Professional Documents
Culture Documents
This study examine concern about Economics analyze on beneficial Tanah Ulayat on
carm Plam oil farm On states legality of Agrarian constitution, gave a recognize of
Tanah ulayat existential as owned of traditional community so the or regulation and
coordination must be involve of Nagari (traditional) community. Cooperatives model is a
relationship between local society with capital owners (investors). There is phenomena,
this model create problems, where economic externality and social damage and
environment farming. There’s as change of land owners specially tanah ulayat turn to
Erpacth right (hak guna usaha) for company, that would make economic disparity, un
fairly on change distribution, to get plasma and in order to chouse the people that have
right and not.
The goal
The goal of this study is to analyze effectiveness rate between plasma and
cooperatives model with individual farm model, analyzing comparative net income of
plasma/cooperatives farmers with individual farmers in order tanah ulayat. This
research was done with case study in Nagari Lingkung Aur Kecamatan Pasaman,
Pasaman (Barat). Population of the this research is the family of carm palm oil farmer.
And sample is taken randomly approach. The data then was confirm to secondary
source, that came from KUD direction Officer, nagari Government and key person from
adat leader. Research result show that there is significant differences between net
income that plasma/cooperatives members farmers is higher get net income if we
compare it with individual farmer and also plasma/cooperatives model gave many
economic beneficial to the former and gave positive effect to nagari economy. So
research give recommendation, that we have increasing this sector by using
plasma/cooperatives model, facility by government and good condition on the nagari, the
government have to work harder make the legal formal own of the land after contracts
was end to traditional society that joined on cooperatives and society understanding to
group business in cooperative form.
A. PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Tanah ulayat merupakan sumber daya dan asset nagari yang penting di Sumatera Barat.
Tanah ulayat memiliki nilai ekonomi yang merupakan sumber kehidupan bagi
masyarakat nagari, didalamnya terkandung berbagai potensi sumber daya alam yang
mulai dari kulit bumi yang digunakan untuk kegiatan-kegiatan pertanian, hasil hutan dan
sampai kedalaman tanah dalam bentuk tanah dan bebatuan sebagai bahan baku industri.
Kulit bumi atau tanah merupakan asset masyarakat yang selalu dijaga, dipelihara dan
dimanfaatkan secara subsisten dalam kelangsungan kehidupannya. Disamping itu ditanah
ulayat juga melekat nilai-nilai sosial sebagai ikatan, kesatuan sistem kepemilikan dan
pengelolaan bersama masyarakat adat terhadap tanah, yang diyakini sebagai suatu titipan
Tuhan yang harus dijaga dan dipelihara secara baik.
Bagi masyarakat nagari pada awalnya tanah ulayat merupakan sumber kehidupan dalam
rangka pemenuhan kehidupan, tanah digunakan untuk menghasilkan padi,sayur-sayuran,
buah-buahan namun kemudian dengan perkembangan perdagangan daerah dan
internasional kemudian tanah mulai ditanami dengan tanaman industri seperti karet,
kasiavera, kelapa sawit, kopi dan lain-lain sehingga tanah semakin banyak dimanfaatkan
oleh kelompok masyarakat sendiri dan para pendatang termasuk para penanam modal.
Penggunaan tanah yang semakin meningkat secara ekonomi akan meningkatkan
pendapatan yang diterima oleh masyarakat, perluasan kesempatan kerja dan peningkatan
produktivitas masyarakat. Namun disisi lain karena berdatangannya orang ke Nagari
kepemilikan dan penguna tanah setiap periode mengalami perubahan sehingga terjadi
perubahan status kepemilikan bersama ke kepemilikan pribadi, suku lain, negara dan
para investor sehingga menimbulkan suatu persoalan ditengah masyarakat nagari.
