You are on page 1of 17

Pemanfaatan Palm Fatty Acid Distillate(PFAD) Hasil Samping Proses Rafinasi Crude

Palm Oil (CPO) sebagai Media Produksi Polihydroxyalkanoates (PHA) oleh Ralstonia
eutropha
The use of Palm Fatty Acid Distillate (PFAD) by Product in Refinery of Crude Palm Oil
(CPO) for Media Production of Polyhydroxyalkanoate (PHA) by Ralstonia eutropha.
Sherly Marelisa1, Khaswar Syamsu2, Ani Suryani2
Abstract
The price of Palm Fatty Acid Distillate (PFAD) is cheaper than the price of crude
palm oil, even when it is compared with the price of sunflower oil which is used as raw
material for the production of PHA. Polyhydroxyalkanoate (PHA) is a raw material for
environmentally friendly bioplastic being able to be 100% degradable in the environment. In
this study PFAD is used as substrates in batch cultivation for the growth of Ralstonia
eutropha by modifying the level of the C/N ratios of 15:1, 20:1, 25:1, 30:1, 35:1, and 40:1.
By the time of cultivation for 72 hours it is found that Ralstonia eutropha can grow by using
PFAD as a substrate. It was characterized by cell growth, product formation and substrate
utilization. The highest max value is found at the C/N ratio of 40:1 with a value of 0.23/ h
and the total biomass was the highest at the C/N rasio of 25:1 with a value of 8,19 g/L. The
highest PHA content is found at the ratio of 35:1 with the total biomass of 5,91 g /L and the
amount of PHA of 3,46 g/L. FTIR analysis results show that the wavenumber of PHA
strongly appear at a wavenumber of 1725 cm-1 and comparable with standard PHB which
appears at 1724.43 cm-1 it is in accordance with C=O bond, wavenumber of 1000-1300 cm - 1
together with the bonding of C-O in ester groups.
Keywords: Palm Fatty Acid Distillate, Polyhydroxyalkanoate, Ralstonia eutropha
PENDAHULUAN
Polyhydrokyalkanoates (PHA) merupakan polimer dari asam hidroksialkanoat yang
diproduksi secara intraselular oleh sejumlah bakteri sebagai komponen simpanan energi dan
karbon intraseluler, yang diakumulasi sebagai granula dalam sitoplasma sel (Lee 1996). PHA
dapat diproduksi dari bahan bergula, berpati, minyak-minyak nabati dan turunannya serta
dapat diproduksi dari hasil samping produk pertanian seperti whey, molases bahkan dari
limbah pengolahan pertanian seperti limbah pengolahan tomat dan limbah pengolahan paper
mill. . Minyak nabati yang telah dimanfaatkan tersebut diantaranya crude palm oil, crude
palm kernel oil, cooking oil, palm olein, olive oil, sunflower oil, dan coconut oil (Lee et al.
2008).

Mahasiswa S2 Program Studi Teknologi Industri Pertanian

Komisis Pembimbing, Staf Pengajar Dep. Teknologi Industri Pertanian

Produksi minyak nabati yang terbesar di Indonesia adalah minyak sawit.


Pengembangan minyak sawit dan hasil samping dari pengolahan minyak sawit ini berpotensi
untuk dimanfaatkan sebagai bahan baku produksi PHA khususnya di Indonesia. Produksi
CPO menurut Dirjen perkebunan pada tahun 2009 telah melebihi 20 juta ton. Hasil samping
dari pengolahan CPO menjadi minyak goreng menghasilkan palm fatty acid distillate (PFAD)
berkisar 3 -3,7 % (b/b) dari minyak sawit kasar (Gapor et al. 1992).
Harga PFAD lebih murah jika dibandingkan dengan harga crude palm oil (CPO), palm
oil, bahkan jika dibandingkan dengan harga sunflower oil apabila dijadikan bahan baku untuk
pembuatan PHA. Harga penjualan PHA dipasar dunia perkilogramnya mencapai 16 $, harga
bahan baku pembuatan PHA yang mahal akan mempengaruhi harga penjualan PHA Harga
CPO per kilonya Rp.5000,- sampai Rp. 8000 sedangkan harga PFAD per kilonya Rp.2500,sampai Rp.5000,-. Selain harga CPO dan minyak nabati lebih mahal, CPO dan minyak nabati
terlebih dahulu perlu dihidrolisis atau disaponifikasi sebelum digunakan sebagai substrat
dalam produksi PHA, sehingga memerlukan tambahan enzim, bahan kimia dan waktu untuk
memproduksi PHA. PFAD ini diharapkan bisa langsung digunakan oleh mikroba sebagai
substrat untuk pertumbuhannya sekaligus memproduksi PHA. Pemanfaatan PFAD ini
diharapkan akan menurunkan biaya produksinya dan juga diharapkan mampu menghasilkan
% PHA yang lebih tinggi.
METODE PENELITIAN
Waktu dan Tempat Penelitian
Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Rekayasa Bioproses, Pusat Penelitian dan
Pengembangan Sumber Daya Hayati dan Bioteknologi IPB, Laboratorium Teknologi Kimia
dan Laboratorium Bioindustri Departemen Teknologi Industri Pertanian IPB, Laboratorium
Terpadu Pusat Studi Biofarmaka IPB dan Laboratorium Uji Material Batan Serpong.

