You are on page 1of 25

ii

DAFTAR ISI

Halaman
BAB I: PENDAHULUAN .............................................................................

1.1 Latar Belakang......................................................................................


1.2 Rumusan Masalah ...............................................................................
1.3 Tujuan Penelitian ................................................................................

1
1
2

BAB II: TINJAUAN PUSTAKA ...................................................................

2.1 Definisi.................................................................................................

2.2 Epidemologi ........................................................................................

2.3 Klasifikasi Pneumotoraks Berdasarkan Mekasnisme Kejadian ...........

2.3.1 Pneumotoraks Spontan ..............................................................

2.3.1.1 Pneumotoraks Spontan Primer.......................................

2.3.1.2 Pneumotoraks Spontan Sekunder ...............

2.3.2 Pneumotoraks Traumatik ...........................................................

2.3.2.1 Pneumotoraks Traumatik Latrogenik.............................

2.3.2.2 Pneumotoraks Traumatik Non Latrogenik......................

10

2.4 Klasifikasi Pneumotoraks Berdasarkan Berdasarkan


jenis Fistulanya.....................................................................................

11

2.4.1 Pneumotoraks Tertutup...............................................................

11

2.4.2 Pneumotoraks Terbuka................................................................

11

2.4.3 Pneumotoraks Ventil...................................................................

11

2.5 Patofisiologi Pneumotoraks ................................................................

12

2.6 Diagnosis Pneumotoraks......................................................................

15

2.6.1 Keluhan ......................................................................................

15

2.6.2 Pemeriksaan Fisik.......................................................................

15

2.6.3 Pemeriksaan Penunjang..............................................................

16

2.7 Penatalaksanaan Pneumotoraks ..........................................................

16

2.7.1 Penatalaksanaan Awal pada Pneumotoraks................................

16

2.7.2 Penatalaksanaan Pneumotoraks Tertutup....................................

17

2.7.3 Penatalaksanaan Pneumotoraks Terbuka.................................

17

2.7.4 Penatalaksanaan Tension Pneumotoraks.....................................

18

2.7.4.1 Needle Theoracostomy...................................................

18

2.7.4.2 Pemasangan Chest Tube.................................................

18

iii

2.8 Komplikasi Pneumotoraks ..................................................................

19

BAB III: PENUTUP...........................................................................

21

3.1 Kesimpulan..........................................................................................

21

DAFTAR PUSTAKA ....................................................................................

22

ii

BAB I
PENDAHULUAN

1.1.

Latar Belakang
Pneumotoraks didefinisikan sebagai adanya udara atau gas dalam rongga

pleura, yaitu, di ruang potensial antara pleura viseral dan parietal paru-paru. Hasilnya
adalah kolaps dari paru-paru pada sisi yang terkena. Udara bisa masuk ruang intrapleural
melalui komunikasi dari dinding dada (yaitu, trauma) atau melalui parenkim paru-paru di
pleura viceralis.
Hasil dari terapi pada 480 penderita dengan fraktur multiple costa dan
dihubungkan pada trauma dada yang telah dianalisa. Berdasarkan dari trauma; 55 (25,5%)
pasien pneumotoraks yang berkembang menjadi 71 (32,8%)-hemathorax, 90(41,7%)hemopneumotoraks. Terapi konservatif dari pneumo dan hemotoraks dalam beberapa
kasus kebanyakan (biasanya dilakukan tusukan pada rongga pleura, jarang dilakukan
drainage). Pada 47 penderita yang berkaitan dengan trauma yang dengan forced position
(posisi setengah duduk), Bertujuan untuk kateterisasi pada cavum pleura dengan
menggunakan stiletto trocar melengkung dibawah sudut 60 derajat. Pada terapi clotting
hematothoraks digunakan streptokinase yang tercatat berefek positif pada 6 dari 7 pasien.
Indikasi untuk torakotomi dibatasi pada pasien dengan trauma dada yang berhubungan
dengan shock dan kehilangan darah akut (Rebecca B, 2011).
1.2.

Rumusan Masalah
1. Apa etiologi pneumotoraks?
2. Bagaimana cara menegakkan diagnlosa pneumotoraks?
3. Bagaimana penatalaksanaan pneumotoraks?
4. Apa saja saja komplikasi yang dapat terjadi pada pneumotoraks?

1. 3

Tujuan Penelitian
1. Untuk mengetahui etiologi pneumotoraks.

2. Untuk dapat menegakkan diagnosa pneumotoraks.


3. Untuk mengetahui pentalakasanaan pneumotoraks.
4. Untuk mengetahui komplikasi yang dapat terjadi pada pneumotoraks.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi
Pneumotoraks adalah penumpukan udara yang bebas dalam dada diluar paru
yang menyebabkan paru kolaps.
Pneumotoraks merupakan suatu kondisi dimana terdapat udara pada kavum
pleura. Pada kondisi normal, rongga pleura tidak terisi udara sehingga paru-paru dapat
leluasa mengembang terhadap rongga dada. Udara dalam kavum pleura ini dapat
ditimbulkan oleh :
1. Robeknya pleura viseralis sehingga saat inspirasi udara yang berasal dari
alveolus akan memasuki kavum pleura. Pneumotoraks jenis ini disebut
sebagai closed pneumotoraks. Apabila kebocoran pleura viseralis
berfungsi sebagai katup, maka udara yang masuk saat inspirasi tak akan
dapat keluar dari kavum pleura pada saat ekspirasi. Akibatnya, udara
semakin lama semakin banyak sehingga mendorong mediastinum kearah
kontralateral dan menyebabkan terjadinya tension pneumotoraks.
2. Robeknya dinding dada dan pleura parietalis sehingga terdapat hubungan
antara kavum pleura dengan dunia luar. Apabila lubang yang terjadi lebih
besar dari 2/3 diameter trakea, maka udara cenderung lebih melewati
lubang tersebut dibanding traktus respiratorius yang seharusnya. Pada saat
inspirasi, tekanan dalam rongga dada menurun sehingga udara dari luar
masuk ke kavum pleura lewat lubang tadi dan menyebabkan kolaps pada
paru ipsilateral. Saat ekspirasi, tekanan rongga dada meningkat, akibatnya
udara dari kavum pleura keluar melalui lubang tersebut. Kondisi ini
disebut sebagai open pneumotoraks (Berck, 2010).
2.2 Epidemiologi

