You are on page 1of 7

Sodium-Cooled Fast Reactor (SFR)

The SFR uses liquid sodium as the reactor coolant, allowing high power density with
low coolant volume fraction and operation at low pressure. While the oxygen-free
environment prevents corrosion, sodium reacts chemically with air and water and
requires a sealed coolant system.
Plant size options under consideration range from small, 50 to 300 MW e, modular
reactors to larger plants up to 1 500 MW e. The outlet temperature is 500-550C for
the options, which allows the use of the materials developed and proven in prior fast
reactor programs.
The SFR closed fuel cycle enables regeneration of fissile fuel and facilitates
management of minor actinides. However, this requires that recycle fuels be
developed and qualified for use. Important safety features of the Generation IV
system include a long thermal response time, a reasonable margin to coolant boiling,
a primary system that operates near atmospheric pressure, and an intermediate
sodium system between the radioactive sodium in the primary system and the power
conversion system. Water/steam, supercritical carbon-dioxide or nitrogen can be
considered as working fluids for the power conversion system to achieve high
performance in terms of thermal efficiency, safety and reliability. With innovations to
reduce capital cost, the SFR is aimed to be economically competitive in future
electricity markets. In addition, the fast neutron spectrum greatly extends the uranium
resources compared to thermal reactors. The SFR is considered to be the nearestterm deployable system for actinide management.
Much of the basic technology for the SFR has been established in former fast reactor
programmes, and is being confirmed by the Phenix end-of-life tests in France, the
restart of Monju in Japan and the lifetime extension of BN-600 in Russia. New
programs involving SFR technology include the Chinese experimental fast reactor
(CEFR) which was connected to the grid in July 2011, and Indias prototype fast
breeder reactor (PFBR) which is currently planned to go critical in 2013.
The SFR is an attractive energy source for nations that desire to make the best use
of limited nuclear fuel resources and manage nuclear waste by closing the fuel cycle.
Fast reactors hold a unique role in the actinide management mission because they
operate with high energy neutrons that are more effective at fissioning actinides. The
main characteristics of the SFR for actinide management mission are:

Consumption of transuranics in a closed fuel cycle, thus reducing the


radiotoxicity and heat load which facilitates waste disposal and geologic isolation.

Enhanced utilisation of uranium resources through efficient management of


fissile materials and multi-recycle.

High level of safety achieved through inherent and passive means also allows
accommodation of transients and bounding events with significant safety margins.
The reactor unit can be arranged in a pool layout or a compact loop layout. Three
options are considered:

A large size (600 to 1 500 MWe) loop-type reactor with mixed uraniumplutonium oxide fuel and potentially minor actinides, supported by a fuel cycle
based upon advanced aqueous processing at a central location serving a
number of reactors.

An intermediate-to-large size (300 to 1 500 MW e) pool-type reactor with oxide


or metal fuel.

A small size (50 to 150 MWe) modular-type reactor with uranium-plutoniumminor-actinide-zirconium metal alloy fuel, supported by a fuel cycle based on
pyrometallurgical processing in facilities integrated with the reactor.

Generation IV International Forum

Bertempat di Pusat Aplikasi Isotop dan Radiasi, BATAN mengumumkan


rencana pembangunan Reaktor Daya Non Komersial (RDNK)/Reaktor
Daya Eksperimental di hadapan sejumlah media cetak dan elektronik.
RDE atau yang lebih dikenal dengan PLTN mini ini direncanakan akan
dibangun di Kawasan Puspiptek, Serpong.
Kepala BATAN, Djarot Sulistio Wisnubroto, mengungkapkan RDE
mulai dibangun tahun ini dan diharapkan selesai tahun 2019
menjelang berakhirnya tahun Renstra 2014-2019. Pembangunan
RDE, lanjutnya, merupakan komitmen untuk mengenalkan nuklir
sebagai sumber daya listrik baru di masa depan.
RDE merupakan suatu strategi pemerintah untuk mengenalkan reaktor
nuklir yang menghasilkan listrik dan sekaligus dapat digunakan untuk
eksperimen/riset, kata Djarot.
Tipe reaktor yang dipilih adalah generasi ke-4 yang memiliki teknologi
keselamatan lebih tinggi dibandingkan dengan generasi sebelumnya.
Tipe ini, tambahnya, bisa digunakan untuk proses desalinasi (mengubah
air laut menjadi air tawar), produksi hidrogen, dan proses pencarian
batubara.
RDE merupakan PLTN mini masa depan yang dapat diaplikasikan di
daerah yang tidak membutuhkan daya besar, terutama di wilayah
Indonesia Bagian Tengah dan Timur, tambahnya.
Rencana pembangunan RDE sudah melalui pembahasan ditingkat tiga
menteri, yaitu Menteri Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi, Menteri

