You are on page 1of 16

PEMBELAJARAN BERBASIS ALAM

Peni Susapti
Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN) Salatiga

Abstract
The natural-based learning appreciated well in societies is indicated by the apearance of outbond project everywhere
whether this is conducted by schools, education institutions, government offices or private institutions. In Indonesia,
outbond which is identical with natural-based learning approach is supported by the availibility of a great deal of
natural resources and the appropriate geographical circumstances. However, education holders need to be serious to
conduct the natural-based learning.
Natural-based learning is a kind of learning processes integrating learning materials and environment. This makes
students explore freely and interact immdiately with environment, so this is able to develop students knowledge.
Using the approach, students will posses a strong attitude to affect other creatures and environment. They become
accostomed to and are skillful to interact well with their environment, and are able to survive in any conditions. In
addition, together with their teachers, they are able to construct new knowledge that continuosly develops based on
their previous experience.
The implementation of natural-based learning is not always out of classrooms, but learning resources available
outside can be transmitted into the rooms with any models of learning approaches. The process of natural-based
learning is a process by which students are the actors and not only the receivers. The range of the process is endless
from farming through conflict resolution, from assessment (psychology) through adulthoodness, from skill training
through theoretical models. The implementation of natural-based learning should be designed appropriately, even
though to achieve the ideal learning model is not exactly easy. Therefore, there must be anticipative, adaptive, and
aplicative curriculum model approprite with students needs and with the development of science and technology.

Keywords: natural-based learning, outbond, learning approach


Pendahuluan
Akhir-akhir ini kegiatan outbond semakin marak dilakukan oleh sekolah-sekolah,
lembaga-lembaga pendidikan, kantor-kantor swasta maupun pemerintah. Bak jamur di musim
penghujan, kegiatan ini bermunculan di mana-mana dan mendapat respon yang cukup bagus di
masyarakat. Lalu timbul pertanyaan, sesungguhnya ada apakah dengan fenomena ini? Apakah
mereka yang ikut program outbond tersebut memang bersungguh-sungguh atau sekedar
mengikuti trend saja, agar dianggap tidak ketinggalan jaman.
Kegiatan belajar mengajar di sekolah selama ini ebih banyak dilakukan di dalam kelas.
Para guru lebih senang menerapkan pembelajaran di dalam kelas, maka ketika ditawarkan
program outbond langsung mendapat tanggapan positif dari berbagai pihak. Respon masyarakat
yang begitu hangat, hendaknya menjadikan para penyelenggara pendidikan melirik dan
menerapkan model pembelajaran ini.
Outbond dipahami sebagai pembelajaran yang dilakukan di luar ruang atau lebih tepatnya
belajar di alam bebas, walaupun sesungguhnya bisa diterapkan di dalam kelas. Artinya model
pembelajaran di alam bebas bisa di bawa masuk ke dalam kelas, tergantung bagaimana mengatur
dan mengolah metode yang akan digunakan, sehingga suasana kelas menjadi lebih semarak.

Pembelajaran di luar ruang akan membawa peserta didik dapat berintegrasi dengan alam.
Alam akan membuka cakrawala pandang siswa lebih luas. Metode ini juga diharapkan dapat
menjalin keselarasan antara materi pembelajaran dengan lingkungan sekitar. Tidak semua materi
dapat menerapkan metode ini, namun alangkah baiknya apabila sesekali siswa/mahasiswa diajak
langsung untuk terjun ke lapangan melihat dunia nyata/aktual. Para siswa diharapkan dapat
menimba ilmu secara langsung dari pengalaman nyata yang ada, sehingga materi pembelajaran
lebih mudah dipahami dan diingat untuk jangka panjang. Pepatah mengatakan bahwa apa yang
dilihat apa yang diingat.
Kebanyakan materi pembelajaran dapat didekati dengan model pembelajaran berbasis
alam. bergantung bagaimana guru mengemasnya. Di sini dibutuhkan kejelian, ketajaman dan
keuletan guru dalam mencari relasi antara materi ajar dengan kondisi konkrit yang terjadi di
sekitar. Dibutuhkan tenaga ekstra untuk dapat menerapkan model belajar berbasis alam dengan
baik di awal kegaiatan ini dilaksanakan, tetapi apabila sudah terbiasa maka hal yang dirasa berat
akan terasa ringan.
Kebanyakan guru masih menyukai pembelajaran di dalam kelas, yang mana ruangan
merupakan primadona bagi guru untuk melakukan proses pembelajaran. Tanpa ruangan kelas
sepertinya guru kehilangan gairah ataupun sesuatu yang sangat berharga. Seolah ruangan
merupakan sarana pembelajaran yang mutlak harus ada. Guru seperti mati langkah apabila tidak
kebagian jatah ruangan/kelas. Padahal sesungguhnya proses pembelajaran dapat dilakukan di
mana saja termasuk di luar ruangan/alam bebas. Lingkungan sekitar dapat dijadikan sebagai
alternatif lain untuk menyiasati keterbatasan ruang kelas.
Ruangan kelas selama ini memang merupakan salah satu unsur sarana pendidikan yang
harus dipenuhi. Apalagi jika model pembelajaran menggunakan multimedia, ketergantungan
akan ruang kelas sangat besar. Kalau sudah begini kita akan terjebak dengan keharusan adanya
ruang/kelas untuk proses belajar mengajar dan bisa jadi dapat mundur selangkah ke belakang
seperti periode sebelum diterapkannya KBK. Para guru merasa tidak afdhol apabila belajar di
luar kelas, rasanya kurang sreg. Guru merasa kikuk ataupun canggung serta ribet untuk
melakukannya. Penulis ingin mengupas penerapan belajar berbasis alam dalam makalah ini.
Penulis berharap dapat membuka khasanah model pembelajaran berintegrasi dengan alam, yang
dapat membuat suasana pembelajaran yang lebih segar, nyaman bagi pebelajar.
Pembahasan
Belajar berbasis alam
Secara substansi sekolah berbasis alam merupakan sistem sekolah yang menawarkan
bagaimana mengajak siswa untuk lebih akrab dengan alam, sekaligus menjadikannya spirit untuk
melakukan kegiatan belajar mengajar (Anshori, 2008:2).

