You are on page 1of 8

Vol. 15 No.

1 Tahun 2007

Peningkatan Mutu Genetik Sapi

Peningkatan Mutu Genetik Sapi Bali Melalui Pengembangan Program


Pemuliaan
Improving Bali Cattle Genetic Quality by Breeding Development Programe
Andoyo Supriyantono dan B.W. Irianti
Staf Dosen Jurusan Produksi Ternak FPPK UNIPA
Jl. Gn. Salju Amban Manokwari, Tel. (0986) 212156,
Email:andoyo@yahoo.com
Abstract
Background: Bali cattle that have spread around Indonesia have potency to develop because of its prduction and
reproduction performance. Developing and conservating Bali cattle has begun since along time by selection and
forbide the cross the cattle with another breed. Selection and cross was done by breeding programe. The
programe will effective and efficient if suitable with environment condition, supported infra structure, and
accuracy selection. The reseach was conducted to find breeding programe modification that effective and
efficient based on selection response.
Method: Primary and secondary data were used inthis research. Primary data was taken from direct interview
with Bali cattle farmer in research location and vital statistic data were measured directly. Secondary data has
got from the last 10 years. Research used descriptive method with study case technique. Component varians and
genetics and environment variancy, heritability value were procecessed by VCE software.
Result: Breeding programe that best produce selection response per year was reached if studd bull is mainatined
in population for three years and six years for heifer, and ratio 1:20 between them. Modification programe that
could proposed require performance test both for at least 50 bull and 100 heifer. To get more bull as many as
16% top rank was taken for progeny test.
Keywords: Bali cattle, genetic value, breeding programe
Abstrak
Latar Belakang: Sapi Bali yang telah menyebar di seluruh Indonesia berpotensi untuk dikembangkan karena
mempunyai kinerja produksi dan reproduksi yang menjanjikan. Pengembangan dan pelestarian sapi Bali telah
dimulai sejak lama dengan seleksi dan melarang persilangan sapi Bali. Seleksi dan persilangan dilaksanakan
melalui program pemuliaan. Program pemuliaan akan efektif dan efisien bila disesuaikan dengan kondisi
lingkungan, sarana dan prasarana yang mendukung serta seleksi yang tepat dan terarah. Tujuan penelitian ini
adalah untuk mendapatkan modifikasi program pemuliaan yang efektif dan efisien berdasarkan respons seleksi.
Metode: Materi yang digunakan dalam penelitian ini meliputi data primer dan data sekunder. Data primer
diambil dengan cara wawancara dengan peternak sapi Bali di lokasi penelitian.
Data statistik vital diukur
secara langsung. Data sekunder diambil selama 10 tahun terakhir. Penelitian dilakukan dengan menggunakan
metode deskriptif dengan teknik studi kasus.
Pendugaan komponen ragam dan peragam genetika dan
lingkungan, dan nilai heritabilitas diperoleh dengan menggunakan perangkat lunak VCE.
Hasil: Hasil penelitian menunjukkan bahwa program pemuliaan yang menghasilkan respons seleksi per tahun
terbaik dihasilkan apabila pejantan dipertahankan di dalam populasi selama tiga tahun dan induk dipertahankan
selama enam tahun dengan perbandingan jantan : betina sebesar 1 : 20. Skema program pemuliaan modifikasi
yang diusulkan mengharuskan adanya program uji kinerja baik minimu pada 50 jantan dan 100 betina. Untuk
memperoleh jumlah pejantan yang lebih banyak maka sebanyak 16 persen top rank pejantan diambil untuk
dilakukan uji keturunan.
Kata kunci: sapi bali, mutu genetik, program pemuliaan.

PENDAHULUAN
Kinerja pertumbuhan sapi Bali selama
ini menjadi perhatian utama terutama pada
karakter peningkatan bobot badan pada umur
tertentu, bobot lahir dan bobot sapih. Selain

kinerja pertumbuhan, karakter reproduksi


seperti service per conception, calving rate dan
calving interval pada betina serta fertilitas
semen pada jantan juga menjadi salah satu
parameter keberhasilan dalam program
perkawinan (alami maupun buatan). Beberapa