Kajian Muchtar (1983) tentang pengelolaan tradisional tanah ulayat di Sumatera
Barat diketahui, tanah ulayat sebagian besar diusahakan secara pribadi dan sebagian
ada juga yang diolah oleh suku lain dalam nagari dengan sistem bagi hasil dalam bentuk
“sasiah, sapaduo” sepatiga dan lain-lain. Pola pengelolaan ini bagi masyarakat nagari
hanya cukup untuk memenuhi kebutuhan pokok sehari-hari (subsisten), namun belum
bisa memenuhi kebutuhan untuk menabung dan investasi sebagai harapan dan tatangan
kebutuhan ekonomi masa datang.
Pertumbuhan dan perkembangan ekonomi dan penduduk nasional mendorong
pemerintah untuk melakukan usaha-usaha sebagai upaya untuk meningkatkan output
nasional, sehingga penggunaan tanah untuk usaha-usaha bisnis modern semakin
meningkat. Khusus di Sumatera Barat tanah yang masih belum terpakai merupakan tanah
milik “Hak Ulayat” yang dimiliki oleh Nagari/suku/kaum yang dikenal dengan
“Pusako Tinggi” yang pengelolaannya tidak boleh dijual/gadaikan kepada pihak lain.
Persoalan ini kemudian bisa dipecahkan dengan konsep “kemitraan”. Konsep ini
memberikan pengakuan atas hak ulayat nagari bagi masyarakat tempatan dan
memberikan kesempatan kepada pemilik modal (Investor) melakukan bisnis dalam
usaha-usaha yang memiliki keuntungan yang menjanjikan.
UU Pokok Agraria sesungguh telah mengatur dan memberikan pengakuan atas hak ulayat
masyarakat adat, maka semestinya memang dalam pengelolaan yang melibatkan pihak
luar harus memperhatikan eksistensi ini sebagai bagian dari upaya untuk penerapan
sistem perundang-undangan agraria, penghormatan pemerintah atas “hak ulayat”
diwujudkan dengan model-model kemitraan antara pemilik modal (investor) dengan
masyarakat. Salah satu pola kemitraan itu adalah model kerjasama PIR-BUN (Pola inti
rakyat untuk perkebunan) yang dikembangkan awal tahun 1970 hingga awal tahun 1990,
pola ini merupakan fasilitasi kredit bank dunia dan lembaga donor asing lainnya dalam
bentuk pinjaman terhadap pengembangan sektor perkebunan besar di Indonesia.
Pengembangan perkebunan besar ini dikembangkan dalam bentuk pola kemitraan
Perusahaan Inti Rakyat (PIR) antara BUMN (PT Perkebunan Persero) dan swasta
dengan melibatkan masyarakat (plasma) yang kemudian pemerintah memfasilitasi
pembentukan kelompok ekonomi masyarakat dalam bentuk Koperasi Pertanian (KUD),
dan keswadayaan masyarakat (Perorangan).
Pola kemitraan dan pengelolaan melalui pola plasma-inti ini disatu sisi memberikan
kontribusi yang positif terhadap perekonomian nasional. Pada periode pembentukan itu,
sektor perkebunan memberikan kontribusi terhadap pertumbuhan ekonomi nasional dan
mengalami kemajuan yang pesat hal didukung oleh program perkebunan besar swasta
nasional (PBSN) yang disubsidi oleh pemerintah (khudhori:2004). Dan secara simultan
memberikan dampak positif terhadap kesempatan kerja dan pendapatan masyarakat
namun disisi lain terjadi persoalan, eksternalitas negatif dan konflik Penelitian awal yang
peneliti lakukan persoalan itu terjadi karena dua hal yakni terjadinya penyimpangan atas
perencanaan dan komitmen awal dengan pelaksanaan lapangan dan ketimpangan
ekonomi antara warga masyarakat, ini terlihat dari jumlah konsumsi dan pola hidup
dalam bentuk perumahan, pakaian dan tingkat pendidikan antara penduduk yang
mendapatkan fasilitas plasma dengan petani lokal
Secara makro pada akhir tahun 1990 (1997 –1999), perusahaan-perusahaan perkebunan
mengalami kebangkrutan akibat krisis keuangan (moneter), sehingga olah BPPN,