Pembelajaran berbasis alam sebetulnya dapat secara fleksibel dilakukan, tidak harus
dengan bentuk outbond, tetapi dapat dilakukan di lingkungan sekitar sekolah yang terdekat.
Banyak pendekatan yang dapat dilakukan untuk menerapkan model belajar berbasis alam.
Santyasa (2009:2) menyebutkan salah satu contoh model belajar berbasis alam antara lain
pendekatan belajar berbasis masalah. Melalui model pendekatan belajar berbasis masalah, akan
membawa peserta didik pada alam nyata, yang dapat langsung diindera secara visual oleh peserta
didik. Peserta didik akan memperoleh pengalaman nyata serta dapat memadukan antara teori dan
kondisi nyata yang ada di lapangan, sehingga mudah diingat dan akan melekat kuat dan tahan
lama dalam diri peserta didik. Di samping itu suasana akan lebih cair, segar, yang tentunya akan
menarik peserta didik untuk terus mencari dan menemukan sesuatu. Model pembelajaran ini
dapat juga dipadukan dengan pendekatan inkuiri, di mana peserta didik diajak untuk menemukan
sesuatu dan menyimpulkan konsep sendiri. Diharapkan dengan model ini peserta didik akan
menghargai proses pencarian dan penemuan, sehingga pembelajaran akan lebih berkualitas dan
bermakna (Santyasa, 2009:2).
Bay (2008:1) melaporkan bahwa kita wajib bersyukur apabila termasuk salah satu orang
yang punya hobi bercengkerama dengan alam. Pengalaman yang dapat diambil dari alam terbuka
ternyata dapat diterapkan sebagai konsep belajar dan membuka diri. Konsep inilah yang
dianggap mumpuni untuk menstimulasi kegiatan sehari-hari. Kini kegiatan belajar di alam
terbuka dalam bentuk outbound training kian marak ditawarkan. Meskipun istilah ini tidak
dikenal dalam dunia pendidikan berbasis kegiatan di alam terbuka (outdoor education),
tampaknya masyarakat terlanjur mengenalnya. Akibat salah kaprah tadi, masyarakat awam
terlanjur rancu dengan istilah outbound training. Padahal pengertian outbound training sendiri
masih tidak jelas. Banyak penyedia jasa berbasis aktivitas tali- temali (ropes course) menyebut
kegiatannya sebagai outbound training. Sementara itu banyak pula yang menyebut kegiatan
rekreasi (outing) dengan outbound, hanya karena beberapa jenis permainan yang biasa digunakan
dalam pelatihan berbasis kegiatan di alam terbuka (outdoor-based) dimainkan pada acara itu. Di
lain pihak, ada yang menyebut pelatihan berbasis kegiatan di alam terbuka sebagai outbond
training. Apa yang disebut sebagai outbond training oleh mereka yang menggunakan alam
terbuka sebagai media belajar, sebenarnya lebih tepat jika disebut pelatihan berbasis kegiatan di
alam terbuka (outdoor-based training) dengan mengedepankan pendekatan belajar dari
pengalaman (experiential learning). Selanjutnya Waseso mengatakan bahwa sesungguhnya tidak
pernah dikenal outbond training, yang ada itu outdoor based training. Mungkin salah kaprah ini
karena operator yang memasarkan pertama kali pelatihan model ini di Indonesia adalah Outward
Bound Indonesia (OBI). Karena keseringan disebut akhirnya keluar istilah outbound training
(http://gerbangtiga.blogspot.com).
Definisi secara singkat menurut Claxton(1987)seperti yang dilansir oleh Bay (2008:3),
yang disebut EL adalah proses belajar di mana subjek melakukan sesuatu---bukan hanya

memikirkan sesuatu. Ditinjau dari pengertian ini, maka apa yang dilakukan peserta belajar baik
di dalam maupun di luar kelas dapat disebut sebagai EL. Confucius beberapa abad lalu
mengatakan bahwa aku melakukan, maka aku memahami. Kegiatan EL itu tak terbatas belajar
di alam terbuka. Cakupannya luas dari bercocok tanam sampai ke conflict resolution. Dari
assessment (psikologis) sampai ke perkembangan remaja. Dari skill training sampai ke modelmodel teori. Malahan sebagian besar orang menyebut bahwa semua jenis pendidikan adalah EL.
Ada empat pandangan tentang EL. Yang pertama, memandang pengalaman hidup dan kerja
sebagai basis untuk mencapai tangga keberhasilan dalam mencapai pendidikan tinggi, pekerjaan,
kesempatan mengikuti pelatihan dan menjadi anggota badan ias am onal. Kedua berfokus bahwa
EL merupakan basis untuk berkembang dalam berbagai perubahan struktur (organisasi). Ketiga
menekankan EL sebagai basis dalam meningkatkan kesadaran akan grup, perubahan ias a dan
kegiatan kemasyarakatan. Terakhir menekankan perkembangan personal dan perkembangan
efektifitas tim. (http://gerbangtiga.blogspot.com).
Handriatno dalam Bay (2008:3) mengatakan bahwa EL lebih dari sekedar model belajar
learning by doing. EL itu learning by doing reflection. Peran fasilitator dalam pelatihan akan
membawa peserta kepada refleksi. Refleksi diri harus ditemukan pada saat berjalan-jalan di alam
terbuka. Namun EL itu bukan kegaitan di luar ruang menurutnya, sebab bisa dilakukan di dalam
ruang, tergantung media yang akan dipakai dan juga tak selalu melibatkan aktivitas fisik yang
terlalu banyak. Berlatih di alam terbuka dengan pertimbangan orang akan lebih banyak
berekspresi dan eksplorasi. Media yang lebih luas menyebabkan beban di pundak berkurang,
yang akan membantu membuka pikiran diri sendiri. Di alam terbuka orang memasuki tahapan
pengalaman emosional yang lebih kuat. Waktu kegiatan mereka banyak mengeluarkan aktivitas
fisik. Rasa capek membaluti sisa tenaga yang masih tersisa. Biasanya orang-orang yang masih
punya
sisa
tenaga
selalu
menyemangati
teman-teman
yang
sudah
capek
(http://gerbangtiga.blogspot.com).
Lebih lanjut ia mengatakan bahwa di sini fasilitator dituntut untuk bisa memainkan
perannya dalam membantu peserta mengenali diri sendiri. Fasilitator harus mampu menggali dari
pengalaman peserta, agar lebih deskriptif. Selain itu, fasilitator juga harus sanggup menstimulasi
peserta dalam meyakini sesuatu. Fasilitator betul-betul harus mampu menjadi motivator bagi
peserta didik.
Sesungguhnya model pembelajaran out bond dalam Islam sudah dikenal dengan tafakur
alam. Kegiatan ini dimaksudkan untuk menjadikan alam sebagai laboratorium, yang mana akan
bermanfaat mengajak siswa untuk selalu mensyukuri nikmat serta mengagungkan kebesaranNya
(Susapti, 2009: 5). Pada tafakur alam siswa dibawa untuk mengenal alam lebih dekat, belajar
mengenai makhluk-makhluk ciptaan Allah, mengenal dan mengerti tentang hakekat sesuatu dari
alam langsung. Model ini akan lebih mengajak siswa kepada belajar yang penuh makna, siswa
tidak sekedar menerima materi ajar dari guru, tetapi dapat mengamati secara langsung untuk

