You are on page 1of 17

OPTIMASI PROSES PASTEURISASI KONTINYU SARI BUAH BELIMBING (Averrhoa carambola Linn)

Optimization of Star Fruit (Averrhoa carambola Linn) Juice with Continuous Pasteurization Process
Ratih Kusumawardhani.1), Bambang D. Argo2), Sudarminto S. Yuwono2) 1) 2) Alumni Pascasarjana THP Universitas Brawijaya, Malang Staff Pengajar Pascasarjana Jurusan Teknologi Hasil Pertanian Universitas Brawijaya, Malang ABSTRACT This study was aimed to process starfruit into juice or starfruit extract as an alternative to increase added value and starfruit are expected to increase consumption of fruits in Indonesia. The important factor which is considering in the processing of starfruit juice such as starfruit formulation and process heating and pasteurization. The objective of first stage was to obtain the appropriate starfruit formulation and preferred by consumers. The best results of first stage was used in the second stage to obtain optimum condition of starfruit pasteurization process by continuous pasteurization. The result of the first step showed that the best formulation and preferred by consumers of starfruit juice were obtained with total soluble solid of 11.16 0Brix; total acid of 0.2259%; pH 3.22; vitamin C of 7.0436 mg/100ml; sugar reduction of 0.9175%, lightness (L*) of 28.14; redness (a*) of 7.6; yellowness (b*) of 9.14; colour score of 3.533 (like); aroma score of 3.367 (neutral); and taste score of 3.433 (neutral). The results of second research showed that model optumium solution using Design Expert DX7.15 were obtained temperature heating system of 94.090C and degree of valve opening of 450 with optimum response of total plate count (TPC) of 133211 cfu/ml and vitamin C of 6.74749 mg/100ml. While the result of actual verification were obtained total plate count (TPC) of 110000 cfu/ml and vitain C of 6.6124 mg/100ml with characteristic value of total acid of 0.2150%; sugar reduction of 0.9229%; pH 3.28; TPT of 11.2; lightness (L*) of 28.3; redness (a*) of 7.8; yellowness (b*) of 8.6. Keywords: Starfruit, fruit juice formulation, optimization, continuous pasteurization process. PENDAHULUAN Belimbing manis (Averrhoa carambola L.) merupakan jenis buah tropis yang saat ini banyak dibudidayakan di Florida, Hawai, South America, Australia, dan hampir di seluruh bagian negara di Asia tenggara. Dan sudah sejak beberapa ratus tahun yang lalu dibudidayakan di Indonesia, Srilanka, dan Malaysia. Kendalanya buah belimbing mempunyai sifat cepat rusak, hal ini disebabkan oleh sifat komponen-komponen penyusunnya terutama kandungan air yang tinggi dan harga buah belimbing yang relatif murah saat panen raya. Pengolahan buah belimbing menjadi jus atau sari buah merupakan salah satu alternatif untuk meningkatkan nilai tambah buah belimbing dan diharapkan meningkatkan konsumsi buah-buahan di Indonesia (Anin, 2008). Faktor penting yang perlu diperhatikan dalam pembuatan sari buah antara lain formulasi sari buah dan proses pemanasan atau pasteurisasi. Formulasi sari buah ditujukan untuk mendapatkan komposisi rasa, aroma serta warna yang tepat dan disukai, dengan cara menambahkan bahan tambahan pada sari buah seperti air, gula serta asam sitrat dengan komposisi yang tepat. Sedangkan proses pasteurisasi merupakan cara yang sering digunakan dalam industri pengolahan pangan untuk mencegah berkembangnya mikroorganisme, terutama yang bersifat patogenik dan perusak pada bahan makanan, serta mengurangi resiko rusaknya beberapa zat gizi seperti vitamin C karena proses pemanasan menggunakan suhu yang tidak terlalu tinggi kurang dari 100oC (Agung, 2009). Proses pengawetan dengan pasteurisasi telah banyak dikembangkan dalam industri pengolahan

makanan, baik dengan sistem batch, sistem kontinyu maupun pasteurisasi pada produk kalengan atau botolan. Pasteurisasi dengan sistem batch dan produk kalengan atau botolan menyebabkan bahan yang dipanaskan masih terdapat tempat atau titik yang paling lambat menerima panas (cold point) dan waktu yang dibutuhkan untuk pasteurisasi relatif lama sehingga tidak efisien (Suyatno, 2001). Sedangkan pasteurisasi sistem kontinyu dilakukan dengan menggunakan alat penukar panas (Heat Exchanger), dimana proses berlangsung tanpa putus melalui 3 tahapan proses, yaitu heating, holding, cooling. Selain itu pasteurisasi kontinyu menggunakan suhu yang lebih tinggi dengan waktu proses yang lebih singkat, lebih higienis, proses dapat dikontrol (energy saving) dan kapasitasnya lebih besar (FDB, 2009). Oleh karena itu, selain untuk mendapatkan formulasi produk sari buah belimbing yang dapat diterima oleh konsumen dengan penambahan air, gula dan asam sitrat, penelitian ini juga dimaksudkan untuk mendapatkan kondisi proses pasteurisasi yang optimal dengan uji kinerja alat pasteuriser kontinyu sederhana hasil rancangan. Optimalisasi proses pasteurisasi kontinyu sari buah belimbing dilakukan menggunakan metode permukaan respon (RSM) untuk mendapatkan respon jumlah total mikroba (TPC) dan vitamin C yang optimal.

METODE PENELITIAN Bahan dan Alat

Bahan-bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah belimbing manis varietas Bangkok Merah (dari Karangsari Blitar) umur panen 4 bulan, berisi 5-6 buah/kg, gula merk Gulaku, Asam Sitrat (teknis). Bahan kimia untuk analisis berkualitas pro-analysis (p.a)yang meliputi: 2.6 Dichlorophenol indophenol, asam metafosfat, Plate Count Agar (PCA), pepton, CH3COOH, 0,1 N NaOH, HCl, sodium hydroxide, phenolphthalein 1%, asam askorbat, asam oksalat, Pb asetat, aquadest. Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah pHmeter Cyberscan (Eutech Instrument), HandRefractometer, color reader, alat pasteurisasi kontinyu, blander merk Panasonic, Erlenmeyer, Beakerglass, buret, petridish, pipet volume, pipet tetes, timbangan analitis, kain saring, spektrofotometer (UV-Vis Shimadzu, Jepang), stirrer, oven, kompor listrik, autoklaf, gelas ukur, labu ukur, timbangan digital. Rancangan Penelitian Penelitian ini terdiri dari 2 tahap penelitian yang meliputi : 1. Penelitian tahap I bertujuan untuk mendapatkan formulasi sari buah belimbing sehingga dapat diterima dan disukai oleh konsumen. Penelitian tahap I menggunakan Rancangan Acak Kelompok (RAK) satu faktor, dimana terdiri dari 3 macam perlakuan yaitu: Perlakuan Proporsi Belimbing : Air (b/v) yang terdiri dari 5 level yaitu proporsi belimbing:air = 1:2, 1:4, 1:6, 1:8, 1:10 (b/v), dimana tiap-tiap level perlakuan diulang sebanyak 5 kali, sehingga diperoleh 16 unit percobaan. Hasil terbaik perlakuan proporsi belimbing:air berdasarkan uji hedonik dan uji indeks efektifitas terhadap organoleptik sari buah belimbing dipakai dalam perlakuan penambahan gula dengan berbagai konsentrasi yaitu 6%, 8%, 10%, 12% (b/v), dimana tiap-tiap level perlakuan diulang sebanyak 6 kali, sehingga diperoleh 15 unit percobaan.

Seperti halnya pada perlakuan sebelumnya, hasil terbaik dari perlakuan penambahan gula digunakan dalam penelitian selanjutnya yaitu perlakuan penambahan asam sitrat dengan konsentrasi 0,05%, 0,1%, 0,15%, 0,2% dan 0,25% (b/v). Formulasi berdasarkan hasil uji indeks efektivitas terhadap organoleptik terbaik yang didapatkan dari penelitian tahap I digunakan dalam penelitian tahap II. 2. Penelitian tahap II dilakukan dengan tujuan mengoptimalkan proses pasteurisasi kontinyu sari buah belimbing dan menghasilkan respon yang optimal dengan metode permukaan respon (RSM) dan model Rancangan Komposit Pusat (CCD). Adapun variabel-variabel atau faktor beserta level dalam eksperimen ini yang meliputi :

1. Variabel respon (Y), yaitu: TPC (Y1) dan


Vitamin C (Y2) sari buah belimbing. 2. Faktor atau variabel independen (X), yaitu:

Suhu media pemanas (X1) yang terdiri dari 3 level yaitu: 90oC, 94oC dan 98oC. Derajat Bukaan Valve (X2) terdiri dari 3 level yaitu: 35o ( 60s), 40o ( 54 s) , dan 45o ( 48s)

Rancangan Komposit Pusat (CCD) dipilih untuk menentukan kondisi optimasi proses pasteurisasi kontinyu sari buah belimbing. Variabel independen atau faktor yang digunakan dalam penelitian utama ini merupakan hasil penelitian pendahuluan. Kedua variabel independen ditampilkan dalam Tabel 1. Hasil penelitian pendahuluan terbaik yaitu perlakuan pada suhu 90oC digunakan dalam variabel kode -1, sedangkan perlakuan bukaan valve 45o digunakan dalam menentukan variabel kode +1.

Tabel 1. Variabel independen rancangan percobaan Kode Variabel Variabel - -1 0 +1 Suhu media pemanas (oC) 88.34 90 94 98 35 40 45 32.93 ( Derajat Bukaan Valve ( 60 s) ( 54 s) ( 48 s) 63 s) Dalam penelitian ini ada 2 faktor yang diamati yaitu Suhu media pemanas (oC), Derajat Bukaan Valve (o), sehingga rancangan faktorialnya adalah 22 dengan nilai alfa ( ) = 1,414. Pengulangan pengamatan dilakukan pada titik pusat sebanyak 6 kali sehingga menghasilkan 14 kombinasi perlakuan, dimana dibagi menjadi 2 blok perlakuan yaitu 7 kombinasi perlakuan pada hari I dan 7 kombinasi

+ 99.66 47.07 ( 46 s)

perlakuan pada hari II untuk optimasi proses pasteurisasi kontinyu. Hal ini dikarenakan dari hasil penelitian pendahuluan kalibrasi alat pasteurisasi kontinyu yang digunakan tidak dapat dipakai secara terus menerus, karena kinerjanya akan semakin menurun atau tidak stabil. Rancangan Komposit Pusat (CCD) pada penelitian dapat dilihat pada Tabel 2.