perusahaan (corporate) tersebut dijual kepada pihak asing. Persoalan ini secara kasat
mata hampir terjadi disebagian besar daerah yang dijadikan sebagai pusat proyek
perkebunan, salah satunya adalah di Kabupatan Pasaman, masyarakat nagari melakukan
tuntutan atas komitmen yang telah dilakukan oleh investor atau pemilik kebun besar atas
kesepakatan (MoU) yang disepakati tidak dipenuhi oleh investor. Kemudian juga terlihat
bahwa terdapat kesenjangan pendapatan masyarakat.. Temuan Walhi (1999)
menjelaskan bahwa Pola Plasma dan PIR menimbulkan persoalan yakni terjadinya
perubahan penguasaan tanah dari tanah ulayat (adat) ke-kepemilikian Hak Guna Usaha
(HGU) yang dimiliki oleh perusahaan, terjadinya kesenjangan ekonomi, pemaksaaan
produk yang dihasilkan oleh plasma dan resiko harga jual produk diterima oleh petani
plasma lebih besar, degradasi mutu lingkungan dan pelanggaran HAM yang ditandai
dengan hilangnya kebebasan petani untuk menentukan jenis komoditi pertanian dan
penentuan harga sepihak oleh perusahaan sebagai penampung produk pertanian petani.
Studi awal penelitian ini ditemukan kedua model yang menimbulkan
kesenjangan ekonomi di tingkat masyarakat, kesenjangan pendapatan antara petani
perorangan dengan petani plasma/anggota koperasi. Akibatnya pola konsumsi dan
kelayakan hidup sosial antar masyarakat terdapat perbedaan yang mencolok. Mencermati
persoalan tersebut maka peneliti melakukan kajian dan analisis yang mendalam terhadap
pola pengelolaan tanah ulayat tesebut, pertanyaannya adalah bagaimana pola pengelolaan
tanah ulayat dan manakah yang memiliki produktivitas tinggi dan memberikan peran
yang signifikan terhadap peningkatan kesejahteraan petani.
B. TINJAUAN KEPUSTAKAAN
2. 1 Tanah sebagai Faktor Produksi Ekonomi
Tanah merupakan sumberdaya material dan sumber terpenting, tanah merupakan lapisan
teratas dan dalam lapisan inilah hidup beraneka ragam makhluk termasuk manusia,
Quesnay (1694-1774) (dalam Sumitro:1991) menjelaskan bahwa tanah dianggap
sebagai satu-satunya sumber untuk mendapatkan pendapatan dan kekayaan, dan sektor
pertanian merupakan kegiatan produktif, tanah juga diyakini mengandung kemampuan
untuk menghasilkan produksi dalam jumlah dan mutu yang melebihi (menciptakan
surplus) bahan mentah dan peralatan yang digunakan dalam menghasilkan produk bersih.
Faktor tanah Secara teoritis dibahas berkenaan dengan nilai sewa atas tanah, apakah
dimasukkan dalam harga perolehan atau bagian yang harus dinikmati oleh pemilik tanah
(residu) penjelasan terhadap tanah dalam perekonomian lebih lanjut dibahas oleh Adam
smith (1723-1790), bahwa imbalan jasa untuk penggunaan tanah tidak dianggap sebagai
faktor menentukan harga, melainkan sewa tanah (land rent) merupakan residu, suatu
unsur sisa hasil (residual) dari harga barang, bagian residu itu jatuh pada dan dinikmati
oleh pemilik/penguasa tanah. Sewa tanah bukan merupakan komponen dalam biaya
produksi yang menentukan harga barang, melainkan tinggi-rendahnya upah beserta bunga
dan laba yang menjadi faktor yang menentukan tinggi dan rendah harga barang.
Sementara itu David Ricardo (1772-1823) (dalam L.J. zimmerman:1955, terjemahan
Siagian) menjelaskan bahwa sewa tanah timbul karena kekurangan tanah, dan
terbatasnya kesuburan tanah. Sewa tanah merupakan ganti kerugian yang harus dibayar
kepada pemilik tanah untuk pemakaian. Harga dari hasil-hasil pertanian akan tergantung
pada pada jumlah kerja yang dipergunakan untuk memproduksi hasil pertanian tersebut.
