah akan
menyebabkan penurunan GDP sebesar 336 juta rupiah. Dalam jangka pendek maupun
jangka panjang antara GDP dan tingkat inflasi mengalami respon yang negatif yaitu
sebesar 0.162 yang berarti dalam jangka pendek dengan kenaikan tingkat inflasi akan
menyebabkan terjadinya penurunan GDP sebesar 0.162 dan GDP akan turun sebesar
0.008 apabila terjadi kenaikan tingkat inflasi. Hal ini disebabkan karena dengan
naiknya harga-harga barang dalam negeri akan memicu peningkatan konsumsi baik
konsumsi pemerintah maupun konsumsi rumah tangga sehingga akan mengurangi
pendapatan masyarakat secara keseluruhan.
23
meningkat sejalan dengan meningkatnya produk barang dan jasa yang dihasilkan.
Salah satu kenaikan ekspor tersebut adalah disebabkan semakin meningkatnya daya
saing produk lokal di luar negeri yang memicu para petani maupun eksportir lebih
meningkatkan kualitas dan kuantitas barang sesuai dengan keinginan dan kebutuhan
pasar luar negeri.
8.3.
Total Ekspor
Dari model diperoleh bahwa Total ekspor (X) dipengaruhi oleh nilai ekspor buah dan
sayuran dikalikan dengan nilai tukar IDR terhadap USD yang berlaku (Xsb*ER), dan
total pajak perdagangan (T). Secara rinci hasil estimasi parameter dan elastisitas dari
peubah-peubah yang mempengaruhi nilai total ekspor disajikan pada tabel 7 berikut.
Tabel. 7. Hasil Pendugaan Parameter Fungsi Total Ekspor
Peubah
Intersep
Xsb*ER
T
R =
Parameter
dugaan
26155.74
0.000048
0.097921
0.73249
T for H0
Parameter=0
4.28
1.57
3.37 A
Elastisitas
Jk pendek
Jk panjang
0.22
0.036
0.34
0.072
Fhit = 26.01
25
Begitu pula dengan parameter penduga pajak (T) terhadap Total ekspor (X),
diperoleh sebesar 0.097921 yang menunjukkan bahwa dengan kenaikan pajak sebesar
1000 rupiah per-kg akan meningkatkan besarnya nilai ekspor sebesar 97.921 rupiah
per-kg dengan asumsi bahwa kenaikan pajak tersebut tidak mempengaruhi secara
signifikan terhadap kemampuan daya saing produk lokal akan tetapi kenaikan pajak
tersebut justru ditujukan kepada jenis barang/komoditas yang masuk ke Indonesia
(impor). Sedangkan dalam jangka pendek maupun jangka panjang nilai elastisitas
pajak terhadap ekspor yang diperoleh adalah sebesar 0.036 dan 0.072, hal ini
memungkinkan bahwa dengan adanya pemberlakuan pajak (khususnya pajak impor
terhadap komoditas tertentu) akan mendorong daya saing produk/komoditas sehingga
penawaran produk/komoditas sayur dan buah lokal tidak terpengaruh oleh kenaikan
pajak tersebut.
8.4.
Intersep
Msb*ER
T
R =
0.63281
Parameter
dugaan
T for H0
Parameter=0
20204.57
1.495E-6
0.102744
5145.121
0.000048
0.059818B
Elastisitas
Jk pendek
Jk panjang
0.038
0.175
0.012
0.28
Fhit = 16.37
Dari tabel diatas diperoleh R square sebesar 0.63281 atau sebesar 63.28 persen,
dengan nilai parameter peubah Msb*ER terhadap nilai impor (M) sebesar 1.495E-6,
yang berarti bahwa dengan kenaikan Msb*ER sebesar 1000 rupiah per-kg akan
menyebabkan kenaikan impor sebesar 1.49 rupiah per-kg. Sedangkan dalam jangka
pendek dan jangka panjang elastisitas yang diperoleh adalah sebesar 0.038 dan 0.012
yang menunjukkan bahwa dengan adanya kenaikan impor sayur dan buah dari negara
tertentu (misal China) akan menyebabkan terjadinya kenaikan nilai total impor
sebesar nilai tersebut, dan juga menunjukkan bahwa permintaan dalam negeri
26
terhadap komoditas sayur dan buah akan meningkat apabila penawaran komoditas
tersebut juga meningkat sebagai akibat membanjirnya produk-produk tersebut di
dalam negeri dengan harga murah. Apabila dikaitkan dengan daya saing terhadap
komoditas dalam negeri tentu saja akan menjadi suatu ancaman yang sangat serius
(karena berpotensi mematikan usaha petani dan menurunkan produksi terhadap
komoditas tersebut).
Pada parameter peubah pajak (T) terhadap nilai impor (M) diperoleh secara
statistik sebesar 0.102744 yang menunjukkan bahwa dengan kenaikan pajak untuk
1000 rupiah per-kg komoditas sayur dan buah akan menyebabkan naiknya nilai impor
sebesar 0.102744. Hal ini terjadi sebagai akibat dampak dari kenaikan pajak ekspor
yang menyebabkan harga komoditas akan menjadi lebih mahal daripada harga
sebelum kenaikan pajak. Dengan kata lain kondisi tersebut tentu saja akan mematikan
daya saing produk lokal terhadap produk-produk impor yang nasuk ke dalam negeri.
Begitu pula secara jangka pendek maupun panjang nilai elastisitas sebesar 0.175 dan
0.28 yang menunjukkan hubungan yang cukup responsif antara pajak dan total impor
di mana dengan adanya pembebasan tarif (apabila ACFTA tersebut diberlakukan)
akan mempengaruhi daya saing produk/komoditas lokal terhadap komoditas impor
yang harganya lebih murah dibanding dengan komoditas dari dalam negeri.
8.5.
Validasi Model
Validasi model diperlukan untuk mengetahui kualitas model dalam menduga perilaku
data aktual yang digunakan di dalam model. Validasi statistik yang digunakan dalam
penelitian ini adalah RMSPE untuk mengukur seberapa dekat nilai masing-masing peubah
endogen hasil pendugaan mengikuti nilai data aktualnya selama periode pengamatan atau
seberapa jauh penyimpangannya dalam ukuran persentase Selain itu, digunakan koefisien U
Theil untuk mengevaluasi kehandalan model untuk digunakan dalam analisis simulasi
kebijakan. Suatu pendugaan model dikatakan baik apabila nilai RMSE (Root Mean Square
Error), RMSPE (Root Mean Square Percent Error), dan U Theil (Theill Inequality
Coefficient) semakin kecil. Di mana nilai U berkisar antara 0 dan 1, jika U sama dengan 0
maka pendugaan model adalah sempurna dan bila U sama dengan 1 maka pendugaan model
sangat buruk (Theil, 1965 dalam Tri Imido Sematoto, 2004).
