Professional Documents
Culture Documents
net/publication/277822139
READS
28
5 AUTHORS, INCLUDING:
Iswandi Anas
Bogor Agricultural University
30 PUBLICATIONS 292 CITATIONS
SEE PROFILE
218
Widi Agustin, Satriyas Ilyas, Sri Wilarso Budi, Iswandi Anas, dan Faiza C. Suwarno
Percobaan dilaksanakan dengan Rancangan Petakpetak Terbagi (split-split plot) dalam pola Rancangan Acak
Kelompok, dengan tiga faktor perlakuan dan tiga ulangan.
Petak utama adalah jenis genotipe cabai yaitu genotipe
Laris dan Tegar dari Sukabumi. Anak petak adalah
pemberian inokulan FMA yaitu tanpa inokulasi dan dengan
inokulasi berupa 100 spora per bibit FMA Mycofer yang
terdiri atas campuran Glomus manihotis, Glomus
etunicatum, Gigaspora margarita, dan Acaulospora
tuberculata hasil dari laboratorium Bioteknologi Hutan dan
Lingkungan, Pusat Penelitian Sumberdaya Hayati dan
Bioteknologi IPB, Bogor. Anak-anak petak adalah
pemberian pupuk SP-36 (36% P2O5) dengan beberapa
dosis yaitu 0, 100, 125, dan 150 kg P2O5 ha-1 (tanpa
pupuk). Percobaan terdiri atas 48 satuan percobaan.
Inokulasi FMA Mycofer diberikan pada media
pembibitan, yaitu 100 spora untuk setiap bibit. Bibit yang
berumur 4 minggu setelah benih ditanam, dipindahkan ke
dalam polybag sebanyak 1 bibit per polybag. Pemberian
219
Tabel 2. Jumlah buah, produksi buah, dan produksi benih per tanaman pada interaksi genotipe x FMA, dan interaksi FMA x
pemupukan P
Interaksi perlakuan
Genotipe x FMA
Laris x tanpa FMA
Laris x FMA Mycofer
Tegar x tanpa FMA
Tegar x FMA Mycofer
FMA x Pemupukan P
Tanpa FMA x tanpa P
Jumlah buah
54.95a
56.48b
58.39b
68.06c
105.29a
137.35b
104.97a
142.54b
13.00a
14.09b
13.60b
16.73c
46.75a
92.03a
10.91a
59.20c
61.03cd
59.70c
56.51b
63.01de
104.15b
108.86c
115.48d
118.78d
143.08e
13.99b
14.28c
14.03bc
13.58b
15.71d
65.45e
64.11e
150.76f
147.17ef
16.34e
16.01de
-1
Keterangan: Angka-angka yang diikuti huruf yang sama pada kolom yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata berdasarkan uji BNT
pada taraf = 5%; FMA = Fungi Mikoriza Arbuskula
220
Widi Agustin, Satriyas Ilyas, Sri Wilarso Budi, Iswandi Anas, dan Faiza C. Suwarno
Tabel 3. Serapan N, P dan K benih pada interaksi genotipe, FMA dan pemupukan P
Petak Utama (G)
Laris
Tanpa FMA
Tanpa P2O5
100 kg P2O5 ha-1
125 kg P2O5 ha-1
150 kg P2O5 ha-1
Tanpa P2O5
100 kg P2O5 ha-1
125 kg P2O5 ha-1
150 kg P2O5 ha-1
Tanpa P2O5
100 kg P2O5 ha-1
125 kg P2O5 ha-1
150 kg P2O5 ha-1
Tanpa P2O5
100 kg P2O5 ha-1
FMA Mycofer
Tegar
Tanpa FMA
FMA Mycofer
Serapan N
(mg tanaman-1)
287.00a
367.40b
377.30bc
366.10b
346.10b
372.10b
452.70def
379.40cd
290.60a
395.50bcd
429.40cdef
425.80cde
374.10b
458.70ef
469.30f
465.50f
Serapan P
(mg tanaman
Serapan K
-1
83.2 a
111.50b
118.40b
129.40bc
158.30d
198.80e
212.30e
207.60e
141.60cd
198.00e
198.80e
195.80e
189.90e
235.90f
237.00f
239.70f
-1
(mg tanaman
88.56a
108.78bc
111.61c
113.24bc
116.21c
116.44c
126.22c
127.77c
95.89ab
122.30c
122.80c
119.76c
119.43c
148.09d
153.25d
154.01d
Keterangan: Angka-angka yang diikuti huruf yang sama pada kolom yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata berdasarkan uji BNT
pada taraf = 5%; FMA = Fungi Mikoriza Arbuskula; G = Genotipe; M = Pemberian FMA; P = Dosis pupuk SP-36
221
Tabel 4. Kadar N, P dan K benih pada interaksi genotipe, FMA dan pemupukan P