Bahan dan Alat


Bahan yang digunakan dalam pembuatan PHA adalah PFAD sebagai sumber C dan
(NH4)2HPO4, sebagai sumber N. Bakteri Ralstonia eutropha IAM 12368 dan bahan lain yang
dibutuhkan untuk kultivasi bakteri dan isolasi PHA adalah Nutrien broth, free fatty acid, HCl,
K2HPO4, KH2PO4, 10 ml MgSO4 0,1 M, 1 ml mikroelemen yang teridiri dari 2,8 g
FeSO4.7H2O, 1,98 g MnCl2.4H2O, 2,81 CoSO4.7H2O, 0,17 CuCl2.2H2O, 1,67 CaCl.2H2O, dan
0,29 g ZnSO4.7H2O, yang dilarutkan didalam 1 L HCl 1 N. NaOH, etanol NH4OH,
kloroform dan NaOCl. Pada analisa karakteristik PHA digunakan pembanding dari PHB
murni komersial (natural origin).

Mahasiswa S2 Program Studi Teknologi Industri Pertanian

Komisis Pembimbing, Staf Pengajar Dep. Teknologi Industri Pertanian

Alat yang digunakan dalam kultivasi adalah bioreaktor, autoklaf, pH meter, waterbath
sheker, rotary shaking inkubator, sentrifuse, penyaringan vakum, termomometer, oven,
desikator, freezer, neraca analitik, kondensor, hotplet, ose, bunsen, dan pendingin tegak. Alat
untuk mengetahui gugus fungsi bahan adalah Fourier Transform Infra Red (FTIR)
Spectronic 20. Suhu pelelehan (Tm) dengan dianalisa dengan alat DSC (Differential
Scanning Calorimetry).
Tahapan Penelitian
1. Karakterisasi PFAD sebagai media produksi PHA.
PFAD sebelum digunakan sebagai media kultivasi pembentukan PHA akan diukur kadar
FFAnya dengan titrasi KOH. PFAD juga dianalisa total karbon dan nitrogennya dengan
alat CHNS analyzer merk Elementor Vario EL. Total karbon dan nitrogen pada PFAD
telah diketahui dilanjutkan dengan perhitungan jumlah PFAD yang dibutuhkan
berdasarkan rasio C/N.
2. Produksi PHA
Persiapan Inokulum
Proses ini diawali dengan melakukan penyegaran dengan menginokulasi 50 l inokulum
dari media penyegaran sebelumnya ke dalam 8 ml media Nutrient Broth. Inokulum dari
nutrient broth kemudian diperbanyak pada media agar miring. Inokulum akan digunakan
dalam proses kultivasi berupa kultur Ralstonia eutropha diambil sebanyak 2-3 ose dari
media penyegaran agar miring dan diinokulasi pada media propagasi. Media propagasi
volumenya sebanyak 10 % dari volume media kultivasi yaitu sebesar 120 ml. Media
propagasi ini dikultivasi selama 24 jam pada suhu 34 oC dalam inkubator goyang.

Persiapan Media Kultivasi


Kultur R. eutropa hasil propagansi yang telah ditumbuhkan terlebih dahulu secara batch
selama 24 jam akan dipindahkan pada media kultivasi skala bioreaktor 2 L, dengan
volume kerja 1,2 L. Media kultivasi yang digunakan terdiri dari PFAD sebagai sumber
karbon dengan perbandingan rasio C/N media yaitu 15:1, 20:1, 25:1, 30:1, 35:1, dan 40:1
serta sumber nitrogen diambil dari (NH4)2HPO4. Media kultivasi selain terdiri dari Sumber
karbon dan nitrogen, juga ditambahkan sumber kalium dari 5.8 g K2HPO4 dan 3.7 g
KH2PO4. MgSO4 0.1 M 10 ml, 1 ml larutan mikro elemen dan sejumlah air destilasi
ditambahkan hingga volume akhir medium kultivasi sebesar 1080 ml. Medium kultivasi
terlebih dahulu disterilisasi dalam autoclave pada suhu 121oC selama 15 menit. Media
kultivasi hasil sterilisasi ini dipindahkan kedalam bioreaktor dan diinokulasi dengan R.
1

