You are on page 1of 8

Simposium Nasional RAPI VII 2008

ISSN : 1412-9612

Prediksi Peningkatan Stabilitas Lereng Kawasan Wisata Ketep


dengan Sistem Perkuatan Rumput Akar Wangi

Hanggoro Tri Cahyo A.1 , Himawan Indarto2


Jurusan Teknik Sipil, Fakultas Teknik, Universitas Negeri Semarang
2
Jurusan Teknik Sipil, Fakultas Teknik, Universitas Diponegoro
Email: hangs.geotek@yahoo.com

Abstract
People around Ketep Tourism Area are still worrying about landslide disaster that happened in the rainy
season of 2006. They assumed that the disaster is going to happen again and the local government of
Magelang Regency has to overcome this problem in developing this tourism asset. The landslide was
triggered by the rain, disintegrated slope drainage system and the slope condition of the area. This area
has 10 - 40 slope condition and on the hard soil there is sandy silt soil layer with 12-17 meter thickness.
This paper was exploring the potential of vetiver system (rumput akar wangi) as the controller of surface
slides considered from the increasing of slope stability safety factor (S.F). The slope stability analysis
using finite element method (SSR-FEM) for slope model with the surface reinforced by the root was
conducted with some variation of slope angle. We have not considered influence factor of soil suction in
this paper. The prediction resulted from surface slides controlling with vetiver system showed that the
incerasing of S.F slope stability can reach 25% for slope with slide field position mostly cut the root layer.
And for slope with deeper slide field from root layer or just less cut from root layer, the vetiver system can
only be functioned as slope surface protection from erosion.
Keywords : erosion ; slope reinforcement ; vetiver
Pendahuluan
Kekhawatiran berulangnya peristiwa kelongsoran lereng di kawasan wisata Ketep - Kabupaten Magelang pada
musim penghujan tahun 2006 merupakan masalah yang dihadapi Pemerintah Daerah dalam pengembangan potensi
wisata. Kelongsoran pada saat itu dipicu oleh terjadinya hujan, sistem drainase lereng yang belum terintegrasi dan
kondisi kawasan yang berlereng. Pemilihan metode perkuatan lereng yang dilakukan pasca terjadinya longsor sesuai
dengan kondisi dan beban yang bekerja di atas lereng. Metode perkuatan ini meliputi perbaikan sistem drainase parsial,
pemasangan talud pasangan batu kali, penggantian timbunan tanah lanau menjadi tanah lempung dan pemasangan
terucuk bambu.
Berdasarkan hasil survey pada lokasi studi, beberapa kondisi lereng memungkinkan penanaman rumput akar
wangi sebagai alternatif pelindung permukaan lereng dari erosi sekaligus pengendali longsoran permukaan seperti pada
Gambar 1. Namun sebelum melangkah pada penanaman di lapangan, perlu terlebih dahulu dilakukan pengkajian potensi
tanaman rumput akar wangi dalam upaya pengendali longsoran permukaan ditinjau dari peningkatan faktor aman (F.S)
stabilitas lereng. Analisis stabilitas lereng dilakukan dengan metode elemen hingga (SSR-FEM) pada model lereng yang
permukaannya diperkuat akar dilakukan dengan beberapa variasi sudut lereng. Faktor pengaruh dari tegangan hisap (soil
suction) belum diperhitungkan dalam studi ini.
Kondisi Lokasi
Kondisi kawasan wisata Ketep Kabupaten Magelang merupakan daerah berlereng dangan kermiringan lereng
antara 10 - 40. Berdasarkan hasil 13 titik sondir yang dilakukan oleh Lab Mekanika Tanah UNNES dan 5 titik sondir
yang dilakukan oleh Lab Mekanika Tanah UNDIP pada tahun 2006, kedalaman tanah yang relatif keras (qc > 250
kg/cm2) berada pada kedalaman 12 -17 meter. Kondisi lereng ini didominasi oleh jenis tanah lanau kepasiran berwarna
coklat (qc rata-rata 25 kg/cm2) dengan hasil penyelidikan tanah disajikan pada Tabel 1. Berdasarkan hasil bor mesin
hingga kedalaman 15 meter pada lokasi Ketep Pass, muka air tanah (m.a.t) belum dijumpai hingga kedalaman tersebut.