17

Supriyantono,

hasil penelitian pada sapi Bali menunjukkan


bahwa service per conception sebesar 1,82,00
(Mastika, 2002),
calving rate 6478%
(Bamualim
dan
Wirdahayati,
2002).
Pertambahan bobot badan dengan pakan yang
baik dapat mencapai 0,7 kg/hari (jantan
dewasa) dan 0,6 kg/hari (betina dewasa),
persentase karkas berkisar antara 51,559,8%,
dengan persentase tulang kurang dari 15 persen
dan dagingnya berkadar lemak rendah (Pane,
1991).
Potensi-potensi tersebut mendorong
pemerintah
untuk
melestarikan
dan
mengembangkan sumber daya genetik sapi Bali
di kawasan sumber bibit ternak dengan
membentuk Proyek Pengembangan dan
Pembibitan Sapi Bali (P3Bali) yang didirikan
pada tahun 1976. Proyek ini melibatkan
masyarakat peternak dalam pemeliharaannya
dengan memberikan bantuan kredit, dan sapi
yang dihasilkan akan diseleksi untuk
ditempatkan pada breeding centre.
Seleksi di P3Bali telah dilakukan
dengan mengevaluasi pejantan melalui progeny
test. Pejantan peserta progeny test terlebih
dahulu harus lolos performance test yang
dilakukan di Pulukan selama satu tahun. Calon
pejantan performance test berasal dari
masyarakat peternak yang tergabung dalam
Instalasi Populasi Dasar. Calon-calon pejantan
performance test harus memenuhi kriteria dasar
yaitu berumur satu tahun tanpa memperhatikan
bobot badan. Calon-calon ini dipelihara di
Pulukan (breeding centre) dan menerima
perlakuan yang sama. Diakhir performance
test dipilih 3-5 ekor pejantan dengan kriteria
phenotip yang tidak menyimpang sebagai sapi
Bali dengan statistik vital yang paling baik.
Penyusunan program pemuliaan yang
baik memerlukan nilai-nilai parameter genetik
dan metode seleksi yang cocok. Parameter
genetik yang diperlukan antara lain hertabilitas,
repitabilitas dan korelasi (genetik, phenotip dan
lingkungan).
Parameter tersebut dapat
digunakan dalam menaksir respons seleksi
sehingga program pemuliaan yang disusun
menjadi lebih akurat.
Secara teoritis, nilai heritabilitas,
repitabilitas dan korelasi bukan merupakan

18

Jurnal PROTEIN

suatu konstanta. Nilai-nilai tersebut sangat


tergantung dari populasi, tempat dan metode
penaksiran yang digunakan. Dengan demikian,
populasi sapi Bali di Pulukan yang dijadikan
sampel, diharapkan dapat dijadikan model bagi
peningkatan genetik sapi Bali secara umum,
karena pada dasarnya nilai-nilai parameter
genetik tidak dipengaruhi oleh kinerja ternak
tetapi lebih banyak dipengaruhi oleh keragaman
yang terjadi pada populasi tersebut.
Tujuan penelitian ini adalah untuk
mendapatkan (1) Estimasi nilai parameter
genetik dan respons seleksi sifat-sifat produksi
dan reproduksi sapi Bali di wilayah P3Bali; (2)
Modifikasi program pemuliaan yang efektif dan
efisien berdasarkan keakuratan seleksi dan
respons seleksi.
MATERI DAN METODE PENELITIAN
Penelitian dilakukan di lokasi P3Bali
yaitu di kabupaten Tabanan Bali sebagai plasma
dan Pulukan sebagai inti.
Penelitian
dilaksanakan mulai dari bulan September 2004
hingga Oktober 2005.
Materi
yang digunakan dalam
penelitian ini meliputi data primer dan data
sekunder yang diperoleh dari berbagai sumber.
Data primer diambil dengan cara wawancara
terstruktur berdasarkan daftar pertanyaan
dengan peternak sapi Bali di lokasi penelitian.
Jumlah peternak contoh yang diambil sebanyak
2% dari total peternak yang ada di setiap daerah
penelitian. Data statistik vital diukur secara
langsung bersama-sama dengan wawancara
peternak.
Data sekunder yang merupakan total
sampling di Pulukan diambil selama 10 tahun
terakhir. Sementara di daerah lain disesuaikan
dengan catatan yang masih dimiliki oleh setiap
peternak atau kelompok ternak. Secara umum
penelitian dilakukan menggunakan metode
deskriptif dengan teknik studi kasus. Sebagai
kasus adalah populasi sapi Bali di lokasi P3Bali
dan lokasi lain (Karang Asem) sebagai
pembanding.
Pendugaan komponen ragam dan
peragam genetik dan lingkungan, dan nilai
heritabilitas diperoleh dengan menggunakan