Energi dan Sumber Daya Mineral, Menteri Perencanaan Pembangunan


Nasional (Bappenas), Kepala Bapeten, dan Kepala BATAN.
Berbagai persiapan dilakukan dengan membentuk tim pembangunan
RDE, yang bertugas melakukan kajian teknis kelayakan calon tapak,
menyusun persyaratan teknis perizinan, dan sosialisasi ke masyarakat,
terutama di sekitar calon tapak. Beberapa negara juga menyatakan
ketertarikannya menjadi mitra seperti Jepang, Tiongkok, Afrika Selatan,
dan Rusia.
Persiapan lainnya, melakukan kajian dari aspek peraturan perundangundangan untuk melihat sejauh mana kewenangan yang dimiliki
BATAN,.
Kajian itu telah diselesaikan pada akhir 2014 dan memberi kesimpulan
BATAN memiliki kewenangan untuk membangun dan mengoperasikan
RDE sesuai dengan UU 10 Tahun 1997 tentang Ketenaganukliran dan PP
2 tahun 2014 tentang Perizinan Instalasi Nuklir dan Pemanfaatan Bahan
Nuklir.
Pemerintah berencana akan menggelontorkan anggaran sebesar Rp 1,6
triliun untuk RDE. Anggaran dari pemerintah sebesar Rp 1,6 triliun
selama empat tahun. Jadi rata-rata pertahun dapat 400 miliar, katanya.
Hingga saat ini, BATAN baru menerima dana RDE sekitar 50 hingga 60
miliar yang diperuntukan sampai akhir tahun 2015.
Pembangunan RDE terdiri dari lima fase yang telah dibagi-bagi sesuai
perkiraan target per tahunnya. Untuk sepanjang tahun 2015, kita fokus
padaengineering. Kenapa? Supaya kita tahu bagaimana desain besarnya,

prediksi harga, dan kemampuan yang bisa dihasilkan, tambah Deputi


Bidang Teknologi Energi Nuklir, Taswanda Taryo.
BATAN sangat optimis akan pembangunan tenaga nuklir multifungsi ini.
Tujuan pembangunan RDE adalah sebagai penguasaan teknologi putraputri bangsa dalam managemen pembangunan, pengoperasian, dan
perawatan reaktor nuklir untuk pembangkit listrik (tnt).
Sumber : Batan
PLTN generasi IV adalah reaktor daya hasil pengembangan inovatif
dari PLTN generasi sebelumnya. PLTN generasi IV terdiri dari enam tipe
reaktor dayayang diseleksi dari sekitar 100 buah desain. Kriteria seleksi
adalah aspek ekonomiyang tinggi, tingkat keselamatan lanjut,
menghasilkan limbah dengan kuantitasyang sangat rendah, dan tahan
terhadap aturan NPT. PLTN generasi IV dirancangtidak hanya berfungsi
sebagai instalasi pemasok daya listrik saja, tetapi dapat puladigunakan
untuk pemasok energi termal kepada industri proses. Oleh karena itu
PLTN generasi IV tidak lagi disebut sebagai PLTN, tetapidisebut sebagai
Sistem Energi Nuklir (SEN) atau Nuclear Energy System (NES).
Enam tipe dari reaktor daya generasi IV adalah: Very High Temperature
Reactor (VHTR), Sodium-cooled Fast Reactor (SFR), Gas-cooled Fast
Reactor (GFR),Liquid metal cooled Fast Reactor (LFR), Molten Salt
Reactor (MSR), dan SuperCritical Water-cooled Reactor (SCWR).Secara
konseptual, reaktor Gen IV memiliki semua fitur dari Gen III +
unit, serta kemampuan, ketika beroperasi pada suhu tinggi, untuk
mendukung ekonomi produksi hidrogen, energi panas off-mengambil,

dan bahkan mungkin desalinasiair. Selain itu, desain ini termasuk


canggih aktinida manajemen.
Reaktor Gen IV akan sampai dua sampai empat dekade ke
depan,meskipun beberapa desain bisa akan tersedia dalam satu dekade .
Seperti dalamkasus Gen III dan Gen III + desain dalam Amerika Serikat ,
Gen IV desain harus disertifikasi oleh NRC sesuai dengan 10 CFR Part
52 , sesuai dengan peraturandiperbarui dan panduan peraturan .
Menurut Prof.Dr Zaki Suud, pakar keselataman nuklir dan biofisika dari
Intitut Teknologi Bandung, PLTN saat ini menjadi pertimbangan banyak
negara dalam mengatasi semakin berkurangnya sumber daya energi.
Tidak heran negara maju hingga negara tetangga seperti seperti
Malaysia, Thailand, Philipina bahkan Vietnam mulai melirik tenaga
nuklir sebagai penghasil energi.
Zaki menyontohkan saat ini Cina sangat mengandalkan sumber
energinya pada tenaga nuklir. Cina memiliki 140 tenaga nuklir, karena
Cina menyadari tenaga nuklir ini adalah pembangkin energi paling
murah bersamaan dengan batubara, ungkap Zaki.
Menurut Zaki pasca kecelakaan Chernobyl muncul reaktor generasi IV
yang mengatasi berbagai kendala PLTN yang sudah ada sebelumnya.
Reaktor generasi ke empat ini adalah reaktor menuju inherent safety
dengan limbah minimum daur ulang. Penggunaan uranium alam secara
efisien, non-proliferasi, serta ekonomis. Yang penting diketahui
masyarakat bahwa reaktor nuklir generasi ke empat ini dirancang
membakar sendiri bahan limbahnya, jelas Zaki.

Oleh karena banyak nilai positifnya karena itu lanjut Zaki Rusia pada
2014 akan membangun reaktor nuklir generasi ke IV ini. Indonesia juga
disarankan jika ingin membangun PLTN nya sebaiknya reaktor generasi
ke empat atau sedikitnya generasi ke tiga, katanya.

You might also like