You are on page 1of 30

STUDI KOMUNITAS BENTOS BERDASARKAN

KEANEKARAGAMAN DAN INDEKS SIMILARITAS


DI WADUK CENGKLIK BOYOLALI
Naskah Publikasi
Skripsi
Untuk memenuhi sebagian persyaratan
guna memperoleh gelar Sarjana Sains

Oleh :
Ajeng Tri Purnani
NIM. M 0404020

JURUSAN BIOLOGI
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
UNIVERSITAS SEBELAS MARET
SURAKARTA
2009

PERSETUJUAN
Naskah Publikasi

STUDI KOMUNITAS BENTOS BERDASARKAN


KEANEKARAGAMAN DAN INDEKS SIMILARITAS DI
WADUK CENGKLIK BOYOLALI
oleh:
Ajeng Tri Purnani
NIM. M 0404020
Telah disetujui untuk dipublikasikan

Surakarta,

Pebruari 2009

Menyetujui
Pembimbing I

Pembimbing II

Dr. Sunarto,M.S
NIP. 131 947 766

Dr. Prabang Setyono, M.Si


NIP. 132 240 171

Mengetahui
Ketua Jurusan Biologi

Dra. Endang Anggarwulan, M.Si


NIP. 130 676 864

STUDY OF BENTOS COMMUNITY BAS ED ON


DIVERSITY AND SIMILARITY INDEX IN CENGKLI K DAM
BOYOLALI
AJENG TRI PURNANI
Department of Biology, Faculty of Mathematics and Natural Sciences,
Sebelas Maret University Surakarta
ABSTRACT
Cengklik Dam is a multifungtion fresh water teritory. The important think
how to know bentos community are actual ecology condition indicatore some
teritory and also as an information about wealth on.
The aims of this reaserch were to know influences water quality and bentos
community stucture and also to know bentos community structure based on
diversity and similarity index in Cengklik Dam Boyolali.
The observation was done on some point zonation which different
characterly habitat from water teritory Cengklik Dam. This reserch was hold from
Juli uo to Oktober 2008. Steps on this research are bentos sampling, water
sampling, soil (substrate) sampling and decision, bentos analisis and
identifikation, and measurement abiotic environment factor. From the data wich
be received then it are to compare with qualities standard, counted diversity index
and similarity index, and also analysis correlation and regretion between some
variable of environment factor with index diversity.
water and soil qualities (temperature, purity, pH, DO, phospat, and calcium),
based on study and bentos community structure analisis in the water ecosystem at
Cengklik Dam, Boyolali to support aquatic organism (bentos) life so that it areal
suitable developed for aquaculture. Result showed that bentos community at
increase water quality area with scratch a way (station I and V) better than
karamba area and out let (station II and VI) wich were pointed by species
number, medium diversity index, and 100% similarity index.
Keywords : bentos community, diversity index, similarity index, Cengklik dam.

PENDAHULUAN
Waduk Cengklik merupakan salah satu bentuk daerah perairan tawar
multifungsi, baik sebagai sarana irigasi, sarana rekreasi, budidaya ikan, sarana
pengendalian banjir, reservoir, juga sebagai habitat bagi ikan, plankton, nekton,
dan bentos. Pengembangan kegiatan terutama wisata, perikanan dan pertanian di
kawasan Waduk Cengklik merupakan sumber limbah utama bahan organik dan
nutrien ke lingkungan perairan. Menurut Barg (1992) limbah tersebut dapat
menyebabkan hipernutrifikasi yang diikuti oleh peningkatan sedimentasi, siltasi,
hipoksia, perubahan produktivitas, dan struktur komunitas bentos.
Bentos merupakan kelompok organisme yang hidup di dalam atau di
permukaan sedimen dasar perairan. Peran organisme tersebut di dalam ekosistem
akuatik adalah: melakukan proses mineralisasi dan daur ulang bahan organik,
sebagai bagian dalam rantai makanan detritus dalam sumber daya perikanan, dan
sebagai bioindikator perubahan lingkungan. Bentos memiliki sifat kepekaan
terhadap beberapa bahan pencemar, mobilitas yang rendah, mudah ditangkap dan
memiliki kelangsungan hidup yang panjang. Oleh karena itu peran bentos dalam
keseimbangan suatu ekosistem perairan dapat menjadi indikator kondisi ekologi
terkini pada kawasan tertentu (Petrus dan Andi, 2006).
Selain limbah dari sisa pakan dan faeces, penggunaan pestisida dan pupuk
anorganik serta cemaran dari aktivitas masyarakat akan berdampak pada
penurunan keragaman jenis bentos. Ekosistem dengan tingkat keragaman jenis
yang tinggi akan lebih stabil dan kurang terpengaruh oleh tekanan dari luar
dibandingkan dengan ekosistem dengan keragaman yang rendah (Boyd, 1999).
Keragaman jenis merupakan parameter yang sering digunakan untuk mengetahui
tingkat kestabilan yang mencirikan kekayaan jenis dan keseimbangan suatu
komunitas. Menurut Widodo (1997), faktor utama yang mempengaruhi jumlah
bentos, keragaman jenis, dan dominasi, antara lain adanya kerusakan habitat
alami, pencemaran kimiawi, dan perubahan iklim. Levinton (1982) dalam Petrus
dan Andi (2006) menyatakan bahwa karakteristik sedimen mempengaruhi
distribusi, morfologi fungsional, dan tingkah laku bentos. Perbedaan tipe substrat