Pneumotoraks dapat diklasifikasikan menjadi pneumotoraks spontan


dan traumatik. Pneumotoraks spontan merupakan pneumotoraks yang terjadi tibatiba tanpa atau dengan adanya penyakit paru yang mendasari. Pneumotoraks jenis
ini dibagi lagi menjadi pneumotoraks primer (tanpa adanya riwayat penyakit paru
yang mendasari) maupun sekunder (terdapat riwayat penyakit paru sebelumnya).
Insidensinya sama antara pneumotoraks primer dan sekunder, namun
pria lebih banyak terkena dibanding wanita dengan perbandingan 6:1. Pada pria,
resiko pneumotoraks spontan akan meningkat pada perokok berat dibanding non
perokok. Pneumotoraks spontan sering terjadi pada usia muda, dengan insidensi
puncak pada dekade ketiga kehidupan (20-40 tahun).
Sementara itu, pneumotoraks traumatik dapat disebabkan oleh trauma
langsung maupun tidak langsung pada dinding dada, dan diklasifikasikan menjadi
iatrogenik maupun non-iatrogenik. Pneumotoraks iatrogenik merupakan tipe

pneumotoraks yang sangat sering terjadi (Berck, 2010).


Umur : Biasanya terjadi pada orang yang ber usia 20-40 tahun
Seks : Lebih sering pada pria
Pneumotoraks spontan primer
Biasanya terjadi pada anak laki-laki yang tinggi, kurus dan usia 10-30
tahun
Insidens pada usia tertentu: 7,4-18 kasus per 100.000 orang per tahun

pada laki-laki 1,2-6 kasus per 100.000 orang per tahun pada perempuan
Pneumotoraks spontan sekunder
Umur : Puncak kejadian di usia 60-65 tahun insidensi 6,3 kasus per
100.000 orang per tahun pada laki-laki 2,0 kasus per 100.000 orang per
tahun pada perempuan 26 per 100.000 pasien dengan penyakit paru

obstruktif kronik per tahun (McCool FD, 2008)


Kejadian pneumotoraks spontan primer adalah 18 per 100.000 orang per tahun

dan 6 per 100.000 perempuan per tahunnya.


Hal ini terjadi paling sering di usia 20-an, dan pneumotoraks spontan primer

jarang terjadi di atas usia 40.


Pneumotoraks spontan sekunder biasanya terjadi antara usia 60 dan 65.

Antara Tahun 1991 dan 1995 tingkat MRS di UK Hospital baik untuk
pneumotoraks spontan primer dan sekunder adalah 16,7 per 100.000 orang per

tahun dan 5,8 per 100.000 perempuan per tahun.


Rekurensi akan terjadi pada sekitar 30% dari 45% primer dan sekunder
pneumotoraks. Hal ini sering terjadi dalam 6 bulan, dan biasanya dalam waktu 3
tahun. (Korom. S, 2011)

2.3

Klasifikasi Pneumotoraks Berdasarkan Mekanisme Kejadian

2.3.1 Pneumotoraks spontan


2.3.1.1 Pneumotoraks Spontan Primer
Pneumotoraks ini merupakan pneumotoraks yang terjadi pada paru-paru yang
sehat dan tidak ada pengaruh dari penyakit yang mendasari. Angka kejadian
pneumotoraks spontan primer (PSP) sekitar 18-28 per 100.000 pria pertahun dan 1,2-6
per 100.000 wanita pertahun (Mackenzie and Gray, 2007). Umumnya, kejadian ini terjadi
pada orang bertubuh tinggi, kurus, dan berusia antara 18-40 tahun. Mekanisme yang
diduga mendasari terjadinya PSP adalah ruptur bleb subpleura pada apeks paru-paru
(Heffner and Huggins, 2004). Udara yang terdapat di ruang intrapleura tidak didahului
oleh trauma, tanpa disertai kelainan klinis dan radiologis. Namun banyak pasien yang
dinyatakan mengalami PSP mempunyai penyakit paru-paru subklinis. Riwayat keluarga
dengan kejadian serupa dan kebiasaan merokok meningkatkan resiko terjadinya
pneumotoraks ini (Heffner and Huggins, 2004).
Faktor yang saat ini diduga berperan dalam patogenesis PSP adalah terdapat
sebagian parenkim paru-paru yang meningkat porositasnya. Peningkatan porositas
menyebabkan kebocoran udara viseral dengan atau tanpa perubahan emfisematous paruparu. Hubungan tinggi badan dengan peningkatan resiko terjadinya PSP adalah karena
gradien tekanan pleura meningkat dari dasar ke apeks paru. Akibatnya, alveoli pada apeks
paru-paru orang bertubuh tinggi rentan terhadap meningkatnya tekanan yang dapat
mendahului proses pembentukan kista subpleura (Mackenzie and Gray, 2007).