Tabel 2. Desain Rancangan Komposit Pusat (CCD) pengaruh suhu media pemanas dan Derajat Bukaan Valve. Suhu Derajat Response 1 Response 2 Faktor Media Bukaan Run Block Faktor 1 TPC Vitamin C 2 Pemanas Valve (cfu/ml) (mg/100ml) (oC) (o) 1 Hari 1 0 0 94 40 2 Hari 1 0 0 94 40 3 Hari 1 -1 0 90 35 4 Hari 1 -1 +1 90 45 5 Hari 1 +1 +1 98 45

6 7 8 9 10 11 12 13 14

Hari 1 Hari 1 Hari 2 Hari 2 Hari 2 Hari 2 Hari 2 Hari 2 Hari 2

- 0 0 0 +

0 +1 0 0

+ 0 - 0

0 -1 0 0 0

94 98 94 94 88.34 94 94 94 99.66

40 35 40 40 40 47.07 40 32.93 40

- Verifikasi Kondisi Optimum Verifikasi formulasi dilakukan dengan proses pembuatan sari buah belimbing pada kondisi optimum. Proses ini ditentukan dari persamaan model yang telah dibangun dari proses optimasi menggunakan metodologi permukaan respon dengan menggunakan perangkat lunak Design Expert 7.1.5 trial version. Hasil proses optimum selanjutnya diverifikasi dengan hasil perhitungan berdasarkan persamaan model yang telah ada. Pengamatan Penelitian Pengamatan yang dilakukan pada penelitian tahap I meliputi : analisa total gula reduksi, analisa total asam, analisa total padatan terlarut (TPT), analisa pH dengan pH meter, analisa Vitamin C dengan titrasi 2.6 Dichlorophenol Indophenol, analisa warna secara kualitatif dan uji organoleptik meliputi rasa, aroma, dan warna dengan uji tingkat kesukaan yaitu Hedonic Scale Scoring. Pengamatan pada penelitian tahap II adalah analisa Vitamin C dengan titrasi 2.6 Dichlorophenol Indophenol dan analisa Jumlah total mikroba (TPC).

belimbing memberikan pengaruh berbeda nyata ( P < 0,05) terhadap total asam dan nilai pH. Rerata nilai total asam dan pH sari buah belimbing pada berbagai perlakuan proporsi belimbing:air (b/v) dapat dilihat pada Tabel 3.

Tabel 3. Rerata Nilai Total Asam dan pH Sari Buah Belimbing Perlakuan Proporsi Belimbing:Air Perlakuan Rerata Total Rerata nilai Proporsi buah:air (b/v) Asam (%) pH 1:2 0,172 d 4,87 a 1:4 0,129 c 5,20 b 1:6 0,097 b 5,45 c 1:8 0,078 ab 6,00 d 1:10 0,063 a 6,86 e Keterangan: Nilai yang didampingi notasi yang sama berarti tidak berbeda nyata pada = 5%

Analisa Data Data yang diperoleh pada penelitian tahap I akan dianalisa dengan menggunakan sidik ragam (ANOVA), apabila hasil analisa tersebut terdapat pengaruh yang signifikan akan dilanjutkan dengan uji Tukey HSD pada = 0,05. data hasil pengamatan yang tidak memenuhi asumsi analisa ragam dan data hasil uji organoleptik menggunakan analisis data nonparametrik dengan Kruskal Wallis test. Analisa data dilakukan dengan menggunakan program SPSS versi 11.5. Data hasil pangamatan penelitian tahap II diolah dengan bantuan program Software Design Expert DX 7.1.5. yang diperoleh dari download pada situs www.statease.com dengan trial version. Metode yang digunakan dalam analisis ini adalah Metode Permukaan Respon (Response Surface Methodology) dan desain model rancangan percobaan menggunakan Rancangan Komposit Pusat (CCD) HASIL DAN PEMBAHASAN

Dari Tabel 3 dapat diketahui bahwa rerata total asam dan nilai pH tertinggi secara berturut-turut diperoleh pada perlakuan proporsi belimbing:air 1:2 dan perlakuan belimbing:air = 1:10 yaitu sebesar 0,172% dan 6,86, sedangkan nilai total asam dan pH terendah secara berturut-turut diperoleh pada perlakuan proporsi belimbing:air 1:10 dan perlakuan belimbing:air = 1:2 sebesar 0,063% dan 4,87. hal ini menunjukkan bahwa nilai total asam dan pH berbanding terbalik, dimana semakin tinggi total asam sari buah maka semakin menurunkan nilai pHnya. Hal ini dimungkinkan dengan semakin tinggi proporsi air yang ditambahkan pada pembuatan sari buah maka menyebabkan kandungan asam-asam organik dalam buah larut air dan menyebabkan keasaman menurun, sehingga nilai pH meningkat. Menurut Tressler and Joslyn (1961), sari buah biasanya memiliki pH rendah karena kaya akan asam organik, total kandungan asam organik dalam sari buah biasanya berkisar antara 0,2 % dalam sari buah pir sampai dengan 8,5 % dalam jeruk limau. Garman and Sherrington (1989) menyatakan bahwa asam organik termasuk asam lemah yang mengalami ionisasi sebagian dalam adonan yang encer. b. Gula Reduksi Hasil analisa ragam menunjukkan bahwa perlakuan proporsi air pada pembuatan sari buah belimbing memberikan pengaruh yang berbeda nyata ( P < 0,05) terhadap gula reduksi sari buah belimbing. Rerata nilai total padatan terlarut sari buah belimbing pada perlakuan proporsi belimbing:air (b/v) dapat dilihat pada Tabel 4.
Tabel 4. Rerata Gula Reduksi Sari Buah Belimbing pada Perlakuan Proporsi Belimbing : Air Perlakuan Rerata Gula Reduksi (%) Proporsi buah:air (b/v) 1:2 1,239 e 1:4 0,975 d

Penelitian Tahap I
Sub Tahap I: Analisa Fisik dan Kimia Sari Buah Belimbing dengan Faktor Proporsi Belimbing:Air a. Total Asam dan pH Hasil analisa ragam menunjukkan bahwa perlakuan proporsi air pada pembuatan sari buah

1:6 0,787 c 1:8 0,513 b 1:10 0,340 a Keterangan: Nilai yang didampingi notasi yang sama berarti tidak berbeda nyata pada = 5%

Dari Tabel 4 dapat diketahui bahwa rerata nilai gula reduksi tertinggi diperoleh pada perlakuan proporsi belimbing:air yaitu 1:2 sebesar 1,239%, sedangkan nilai gula reduksi terendah diperoleh pada perlakuan proporsi belimbing:air yaitu 1:10 sebesar 0,340%. Hal ini disebabkan pada proporsi belimbing:air = 1:2 kandungan gula invert dari buah (fruktosa dan glukosa) lebih tinggi dibandingkan dengan perlakuan proporsi belimbing:air 1:10, yang semakin larut dalam pelarut air akibat adanya proses pasteurisasi (90oC, valve 35o 1 menit ). Menurut Winarno (1997), periode pemanasan yang lambat dalam waktu lama akan menghasilkan lebih banyak gula invert daripada periode pemanasan cepat dalam waktu singkat, dengan temperature pemanasan akhir yang sama. c. Vitamin C Hasil analisa ragam menunjukkan bahwa perlakuan proporsi air pada pembuatan sari buah belimbing memberikan pengaruh yang berbeda sangat nyata ( P < 0,05) terhadap kadar vitamin C. rerata kadar vitamin C sari buah belimbing pada perlakuan proporsi buah:air (b/v) dapat dilihat pada Tabel 5.
Tabel 5. Rerata Kadar Vitamin C Sari Buah Belimbing pada Perlakuan Proporsi Belimbing : Air Perlakuan Rerata Vitamin C Proporsi buah:air (b/v) (mg/100ml) 1:2 14,848 e 1:4 10,261 d 1:6 6,547 c 1:8 4,803 b 1:10 3,053 a Keterangan: Nilai yang didampingi notasi yang sama berarti tidak berbeda nyata pada = 5%

d. Total Padatan Terlarut Hasil analisa ragam menunjukkan bahwa perlakuan proporsi air pada pembuatan sari buah belimbing memberikan pengaruh yang berbeda sangat nyata ( P < 0,05) terhadap nilai total padatan terlarut sari buah belimbing. Rerata nilai total padatan terlarut sari buah belimbing pada perlakuan proporsi belimbing:air (b/v) dapat dilihat pada Tabel 6.

Tabel 6. Rerata Nilai Total Padatan Terlarut Sari Buah Belimbing pada Perlakuan Proporsi Belimbing : Air Perlakuan Rerata nilai total padatan Proporsi buah:air (b/v) terlarut (oBrix) 1:2 2,6 e 1:4 1,9 d 1:6 1,4 c 1:8 0,8 b 1:10 0,4 a

Dari Tabel 5 dapat diketahui bahwa rerata vitamin C tertinggi diperoleh pada perlakuan proporsi belimbing:air yaitu 1:2 sebesar 14,848 mg/100ml, sedangkan kadar vitamin C terendah diperoleh pada perlakuan proporsi belimbing:air yaitu 1:10 sebesar 3,053 mg/100ml. Hal ini menunjukkan bahwa semakin tinggi proporsi air yang ditambahkan pada buah maka kadar vitamin C akan semakin kecil. Hal ini dikarenakan sifat asam askorbat atau vitamin C yang mudah larut dan tidak stabil dalam air, sehingga semakin banyak proporsi air yang ditambahkan pada sari buah maka kadar vitamin C juga mengalami penurunan, selain itu proses pasteurisasi pada pembuatan sari buah belimbing ini juga mendukung terjadinya oksidasi vitamin C. Menurut Hulme (1977), asam askorbat dan garam natriumnya sangat stabil dalam keadaan tanpa air, tetapi dalam keadaan ada air dan oksigen atau bahan pengoksidasi lainnya maka asam askorbat menjadi sangat labil. Barth et al (1993), Barry-Ryan and OBeirne (1999), Winarno (1997) juga menyatakan bahwa dari semua vitamin yang ada, vitamin C merupakan vitamin yang paling mudah rusak. Disamping sangat larut dalam air, vitamin C mudah teroksidasi dan proses tersebut dapat dipercepat oleh panas, sinar, alkali, enzim, oksidator serta oleh katalis tembaga dan besi.

Dari Tabel 6 dapat diketahui bahwa rerata nilai total padatan terlarut tertinggi diperoleh pada perlakuan proporsi belimbing:air yaitu 1:2 sebesar 2,6 o Brix, sedangkan nilai total padatan terlarut terendah diperoleh pada perlakuan proporsi belimbing:air yaitu 1:10 sebesar 0,4 oBrix. Hal ini dikarenakan dalam suatu bahan terdiri dari total padatan dan air, dimana semakin tinggi air yang ditambahkan dalam bahan maka semakin banyak pula total padatan bahan yang larut dalam air sehingga nilai total padatannya menurun . Hal ini sesuai dengan pernyataan Hulme (1971) yang menyatakan bahwa pada buah-buahan terkandung karbohidrat dalam jumlah besar berupa gula-gula sederhana yaitu sukrosa, glukosa dan fruktosa yang merupakan sumber padatan terlarut bagi produk. Menurut Tampubolon (2001), semakin tinggi pengenceran maka total padatan terlarut bahan akan semakin menurun, akibat dari meningkatnya jumlah pelarut. e. Warna Sari Buah Belimbing Hasil analisa sidik ragam menunjukkan bahwa perlakuan proporsi buah:air pada pembuatan sari buah belimbing memberikan pengaruh yang berbeda sangat nyata ( P < 0.01) terhadap tingkat kecerahan (L*), sedangkan hasil analisa sidik ragam terhadap nilai kemerahan (a*) dan kekuningan (b*) menunjukkan tidak berpengaruh nyata. Rerata nilai kecerahan (L*), kemerahan (a*) dan kekuningan (b*) sari buah belimbing akibat berbagai perlakuan proporsi belimbing:air dapat dilihat pada Tabel 7.
Tabel 7. Rerata Nilai Tingkat Kecerahan (L*), kemerahan (a+) dan kekuningan (b+) Sari Buah Belimbing pada Perlakuan Proporsi Belimbing : Air Perlakuan Kecerahan kemerahan kekuningan Proporsi (L*) (a*) (b*) belimbing:air 1:2 24,9 a 8,4 11,1 1:4 25,7 ab 8,7 10,3 1:6 26,6 ab 8,6 10,1 1:8 28,1 b 8,3 9,0 1:10 31,6 c 7,3 8,4 Keterangan: Nilai yang didampingi notasi yang sama berarti tidak berbeda nyata pada = 5%