Sumbangan Ricardo (dalam Pressman, 2001) adalah distribusi pendapatan berkenaan
dengan tanah sebagai faktor produksi dengan mengemukakan praktis. Teori distribus
Ricardo mengandung tiga element yaitu teori sewa, sebuah teori untuk menjelaskan upah
dan sebuah teori laba. Teorinya memperlihatkan bagaimana pendapatan nasional
dibagi menjadi tiga kategori dan apa yang terjadi pada sewa, upah dan laba ketika
ekonomi tumbuh. Dalam menganalisis mengikuti Multhus (1970) sebelumnya yaitu teori
sewa differensial. Menurut teori differensial sewa berasal dari perbedaan kesuburan dari
berbagai bidang tanah. Apabila tersedia persediaan tanah yang kaya dan subur yang
berlimpah, orang-orang tidak akan membayar untuk penggunaan tanah ini dan tidak akan
ada biaya sewa tanah.
Tetapi biasanya ada keterbatasan persediaan tanah yang baik. Ketika sebagian tanah
yang paling subur habis dipakai, maka bidang tanah yang paling subur yang
selanjutnya harus diolah juga. Keuntungan dari orang-orang yang mempunyai tanah
yang paling subur akan segera bertambah.
Ketika tanah yang dipakai semakin lama semakin memburuk kualitasnya, sewa
differensial akan naik. Ketika tanah kualitas ketiga ditanami, sewa tanah yang kedua
akan segera meningkat, dan diatur dengan perbedaan kemampuan produktif
mereka.Pada saat yang sama sewa untuk kualitas yang pertama akan naik (Ricardo 1951-
5 Vol/ 1 hal 70 ) (dalam pressman, 2001).
Sementara itu Johan Heinrich Von Thinen (dalam L.J. zimmerman:1955, terjemahan
Siagian) menguraikan bahwa teori sewa tanah differesial ini lebih lanjut dengan
menekankan pada perbedaan dalam tingginya sewa tanah ditentukan oleh letak terhadap
pasar penjualannya, semakin dekat dengan pusat-pusat pemasaran maka akan semakin
rendah biaya angkut yang dikeluarkan
Sementara itu Schumacher (1973) (terjemahan:M.T.Zen) mengemukakan bahwa tanah
merupakan faktor produksi penting namun merupakan faktor kedua, faedah (utility) dan
kemanfaatan tanah yang merupakan sumber daya yang perlu dijaga (ekologis), tanah
adalah tujuan, tanah merupakan meta-ekonomis, keramat dalam pengertian bahwa tanah
tidak bisa dibuat oleh manusia, maka perlu dijaga kelestariannya, Schumacher juga
menawarkan gagasan bahwa dalam pengelolaan tanah perlu memenuhi tiga tugas utama
yakni : (1) Memelihara hubungan manusia dengan alam kehidupan, dimana manusia
merupakan bagian yang rapuh sekali, (2) untuk memberikan sifat yang lebih manusiawi
dan lebih mulia pada pemukiman manusia yang lebih luas (3) menghasilkan pangan dan
bahan-bahan lain yang diperlukan untuk hidup yang layak..
C. METODOLOGI PENELITIAN
Penelitian ini bersifat survey dengan data kuantitatif dan kualitatif, studi kasus di
Nagari Lingkung Aur, Kecamatan Pasaman Kabupaten Pasaman Barat,
Populasi dari penelitian ini adalah keluarga petani sawit di Nagari Lingkung Aur,
dengan mengelolah tanah ulayat melalui usaha perorangan, Koperasi dan Plasma.