Model yang digunakan dalam penelitian ini divalidasi selama 28 tahun terakhir
dengan menggunakan nilai RMSE, RMSPE, dan U yang disajikan dalam tabel 9 dan hasil
27
evaluasi berdasarkan kriteria tersebut menjelaskan bahwa dari 4 persamaan yang membentuk
model diperoleh hasil sebagai berikut.
Tabel 9. Validasi model Daya Saing Produk Buah dan Sayuran Lokal
Peubah Endogen
RMSE
RMSPE
11234.5
70.5194
0.2592
0.3477
GDP
Total ekspor (X)
Total Impor (M)
3026463
15070.6
14610.1
13.0906
30.3376
34.3469
0.0750
0.1196
0.1603
0.5026
0.7325
0.6328
Dari tabel di atas terlihat bahwa dari 4 persamaan yang membentuk model terdapat 3
persamaan atau 75 persen diantaranya memiliki nilai RMSPE dibawah 30 persen. Sementara
itu berdasarkan sebaran U Theil, hanya terdapat 1 persamaan atau 25 persen yang memiliki
nilai U diatas 0.2, peubah endogen yang memiliki nilai U theil yang lebih besar dari 0,21
tersebut adalah Total Perdagangan (TP).
8.6.
Peubah-peubah Endogen
Tabel 11. Dampak Kebijakan Depresiasi IDR sebesar 18 persen Terhadap Peubahpeubah Endogen
Nilai Rata-rata
Peubah Endogen
Satuan
Simulasi dasar Simulasi scenario 1
Perubahan
Total Perdagangan
(TP)
1000/ton
18695.0
18691.9
-0.00016582
GDP
1000
19868997
20217589
0.017544519
Total ekspor (X)
IDR/KG
56841.3
56910.7
0.001220943
28
IDR/KG
40028.3
40029.8
3.74735E-05
8.6.3. Dampak Penurunan Nilai Ekspor Sayur dan Buah sebesar 20 persen terhadap Peubah-
peubah Endogen
Tabel 12. Dampak Penurunan Nilai Ekspor Sayur dan Buah sebesar 20 persen terhadap
Peubah-peubah Endogen
Nilai Rata-rata
Simulasi
Simulasi
Peubah Endogen
Satuan
dasar
scenario 1
Perubahan
Total Perdagangan
(TP)
GDP
Total ekspor (X)
Total Impor (M)
1000/ton
1000
IDR/KG
IDR/KG
18695.0
19868997
45473.1
40028.3
18691.9
19866875
56910.7
40029.8
-0.00016582
-0.0001068
0.251524528
3.74735E-05
peubah Endogen
Tabel 13. Dampak Kebijakan Pembebasan Pajak/Tariff Perdagangan (t=0) terhadap
Peubah-Peubah Endogen
Nilai Rata-rata
Simulasi
Simulasi
Peubah Endogen
Satuan
dasar
scenario 1
Perubahan
Total Perdagangan
(TP)
GDP
Total ekspor (X)
Total Impor (M)
1000/ton
1000
IDR/KG
IDR/KG
18695.0
19868997
56841.3
40028.3
18691.9
17210530
38393.2
20600.2
-0.00016582
-0.133799758
-0.324554505
-0.485359108
biasa tinggi karena produktivitas SDM yang didukung infrastruktur, pembiayaan murah, dan
29
penguasaan sumber energi yang tangguh selalu mencari celah untuk membanjiri pasar dunia.
Ketika aggregat demand dunia merosot sebagai dampak krisis keuangan global 2008,
produk-produk China melakukan pelarian pasar ke negara yang konsumsinya tinggi seperti
Indonesia termasuk dengan menerapkan skema konsinyasi atau bayar belakangan dan kredit.
Bagi China yang penting produknya laku dipasaran.
Jika diamati dengan saksama, produk China umumnya hanya masuk ke segmen pasar
menengah ke bawah dan mudah menyingkirkan produk UMKM dosmetik terutama buahbuah dan hortikultura lainnya, perikanan, makanan minuman, obat-obatan, jamu-jamuan,
kosmetik,
pakaian
jadi,
alas
kaki,
mebel,
keramik,
hingga
barang
kerajinan.
Oleh karena itu, diperlukan sinergi untuk meningkatkan efektivitas dan optimalisasi
pelaksanaan program dan kebijakan tersebut seperti yang lahir dari Paket Kebijakan
Perbaikan Iklim Investasi dan Pemberdayaan UMKM (Inpres 3/2006, Inpres 6/2007, dan
Inpres 5/2008), Kebijakan Counter cyclical, dan Kebijakan Debottlenecking. Akan tetapi
masalah yang tidak pernah berkembang adalah pembiayaan perbankan untuk pembiayaan
modal kerja dan investasi. Tidak jelas apakah risiko usaha di Indonesia begitu menakutkan
ataukah ada kelemahan entrepreneurship para bankers Indonesia dibandingkan dengan begitu
mudahnya sektor riil di China dan negara tetangga kita memperoleh kredit. Untuk menarik
bank masuk ke sektor tertentu perlu intervensi anggaran pemerintah, seperti mengambil risiko
dengan penjaminan atau pemberian subsidi suku bunga. Kebijakan-kebijakan tadi sangat
memerlukan kecepatan sinergi dan komando lapangan yang mengawasi dan mengevaluasi
efektivitasnya terhadap penguatan sektor riil.