Petak utama (G)
Laris
Tanpa FMA
Tanpa P2O5
100 kg P2O5 ha-1
125 kg P2O5 ha-1
150 kg P2O5 ha-1
Tanpa P2O5
100 kg P2O5 ha-1
125 kg P2O5 ha-1
150 kg P2O5 ha-1
Tanpa P2O5
100 kg P2O5 ha-1
125 kg P2O5 ha-1
150 kg P2O5 ha-1
Tanpa P2O5
100 kg P2O5 ha-1
125 kg P2O5 ha-1
150 kg P2O5 ha-1
FMA Mycofer
Tegar
Tanpa FMA
FMA Mycofer
Kadar N (%)
2.69ab
2.74ab
2.71ab
2.61a
2.71ab
2.62a
3.05c
2.61a
2.61a
2.72ab
2.94bc
3.02c
2.60a
2.66a
2.63a
2.66a
Kadar P (%)
0.78a
0.83b
0.85b
0.93c
1.24d
1.40gh
1.43ih
1.43ih
1.27d
1.36efg
1.36efg
1.39gh
1.32e
1.37gh
1.33ef
1.37gh
Kadar K (%)
0.82b
0.81a
0.83b
0.81a
0.81a
0.82a
0.85c
0.88f
0.86e
0.84c
0.84c
0.85d
0.83b
0.86e
0.86e
0.88f
Keterangan: Angka-angka yang diikuti huruf yang sama pada kolom yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata berdasarkan uji BNT
pada taraf = 5%; FMA = Fungi Mikoriza Arbuskula; G = Genotipe; M = Pemberian FMA; P = Dosis pupuk SP-36
222
Daya
berkecambah
(%)
85.00a
Kecepatan
tumbuh relatif
(%)
68.13a
90.81c
88.69b
90.56c
73.31b
72.69b
73.38b
Widi Agustin, Satriyas Ilyas, Sri Wilarso Budi, Iswandi Anas, dan Faiza C. Suwarno
Indeks vigor
52.31ab
63.67bc
66.56c
60.19a
66.97b
61.75a
KESIMPULAN
DAFTAR PUSTAKA
Barrow, N.J. 1975. The response to phosphate of two
annual pasture spesies II. The spesific rate of uptake
of phosphate, its distribution and use for growth.
Aust. J. Agric. Res. 26:145-156.
Bueking, H. 2005. Rutgers The State University of new
Jersey http:/crab.rutgers.edu/bucking/jobs.htm [10
Juli 2010].
Cruz, C., J.J. Greeen, C.A. Watson, F. Wilson, M.A. MartinLucao. 2004. Functional aspects of root architecture
and mycorrhizal inoculation with respect to nutrient
uptake capacity. Mycorrhiza 14:177-184.
223
224
Widi Agustin, Satriyas Ilyas, Sri Wilarso Budi, Iswandi Anas, dan Faiza C. Suwarno
TINJAUAN PUSTAKA
Hutan Tanaman Industri (HTI)
Kebijakan pembangunan kehutanan menyebutkan hutan produksi tetap
yang dikukuhkan seluas 33,9 juta ha. Kalau asas pelestarian (preservation) plasma
nutfah akan diterapkan secara konsekuen, semua hasil hutan harus berasal dari
hutan tanaman. Dengan demikian HTI akan mencapai luas 33,9 juta ha. Mugkin
untuk sementara waktu sebagian hutan produksi tetap yang dikelola secara HPH
masih perlu dipertahankan untuk memperoleh hasil kayu yang berdaur panjang
(diatas 30 tahun) sebelum ada HTI yang cukup umur untuk menggantikannya.
Dapat pula hutan alam seluas tertentu tetap diusahakan sebagai hutan produksi
tetap untuk menghasilkan kayu berdaur panjang, sedang HTI dikhususkan untuk
menghasilkan kayu berdaur pendek (sekitar 10 tahun) dan berdaur menengah
(sekitar 25 tahun) (Dephut, 1994).
Hutan Tanaman Industri (HTI) dikelola dengan silvikultur intensif,
ditanam secara monokultur, dan dipanen secara tebang habis. Tingkat intensifikasi
diukur menurut jumlah kegiatan dan uang yang ditanam dalam tiap satuan luas
atau dalam tiap satuan hasil. Kegiatan mencakup pemeliharaan jenis mulai dari
pengadaan
sumber
benih,
pemuliaan
pohon,
pengaturan
jarak
tanam,
kebun kayu menurut jenis hasilnya ialah kebun kayu energi optimum 48.000 ha
dan minimum 15.000 ha, kebun kayu bubur 42.500 ha dan minimum 23.000 ha,
dan kebun kayu pertukangan 65.000 ha dan 14.500 ha (Dephut, 1994).