Sampel penelitian diambil secara acak dengan menggunakan rumus Slovin (dalam
Tawu,1993) yakni sebagai berikut : Sumber data yakni : Data Primer di peroleh dari
responden yang menjadi sample penelitian yakni sebanyak 93 orang. dan data
skunder diperoleh dari Kantor Nagari, Kantor Kecamatan Pasaman,BPS.
3.4.2 Variabel penelitian
1. Pendapatan (harga penjualan/unit) sawit.
2. Pendapatan bersih petani.
3. Penjualan sawit petani dalam perhektar
4. Biaya operasional perkebunan sawit per/ha
3.4.3 Defenisi Operasional Variabel
1. Penjualan Sawit adalah Jumlah rupiah perkalian dari jumlah produksi perhektar
dikalikan dengan harga perunit.
2. Biaya operasional adalah seluruh biaya operasional kebun sawit dalam satu
hektar, pemeliharaan, panen, angkutan.
3. Pendapatan bersih petani adalah penjualan sawit dikurangi dengan biaya
operasional, biaya modal dan biaya administrasi kebun.
4. Nilai tambah adalah selisih antara pendapatan yang diterima dengan biaya
operasional petani setiap kali produksi/panen.
Data primer dikumpulkan dengan menggunakan instrumen kuesioner dengan daftar
pertanyaan yang dibuat sesui dengan kebutuhan data yang diperlukan disamping itu
perlu dilakukan wawancara, pengumpulan dokumen. Responden yang di temui adalah
pengurus koperasi, anggota koperasi, dan masyarakat di sekitar koperasi dengan metode
face to face, sambung rasa peneliti dengan para responden. Data yang dibutuhkan
merupakan respon dan penilaian anggota terhadap peran koperasi/plasma dan kelebihan
usaha-usaha perorangan dibandingkan dengan usaha berkelompok dalam bentuk
koperasi/plasma. Dan data-data kuantitatif seperti yang tergambar dalam tabel berikut
ini :
Analisis deskriftif merupakan uraian dari hasil wawancara yang dilakukan, disamping itu
juga mengemukakan secara deskriftif tentang perbandingan pendapatan bersih yang
diterima petani plasma/koperasi dengan usaha perorangan dengan menggunakan analisis
tabulasi. Dan untuk mengetahui kontribusi digunakan rumus perbandingan relatif dengan
formulasi sebagai berikut :
Dimana Kont = kontribusi pendapatan yang berasal dari usaha sawit, Ys = pendapatan
sawit, Yt= pendapatan total keluarga. Sementara itu untuk mengetahui besarnya besar
nilai benefit dari total cost yang dihasilkan digunakan ratio (B/C Ratio). Dengan
membandingkan antara pendapatan yang diperoleh dengan cost yang dikeluarkan oleh
petani sawit. Apabila pendapatan (Revenue) yang diperoleh lebih besar dari biaya
(cost) yang dikeluarkan, maka usaha usaha perkebunan sawit menguntungkan dan
perbandingan antara pola plasma/koperasi dengan usaha perorangan.
Total Revenue (TR)
B/C Ratio = ……(cray:1993)
Total Cost (TC)
Analisis beda (pengujian komparatif)
Ho : ?1? ?2 terima Ho = jika F hit > F ?
H a: ?1= ?2 terima Ha = Jika F hit < F ?
D. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
Untuk mengetahui analisis perbandingan pendapatan bersih petani antara anggota
koperasi/atau peserta plasma dengan usaha perorangan dalam pengelolaan tanah ulayat
di Nagari Lingkung Aua, maka dilakukan analisis komperatif dengan menggunakan
rumus analisis beda (comparative analisis) dengan sampel terpisah (indevendent),
dengan taraf kepercayaan 90 persen dan standard error (10 persen ). Analsisi ini
digunakan untuk menjawab pertanyaan apakah terdapat perbedaan antara pendapatan
bersih yang diterima oleh petani anggota koperasi/peserta plasma dengan petani usaha
perorangan pada usaha perkebunan kelapa sawit.