Salah satu permasalahan mengapa produk-produk lokal tidak dapat bersaing dengan
produk-produk China adalah kemampuan dari para pelaku-pelaku ekonomi yang
memproduksi barang yang setara dan bersaing dalam harga. Karena pada umumnya para
pelaku ekonomi China mampu membaca situasi suatu negara dengan tingkat konsumsi tinggi
tetapi daya belinya rendah. Dengan kenyataan tidak adanya dukungan dari dunia perbankan
dalam menggerakkan ekonomi sektor riil, karena suku bunga pinjaman kepada pelaku-pelaku
bisnis dalam negeri masih dirasakan sangat tinggi, hal ini ditandai dengan tingginya kredit
yang belum dicairkan nasabah (undisbursed loan) di sektor perdagangan pada tahun 2009
yang menunjukkan adanya kelesuan di dunia perdagangan dalam negeri. Ada beberapa alasan
mengapa sektor perbankan cukup enggan untuk terlibat dalam menggerakkan sektor riil
tersebut. Pertama, kondisi perdagangan yang tidak menguntungkan, hal ini biasa dilakukan
dengan cara melihat kapasitas daya beli masyarakat yang rendah yang berarti pesimisme dari
30
pemerintah terhadap daya beli masyarakat dan terhadap perdagangan internasional juga
cukup mempengaruhi pemerintah. Selain itu juga kecenderungan pedagang yang memiliki
kebiasaan untuk menunggu melonjaknya permintaan juga ikut berpengaruh karena
mengharapkan keuntungan besar dari lonjakan permintaan tersebut. Masalahnya, perjanjian
itu secara keseluruhan dapat menahan pengusaha untuk mencairkan kredit. Pedagang akan
cenderung menahan kredit itu. Di sisi lain, perbankan pun bakal cenderung bersikap hati-hati
dalam menyalurkan kreditnya.
Selain masalah perdagangan. kredit yang tidak tercairkan itu juga dapat disebabkan
karena proyek infrastruktur yang tertunda. Kemudian, sejumlah pengusaha beralih ke bentuk
pinjaman lain yang dinilai lebih dapat bersaing. Bank Indonesia mengumumkan perjanjian
kredit perbankan dengan nasabah yang belum dicairkan sepanjang 2009 mencapai Rp 250
triliun, di mana sebagian besar kredit yang tidak dicairkan itu berasal dari sektor
perdagangan9.
Hal itu bertolak belakang sekali dengan apa yang dilakukan oleh pemerintah China
dalam menggerakkan ekonomi sektor riil-nya. Perhatian pemerintah China terhadap industriindustri kecil dan menengah di China sangatlah besar, terbukti pemerintah China telah
mengeluarkan paket subsidi bunga bagi perbankan yang mendukung industri kecil dan
menengah di negara tersebut, sehingga para pebisnis dan pelaku ekonomi kecil dan
menengah di China merasa terbantu dan dimudahkan dalam kendala permodalan. Berbeda
dengan kondisi di Indonesia, di mana suku bunga pinjaman dirasakan masih sangat timggi
dan sangat tidak kompetitif. Suku bunga Indonesia masih sekitar 13%-15%, sementara negara
Asean termasuk China sudah 3%-5%, bahkan untuk kredit usaha kecil seperti kredit usaha
rakyat (KUR) penetapan suku bunga sangat tinggi sekitar 22%-24%. Jelas di sini terlihat,
bagaimana kesuksesan produk-produk China terjadi, dukungan yang kuat dari pemerintah
baik regulasi perdagangan, regulasi perbankan, dan infrastruktur menjadi salah satu faktor
utama. Mestinya hal inilah yang harus ditiru oleh pemerintah kita. Dengan kata lain, hal ini
bukan hanya merupakan perkerjaan rumah yang ditujukan kepada Departemen Perdagangan
dan Industri saja tetapi juga merupakan pekerjaan rumah berupa dukungan dan koordinasi
antar departemen yang terkait termasuk dalam hal ini bank sentral dan lembaga-lembaga
negara lainnya (seperti kepolisian, kejaksaan, departemen PU), BUMN, Kadin, dan pihak
swasta lainnya.
31
9.2.
telah
dijelaskan
bahwa
salah
satu
implikasi
penyebab
dari
Jenis
10.1.
Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian dampak Kebijakan Ekonomi Terhadap Upaya
Peningkatan Daya Saing Sayur dan Buah Lokal Pasca ACFTA, maka dapat disimpulkan
beberapa hal:
1) Perdagangan Indonesia mengalami masalah dalam daya saing baik produksi maupun
besaran laju perubahan nilai tambah per unit input yang dicapai oleh perusahaan.
Lemahnya dayasaing produk ekspor Indonesia karena sejumlah faktor yang menyebabkan
ekonomi biaya tinggi seperti: (1) biaya pengurusan kontainer di pelabuhan (THC) masih
tertinggi di ASEAN ditambah biaya parkir dan lewat kontainer yang dinilai memberatkan,
(2) adanya biaya pungutan liar (pungli) yang minimal 7,5% dari biaya ekspor baik itu
ditemui di jembatan timbang, jalan raya, pelabuhan, dan pelayanan perijinan baik di pusat
maupun daerah, (3) masalah struktural yang dihadapi industri yang belum tuntas digarap
secara serius seperti masih sangat tingginya kandungan impor bahan baku, bahan antara,
dan komponen untuk seluruh industri, yang berkisar antara 28-90 persen, masalah lain
seperti lemahnya penguasaan dan penerapan teknologi, rendahnya produktivitas tenaga
kerja industry, belum terintegrasinya UMKM dalam satu mata rantai pertambahan nilai
dengan industri skala besar, kurang sehatnya
terkonsentrasinya lokasi industri di pulau Jawa dan Sumatra, (4) adanya perubahan
keunggulan komparatif kelompok produk yang tidak memiliki atau memiliki keunggulan
komparatif yang rendah dimasa lalu.
2) Hasil pendugaan model metode 3SLS menunjukan bahwa R system cukup rendah yaitu
mencapai 0.73456. Hal ini berarti seluruh peubah penjelas dalam model dapat
menerangkan perilaku model sebesar 73.46 persen, sedangkan sisanya yang hanya 27.54
persen diterangkan oleh peubah-peubah diluar model. Secara keseluruhan statistik F
mempunyai nilai yang cukup tinggi. Nilai statistik F berkisar 4.69, oleh karena itu secara
bersama-sama peubah penjelas berpengaruh nyata secara statistik terhadap peubah
endogen.