Vol. 15 No. 1 Tahun 2007

Peningkatan Mutu Genetik Sapi

perangkat
lunak
Variance
Component
Estimation (VCE 4.2) (Groeneveld, 1998).
Variabel yang diamati dalam penelitian
ini adalah karakter produksi dan reproduksi.
Karakter produksi meliputi bobot sapih, bobot
setahun, pertambahan bobot badan, tinggi
gumba, panjang badan, lingkar dada, dan bobot
badan. Karakter reproduksi meliputi service per
conception, jarak beranak dan days open;
sebagai faktor pendukung diamati juga musim
kawin dan musim lahir.
Data dianalisis sesuai dengan estimasi
masing-masing. Analisis data diperlukan untuk
melihat kinerja sapi Bali saat ini dan untuk
mengestimasi nilai heritabilitas, ripitabilitas,
korelasi genetik, nilai pemuliaan, respons
seleksi langsung dan tidak langsung.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Estimasi parameter genetik hanya
dilakukan di Inti karena data silsilah yang ada
hanya pada lokasi ini. Estimasi heritabilitas (h 2)
bobot sapih, bobot setahun, pertambahan bobot
badan, dan statistik vital (tinggi gumba, panjang
badan, lingkar dada, dan bobot badan) yang

diukur pada umur 24 bulan serta jarak beranak.


Korelasi nilai pemuliaan antar karakter
dianalisis untuk memperoleh gambaran
seberapa besar karakter-karakter tersebut
berkorelasi.
Secara keseluruhan heritabilitas yang
dihasilkan tergolong rendah hingga tinggi.
Karakter yang termasuk dalam golongan
heritabilitas rendah yaitu bobot sapih, bobot
badan umur 24 bulan dan jarak beranak,
heritabilitas sedang yaitu bobot setahun; dan
heritabilitas tinggi yaitu pertambahan bobot
badan, lingkar dada, panjang badan dan tinggi
gumba.
Korelasi nilai pemuliaan dari pasanganpasangan karakter menunjukkan nilai positif
dan negatif dengan nilai yang tertinggi pada
korelasi antara lingkar dada dengan tinggi
gumba dan bobot setahun dengan pertambahan
bobot badan.
Guna menduga repons seleksi langsung
beberapa karakter, digunakan intensitas seleksi
yang didasarkan atas nilai pemuliaan di atas
rata-rata untuk setiap karakter terseleksi, seperti
yang disajikan pada Tabel 1.

Tabel 1. Respons Seleksi Langsung Beberapa Karakter


Karakter
Bobot Sapih
Bobot Setahun
Pertambahan Bobot Badan
Jarak Beranak
Lingkar Dada
Panjang Badan
Tinggi Gumba

i
1,30
1,35
0,88
0,65
0,85
0,76
1,18

h2
0,09
0,27
0,47
0,08
0,50
0,34
0,60

SD
11,79
17,32
4,98
344,94
7,83
4,52
4,74

Respons Seleksi
1,38
6,31
2,06
32,56
2,56
1,30
2,17

Keterangan: i = intensitas seleksi; h2 = heritabilitas


Respons seleksi sangat tergantung
dari interval generasi, intensitas seleksi, dan
keragaman maka peningkatan respons dapat
dilakukan dengan memperbaiki tiga hal
tersebut. Dari ketiga hal tersebut, pada populasi
sapi Bali di P3Bali perbaikan terhadap interval
generasi dan intensitas seleksi yang paling
mungkin dilakukan. Berdasarkan hasil nilai
pemuliaan yang berada di atas rata-rata, maka
dapat diambil dasar untuk mencari intensitas
seleksi sesuai persentase jantan dan betina yang
terseleksi. Pada karakter bobot sapih dan
setahun, persentase jantan dan betina yang

berada di atas nilai rata-rata berbanding sama


yaitu 1:1, dengan jumlah jantan: betina pada
bobot sapih dan setahun berturut-turut adalah
99:82 ekor dan 71:67 ekor. Perbaikan terhadap
intensitas seleksi di populasi ini mengacu pada
teori bahwa perbandingan jantan dan betina
optimum
untuk
menghasilkan
generasi
berikutnya adalah 1:20. Perbandingan yang
seperti ini menyebabkan jumlah calon induk
yang terseleksi akan semakin banyak, sehingga
memungkinkan untuk memperoleh jumlah
keturunan yang semakin banyak pula, disisi lain
dengan perbandingan yang seperti tersebut

19

Supriyantono,

Jurnal PROTEIN

maka dapat menekan biaya pemeliharaan


pejantan karena jumlah jantan yang terseleksi
akan semakin sedikit.

jantan (5 ekor) dan 31,65% seleksi betina (100


ekor), sehingga memungkinkan rasio jantan :
betina sebesar 1:20.