H 0: Di duga terdapat perbedaan pendapatan bersih antara petani Koperasi/plasma dan
usaha perorangan dalam pengelolaan tanah ulayat
Hasil perhitungan statistik diperoleh angka F hitung = 97,28 sementara itu F tabel,
dengan dk pembilang (K-1) 2- 1 = 1, dan dk penyebut ? (n-1) = 93- 1 = 92 diperoleh F
tabel dengan taraf kepercayaan 90 persen , F tabel = 3,16 , Ternyata F hitung lebih
besar dari F tabel sehingga dapat dinyatakan bahwa hipotesis pertama (H 0) dapat
diterima. Hal ini berarti bahwa terdapat perbedaan secara signifikan pendapatan bersih
petani plasma /koperasi dengan usaha perorangan dalam pengelolaan tanah ulayat di
Nagari Lingkung Aua.
Jadi dengan dengan demikian system pengelolaan tanah ulayat dengan pola koperasi dan
kerjasama kemitraan dengan INTI (PT GMP) memberikan pendapatan bersih yang lebih
besar kepada petani. Berikut ini disajikan rekapitulasi perbandingan pendapatan bersih
rata-rata, harga rata-rata TBS perkilogram dan produksi rata-rata TBS perhektar dalam
satu bulan bagi petani peserta plasma/anggota koperasi dan usaha perkebunan dengan
pola usaha perorangan.
Dari data yang digambarkan oleh tabel 5.8 diatas terlihat bahwa produksi rata-rata
perkebunan sawit dengan pola plasma/koperasi menghasilkan TBS lebih tinggi 112,59
persen dibandingkan dengan produksi perkebunan sawit dengan usaha perorangan pada
setiap hektarnya. Sementara itu harga jual TBS dengan usaha berkelompok dalam
koperasi/plasma rata-rata juga lebih tinggi 11,8 persen dibandingkan dengan usaha
perorangan. Sehingga pendapatan bersih yang diterima oleh petani peserta
plasma/anggota koperasi juga lebih tinggi yakni 319,42 persen , atau 3,19 kali lipat
dibandingkan dengan usaha perkebunan kelapa sawit yang dilakukan dalam bentuk
usaha perorangan.
Kemudian untuk menjawab hipotesis kedua tentang efektivitas peran koperasi/plasma
dan usaha perorangan dalam usaha perkebunan sawit, hubungannya dengan kontribusi
pendapatan bersih sawit terhadap pemenuhan kebutuhan rumah tangga keluarga petani.
Analisis yang digunakan adalah analisis tabulasi dengan perbandingan (ratio), untuk
menghitung kontribusi pendapatan bersih yang bersumber dari perkebunan sawit
terhadap pemenuhan kebutuhan rumah tangga petani. Dan untuk mengetahui kontribusi
pendapatan bersih yang bersumber dari perkebunan sawit dapat dilihat dalam tabel 5.9
berikut ini :
Tabel 5.9 : Tabulasi Kontribusi Pendapatan Bersih Kebun Sawit
Terhadap Kebutuhan Rumah Tangga
Berdasarkan hitungan pada tabel 5.9 diatas tercatat rata-rata pendapatan bersih petani
yang berasal dari perkebunan kelapa sawit mampu memberikan kontribusi 86,48 persen
dari total kebutuhan rumah tangga setiap bulannya atau dalam lain perkataan bahwa
usaha perkebunan sawit dengan anggota plasma/koperasi mampu menutupi biaya
kebutuhan hidup keluarga petani sebesar 86,48 persen sementara itu usaha perkebunan
sawit dalam bentuk usaha perorangan hanya mampu memberikan kontribusi sebesar 11,
22 persen ..