3) Dari hasil model diperoleh Total Perdagangan (TP) dipengaruhi oleh nilai total ekspor
(X), nilai total impor (M), total GDP, (GDP), Exchange rate (ER), dan Pajak Perdagangan
(T). R quare yang diperoleh adalah sebesar 0.59456, terlihat bahwa hanya Total Pajak
Perdagangan yang berpengaruh secara signifikan yaitu pada taraf nyata 5 persen, dengan
nilai parameter sebesar 26.23 berarti setiap kenaikan pajak sebesar 1000 rupiah per- kg
akan meningkatkan nilai perdagangan sebesar 26 rupiah per-kg. Sementara nilai
parameter peubah total ekspor terhadap total perdagangan adalah sebesar 25.48 ini
menunjukan bahwa jika terjadi kenaikan ekspor sebesar 1000 rupaih per-kg akan
33
menaikan nilai total perdangangan sebesar 25.48 rupiah per-kg. Ini berarti dengan
naiknya nilai ekspor secara keseluruhan maka total perdagangan baik dalam negeri
maupun luar negeri akan berpengaruh meskipun tidak secara signifkan. Parameter peubah
total impor terhadap total perdagangan adalah sebesar 94.27 yang mana menunjukan
bahwa jika terjadi kenaikan impor sebesar 1000 rupiah per-kg akan menyebabkan
terjadinya penurunan total perdagangan sebesar 94,27 rupiah per-kg. Nilai parameter
peubah GDP terhadap total perdagangan adalah sebesar 69.40 yang menandakan bahwa
dengan kenaikan total perdagangan sebesar 1000 rupiah menyebabkan kenaikan GDP
sebesar 69.40 rupiah. Sedangkan untuk parameter peubah nilai tukar (ER) terhadap total
perdagangan sebesar 321.33 yang berarti bahwa jika nilai tukar IDR menguat sebesar
1000 IDR per USD akan meyebabkan kenaikan total perdagangan sebesar 321.33 rupiah
per-kg. Dalam jangka pendek dan jangka panjang total ekspor cukup responsive (respon
positif) terhadap total perdagangan karena elastistas yang diperoleh hanya sebesar 0,032
dan 0.15 ini menunjukan bahwa dengan kenaikan nilai ekspor akan menyebabkan
terjadinya kenaikan total perdangangan Indonesia secara keseluruhan akibat semakin
tingginya penawaran komoditas sayur dan buah local di luar negeri yang menyebabkan
nilai total perdagangan pun akan ikut meningkat. Dalam jangka pendek dan jangka
panjang total impor responsive terhadap total perdagangan dimana elastisitas yang
diperoleh adalah sebesar -0.73 dan -0.58 yang menunjukan bahwa dengan meningkatnya
nilai impor sayur dan buah local menyebabkan terjadinya penurunan nilai total
perdangangan secara keseluruhan sebesar nilai tersebut. Sebaliknya pada parameter
peubah GDP terlihat memiliki repon yang negative dalam jangka pendek sebesar -0.22
yang menunjukan dalam jangka pendek apabila nilai perdagangan mengalami penurunan
maka akan berpengaruh juga terhadap penurunan total GDP, hal ini disebabkan karena
nilai perdagangan tersebut mengalami deficit sehingga berpengaruh pada total GDP
secara keseluruhan. Sebaliknya dalam jangka panjang ternyata antara GDP dan total
perdagangan mengalami respon yang positif sebagai akibat kenaikan nilai perdagangan
yang disebabkan oleh kenaikan ekspor (dengan asumsi jika diterapkan pemberlakukan
pembebasan tariff ekspor kepada negara-negara lain yang menandatangani perjanjian
ACFTA) dengan nilai elastisitas sebesar 0.36. Nilai tukar IDR terhadap USD dalam
jangka pendek maupun panjang memiliki respon yang positif terhadap nilai total
perdagangan ini berarti jika nilai tukar IDR terhadap USD mengalami depresiasi maka
nilai total perdagangan Indonesia ke luar negeri juga akan meningkat sebesar nilai rupiah
34
terhadap USD , dimana elastisitas yang diperoleh baik dalam jangka pendek maupun
jangka panjang adalah sebesar 0.12 dan 0.09 Pajak Perdagangan (pajak ekspor dan impor)
dalam jangka pendek maupun jangka panjang terhadap total perdagangan memiliki
respon yang negatif yaitu sebesar 0.08 dan 0.18. Hal ini menunjukan jika terjadi kenaikan
dan nilai impor pajak akan menurunkan nilai total perdagangan secara keseluruhan. Jika
kita anlisakan bahwa dengan kenaikan pajak tersebut cenderung akan menurunkan nilai
ekspor.
4) GDP dipengaruhi oleh tingkat Inflasi (INF), Konsumsi Pemerintah (CP), Konsumsi
Rumah Tangga (CT) dan Nilai Perdagangan (NP) dimana R square dari persamaan model
tersebut diperoleh sebesar 0.35089 yang menunjukan terdapat hubungan antara variabel
dependent terhadap variabel independent meskipun hanya sebesar 0.35089 atau 35
persen, dan sisanya dipengaruhi oleh factor-faktor lain (eksogen). Nilai parameter peubah
inflasi terhadap GDP adalah sebesar -335.979 yang menunjukan bahwa jika terjadi
kenaikan harga sebesar 1000 rupiah akan menyebabkan penurunan GDP sebesar 336 juta
rupiah. Dan dalam jangka pendek maupun jangka panjang antara GDP dan tingkat inflasi
mengalami respon yang negative yaitu sebesar 0.162 yang berarti dalam jangka pendek
dengan kenaikan tingkat inflasi akan menyebabkan terjadinya penurunan GDP sebesar
0.162 dan GDP akan turun sebesar 0.008 apabila terjadi kenaikan tingkat inflasi.
Parameter peubah konsumsi pemerintah terhadap GDP sebesar 0.011746 yang
menunjukkan bahwa jika terjadi kenaikan konsumsi pemerintah maka akan menaikan
GDP sebesar 0.011746. Dan dalam jangka pendek maupun panjang konsumsi pemerintah
akan merespon secara positif terhadap kenaikan GDP, hal ini terlihat pada table dimana
dalam jangka pendek elastisitas yang diperoleh adalah sebesar 0.56 dan 0.92 untuk jangka
panjang. Parameter penduga konsumsi rumah tangga (CT) terhadap GDP adalah sebesar
-0.00282, yang menunjukan bahwa jika konsumsi ruah tangga naik maka kedua akan
menyebabkan penurunan GDP sebesar 0.00282. Sedangkan dalam jangka pendek maupun
jangka panjang elastisitas yang diperoleh adalah sebesar 0.082 dan 0.133; dimana dalam
hal ini dapat diartikan bahwa terdapat respon yang negatif antara GDP dengan konsumsi
rumah tangga (CT) ini juga berarti apabila terjadi kenaikan pada konsumsi rumah tangga
(CT) akan menyebabkan terjadinya penurunan GDP yang mungkin salah satunya
disebabkan oleh adanya kenaikan harga barang-barang komoditas (inflasi) didalam negeri
sehingga menyebabkan semakin besarnya uang yang harus dikeluarkan oleh masyarakat
untuk mengkonsumsi barang dan berakibat pada menurunnya pendapatan masyarakat
secara keseluruhan. Parameter penduga Neraca perdagangan (NP) terhadap GDP yang
35
merupakan selisih dari nilai total ekspor dikurangi nilai total impor. Dari tabel diperoleh
sebesar -0.52519. Ini berarti bahwa jika terjadi kenaikan deficit neraca perdagangan
(impor lebih besar dari ekspor) akan berakibat pada penurunan GDP secara keseluruhan
(sebagai akibat semakin menurunnya produk barang dan jasa yang dihasilkan di dalam
negeri). Dalam jangka pendek maupun jangka panjang elastisitas yang diperoleh adalah
sebesar 0.018 dan 0.11; kondisi tersebut menunjukan bahwa terdapat hubungan yang
culup responsive antara Neraca Perdagangan dengan GDP.