Intensitas seleksi bobot sapih jantan


dan betina yang digunakan pada penelitian ini
adalah 1,25 dari 26,47% (99 ekor jantan) dan
1,35 dari 21,93% (82 ekor betina) dengan
rataan sebesar 1,3, sedangkan pada bobot
setahun adalah 1,32 dari 22,47% (71 ekor
jantan) dan 1,37 dari 21,20% (67 ekor betina)
dengan rataan sebesar 1,35. Intensitas seleksi
optimum untuk bobot sapih sebesar 1,89 yang
berasal dari 1,34% seleksi jantan (5 ekor) dan
26,74% seleksi betina (100 ekor), sedangkan
untuk bobot setahun intensitas seleksi optimum
sebesar 1,81 yang berasal dari 1,58% seleksi

Estimasi respons seleksi per generasi


bobot sapih dengan dasar intensitas seleksi
yang berbeda disajikan pada Tabel 2. Tabel 2
menunjukkan bahwa dengan perbandingan
jantan : betina yang optimum akan
meningkatkan respons seleksi per generasi
sebesar 44,20 persen.
Persentase tersebut
diperoleh dengan membandingkan respons
seleksi individu (Rind) dengan hasil optimum
pada Tabel 2. Hal ini berarti dalam penyusunan
program pemuliaan hendaknya pemulia
mempertimbangkan intensitas seleksi yang
optimum agar respons seleksi dapat meningkat.

Jantan terseleksi (%)

Tabel 2. Estimasi Respons Seleksi Bobot Sapih Berdasarkan Intensitas Seleksi yang Berbeda.

Keterangan :

1,0
1,5
2,0
2,5
3,0

Intensitas
seleksi
2,665
2,526
2,421
2,338
2,268

n (ekor)
3
5
7
9
11

Alternatif
1
2
3
4
5

20

20
1,400
74
2,16
2,08
2,03
1,98

25
1,271
93
2,09
2,01
1,96
1,91

27
1,225
100
2,06
1,99
1,93
1,89

2,13
2,03
1,95
1,88
1,85
Perhitungan pada Tabel 2 menggunakan nilai heritabilitas= 0,09 dan simpangan baku bobot
sapih=11,79 kg, jumlah populasi 370 ekor.

Dengan jumlah induk sebanyak 429


ekor maka jumlah jantan yang ideal untuk
mendapatkan respons seleksi optimum adalah
sebanyak 22 ekor, sehingga dapat dibuat
berbagai alternatif distribusi jantan dan betina
pada berbagai umur dalam suatu populasi sapi
Bali di P3Bali. Apabila jantan digunakan
Tabel 3.

Betina terseleksi (%)


10
15
1,755
1,554
37
56
2,35
2,24
2,27
2,16
2,22
2,11
2,17
2,06

maksimal selama lima tahun dan betina


digunakan selama tujuh tahun dalam
pembiakan, dengan persentase panen pedet
sebesar 83,27 persen, simpangan baku bobot
sapih 11,79 kg dengan nilai heritabilitas 0,09,
maka dapat dibuat alternatif seperti pada Tabel
3.