kemudian diterjemahkan dalam alam pikirnya, serta diolah dengan rasa. Di sinilah letak
kebermaknaan itu. Siswa akan dapat mengkolaborasikan antara fakta, akal dan rasa kekaguman
akan ke Maha Agungan Sang Khalik.
Menilik paparan tersebut di atas, maka sesungguhnya kebanyakan materi ajar dapat
didekati dengan model belajar berbasis alam. Karena selama ini yang terbersit di benak
kebanyakan orang apabila menyebut belajar berbasis alam pasti langsung menghubungkannya
dengan Ilmu Pengetahuan Alam (IPA). Implementasi pembelajaran berbasis alam antara lain
telah dilakukan oleh Sekolah Alam di Bogor. Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan oleh
Yusnar pada tahun 2009 menunjukkan hasil bahwa: 1) Pelaksanaan proses pembelajaran
Pendidikan Agama Islam di Sekolah Alam Bogor menggunakan model tema spider web yang
menghubungkan mata pelajaran yang satu dengan mata pelajaran yang lain. 2) Pendekatan
pembelajaran yang digunakan di Sekolah Alam Bogor adalah Pendekatan Lingkungan,
Pengalaman, Pembiasaan dan Keteladanan. 3) Sekolah Alam Bogor menggunakan beberapa
metode, diantaranya adalah metode Demonstrasi, Tanya Jawab, Diskusi, Ceramah, Sosio Drama,
Bermain peranan dan Kerja Kelompok. 4) Hasil pembelajaran di Sekolah Alam Bogor yang
dapat diungkap dalam skripsi ini meliputi: Pengetahuan (cognitive), Afektif dan Psikomotorik.
Dengan suasana pembelajaran yang tidak ada dikotomi ilmu, menjadikan pengetahuan dan
pengalaman yang diperoleh siswa bersifat integral. Sikap (Affective), Siswa memiliki sikap
mental yang kuat. Ia menjadi penyayang terhadap tumbuhan, binatang dan juga alam sekitar.
Siswa memiliki sikap yang baik terhadap alam. Keterampilan (psikomotorik). Mereka menjadi
terbiasa dan terampil berinteraksi dengan alam disekitarnya dengan baik. Disamping itu
keterampilan untuk bertahan hidup ketika dalam kondisi sempit dan keterampilan dalam hal talitemali ketika kemahpun mereka miliki.
Pendekatan dalam Belajar Berbasis Alam (BBA)
Berbagai pendekatan dapat dilakukan untuk diterapkan pada pembelajaran berbasis alam.
Pendekatan tersebut antara lain dengan model inkuiri, pendekatan berbasis masalah, eksperimen,
demonstrasi, menggambar, diskusi, tanya jawab, bermain peran, sosiodrama, ceramah, dan lainlain. Esensi sesungguhnya adalah untuk lebih mendekatkan siswa pada alam nyata, agar terdapat
integrasi antara teori dan kenyataan. Dengan mendekatkan siswa pada alam bebas, maka kemampuannya akan lebih tereksplorasi secara bebas. Menurut Santyasa (2009:2) belajar paling efektif
terjadi dalam suasana bebas. Inovasi adalah upaya untuk memperoleh percepatan proses dan
keindahan hasil belajar berbasis pada kebebasan dan keberagaman. Mengajar adalah melayani
agar percepatan dan keindahan itu diperoleh dalam suasana menggembirakan. Learning can be
fun, but learners can make it so.
Santyasa (2009:3) menambahkan bahwa pembelajaran berbasis masalah yang dalam
bahasa Inggrisnya diistilahkan Problem-based learning (PBL) adalah suatu pendekatan

pembelajaran dengan membuat konfrontasi kepada pembelajar dengan masalah-masalah praktis,


berbentuk ill-structured, atau open-ended melalui stimulus dalam belajar. PBL memiliki
karakteristik-karakteristik sebagai berikut:
1. Belajar dimulai dengan suatu permasalahan
2. Memastikan bahwa permasalahan yang diberikan berhubungan dengan dunia nyata pebelajar
3. Mengorganisasikan pelajaran di seputar permasalahan, bukan seputar disiplin ilmu
4. Memberikan tanggung jawab sepenuhnya pada pebelajar dalam mengalami secara langsung
proses belajar mereka sendiri
5. Menggunakan kelompok kecil, dan
6. Menuntut pebelajar untuk mendemonstrasikan apa yang telah mereka pelajari dalam bentuk
produk atau kinerja (performance).
Jonassen (1999) dalam Santyasa (2009: 3) mendesain model lingkungan belajar
konstruktivistik yang dapat diaplikasikan dalam pembelajaran kontekstual dengan pendekatan
problem-based learning. Model tersebut memuat komponen-kompenen esensial yang meliputi:
a. pertanyaan-pertanyaan, kasus, masalah atau proyek, b. kasus-kasus yang saling terkait satu
sama lain, c. sumber-sumber informasi, d. cognitive tools, e. pemodelan yang dinamis, f.
percakapan dan kolaborasi, g. dukungan kontekstual/sosial.
Lebih lanjut Santyasa menjelaskan masalah dalam model tersebut mengintegrasikan
komponen-komponen konteks permasalahan, representasi atau simulasi masalah, dan manipulasi
ruang permasalahan. Masalah yang diberikan kepada pebelajar dikemas dalam bentuk ill-defined.
Representasi atau simulasi masalah dapat dibuat secara naratif, yang mengacu pada
permasalahan kontekstual, nyata dan authentik. Manipulasi ruang permasalahan memuat objekobjek, tanda-tanda, dan alat-alat yang dibutuhkan untuk memecahkan masalah. Manipulasi ruang
permasalahan dapat memungkinkan terjadinya belajar secara aktif dan bermakna. Aktivitas dapat
menggambarkan interaksi antara pebelajar, objek yang dipakai, dan tanda-tanda serta alat-alat
yang menjadi mediasi dalam interaksi.
Kasus-kasus yang saling terkait satu sama lain membantu pebelajar untuk memahami
pokok-pokok permasalahan secara implisit. Dalam model lingkungan belajar konstruktivistik,
kasus-kasus tersebut mendukung proses belajar dengan dua cara yaitu dengan memberikan
scaffolding untuk membantu memori pebelajar dan dengan meningkatkan fleksibilitas kognisi
pebelajar.
Fleksibilitas kognisi mereprentasi isi dalam upaya memahami kompleksitas yang
berkaitan dengan domain pengetahuan. Fleksibilitas kognisi dapat ditingkatkan memberikan
kesempatan bagi pebelajar untuk memberikan ide-idenya yang menggambarkan pemahamannya
terhadap permasalahan. Fleksibilitas kognisi menumbuhkan kreativitas berfikir divergen dalam
proses representasi masalah.