Dari Tabel 7 dapat diketahui bahwa rerata nilai kecerahan (L*) tertinggi diperoleh pada perlakuan proporsi belimbing:air yaitu 1:10 sebesar 31,6, sedangkan nilai kecerahan (L*) terendah diperoleh

pada perlakuan proporsi belimbing:air yaitu 1:2 sebesar 24,9. Hal ini diduga karena kandungan asam askorbat pada perlakuan proporsi belimbing:air = 1:2 lebih tinggi dibandingkan dengan asam askorbat pada perlakuan proporsi belimbing:air = 1:10, dimana asam askorbat merupakan senyawa reduktor dan bertindak sebagai prekursor dalam pembentukan warna coklat. Suasana asam menyebabkan cincin lakton asam dehidroaskorbat terurai secara irreversible dengan membentuk senyawa diketogulonat kemudian terjadi proses pencoklatan. Selain itu perubahan warna juga dimungkinkan disebabkan oleh proses pasteurisasi pada pembuatan sari buah belimbing. Labuza (1982) menyatakan bahwa suhu mempunyai pengaruh yang lebih besar terhadap pencoklatan non-enzimatis, dimana setiap kenaikan suhu sebesar 10oC kecepatan proses pencoklatan meningkat 4 8 kali. f. Uji Organoleptik - Aroma Rerata nilai uji organoleptik sari buah belimbing perlakuan proporsi belimbing:air terhadap aroma dapat dilihat pada Tabel 8a.
Tabel 8a. Rerata nilai uji organoleptik sari buah belimbing terhadap aroma. Perlakuan Uji Organoleptik Proporsi Buah:Air (b/v) Aroma 1:2 3,4 d 1:4 3,1 cd 1:6 3,0 bcd 1:8 2,6 ab 1:10 2,4 a

dimungkinkan pada perlakuan proporsi belimbing:air = 1:4 sari buah belimbing memiliki komposisi rasa yang pas, karena rasa khas buah belimbing tidak terlalu mendominasi, sehingga panelis menyukainya. Selain itu diduga pada proporsi 1:2 terjadi off flavor yang disebabkan kandungan asam askorbatnya yang masih tinggi mengalami degradasi non enzimatik pada saat proses pasteurisasi sari buah (Kaanane, et al. 1988). - Warna Rerata nilai uji organoleptik sari buah belimbing perlakuan proporsi belimbing:air terhadap warna dapat dilihat pada Tabel 8c.
Tabel 8c. Rerata nilai uji organoleptik sari buah belimbing terhadap warna Perlakuan Uji Organoleptik Proporsi Buah:Air (b/v) Warna 1:2 1,7 a 1:4 2,6 b 1:6 3,6 c 1:8 2,9 b 1:10 2,3 ab

Tabel 8a menunjukkan bahwa nilai tertinggi organoleptik aroma sari buah belimbing didapat dari perlakuan proporsi belimbing:air = 1:2 dan nilai terendah organoleptik aroma sari buah belimbing didapat dari perlakuan proporsi belimbing:air = 1:10. Berdasarkan hasil analisis nonparametrik dengan Kruskal Wallis test menunjukkan bahwa berbagai perlakuan proporsi belimbing:air berbeda nyata terhadap organoleptik aroma sari buah belimbing. Hal ini karena interval penambahan proporsi air pada buah belimbing yang jauh berbeda, sehingga menyebabkan panelis memberikan penilaian yang berbeda pula. Hal ini menyebabkan adanya senyawa-senyawa yang memberikan kontribusi terhadap aroma seperti asam dan senyawa volatil pada sari buah menurun dengan semakin tingginya penambahan proporsi air. - Rasa Rerata nilai uji organoleptik sari buah belimbing perlakuan proporsi belimbing:air terhadap rasa dapat dilihat pada Tabel 8b.
Tabel 8b. Rerata nilai uji organoleptik sari buah belimbing terhadap rasa Perlakuan Uji Organoleptik Proporsi Buah:Air (b/v) Rasa 1:2 2,7 b 1:4 2,9 d 1:6 2,7 bcd 1:8 2,2 ab 1:10 2,0 a

Tabel 8c menunjukkan bahwa nilai tertinggi organoleptik warna sari buah belimbing didapat dari perlakuan proporsi belimbing:air = 1:6 dan nilai terendah organoleptik warna sari buah belimbing didapat dari perlakuan proporsi belimbing:air = 1:2. Berdasarkan hasil analisis nonparametrik dengan Kruskal Wallis test (Lampiran 4g) menunjukkan bahwa berbagai perlakuan proporsi belimbing:air berbeda nyata terhadap organoleptik warna sari buah belimbing. Hal ini diduga pada proporsi belimbing:air = 1:6 memiliki penampakan warna yang pas yaitu tidak terlalu pekat dan tidak terlalu bening, sehingga panelis menyukainya. Selain itu diduga pada perlakuan proporsi belimbing:air = 1:2 kandungan asam-asam organik dan asam askorbat dalam sari buah masih tinggi sehingga terjadi proses pencoklatan non enzimatik akibat proses pasteurisasi, sehingga menyebabkan panelis kurang menyukainya. Menurut Moyer and Aitken (1980), perubahan warna dapat terjadi secara non-enzimatik yang disebabkan oleh adanya kandungan asam amino, gula dan asam-asam organik dalam bahan. f. Uji Indeks Efektivitas Berdasarkan perhitungan dengan metode pembobotan, perlakuan terbaik menurut parameter fisik, kimia, dan organoleptik sari buah belimbing ditunjukkan pada Tabel 9.
Tabel 9. Hasil Perhitungan Nilai sari buah belimbing pada Parameter Fisiko-Kimia dan Organoleptik. Parameter Parameter Perlakuan Fisiko-Kimia Organoleptik 1:2 1* 0,527 1:4 0,620 0,643 1:6 0,394 0,859 * 1:8 0,202 0,366 1:10 0 0,082 Keterangan: ( * ) = perlakuan terbaik

Tabel 15b menunjukkan bahwa nilai tertinggi organoleptik rasa sari buah belimbing didapat dari perlakuan proporsi belimbing:air = 1:4 dan nilai terendah organoleptik rasa sari buah belimbing didapat dari perlakuan proporsi belimbing:air = 1:10. Berdasarkan hasil analisis nonparametrik dengan Kruskal Wallis test menunjukkan bahwa berbagai perlakuan proporsi belimbing:air berbeda nyata dengan organoleptik rasa sari buah belimbing. Hal ini

Berdasarkan pemilihan perlakuan terbaik pada parameter fisik kimia, perlakuan terbaik diperoleh pada perlakuan proporsi belimbing:air = 1:2, sedangkan untuk parameter organoleptik menghasilkan perlakuan terbaik pada perlakuan proporsi belimbing:air = 1:6. Penilaian perlakuan terbaik didasarkan pada parameter organoleptik, karena lebih menentukan seberapa besar produk dapat disukai dan diterima oleh konsumen. Didukung oleh Benion (1980) yang menyatakan bahwa parameter pertama yang dilihat dari suatu produk adalah parameter organoleptik,

sebelum parameter fisik-kimia. Adapun karakteristik sari buah belimbing yang dihasilkan dari perlakuan organoleptik adalah nilai total padatan terlarut 1,4 o Brix, total asam 0,097%, pH 5,45, vitamin C 6,547 mg/100ml, gula reduksi 0,787%, tingkat kecerahan (L*) 26,6, tingkat kemerahan (a+) 8,6, tingkat kekuningan (b+) 10,1. rerata kesukaan organoleptik warna sari buah belimbing sebesar 3,6 (menyukai), aroma 3,0(netral), dan rasa 2,7 (agak menyukai). Sub Tahap II: Analisa Fisik dan Kimia Sari Buah Belimbing dengan Faktor Penambahan Gula (%) Hasil terbaik berdasarkan uji indeks efektivitas dari faktor perlakuan proporsi belimbing:air (1:6) digunakan dalam penelitian selanjutnya yaitu perlakuan berbagai konsentrasi penambahan gula. a. Total Asam dan pH Hasil analisa ragam menunjukkan bahwa perlakuan penambahan gula pada pembuatan sari buah belimbing memberikan pengaruh berbeda nyata ( P < 0,05) terhadap total asam dan nilai pH. Rerata nilai total asam dan pH sari buah belimbing pada berbagai perlakuan penambahan gula (%) (b/v) dapat dilihat pada Tabel 10.
Tabel 10. Rerata Total Asam dan pH Sari Buah Belimbing pada Berbagai Perlakuan Penambahan Gula. Perlakuan Rerata Total Rerata nilai pH Konsentrasi Gula Asam (%) 6% 0,080 b 5,26 a 8% 0,080 b 5,41 ab 10% 0,071 ab 5,50 b 12% 0,062 a 5,61 b Keterangan: Nilai yang didampingi notasi yang sama berarti tidak berbeda nyata pada = 5%

pada berbagai perlakuan konsentrasi gula dapat dilihat pada Tabel 11.
Faktor Penambahan Gula 6% 8% 10% 12% Rerata nilai Gula Reduksi 0.796 0.806 0.822 0.840

Pada Tabel 11 menunjukkan bahwa nilai gula reduksi sari buah belimbing mengalami peningkatan dengan meningkatnya konsentrasi gula yang ditambahkan pada buah. Hal ini diduga karena semakin tinggi konsentrasi gula yang ditambahkan pada sari buah dan dengan adanya proses pasteurisasi sari buah maka semakin banyak pula gula (sukrosa) yang terhidrolisis menjadi gula invert sehingga kadar gula reduksinya meningkat. Hal ini didukung oleh pernyataan Fenema (1985), bahwa semakin banyaknya kandungan total asam bahan maka semakin banyak pula gula (sukrosa) yang terhidrolisis menjadi gula invert (glukosa dan fruktosa), sehingga kadar gula reduksi meningkat. c. Vitamin C Hasil analisa ragam menunjukkan bahwa perlakuan penambahan gula pada pembuatan sari buah belimbing memberikan pengaruh yang berbeda nyata ( P < 0,05) terhadap kadar vitamin C. Rerata kadar vitamin C sari buah belimbing pada perlakuan penambahan gula dapat dilihat pada Tabel 12.
Tabel 12. Rerata Nilai Vitamin C Sari Buah Belimbing Berbagai Perlakuan Penambahan Gula Perlakuan Rerata Vitamin C (mg/100ml) Konsentrasi Gula 6% 6,958 b 8% 6,225 ab 10% 5,680 a 12% 5,129 a