Berbagai Alternatif Distribusi Jantan dan Betina Sebagai Dasar Program Pemuliaan untuk
mendapatkan Respons Seleksi Bobot Sapih Terbaik
Kelompok
Sapi
Pejantan
Induk
Pejantan
Induk
Pejantan
Induk
Pejantan
Induk
Pejantan

3
22
82
11
82
8
82
6
82
5

4
78
11
78
7
78
6
78
5

Umur (tahun)
5
6

73

69

65

62

73
7
73
5
73
4

69

65

62

69
5
69
4

65

62

65
4

62

i
1,627
0,984
1,918
0,984
2,135
0,984
2,243
0,984
2,232

L
3,00
5,33
3,50
5,33
3,95
5,33
4,41
5,33
4,86

R/y
0,33
0,35
0,36
0,35
0,34

Vol. 15 No. 1 Tahun 2007

Induk

Peningkatan Mutu Genetik Sapi

82

78

73

69

65

62

0,984

5,33

20

21

Supriyantono,

Jurnal PROTEIN

Keterangan: i= intensitas seleksi, L= interval generasi, diperoleh melalui perhitungan seperti pada Lampiran 11.
R/y= respons seleksi per tahun yang diperoleh dengan rumus R= (h 2*i*p)/l, dengan nilai h2= 0,09, i= rata-rata
untuk pejantan dan induk, p= 11,79 kg dan L= rata-rata untuk pejantan dan induk.

Tabel 3 menunjukkan bahwa alternatif


ketiga dengan mempertahankan pejantan
selama tiga tahun dan betina selama enam tahun
diperoleh respons seleksi per tahun yang lebih
baik daripada alternatif lain. Respons seleksi ini
sama seperti respons seleksi perbandingan
jantan dan betina yang ideal pada Tabel 2.
P3Bali telah melakukan program
pemuliaan modifikasi, adapun modifikasi yang
dilakukan antara lain (1) peserta uji kinerja
dilakukan juga pada betina dengan jumlah
peserta sebanyak 100 ekor.
Jumlah ini
didasarkan atas proporsi betina terseleksi
minimal 72 ekor; (2) aliran sapi betina secara
langsung dari unit ke elite herd tidak perlu
terjadi karena sapi-sapi tersebut belum teruji
mutu genetiknya. Sebelum masuk ke elite herd
sapi betina harus melalui uji kinerja lebih
dahulu; (3) tekanan seleksi yang dilakukan pada
jantan dan betina lebih longgar sehingga jumlah
sapi yang terseleksi menjadi lebih banyak
daripada sapi-sapi yang tersingkir (culling).
Program pemuliaan alternatif yang
diusulkan didasarkan atas nilai-nilai parameter
genetik yang diperoleh dari data selama sepuluh
tahun terakhir. Nilai-nilai parameter genetik
seperti heritabilitas, ripitabilitas, korelasi
genetik dan nilai pemuliaan sangat penting
dalam membuat program pemuliaan. Menurut
Harris et al (1984) dan Groen (1998) bahwa
untuk mengembangkan program pemuliaan
diperlukan estimasi parameter seleksi (genetik).
Pembahasan-pembahasan
sebelumnya
menunjukkan
bahwa
nilai
heritabilitas
digunakan untuk menduga nilai pemuliaan dan
respons seleksi; ripitabilitas digunakan untuk
menduga kemampuan induk-induk dengan
tujuan seleksi.
Alternatif-alternatif yang diajukan
menunjukkan bahwa pada alternatif ketiga
ternyata menghasilkan respons seleksi yang
terbaik.
Pada alternatif ini pejantan
dipertahankan selama tiga tahun dengan
distribusi umur 3, 4 dan 5 tahun dengan jumlah
yang seimbang. Proporsi yang seperti ini
menghasilkan respons seleksi per tahun yang

22

paling baik dibanding alternatif yang lain.


Walaupun interval generasi semakin meningkat
namun pada saat yang bersamaan juga
meningkatkan intensitas seleksi jantan sebagai
akibat dipertahankannya pejantan selama tiga
tahun.
Ke
lima
alternatif
tersebut
mengharuskan setiap tahun melakukan seleksi
baik pada jantan maupun betina dengan
banyaknya jantan sesuai dengan alternatif
masing-masing. Kondisi ini dapat dilakukan
apabila jarak beranak induk-induk di Inti
Pulukan diperbaiki menjadi 365 hari dari saat
ini sebesar 450,70 153,70 hari. Untuk
mendapatkan respons seleksi seperti pada
alternatif III maka hasil seleksi jantan dan
betina paling tidak menyerupai pejantan dan
induk yang digunakan sebelumnya.
Program pemuliaan P3Bali dapat
berhasil baik apabila asumsi-asumsi berikut
terpenuhi, yaitu (1) aliran ternak semata-mata
berasal
dari
IPD
Tabanan
dengan
mempertimbangkan kemampuan genetik; (2)
pencegahan terhadap penyakit jembrana harus
dilakukan dengan baik, sehingga pengukuran
terhadap karakter seleksi tidak terganggu; (3)
persentase jantan dan betina yang terseleksi dan
tersingkir (culling) yang sudah ditetapkan
dalam program harus dijalankan dengan baik;
(4) penggunaan penjantan baik IB maupun
alami harus diawasi dengan ketat dan harus
dilakukan secara bergilir, untuk mengurangi
resiko inbreeding.
Program
pemuliaan
di
P3Bali
merupakan aplikasi dari pola open nucleus
breeding programme. Elite herd merupakan
kelompok inti sebagai kelompok perbibitan
utama, kemudian pada lapisan kedua terdapat
kelompok perbibitan tingkat dua (performance
test) yang bibit awalnya diseleksi dari lapis di
bawahnya dan atau menerima juga dari lapis
atasnya. Lapisan terbawah merupakan massa
peternak dengan jumlah peternak dan ternak
terbanyak, yang digolongkan ke dalam
peternakan komersial