PSP umumnya dapat ditoleransi dengan baik oleh penderitanya karena tidak
adanya penyakit paru-paru yang mendasari (Heffner and Huggins, 2004). Pada sebagian
besar kasus PSP, gejala akan berkurang atau hilang secara spontan dalam 24-48 jam.
Kecepatan absorpsi spontan udara dari rongga pleura sekitar 1,25-1,8% dari volume
hemitoraks per hari, dan suplementasi oksigen sebesar 10 lpm akan meningkatkan
kecepatan absorpsi sampai dengan empat kali lipat (Mackenzie and Gray, 2007).
Beberapa macam terapi yang dapat dilakukan pada pasien PSP antara lain observasi,
drainase interkostal dengan atau tanpa pleurodesis, dan video-assisted thoracoscopic
surgery (VATS) (Heffner and Huggins, 2004).
Panduan terapi untuk PSP dikeluarkan oleh British Thoracic Society (BTS)
dan American College of Chest Physician (ACCP). Terdapat perbedaan untuk besarkecilnya pneumotoraks dan jenis terapi untuk PSP kecil simtomatik dan PSP simtomatik
yang stabil di antara keduanya (Mackenzie and Gray, 2007). Berikut adalah ringkasan
gabungan panduan terapi menurut BTS dan ACCP (Mackenzie and Gray, 2007).
a. Clinically stable small pneumotoraks
Kedua panduan menyatakan terapi untuk pasien stabil dengan
pneumotoraks kecil (<2 cm, BTS; <3 cm, ACCP) dan gejala minimal
adalah dengan melakukan observasi dan di-KRS-kan. Panduan ACCP
menyarankan dilakukannya observasi sekitar 3-6 jam, foto rontgen paruparu, diKRSkan dengan instruksi lengkap, dan pasien diminta untuk
kontrol dalam dua hari berikutnya.
b. Large pneumotoraks and symptomatic small pneumotoraks
Pasien yang tergolong dalam PSP ini membutuhkan intervensi. BTS
merekomendasikan aspirasi sederhana sebagai terapi lini pertama pada
PSP luas dengan kondisi stabil dan pneumotoraks kecil simtomatis. CXR
dilakukan setelah aspirasi untuk menentukan apakah terdapat perbaikan.
Apabila tidak ada perbaikan atau pasien masih simtomatis dan jumlah
aspirasi awal kurang dari 2,5 liter aspirasi ulangan dapat dilakukan.

Apabila aspirasi pertama sudah lebih dari 2,5 liter atau aspirasi ulangan
tidak berhasil maka pemasangan drain interkostal harus dilakukan.
c. Clinically unstable patients with a large pneumotoraks
Pada pasien yang termasuk dalam kategori ini sebaiknya dilakukan
pemasangan drain interkostal dan di-MRS-kan. Paru-paru harus dapat
mengembang sepenuhnya 24 jam sebelum drain dilepas. CXR dilakukan
setiap 24 jam.
d. Surgical intervention
Terapi pembedahan harus mulai dipikirkan apabila terdapat kebocoran
udara persisten atau paru-paru gagal melakukan re-ekspansi setelah 3-5
hari.Indikasi dilakukannya operasi meliputi terjadinya pneumotoraks
ipsilateral yang kedua, pneumotoraks kontralateral yang pertama, dan
adanya resiko pekerjaan seperti penyelam atau pilot. Pasien dengan
profesi tersebut sebaiknya menjalani tindakan operasi bilateral. Pilihan
terapi pembedahan yang dapat dilakukan seperti VATS, pleural abrasion,
surgical

talc

pleurodesis,

pleurectomy,

dan

open

thoracostomy

(Mackenzie and Gray, 2007)


Pada pemasangan drain interkostal, ukuran kateter pleura tidak mempengaruhi
efektivitas drainase pada terapi PSP. Selain itu, tidak ada korelasi antara ukuran drainase
dan tingkat komplikasi, rekurensi, dan lamanya pasien dirawat. Namun kateter dengan
diameter kecil tidak dapat digunakan apabila terdapat cairan pleura (karena dapat
menyumbat) dan adanya kebocoran udara (menyebabkan reekspansi yang tidak adekuat).
Suction hanya dapat dipertimbangkan 48 jam setelah pemasangan drainase untuk
mengurangi resiko terjadinya edema re-ekspansi paru-paru dan harus dikonsulkan kepada
dokter ahli paru. BTS merekomendasikan sistem suction dengan volume besar dan
tekanan rendah (-10 to -20 cm H2O). Drainase sebaiknya tidak dijepit kecuali diminta
oleh ahli paru atau spesialis bedah TKV. Penjepitan drainase dapat berbahaya dan tidak
ada bukti yang menunjukkan peningkatan angka keberhasilan atau penurunan resiko

rekurensi. Indikasi penjepitan drainase adalah apabila terdapat kebocoran udara terus
menerus karena berpotensi menyebabkan tension pneumotoraks.