Mahasiswa S2 Program Studi Teknologi Industri Pertanian

Komisis Pembimbing, Staf Pengajar Dep. Teknologi Industri Pertanian

eutropa dari media propagasi. Kultivasi dilakukan selama 3 hari pada pH 7 suhu 34 oC,
agitasi 200 rpm, dan laju aerasi 0,2 vvm (Syamsu et al. 2006). Pembatasan aerasi tidak
dilakukan dimana kultivasi berlangsung secara aerob obligat.
Isolasi PHA
Pada jam ke 72 tahap akhir kultivasi batch, dilakukan pemanenan kemudian dilakukan
isolasi PHA. Tahapan isolasi PHA dimulai dengan proses homogenisasi broth selama 3x10
menit dengan menggunakan alat homogenizer. Setelah homogen media hasil kultivasi
disentrifugasi (9000 rpm, 4 o C) selama 20 menit kemudian dipisahkan antara suspensi dan
pelet. Pelet kemudian direndam dalam larutan NaOCl 2 % selama 24 jam. Suspensi
poliester dalam NaOCl selanjutnya disentrifugasi (9000 rpm, 4o C) selama 20 menit. Hasil
sentrifugasi selanjutnya dicuci dengan air panas, disentrifugasi kembali dan dikeringkan
selanjutnya ditimbang sebagai PHA. PHA yang dihasilkan direfluks dengan kloroform
dengan perbandingan setiap 3 g PHA direfluks kedalam 50 ml klorofom. PHA yang
dihasilkan disaring dan dikeringkan pada suhu 60 o C (Lee et al. 2008 ; Wicaksono 2005).
Desain penelitian yang dilakukan untuk mengkaji pengaruh C/N rasio yang digunakan
sebagai media pertumbuhan adalah berdasarkan konsentrasi C dan N dalam media
kultivasi. Konsentrasi C dan N yang digunakan adalah :
1. Rasio C/N 15 :1 = 15 g C : 1 g N
2. Rasio C/N 20 :1 = 20 g C : 1 g N
3. Rasio C/N 25 :1 = 25 g C : 1 g N
4. Rasio C/N 30 :1 = 30 g C : 1 g N
5. Rasio C/N 35 :1 = 35 g C : 1 g N
6. Rasio C/N 40 :1 = 40 g C : 1 g N
Proses Kultivasi berlangsung selama 72 jam dan setiap 6 jam sekali dilakukan sampling
dan dilakukan pengamatan terhadap :
a. Total plate count (Anonim, 1981)
Sample
bakteri.

dianalisa total plate count (TPC) guna mengetahui jumlah total koloni

b. Berat kering sel (Anonim, 1981; Oliveira et al. 2007)

Mahasiswa S2 Program Studi Teknologi Industri Pertanian

Komisis Pembimbing, Staf Pengajar Dep. Teknologi Industri Pertanian

Pengukuran total berat kering sel dilakukan dengan menyaring sample pada filtrasi
membran dan kemudian dikeringkan dan ditimbang sampai berat konstan. Hasil dari
perhitungan total biomassa akan dihitung laju pertumbuhan mikroba () bakteri
Ralstonia eutropha selama proses kultivasi berlangsung. Laju pertumbuhan dihitung
dengan meregresikan secara linear data antara ln berat kering sel terhadap waktu.

c. Penggunaan substrat
Guna menghitung sisa substrat PFAD pada media kultivasi, sampling juga dilakukan
setiap 6 jam sekali selama 72 jam. Sisa substrat dihitung sebagai sisa asam lemak
(FFA) yang masih terdapat dalam media kulitvasi. Sample dianalisa FFA dengan
titrasi KOH.
3. Kinetika Kultivasi
Pada akhir kultivasi dilakukan perhitungan kinetika kultivasi. Parameter yang digunakan
untuk mengamati kinetika kultivasi adalah:

Total biomassa (x)

Sisa substrat yang masih terdapat dalam media (s)

PHA yang diproduksi pada sistem batch (p)

Laju pertumbuhan maks ( = ((ln x2 ln x1)/ t2-t1))

Rendemen (yield) pemakaian substrat terhadap pembentukan sel dan produk (Y


dan Y p/s)

Pembentukan produk terhadap sel (Y p/x)

Efisiensi penggunaan substrat (So-S)/So

4. Karakteristik PHA
PHA yang diperoleh melalui kultivasi R.eutropha diuji melalui analisis gugus fungsi
dengan menggunakan FTIR (Fourier Transform Infra Red). Alat yang digunakan untuk
mengukur FTIR adalah spektronik 20. PHA juga dianalisa sifat termalnya berupa suhu
pelelehan (Tm) dengan analisa DSC (Differential Scanning Calorimetry).

Mahasiswa S2 Program Studi Teknologi Industri Pertanian

Komisis Pembimbing, Staf Pengajar Dep. Teknologi Industri Pertanian

x/s

HASIL DAN PEMBAHASAN


1. Karakteristik PFAD sebagai Media Pertumbuhan Bakteri Ralstonia eutropha
Kandungan nutrient yang terdapat pada PFAD berdasarkan CHNS analyzer terlihat
pada tabel 1 PFAD terdiri dari 94% free fatty acid, dengan komponen karbon 75,16 %. Hasil
ini setara dengan Lee, et al (2008) yang menyatakan bahwa setiap gram minyak dari tanaman
mengandung 0,72-0,77 g karbon. Komponen selain FFA yang terdapat pada PFAD bisa
berupa mono, di dan trigliserida, juga bisa berupa aldehid dan keton (Ketaren 2005).
Tabel 1 Kandungan nutrient yang ada pada Palm Fatty Acid Destilat