Sumber-sumber informasi bermanfaat bagi pebelajar dalam menyelidiki permasalahan.


Informasi dikontruksi dalam model mental dan perumusan hipotesis yang menjadi titik tolak
dalam memanipulasi ruang permasalahan.
Cognitiv tools merupakan scaffolding bagi pebelajar untuk meningkatkan kemampuan
menyelesaikan tugas-tugasnya. Cognitiv tools membantu pembelajar untuk merepresentasikan
apa yang diketahuinya dan apa yang dipelajarinya, atau melakukan aktivitas berpikir melalui
pemberian tugas-tugas.
Scaffolding merupakan suatu pendekatan yang sistematis yang difokuskan pada tugas dan
lingkungan belajar, guru dan pebelajar. Sacaffolding memberikan dukungan temporal yang
mengikuti kapasitas kemampuan pebelajar, yang mencakup penentuan tingkat kesulitan tugas,
restrukturisasi tugas, dan memberikan penilaian alternatif
Ansori (2008:2) mengatakan sejauh ini, sebagian besar sekolah hanya mengedepankan
system belajar in-door saja yang cenderung statis dan membosankan. Akibatnya, tidak sedikit
dari siswa yang patah semangat atau malas-malasan untuk belajar. Menyikapi fenomena tersebut
muncul sebuah gagasan bagaimana menciptakan sebuah system belajar yang enjoy dan
mengasyikkan tanpa mengurangi substansi materi pembelajaran. Oleh sebab itulah sekolah
berbasis alam itu muncul di Jepang dengan menawarkan format yang seimbang antara kegiatan
belajar in-door dan. out-door
Kendala belajar di luar kelas
Belajar di luar ruangan sering terkendala oleh banyak faktor yang menyebabkan
keengganan para guru untuk melakukannya. Banyak kendala yang harus dihadapi ketika
pembelajaran dilakukan di luar ruangan. Kendala-kendala tersebut antara lain:
1. Volume dan kekuatan suara harus lebih besar, agar dapat ditangkap oleh audiens.
Di luar ruangan guru tentunya mau tidak mau harus mengeluarkan tenaga ekstra untuk dapat
lebih membesarkan volume suaranya. Hal ini karena gelombang bunyi akan terus menyebar,
di mana tidak ada batas ruang. Selain itu banyak terdapat gangguan bunyi-bunyi lain yang
ikut mengacaukan suara guru. Kondisi ini juga ikut mempengaruhi besaran volume suara
yang dapat diterima audiens.
2. Guru/dosen harus mengeluarkan tenaga ekstra untuk memusatkan perhatian audiens.
Di luar kelas banyak pemecah konsentrasi yang tidak terduga, sehingga guru harus pandai
menerapkan strategi pembelajaran. Sejak awal sebaiknya perencanaan sudah harus dibuat
secara matang. Rencana pembelajaran sebaiknya dibuat secermat mungkin, sehingga siswa
betul-betul terkonsentrasi pada materi yang hendak dipelajarinya. Oleh karena itu dengan
pendekatan inkuiri serta strategi permainan kiranya lebih tepat diterapkan untuk hal ini.
3. Model pembelajaran harus dibuat menarik, variatif

Model pembelajaran yang konvensional dengan metode ceramah dirasa kurang tepat untuk
diterapkan apabila belajar berbasis alam. Apabila guru memaksakan diri dengan metode
tersebut, maka konsentrasi siswa akan terpecah oleh berbagai faktor penggangu yang lain.
Ceramah masih perlu dilakukan, hanya diterapkan di awal saja, yaitu guru memberikan
arahan-arahan berupa point-point pokok yang harus dikerjakan siswa, untuk langkah
selanjutnya diserahkan mereka. Di samping itu guru dapat menerapkan berbagai metode yang
menarik lain, sehingga siswa dapat memperoleh sesuatu yang baru sambil berekspresi secara
bebas. Peran guru sebagai fasilitator akan nampak nyata di sini, misalnya sambil berkeliling
guru harus tetap memantau hal-hal yang menjadi kesulitan dan dibutuhkan siswa.
4. Sangat tergantung cuaca
Cuaca memegang kendali yang cukup besar dalam pembelajaran berbasis alam. Ada hal-hal
yang sebaiknya menjadi perhatian guru. Apabila pembelajaran dilakukan di sekitar sekolah
tentunya tidak banyak yang harus dipersiapkan, tetapi kalau pembelajaran dilakukan di luar
lingkungan sekolah tentu lebih banyak yang harus dipersiapkan. Di samping itu guru juga
harus mengantisipasi kondisi cuaca, apakah cerah atau hujan, karena tentunya kita tidak dapat
membiarkan anak-anak basah kuyup terkena air hujan. Demikian pula ketika panas terik,
anak-anak biasanya tidak mau berpanas-panas di bawah terik matahari.
5. Konsentrasi audiens kurang
Seperti kita ketahui bersama bahwa di luar kelas banyak faktor pemecah konsentrasi, antara
lain dari segi pendengaran maupun pandangan. Dari segi suara misalnya, deru kendaraan
bermotor apabila pembelajaran dilakukan di tengah hiruk pikuk padatnya kota. Apabila
pembelajaran dilakukan di kebun atau di sawah hal ini mungkin tidak terlalu berpengaruh.
Dari segi pandangan konsentrasi akan terpecah apabila pembelajaran dilakukan di sekitar
sekolah atau kampus sementara banyak lalu-lalang siswa atau mahasiswa lain. Namun
demikian semua itu dapat diatasi, asalkan pembelajaran dilakukan dengan perencanaan yang
matang dan tepat.
Menemukan kembali arti belajar
Ada banyak pengertian tentang belajar yang disusun oleh para ahli. Menurut Garnida
(2002:72) secara umum belajar dapat diartikan sebagai suatu kegiatan individu atau kelompok
individu dalam upaya mencapai perubahan yang positif dan bermanfaat bagi dirinya. Untuk
mencapai perubahan itu kebanyakan orang langsung berpikir harus sekolah. Hal ini senada yang
dikatakan Anshori (2008:2) bahwa banyak orang beranggapan belajar itu identik dengan sekolah.
Jadi ketika berbicara wajib belajar mereka memaknainya dengan wajib sekolah. Dengan demikian belajar adalah urusan anak sekolahan, bukan urusan orang tua, orang dewasa, bukan pula
urusan orang yang sudah bekerja, atau masyarakat pada umumnya. Maka belajar itu merupakan
urusan anak-anak dan dunia persekolahan pada umumnya.