S- 31

Simposium Nasional RAPI VII 2008

ISSN : 1412-9612

(a) Jalan akses menuju Ketep Pas

(b) Kondisi lereng yang berpotensi ditanami rumput akar wangi


Gambar 1. Kondisi lereng pada kawasan wisata Ketep

Perkuatan Tanah dengan Rumput Akar Wangi


Pemanfaatan tanaman rumput akar wangi (Vetiveria zizanioides / Chrysopogon zizanioides) dalam upaya
konservasi tanah dan air dikembangkan oleh Bank Dunia di India pada tahun 1980 dengan sebutan sistem vetiver.
Relatif murah dan sifatnya yang ramah lingkungan, sistem ini dalam 20 tahun terakhir tidak saja dimanfaatkan sebagai
pelindung permukaan lereng dari erosi dimana peran vegetasi cenderung hanya sebagai pemotong, penahan, perlambat,
dan infiltrasi, namun juga berkembang sebagai pengendali longsoran permukaan (kedalaman longsoran < 1,50 meter)
dengan peran vegetasi sebagai perkuatan, mereduksi kadar air dan penyangga seperti pada Gambar 2.
Vegetasi penutup pada lereng akan meningkatkan infiltrasi air sehingga akan meningkatkan tekanan air pori (u)
pada tanah dan menyebabkan instabilitas pada lereng. Meskipun demikian, hasil observasi lapangan sesungguhnya
menunjukkan kondisi yang lebih baik. Peningkatan infiltrasi diimbangi oleh proses penghabisan air dalam tanah yang
tinggi dan berlahan oleh rumput. Pada kondisi hujan dengan intensitas rendah, proses penghabisan akan mengurangi
kelembaban tanah hingga sejarak 1.5 meter dari barisan rumput yang ditanam. Proses ini akan meningkatkan infiltrasi
air pada daerah itu dan mereduksi limpasan air dan laju erosi. Meskipun demikian untuk mengurangi resiko dari rumput

S- 32

Simposium Nasional RAPI VII 2008

ISSN : 1412-9612

akar wangi pada lereng yang curam dengan kondisi intensitas hujan yang tinggi, berkenaan dengan tindakan
pencegahan, barisan akar wangi dapat ditanam pada kemiringan sekitar 0,5% sebagai terasering untuk mengalihkan
tambahan air guna menstabilkan saluran air drainase. (Truong et al, 2007)
Tabel 1. Hasil Penyelidkan Tanah di Kawasan Wisata Ketep
(LMT-FT Univ. Diponegoro, 2006)
Parameter
Satuan
Nilai
Kadar air (w)
%
44,23
Berat jenis (Gs)
2,6474
3
16,302
kN/m
Berat volume basah (b)
11,303
kN/m3
Berat volume kering (d)
17,033
kN/m3
Berat volume jenuh air (sat)
Porositas (n)
%
57,31
Angka pori (e)
1,3423
Klasifikasi USCS
SM
Erodibilitas (skala 0,02-0,7)
0,6 0,7
Butiran Kerikil
%
15
Butiran Pasir
%
56
Butiran Lanau
%
29
Butiran Lempung
%
0
Hasil Uji Geser Langsung
Kohesi (c)
kN/m2
13
21
Sudut geser dalam ()

Gambar 2. Uji coba penanaman rumput akar wangi pada lereng 70 dengan jenis tanah
residual laterite di Bandung - Indonesia. (Dokumentasi Truong P., 2008)
Menurut Hengchaovanich (2003), longsoran permukaan sedalam 1-1,5 m merupakan masalah terbesar yang
dihadapi setelah pembentukan lereng terutama pada daerah dengan hujan yang lama dan intensitas yang tinggi. Pada
kasus ini, penanaman rumput akar wangi dapat memperkuat lapisan 1-1,5 m yang cenderung tergelincir seperti pada
model mekanisme pengendalian kelongsoran lereng oleh akar wangi pada Gambar 3 berikut ini.