2.3.1.2 Pneumotoraks Spontan Sekunder


PSS merupakan pneumotoraks yang terjadi pada pasien dengan penyakit paru
yang mendasari. Umumnya PSS terjadi sebagai komplikasi COPD, fibrosis kistik,
tuberkulosis, pneumocystitis pneumonia, dan menstruasi. PSS juga dapat terjadi ada
penyakit intersisial paru seperti sarcoidosis, lymphangioleiomyomatosis, langerhans cell
histiocytosis and tuberous sclerosis. Secara umum udara pada PSS memasuki rongga
pleura melalui alveoli yang melebar atau rusak. Perburukan klinis dan sequelae biasanya
terjadi akibat adanya kondisi komorbid.
Causa terbanyak PSS adalah COPD, khususnya COPD sedang-berat. Apabila
pneumotoraks terjadi pada pasien COPD, gejala sesak napas yang progresif muncul dan
biasanya bersamaan dengan nyeri pleuritik. PSS merupakan penanda signifikan untuk
mortalitas pasien COPD. Setiap kejadian pneumotoraks meningkatkan resiko kematian
sampai dengan empat kali lipat. Sekitar 40-50% pasien akan mengalami PSS yang kedua
apabila pleurodesis tidak dilakukan (Heffner and Huggins, 2004).
Untuk penangan PSS, ACCP merekomendasikan pemasangan chest tube untuk
setiap pasien PSS, dan pleurodesis pada episode pertama PSS guna mencegah rekurensi.
Sedangkan rekomendasi BTS merekomendasikan aspirasi dengan syringe dan kateter
untuk pasien pneumotoraks kecil dengan penyakit paru yang mendasari ringan. Sebagian
besar pasien membutuhkan drainase melalui chest tube. Pelepasan chest tube dilakukan
setelah terjadi re-ekspansi paru dan resolusi kebocoran udara. Pleurodesis merupakan
terapi pilihan terakhir dan dilakukan pada pasien dengan kebocoran udara yang tidak
teratasi dan mengalami pneumotoraks rekuren (Mackenzie and Gray, 2007).

2.3.2

Pneumotoraks Traumatik

2.3.2.1 Pneumotoraks Traumatik Iatrogenik


Pneumotoraks iatrogenik merupakan pneumotoraks yang terjadi akibat
pembukaan rongga paru secara paksa saat tindakan diagnosis atau terapi invasif
dilakukan. Tindakan seperti thoracocentesis, biopsi pleura, pemasangan kateter vena
sentral, biopsi paru perkutan, bronkoskopi dengan biopsi transbronkial, aspirasi
transtoracic, dan ventilasi tekanan positif dapat menjadi etiologinya. Akibatnya, pasien
perlu lebih lama dirawat di rumah sakit (Yilmaz, et al, 2002).
Penyebab utama terjadinya pneumotoraks iatrogeni adalah aspirasi jarum
halus transthoracic. Dua faktor yang memegang perang penting adalah ukuran dan
kedalaman lesi. Apa bila lesi kecil dan dalam maka resiko pneumotoraks meningkat.
Penyebab kedua terbanyak adalah pemasangan kateter vena sentral. Penyebab lainnya
antara lain akupunkktur transthoracic, resusitasi jantung-paru, dan penyalahgunaan obat
melalui vena leher (Sharma, 2009).

2.3.2.2 Pneumotoraks Traumatik Non Iatrogenik


Pneumotoraks jenis ini terjadi akibat trauma tumpul atau tajam yang merusak
pleura viseralis atau parietalis. Pada trauma tajam, luka menyebabkan udara dapat masuk
ke rongga pleura langsung ke dinding toraks atau memenuju pleura viseralis melalui
cabang-cabang trakeobronkial. Luka tusuk atau luka tembak secara langsung melukai
paru-paru perifer menyebabkan terjadinya hemothoraks dan pneumotoraks di lebih dari
80% lesi di dada akibat benda ajam (Sharma, 2009).
Pada trauma tumpul pneumotoraks terjadi apabila pleura viseralis rusak akibat
fraktur atau dislokasi kosta. Kompresi dada secara tiba-tiba menyebabkan peningkatan
tekanan alveolar secara tajam dan kemudian terjadi ruptur alveoli. Saat alveoli ruptur
udara masuk ke rongga intersisial dan terjadi diseksi menuju pleura viseralis atau
mediastinum. Pneumotoraks terjadi saat terjadi ruptur pada pleura viseralis atau
mediastinum dan udara masuk ke rongga pleura. Manifestasi klinisnya dapat berupa

Fallen lung sign/peptic lung sign di mana hilus paru terletak lebih rendah dari normal
atau terdapat pneumotoraks persisten dengan chest tube terpasang dan berfungsi dengan
baik (Sharma, 2009).
Pneumotoraks traumatik noniatrogenik juga dapat terjadi akibat barotrauma.
Pada suhu konstan, volume massa udara berbanding terbalik dengan tekanannya,
sehingga apabila ditempatkan pada ketinggian 3050 m, volume udara yang tersaturasi
pada tubuh meningkat 1,5 kali lipat daripada saat di ketinggian permukaan laut. Pada
peningkatan tekanan tersebut, udara yang terjebak dalam bleb dapat mengalami ruptur
dan menyebabkan pneumotoraks. Hal ini biasanya terjadi pada kru pesawat terbang.
Sedangkan pada penyelam, udara yang terkompresi dialirkan ke paru-paru harus melalui
regulator dan sewaktu naik ke permukaan barotrauma dapat terjadi seiring dengan
penurunan tekanan secara cepat sehingga udara yang terdapat di paru-paru dapat
menyebabkan pneumotoraks (Sharma, 2009)