Dari Tabel 10 dapat diketahui bahwa rerata total asam dan nilai pH tertinggi secara berturut-turut diperoleh pada perlakuan penambahan gula 6% dan perlakuan penambahan gula 12% yaitu sebesar 0,080% dan 5,61, sedangkan nilai total asam dan pH terendah secara berturut-turut diperoleh pada perlakuan penambahan gula 12% dan perlakuan penambahan gula 6% yaitu sebesar 0,062% dan 5,26. Hal ini dimungkinkan dengan semakin tinggi konsentrasi penambahan gula yang ditambahkan pada sari buah menyebabkan keasaman berkurang, karena gula merupakan bagian dari karbohidrat yang memiliki fungsi sebagai pemanis, dimana semakin tinggi gula yang ditambahkan pada sari buah maka sari buah akan semakin manis sehingga keasamannya turun dan menyebabkan nilai pH meningkat dengan semakin menurunnya kadar total asam. Bernasconi et al., (1995), menyatakan nilai pH ditentukan oleh banyak sedikitnya asam yang terdapat didalam bahan. Jika total asam tinggi, maka pH semakin rendah. Selain itu gula merupakan karbohidrat yang terdiri dari gugus karbonil (COH), dimana terdapat ion OH- yang bersifat basa sehingga semakin banyak gula yang ditambahkan pada sari buah maka semakin menurunkan kandungan total asamnya. b. Gula Reduksi Hasil analisa ragam menunjukkan bahwa perlakuan konsentrasi gula pada pembuatan sari buah belimbing memberikan pengaruh yang tidak berbeda nyata (P 0,05) terhadap gula reduksi sari buah belimbing. Rerata gula reduksi sari buah belimbing

Dari Tabel 13 diketahui bahwa rerata vitamin C tertinggi diperoleh pada perlakuan penambahan gula 6% (b/v) yaitu sebesar 6,958 mg/100ml, sedangkan kadar vitamin C terendah diperoleh pada perlakuan penambahan gula 12% (b/v) sebesar 5,129 mg/100ml. Hal ini menunjukkan bahwa semakin tinggi konsentrasi gula yang ditambahkan pada sari buah dengan kondisi pasteurisasi yang sama (90oC, valve 35o 1 menit) maka kadar vitamin C akan semakin rendah. Hal ini diduga karena semakin banyak gula yang terhidrolisis menjadi gula invert (glukosa dan fruktosa) sehingga semakin tinggi pula gugus karbonil yang aktif karena perlakuan pasteurisasi pada suhu 90oC yang menyebabkan degradasi vitamin C. Hal ini didukung oleh pendapat Hui and Woi-kit Nip (1997) yang menyatakan bahwa glukosa, sukrosa dan sorbitol memiliki efek melindungi L-asam askorbat dari kerusakan pada temperatur rendah (23, 33 dan 45 oC), sedangkan pada suhu tinggi (70, 80 dan 90oC) menyebabkan aktifnya gugus karbonil bahan sehingga menyebabkan terjadinya kerusakan asam askorbat. d. Total Padatan Terlarut Hasil analisa ragam menunjukkan bahwa perlakuan konsentrasi gula pada pembuatan sari buah belimbing memberikan pengaruh yang berbeda sangat nyata ( P < 0,05) terhadap nilai total padatan terlarut sari buah belimbing. Rerata nilai total padatan terlarut sari buah belimbing pada perlakuan konsentrasi gula dapat dilihat pada Tabel 13.

Tabel 13. Rerata Nilai Total Padatan Terlarut Sari Buah Belimbing Berbagai Perlakuan Penambahan Gula. Perlakuan Rerata nilai total padatan Konsentrasi Gula terlarut (oBrix) 6% 7,6 a 8% 9,4 b 10% 11,2 c 12% 12,6 d

Dari Tabel 13 dapat diketahui bahwa rerata nilai total padatan terlarut tertinggi diperoleh pada perlakuan konsentrasi gula yaitu 12% sebesar 12,6 o Brix, sedangkan nilai total padatan terlarut terendah diperoleh pada perlakuan konsentrasi gula yaitu 6% sebesar 7,6 oBrix. Hal ini menunjukkan bahwa semakin tinggi konsentrasi gula yang ditambahkan pada sari buah maka nilai total padatan terlarut sari buah juga semakin tinggi. Hal ini diduga karena gula merupakan bagian dari karbohidrat dan merupakan salah satu komponen yang terukur sebagai total padatan terlarut, sehingga semakin tinggi penambahan gula pada sari buah maka semakin tinggi pula total padatan terlarutnya. Hal ini didukung oleh pendapat Suharyono (2008) yang menyatakan bahwa total padatan terlarut adalah total padatan terlarut dari seluruh komponen yang ada, antara lain: (asam sitrat, asam malat, asam tartarat), asam dan gula. Sedangkan menurut Jeremiah (1996), fungsi gula selain untuk menciptakan rasa manis, juga dapat meningkatkan kepekatan, mempertinggi flavor dan menaikkan total padatan. e. Warna Sari Buah Belimbing Hasil analisa sidik ragam menunjukkan bahwa perlakuan konsentrasi gula yang ditambahkan pada pembuatan sari buah belimbing memberikan pengaruh yang berbeda nyata ( P < 0.05) terhadap tingkat kemerahan (a*), sedangkan hasil analisa sidik ragam terhadap nilai kecerahan (L*) dan kekuningan (b*) menunjukkan tidak berpengaruh nyata (Lampiran 5f ). Rerata nilai kecerahan (L*), kemerahan (a*) dan kekuningan (b*) sari buah belimbing akibat berbagai perlakuan penambahan gula dapat dilihat pada Tabel 14.
Tabel 14. Rerata Nilai Tingkat Kecerahan (L*), kemerahan (a+) dan kekuningan (b+) Sari Buah Belimbing pada Perlakuan Penambahan Gula. Perlakuan Kecerahan kemerahan kekuningan Penambahan (L*) (a*) (b*) Gula 6% 29,2 7,9 a 11,1 8% 29,2 8,0 ab 11,3 10% 29,0 8,9 b 10,9 12% 28,4 9,2 b 10,2 Keterangan: Nilai yang didampingi notasi yang sama berarti tidak berbeda nyata pada = 5%

diserap daripada sukrosa dan dapat mempercepat proses pencoklatan. Belitz and Grosch (1999) menyatakan bahwa kandungan gula reduksi dalam bahan pangan dapat menyebabkan terjadinya pencoklatan non enzimatis. Menurut Hui and Woi-kit Nip (1997), gula (sukrosa) tergolong senyawa karbonil yang memiliki gugus karboksil, dimana reaksi pencoklatan non enzimatis melibatkan senyawa karbonil yang dapat berasal dari gula reduksi atau oksidasi asam askorbat , hidroksi pati dan oksidasi lipid. f. Uji Organoleptik - Aroma Rerata nilai uji organoleptik sari buah belimbing perlakuan penambahan gula terhadap aroma dapat dilihat pada Tabel 15a.
Tabel 15a. Rerata nilai uji organoleptik sari buah belimbing terhadap aroma Perlakuan Uji Organoleptik Penambahan Gula (%) b/v Aroma 6% 3,1 8% 3,2 10% 3,5 12% 3,3

Tabel 15a menunjukkan bahwa nilai rerata organoleptik aroma tertinggi didapat dari perlakuan penambahan gula 10% yaitu sebesar 3,5, yang berarti panelis suka, sedangkan nilai rerata organoleptik aroma terendah didapat dari perlakuan penambahan gula 6% yaitu sebesar 3,1. Berdasarkan hasil analisis nonparametrik dengan Kruskal Wallis test (Lampiran 6g) diketahui bahwa berbagai perlakuan penambahan gula tidak berpengaruh nyata terhadap organoleptik aroma sari buah belimbing. Hal ini diduga penambahan gula hanya mempengaruhi perubahan cita rasa dan warna suatu bahan, tapi tidak pada komponen aromanya. Hal ini sesuai dengan Satuhu (1994), bahwa gula selain digunakan sebagai pemanis juga digunakan untuk memperbaiki cita rasa dan berfungsi sebagai pengawet makanan atau minuman. - Rasa Rerata nilai uji organoleptik sari buah belimbing perlakuan penambahan gula terhadap rasa dapat dilihat pada Tabel 15b.
Tabel 15b. Rerata nilai uji organoleptik sari buah belimbing terhadap rasa. Perlakuan Uji Organoleptik Penambahan Gula (%) b/v Rasa 6% 2,8 a 8% 2,8 a 10% 3,6 b 12% 3,4 ab

Dari Tabel 14 dapat diketahui bahwa rerata nilai kemerahan (a*) tertinggi diperoleh pada perlakuan penambahan gula yaitu 12% (b/v) sebesar 9,2, sedangkan nilai kemerahan (a*) terendah diperoleh pada perlakuan penambahan gula 6% (b/v) yaitu sebesar 7,9. Hal ini menunjukkan bahwa semakin tinggi konsentrasi gula yang ditambahkan pada pembuatan sari buah belimbing pada suhu pasteurisasi yang sama, maka semakin meningkatkan nilai kemerahan (a+). Hal ini dikarenakan semakin tinggi gula atau sukrosa yang ditambahkan pada sari buah dan adanya proses pasteurisasi, maka semakin banyak pula sukrosa yang terurai menjadi gula invert (fruktosa dan glukosa). Menurut Parker (2002), glukosa dan fruktosa lebih larut dan lebih mudah

Tabel 15b menunjukkan bahwa nilai rerata uji hedonik terhadap panelis tertinggi didapatkan pada perlakuan penambahan gula 10% yaitu sebesar 3,6 dan nilai rerata terendah didapatkan dari perlakuan penambahan gula 6% sebesar 2,8 (Lampiran 5g). Berdasarkan hasil analisis nonparametrik dengan Kruskal Willis test (Lampiran 5g) menunjukkan bahwa berbagai perlakuan penambahan gula berpengaruh nyata terhadap organoleptik rasa sari buah belimbing. Hal ini diduga karena penambahan gula dapat mempengaruhi cita rasa sari buah belimbing yang dihasilkan sehingga antara perlakuan penambahan gula 6% - 12% dapat dibedakan oleh panelis. Menurut Buckle et al (1987), gula merupakan bagian dari karbohidrat yang digunakan untuk merubah rasa dan keadaan makanan atau minuman. Selain itu gula juga

bersifat menyempurnakan rasa asam dan cita rasa lainnya serta memberikan efek kekentalan dan pengawet. - Warna Rerata nilai uji organoleptik sari buah belimbing perlakuan penambahan gula terhadap warna dapat dilihat pada Tabel 15c.

buah belimbing sebesar 3,6 (menyukai), aroma 3,6 (menyukai), dan rasa 3,5 (menyukai). Sub Tahap III: Analisa Fisik dan Kimia Sari Buah Belimbing dengan Faktor Penambahan Asam Sitrat (%) a. Total Asam dan pH Hasil analisa ragam menunjukkan bahwa perlakuan penambahan gula pada pembuatan sari buah belimbing memberikan pengaruh berbeda nyata ( P < 0,05) terhadap total asam dan nilai pH. Rerata nilai total asam dan pH sari buah belimbing pada berbagai perlakuan penambahan gula (%) (b/v) dapat dilihat pada Tabel 17.
Tabel 17. Rerata Nilai Total Asam dan pH Sari Buah Belimbing Berbagai Perlakuan Penambahan Asam Sitrat Perlakuan Rerata Total Rerata nilai Penambahan Asam Sitrat Asam (%) pH 0,05% 0,108 a 3,87 e 0,10% 0,140 b 3.56 d 0,15% 0,172 c 3,34 c 0,20% 0,226 d 3,22 b 0,25% 0,258 e 3,09 a