5) Total ekspor (X) dipengaruhi oleh nilai ekspor buah dan sayuran dikalikan dengan nilai
tukar IDR terhadap USD yang berlaku (Xsb*ER), dan total pajak perdagangan (T),
dengan R square adalah sebesar 0.73249 atau sebesar 73.25 persen. Nilai parameter
peubah Xsb*ER adalah sebesar 0.000048 pada taraf nyata sebesar 15 persen, hal ini
cenderung menjelaskan bahwa dengan kenaikan ekspor sayur dan buah local sebesar
1ooo per kg akan meningkatkan total ekspor sebesar 48 rupiah per kg Sedangkan untuk
jangka pendek dan jangka panjang nilai elastitasnya sebesar 0.22 dan 0.34 yang
menunjukan bahwa terdapat hubungan yang cukup responsive antara Total ekspor (X) dan
total ekspor buah dan sayuran dikalikan dengan nilai kurs IDR terhadap USD (Xsb*ER.
Dan ini berarti bahwa dengan semakin meningkatnya daya saing komoditas sayur dan
buah local bagi kebutuhan luar negeri mendorong peningkatan ekspor komoditas tersebut
sekaligus mampu menyumbang peningkatan ekspor secara keseluruhan. Begitupula
dengan parameter penduga pajak (T) terhadap Total ekspor (X), diperoleh sebesar
0.097921 yang menunjukan bahwa dengan kenaikan pajak sebesar 1000 rupiah per-kg
akan meningkatkan besarnya nilai ekspor sebesar 97.921 rupiah per-kg dengan asumsi
bahwa kenaikan pajak tersebut tidak mempengaruhi secara signifikan terhadap
kemampuan daya saing produk local akan tetapi justru dengan kenaikan pajak tersebut
ditujukan kepada jenis barang/komoditas yang masuk ke Indonesia (impor). Sedangkan
dalam jangka pendek maupun jangka panjang nilai elastisitas pajak terhadap ekspor yang
diperoleh adalah sebesar 0.036 dan 0.072, hal ini memungkinkan bahwa dengan adanya
pemberlakuan pajak (khususnya pajak impor terhadap komoditas tertentu) akan
mendorong daya saing produk/komoditas sehingga penawaran produk/komoditas sayur
dan buah local tidak terpengaruh oleh kenaikan pajak tersebut.
6) Total impor (M) dipengaruhi oleh nilai impor buah dan sayuran dikalikan dengan nilai
tukar IDR terhadap USD yang berlaku (Msb*ER), dan total pajak perdagangan (T),
dengan nilai R square sebesar 0.63281 atau sebesar 63.28 persen, dengan nilai parameter
peubah Msb*ER terhadap nilai impor (M) sebesar 1.495E-6, yang berarti bahwa dengan
36
kenaikan Msb*ER sebesar 1000 rupiah per-kg akan menyebabkan kenaikan impor
sebesar 1.49 rupiah per-kg.
elastisitas yang diperoleh adalah sebesar 0.038 dan 0.012 menunjukkan bahwa dengan
adanya kenaikan impor sayur dan buah dari negara tertentu (missal China) akan
menyebabkan terjadinya kenaikan nilai total impor sebesar nilai tersebut, dan juga
menunjukkan bahwa permintaan dalam negeri terhadap komoditas sayur dan buah akan
meningkat apabila penawaran komoditas tersebut juga meningkat sebagai akibat
membanjirnya produk-produk tersebut didalam negeri dengan harga murah. Pada
parameter peubah pajak (T) terhadap nilai impor (M) diperoleh secara statistic sebesar
0.102744 yang menunjukkan bahwa dengan kenaikan pajak untuk 1000 rupiah per-kg
komoditas sayur dan buah akan menyebabkan naiknya nilai impor sebesar 0.102744. ini
terjadi sebagai akibat dampak dari kenaikan pajak ekspor yang menyebabkan harga
komoditas akan menjadi lebih mahal daripada harga sebelum kenaikan pajak. Diketahui
juga jangka pendek maupun panjang nilai elastisitas adalah sebesar 0.175 dan 0.28 yang
menunjukkan terdapat hubungan yang cukup respionsive antara pajak dan total impor
dimana dengan adanya pembebasan tariff (apabila ACFTA tersebut diberlakukan) akan
mempengaruhi daya saing produk/komoditas local terhadap komoditas impor yang
harganya lebih murah dibanding dengan komoditas dari dalam negeri.
7) Terdapat 4 persamaan yang membentuk model, terdapat 3 persamaan atau 75 persen
diantaranya memiliki nilai RMSPE dibawah 30 persen. Sementara itu berdasarkan
sebaran U Theil, hanya terdapat 1 persamaan atau 25 persen yang memiliki nilai U diatas
0.2, peubah endogen yang memiliki nilai U theil yang lebih besar dari 0,21 tersebut
adalah Total Perdagangan (TP).
8) Simulasi dilakukan dengan 4 skenario, dimana untuk scenario ke-1 yaitu berupa kenaikan
tingkat inflasi sebesar 15 persen maka diperoleh nilai rata-rata untuk TP (18127.9),
GDP (19827732), X (56910.7), dan M (40029.8). Skenario 2 yaitu
Depresiasi IDR
Terhadap USD sebesar 18 persen, maka diperoleh nilai rata-rata untuk TP (18691.9), GDP
(20217589), X(56910.7), dan M(40029.8). Skenario 3 yaitu penurunan nilai Ekspor Sayur
dan Buah sebesar 20 persen, maka perubahannya akan diperoleh nilai rata-rata untuk TP
(18691.9), GDP (19866875), X (56910.7), dan M (40029.8). Sedangkan
untuk scenario ke-4 adalah kebijakan pembebasan Pajak/Tariff Perdagangan
(t=0), sehingga perubahan rata-rata diperoleh sebagai berikut: TP (18691.9), GDP
(17210530), X(38393.2), dan M(20600.2)
37
10.2. Saran
Adapun saran-saran yang bisa diberikan dalam tulisan ini adalah:
A. Peningkatan daya saing produk
Pemerintah dan para pelaku usaha agrisbisnis Indonesia dituntut untuk dapat
meningkatkan daya saing komoditas khususnya untuk produk sayuran dan buah-buah,
sehingga produknya dapat bersaing dengan produk-produk dari China yang masuk ke
Indonesia.