Tentu saja hal ini tidak benar, sebab apabila kita melihat lebih jauh tentang makna belajar
yang dikemukakan beberapa tokoh pendidikan, kita mampu menyimpulkan bahwa belajar adalah
proses pertumbuhan dan atau perubahan agar tahu (knowledge), agar mau (attitude), agar bisa
(skills) dan agar berhasil (performance). Oleh karena manusia menempati posisi sentral dari
proses pembelajaran, maka pengertian belajar juga bisa dipahami sebagai proses perubahan
dan/atau pertumbuhan manusia dari keadaannya yang semula potensial (human being) menjadi
actual (being human). Jadi kegiatan belajar merupakan proses berkesinambungan sejak manusia
lahir hingga mati (minal mahdi ilal lahdi (al-hadits). Oleh sebab itu sebagai seorang muslim
kita dituntut untuk dapat lebih dalam menghayati makna belajar secara utuh, sehingga mampu
mewujudkan cita-cita terbesar diutusnya manusia ke bumi, yaitu sebagai khalifah yang bertugas
untuk menjaga dan memakmurkan bumi(Anshori, 2008:20).
Sarana dan prasarana belajar berbasis alam
1. Kondisi Geografis Indonesia
Secara geografis Indonesia yang terletak di antara dua benua dan dua samudra dengan
sumber daya alam yang sangat luar biasa untuk mendukung proses pembelajaran berbasis alam.
Apabila ditinjau dari khasanah budaya, Indonesia merupakan suatu negara yang kaya akan
berbagai macam budaya. Alam negeri seribu pulau dengan berbagai panorama pemandangan
yang indah dapat membantu peserta didik untuk lebih memaknai proses pembelajaran, apabila
pendekatan yang digunakan para guru teritegrasi dengan alam. Akan lebih bermakna lagi apabila
proses pembelajaran dapat mengintegrasikan antara teknologi, alam, serta budaya, sehingga apa
yang dicita-citakan oleh pendidikan dalam menciptakan manusia seutuhnya dapat terwujud.
Dalam penerapan pembelajaran sesungguhnya kita diharapkan untuk selalu menekankan
hubungan yang baik secara lateral maupun horizontal, sehingga dapat tercipta keseimbangan
antara jasmani dan rohani. Relasi yang seimbang ini sangat penting untuk dipupuk sejak dini,
sehingga manusia yang sutuhnya (insan kamil) seperti yang dicita-citakan pendidikan Islam
dapat terwujud. Menurut Arifin (2009: 120-121) ada tiga relasi fundamental manusia baik
terhadap Tuhan maupun sesamanya. Pertama, relasi kooperatif, yaitu relasi manusia dengan
sesamanya. Dalam konteks ini, manusia satu dengan manusia yang lain berstatus sama dalam
memanfaatkan potensi alam yang ada. Kedua, ralasi konsumtif, yaitu relasi manusia dengan alam
lingkungannya. Ketiga relasi tanggung jawab (mustakhlif), yaitu relasi antara manusia dan
Tuhan sebagai pertanggungjawaban dalam memanfaatkan alam. Relasi ini dibangun untuk
menciptakan kemakmuran agar alam dimanfaatkan oleh manusia sesuai dengan kehendak
penguasa tunggalnya (Allah).
Dari ketiga tipe di atas, maka makna belajar akan nyambung dengan hakekat manusia
sebagai khalifah Allah harus lebih mengedepankan etika kesalehan terhadap lingkungan. Atas
dasar etika ini, maka manusia semestinya tidak akan bertindak eksploitatif terhadap lingkungan,

namun justru mengedepankan nilai-nilai kebajikan terhadap lingkungan. Dengan demikian


penerapan belajar berbasis lingkungan akan menjadi lebih bermakna, sehingga diharapkan
kondisi kerusakan lingkungan yang kian parah dapat diminimalisir. Hal ini karena sesungguhnya
manusialah pemegang kunci dari kerusakan lingkungan yang terjadi di sekitar kita. Seperti
termaktub dalam firman Allah berikut ini:
Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para Malaikat: Sesungguhnya Aku hendak
menjadikan seorang khalifah di muka bumi. Mereka berkata: Mengapa Engkau hendak
menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan
menumpahkan darah, padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan
mensucikan Engkau? Tuhan berfirman: Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak
kamu ketahui (Q.S Al Baqarah: 30).