yang dicirikan oleh ukuran partikel merupakan faktor utama yang menentukan
adaptasi dan distribusi bentos.
Penurunan mutu lingkungan yang tidak terkendali dan diiringi oleh
berkembangnya organisme patogen akan bermuara pada penurunan kesejahteraan
masyarakat. Pengelolaan

lingkungan

yang

dapat

memacu kesejahteraan

masyarakat secara berlanjut harus dilakukan dengan mempertimbangkan


kemampuan alami yang dibentuk oleh keragaman hayati. Perbaikan mutu
lingkungan secara artifisial akan berbiaya dan berisiko tinggi, sehingga konsep
pemulihan secara alami menjadi alternatif yang paling baik. Komponen biotik dan
abiotik di kawasan Waduk Cengklik memiliki peran spesifik, namun saling
berkaitan satu dengan yang lainnya untuk mempertahankan kemantapan dan
kesuburan kawasan tersebut (Petrus dan Andi, 2006).
Arti penting mengetahui struktur komunitas bentos antara lain sebagai
indikator kondisi ekosistem terkini suatu kawasan tertentu dan juga sebagai
informasi tentang kekayaan yang terkandung di Waduk Cengklik. Atas dasar latar
belakang masalah, maka dilakukan penelitian dengan judul Studi Komunitas
Bentos Berdasarkan Keanekaragaman dan Indeks Similaritas di Waduk Cengklik
Boyolali untuk mengetahui struktur komunitas bentos yang ada di Waduk
Cengklik Boyolali sebagai informasi pendukung yang akan digunakan oleh
Pemerintah Daerah Kabupaten Boyolali dalam upaya pengelolaan dan
pengembangan potensi wilayah yang dimilikinya.

Bahan dan Metode


A. Bahan
1. Pengambilan Sampel Benthos : formalin 4%.
2. Pengambilan Sampel dan Penentuan Tipe Sedimen (Substrat) : H2O2 50%,
HCl 2 N, HCl 0,2 N, NaOH 1 N.
3. Pengukuran Nitrat : larutan NaCl, asam Sulfat, larutan campuran brusin dan
asam sulfat.

4. Pengukuran Kalsium : NaOH 1 N, KCN 1%, larutan indikator


Mureksid/serbuk indikator Mureksid Triturat/ serbuk EBB-R, larutan EDTA
0,01 M, (HNO3 pekat, sampel air, larutan standar Ca).
5. Pengukuran Phosfat : Contoh uji, larutan amonium molibdat, serbuk asam
askorbat, air suling.
6. Pengukuran Magnesium : Benda uji, larutan penyangga pH 10, indikator
EBT, larutan EDTA 0,01 M.
B. Metode
Pengambilan sampel di obyek penelitian dilakukan pada beberapa titiktitik zonasi yang mewakili karakter habitat yang berbeda dari wilayah perairan
Waduk Cengklik, yakni: Stasiun I, yakni daerah aliran masuk/mulut sungai yang
berasal dari Sungai Centhing dengan skala aliran kecil. Stasiun II, yakni daerah
keramba. Stasiun III, terletak di daerah tengah Waduk. Stasiun IV, terletak di
daerah air terperangkap/tidak ditemukan arus air. Stasiun V, terletak di daerah
litoral/daerah dengan penetrasi cahaya mampu mencapai dasar perairan. Stasiun
VI, terletak di daerah aliran keluar/pintu air.
Dalam penelitian melalui beberapa tahapan, yaitu: pengambilan sampel
bentos dengan menggunakan eickman grab, pengambilan sampel air dengan water
sample, pengambilan dan penentuan tipe sedimen, pengamatan dan identifikasi
bentos dengan buku Standart Methods for The Examination of Water and Waste
Water oleh Clesceri, et al., (1998) serta buku limnology karangan Goldman dan
Horne (1983), pengukuran parameter fisika dan kimia kualitas prairan (pH,
temperatur, DO, Kejernihan, nitrat, phospat, kalsium, dan magnesium).
Seluruh data yang dihasilkan dikumpulkan dan dibuat tabel sehingga
memudahkan proses perhitungan dan analisa yang meliputi: kualitas perairan,
perhitungan Indeks Keanekaragaman dan Indeks Similaritas, uji Korelasi dan
Regresi, Uji Anava pada tingkat signifikasi = 0,05 dan dilanjutkan dengan
DMRT 5%, jika terdapat beda secara signifikan.