Komponen
FFA

%
94,01

75,16

0,22

0,08

Minyak nabati mengandung lebih banyak karbon jika dibandingkan dengan bahan
bergula. Hasil penelitian juga menunjukkan bahwa minyak nabati dapat meningkatkan
kemampuan biosinteses PHA dan mampu mengakumulasi PHA dari berbagai jenis bakteri
yang ditumbuhkan di substrat minyak nabati (Kahar et al . 2004). Setiap gram glukosa dan
minyak nabati mampu menghasilkan Poly-3-Hydroxyalkanoates. Minyak nabati akan
menghasilkan Poly-3-Hydroxyalkanoates 2 kali lebih tinggi jika dibandingkan dengan
menggunakan glukosa sebagai media produksinya. Dari satu gram glukosa akan dihasilkan
0,3 gram PHA, sedangkan dari satu gram minyak tanaman akan menghasilkan 0,8 gram PHA
(Akiyama et al . 2003).
Rasio C/N yang digunakan adalah perbandingan rasio 15:1, 20:1, 25:1, 30:1, 35:1 dan
40:1. Sumber karbon C berasal dari PFAD sedangkan sumber nitrogen yang digunakan
adalah (NH4)2HPO4. Rasio C/N sangat penting didalam biosintesis PHA khususnya untuk
kultivasi satu tahap (batch) karena akumulasi acetyl-CoA yang dihasilkan dipengaruhi persen
1

Mahasiswa S2 Program Studi Teknologi Industri Pertanian

Komisis Pembimbing, Staf Pengajar Dep. Teknologi Industri Pertanian

nitrogen di dalam media (Du et al. 2001) dan menurut Tian et al. (2000) C/N rasio antara 2040 merupakan rasio yang secara luas telah banyak dilakukan dalam biosistesis PHA.
Pembatasan ion nitrogen 1 g/L pada setiap proses kultivasi diharapkan akan dapat
meningkatkan perolehan PHA, karena PHA terbentuk pada kondisi dimana salah satu nutrient
ada dalam jumlah yang terbatas.

2. Produksi PHA
PHA merupakan produk intraselular, yang diproduksi apabila terjadi
ketidakseimbangan salah satu nutrisi pembatasnya. Apabila jumlah karbon dan nitrogen
dalam media kultivasi masih cukup untuk pertumbuhannya maka mikroba akan terus
membelah diri untuk pertumbuhannya dan apabila salah satu nutrisi terdapat dalam jumlah
yang terbatas dalam hal ini yaitu nitrogen maka mikroba akan merubah metabolismenya
dengan membentuk produk sekunder berupa PHA.
Pengaruh rasio C/N terhadap pertumbuhan Ralstonia eutropha
Hasil perhitungan pada total plate dari jumlah koloni/ ml bakteri Ralstonia eutropha
selama proses kultivasi dapat tumbuh kembali pada media agar setelah dipindahkan dari
media kultivasi. Bakteri Ralstonia eutopha dapat tumbuh kembali hingga pengenceran 1010
1011.
Berbeda dengan hasil perhitungan total biomassa sel seperti terlihat pada Gambar 1.
Total biomassa rata-rata yang paling tinggi terdapat pada perbandingan rasio C/N 25:1 dan
rasio C/N 40 :1. Perbedaaan ini bisa disebabkan karena perhitungan jumlah koloni
berdasarkan jumlah sel yang hidup, sedangkan perhitungan total biomassa merupakan
perhitungan keseluruhan sel, baik itu sel hidup dan sel mati.

Mahasiswa S2 Program Studi Teknologi Industri Pertanian

Komisis Pembimbing, Staf Pengajar Dep. Teknologi Industri Pertanian

15:1

9.00

Logarithmic (15:1)

20:1

f(x) = 2.14 ln(x) - 1.1


7.00
R = 0.78
Logarithmic (20:1) f(x)
25:1ln(x) + 1.76
Logarithmic (25:1)
= 1.13
f(x)=
=1.12
1.41ln(x)
ln(x)+
+1.2
0.17
f(x)
==
0.77
Total biomassa g/L 5.00 R
f(x)
1.19 ln(x) + 0.33
R=
=0.95
0.8
R
Logarithmic (25:1) f(x)
30:1 ln(x) + 0.81
Logarithmic (30:1)
R ==0.9
0.81
3.00
R = 0.86
35:1
Logarithmic (35:1)
40:1
1.00
0 6 12 18 24 30 36 42 48 54 60 66 72
Logarithmic (40:1)
waktu kultivasi (jam)

Gambar 1 Total biomassa selama proses kultivasi pada masing tingkat rasio
Pertumbuhan sel yang optimum berlangsung pada kondisi nutrisi (karbon dan nitrogen)
yang seimbang sedangkan pembentukan PHA distimulasi oleh ketidak seimbangan nutrisi
(Syamsu et al. 2007). Pembentukan produk yang bersifat intraseluler tidak bersamaan
dengan pertumbuhan selnya sehingga diperlukan penggandaan sel yang tinggi pada fase
eksponensial sebelum terjadi akumulasi PHA. Dengan demikian maka pola kultivasi yang
relatif baik dalam produksi PHA adalah adanya fase stasioner yang cukup lama dengan fase
eksponensial yang mampu mengakumulasi biomassa secara maksimum (Wicaksono, 2005).