Tabel 15c. Rerata nilai uji organoleptik sari buah belimbing terhadap warna Perlakuan Uji Organoleptik Penambahan Gula (%) b/v Warna 6% 3,0 a 8% 3,6 c 10% 3,6 b 12% 3,3 abc

Tabel 15c menunjukkan bahwa nilai rerata uji hedonik terhadap panelis tertinggi didapatkan pada perlakuan penambahan gula 8% yaitu sebesar 3,6 dan nilai rerata terendah didapatkan dari perlakuan penambahan gula 6% sebesar 3,0 (Lampiran 5g). Berdasarkan hasil analisis nonparametrik dengan Kruskal Wallis test (Lampiran 5g) menunjukkan bahwa berbagai perlakuan penambahan gula berpengaruh nyata terhadap organoleptik warna sari buah belimbing. Hal ini diduga karena panelis lebih menyukai warna sari buah belimbing yang tidak terlalu pekat dan kental. Menurut Buckle, et al (1987), gula memiliki kemampuan untuk berikatan dengan air sehingga menyebabkan kekentalan pada campuran sari buah, dimana sifat mengentalkan tersebut dapat mempertajam warna bahan. g. Uji Indeks Efektivitas Berdasarkan perhitungan dengan metode pembobotan, perlakuan terbaik menurut parameter fisik, kimia, dan organoleptik sari buah belimbing ditunjukkan pada Tabel 16.
Tabel 16. Hasil Perhitungan Nilai sari buah belimbing pada Parameter Fisiko-Kimia dan Organoleptik. Parameter Parameter Perlakuan Fisiko-Kimia Organoleptik 6% 0,513 0 8% 0,570 0,746 10% 0,675* 0,891* 12% 0,487 0,681 Keterangan: ( * ) = perlakuan terbaik

Dari Tabel 17 dapat diketahui bahwa rerata total asam dan nilai pH tertinggi diperoleh pada perlakuan penambahan asam sitrat 0,25% yaitu sebesar 0,258% dan 3,87, sedangkan nilai total asam dan pH terendah secara berturut-turut diperoleh pada perlakuan penambahan asam sitrat 0,05% yaitu sebesar 0,108% dan 3,09. Hal ini menunjukkan bahwa nilai total asam dan pH berbanding terbalik, dimana semakin tinggi total asam sari buah maka semakin menurunkan nilai pHnya. Hal ini disebabkan karena asam sitrat bersifat asam sehingga semakin banyak asam sitrat yang ditambahkan pada sari buah maka akan meningkatkan kandungan total asam sari buah belimbing. Winarno (1997), menyatakan bahwa konsentrasi asam yang semakin besar menunjukkan jumlah ion H+ yang besar, sehingga kadar asam meningkat. Menurut Furia (1972), asam sitrat digunakan sebagai bahan pemberi derajat keasaman cukup baik karena kelarutannya dalam air tinggi. Asam sitrat dapat digunakan sebagai Flavoring agent, menurunkan pH, dan sebagai Chelating Agent. Bernasconi et al., (1995) menyatakan nilai pH ditentukan oleh banyak sedikitnya asam yang terdapat didalam bahan. Jika total asam tinggi, maka pH semakin rendah. b. Gula Reduksi Hasil analisa ragam menunjukkan bahwa perlakuan penambahan asam sitrat pada pembuatan sari buah belimbing memberikan pengaruh yang berbeda sangat nyata ( P < 0,05) terhadap gula reduksi sari buah belimbing. Rerata nilai total padatan terlarut sari buah belimbing pada perlakuan penambahan asam sitrat dapat dilihat pada Tabel 18.

Berdasarkan pemilihan perlakuan terbaik pada parameter fisik kimia dan parameter organoleptik menghasilkan perlakuan terbaik pada perlakuan penambahan gula 10%. Penilaian perlakuan terbaik didasarkan pada parameter organoleptik, karena lebih menentukan seberapa besar produk dapat disukai dan diterima oleh konsumen. Didukung oleh Benion (1980) yang Tabel 18. Rerata Kadar Gula Reduksi Sari Buah Belimbing Berbagai Perlakuan Penambahan Asam Sitrat. menyatakan bahwa parameter pertama yang dilihat Perlakuan Rerata Gula Reduksi dari suatu produk adalah parameter organoleptik, Penambahan Asam Sitrat (%) sebelum parameter fisik-kimia. Adapun karakteristik 0,05% 0,803 a sari buah belimbing yang dihasilkan dari perlakuan 0,10% 0,843 ab organoleptik adalah nilai total padatan terlarut 11,2 0,15% 0,887 bc o Brix, total asam 0,071%, pH 5,05, vitamin C 6,776 0,20% 0,918 cd * mg.100ml, gula reduksi 0,822%, tingkat kecerahan (L ) 0,25% 0,940 d 29,0, tingkat kemerahan (a+) 8,9, tingkat kekuningan Dari Tabel 18 dapat diketahui bahwa rerata nilai (b+) 10,9. rerata kesukaan organoleptik warna sari gula reduksi tertinggi diperoleh pada perlakuan penambahan asam sitrat 0,25% sebesar 0,940%,

sedangkan nilai gula reduksi terendah diperoleh pada perlakuan penambahan asam sitrat 0,05% sebesar 0,803%. Hal ini disebabkan semakin tinggi konsentrasi asam sitrat yang ditambahkan pada sari buah belimbing menyebabkan kadar keasaman sari buah belimbing meningkat. Menurut Fenema (1985), bahwa semakin banyaknya kandungan total asam bahan maka semakin banyak pula gula (sukrosa) yang terhidrolisis menjadi gula invert (glukosa dan fruktosa), sehingga kadar gula reduksi meningkat. Invertasi terjadi dalam suasana asam. c. Vitamin C Hasil analisa ragam menunjukkan bahwa konsentrasi penambahan asam sitrat pada pembuatan sari buah belimbing memberikan pengaruh yang tidak berbeda nyata (P 0,05) terhadap kadar vitamin C. Rerata kadar vitamin C sari buah belimbing pada berbagai konsentrasi penambahan asam sitrat dapat dilihat pada Tabel 19.
Tabel 19. Rerata Vitamin C Sari Buah Belimbing Berbagai Perlakuan Penambahan Asam Sitrat. Perlakuan Rerata Vitamin C Penambahan Asam Sitrat (mg/100ml) 0,05% 6.160 0,10% 6.382 0,15% 6.601 0,20% 7.044 0,25% 7.044

sedangkan nilai total padatan terlarut yang terendah diperoleh pada perlakuan penambahan asam sitrat 0,05% sebesar 11,0 oBrix. Hal ini diduga karena sifat asam sitrat yang larut dalam air, sehingga semakin banyak konsentrasi asam sitrat yang ditambahkan pada sari buah dapat meningkatkan nilai total padatan terlarutnya. Menurut Suharyono (2008), total padatan terlarut adalah total padatan terlarut dari seluruh komponen yang ada, antara lain: (asam sitrat, asam malat, asam tartarat), asam dan gula. e. Warna Sari Buah Belimbing Hasil analisa sidik ragam menunjukkan bahwa perlakuan konsentrasi asam sitrat yang ditambahkan pada pembuatan sari buah belimbing memberikan pengaruh yang berbeda nyata ( P < 0,05) terhadap tingkat kecerahan (L*), sedangkan hasil analisa sidik ragam terhadap nilai kemerahan (a*) dan kekuningan (b*) menunjukkan tidak berpengaruh nyata (Lampiran 6f). Rerata nilai kecerahan (L*), kemerahan (a*) dan kekuningan (b*) sari buah belimbing akibat berbagai perlakuan penambahan gula dapat dilihat pada Tabel 21.
Tabel 21. Rerata Nilai Tingkat Kecerahan (L*), kemerahan (a+) dan kekuningan (b+) Sari Buah Belimbing pada Perlakuan Penambahan Asam Sitrat. Perlakuan Kecerahan kemerahan kekuningan Penambahan (L*) (a*) (b*) Asam Sitrat 0,05% 27,5 a 7,5 8,7 0,10% 27,6 ab 7,5 8,7 0,15% 28,0 abc 7,0 8,6 0,20% 28,1 bc 7,6 9,1 0,25% 28,4 c 7,2 8,8

Berdasarkan Tabel 19 menunjukkan bahwa rerata vitamin C cenderung meningkat dengan bertambahnya konsentrasi asam sitrat. Rerata vitamin C tertinggi sebesar 7,044 mg/100ml bahan diperoleh dari perlakuan konsentrasi asam sitrat 0,2% dan 0,025%. Hal ini diduga bahwa dengan semakin tinggi penambahan asam sitrat pada sari buah maka akan menaikan kandungan asam sari buah sehingga vitamin C pada sari buah lebih stabil. Hal ini didukung oleh pendapat Ottaway et al (2009) dan Palupi dkk (2007), vitamin C cukup stabil pada larutan asam, tapi rusak oleh cahaya dan kerusakan ini diperparah pada kondisi alkali (basa), adanya oksigen, tembaga dan besi. Ditambahkan oleh Madhavi, et al (1996), asam sitrat memiliki kemampuan mengikat logam (metal chelators) sehingga dapat menghambat terjadinya proses oksidasi. d. Total Padatan Terlarut Hasil analisa ragam menunjukkan bahwa konsentrasi penambahan asam sitrat pada pembuatan sari buah belimbing memberikan pengaruh yang tidak berbeda nyata (P 0,05) terhadap nilai total padatan terlarut. Rerata total padatan terlarut sari buah belimbing pada berbagai perlakuan konsentrasi asam sitrat dapat dilihat pada Tabel 20.
Tabel 20. Rerata Total Padatan Terlarut Sari Buah Belimbing Berbagai Perlakuan Penambahan Asam Sitrat. Perlakuan Rerata Gula Reduksi (%) Penambahan Asam Sitrat 0,05% 0,803 a 0,10% 0,843 ab 0,15% 0,887 bc 0,20% 0,918 cd 0,25% 0,940 d

Dari Tabel 21 dapat diketahui bahwa rerata nilai kecerahan (L*) tertinggi diperoleh pada perlakuan penambahan asam sitrat yaitu 0,25% (b/v) sebesar 28,1, sedangkan nilai kecerahan (L*) terendah diperoleh pada perlakuan penambahan asam sitrat 0,05% (b/v) yaitu sebesar 27,5. Hal ini menunjukkan bahwa semakin tinggi konsentrasi asam sitrat yang ditambahkan pada pembuatan sari buah belimbing pada suhu pasteurisasi yang sama, maka semakin meningkatkan nilai kecerahannya (L*). Hal ini dikarenakan semakin banyak konsentrasi asam sitrat yang ditambahkan pada sari buah maka nilai pH sari buah semakin turun dan menyebabkan reaksi pencoklatan non enzimatis pada sari buah terhambat, sehingga warnanya lebih stabil. Hal ini didukung oleh Margono (1993) yang menyatakan penambahan asam dapat menurunkan pH makanan sehingga menghambat pertumbuhan mikroba pembusuk. Penurunan pH juga berfungsi untuk menghambat reaksi pencoklatan enzimatis yang optimal pada pH 67 dan pencoklatan non enzimatis. Winarno (2002) menambahkan bahwa penambahan asam sitrat sinergis dengan antioksidan yang mendukung pencegahan reaksi pencoklatan yang mengakibatkan penggelapan warna produk akibat pemanasan. f. Uji Organoleptik - Aroma Rerata nilai uji organoleptik sari buah belimbing perlakuan penambahan asam sitrat terhadap aroma dapat dilihat pada Tabel 22a.
Tabel 22a. Rerata nilai uji organoleptik sari buah belimbing terhadap aroma Perlakuan Uji Organoleptik