S- 33

Simposium Nasional RAPI VII 2008

ISSN : 1412-9612

Gambar 3. Mekanisme pengendalian kelongsoran lereng oleh akar wangi.


(Hengchaovanich, D., 2003)
Kriteria keruntuhan yang digunakan dalam analisis stabilitas lereng adalah kriteria keruntuhan Mohr-Coulomb.
Kekuatan geser tanah yang tersedia atau yang dapat dikerahkan oleh tanah di sepanjang bidang gelincir (longsor) adalah
:
= c + ( - u).tan
(1)
dengan,
= tegangan geser tanah (kN/m2)
c = kohesi efektif tanah (kN/m2)
= tegangan normal (kN/m2)
= sudut geser dalam efektif ()
u = tekanan air pori (kN/m2)
Dalam Gray dan Sotir (1996) dijelaskan secara umum bahwa kemampuan akar meningkatkan kuat geser tanah
terutama melalui transfer tegangan geser yang berkembang pada matrik tanah ke dalam tahanan tarik serat akar melalui
sudut gesek di sepajang serat akar yang tertanam dalam tanah (Gambar 4). Kenaikan kuat geser komposit serat akartanah ini dapat di berikan oleh persamaan :
s = tR (sin + cos tan)
dengan,
s = kenaikan kuat geser (kN/m2)
tR = tegangan tarik yang termobilisasi dari serat akar (kN/m2)
= sudut ditorsi geser pada zona geser ()
= sudut geser dalam tanah ()

(2)

Tegangan tarik yang termobilisasi dari serat akar (tR) bergantung pada besarnya perpanjangan serat dan
penjepitan fiber oleh matrik tanah. Mobilisasi secara penuh dapat terjadi hanya jika serat dapat cukup mengalami
perpanjangan dan serat di dalam akar tidak mengalami selip atau tercabut dari matrik tanah. Agar serat akar tidak selip
atau tercabut, serat akar harus cukup panjang dan mempunyai tahanan geser, tertanam di ujungnya dan atau mengalami
tegangan kekang cukup tinggi untuk menambah gesekan pada interface. Putusnya serat akar, kurang cukupnya
perpajangan serat dan serat mengalami selip dan tercabut merupakan respon yang mungkin terjadi pada saat pergeseran
suatu komposit akar perkuatan tanah.
Faktor utama yang mempengaruhi kekuatan geser dari komposit serat akar-tanah adalah kuantitas dan arah
distribusi dari akar, kekuatan tarik serat akar, nilai modulus Youngs akar, kekuatan geser tanah dan interaksi tanah-akar.
Pada perkuatan tanah, sudut gesek dalam tanah () pada tanah komposit pada dasarnya konstan sedangkan nilai kohesi
nampak (apparent) meningkat dengan peningkatan luas penampang akar (AR) dan kontibusi kuat tarik akar (tR).
Peningkatan kekuatan geser dapat dipahami sebagai hasil dari peningkatan pada parameter kohesi. (Operstein dan
Frydman,2000).