2.4 Klasifikasi Pneumotoraks Berdasarkan Jenis Fistulanya


2.4.1 Pneumotoraks Tertutup (Simple Pneumothorax)
Pada tipe ini, pleura dalam keadaan tertutup (tidak ada jejas terbuka pada dinding
dada), sehingga tidak ada hubungan dengan dunia luar. Tekanan di dalam rongga
pleura awalnya mungkin positif, namun lambat laun berubah menjadi negatif
karena diserap oleh jaringan paru disekitarnya. Pada kondisi tersebut paru belum
mengalami reekspansi, sehingga masih ada rongga pleura, meskipun tekanan di
dalamnya sudah kembali negatif.Pada waktu terjadi gerakan pernapasan, tekanan
udara di rongga pleura tetap negatif. Misal terdapat robekan pada pleura viseralis
dan paru atau jalan nafas atau esofagus, sehingga masuk vakum pleura karena
tekanan vakum pleura negatif (Alsagaff, 2009).
2.4.2 Pneumotoraks Terbuka (Open Pneumothorax)
Pneumotoraks terbuka yaitu pneumotoraks dimana terdapat hubungan antara
rongga pleura dengan bronkus yang merupakan bagian dari dunia luar karena
terdapat luka terbuka pada dada. Dalam keadaan ini tekanan intrapleura sama

10

dengan tekanan udara luar. Pada pneumotoraks terbuka tekanan intrapleura sekitar
nol. Perubahan tekanan ini sesuai dengan perubahan tekanan yang disebabkan oleh
gerakan pernapasan.Pada saat inspirasi tekanan menjadi negatif dan pada waktu
ekspirasi tekanan menjadi positif.Selain itu, pada saat inspirasi mediastinum dalam
keadaan normal, tetapi pada saat ekspirasi mediastinum bergeser ke arah sisi
dinding dada yang terluka (sucking wound) (Alsagaff, 2009).
2.4.3 Pneumotoraks Ventil (Tension Pneumothorax)
Pneumotoraks ventil adalah pneumotoraks dengan tekanan intrapleura yang positif
dan makin lama makin bertambah besar karena ada fistel di pleura viseralis yang
bersifat ventil. Pada waktu inspirasi udara masuk melalui trakea, bronkus serta
percabangannya dan selanjutnya terus menuju pleura melalui fistel yang terbuka.
Waktu ekspirasi udara di dalam rongga pleura tidak dapat keluar. Akibatnya
tekanan di dalam rongga pleura makin lama makin tinggi dan melebihi tekanan
atmosfer.Udara yang terkumpul dalam rongga pleura ini dapat menekan paru
sehingga sering menimbulkan gagal napas (Alsagaff, 2009).
2.5 Patofisiologi Pneumotoraks
Pneumotoraks diklasifikasikan atas pneumotoraks spontan, traumatik,
iatrogenik. Pneumotoraks spontan dibagi lagi menjadi pneumotoraks spontan primer dan
sekunder. Pneumotoraks traumatik disebabkan oleh trauma pada organ paru dan
pneumotoraks iatrogenik merupakan komplikasi dari intervensi diagnostik ataupun
terapeutik.
Pneumotoraks spontan primer terjadi tanpa kelainan atau penyakit paru yang
mendasarinya, namun pada sebuah penelitian dilaporkan bahwa bula subpleural
ditemukan pada 76-100% pasien pneumotoraks spontan primer dengan tindakan videoassisted thoracoscopic surgery dan torakotomi. Kasus pneumotoraks spontan primer
sering dihubungkan dengan faktor resiko merokok yang mendasari pembentukan bula
subpleural, namun pada sebuah penelitian dengan komputasi tomografi (CT-scan)

11

menunjukkan bahwa 89% kasus dengan bula subpleural adalah perokok berbanding
dengan 81% kasus adalah bukan perokok.
Mekanisme pembentukkan bula masih merupakan spekulasi namun sebuah
teori menjelaskan bahwa terjadi degradasi serat elastin paru yang diinduksi oleh rokok
yang kemudian diikuti oleh serbukan neutrofil dan makrofag. Proses ini menyebabkan
ketidakseimbangan

protease-antiprotease

dan

sistem

oksidan-antioksidan

serta

menginduksi terjadinya obstruksi saluran nafas akibat proses inflamasi. Hal ini akan
meningkatkan tekanan alveolar sehingga terjadi kebocoran udara ke jaringan interstitial
paru menuju hilus dan menyebabkan pneumomediastinum. tekanan di mediastinum akan
meningkat dan pleura parietalis pars mediastinum ruptur sehingga terjadi pneumotoraks.
Rongga pleura memiliki tekanan negatif, sehingga bila rongga ini terisi oleh
udara akibat rupturnya bula subpleural, paru-paru akan kolaps sampai tercapainya
keseimbangan tekanan tercapai atau bagian yang ruptur tersebut ditutup. Paru-paru akan
bertambah kecil dengan bertambah luasnya pneumotoraks. Konsekuensi dari proses ini
adalah timbulnya sesak akibat berkurangnya kapasitas vital paru dan turunnya PO2.
Sebuah penelitian lain menunjukkan bahwa faktor genetik berperan dalam
patogenesis terjadinya pneumotoraks spontan primer. Beberapa kasus pneumotoraks
spontan primer ditemukan pada kelainan genetik tertentu, seperti: sindrom marfan,
homosisteinuria, serta sindrom Birt-Hogg-Dube.
Pneumotorakas spontan sekunder terjadi akibat kelainan/penyakit paru yang
sudah ada sebelumnya. Mekanisme terjadinya adalah akibat peningkatan tekanan alveolar
yang melebihi tekanan interstitial paru. Udara dari alveolus akan berpindah ke interstitial
menuju hilus dan menyebabkan pneumomediastinum. Selanjutnya udara akan berpindah
melalui pleura parietalis pars mediastinal ke rongga pleura dan menimbulkan
pneumotoraks. Beberapa penyebab terjadinya pneumotoraks spontan sekunder adalah:

Penyakit saluran napas

12

COPD

Kistik fibrosis

Asma bronkial

Penyakit infeksi paru


o

Pneumocystic carinii pneumonia

Necrotizing pneumonia (infeksi oleh kuman anaerobik, bakteri gram negatif


atau staphylokokus)

Penyakit paru interstitial


o

Sarkoidosis

Fibrosis paru idiopatik

Granulomatosis sel langerhans

Limfangioleimiomatous

Sklerosis tuberus

Penyakit jaringan penyambung


o

Artritis rheumatoid

Spondilitis ankilosing

Polimiositis dan dermatomiosis

Sleroderma

Sindrom Marfan

Sindrom Ethers-Danlos

Kanker
o

Sarkoma

Kanker paru

Endometriosis toraksis

13

Pneumotoraks traumatik dapat disebabkan oleh trauma penetrasi maupun nonpenetrasi. Trauma tumpul atau kontusio pada dinding dada juga dapat menimbulkan
pneumotoraks. Bila terjadi pneumotoraks, paru akan mengempes karena tidak ada lagi
tarikan ke luar dinding dada. Pengembangan dinding dada pada saat inspirasi tidak diikuti
dengan pengembangan paru yang baik atau bahkan paru tidak mengembang sama sekali.
Tekanan pleura yang normalnya negatif akan meningkat hingga menyebabkan gangguan
ventilasi pada bagian yang mengalami pneumotoraks.
Pneumotoraks iatrogenik merupakan komplikasi dari prosedur medis atau
bedah. Salah satu yang paling sering adalah akibat aspirasi transtorakik (transthoracic
needle aspiration), torakosentesis, biopsy transbronkial, ventilasi mekanik tekanan positif
(positive pressure mechanical ventilation).Angka kejadian kasus pneumotoraks
meningkat apabila dilakukan oleh klinisi yang tidak berpengalaman.
Pneumotoraks ventil (tension pneumotoraks) terjadi akibat cedera pada
parenkim paru atau bronkus yang berperan sebagai katup searah. Katup ini
mengakibatkan udara bergerak searah ke rongga pleura dan menghalangi adanya aliran
balik dari udara tersebut. Pneumotoraks ventil biasa terjadi pada perawatan intensif yang
dapat menyebabkan terperangkapnya udara ventilator (ventilasi mekanik tekanan positif)
di rongga pleura tanpa adanya aliran udara balik.
Udara yang terperangkap akan meningkatkan tekanan positif di rongga pleura
sehingga menekan mediastinum dan mendorong jantung serta paru ke arah kontralateral.
Hal ini menyebabkan turunnya curah jantung dan timbulnya hipoksia. Curah jantung
turun karena venous return ke jantung berkurang, sedangkan hipoksia terjadi akibat
gangguan pertukaran udara pada paru yang kolaps dan paru yang tertekan di sisi
kontralateral. Hipoksia dan turunnya curah jantung akan menggangu kestabilan
hemodinamik yang akan berakibat fatal jika tidak ditangani secara tepat.

2.6 Diagnosis Pneumotoraks

14

2.6.1

Keluhan
a) Nyeri dada hebat yang tiba-tiba pada sisi paru terkena khususnya pada
b)

2.6.2

saat bernafas dalam atau batuk.


Sesak, dapat samapai berat, kadang bisa hilang dalam 24 jam, apabila

sebagian paru yang kolaps sudah mengembang kembali


c) Mudah lelah pada saat beraktifitas maupun beristirahat.
d) Warna kulit yang kebiruan disebabkan karena kurangnya oksigen (sianosis)
Pemeriksaan Fisik
a) Inspeksi: dapat terjadi pencembungan dan pada waktu pergerakan nafas,
tertinggal pada sisi yang sakit
b) Palpasi: Pada sisi yang sakit ruang sela iga dapat normal atau melebar,
iktus jantung terdorong kesisi thoraks yang sehat. Fremitus suara melemah
atau menghilang.
c) Perkusi: Suara ketok hipersonor samapi tympani dan tidak bergetar,
batas jantung terdorong ke thoraks yang sehat, apabila tekanannya tinggi
d) Auskultasi: suara nafas melemah sampai menghilang, nafas dapat amforik

2.6.3

apabila ada fistel yang cukup besar


Pemeriksaan Penunjang
a) Radiologis:
1. Tampak bayangan hiperlusen baik bersifat lokal maupun general
2. Pada gambaran hiperlusen ini tidak tampak jaringan paru, jadi avaskuler.
3. Bila pneumotoraks hebat sekali dapat menyebabkan terjadinya kolaps
dari paru- paru sekitarnya, sehingga massa jaringan paru yang terdesak
ini lebih padat dengan densitas seperti bayangan tumor.
4. Biasanya arah kolaps ke medial
5. Bila hebat sekali dapat menyebabkan terjadinya perdorongan pada
jantung misalnya pada pneumotoraks ventil atau apa yang kita kenal
sebagai tension pneumothorax
6. Juga mediastinum dan trakea dapat terdorong kesisi yang berlawanan.
b) BGA: untuk memeriksa kadar oksigen dalam darah pasien

2.7. Penatalaksanaan Pneumotoraks


2.7.1 Penatalaksanaan Awal pada Pneumotoraks
Penatalaksanaan awal pada semua pasien trauma adalah dilakukan stabilisasi
leher hingga dipastikan pasien tidak mengalami cedera servikal dengan cara memasang
cervical collar atau dengan kantong berisi pasir. Evaluasi tingkat kesadaran dengan
menyapa pasien dan dilaknjutkan dengan pemeriksaan ABC (airway, breathing,
circulation) (Boon, 2008).