Berdasarkan Tabel 20 menunjukkan bahwa rerata total padatan terlarut cenderung meningkat dengan bertambahnya konsentrasi asam sitrat. Rerata total padatan terlarut tertinggi sebesar 11,2 oBrix diperoleh dari perlakuan konsentrasi asam sitrat 0,25%,

Penambahan Asam Sitrat %(b/v) 0,05% 0,10% 0,15% 0,20% 0,25%

Aroma 3,1 2,6 3,0 3,4 3,7

0,25%

4,1 e

Tabel 22a menunjukkan bahwa nilai rerata organoleptik aroma tertinggi didapat dari perlakuan penambahan asam sitrat 0,25% yaitu sebesar 3,7, sedangkan nilai rerata organoleptik aroma terendah didapat dari perlakuan penambahan asam sitrat 0,10% yaitu sebesar 2,6. Berdasarkan hasil analisis nonparametrik dengan Kruskal Wallis test (Lampiran 6g) diketahui bahwa berbagai perlakuan penambahan asam sitrat tidak berpengaruh nyata terhadap organoleptik aroma sari buah belimbing. Hal ini diduga penambahan asam sitrat hanya mempengaruhi perubahan cita rasa dan warna suatu bahan, tapi tidak pada komponen aromanya. Hal ini sesuai dengan Wikipedia (2008), bahwa asam sitrat pada minuman selain berfungsi sebagai pengasam juga berguna untuk mengikat logam yang dapat mengkatalisis komponen cita rasa atau warna. Sedangkan menurut Furia (1972), asam sitrat dapat digunakan sebagai Flavoring agent, menurunkan pH, dan sebagai Chelating Agent. - Rasa Rerata nilai uji organoleptik sari buah belimbing perlakuan penambahan asam sitrat terhadap rasa dapat dilihat pada Tabel 22b.
Tabel 22b. Rerata nilai uji organoleptik sari buah belimbing terhadap rasa Perlakuan Uji Organoleptik Penambahan Asam Sitrat %(b/v) Rasa 0,05% 3,3 d 0,10% 3,1 b 0,15% 3,2 bcd 0,20% 3,4 acd 0,25% 2,9 a

Tabel 22c menunjukkan bahwa nilai rerata organoleptik warna tertinggi didapat dari perlakuan penambahan asam sitrat 0,25% yaitu sebesar 4,1 yang berarti panelis cenderung suka, nilai rerata organoleptik warna terendah didapat dari perlakuan penambahan asam sitrat 0,10% yaitu sebesar 2,7 yang berarti netral. Berdasarkan hasil analisis nonparametrik dengan Kruskal Wallis test (Lampiran 6g) diketahui bahwa berbagai perlakuan penambahan asam sitrat berpengaruh nyata terhadap organoleptik warna sari buah belimbing. Hal ini dikarenakan penambahan asam sitrat yang berbeda pada berbagai perlakuan sehingga panelis dapat mudah membedakannya, dimana semakin tinggi penambahan asam sitrat maka warna sari buah akan semakin cerah. Asam sitrat memiliki fungsi seperti dapat menstabilkan warna makanan, mengurangi kekeruhan, mengubah sifat mudah mencair atau meningkatkan pembentukan gel. Pada minuman selain berfungsi sebagai pengasam juga berguna untuk mengikat logam yang dapat mengkatalisis komponen cita rasa atau warna (Anonymous, 2008). g. Uji Indeks Efektivitas Berdasarkan perhitungan dengan metode pembobotan, perlakuan terbaik menurut parameter fisik, kimia, dan organoleptik sari buah belimbing ditunjukkan pada Tabel 23.
Tabel 23. Hasil Perhitungan Nilai sari buah belimbing pada Parameter Fisiko-Kimia dan Organoleptik. Parameter FisikoParameter Perlakuan Kimia Organoleptik 0,05% 0 0,663 0,10% 0,217 0,121 0,15% 0,540 0,356 0,20% 0,809 0,821* 0,25% 1* 0,668 * Keterangan: ( ) = perlakuan terbaik

Tabel 22b menunjukkan bahwa nilai rerata organoleptik rasa tertinggi didapat dari perlakuan penambahan asam sitrat 0,2% yaitu sebesar 3,4, sedangkan nilai rerata organoleptik rasa terendah didapat dari perlakuan penambahan asam sitrat 0,25% yaitu sebesar 2,9. Berdasarkan hasil analisis nonparametrik dengan Kruskal Wallis test (Lampiran 6g) diketahui bahwa berbagai perlakuan penambahan asam sitrat berpengaruh nyata terhadap organoleptik rasa sari buah belimbing. Hal ini diduga karena perbedaan konsentrasi asam sitrat yang ditambahkan pada berbagai perlakuan sehingga menyebabkan panelis mudah untuk membedakan dan memberi penilaiannya. Hal ini didukung pernyataan Frazeir and Westhoff (1979), bahwa asam sitrat biasanya ditambahkan pada sirup minuman, jam dan jelly untuk menambah cita rasa dan sebagai pengawet. - Warna Rerata nilai uji organoleptik sari buah belimbing perlakuan penambahan asam sitrat terhadap warna dapat dilihat pada Tabel 22c.
Tabel 22c. Rerata nilai uji organoleptik sari buah belimbing terhadap warna Perlakuan Uji Organoleptik Penambahan Asam Sitrat %(b/v) warna 0,05% 3,5 c 0,10% 2,7 a 0,15% 3,2 bc 0,20% 3,5 dbc

Berdasarkan pemilihan perlakuan terbaik pada parameter fisik kimia, perlakuan terbaik diperoleh pada perlakuan penambahan asam sitrat 0,25% (b/v), sedangkan untuk parameter organoleptik menghasilkan perlakuan terbaik pada perlakuan penambahan asam sitrat 0,2%(b/v). Penilaian perlakuan terbaik didasarkan pada parameter organoleptik, karena lebih menentukan seberapa besar produk dapat disukai dan diterima oleh konsumen. Didukung oleh Benion (1980) yang menyatakan bahwa parameter pertama yang dilihat dari suatu produk adalah parameter organoleptik, sebelum parameter fisik-kimia. Adapun karakteristik sari buah belimbing yang dihasilkan dari perlakuan organoleptik adalah nilai total padatan terlarut 11,2 o Brix, total asam 0,226%, pH 3,22, vitamin C 7,044 mg/100ml, gula reduksi 0,918%, tingkat kecerahan (L*) 28,1, tingkat kemerahan (a*) 7,6, tingkat kekuningan (b*) 9,1. Rerata kesukaan organoleptik warna sari buah belimbing sebesar 3,5 (menyukai), aroma 3,4 (netral), dan rasa 3,4 (netral).

Penelitian Tahap II
Optimasi Proses Pasteurisasi Kontinyu Sari Buah Belimbing dengan Metode Permukaan Respon (Response Surface Methodology). Hasil aktual proses pasteurisasi kontinyu sari buah belimbing dalam bentuk rancangan komposit pusat dapat dilihat pada Tabel 24.

Tabel 24. Hasil Aktual Proses Pasteurisasi Kontinyu Sari Buah Belimbing dalam Bentuk Rancangan Komposit Pusat. TPC Vitamin C Factor 1 Factor 2 Respon 1 Respon 2 Run 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 Block Hari 1 Hari 1 Hari 1 Hari 1 Hari 1 Hari 1 Hari 1 Hari 2 Hari 2 Hari 2 Hari 2 Hari 2 Hari 2 Hari 2 A:Suhu Celcius 94 94 90 90 98 94 98 94 94 88.34 94 94 94 99.66 B:Valve Derajat 40 40 35 45 45 40 35 40 40 40 47.07 40 32.93 40 Awal cfu/ml 36x107 61x107 59x107 37x107 23x108 45x107 27x108 51x107 23x108 17x107 43x108 37x107 33x107 26x108 TPC cfu/ml 14 x 104 22 x 103 27 x 104 34 x 104 5 x 10
4

Awal mg/100ml 9,791 10,879 8,703 9,791 10,879 9,791 9,791 9,951 9,951 9,951 11,057 9,951 9,951 11,057

Vitamin C mg/100ml 6,527 6,527 6,527 7,615 5,439 6,527 4,352 6,634 6,634 7,740 6,634 5,529 4,423 4,423

21 x 104 17 x 103 11 x 104 7 x 104 46 x 104 17 x 10


4

3 x 104 27 x 103 9 x 103

Berdasarkan Tabel 24 diatas menunjukkan hasil pasteurisasi kontinyu terhadap respon jumlah total mikroba terendah yang dihasilkan pada level suhu 99,66oC dan derajat bukaan valve 40o yaitu sebesar 9x103 cfu/ml. Hasil ini lebih tinggi jika dibandingkan dengan standar jumlah total mikroba sari buah yang ditetapkan oleh SNI sebesar 2x102 cfu/ml. Hal ini diduga karena faktor tingginya jumlah total mikroba sari buah awal sebelum dilakukan proses pasteurisasi, waktu pasteurisasi dalam sistem penukar panas yang belum tercapai sempurna dan proses pengemasan yang kurang aseptis sehingga terjadi kontaminasi. Lukman (2009), menyatakan bahwa kualitas mikrobiologik bahan pangan dipengaruhi oleh mikroorganisme awal, kondisi pengolahan dan pencemaran setelah pengolahan. Menurut Dwiari (2008), pemanasan dengan temperature yang lebih tinggi dan waktu yang lebih lama dapat menghasilkan destruksi mikroorganisme dan enzim yang lebih besar. Sedangkan untuk kadar vitamin C tertinggi didapatkan pada perlakuan pasteurisasi pada level suhu 88,34oC dan derajat bukaan valve 40oC yaitu sebesar 7,74 mg/100ml, dan kadar vitamin C terendah didapatkan pada perlakuan pasteurisasi pada level suhu 98oC dan derajat bukaan valve 35o. hal ini diduga karena semakin tinggi suhu dan lama waktu (bukaan valve 35o) proses pasteurisasi menyebabkan semakin tingginya degradasi vitamin C, sehingga kadar vitamin C sari buah belimbing semakin menurun. Menurut Hand, et al (2006) kerusakan vitamin C dipengaruhi oleh pemanasan, penyinaran, kondisi penyimpanan

dan jenis pengemas. Dalam penelitian Phattaraworrasuth and N. Chiewchan (2008), menggunakan suhu pasteurisasi sari buah jambu biji antara 65 95 oC pada lama waktu 60 menit menyebabkan penurunan vitamin C sari buah lebih dari 90%. Selain itu, hasil penelitian Tun (2007) memaparkan bahwa proses pasteurisasi sari buah jambu biji pada suhu 65oC selama 20 dan 30 menit, atau pada suhu 85oC selama 10 dan 15 detik tidak terdeteksi adanya mikroorganisme, dan penurunan vitamin C yang terjadi secara berturut adalah 17%, 30%, 15% dan 27%. a. Analisa Respon Jumlah Total Mikroba (TPC) Analisa respon jumlah total mikroba (TPC) dilakukan untuk mengetahui hubungan antara beberapa variable yang menjadi dasar penelitian terhadap jumlah total mikroba sari buah yang dihasilkan. Analisa pemilihan model dilakukan berdasarkan jumlah urutan model (sequential model sum of square), uji ketidaksesuaian (lack of fit test) dan ringkasan model secara statistik (model summary static) terhadap jumlah total mikroba dengan menggunakan DX 7.1.5. Hasil Analisis menunjukkan model kuadratik sesuai untuk memodelkan respon jumlah total mikroba (TPC). Model hasil penelitian dalam bentuk kuadratik yang disarankan kemudian dilakukan analisis sidik ragam Anova untuk mengetahui hubungan antara variable yang menjadi dasar penelitian. Hasil uji Anova dapat dilihat pada Tabel 25.