HASIL DAN PEMBAHASAN


A. Kualitas Perairan Waduk Cengklik, Boyolali
Pencemaran ekosistem perairan paling sering terjadi dan berdampak besar
terhadap organisme hidup di dalamnya, juga bagi kehidupan manusia. Waduk
Cengklik sebagai salah satu bentuk ekosistem perairan tak luput dari
permasalahan tersebut. Parameter lingkungan habitat perairan Waduk Cengklik,
Boyolali yang diukur dalam penelitian ini meliputi: suhu, kejernihan, tekstur tanah
sedimen, pH, DO, kandungan Nitrat, Phospat, Kalsium, dan Magnesium.
Seperti ditunjukkan pada tabel 2 mengenai parameter faktor lingkungan
baik fisik maupun kimia yang diukur pada tiap stasiun pengamatan di wilayah
perairan Waduk Cengklik, Boyolali.
Tabel 1. Data Parameter fisika dan Kimia di Waduk Cengklik, Boyolali

No.

Parameter

1.

Suhu (C)

2.

Stasiun
I

II

III

IV

VI

25,0

32,0

30,7

28,3

29,3

28,7

Kejernihan (cm)

33

43

34

37

41,5

42

3.

pH

7,93

7,97

8,49

8,12

7,45

8,03

4.

DO (ppm)

6,53

5,13

5,65

5,87

6,33

7,33

5.

Nitrat (NO3) (ppm) 978,41

440,67

190,92

521,75 1941,88

700,54

6.

Phospat (ppm)

0,07

0,27

0,11

0,07

0,10

0,23

7.

Kalsium (ppm)

236,90

156,63

279,01

260,02

168,78

155,52

8.

Magnesium (ppm)

143,91

523,33

106,31

157,96

444,33

472,43

Parameter fisik (suhu) dapat menjadi faktor penentu atau pengendali


kehidupan flora dan fauna akuatik.Beberapa faktor yang dapat mempengaruhi
besarnya suhu antara lain adalah waktu pengukuran dan intensitas terik matahari
yang sampai dan diserap oleh air. Pada penelitian kali ini pengukuran dilakukan
pada hari yang sama dan rentang waktu yang tidak terlampau besar serta secara
composite. Pengukuran yang dilakukan lebih awal yakni pada pukul 9.30 WIB
menghasilkan besaran suhu 25-30C sedangkan pengukuran suhu pada stasiun II

pukul 10.30 WIB melebihi 30C, yakni 32C. Hasil pengukuran suhu tersebut
menurut Wiryanto dan Pitoyo (2002), masih dipandang baik bagi kehidupan
organisme akuatik. Suhu perairan Waduk Cengklik, berarti masih berada di dalam
ambang batas yang ditentukan dalam Baku mutu air PPRI no. 82 Th. 2001 tentang
pengelolaan kualitas air dan pengendalian pencemaran air kelas II. Permana
(2003) menyatakan bahwa pada daerah tropik secara umum suhu maksimal 30C
masih mungkin untuk kehidupan akuatik, amplitudo suhu harian optimal bagi
kelangsungan hidup biota perairan adalah lebih kecil atau sama dengan 5C.
Berdasarkan penjelasan mengenai hasil pengukuran suhu air tersebut di atas,
berarti perairan Waduk Cengklik, Boyolali memiliki kualitas perairan yang cukup
baik.
Pengukuran kejernihan bertujuan untuk mengetahui seberapa besar
kemampuan cahaya matahari dapat menembus kedalaman perairan. Kejernihan
perairan menurut Asdak (2001) dapat dianggap sebagai indikator kemampuan air
dalam meloloskan cahaya yang jatuh di atas badan air, apakah cahaya tersebut
kemudian disebarkan atau diserap oleh air tersebut. Besarnya cahaya matahari
yang masuk ke perairan juga dapat meningkatkan suhu perairan tersebut, sehingga
dapat mempengaruhi kehidupan akuatik seperti yang diungkapkan sebelumnya.
Tingkat kejernihan tidak tercantum, di dalam Baku mutu air PPRI no. 82 Th. 2001
tentang pengelolaan kualitas air dan pengendalian pencemaran air karena
dianggap tidak atau kurang memadai untuk digunakan sebagai indikator kualitas
air.
Parameter kimia (pH) air biasanya dimanfaatkan untuk menentukan
indeks pencemaran. pH pada perairan Waduk Cengklik berkisar antara 7,45-8,49 ,
berdasarkan pada Baku mutu air PPRI no. 82 Th. 2001 tentang pengelolaan
kualitas air dan pengendalian pencemaran air kelas dua, kisaran pH tersebut masih
aman bagi perikanan dan pertanian yakni berada diantara 6-9. Berdasarkan
penjelasan mengenai hasil pengukuran pH air, berarti perairan Waduk Cengklik,
Boyolali memiliki kualitas perairan yang cukup baik.
Pengukuran DO menurut Odum (1993) dipengaruhi oleh faktor fisika,
kimia, dan biologi, besarnya oksigen terlarut dalam air umumnya tidak melebihi