Hutan Tanaman Industri (HTI) dibangun pada umumnya kayunya
digunakan untuk pemasok kebutuhan industri perkayuan, seperti playwood, kayu
gergajian, dan pulp. Produktivitas hutan tanaman dipengaruhi oleh iklim, tanah,
fisiografi dan faktor pengelolaan. Kondisi tanah yang berpengaruh langsung
terhadap vegetasi adalah komposisi fisik dan kimia tanah, kandungan air, suhu dan
aerasi tanah. Hutan Tanaman Industri banyak mengembangkan jenis tanamam
seperti sengon (Paraserianthes falcataria), pinus (Pinus merkusii), jati (Tectona
grandis), eukaliptus (Eucalyptus spp), dan akasia (Acacia spp). Saat ini jenis yang
paling banyak dikembangkan di Indonesia adalah akasia, sehingga penelitian perlu
lebih di fokuskan pada jenis akasia.
Acacia spp
1. Taksonomi
Taksonomi dari Acacia spp sebagai berikut :
Divisio
: Spermathophyta
Sub Divisio
: Angispermae
Kelas
: Dikotyledon
Ordo
: Rosales
Family
: Leguminosae
Genus
: Acacia
Species
: Acacia spp
2. Morfologi
Pohon Acacia spp yang tua biasanya berkayu keras, kasar, beralur
longitudinal dan warnanya bervariasi mulai dari coklat gelap sampai terang. Dapat
dikemukakan pula bahwa bibit Akasia yang baru berkecambah memiliki daun
majemuk yang terdiri dari banyak anak daun. Daun ini sama dengan sub famili
Mimosoideae misalnya Paraseanthes falcataria, Leucaena sp, setelah tumbuh
beberapa minggu akasia tidak menghasilkan lagi daun sesungguhnya tetapi
tangkai daun sumbu utama setiap daun majemuk tumbuh melebar dan berubah
menjadi phyllodae atau pohyllocladus yang dikenal dengan daun semu,
phyllocladus kelihatan seperti daun tumbuh umumnya. Bentuknya sederhana,
tulang daunnya paralel dan besarnya sekitar 25 cm x 10 cm. Tumbuh secara alami
di Maluku dengan jenis Melaleuca leucadendron. Selain itu terdapat pula di pantai
Australia bagian utara, Papua bagian selatan (Fak-fak di Aguada) dan Tomage
(Rokas, Kepulauan Aru, Maluku dan Seram bagian barat).
3. Syarat Tumbuh
Acacia spp tidak memiliki persyaratan tumbuh yang tinggi, dapat tumbuh
pada lahan miskin dan tidak subur. Akasia dapat tumbuh baik pada lahan yang
mengalami erosi, berbatu dan tanah Alluvial serta tanah yang memiliki pH rendah
(4,2). Tumbuh pada ketinggian antara 30 - 130 mdpl, dengan curah hujan
bervariasi antara 1.000 mm - 4.500 mm setiap tahun. Seperti jenis pionir yang
cepat tumbuh dan berdaun lebar, jenis Akasia spp sangat membutuhkan sinar
4. Nilai Ekonomi
Kayunya bernilai ekonomi karena merupakan bahan yang baik untuk finir
serta perabot rumah yang menarik seperti: lemari, kusen pintu, dan jendela serta
baik untuk bahan bakar. Tanaman akasia yang berumur tujuh dan delapan tahun
menghasilkan kayu yang dapat dibuat untuk papan partikel yang baik, dan bubur
kertas (pulp). Beberapa jenis digunakan untuk kegiatan reboisasi.
berkembangnya
keinginan
nasional
untuk
mengembangkan
dan
relatif mudahnya pengelolaan jenis pohon yang cepat tumbuh dan tegakantegakan monokultur, serta besarnya harapan akan produktivitas yang tinggi,
menyebabkan hutan tanaman industri memainkan peranan yang semakin
penting/meningkat di dalam sektor kehutanan di daerah tropis. Disamping
popularitas dan biaya investasi yang tinggi, masih sedikit sekali diketahui
perspektif jangka panjang dari HTI, terutama dalam hal produktivitas tegakan dan
penyediaan unsur-unsur hara. Sejumlah fakta yang ada memperlihatkan, bahwa
selain adanya faktor-faktor lain yang mengancam hutan tanaman (hama,
kebakaran), produktivitas lahan seringkali rendah atau menurun pada rotasi
tanaman kedua (berikutnya) yang disebabkan oleh kesuburan lahan yang rendah
dan pelaksanaan pengelolaan yang kurang baik ( Mackensen, 2002).