Tabel 25. Hasil Analisa Ragam (Anova) terhadap model kuadratik respon permukaan Response 1 TPC ANOVA for Response Surface Quadratic Model Source Block Model A-Suhu B-Valve AB A2 B2 Residual Lack of Fit Pure Error Cor Total Std. Dev. Mean C.V. % PRESS Sum of Squares 2.138E+009 2.220E+011 1.743E+011 1.165E+010 3.423E+008 3.561E+010 1.526E+007 2.586E+010 4.606E+009 2.126E+010 2.500E+011 60782.81 1.375E+005 44.21 7.485E+010 df 1 5 1 1 1 1 1 7 3 4 13 Mean Square 2.138E+009 4.440E+010 1.743E+011 1.165E+010 3.423E+008 3.561E+010 1.526E+007 3.695E+009 1.535E+009 5.314E+009 F Value 12.02 47.17 3.15 0.093 9.64 4.130E-003 0.29 p-value Prob > F 0.0025 0.0002 0.1191 0.7697 0.0172 0.9506 0.8322 not significant significant

R-Squared Adj R-Squared Pred R-Squared Adeq Precision


D esign -E xpert S oftwa re

0.8957 0.8211 0.6980 9.970

Hasil analisis ragam (ANOVA) terhadap model menunjukkan bahwa nilai F model adalah 12,02 yang berarti model signifikan. Hasil ini juga menunjukkan bahwa hanya ada kemungkinan sebesar 0,25% bahwa nilai F model sebesar ini terjadi karena noise atau error. Nilai Prob>F variabel dan atau hubungan antara variabel yang kurang dari 0,05 menunjukkan bahwa variabel tersebut memiliki hubungan yang signifikan terhadap model. Sedangkan pengujian pada ketidaksesuaian model (lack of fit) menunjukkan bahwa nilai P adalah 0,8322 yang berarti nilai P>0,1 sehingga model dinyatakan sudah sesuai dengan trend atau plot dari model (tidak berpengaruh nyata karena simpangan model mempunyai nilai >0,1). Model yang dihasilkan dari penelitian ini memiliki signifikasi terhadap hasil penelitian yang baik dengan koefisien determinasi (R2) sebesar 0,8957, yang menunjukkan bahwa faktor suhu dan faktor bukaan valve alat pasteurisasi kontinyu pada penelitian memberikan pengaruh sebesar 89,57% pada keragaman respon TPC. Nilai R sebesar 0,8211 yang berarti menunjukkan adanya korelasi positif atau keeratan hubungan antara faktor suhu dan faktor bukaan valve pada respon nilai TPC sebesar 82,11%. Model persamaan kuadratik dari hasil penelitian dapat disajikan sebagai berikut:
Y1 = (3.99603E+007) (8.34291E+005)X1 + 46505.81349X2 462.50000X1X2 + 4339.84375X12 + 57.50000X22

TP C D e sign points a bove pr edic te d valu e D e sign points b elow pre dic ted value 4 60 000 9 00 0 X 1 = A : S uh u X 2 = B : V alve
3 70000 27 5000 18000 0

TPC

85 000 -10000

45.00 98.00 4 2.50 9 6.00 40 .00 94.00 37.50 3 0 90.00 5.0 92.00

BV : alve

AS : uhu

Gambar 1. Kurva Permukaan Respon 3 Dimensi Hubungan Antara Suhu Media Pemanas dan Derajad Bukaan Valve terhadap Respon Vitamin C

Dimana: Y1 = Jumlah Total Mikroba (TPC); X1 = Suhu pasteurisasi (oC) ; X2 = Bukaan Valve (derajat) Berdasarkan persamaan Y1 di atas dapat diketahui bahwa koefisien X12 (69437,50) lebih besar dibandingkan koefisien X22 (1437.50), yang artinya bahwa respon jumlah total mikroba (TPC) lebih dipengaruhi oleh faktor suhu pasteurisasi (X12) daripada faktor derajat bukaan valve (X22). Model persaman tersebut digambarkan kedalam kurva respon pada Gambar 1.

Gambar 1 menunjukkan bahwa kedua faktor berpengaruh nyata terhadap respon, tetapi faktor suhu pasteurisasi lebih mempengaruhi respon jumlah total mikroba (TPC) jika dibandingkan dengan faktor derajat bukaan valve. Hal tersebut ditunjukkan oleh bentuk kurva penentuan suhu pasteurisasi yang lebih curam dibandingkan kurva penentuan derajat bukaan valve terhadap respon jumlah total mikroba (TPC). Kusnandar, dkk (2009), menyatakan bahwa proses termal (sterilisasi/pasteurisasi) bertujuan untuk mengawetkan produk pangan dengan membunuh mikroba pembusuk dan patogen menggunakan panas (suhu tinggi) selama waktu tertentu, proses termal yang diberikan tidak semata-mata membunuh mikroba, tetapi juga harus mempertimbangkan mutu akhir dari produk, dimana kerusakan mutu oleh pemanasan harus diminimalkan. b. Analisa Respon Kadar Vitamin C Analisa respon kadar vitamin C dilakukan berdasarkan jumlah urutan model (sequential model sum of square), uji ketidaksesuaian (lack of fit test) dan ringkasan model secara statistik (model summary static) dengan hasil model yang sesuai adalah linier.

Model hasil penelitian dalam bentuk linier yang disarankan kemudian dilakukan analisis sidik ragam Anova untuk mengetahui hubungan antara variable

yang menjadi dasar penelitian. Hasil uji Anova dapat dilihat pada Tabel 26.

Tabel 26. Hasil Analisa Ragam (Anova) terhadap model kuadratik respon permukaan Response 2 Vitamin C ANOVA for Response Surface Linear Model Analysis of variance table [Partial sum of squares - Type III] Sum of Mean F p-value Source Squares df Square Value Prob > F Block 0.16 1 0.16 Model 13.73 2 6.87 32.42 < 0.0001 significant A-Suhu 10.22 1 10.22 48.25 < 0.0001 B-Valve 3.51 1 3.51 16.59 0.0022 Residual 2.12 10 0.21 Lack of Fit 1.30 6 0.22 1.07 0.4975 not significant Pure Error 0.81 4 0.20 Cor Total 16.01 13 Std. Dev. Mean C.V. % PRESS 0.46 6.11 7.53 3.97 R-Squared Adj R-Squared Pred R-Squared Adeq Precision 0.8664 0.8396 0.7493 14.655

Hasil analisis ragam (ANOVA) terhadap model menunjukkan bahwa nilai F model adalah 32,42 yang berarti model signifikan. Hasil ini juga menunjukkan bahwa hanya ada kemungkinan sebesar 0,01% bahwa nilai F model sebesar ini terjadi karena noise atau error. Nilai Prob>F variabel dan atau hubungan antara variabel yang kurang dari 0,05 menunjukkan bahwa variabel tersebut memiliki hubungan yang signifikan terhadap model. Sedangkan pengujian pada ketidaksesuaian model (lack of fit) menunjukkan bahwa nilai P adalah 0,4975 yang berarti nilai P>0,1 sehingga model dinyatakan sudah sesuai dengan trend atau plot dari model. Model yang dihasilkan dari penelitian ini memiliki signifikasi terhadap hasil penelitian yang baik dengan koefisien determinasi (R2) sebesar 0,8664, yang menunjukkan bahwa faktor suhu dan faktor bukaan valve alat pasteurisasi kontinyu pada penelitian memberikan pengaruh sebesar 86,64% pada keragaman respon Vitamin C. Nilai R sebesar 0,8396 yang berarti menunjukkan adanya korelasi positif atau keeratan hubungan antara faktor suhu dan faktor bukaan valve pada respon nilai Vitamin C sebesar 83,96%. Model persamaan linier dari hasil penelitian dapat disajikan sebagai berikut:
Y2 = 27.36825 - 0.28256 X1 + 0.13255 X2

Gambar 2 menunjukkan bahwa kedua faktor berpengaruh nyata terhadap respon, tetapi faktor suhu pasteurisasi lebih mempengaruhi respon kadar Vitamin C jika dibandingkan dengan faktor derajat bukaan valve. Hal tersebut ditunjukkan oleh bentuk kurva penentuan suhu pasteurisasi yang lebih curam dibandingkan kurva penentuan derajat bukaan valve terhadap respon Vitamin C, dimana semakin tinggi suhu pasteurisasi maka kadar Vitamin C yang didapatkan semakin rendah. Winarno (1997), menyatakan vitamin C yang terdapat didalam bahan pangan mudah rusak oleh panas yang tinggi, dan merupakan vitamin yang paling mudah rusak. Begitu juga menurut Hand, et al (2006), bahwa vitamin C dipengaruhi oleh pemanasan, penyinaran, kondisi penyimpanan dan jenis pengemas. Kerusakan vitamin C selama proses pemasakan pangan akibat pasteurisasi dapat mencapai 25%, sterilisasi mencapai 60% dan pada proses UHT dapat mencapai 100%. (Ottaway, et al. 2009). c. Optimasi Suhu pasteurisasi dan Derajat Bukaan Valve terhadap Respon Jumlah Total Mikroba (TPC) dan Vitamin C. Perlakuan terbaik berdasarkan model diperlukan dengan memberi beberapa batasan titik-titik perlakuan dengan memaksimalkan respon vitamin C dan meminimalkan respon TPC sebagaimana pada Tabel 27a, sedangkan gambar kontur desirability dapat dilihat pada Gambar 3. Hasil solusi optimasi menunjukkan beberapa alternatif perlakuan untuk beberapa nilai optimum sebagaimana terlihat pada Tabel 27b.