Vol. 15 No. 1 Tahun 2007

Peningkatan Mutu Genetik Sapi

Peserta uji kinerja yang diharapkan


berjumlah 50 ekor untuk jantan dan 100 ekor
untuk betina. Peserta uji kinerja dapat berasal
dari Inti Pulukan (Elite Herd) maupun IPD
Tabanan tanpa ada rumusan pembagian
persentase. Selama sapi memenuhi kriteria
secara obyektif maupun subyektif dalam uji
kinerja maka dapat digunakan sebagai peserta.
Kriteria obyektif seperti bobot badan yang
seragam pada umur 12 bulan, sedangkan
kriteria subyektif seperti kelainan kerangka
terutama pada kaki, rahang, pundak, organorgan reproduksi dan warna bulu yang
menyimpang.

induknya dengan menaksir nilai MPPA. Sapisapi ini selanjutnya dikawinkan dengan
pejantan-pejantan unggul hasil uji kinerja.

Peserta uji kinerja yang berasal dari


lingkungan yang berbeda, bersama-sama
dipelihara di Inti Pulukan untuk diuji dan
dievaluasi pada lingkungan bersama. Dengan
cara seperti ini, pengaruh non-genetik
(lingkungan)
dapat
dikurangi
sehingga
memungkinkan sapi menampilkan kemampuan
genetiknya. Adaptasi dilakukan selama dua
bulan dengan memberikan perlakuan sama
terutama
nutrisi
yang
baik
guna
mengoptimalkan pertumbuhan. Uji kinerja
dilakukan selama 12 bulan yang diakhiri
dengan pengukuran statistik vital (bobot badan,
lingkar dada, panjang badan dan tinggi gumba)
dan evaluasi secara subyektif.

Semakin banyak pejantan yang


dilibatkan dalam uji keturunan memungkinkan
untuk memperkecil tekanan seleksi, apabila
tested bull yang terpilih hanya satu atau dua
ekor saja, sehingga dapat memperbesar
intensitas seleksi. Penambahan pejantan hingga
delapan ekor masih memungkinkan dihasilkan
dari uji perfromans karena keluaran uji
performans yang disyaratkan yaitu sebanyak 16
persen atau sebanyak delapan ekor pejantan.

Pada jantan, hasil uji kinerja


selanjutnya sebanyak 16 persen dilakukan uji
keturunan, persentase tersebut adalah batas
minimal (8 ekor) untuk mendapatkan caloncalon pejantan yang akan dilakukan uji
keturunan. Sisa jantan dikembalikan ke IPD
sebagai
pemacek
betina-betina
yang
populasinya jauh lebih banyak di IPD daripada
di Inti.
Jumlah pejantan yang digunakan
sebagai pemacek disesuaikan dengan jumlah
betina yang ada di IPD dengan tetap
mempertahankan perbandingan jantan:betina
sebesar 1:20. Jantan-jantan yang tidak
dikehendaki, terutama dari segi reproduksi,
disingkirkan namun diharapkan tidak lebih dari
25 persen.
Sementara pada kelompok betina,
calon-calon yang lolos uji kinerja yang akan
masuk ke kelompok elite herd didasarkan atas
selain kemampuan penampilan dirinya juga
dengan memperhitungkan kemampuan dari

Berdasarkan nilai efisiensi relatif uji


keturunan maka seharusnya jumlah anak per
pejantan yang diuji sebanyak enam ekor.
Jumlah anak yang seperti ini memungkinkan
pejantan peserta uji keturunan ditambah
menjadi 6-8 ekor.
Perhitungan tersebut
didasarkan atas distribusi anak per pejantan
selama ini sebanyak 3-28 ekor dari tiap ekor
pejantan yang diuji (Tim Fakultas Peternakan
Universitas Brawijaya, 2004).