15

Pada pemeriksaan jalan nafas yaitu membuka jalan nafas dengan jaw thrust (bila
dicurigai terdapat cedera servikal pada pasien tidak sadar)

atau head tilt chin lift

dilanjutkan dengan membersihkan rongga mulut dengan swab mengunakan jari telunjuk,
mempertahankan jalan nafas agar tetap terbuka. Pada pasien tidak sadar dilakukan
pemasangan orofaringeal tube untuk mencegah lidah jatuh dan menutup jalan nafas
(Boon, 2008).
Pemeriksaan pernafasan yaitu melihat, mendengar, dan merasakan dilakukan
secara bersamaan. Pada pasien dengan pneumotoraks perkembangan dinding dada
asimetris, deviasi trakea ke paru yang sehat,

JVP meningkat, suara nafas menurun

bahkan menghilang dan pada perkusi didapatkan hipersonor. Bila didapatkan tanda-tanda
tersebut, langsung dilakukan tindakan needle thoracostomy (Boon, 2008).
Pemeriksaan nadi karotis dan radialis didapatkan takikardi, akral dan memeriksa
capillary refill time. Dilakukan pemasangan intravenous line, bila terjadi perdarahan
masif dilakukan pemasangan double line dengan cairan kristaloid (Boon, 2008).
2.7.2 Penatalaksanaan Pneumotoraks Tertutup (Simple Pneumothorax)
Kebanyakan kasus simple pneumothoraces akan membutuhkan pemasangan
intercostal chest drain sebagai terapi definitif. Pneumothoraces kecil, khususnya yang
hanya terlihat dengan menggunakan gambaran tomografi komputer. Pemasangan chest
tube cocok pada kasus yang terdapat multiple injury, pasien yang menjalani anestesia
yang berkepanjangan, atau pasien yang akan ditransfer dengan jarak yang jauh dimana
deteksi peningkatan atau tension pneumothorax mungkin sulit atau tertunda (Brohi,
2004).

2.7.3 Penatalaksanaan Pneumotoraks Terbuka (Open Pneumothorax)


Oksigen harus diberikan melalui facemask. Intubasi harus dipertimbangkan
bila oksigenasi atau ventilasi tidak adekuat. Intubasi tidak boleh menunda pemasangan
chest tube dan penutupan luka. Manajemen definitif pada open pneumotoraks adalah
menutup luka dan segera memasang intercostal chest drain (Brohi, 2004).

16

Bila chest drain tidak tersedia dan pasien jauh dari fasilitas yang bisa
melakukan terapi definitif perban dapat diletakkan di atas luka dan diplester pada tiga
sisinya. Secara teori, hal tersebut bertindak sebagai katup-flap untuk memungkinkan
udara keluar dari pneumotoraks selama ekspirasi, namun tidak masuk selama inspirasi.
Hal ini mungkin sulit bila dilakukan pada luka yang luas dan efeknya sangat bervariasi.
Sesegera mungkin chest drain harus dipasang dan luka ditutup (Brohi, 2004).

2.7.4 Penatalaksanaan Tension Pneumothorax


2.7.4.1 Needle Thoracostomy
Manajemen klasik tension pneumothorax adalah dekompresi dada dengan
needle toracostomy. Jarum ukuran 14-16 G ditusukkan pada Intercostal Space (ICS) II
Mid Clavicular Line (MCL). Jarum dipertahankan hingga udara dapat dikeluarkan
melalui spuit yang terhubung dengan jarum. Jarum ditarik dan kanul dibiarkan terbuka di
udara. Udara yang keluar dengan cepat dari dada menunjukkan adanya tension
pneumothorax.

Manuver

ini

mengubah

tension

pnemothorax

menjadi

simple

pneumothorax (Brohi, 2004).


2.7.4.2 Pemasangan Chest Tube
Pemasangan chest tube merupakan terapi definitif pada tension pnemothorax.
Chest tube harus tersedia dengan cepat di ruang resusitasi dan pemasangannnya biasanya
cepat. Pemasangan terkontrol chest tube lebih baik untuk blind needle thoracostomy. Hal
ini menyebabkan status respiratori dan hemodinamik pasien akan menoleransi beberapa
menit tambahan untuk melakukan surgical

thoracostomy. Setelah pleura dimasuki

(diseksi tumpul), tekanan akan didekompresi dan pemasangan chest tube dapat dilakukan
tanpa terburu-buru. Hal ini terutama berlaku bagi pasien yang terventilasi manual dengan
tekanan positif (Brohi, 2004).

17

2.8 Komplikasi Pneumotoraks


Komplikasi yang dapat terjadi pada pneumotoraks antara lain adalah
pneumomediastinum dan emfisema subkutis. Pneumomediastinum dapat terjadi melalui
tiga tahap yang umum disebut dengan efek Macklin. Urutan kejadiannya adalah
terjadinya ruptur alveolar kemudian terjadi diseksi sepanjang seubung bronkovaskuler
menuju daerah hilus dan akhirnya udara mencapai mediastinum. Pneumomediastinum
jarang menyebabkan komplikasi klinis yang signifikan. Tetapi pada beberapa kasus,
tension pneumomediastinum dapat menyebabkan peningkatan tekanan mediastinum
sehingga terjadi penekanan langsung terhadap jantung atau menurunkan aliran darah
balik sehingga terjadi penurunan curah jantung. Pneumomediastinum dapat berkembang
menjadi emfiesema subkutis. Apabila udara pada subkutan dan mediastinum sangat
banyak dapat terjadi kompresi jalan napas dan jantung (Carolan, 2010).