Telah nampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia,
supaya Allah merasakan kepada mereka sebahagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar
mereka kembali (ke jalan yang benar) (Q.S. Ar-Rum: 41)
Nukilan ayat di atas menunjukkan bahwa apabila manusia mampu memaknai perannya
sebagai kholifah dengan benar dan tidak main-main, maka cita-cita untuk menciptakan manusia
seutuhnya akan terwujud. Sebagai seorang kholifah di muka bumi manusia akan dapat
memakmurkan dan mensejahterakan bumi. Kondisi bumi yang makmur dan sejahtera sudah
barang tentu akan memiliki daya dukung lingkungan (carrying capacity) yang tinggi pula, yang
berdampak pada eksistensi manusia di muka bumi ini.
Produk pendidikan yang dengan pendekatan belajar berbasis alam diharapkan akan
menghasilkan manusia-manusia yang sholeh, arif terhadap lingkungan. Manusia-manusia yang
tidak tamak, sabar, penyayang, menjadi pemulia lingkungan, sehingga akan terjadi hubungan
mutualisme antara manusia dan lingkungan.
Selanjutnya Arifin mengatakan bahwa terma homo Islamicus merujuk pada perilaku
individu yang dituntun oleh nilai-nilai Islam. Idealnya seorang muslim adalah homo islamicus
yang sejati, atau potret dari nilai-nilai Islam yang terpraktekkan secara aktual yang selalu
memandang alam sebagai sesuatu yang sakral, harus dihormati, ramah dengannya, bukan
sebaliknya. Dalam relasi ini manusia berstatus penguasa dalam memanfaatkan alam, sementara
alam sebagai obyek kekuasaan manusia. Hubungan rasional ini tetap harus mencerminkan
hubungan homo islamicus yang selalu menjunjung nilai-nilai keseimbangan.
Sebagai bangsa yang dikaruniai kekayaan alam yang luar biasa sudah semestinya untuk
selalu mensyukuri nikmat-Nya dan menjaga nilai-nilai keseimbangan relasi antara makhluk yang
ada di bumi tercinta ini. Sudah semestinya dalam proses pembelajaran siswa dibimbing oleh
seorang guru yang mampu mengarahkan siswanya untuk menjalin hubungan yang bermakna ini.

2. Guru
Apabila kita mengacu pada pembelajaran dengan model Belajar Berbasis Alam (BBA)
peran guru tidak lagi sebagai nara sumber, yang menjadikannya sebagai pusat pebelajar, namun
lebih sebagai fasilitator. Pada paradigma pembelajaran absolutisme terjadi proses alih
pengetahuan yang dilaksanakan oleh guru. Djumhana (2009: 40) mengatakan bahwa guru
berfungsi sebagai pelaksana alih pengetahuan. Guru menjadi agen alih pengetahuan. Para ahli
menyimpan ilmu pengetahuan yang disusunnya berupa buku teks, makalah, artikel, laporan
penelitian dan sebagainya. Oleh guru ditulis sebagai buku ajar. Para guru mengolahnya dan
menyampaikan kepada siswa. Guru mengatur seberapa luas dan dalam pengetahuan yang harus
diteruskan kepada siswa. Sebagai agen alih pengetahuan, guru berfungsi sebagai pemutar keran
yang menentukan seberapa banyak air yang dikucurkan, sehingga ia tidak punya hak untuk
menetapkan ciri-ciri pengetahuan yang disampaikan.
Pada pembelajaran BBA paradigma yang tepat diberlakukan adalah konstruktivisme. Di
sini peran guru adalah sebagai fasilitator, bukan lagi sebagai doktriner. Guru berperan membantu
dalam membangun aktifitas siswa mengkonstruksi pengetahuan. Djumhana (2009: 42)
mengatakan bahwa pada paradigma konstruktivisme pembelajaran dipahami sebagai proses
membangun aktifitas siswa untuk mengkonstruksi pengetahuan dengan cara membuat hubungan/
keterkaitan antara pengetahuan yang telah dimiliki siswa dengan pengetahuan yang sedang
dipelajari melalui interaksi dengan yang lain (kontekstual).
Peran Guru pada pembelajaran berbasis alam tidak boleh terlalu dominan, bertindak
diktator, atau semena-mena, sebaiknya lebih menghargai aktivitas, kreativitas, sikap, maupun
motivasi siswa. Penilaian yang dapat dilakukan tidak hanya hanya kognitif, tetapi juga afektif
maupun psikomotorik, sehingga nilai akhir merupakan perpaduan antara ketiganya bahkan lebih.
Djumhana (2009: 37) menambahkan bahwa sosok seorang guru madrasah perlu juga memahami
berbagai hal yang tidak dapat digolongkan ke dalam penyebab terjadinya suatu perubahan yang
disebut kegiatan belajar. Masalah belajar pada siswa madrasah dapat terjadi dan bersumber dari
siswanya sendiri, lingkungan keluarga dan lingkungan madrasah.
3. Siswa
Siswa pada pembelajaran berbasis alam tidak di tempatkan hanya sekedar sebagai objek
pebelajar, namun sebaliknya dapat menjadi subjek. Model pembelajaran ini menjadikan siswa
untuk aktif membangun pengetahuan dengan cara mengkaitkan antara pengetahuan yang telah
dimilikinya dengan pengetahuan yang sedang dipelajarinya melalui interaksi dengan alam.
Model pembelajaran ini sesuai dengan paradigma konstruktivisme, terutama yang berhubungan
dengan pembelajaran IPA dan mata pelajaran lain yang terkait. Menurut Djumhana (2009: 43)
dalam paradigma konstruktivisme, materi tidak disusun dari atas tetapi ditetapkan bersama-sama
antara siswa dan guru dengan fokus sesuai dengan kebutuha siswa. Pedagoginya berupa proses