Produktivitas lahan, yang pada umumnya dievaluasi melalui tinggi pohon
rata-rata (Indeks Lahan) atau volume tegakan, tergantung kepada faktor-faktor
iklim dan kesuburan tanah. Curah hujan dan penyebarannya serta kapasitas
penahanan air dari tanah sangat menentukan produktivitas tegakan. Lahan yang
optimal biasanya mempunyai periode musim kering yang pendek serta tanah
berlempung sampai liat berlempung dan tanah liat. Dalam hubungannya dengan
unsur-unsur hara tanah, pertumbuhan maksimum dapat diharapkan pada tanahtanah yang kaya akan unsur hara, baik unsur-unsur hara makro (N, P, K, Ca, Mg)
maupun unsur-unsur hara mikro (Mn, Fe, Zn,Cu, Br).
Hutan Tanaman Industri banyak dikembangkan di Sumatera dan
Kalimantan, yang mana kondisi tanahnya kritis atau kurang produktif (marginal).
Dalam menghadapi tanah semacam ini HTI tidak lagi memiliki daya adaptasi kuat
seperti hutan alam dan sangat membutuhkan input yang besar dalam
perkembangan FMA adalah pada suhu 30 C, tetapi tidak untuk kolonisasi miselia
0
diperlukan. Pertumbuhan hifa secara eksternal terjadi jika hifa internal tumbuh
dari korteks melalui epidermis. Pertumbuhan hifa secara eksternal tersebut terus
berlangsung sampai tidak memungkinnya untuk terjadi pertumbuhan lagi. Bagi
jamur mikoriza, hifa eksternal berfungsi mendukung fungsi reproduksi serta untuk
transportasi karbon serta hara lainnya kedalam spora, selain fungsinya untuk
menyerap unsur hara dari dalam tanah untuk digunakan oleh tanaman (Pujianto,
2001 dalam As-syakur 2007).
Atmaja (2001) dalam As-syakur (2007) mengatakan bahwa pertumbuhan
Mikoriza sangat dipengaruhi oleh faktor lingkungan seperti:
1. Suhu
Suhu yang relatif tinggi akan meningkatkan aktifitas cendawan. Untuk
daerah
tropika
basah,
hal
ini
menguntungkan.
Proses
perkecambahan
terjadi pada suhu 30-33C. Suhu yang tinggi pada siang hari (35C) tidak
menghambat perkembangan dan aktivitas fisiologis FMA. Peran mikoriza hanya
menurun pada suhu diatas 40C. Suhu bukan merupakan faktor pembatas utama
dari aktifitas FMA. Suhu yang sangat tinggi berpengaruh terhadap pertumbuhan
tanaman inang. FMA mungkin lebih mampu bertahan terhadap suhu tinggi pada
tanah bertekstur berat dari pada di tanah berpasir.
2. Kadar air tanah
Untuk
tanaman
yang
tumbuh
didaerah
kering,
adanya
FMA
menampakkan
pertumbuhan
yang
terbesar,
G.
fasciculatus
dalam
Gardemann
(1983)
dalam
As-syukur
(2007)
selanjutnya diperbanyak secara kultur pot pada media pasir steril dengan tanaman
Tanah Merah
Tanah Hitam
Tepung
Di alam, keberadan Fungi Mikoriza Arbuskula dapat mempercepat terjadinya suksesi secara
alami pada habitat-habitat yang mendapat gangguan ekstrim. Selain itu keberadaannya mutlak
diperlukan karena berperan penting dalam mengefektifkan daur ulang unsur hara (nutrients cycle)
sehingga dianggap sebagai alat yang paling efektif untuk mempertahankan stabilitas ekosistem
hutan dan keaneka-ragaman hayati. Hal ini juga dianggap penting untuk menjaga terjadinya
penurunan tingkat produktivitas lahan pada lahan-lahan HTI maupun tumpang sari pada rotasi
berikutnya (Salim, 2004 dalam Delvian et al, 2006 ).
Manfaat Tambahan
Penggunaan inokulum yang tepat dapat menggantikan sebagian kebutuhan pupuk. Sebagai contoh
mikoriza dapat menggantikan kira-kira 50% kebutuhan fosfor, 40% kebutuhan nitrogen,
dan 25% kebutuhan kalium untuk tanaman lamtoro. Penggunaan mikoriza lebih menarik
ditinjau dari segi ekologi karena aman dipakai, tidak menyebabkan pencemaran lingkungan. Bila
mikoriza tertentu telah berkembang dengan baik di suatu tanah, maka manfaatnya akan diperoleh
untuk selamanya. Mikoriza juga membantu tanaman untuk beradaptasi pada pH yang rendah.
Demikian pula vigor tanaman bermikoriza yang baru dipindahkan ke lapang lebih baik dari yang
tanpa mikoriza. Mikoriza selain dari segi fisik dengan adanya hifa eksternal mikoriza banyak
mengandung logam berat, dan daerah tambang memberikan harapan tersendiri untuk digunakan pada
proyek rehabilitasi/reklamasi daerah bekas tambang.