Gambar 2.1 Pneumomediastinum Gambaran pneumomediastinum pada foto thoraks


tampak sebagai daerah radiolusens di sekitar batas jantung kiri.
Mediastinum berhubungan dengan daerah submandibula, retrofaringeal, dan
selubung pembuluh darah leher, dan toraks lateral (Carolan, 2010). Emfisema subkutis
terjadi akibat udara memasuki daerah-daerah tersebut dan bermanifestasi sebagai
pembengkakan tidak nyeri. Pada palpasi akan terasa seperti kertas. Gambaran radiologis
untuk emfisema subkutis adalah radiolusen di tepian struktur anatomi terkait.Komplikasi

18

ini dapat memperparah keadaan pasien dengan pneumotoraks akibat kompresi jalan
napas. Pertolongan pertama yang dapat dilakukan apabila terjadi distres adalah insisi kulit
dengan pisau pada daerah kulit yang mengalami pembengkakan (Paramasivam, 2008).

BAB III

19

PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Dari uraian sebelumnya dapat disimpulkan hal-hal sebagai berikut:
1. Pneumotoraks merupakan suatu kondisi dimana terdapat udara pada kavum pleura
akibat robeknya pleura viseralis atau robeknya dinding dada dan pleura parietalis.
2. Pneumotoraks diklasifikasikan berdasarkan mekanisme kejadian yakni spontan dan
primer, jenis fistel menjadi simple dan tension pneumotoraks, dan lokalisasinya.
3. Diagnosa pneumotoraks ditegakkan melalui anamnesa dan pemeriksaan fisik, serta
ditunjang oleh pemeriksaan radiologis.
4. Penatalaksanaan awal pneumotoraks dilakukan berdasarkan pemeriksaan Airway,
Breathing, dan Circulation sedangkan penatalaksanaan lanjutan seperti pemasangan
chest tube, thoracotomy, dan pleurodesis, dilakukan berdasarkan jenis pneumotoraks
dan perkembangan keadaan klinis pasien.
5. Komplikasi yang dapat berkembang dari kejadian pneumotoraks antara lain emfisema
subkutis dan pneumomediastinum dapat berlanjut menjadi depresi saluran napas
gangguan kontraksi jantung dan berujung pada kematian.

DAFTAR PUSTAKA
Alsagaff H, Mukty HA. 2009. Dasar-Dasar Ilmu Penyakit Paru. Surabaya: Airlangga
University Press.

20

Arief

N,

Syahruddin

E.

ui.com/tesis/pratamaAD.pdf.

@008.

Pneumotoraks.

Bascom

R.

http://www.pulmo-

2006.

Pneumotoraks.

http://www.emedicine.com/med/fulltopic/topic1855.htm
Bascom, R. 2011. Peumothorax. http://emedicine.medscape.com/article/424547.
Berck,
M.
2010.
Pneumothorax.
http://nefrologyners.wordpress.com/2010/11/03/pneumothorax-2/.
Boowan
JG.
2006
Pneumotoraks,
Tension
and

Traumatic.

Brohi

http://www.emedicine.com/emerg/TOPIC470.HTM.
K.
2004.
Chest
Trauma:

Brohi

http://www.trauma.org/archive/thoracic/CHESTpneumo.html.
K.
2004.
Chest
Trauma:
Pneumothorax-Tension.

Pneumothorax-Simple.

http://www.trauma.org/archive/thoracic/CHESTtension.html.
Carolan, PL. 2010. Pneumomediastinum. Medscape Reference.

Emedicine.

http://www.medscape.com/article/1003409. Chang AK. 2007. Pneumothorax,


Iatrogenic,

Spontaneous

and

Pneumomediastinum.

http://www.emedicine.com/emerg/TOPIC469.HTM.
Heffner, JE and Huggins, JT. 2004. Management of Secondary Spontaneous
Korom

Pneumthorax: Therss Confusion in the Air. Chest Journal; 125; 190-1192.


S, Conyurt
H, Missbach A, et al. 2011.
Pneumothorax.

http://www.patient.co.uk/doctor/Pneumothorax.htm.
Mackenzie, SJ, and Gray, A. 2007. Primary Spontaneous Pneumothorax: why all the
confusion over first-line treatment?. Journal of Royal College of Physicians of
Edinburgh; 37:335-338
McCool
FD,
Rochester

DF,

et

al.

2008.

Pneumothorax.

http://www.harrisonspractice.com/practice/ub/view/Harrisons
%20Practice/141278/all/Pneumothorax.
Paramasivam, E. 2008. Air Leaks, Pneumothorax, and Chest Drains: Subcutaneous
Emphysema, Pneumomediastinum, and Pneumopericardium. Cont edu Anaesth
Crit Care & Pain. 8(6): 204-209. Oxford University Press
Sahn SA, Heffner JE. Spontaneous Pneumothorax. N Eng J Med 2000; 342: 868-74
Ylmaz, A, Bayramgrler, B, Yazcolu, O, nver, M, Erturul, M, Gngr, N, Baran,
R. 2002. Iatrogenic Pneumothorax: Incidence and Evaluation of the Therapy.
Turkish Respiratory Journal, August 2002, Vol.3, No.2

21

You might also like