fasilitasi agar konstruksi pengetahuan yang dilakukan siswa berlangsung. Guru berfungsi sebagai
fasilitator yang membantu siswa dalam mengkonstruksi pengetahuannya dengan cara mereduksi
konflik-konflik konseptual sesedikit mungkin. Evaluasi hasil belajar berupa assesmen unjuk
kerja. Dengan demikian hasil belajar tidak sekedar pemberian tes tetapi kumpulan hasil kerja
yang telah siswa lakukan yang disusun dalam suatu portofolio. Pembelajaran dengan paradigma
konstruktivisme adalah pemberdayaan.
4. Model Kurikulum BBA
Penerapan kurikulum berbasis kompetensi sesungguhnya sudah berlangsung beberapa
tahun. Pada kurikulum ini para guru/dosen/pendidik dituntut untuk menerapkan berbagai model
pembelajaran. Model pembelajaran yang diharapkan dapat lebih menyenangkan dan mempunyai
dampak untuk jangka panjang yang lebih baik. Agar proses pembelajaran menyenangkan, tidak
membosankan, serta bervariasi, sebaiknya para guru sudah harus mulai menerapkan
pengembangan kurikulum yang inovatif. Untuk mengembangkan model kurikulum yang inovatif
para guru dituntut untuk lebih kreatif dalam menerapkan model pembelajaran.
Menurut Dakir (2004: 11) kurikulum adalah seperangkat rencana dan pengaturan
mengenai isi dan bahan pelajaran serta cara yang digunakan sebagai pedoman penyelenggara
kegiatan belajar-mengajar. Adapun fungsi kurikulum adalah sebagai alat untuk mencapai tujuan
pendidikan. Hal senada diungkapkan oleh os2kangkung (2009:1) yang mengatakan bahwa
kurikulum merupakan seperangkat konsep yang mengatur tentang isi, tujuan, dan proses
pendidikan yang akan dilaksanakan. Konsep yang diatur dalam kurikulum bersifat tidak kaku
dan stagnan melainkan suatu gagasan yang dinamis dan progresif, terutama dalam memenuhi
kebutuhan perkembangan anak pada berbagai aspek, kondisi perubahan sosio-antropologis dan
ilmu pengetahuan serta teknologi, khususnya dalam bidang ilmu pendidikan dan/atau
pembelajaran. Atas dasar itu, perlu diupayakan pemahaman dan sosialisasi perlunya
pengembangan model kurikulum inovatif yang dapat memenuhi kebutuhan peserta didik dan
pendidik dalam menyelenggarakan pendidikan pada berbagai lingkungan pendidikan keluarga
(informal), masyarakat (nonformal) dan sekolah (formal).
Pengembangan model kurikulum inovatif diarahkan untuk membantu pendidik dalam
merancang model kurikulum, khususnya pada proses pelaksanaan kegiatan pembelajaran yang
memenuhi kebutuhan dan karakteristik perkembangan anak. Melalui upaya ini diharapkan akan
memberikan pencerahan pada pendidik untuk mengembangkan variasi proses pembelajaran yang
dapat memberikan kesempatan anak memperoleh sejumlah pengalaman belajar secara langsung
(real learning), bermakna (meaningfull) dan konstruktif.
Model pengembangan kurikulum inovatif, diharapkan dapat mengembangkan kreativitas
anak. Kurikulum ini hendaknya disesuaikan dengan tingkat perkembangan anak, misalanya pada
anak usia dini belum dapat diajak untuk berfikir yang abstrak, karena mereka masih berada

dalam tahap perkembangan praoperasional. Pada tahap ini anak berada pada tahap menerima
sesuatu yang konkret saja, untuk membayangkan sesuatu masih sulit. Oleh karena itu diperlukan
kurikulum yang sesuai, sehingga dapat menunjang perkembangan jiwa dan berfikir anak dengan
praktis dan tepat sasaran.
Tujuan pengembangan model kurikulum inovatif dengan model pembelajaran berbasis
alam disusun sebagai panduan praksis pembelajaran pada anak sesuai dengan karakteristik dan
tahapan perkembangannya. Secara spesifik, tujuan tersebut diarahkan untuk:
1. Memberikan guideline bagi pendidik dan stakeholder lainnya dalam melaksanakan
pendidikan pada anak khususnya dalam melaksanakan proses pembelajaran berbasis alam .
2. Memberikan panduan kepada guru dalam memahami konsep falsafah pendidikan yang
menjadi dasar kerangka berpikir dan bertindak secara praksis dan professional.
3. Membantu pendidik dalam merancang dan mengembangkan proses pembelajaran pada anak
yang memungkinkan tejadinya moving melalui sumber belajar yang berbasis alam.
4. Membantu guru menyesuaikan pratik pembelajaran pada anak sesuai dengan falsafah
pendidikan yang mendasarinya (http://os2kangkung.blogspot.com).
Sesungguhnya kurikulum inovatif dengan basis pembelajaran alam dirancang tidak hanya
untuk anak usia dini saja, namun juga dapat diterapkan pada usia yang lebih tinggi yang
disesuaikan dengan tahapan perkembangan jiwanya. Di sini diperlukan guru yang kreatif,
inovatif, dan cepat tanggap terhadap kebutuhan peserta didik, karena waktu terus berjalan.
Seiring dengan berjalannya waktu berkembang pula kebutuhan anak, akan pendidikan yang
menjawab tantangan zaman. Peserta didik adalah manusia masa depan yang berkembang
mengikuti perubahan arus kemajuan, sementara apabila guru stagnan tidak mengikuti arus perkembangan, maka akan terlindas zaman. Apabila guru tetap memaksakan kehendak untuk tetap
tidak berubah, maka guru akan membawa siswa sebagai penonton saja di kancah kekinian yang
semakin modern. Siswa akan menjadi kurang bisa berkembang, bukan sebagai manusia
pembaharu yang siap menghadapi tantangan.
Dakir (2004: 84) mengatakan bahwa pada dasarnya pengembangan kurikulum ialah
mengarahkan kurikulum sekarang ke tujuan pendidikan yang diharapkan karena adanya berbagai
pengaruh yang sifatnya positif yang datangnya dari luar atau dari dalam sendiri, dengan harapan
agar peserta didik dapat menghadapi masa depannya dengan baik. Oleh karena itu
pengembangan kurikulum hendaknya bersifat antisipatif, adaptif, dan aplikatif. Antisipatif dalam
pengembangan kurikulum dapat diarahkan ke hal-hal jangka pendek dan jangka panjang, seperti
pada pengarahan pelita I, II, III dan seterusnya.
Lebih lanjut beliau mengatakan bahwa situasi masyarakat sekarang dan yang akan datang
dapat diantisipasi diantaranya sebagai berikut: perubahan dari masyarakat agraris ke industri,
pengembangan IPTEKS, pengangguran intelek dan terbatasnya lapangan kerja, masyarakat yang