S- 34

Simposium Nasional RAPI VII 2008

ISSN : 1412-9612

Gambar 4. Diagram skematik model serat akar tegak lurus


(Gray dan Sotir,1996).
Hasil uji geser langsung di lapangan menurut Van Beek et al.(2006) dalam Norris dan Greenwood (2006)
menunjukkan bahwa untuk jenis rumput akar wangi memiliki kenaikan nilai kohesi (cR) sebesar 7,50 kN/m2. Bahkan
pada penelitian Cazzuffi et al (2006) peningkatan kenaikan nilai kohesi (cR) rumput akar wangi yang diuji dengan uji
geser langsung diameter 20 cm dapat mencapai 15 kN/m2. Pada studi yang dilakukan Hengchaovanich dan Niolaweera
(1996) dalam Truong et al (2007) pada uji geser blok tanah menunjukkan penetrasi akar rumput akar wangi selama 2
tahun dengan jarak tanam 15 cm dan jarak antar baris 50 cm menghasilkan kenaikan kuat geser rata-rata (cR) sebesar 5,0
kN/m2 seperti pada Gambar 5. Menurut Norris dan Greenwood (2006) manfaat yang dapat diyakini dari penambahan
nilai kohesi terbatas pada kedalaman yang dangkal sesuai dengan penyebaran akar yang terkonsentrasi terutama pada
kedalaman 1 meter. Penambahan nilai kohesi ini lebih cocok untuk jenis tanaman rumput dan semak belukar dimana
sebaran kedalaman dari rumput serabut konsisten dan mudah didefinisikan.

Gambar 5. Pengaruh kedalaman akar terhadap kenaikan kekuatan geser rumput akar
wangi (Hengchaovanich dan Niolaweera (1996) dalam Truong et al (2007)).
Pada perkuatan tanah dengan akar rumput akar wangi, efek kenaikan nilai kohesi (cR) dimasukkan kedalam
persamaan kekuatan geser yang yang dapat dikerahkan oleh tanah komposit sehingga menjadi :
= c + cR + ( - u).tan

(3)

Pada studi permodelan efek vegetasi pada stabilitas lereng yang dilakukan Chok et al (2004) dengan metode
elemen hingga (FEM) menunjukkan bahwa secara umum perkuatan lereng dengan vegetasi akan memainkan peran

S- 35

Simposium Nasional RAPI VII 2008

ISSN : 1412-9612

penting dalam menstabilkan kelongsoran dengan bidang longsor yang dangkal (kedalaman longsoran 1,5 5 meter).
Efek vegetasi lebih signifikan pada lereng dengan kohesi (c) yang rendah dimana bidang longsor planar dangkal
mungkin terjadi. Sedangkan untuk lereng dengan nilai kohesi (c) yang tinggi, bidang longsor yang terjadi tergolong
dalam (kedalaman longsoran 520 meter), sehingga kurang efektif jika perkuatan lereng menggunakan vegetasi.
Hujan Pemicu Longsoran
Dalam Karnawati (2005) didefiniskan bahwa hujan pemicu longsoran adalah hujan yang mempunyai curah
tertentu dan berlangsung selama periode tertentu sehingga air yang dicurahkan dapat meresap ke dalam lereng dan
mendorong massa tanah untuk longsor. Mekanisme terjadinya longsoran dengan melalui kenaikan muka air tanah sering
terjadi pada lereng-lereng tanah residual dan koluvial di pulau Jawa. Lapisan tanah residual dan koluvial tersebut
berfungsi sebagai aquifer bebas dan aquifer yang menggantung, dengan kondisi muka air tanah sangat fluktuatif,
tergantung besarnya infiltrasi air hujan. Jadi dalam lapisan tanah tersebut terdapat dua zona yakni zona jenuh air pada
horison tanah kurang lolos air dan zona tidak jenuh air pada horizon tanah yang lebih lolos air.
Air hujan yang terinfiltrasi melalui zona yang lolos air, akan terjebak di dalam zona yang relatif kurang lolos air
(zona jenuh air). Semakin tinggi curah hujan atau semakin lama hujan berlangsung akan semakin banyak air yang
terinfiltrasi, sehingga zona yang tidak jenuh air yang lebih lolos air semakin lama akan semakin jenuh air. Pergerakan
kejenuhan air ini dimulai dari bagian bawah lereng. Selain mengakibatkan kenaikan muka air tanah atau kenaikan
tekanan air pori (u), meresapnya air hujan juga dapat mengakibatkan :
1.
2.
3.
4.
5.