0.25
0.20
0.15
laju pertumbuhan maks(/jam)

0.10
0.05
0.00
15 20 25 30 35 40
Rasio C/N

Mahasiswa S2 Program Studi Teknologi Industri Pertanian

Komisis Pembimbing, Staf Pengajar Dep. Teknologi Industri Pertanian

Gambar 2 Laju pertumbuhan ( maks)/jam pada masing-masing rasio C/N


Berdasarkan hasil perhitungan ln total biomassa terhadap waktu terlihat bahwa laju
pertumbuhan spesifik () maks yang paling tinggi terjadi pada pada rasio C/N 30:1 dan rasio
40:1 pada jam ke 6 dengan nilai masing-masing 0,22/jam dan 0,23/jam. Dari hasil ini juga
telihat bahwa laju perumbuhan spesifik tidak berkaitan dengan konsentrasi massa sel dimana
konsetrasi massa sel tertinggi terjadi pada rasio C/N 25:1. Pola pertumbuhan mikroba R.
eutropha memiliki kecenderungan pertumbuhan yang berbeda pada tingkat rasio seperti
terlihat pada Gambar 2 Hal ini karena dipengaruhi juga pada keberanekaragaman asam lemak
yang dikandung oleh substrat sehingga juga turut mempengaruhi pola pertumbuhannya. R.
eutropha cenderung akan memanfaatkan asam lemak yang berantai pendek terlebih dahulu
sebelum memanfaatkan asam lemak yang berantai panjang. Pertumbuhan dan penggunaan
substrat yang memiliki dua fase pertumbuhan ini disebut sebagai pertumbuhan diauksi
(Ketaren. 1990).
Pengaruh rasio C/N terhadap konsumsi substrat
Substrat untuk pertumbuhan bakteri harus disesuaikan menurut Wang et al. (1979)
media yang tepat untuk pertumbuhan mikroorganisme adalah mengandung unsur karbon,
nitrogen, fosfor, dan sulfur serta magnesium. Pada penelitian ini media yang dipilih berupa
palm fatty acid distillate (PFAD) yang merupakan asam lemak bebas hasil samping
pengolahan crude palm oil (minyak kasar sawit) menjadi minyak goreng. PFAD mengandung
94,01 % FFA, 75,16 % Karbon, dan 0,22% Nitrogen. Kandungan karbon yang tinggi pada
PFAD dapat digunakan sebagai media pertumbuhan bakteri Ralstonia eutropha. Perhitungan
sisa substrat hasil kultivasi ini diestimasi dengan melihat sisa asam lemak bebas yang masih
terdapat didalam media dengan titrasi asam lemak bebas.

6.00
5.00
15:1

Linear (15:1)

4.00

f(x)20:1
= - 0.02x + 4.94
Linear (20:1)

f(x) = - 0.02x + 3.71


3.68
Sisa Substrat (sebagai % FFA) 3.00 f(x) = - 0.01x + 3.02
25;1
Linear (25;1) 2.00
30:1
Linear (30:1)
f(x) = - 0.01x + 2.14
f(x) = - 0.01x + 1.84
1.00
35:1

Linear (35:1)

0.00
Linear (40:1)
0 6 40:1
121824303642485460667278
Waktu kultivasi (jam)

Mahasiswa S2 Program Studi Teknologi Industri Pertanian

Komisis Pembimbing, Staf Pengajar Dep. Teknologi Industri Pertanian

Gambar 3 Perubahan sisa substrat selama proses kultivasi pada tingkat rasio
Hasil perhitungan asam lemak bebas didalam media kultivasi terlihat pada Gambar 3
menunjukkan pola penurunan. Grafik diatas menunjukkan penurunan sisa substrat terbesar
terjadi pada perbandingan rasio C/N 35:1 dan disusul dengan perpandingan rasio C/N 30:1.
Penurunan sisa substrat yang besar ini diimbangi dengan nilai total biomassa yang tinggi dan
juga diikuti dengan pembentukan produk yang juga tinggi pada perbandingan rasio C/N 30:1
dan rasio C/N 35 jika dibandingkan dengan perbandingan rasio lainnya.
Pengaruh rasio C/N terhadap produksi PHA
Menurut Akiyama et al. (2003) penggunaan substrat karbon yang mengandung karbon
lebih tinggi perberatnya akan menghasilkan PHA yang lebih tinggi jika dibandingkan
penggunaan substrat gula sederhana seperti glukosa. Masih menurut Akiyama et al. (2003)
secara teori juga dijelaskan bahwa molekul glukosa atau fruktosa yang terdiri dari 6 atom
karbon jika dimetabolisme akan menghasilkan 2 acetyl-CoA dan dua molekul karbon
dioksida, dan akan membentuk satu unit monomer 3-Hydroxybutirat. Berbeda jika sumber
karbonnya berasal dari asam linoleat yang akan dioksidasi melalui jalur oksidasi menjadi 9
(sembilan) acetyl-CoA, yang berkontribusi untuk memproduksi beberapa unit monomer 3Hydroxybutirat lebih dari mol glukosa.

produk (PHA) g/L


15

20

25

30

35

40

Rasio C/N

Gambar 4 Rendemen produk pada masing-masing rasio C/N


Pembentukan produk tidak dapat berlangsung tanpa adanya sel, karena pertumbuhan
sel dan pembentukan produk memiliki kaitan erat dengan pemakaian nutrient (substrat), dan
tergantung juga kepada kontrol metabolisme. Pertumbuhan yang ditandai dengan peningkatan
massa sel terjadi pada kondisi kimia dan fisika tertentu, seperti pada pertumbuhan bakteri
Ralstonia eutropha ini tumbuh optimum pada suhu antara 30-34 oC dan pH yang sesuai
antara 6-7 dengan konsumsi oksigen obligat serta tersedianya nutrient yang cukup.
1