Kemudian analisis Benefit Cost Ratio dan nett margin yang diterima oleh petani atas
penjualan TBS yang dihasilkan, seperti yang terlihat dalam tabel 5.10 berikut ini :
Tabel 5.10 : Rekapitulasi Penjualan, Biaya dan Pendapatan Bersih yang diterima oleh
Petani anggota koperasi/plasma dan usaha Perorangan
6.1 KESIMPULAN
Dari Analisis ekonomi pemanfaatan tanah ulayat dalam usaha perkebunan kelapa sawit di
Nagari Lingkung Aua maka diperoleh beberapa kesimpulan yakni sebagai berikut :
? Terdapat perbedaan yang signifikan antara pendapatan bersih petani plasma
/koperasi dengan usaha perorangan untuk usaha perkebunan kelapa sawit dalam
pengelolaan tanah ulayat di Nagari Lingkung Aua dimana pengelolan perkebunan
dengan pola plasma/koperasi lebih tinggi 3,19 kali lipat dari usaha peroranngan.
? Usaha koperasi/plasma ternyata memberikan manfaat besar kepada petani pada
sektor perkebunan kelapa sawit. Dimana pendapatan bersih rata-rata petani yang
diterima dari perkebunan kelapa sawit mampu memberikan kontribusi 86,48 persen dari
total kebutuhan rumah tangga petani setiap bulannya sementara itu usaha perkebunan
sawit dalam bentuk usaha perorangan hanya mampu memberikan kontribusi sebesar 11,
22 persen untuk pemenuhan kebutuhan rumah tangga.
? Model kemitraan antara investor (PT GMP) dengan pola Plasma-INTI di Nagari
Lingkung Aua telah mampu memberikan dampak positif terhadap perekonomian Nagari,
ini dibuktikan dengan kepemilikan kebun sawit produktif petani anggota koperasi/peserta
plasma seluas 1.000 Ha, untuk 500 KK petani dengan penghasilan bersih rata-rata
perbulan adalah sebesar Rp 1,409,178,- dan pertahunnya memperoleh pendapatan bersih
sebesar Rp 16.910.136,10. Intensitas penggunaan tanah yang semakin meningkat dimana
seluas 8.985 Ha, atau 53,48 persen dari luas lahan Nagari, telah memberikan kontribusi
yang positif terhadap kesejahteraan masyarakat, terserap tenaga kerja dibidang
pertanian sebesar 61,57 persen dari usia produktif, atau 7.219 orang, memberikan
kontribusi terhadap pendapatan negara dalam bentuk : PBB (Pajak Bumi dan Bangunan)
Rp 18.619.606,- dan retribusi daerah dalam bentuk bagi hasil retribusi daerah yang
bersumber dari retribusi TBS sebesar Rp 124. 619.508,- untuk tahun 2003. Sementara
itu telah telah mendorong tumbuhnya perkebunan sawit rakyat non plasma yang
merupakan usaha-usaha perorangan yang dibuat dan dikelolah secara pribadi seluas 600
hektar atau terjadi penambahan penggunaan tanah sebesar 3,57 persen dan 6,68 5 dari
total penggunaan lahan untuk perkebunan PIR-plasma.Dengan pola kemitraan, juga
memberikan keuntungan bagi petani dalam hal kepastian pemasaran hasil-hasil pertanian
(TBS).
? Kebijakan fasilitasi yang dilakukan oleh Pemerintahan Daerah dan Pimpinan
adat Nagari/Desa efektif mendorong terjadinya kerjasaman dan kemitraan investor
dengan masyarakat Nagari dalam bentuk kerjasama pembangunan kebun kelapa sawit
dengan model PIR-Plasma.
? Penelitian ini memiliki keterbatasan dalam pemerolehan informasi yang
mendalam karena butir pertanyaan yang diajukan belum terstruktur, jawaban responden
yang masih diragukan objektivitasnya karena keterbatasan pengetahuan responden, dan
lokasi penelitian yang tidak luas dan dengan jumlah sampel yang masih belum banyak
disamping itu penelitian ini juga memiliki keterbatasan dalam dukungan data-data
skunder dari lembaga terkait. Disamping itu penelitian ini juga memiliki keterbatasan
dalam data yang dianalisis yakni hanya pada perhitungan satu tahun produksi sementara
jenis tanaman adalah tanaman tahunan.