Peningkatan berat volume tanah ()


Berkurangnya atau hilangnya tegangan hisap/suction (tekanan air pori negatif) di zona tidak jenuh air.
Keberadaan tekanan air pori negatif dalam tanah akan menambah tegangan efektif dan menambah
kestabilan lereng.
Peningkatan tekanan air pori positif di dalam tanah. Pada saat tekanan air pori positif dalam tanah
bertambah, maka tegangan efektif berukurang dan mengurangi kestabilan lereng.
Erosi lereng
Perubahan kandungan mineral penyusun massa tanah atau batuan pada lereng.

Sedangkan jika dibandingkan dengan pendekatan klasik faktor aman dimana tegangan hisap/suction diabaikan,
dampak dari suction lebih berarti pada tanah lempung daripada tanah lanau (Griffiths, 2005).
Hasil dan Pembahasan
Analisis stabilitas lereng dilakukan dengan metode elemen hingga (SSR-FEM) menggunakan software Phase2.
Model elemen hingga yang digunakan plain-strain 2 dimensi dengan model material yang digunakan Mohr-Coulomb.
Pada model material tanah Mohr-Coulomb material ada 6 parameter tanah yang diperlukan yakni Sudut geser dalam
tanah (), Kohesi tanah (c), sudut dilatasi (), Modulus Youngs (E), Poisson rasio () and berat volume tanah ().
Parameter Modulus Youngs (E) dan Poisson rasio () hanya berpengaruh sedikit pada prediksi besarnya faktor aman
(S.F) stabilitas lereng. Sehingga pada studi ini kedua parameter tersebut diasumsikan konstan.
Kedalaman tanah yang diperkuat oleh sistem rumput akar wangi adalah -3.00 meter dari permukaan tanah dengan
model bidang longsor lereng translasional seperti pada Gambar 6. Besarnya efek kenaikan nilai kohesi (cR) akibat
perkuatan akar diambil sebesar 5 kN/m2 dengan kedalaman efektif perkuatan adalah 1,5 meter. Kondisi yang ditinjau
dalam studi ini adalah kelongsoran lereng yang dipicu oleh terjadinya hujan dengan asumsi kedalaman kelongsoran yang
terjadi :
1.
2.
3.

Kelongsoran permukaan (kedalaman bidang longsor (H) < 1,5 meter)


Kelongsoran dangkal (H=1,5 5 meter).
kelongsoran dalam (H > 5 meter).

Asumsi ini diperlukan untuk agar nilai S.F dapat dibandingkan untuk tiap kedalaman bidang longsor yang
berbeda dengan sudut lereng yang bervariasi. Berdasarkan hasil prediksi analisis stabilitas lereng pada kawasan wisata
Ketep (Gambar 7), pada kondisi bidang longsor yang dalam (H=12 meter) dengan sudut lereng diatas 20 nilai S.F <
1,30, sehingga diperlukan perhatian khusus dari pihak pengelola pada saat terjadinya hujan pemicu longsoran. Efek
perkuatan akar wangi pada lereng dengan bidang longsor dangkal (H=5 meter) tidak berpengaruh signifikan pada
peningkatan nilai F.S. Hal ini disebabkan bidang longsor yang terjadi lebih dalam dari lapisan akar atau hanya
memotong sebagian kecil dari lapisan akar, dalam kondisi ini tanaman rumput akar wangi hanya dapat berfungsi sebagai

S- 36

Simposium Nasional RAPI VII 2008

ISSN : 1412-9612

pelindung permukaan lereng dari erosi. Hasil prediksi dari upaya pengendalian longsoran permukaan dengan rumput
akar wangi menunjukkan peningkatan F.S stabilitas lereng dapat mencapai 25% pada lereng dengan posisi bidang
longsor sebagian besar memotong lapisan akar. Kenaikan nilai F.S yang signifikan dari perkuatan rumput akar wangi
adalah pada kondisi kelongsoran permukaan dengan nilai kohesi tanah (c) = 0 yakni sekitar 80% dari kondisi tanpa
adanya perkuatan.

Gambar 6. Model geometri lereng dengan H = 5 meter dan bidang longsor yang terjadi.