Mahasiswa S2 Program Studi Teknologi Industri Pertanian

Komisis Pembimbing, Staf Pengajar Dep. Teknologi Industri Pertanian

Kinetika pertumbuhan dan pembentukan produk mencerminkan kemampuan sel untuk


menyesuaikan diri dengan pengaruh lingkungan. Hasil penelitian seperti terlihat pada
Gambar 4 menunjukkan bahwa setiap peningkatan C/N rasio sampai batas tertentu maka juga
meningkatkan rendemen PHA yang dihasilkan. Hal ini dikarenakan banyaknya jumlah
substrat yang mampu dikonversi oleh mikroba untuk dirubah menjadi PHA pada rasio C/N
35:1. Pada perbandingan rasio 30:1 dan 35:1 rendemen PHA yang dihasilkan tidak terlalu
berbeda. Rasio C/N 30 :1 menghasilkan PHA 3,38 g/L dan rasio 35:1 menghasilkan PHA
3,46 g/L dan pada rasio C/N 40:1 mulai mengalami penuruan jumlah PHA. Hal ini
dikarenakan substrat yang digunakan untuk media kultivasi mulai mengalami kejenuhan dan
substrat yang ada dalam media sebagai inhibitor bagi bakteri selama proses kultivasi
berlangsung. Peningkatan jumlah rasio C/N juga akan menghambat kerja bakteri karena
jumlah substrat yang terlalu banyak didalam media juga akan menghalangi proses transfer
oksigen ke media akibatnyanya transfer oksigen didalam bakteri juga akan terhambat oleh
substrat.
3. Kinetika Kultivasi
Kinetika kultivasi R.eutropha selama proses kultivasi secara batch dapat dilihat pada
Tabel 2. Hasil perhitungan nilai slope antara X-Xo terhadap S-So (Y x/s) paling tinggi sebesar
0,79 g sel/g PFAD terjadi pada rasio 25:1. Nilai pembentukan produk terhadap biomassa Yp/x
paling tinggi nilainya terbentuk pada rasio 35:1 dimana dari 1 (satu) g biomassa mampu
dihasilkan 0,70 g produk PHA. Rasio 30:1 menghasilkan slope antara substrat dan produk (Y
p/s) tertinggi yaitu 0,26 artinya dari 1 g PFAD menghasilkan 0,26 g PHA.

Tabel 2 Kinetika kultivasi R.eutropha dalam Pembentukan PHA


Rasio

15:1

20:1

25:1

30:1

35:1

40:1

Y x/s (g/g)

0,231

0,483

0,788

0,248

0,246

0,23
0

Y p/s (g/g)

0,116

0,153

0,177

0,260

0,181

0,17
2

Y p/x (g/g)

0,435

0,350

0,255

0,691

0,704

0,43
1

Mahasiswa S2 Program Studi Teknologi Industri Pertanian

Komisis Pembimbing, Staf Pengajar Dep. Teknologi Industri Pertanian

(/jam)

0,097

0,171

0,114

0,225

0,108

0,23
2

s/So

0,500

0,490

0,320

0,340

0,450

0,26
0

P(g/L)

1,106

1,674

1,838

3,381

3,461

2,35
3

X (g/L)

3,550

5,760

8,190

5,890

5,910

6,45
0

Kadar PHA (%)

43,50

35,00

22,50

69,10

70,40

43,1
0

Rasio 35:1 dipilih sebagai perbandingan rasio terbaik karena mampu menghasilkan
produk sebesar 3,46 g PHA dengan kadar PHA mencapai 70 % dari berat kering selnya. Dari
hasil perhitungan efisiensi penggunaan substrat (s/So) selama proses kultivasi
memperlihatkan bahwa efisiensi penggunaan substrat PFAD terbesar terjadi pada rasio C/N
15:1 dan 20:1 dimana hampir 50 % substrat dimanfaatkan bakteri untuk pertumbuhannya
akan tetapi produk yang dihasilkan masih rendah. Penggunaan substrat yang besar juga
terjadi pada tingkat rasio C/N 35:1 yang mencapai 45 % pada tingkat rasio 35:1 ini
penggunaan substrat yang tinggi juga diimbangi dengan pembentukan biomassa dan produk
yang dihasilkan juga tinggi.
Hasil penelititan ini jika dibandingkan dengan penelitian sebelumnya yang dilakukan
Suryani et al. (2003) dengan konsentrasi karbon 30 g/L dan rasio C/N 10:1 mampu
menghasilkan bobot kering PHA 7,16 g/L. Penggunaan konsentrasi rasio C pada penelitian
ini dengan konsentrasi karbon 35 g/L tentu masih menghasilkan PHA yang lebih rendah jika
dibandingkan dengan penelitian sebelumnya seperti terlihat pada Tabel 5 akan tetapi kadar
PHA pada penelitian ini cukup tinggi dan hampir sama dengan kadar PHA yang dihasilkan
oleh Syamsu et al. (2007). Syamsu et al. (2007) mampu meningkatkan perolehan konsentrasi
PHA dan Kadar PHA dengan melakukan kultivasi dua tahap (fed batch). Hasilnya konsentrasi
PHA (g/L) dan kadar PHA meningkat dari 1,44 g/L dengan kadar PHA 32,65 % pada

Mahasiswa S2 Program Studi Teknologi Industri Pertanian

Komisis Pembimbing, Staf Pengajar Dep. Teknologi Industri Pertanian

kultivasi secara batch meningkat menjadi 3,72 g/L PHA dan kadar PHA mencapai 76,54 %
pada kultivasi fed batch.