Karakter yang digunakan untuk


melakukan uji keturunan adalah bobot sapih,
karena karakter ini mempunyai nilai ekonomis
yang tinggi daripada karakter-karakter lain.
Selain itu, dari hasil analisis data menunjukkan
bahwa korelasi genetik antara bobot sapih dan
bobot setahun; bobot sapih dan PBB
menunjukkan nilai yang positif.
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian dapat
diambil
kesimpulan,
bahwa
dengan
menggunakan animal model, nilai heritabilitas
bobot sapih yang diperoleh rendah (0,090,15).
Karakter ini dijadikan sebagai dasar kriteria
seleksi karena mempunyai nilai ekonomis
tinggi dan berkorelasi positif terhadap bobot
setahun, pertambahan bobot badan dan jarak
beranak.
Program pemuliaan yang menghasilkan
respons seleksi per tahun terbaik dihasilkan
apabila pejantan dipertahankan di dalam
populasi selama tiga tahun dan induk
dipertahankan selama enam tahun dengan

23

Supriyantono,

proporsi yang seimbang, dengan perbandingan


jantan : betina sebesar 1 : 20.
Skema program pemuliaan yang
diusulkan mengharuskan adanya program uji
kinerja baik pada jantan maupun betina dengan
jumlah minimum 50 ekor dan 100 ekor. Untuk
memperoleh jumlah pejantan yang lebih banyak
maka sebanyak 16 persen top rank pejantan
diambil untuk dilakukan uji keturunan.
Program pemuliaan dilaksanakan di
tingkat Inti Pulukan dan IPD Tabanan.
Recording untuk semua karakter dilakukan pada
tingkat Inti Pulukan sedangkan di IPD Tabanan
recording hanya dilakukan untuk bobot sapih.
Pengukuran bobot badan juga dapat dilakukan
melalui lingkar dada dan panjang badan karena
R2 yang diperoleh sebesar 86,1%.
Saran
Berdasarkan hasil penelitian disarankan
bahwa untuk mendapatkan hasil optimum pada
respons seleksi maka rasio perkawinan antara
jantan dan betina sebesar 1 : 20, dengan
mempertahankan jantan selama tiga tahun dan
betina selama enam tahun;
DAFTAR PUSTAKA
Bamualim, A. dan R.B. Wirdahayati, 2002.
Nutrition and Management Strategies
to Improve Bali Cattle Productivity in
Nusa Tenggara. Working Papers: Bali

24

Jurnal PROTEIN

Cattle Workshop.
2002.

Bali, 4-7 February

Groen, A.F., 1998. Breeding Programmes.


Lecture notes. Department of Animal
Breeding.
Wageningen Agricultural
University, Wageningen.
Harris, B.L., J.M. Clark, and R.G. Jackson.,
1984. Across Breed Evaluation of
Dairy Cattle. In: Proceedings of the
New Zealand Society of Animal
Production. New Zealand Society of
Animal Production, Waikato University,
pp. 12-15.
Mastika, I.M., 2002. Feeding Strategies to
Improve the Production Performance
and Meat Quality of Bali Cattle (Bos
sondaicus). Working Papers: Bali Cattle
Workshop. Bali, 4-7 February 2002.
Pane, I., 1991. Produktivitas dan Breeding
Sapi Bali.
Proceeding Seminar
Nasional Sapi Bali. Ujung Pandang, 2-3
September 1991.
Ujung Pandang:
Fakultas
Peternakan
Universitas
Hasanuddin, p: 50-69.
Tim

Fakultas
Peternakan
Universitas
Brawijaya, 2004.
Pengembangan
Sistem Manajemen Breeding Sapi Bali.
Laporan Akhir Penelitian. Kerjasama
Teknis Antara Fakultas Peternakan
Universitas Brawijaya dengan Proyek
Pembinaan
Peningkatan
Produksi
Peternakan Tahun Anggaran 2004.

You might also like