Faktor Aman Stabilitas Lereng (S.F)


9

H = 12 meter
(Eksisting)
H = 5 meter
(Eksisting)
H = 5 meter
(Perkuatan)
H=1,5 meter
(Eksisting, C=0)
H=1,5 meter
(Perkuatan, C=0)
H=1,5 meter
(Eksisting)
H=1,5 meter
(Perkuatan)

8
7
Nilai F.S

6
5
4
3
2
1
0
10

20

30

40

Kemiringan Lereng (derajat)

Gambar 7. Nilai faktor aman stabilitas lereng (F.S) untuk kondisi lereng yang disimulasikan..

S- 37

Simposium Nasional RAPI VII 2008

ISSN : 1412-9612

Kesimpulan
Beberapa kesimpulan yang dapat disampaikan dari penelitian ini adalah :
1.
2.

3.
4.

Kondisi lereng eksisting haruslah cukup stabil terlebih dahulu sebelum dilakukan upaya pengendalian
longsoran permukaan dengan rumput akar wangi.
Efek perkuatan akar wangi pada lereng dengan bidang longsor dangkal tidak berpengaruh signifikan
pada peningkatan nilai F.S. Hal ini disebabkan bidang longsor yang terjadi lebih dalam dari lapisan akar
atau hanya memotong sebagian kecil dari lapisan akar, dalam kondisi ini tanaman rumput akar wangi
hanya dapat berfungsi sebagai pelindung permukaan lereng dari erosi.
Hasil prediksi dari upaya pengendalian longsoran permukaan dengan rumput akar wangi menunjukkan
peningkatan F.S stabilitas lereng dapat mencapai 25% pada lereng dengan posisi bidang longsor
sebagian besar memotong lapisan akar.
Kenaikan nilai F.S yang signifikan dari perkuatan rumput akar wangi adalah pada kondisi kelongsoran
permukaan dengan nilai kohesi tanah (c) = 0 yakni sekitar 80% dari kondisi tanpa adanya perkuatan.

DAFTAR PUSTAKA
Cazzuffi, D., Corneo, A., Crippa, E., (2006), Slope stabilisation by perennial gramineae in Southern Italy: plant
growth and temporal performance, Geotechnical and Geological Engineering, Springer.
Chok Y.H, Kaggwa, W.S.,Jaksa, M.B, Griffiths, D.V., (2004), Modeling the Effects of Vegetation on Stability of
Slopes, Proseding 9th Australia New Zeland Conference on Geomechanics, Aukland..
Gray, D.H, Sotir, R.B, (1996), Biotechnical and Soil Bioengineering slope Stabilization, John Wiley & Sons, New
York.
Griffiths D.V, Lane P.A, (1999), Slope Stability Analysis by Finite Elements, Geotechnique, Vol 49 No.3, pp 38t-403.
Griffiths. D. V., Lu. N, (2005), Unsaturated Slope Stability Analysis with Steady Infiltration or Evaporation Using
Elasto-plastic Finite Elements, Int. J. Numer. Anal. Meth. Geomech., 29:249267
Hengchaovanich, D., (2003), Vetiver System for Slope Stabilization : Reviewer, The 3th International Conference on
Vetiver ICV3, Guangzhou, China
Karnawati, D., (2005), Bencana Alam Gerakan Massa Tanah di Indonesia dan Upaya Penanggulangannya, Jurusan
Teknik Geologi FT UGM, ISBN 979-95811-3-3, Jogyakarta.
KEHATI, (2008), Flora Kita - Keanekaragaman Hayati Tumbuhan Indonesia : Detil data Vetiveria zizanioides Stapf,
http://www.kehati.or.id
Norris, .J.E, Greenwood, J.R, (2006), Assessing The Role of Vegetation on Soil Slope in Urban Area, IAEG 2006, The
Geology Society of London.
Operstein, V, Frydman, S., (2000), The Influence of Vegetation on Soil Strength, Jurnal Ground Improvement (20004) pp 81-89, Thomas Telford.
Truong, P., Van, T.T, Pinners, E., (2007), Vetiver System Application : Technical Reference Manual, The Vetiver
Network International.

S- 38

You might also like