4. Karakteristik PHA
Analisa FTIR
Hasil analisa FTIR pada ketiga jenis rasio C/N yaitu 30:1, 35:1 dan 40:1 dihasilkan
masing-masing gugus fungsi yang kuat pada jumlah gelombang sebagai berikut 2916.58 cm-1 ,
2917.16 cm-1 , dan 2917.60 cm-1 selain itu juga dihasilkan pada jumlah gelombang 1725.23
cm-1 , 1725,72 cm-1 , 1725.25 cm-1 hasil FTIR seperti terlihat pada Gambar 5. Senada dengan
hasil FTIR pada PHB standar seperti terlihat pada Gambar 6 PHA hasil penelitian ini dilihat
dari gugus fungsinya mempunyai kesamaan gugus fungsi dengan PHB. Pada PHB standar
dihasilkan gelombang yang kuat pada jumlah gelombang 2934.81 cm-1 dan 1724.43 dan
kisaran nilai gelombang 1282 cm-1 sampai 980 cm-1 , sedangkan pada PHA hasil penelitian
juga ditemukan jumlah gelombang pada kisaran 1471 cm-1 sampai dengan nilai 716 cm-1 .
Menurut Smith (2005) pada kisaran jumlah gelombang 2928 cm-1 diidentifikasi sebagai
gugus fungsi C-H, dan juga menurut Oliveir et al. (2006) berdasarkan pengamatan yang
dilakukan oleh Rojas de Gascue et al. (2000) yang menganalisa PHB dari Alcaligenes sp.
bahwa jumlah gelombang di temukan pada kisaran 1725 cm -1 dan 1277 cm -1 adalah sesuai
dengan ikatan C=O, dan serangkaian gelombang juga muncul pada kisaran 1000-1300 cm -1
yang sama dengan ikatan C-O pada kelompok ester, dan bahkan juga ditemukan sejumlah
kecil pada jumlah gelombang 3444 cm -1. Pada jumlah gelombang 1452 cm -1 diidentifikasi
merupakan ikatan C-H sebagai kelompok CH2 atau CH3. Dari hasil analisa FTIR ini diketahui
bahwa PHA hasil penelitian ini memiliki gugus fungsi yang sama dengan PHB standar dan
hasil penelitan yang dilakukan oleh Rojas de Gascue et al. (2000).

Mahasiswa S2 Program Studi Teknologi Industri Pertanian

Komisis Pembimbing, Staf Pengajar Dep. Teknologi Industri Pertanian

Gambar 5 Hasil analisa FTIR C/N rasio 35:1

Gambar 6 Hasil Analisa FTIR PHB standar


Analisa DSC
Dari hasil analisa DSC diketahui bahwa suhu pelelehan (Tm) pada PHA hasil penelitian
seperti terlihat pada Gambar 7 puncak suhu pelelehan pada 78 o C sedangkan dari hasil
analisa DSC PHB seperti terlihat pada Gambar 8 suhu pelelehan muncul pada peak 171,49
o
C. Lee et al. (2008) melalukan analisa DSC pada polimer PHA yang dihasilkan dari
kombinasi berbagai minyak tanaman menghasilkan suhu pelelehan dengan kisaran 166 -170 o
C dan juga ditemukan suhu pelelehan pada 113 oC pada substrat olive oil. Hal ini dikarenakan
kandungan monomer 3HV lebih banyak pada P(3HB-co-3HV) yang dihasilkan dari substrat
olive oil.
Madison et al. (1999) juga menyatakan bahwa campuran 89-11% antara poly(3-Rhydroxyoktanoate) dan poly(3-R-hydroxyhexanoate) titik lelehnya berkisar antara 61 oC dan
campuran 80-20 % PHB/PHV mempunyai titik leleh bekisar antara 145 oC. PHA hasil
penelitian ini selain mengandung PHB kemungkinan juga mengandung jenis PHA yang lain
seperti PHH atau PHO yang dapat menurunkan titik lelehnya hingga dibawah titik leleh PHB
standar.

Mahasiswa S2 Program Studi Teknologi Industri Pertanian

Komisis Pembimbing, Staf Pengajar Dep. Teknologi Industri Pertanian

Gambar 7 Hasil analisa DSC PHA hasil penelitian

Gambar 8 Hasil analisa DSC PHB standar


SIMPULAN
Berdasarkan penelitian ini, Ralstonia eutropha mampu tumbuh dan memproduksi PHA
pada substrat PFAD hasil samping proses pemurnian minyak sawit. Total biomassa
persubstrat tertinggi (Yx/s) berada pada rasio C/N 25:1 sebesar 0,79 g/L, sedangkan rendemen
PHA tertinggi diperoleh pada tingkat rasio C/N 35:1 sebesar 3,46 g/L dengan kadar PHA
mencapai 70,4 %. Rasio 35:1 dipilih sebagai perbandingan rasio terbaik bagi pertumbuhan
Ralstonia eutropha karena mampu menghasilkan PHA tertinggi pada kultivasi secara batch.
DAFTAR PUSTAKA