Adapun usaha yang dapat dilakukan dalam meningkatkan daya saing tersebut adalah:
1. Pemberian Subsidi untuk barang-barang yang akan diekspor berupa pemberian
insentif pajak.
2. Perbaikan Sistem Kredit Perbankan, melalui pemberian kredit dengan suku bunga
yang rendah.
3. Pemberian standarisasi dan label kepada jenis buah dan sayuran yang masuk ke
Indonesia, dimana peningkatan ekspor produk buah-buah Indonesia perlu diiringi penerapan
standar nasional karena negara pengimpor mulai memperketat aspek kesesuaian dengan
standar internasional.
4. Efisiensi Cost
Terhadap biaya-biaya dan kendala-kendala yang dianggap tidak mendukung
peningkatan volume perdagangan ekspor, termasuk dalam hal ini peraturan-peraturan (baik
perpu maupun perda) maupun penidaktegasan terhadap pungutan-pungutan liar yang
mempengaruhi daya saing produk (baik harga maupun kualitas)
5. Pemantapan infrastruktur (baik yang soft maupun hard)
Yang bisa mendukung daya saing produk baik kualitas, harga, dan jumlah; seperti:
aturan-aturan dan regulasi dalam negeri dan luar negeri, transportasi, promosi, listdaik,
komunikasi, dan lain-lain.
6. Mengembangkan komoditas/produk non komplementer potensial
Seperti buah-buah tropik eksotik (mangga, nenas, pisang, durian, manggis, rambutan,
papaya), sayuran tropika khusus (kacang panjang, kangkung, nangka, labu siam, ikan tangkap
(kerapu, hiu, pari, tuna, teri), rumput laut, dan makanan olahan khas Indonesia.
7. Konsep Kemitraan
Untuk memfasilitasi petani dengan penguatan modal, kualitas produk, dan pemasaran,
maka perlu dibangun suatu pola kemitraan. Penguatan modal dilakukan berdasarkan
38
pengembangan kawasan. Penekanannya pada jumlah petani yang mendapatkan modal, petani
yang bermitra, dan jumlah komoditas yang diusahakan. Sementara mengenai fasilitas
kemitraan, pemerintah harus mampu membantu penataan rantai pasokan (management
supply chain). Untuk lebih meningkatkan kemitraan, pemerintah akan menerbitkan peraturan
pemerintah karena memang belum ada yang mengatur kemitraan di bidang hortikultura.
Selama ini kemitraan diserahkan kepada petani langsung atau pengusaha yang punya model
sendiri. Konsepnya akan ditawarkan kepada pelaku usaha.
Sesungguhnya model kemitraan tergantung jenis komoditasnya. Pada kentang
misalnya, perusahan benih membantu penyediaan benih dan modal kepada petani. Lalu
petani menanam kentang sesuai varietas yang sudah disiapkan perusahaan tersebut dan sesuai
dengan permintaan pabrik. Nanti ketika panen, pabrik membeli hasil produksinya.
B. Pengembangan kawasan agribisnis holtikultura
Berdasarkan komoditas dan jenis-jenis usaha tani melalui sentra-sentra produksi dan
industri hortikultura diwilayah-wilayah tertentu.
C. Kampanye Kecintaan Produk dalam negeri disemua kalangan
Melalui upaya penggalakan program penggunaan dan kecintaan terhadap produk
dalam negeri. Dengan program ini diharapkan masyarakat dapat ikut berperan serta dalam
meningktkan daya saing produk dalam negeri, melalui upaya penggunaan produk dalam
negeri, kecintaan dan kebanggaan terhadap produk dalam negeri, sekaligus memberi
kesempatan yang besar bagi produk dalam negeri untuk menguasai pangsa pasar di negeri
sendiri. Sehingga secara langsung produk dalam negeri dapat bersaing dalam kualitas dan
produknya terhadap membanjirnya produk-produk luar.
39
DAFTAR PUSTAKA
Curry, F.E. 2001. Memahami Ekonomi Internasioanal. World Trade Press, Jakarta.
Debirtin, D.L. 1986. Agricultural Production Economics, Macmillan Publishing Company
New York.
Dornbusch, R.dan S. Fischer. 1987. Makro Ekonomi, Erlangga, Jakarta.
Handarson, J.M. dan R.E. Quant. 1980. Micro Economic Theory: A Mathematical
Approach, Mc Graw-Hill. International Stududen Edition. Singapura.
Intriligator, M.D. 1980. Econometric models, Techniques and Applications. Prentice-Hall
Inc New Delhi.
Junaidi. 1996. Teori Ekonomi Mikro. Raja Grafindo Persada, Jakarta.
Kindleberger, C.P. dan D.H. lindert. 1982. Internacional Economics. Richard D. Irwin Inc,
Massachusetts.
Koustsoyiannis, 1997. Theory of Econometrics: An Introductory Exposition of
Econometrics Methods, Second Edition. The Machmillan press Ltd, London.
Krugman, P.R. dan M. Obstfeld.2000, Internacional Economics: Theory and Policy. Fifth
Edition. Addison-Wesley Publishing Company, New York.
Labys, W.C. 1973. Dinamic Comodity Models: Specipicatio, Estimation and Simulation.
Mass D.C Heath and Company, Lexington.1975. Qualitative Model of Commodity
Markets. Balinger Publishing Company, Cambrige.
Lindert, P.H. Ekonomi Internasional. Edisi Kesembilan. Bumi Aksara, Jakarta.