Dimana: Y2 = Vitamin C (mg/100ml); X1 = Suhu pasteurisasi (oC) ; X2 = Bukaan Valve (derajat) Model persaman tersebut digambarkan kedalam kurva respon pada Gambar 2.
D esign-E xpert S oftw are Vitamin C D esig n points above predicted value D esig n points below predicte d value 7.74 4.352 X1 = A: S uhu X2 = B: Valve
8

7.05

Vitamin C

6.1

5.15

4.2

45.00 42.50 40.00 94 37.50 35.00 90 92 96

98

B: V alve

ASh : uu

Gambar 2. Kurva Permukaan Respon 3 Dimensi Hubungan Antara Suhu Media Pemanas dan Derajad Bukaan Valve terhadap Respon Vitamin C

Tabel 27a. Batasan Optimasi Respon Jumlah Total Mikroba (TPC) dan Vitamin C Name Suhu Valve TPC Vitamin C Goal is in range is in range minimize maximize Lower Limit 90 35 9000 4.352 Upper Limit 98 45 460000 7.74 Lower Weight 1 1 1 1 Upper Weight 1 1 1 1 Importance 3 3 3 3

Tabel 27b. Alternatif Solusi Optimasi Proses Pasteurisasi Kontinyu Sari Buah Belimbing. Number 1 2 Suhu 94.09 93.80 Valve 45.00 45.00 TPC 133211 144692
Ds a ility e ir b
P d tio re ic n X 1 X 2
4 .5 20

Vitamin C 6.74749 6.82918

Desirability 0.716 0.715 Selected

Design-Expert Software
4 .0 50

Desirability Design Points X1 = A: Suhu X2 = B: Valve

01 .7 6 9 .0 49 4 .0 50

B: Valve

4 .0 00

0 713 .473
3 .5 70

0 947 .561

0 58 .375 0 357 . 86 2

3 .0 50 9 .0 00 9 0 2.0 9 .0 40 9 .0 60 9 .0 80

ASh : uu

Tabel 28. Perbandingan hasil pasteurisasi aktual dengan hasil pasteurisasi berdasarkan optimasi model Hasil Optimasi Hasil Optimasi Keterangan Model Matematis Penelitian aktual Jumlah Total 133211 cfu/ml 110000 cfu/ml Mikroba 6,74749 6,6124 Kadar Vitamin C mg/100ml mg/100ml

Gambar 3. Kontur Desirability Rancangan Percobaan

Metode multirespon disebut sebagai desirability. Batasan (range) dari desirability adalah 1 0. fungsi desirability menunjukkan batasan yang didapat pada masing-masing respon. Apabila beberapa respon atau faktor jatuh diluar jangkauan nilai bentangan, maka nilainya menjadi 0. Hasil perhitungan pada optimasi model penelitian ini didapatkan nilai desirability sebesar 0,716 yang artinya nilai desirability hasil penelitian sudah memenuhi syarat bentangan (1 0). Sedangkan hasil solusi optimum model terhadap respon didapatkan pada suhu 94,09 oC dan derajat bukaan valve 45o dengan jumlah total mikroba (TPC) sebesar 133211 cfu/ml dan kadar vitamin C sebesar 6,74749 mg/100ml. Perlakuan terbaik hasil optimasi selanjutnya digunakan sebagai pembanding hasil penelitian empiris dengan perlakuan yang sama. d. Verifikasi Kondisi Optimal Hasil yang diperoleh dari proses pasteurisasi aktual menunjukkan nilai yang tidak jauh berbeda dengan hasil berdasarkan optimasi model. Hasil penelitian menunjukkan jumlah total mikroba (TPC) sebesar 11x104 cfu/ml dan kadar vitamin C sebesar 6,6124 mg/100ml. Berdasarkan kondisi ini, model yang terbentuk dapat menggambarkan kondisi empiris. Optimasi proses dapat dilakukan dengan model baru yang terbentuk. Perbandingan hasil pasteurisasi aktual dengan hasil pasteurisasi berdasarkan optimasi model dapat dilihat pada Tabel 28.

Berdasarkan Tabel 28 dapat diketahui selisih nilai prediksi dan aktual adalah 23211 cfu/ml dan 0,1360 mg/100ml yang berarti bahwa terdapat kesamaan yang cukup tinggi antara hasil prediksi model dan aktual hasil penelitian. Hasil analisa yang didapatkan dari verifikasi aktual model antara lain: nilai total asam 0.2150%; gula reduksi 0.9229%; pH 3,28; TPT 11,2; tingkat kecerahan (L*) 28,3; tingkat kemerahan (a*) 7,8; tingkat kekuningan (b*) 8,6. KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Penelitian Tahap I Pada penelitian tahap I didapatkan hasil penentuan perlakuan terbaik atau indeks efektivitas berdasarkan parameter organoleptik terbaik diperoleh pada formulasi sari buah belimbing dengan perlakuan proporsi belimbing:air = 1:6, perlakuan penambahan gula 10% dan perlakuan penambahan asam sitrat 0,2% yang memiliki nilai karakteristik total padatan terlarut 11,2 oBrix, total asam 0,226%, pH 3,22, vitamin C 7,044 mg/100ml, gula reduksi 0,918%, tingkat kecerahan (L*) 28,2, tingkat kemerahan (a*) 7,6, tingkat kekuningan (b*) 9,2. Rerata kesukaan organoleptik warna sari buah belimbing sebesar 3,5 (menyukai), aroma 3,4 (netral), dan rasa 3,4 (netral). Penelitian Tahap II Pada penelitian tahap I didapatkan hasil verifikasi aktual dari solusi optimum model pada suhu media pemanas 94,09oC dan derajat bukaan valve 45o didapatkan respon TPC dan vitamin C yang optimum, dengan nilai TPC dan vitamin C secara berturut-turut

adalah sebesar 11x104 cfu/ml dan 6,612 mg/100ml. Sedangkan karakteristik Kimia-fisik yang didapatkan dari verifikasi aktual model antara lain: nilai total asam 0,215%; gula reduksi 0,923%; pH 3,28; TPT 11,2; tingkat kecerahan (L*) 28,3; tingkat kemerahan (a*) 7,8; tingkat kekuningan (b*) 8,6.

Concentrates During Storage. Journal of Food Engineering, 74: 211-216. Hui, Y.H and Wai-kit Nip. 1997. Food Biochemistry and Food Processing. http://books.google.co.id//books. Kaanane, et al. 1988. Dalam Yeom, H. W.; Streaker, B. C.; Zhang, Q. H. and David B. Min. Effect of Pulsed Electric Fields on the Quality of Orange Juice and Comparison with Heat Pasteurization. J. Agric. Food Chem. 2000, 48, 4597-4606. Kusnandar, F., P. Hariyadi, dan N. Wulandari. 2009. Prinsip dan Proses Pengalengan Pangan. http://www.unhas.ac.id/gdln/dirpan/pengalengan /Topik2.pdf Lukman, D. W. 2009. Pengujian Jumlah Bakteri pada Pangan Asal Hewan. http://higienepangan.blogspot.com/2009/10/penghitunganjumlah-bakteri-pada-pangan.html Madhavi, D. L., Deshpande, S. S., & Salunkhe, D. K. (1996). Food antioxidants: technological, toxicological and health perspectives(pp.27). Marcel Dekker. New York. http://repository.up.ac.za/upspace/bitstream/226 3/3202/1/Sikwese_Antioxidant.pdf Margono. 1993. Pembuatan Tepung Pisang. http://www.seruit.com/a/index.php/sosial/105reportase-liputan/index.php Phattaraworrasuth and N. Chiewchan. 2008. Effect of Pasteurization on Vitamin C Content of Guava Juice. http://kst.buu.ac.th/proceedings Satuhu, S. 1994. Pengolahan dan Penanganan Buah. Penyebar Swadaya. Jakarta Suharyono A.S. 2008. Effek Sinar Ultraviolet terhadap Kandungan Total Mikroba dan Vitamin C Sari Buah Jeruk Nipis. Jurusan Teknologi Pasca Panen, Fakultas Pertanian, Universitas Lampung. Lampung. Suyatno. 2001. Studi Prototipe Alat Pasteurisasi Proses Penahanan (Holding) dengan Aliran Bahan Kontinyu untuk Inaktivasi Bakteri Clostridium pasteurianum dalam Sari Buah Tomat. Jurusan Teknologi Pertanian. FTP. UniBraw. Malang. Tampubolon. 2001. Pembuatan Jelly Apel var. Anna Kajian Proporsi Air Perebusan dan Konsentrasi Sukrosa terhadap Sifat Fisik, Kimia, dan Organoleptik. Skripsi. Jurusan THP. FTP UniBraw. Malang Tressler D.K. and Joslyn M.A. 1961. Fruit and Vegetable Juice, Processing Technology. Westport Connecticut: The AVI Publishing Company, Inc.

Saran Sari buah belimbing yang dihasilkan pada penelitian masih mengandung jumlah total mikroba yang belum memenuhi standar SNI, oleh karena itu perlu: 1. Dilakukan proses persiapan bahan baku, alatalat pembuatan sari buah belimbing yang lebih higienis dan aseptis untuk mengurangi jumlah total mikroba awal sari buah sebelum dipasteurisasi. 2. Dilakukan penelitian lanjutan tentang umur simpan sari buah belimbing hasil pasteurisasi kontinyu. 3. Pengkajian lebih lanjut tentang sistem kontrol pada alat pasteurisasi kontinyu ini agar dapat menghasilkan suhu sistem pemanas yang stabil dan waktu pasteurisasi yang dapat dikontrol. 4. Dilakukan proses pengemasan yang aseptis untuk menghindari terjadinya kontaminasi produk hasil pasteurisasi. DAFTAR PUSTAKA Agung. T. 2009. Prinsip Pasteurisasi dan Sterilisasi Komersial Produk Pangan. http://id.shvoong.com/exact-sciences/1799738prinsip-pasteurisasi-dan-sterilisasi-komersial/. Anin. 2008. Belimbing Manis. http://id.shvoong.com/medicine-andhealth/nutrition/1805190-belimbing-manisaverrhoa-carambola/

Buckle, K.A., R.A. Edwards. G.H. Fleet and M. Wooton. 1987. Food Science. Australian Vice Chancellors Committee. Brisbane-Australia. Barry, R.C. and O,Beirne, D. 1999. Ascorbic Acid Retention in Shredded Iceberg Lettuce as Affected by Minimal Processing. J. Food Sci., 64(3): 498-500. Barth, M.M., Kerbel, E.L., Perry, A.K. and Scmidt, S.J. 1993. Modified Atmosphere Packaging Affects Ascorbic Acid, Enzyme Activity and Market Quality of Brocolli. J. Food Sci., 58(6): 140-143. Bernasconi, G; Gester, H; Stouble, H; Scheiter, E. 1995. Teknologi Kimia. Pradnya Paramita. Jakarta. Fenema, O.R. 1996. Food Chemistry. Third Edition. Marcel Dekker Inc. New York. FDA. 1999. Potential for Infiltration, Survival, and Growth of Human Pathogens within Fruits and Vegetables. DFSAN/FDA, Nov 1999. http://vm.cfsan.fda.gov/~comm/juicback.html Hand, S.B., Nuray, K. and Feryal, K. 2006. Degradation of Vitamin C in Citrus Juice

Tun, M.S. 2007. Stability of Vitamin C Content in Guava Juices during Pasteurization and Storage at Different Conditions. http://mulinet8.li.mahidol.ac.th/ethesis/4838011.pdf

Winarno, F.G. 1997. Kimia Pangan dan Gizi. PT. Gramedia. Jakarta.

OPTIMASI PROSES PASTEURISASI KONTINYU SARI BUAH BELIMBING (Averrhoa carambola Linn)

Publikasi Ilmiah

Oleh : RATIH KUSUMAWARDHANI NIM. 0721004009

PROGRAM STUDI TEKNOLOGI HASIL PERTANIAN MINAT TEKNOLOGI HASIL PERTANIAN

PROGRAM PASCASARJANA FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN UNIVERSITAS BRAWIJAYA

MALANG 2010

You might also like