Mahasiswa S2 Program Studi Teknologi Industri Pertanian

Komisis Pembimbing, Staf Pengajar Dep. Teknologi Industri Pertanian

Akiyama M, Tsuge T, dan Doi Y. 2003. Environmetal life cycle comparison of


polyhydroxyalkanoates produced from renewable carbon resources by bacterial
fermentation. Polym Degrad Stab 80: 183-194.
Annonim. 1981. Petunjuk praktek mikrobiologi hasil pertanian. Institut Pertanian Bogor.
Du G, Chen J, Yu J, Lun S. 2001. Continuous production of poly(3-hydroxybutyrate) by
Ralstonia eutropha in a two-stage culture system. J Biotechnol 88:59-65.
Gapor MDT, Sundram K. 1992. Vitamin E from palm oil: its extraction and nutrional
properties. Lipid Technol 4: 137 141.
Kahar P, Tsuge T, Taguchi K, Doi Y. 2004. High yield production of polyhydroxyalkanoates
from soybean oil by Ralstonia eutropha and its recombinant strain. Polym Degrad Stab
83: 79-86.
Ketaren S. 1990. Kinetika reaksi biokimia. Institut Pertanian Bogor Press. Bogor.
Ketaren S. 2005. Minyak dan lemak pangan. Universitas Indonesia Press. Jakarta.
Lee SY. 1996. Bacterial Polyhydroxyalkanoates. Biotechnol and Bioeng 49 :1-4.
Lee WH, Loo CY, Nomura CT, Sudesh K. 2008. Biosynthesis of polyhydroxyalkanoates
copolymer from mixture of plant oil and 3-hydroxyvalerate precursors. Bioresource
Technology 99: 6844-6851.
Madison LL and Huisman GW. 1999. Metabolic Engineering of Poly(3-hydroxyalkanoates) :
from DNA to plastic. Microbiol Mol Biol 63: 21-53.
Oliveira FC, Dias ML, Castilho LR, Freire DMG. 2007. Characterization of poly(3hydroxybutyrate) produced by Cuprivadius necator in solid-state fermentation.
Bioresource technology 98: 633-638.
Rojas de Gascue B, Manosalva JL, Liendo G, Nonato R, Rossell C. 2000. Caracterizacion a
partir de la microspia optic de luz polarizada, de las propiedades termicas y la
espectrocopia del termoplastico biodegradable poli(hidroxibutirato). didalam Oliveira
FC, Dias ML, Castilho LR, Freire DMG. 2007. Characterization of poly(3hydroxybutyrate) produced by Cuprivadius necator in solid-state fermentation.
Bioresourc Technol 98: 633-638.
Smith, R editor. 2005. Biodegradable polymers for industrial application. CRC Press. New
York.

Mahasiswa S2 Program Studi Teknologi Industri Pertanian

Komisis Pembimbing, Staf Pengajar Dep. Teknologi Industri Pertanian

Suryani A, Fauzi AM, Syamsu K, Wicaksono BWD, Herwina M, Yulianti A. 2003. Yield and
thermal characteristics of Ralstonia eutropha Polyhydroxyalkanoates ciltivated using
palm oil-based carbon (Makalah disajikan pada Pertemuan Ilmiah Tahunan
Perhimpunan Mikrobilogi Indonesia. Bandung 29-30 Agustus. 2003).
Syamsu K, Fauzi AM, Hartoto L, Suryani A, Atifah N, Juari. 2006. Kajian Pengaruh
Penambahan Dimetil Pthalat (DMP) terhadap Karakteristik Bioplastik dari Poly-3Hydroxyalkanoates (PHA) hasil kultivasi Ralstonia eutropha pada Hidrolisat Pati Sagu.
Jurnal Tek Ind Pertanian 16 (2) :51-57.
Syamsu K, Fauzi AM, Hartoto L, Suryani A, Atifah N.2007. Pemanfaatan hidrolisat pati sagu
sebagai sumber karbon untuk memproduksi bioplastik polihidroksi alkanoat (PHA) oleh
Ralstonia eutropha pada sistem kultivasi fed-batch. Jurnal Sains dan Teknologi
Indonesia 9(1) : 17-21.
Tian W, Hong K, Chen CQ, Wu Q, Zhang RQ, Huang W. 2000. Production of polyesters
consisting of medium chain length 3-hydroxyalkanoic acids by Pseudomonas
mendocina 0806 from various carbon sources. Anton van Leeuwenhoek 77: 31-316.
Wang DIC, Cooney CL. Demain Al, Dunhil P, Humprey AE, Lilli MD. 1979. Fermentation
and Enzyme Technology. New York : John Wiley and Sons.
Wicaksono, BWD. 2005. Optimasi Produksi dan Karakterisasi Poly- Hydroxyalkanoates
(PHA) Hasil Kultivasi R. eutropha menggunakan Hidrolisat Minyak Sawit [tesis].
Bogor: Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.

Mahasiswa S2 Program Studi Teknologi Industri Pertanian

Komisis Pembimbing, Staf Pengajar Dep. Teknologi Industri Pertanian

You might also like