40
41
Zuhud, A,. M,. Ervizal,. 2010. Tujuh Belas Jurus untuk Menanggulangi Krisis dan
Perdagangan Bebas Asean-China (ACFTA) dan Dunia Global (sebuah
pengembangan dari pemikiran Dr. Hidayat Nataatmadja), Institut Pertanian Bogor.
http://www.jpnn.com/index.php?mib=berita.detail&id=56349
http://www.depkop.go.id/Media%20Massa/719-sektor-ukm-dapat-fasilitas-kredit-ekspor.html
www.CSIS.or.id
http://www.agrina-online.com/show_article.php?rid=10&aid=1035
http://budikolonjono.blogspot.com/2010/09/sedikit-kata-tentang-acfta.html
www.spi.or.id
www.bsn.go.id
www.deptan.go.id
www.bps.go.id
www.depdag.go.id
Lampiran-Lampiran
The SAS System
The SYSLIN Procedure
Two-Stage Least Squares Estimation
Model
PERSAMAA
Dependent Variable
TP
Analysis of Variance
Source
DF
Sum of Squares
Mean Square
F Value
Pr > F
Model
2.351E14
4.703E13
4.69
0.0079
Error
16
1.604E14
1.002E13
Corrected Total
21
4.051E14
Root MSE
3165735.53 R-Square
0.59456
42
Dependent Mean
Coeff Var
0.46786
15.93304
Parameter Estimates
Variable
DF
Parameter
Estimate
Standard Error
t Value
Pr > |t|
Intercept
16885031
2536441
6.66
<.0001
25.4817
94.91370
-0.27
0.7918
-94.2654
105.5350
-0.89
0.3850
GDP
69.40472
79.59843
0.87
0.3961
ER
321.3292
475.0814
0.68
0.5085
26.22723
8.595745
3.05
0.0076
PERSAMAA
Dependent Variable
GDP
Analysis of Variance
Source
DF
Sum of Squares
Mean Square
F Value
Pr > F
Model
1.4936E9
3.7339E8
2.30
0.1011
Error
17
2.763E9
1.6253E8
Corrected Total
21
4.2566E9
Root MSE
12748.7498 R-Square
0.35089
Dependent Mean
0.19815
43
Coeff Var
68.19344
Parameter Estimates
Variable
DF
Parameter
Estimate
Standard Error
t Value
Pr > |t|
Intercept
33031.71
5563.455
5.94
<.0001
INF
-335.979
261.8323
-1.28
0.2166
CG
0.011746
0.055752
0.21
0.8356
CT
-0.00282
0.004176
-0.67
0.5089
NP
-0.52519
0.290170
-1.81
0.0880
PERSAMAA
Dependent Variable
Analysis of Variance
Source
DF
Sum of Squares
Mean Square
F Value
Pr > F
Model
1.368E10
6.8409E9
26.01
<.0001
Error
19
4.9966E9
2.6298E8
Corrected Total
21
1.868E10
Root MSE
16216.5609 R-Square
0.73249
44
Dependent Mean
Coeff Var
0.70434
28.52952
Parameter Estimates
Variable
DF
Parameter
Estimate
Standard Error
t Value
Pr > |t|
Intercept
26155.74
6113.642
4.28
0.0004
Xsb*ER
0.000048
0.000030
1.57
0.1330
0.097921
0.029062
3.37
0.0032
T signifikan pada taraf nyata 5 persen dan Xsb*ER pada taraf nyata 15 persen
45
PERSAMAA
Dependent Variable
Analysis of Variance
Source
DF
Sum of Squares
Mean Square
F Value
Pr > F
Model
8.0929E9
4.0465E9
16.37
<.0001
Error
19
4.696E9
2.4716E8
Corrected Total
21
1.279E10
Root MSE
15721.3101 R-Square
0.63281
Dependent Mean
0.59415
Coeff Var
39.27548
Parameter Estimates
Variable
DF
Parameter
Estimate
Standard Error
t Value
Pr > |t|
Intercept
20204.57
5145.121
3.93
0.0009
Msb*ER
1.495E-6
0.000048
0.03
0.9753
0.102744
0.059818
1.72
0.1021
T singifikan pada taraf nyata 10 persen dan Msb*Er pada taraf nyata 10 persen
46
Source
F Value
Model
5 2.351E14 4.703E13
Error
16 1.604E14 1.002E13
Corrected Total
21 4.051E14
4.69
Pr > F
0.0079
Root MSE
3165735.53 R-Square
0.59456
Dependent Mean 19868997.3 Adj R-Sq
0.46786
Coeff Var
15.93304
Parameter Estimates
Parameter Standard
DF
Estimate
Error
Variable
Intercept
X
M
GDP
ER
T
t Value
Pr > |t|
16885031
2536441
6.66
<.0001
25.4817 94.91370
-0.27
0.7918
-94.2654 105.5350
-0.89
0.3850
1
69.40472 79.59843
0.87
0.3961
1
321.3292 475.0814
0.68
0.5085
1
26.22723 8.595745
3.05
0.0076
1
1
Source
Model
4 1.4936E9 3.7339E8
Error
17
2.763E9 1.6253E8
Corrected Total
21 4.2566E9
F Value
2.30
Pr > F
0.1011
Root MSE
12748.7498 R-Square
0.35089
Dependent Mean 18694.9786 Adj R-Sq
0.19815
Coeff Var
68.19344
Parameter Estimates
Variable
Intercept
INF
CG
CT
NP
Parameter Standard
DF
Estimate
Error
1
1
1
1
1
t Value
Pr > |t|
33031.71 5563.455
5.94
<.0001
-335.979 261.8323
-1.28
0.2166
0.011746 0.055752
0.21
0.8356
-0.00282 0.004176
-0.67
0.5089
-0.52519 0.290170
-1.81
0.0880
47
Source
Model
2 1.368E10 6.8409E9
Error
19 4.9966E9 2.6298E8
Corrected Total
21 1.868E10
F Value
26.01
Pr > F
<.0001
Root MSE
16216.5609 R-Square
0.73249
Dependent Mean 56841.3409 Adj R-Sq
0.70434
Coeff Var
28.52952
Parameter Estimates
Parameter Standard
DF
Estimate
Error
Variable
Intercept
A
T
1
1
t Value
Pr > |t|
26155.74 6113.642
4.28
0.0004
0.000048 0.000030
1.57
0.1330
0.097921 0.029062
3.37
0.0032
Source
Model
2 8.0929E9 4.0465E9
Error
19
4.696E9 2.4716E8
Corrected Total
21 1.279E10
F Value
16.37
Pr > F
<.0001
Root MSE
15721.3101 R-Square
0.63281
Dependent Mean 40028.3091 Adj R-Sq
0.59415
Coeff Var
39.27548
Parameter Estimates
Parameter Standard
DF
Estimate
Error
Variable
Intercept
B
T
1
1
1
t Value
Pr > |t|
20204.57 5145.121
3.93
0.0009
1.495E-6 0.000048
0.03
0.9753
0.102744 0.059818
1.72
0.1021
48
BAWANG
Solution Summary
Variables Solved
4
Solution Method
NEWTON
CONVERGE=
1E-8
Maximum CC
2.15E-16
Maximum Iterations
1
Total Iterations
22
Average Iterations
1
Observations Processed
Read
Solved
22
22
1.