6.2 REKOMENDASI.
Berdasarkan kesimpulan di atas maka dapat direkomendasikan hal-hal sebagai berikut:
Kepustakaan
Arsyad, Lincolin. 1999 Ekonomi Pembangunan. Yogyakarta: Bagian Penerbitan STIE
YKPN.
Case Karl E & Fair, C Ray, (2003) Prinsip-Prinsip Ekonomi Mikro. Jakarta : PT Indeks
Kelompok Gramedia (edisi Indonesia, oleh Barlian Muhamad dkk)
--------------. 1997. Setengan Abad Pasang Surut Gerakan Koperasi Indonesia. Jakarta :
Dekopin
Fitantina.1999.Perbandingan Tingkat Pendapatan Petani Karet Peserta PIR dan Non PIR.
Padang : PPS Unand. Volume I /no.1/tahun 1999
Hasan, Firman, dkk. 1988. Dinamika Masyarakat dan Adat MinangKabau. Padang
:Puslit :Unand
Hendrojogi. 1997. Koperasi Azaz Teori dan Praktek. Jakarta : Rajawali Press
--------------. 2000. Koperasi Azaz-Azaz, Teori dan Praktek. Jakarta : Rajawali Press
Institute for Economic and Social Research. 2001. Tanah ulayat,Jakarta, Faculty of
Economics University of Indonesia, Jurnal Website. FE-UI
Jhingan, M.L, 1983, Ekonom Pembangunan dan Perencanaan. Jakarta : PT Raja Grafindo
Persada
Lains, Alfian. 2003 Ekonomitrika : Teori dan Aplikasi. Jakarta: Pustaka LP3ES Indonesia
Manan, Imran. 1995. Birokrasi Moderen dan Otoritas Tradisional Di Minang Kabau.
Padang : Yayasan Pengkajian Kebudayaan Minang kabau.
Miller, Roger le Roy. (terjemahanan Haris Munandar). 1997. Teori Ekonomi mikro
Intermediate. Jakarta : PT Raja Grafindo.
P3SD dan PEMDA Sumbar. 2000. Invetarisasi Kekayaan 250 Nagari Sumatera Barat.
Padang : PT. Grafika
----------. 2002 . Inventarisasi Kekayaan 200 Nagari di Sumatera Barat. Padang, Pustaka
P3SD
Pressman, Steven (terjemahan Tri Wibowo Budi Santoso) Lima Puluh Pemikir Ekonomi
Dunia.Jakarta : PT Raja Grafindo Persada.
Panggabean, Riana. 2002. Kompetensi KUD dan Koperasi Dalam Agribisnis Susu dan
Tantangannya. Jakarta : Infokop Edisi No. 20 Tahun XVIII.
Q bar . 2004, Penguatan Hak Ulayat Dalam Era Desentralisasi Di Sumatera Barat,
Padang, hasil riset
Raharjo, Dawan dkk. 1996. Koperasi Dalam Sorotan Pers. Jakarta : Sinar Harapan
Rais, Kamardi H. 2004. Status Tanah Ulayat dan Potensinya. Padang : Padang Ekspress
Salim, Emil, dkk. 1995. Pemikiran Pembangunan Bung Hatta. Jakarta : LP3ES
Semoen, Iksan. 1992. Ekonomi Produksi Pertanian, Teori dan Aplikasi. Jakarta: ISEI
Cabang Jakarta.
-------- dan Ratih lestasi. 1988. Fungsionalisme dan Teori Konflik. Jakarta : Sinar
Grafika.
Soetrisno, Noer. 2002. Pembangunan Ekonomi Berkeadilan, Jakarta, Infokop, Edisi No,
20, Tahun XVIII.
Sumbar@Indosat.net.id
Swasono, Sri Edi, dkk. 1997. Koperasi Indonesia Menghadapi Abad Ke-21. Jakarta :
DEKOPIN
Tim Penulis PS. 1994. Kelapa Sawit. Usaha Budi Daya, Pemanfaatan Hasil, dan Aspek
Pemasaran. Jakarta : Penebar Swadaya.