komplek tetapi bersifat individualistis, pengaruh globalisasi dan adanya revolusi arus informasi
dan sebagainya. Pada era pembangunan seperti sekarang ini, pengembangan kurikulum
hendaknya memperhatikan link and match antara out put dan lapangan kerja yang diperlukan.
Untuk mencapai harapan terlaksananya tidaklah mudah. Kita harus mengetahui gap antara das
Sein dan das Sollen, antara kenyataan dan harapan, antara saya dapat dan saya ingin. Kita ingin
biasanya bersifat sangat ideal dan sangat sulit dicapai. Untuk dapat mencapai harapan yang
mampu dicapai itupun perlu adanya berbagai faktor yang mendukung dan program yang
aplikabel.
Pada dasarnya kurikulum BBA sebaiknya dirancang dengan cermat. Dimulai dengan
perencanaan yang ditunjukkan RPP yang jelas, model pembelajaran yang digunakan, alokasi
waktu, tempat, biaya yang cermat. Dilanjutkan pelaksanaan yang sungguh-sungguh disertai
sistem penilaian yang objektif, terkontrol. Diakhiri dengan pencapaian batas ketuntasan minimal
yang ingin diwujudkan dan dilaksanakan, maka proses BBA akan berjalan sesuai dengan yang
diharapkan.
Perlu diperhatikan pula bahwa sesuatu yang ideal itu sulit tercapai, oleh karena itu
ditekankan hendaknya kurikulum dibuat yang antisipatif, adaptif, dan aplikabel. Hal ini terkait
dengan proses pada BBA di mana terjadi interaksi dan eksplorasi siswa dengan lingkungan. Pada
kondisi ini siswa dapat merefleksikan pengalaman belajar siswa, yang membentuk pengetahuan
terus berkembang pada diri siswa.
Hal selajutnya yang perlu diingat bahwa tujuan belajar adalah menjadikan siswa senang,
bergembira, dan riang belajar, kreatif, mempunyai motivasi, serta mengembangkan etika moral
yang dapat menumbuhkan kepekaan sosial terhadap lingkungan sekitar. Penerapan BBA akan
menjadikan belajar terasa ringan, nyaman, menyenangkan serta penuh makna.
Kesimpulan
Belajar berbasis alam adalah proses belajar yang mengintegrasikan antara materi ajar dan
lingkungan sekitar. Proses belajar ini akan membuat siswa bereksplorasi secara bebas dan
berinteraksi langsung dengan alam, sehingga akan mengembangkan pengetahuan siswa. Siswa
bersama guru bersama-sama mengkonstruksi pengetahuan yang baru yang terus berkembang.
Di Indonesia, pendekatan belajar berbasis alam sesungguhnya tidak perlu disingkiri lagi,
karena sangat didukung oleh kekayaan sumber daya alam yang luar biasa dan kondisi geografis
yang cocok. Dibutuhkan keseriusan para penyelenggara pendidikan untuk segera melakukan
proses belajar berbasis alam.
Implementasi belajar berbasis alam tidak harus berada di luar ruang, namun demikian apa
yang ada di luar ruang dapat dialihkan di dalam ruangan/kelas, dengan berbagai macam model
pendekatan pembelajaran. Proses belajar berbasis alam adalah proses belajar di mana subjek

melakukan sesuatu---bukan hanya memikirkan sesuatu. Cakupannya luas dari bercocok tanam
sampai ke conflict resolution, dari assessment (psikologis) sampai ke perkembangan remaja, dari
skill training sampai ke model-model teori.
BBA menjadikan pengetahuan dan pengalaman yang diperoleh siswa bersifat integral.
Siswa memiliki sikap mental yang kuat, ia menjadi penyayang terhadap tumbuhan, binatang dan
juga alam sekitar, siswa memiliki sikap yang baik dan ramah terhadap alam. Mereka menjadi
terbiasa dan terampil berinteraksi dengan alam di sekitarnya dengan baik, serta mempunyai
keterampilan untuk bertahan hidup ketika dalam kondisi sempit.
Di akhir tulisan ini penulis ingin menekankan bahwa penerapan BBA sebaiknya
dirancang dengan cermat. Untuk mencapai pembelajaran yang ideal memang tidak mudah, oleh
karena itu ditekankan hendaknya kurikulum dibuat yang antisipatif, adaptif, dan aplikabel sesuai
dengan kebutuhan siswa serta tuntutan perkembangan zaman.
Daftar Pustaka
Arifin, S. Kesalehan homo islamicus menjawab krisis lingkungan hidup. Jurnal Ijtihad Vol. 9,
No. 2, Desember 2009. Salatiga. STAIN Salatiga Press.
Dakir. 2004. Perencanaan dan Pengembangan Kurikulum. Jakarta. Rineka Cipta.
Djumhana, N. 2009. Pembelajaran Ilmu Pengetahuan Alam. Jakarta. Direktorat Jendral
Pendidikan Islam Departemen Agama Republik Indonesia.
Garnida, D. 2002. Belajar dan Proses Berpikir dalam Buku Pedoman Guru Mata Pelajaran
Pendidikan IPA Madrasah Ibtidaiyah. Jakarta. Departemen Agama RI. Direktorat
Jenderal Kelembagaan Agama Islam.
http://gerbangtiga.blogspot.com/2008/08/belajar-berbasis-alam/html, diakses tanggal 28 Pebruari
2010.
http://os2kangkung.blogspot.com/2009/08/kurikulum-inovatif-pendidikan-anak-usia.html,
diakses tanggal 7 Maret 2010.
Santyasa, I.W. Pembelajaran Berbasis Masalah dan Pembelajaran Kooperatif. Departemen
Pendidikan Nasional. Universitas Pendidikan Ganesha. Disajikan dalam Pelatihan
tentang Pembelajaran dan Asesmen Inovatif bagi Guru-guru Sekolah Menengah
Kecamatan Nusa Penida tanggal 22-24 Agustus 2008 di Nusa Penida.
Susapti, P. 2009. Pembelajaran Biologi Berbasis Lingkungan di MI. Workshop Internasional
Pendidikan Sains Berbasis Lingkungan yang diselenggarakan oleh Sekolah Tinggi
Agama Islam Negeri (STAIN) Salatiga pada tanggal 6-8 Agustus 2009.
Yusnar, M. 2009. Pendidikan Agama Islam Berbasis Alam Pada Sekolah Alam Bogor Kelurahan
Tanah Baru Kecamatan Bogor Utara Kota Bogor Jawa Barat. Skripsi. Yogyakarta. Universitas
Islam Negeri Yogyakarta.

You might also like