GDP TP X M
Variable
N Obs
GDP
TP
X
M
22
22
22
22
Actual
Mean
Predicted
Std Dev
Mean
Std Dev
22
18695.0
14237.1
18127.9
8730.4
22 19868997
4392182 19827732
3041877
22
56841.3
29823.6
56910.7
25568.0
22
40028.3
24677.9
40029.8
19632.3
Statistics of fit
Variable
GDP
TP
X
M
Mean
Mean % Mean Abs Mean Abs
RMS
RMS %
Error
Error
Error % Error
Error
Error R-Square
22
-567.1
22 -41265.5
22 69.3389
22
1.4725
19.3885
8662.6 58.6119 11234.5 70.5194
0.3477
1.6562 2042319
9.2775 3026463 13.0908
0.5026
6.5749 10290.8 20.2686 15070.6 30.3378
0.7325
8.2393
9881.7 26.1707 14610.1 34.3489
0.6328
Variable
GDP
TP
X
Corr
MSE
49
22 2.1346E8
0.80
0.00
0.00
1.00
0.11
0.89
0.3127
0.1603
Variable
Relative Change
MSE Decomposition Proportions
Corr Bias
Reg Dist
Var Covar Inequality Coef
N
MSE
(R) (UM) (UR) (UD) (US) (UC)
U1
GDP
TP
X
M
BAWANG
Solution Summary
Variables Solved
4
Solution Method
NEWTON
CONVERGE=
1E-8
Maximum CC
2.16E-16
Maximum Iterations
1
Total Iterations
22
Average Iterations
1
Observations Processed
Read
Solved
22
22
GDP TP X M
N Obs
GDP
TP
X
M
22
22
22
22
Actual
Mean
Predicted
Std Dev
Mean
Std Dev
22
18695.0
14237.1
18691.9
8435.4
22 19868997
4392182 20217589
3207227
22
56841.3
29823.6
56910.7
25568.0
22
40028.3
24677.9
40029.8
19632.3
50
Statistics of fit
Variable
GDP
TP
X
M
Mean
Mean % Mean Abs Mean Abs
RMS
RMS %
Error
Error
Error % Error
Error
Error R-Square
22 -3.1231 26.2326
8635.1 57.7438 11206.8 69.4819
0.3509
22
348591
3.5905 2109118
9.9205 3056275 13.9110
0.4927
22 69.3389
6.5749 10290.8 20.2686 15070.6 30.3378
0.7325
22
1.4725
8.2393
9881.7 26.1707 14610.1 34.3489
0.6328
Theil Forecast Error Statistics
Variable
GDP
TP
X
M
Corr
MSE
Variable
GDP
TP
X
Relative Change
MSE Decomposition Proportions
Corr Bias
Reg Dist
Var Covar Inequality Coef
N
MSE
(R) (UM) (UR) (UD) (US) (UC)
U1
BAWANG
Solution Summary
Variables Solved
4
Solution Method
NEWTON
CONVERGE=
1E-8
Maximum CC
2.15E-16
Maximum Iterations
1
Total Iterations
22
Average Iterations
1
Observations Processed
Read
Solved
22
22
GDP TP X M
51
N Obs
GDP
TP
X
M
22
22
22
22
Actual
Mean
Predicted
Std Dev
Mean
Std Dev
22
18695.0
14237.1
18691.9
8435.4
22 19868997
4392182 19866875
3035256
22
45473.1
23858.9
56910.7
25568.0
22
40028.3
24677.9
40029.8
19632.3
Statistics of fit
Variable
GDP
TP
X
M
Mean
Mean % Mean Abs Mean Abs
RMS
RMS %
Error
Error
Error % Error
Error
Error R-Square
22 -3.1231 26.2326
8635.1 57.7438 11206.8 69.4819
0.3509
22 -2122.1
1.8709 2057455
9.3802 3034708 13.1808
0.4999
22 11437.6 33.2186 11831.2 34.1931 17363.0 49.7396
0.4452
22
1.4725
8.2393
9881.7 26.1707 14610.1 34.3489
0.6328
Theil Forecast Error Statistics
Variable
GDP
TP
X
M
Corr
MSE
Variable
GDP
TP
X
Relative Change
MSE Decomposition Proportions
Corr Bias
Reg Dist
Var Covar Inequality Coef
N
MSE
(R) (UM) (UR) (UD) (US) (UC)
U1
BAWANG
52
Solution Summary
Variables Solved
4
Solution Method
NEWTON
CONVERGE=
1E-8
Maximum CC
3.4E-16
Maximum Iterations
1
Total Iterations
22
Average Iterations
1
Observations Processed
Read
Solved
22
22
GDP TP X M
T=0
The SIMNLIN Procedure
Simultaneous Simulation
Descriptive Statistics
Variable
N Obs
GDP
TP
X
M
22
22
22
22
Actual
Mean
Predicted
Std Dev
Mean
Std Dev
22
18695.0
14237.1
18691.9
8435.4
22 19868997
4392182 17210530
547884
22
56841.3
29823.6
38393.2
8616.6
22
40028.3
24677.9
20600.2
353.1
Statistics of fit
Variable
GDP
TP
X
M
Mean
Mean % Mean Abs Mean Abs
RMS
RMS %
Error
Error
Error % Error
Error
Error R-Square
22 -3.1231 26.2326
8635.1 57.7438 11206.8 69.4819
0.3509
22 -2658468 -10.3054 2843699 11.4008 4798202 17.7147
-.2503
22 -18448.1 -21.3057 20017.7 28.7658 29815.6 33.6585
-.0471
22 -19428.1 -34.8545 20417.1 41.8126 30761.4 45.9168
-.6278
Theil Forecast Error Statistics
Variable
GDP
TP
X
M
Corr
MSE
Variable
Relative Change
MSE Decomposition Proportions
Corr Bias
Reg Dist
Var Covar Inequality Coef
N
MSE
(R) (UM) (UR) (UD) (US) (UC)
U1
GDP
TP
X
M
53