dari 10 ppm. Berdasarkan hasil pengukuran DO di perairan Waduk Cengklik yaitu


berkisar antara 5,13-7,33 ppm yang nampak pada tabel 1 tersebut di atas, menurut
Baku mutu air PPRI no. 82 Th. 2001 tentang pengelolaan kualitas air dan
pengendalian pencemaran air masih berada di dalam kisaran 4-9 ppm.
Berdasarkan penjelasan mengenai hasil pengukuran DO air, berarti perairan
Waduk Cengklik, Boyolali memiliki kualitas perairan yang cukup baik.
Kondisi DO perairan Waduk Cengklik, dipengaruhi oleh beberapa faktor
diantaranya adalah keberadaan alga jenis Hydrilla verticillata yang secara sengaja
dikembangkan di perairan Waduk Cengklik. Hal ini terutama dilakukan pada
stasiun II dan VI. Keberadaan alga di stasiun II tidak berlangsung lama, karena
dimungkinkan kualitas perairan pada stasiun tersebut tidak mendukung bagi
kehidupan alga, selain itu aktivitas pembudidayaan ikan yang dilakukan oleh
masyarakat mengurangi area hidup alga dan sisa pakan yang menjadi limbah
mengakibatkan toksisitas terhadap organisme akuatik lain termasuk alga dan
bentos. Keberadaan alga pada stasiun VI sebagai daerah out let diharapkan dapat
meningkatkan DO dan sebagai sarana tempat tinggal, perlindungan, serta
berkembang biak bagi ikan secara alami. Peningkatkan DO pada stasiun VI
berdasarkan penelitian ini nampak dengan nilai yang paling besar yakni 7,33 ppm.
Kandungan nitrat di dalam perairan dapat berasal dari limbah domestik
pemukiman penduduk, pertanian, industri, serta buangan lain berupa bahan
organik protein dan senyawa organik seperti pupuk nitrogen. Berdasarkan hasil
pengukuran kandungan nitrat di perairan Waduk Cengklik yaitu antara 190,921941,88 ppm yang nampak pada tabel 2 tersebut di atas, menurut Baku mutu air
PPRI no. 82 Th. 2001 tentang pengelolaan kualitas air dan pengendalian
pencemaran air kelas dua sudah melampaui ambang batas yakni 10 mg/L.
Berdasarkan penjelasan mengenai hasil pengukuran nitrat tersebut di atas, berarti
perairan Waduk Cengklik, Boyolali memiliki kualitas perairan yang kurang baik.
Kandungan nitrat pada stasiun V sebesar 1941,88 ppm, merupakan jumlah
yang sangat besar. Hal tersebut disebabkan oleh masuknya limbah yang sangat
besar ke dalam perairan Waduk Cengklik belum dapat diimbangi oleh
metabolisme organisme akuatik, terutama produsen perairan yang membutuhkan

nitrat sebagai nutrisi. Stasiun-stasiun yang berbatasan dengan daratan yakni


stasiun I, II, IV dan stasiun V cenderung memiliki kandungan nitrat yang cukup
besar. Hal ini karena pada musim panas mengalami kekeringan, areanya sering
kali dimanfaatkan oleh masyarakat sekitar sebagai lahan pertanian.
Hasil pengukuran kandungan phospat di perairan Waduk Cengklik
berdasarkan yang tertera dalam tabel 1 yakni berkisar antara 0,07-0,27 ppm,
masih berada di bawah ambang batas yang ditentukan dalam Baku mutu air PPRI
no. 82 Th. 2001 tentang pengelolaan kualitas air dan pengendalian pencemaran air
kelas dua, yakni 0,2 mg/L. Menurut Jorgensen (1990) dalam klasifikasi waduk
berdasarkan kandungan total phospat yang ada di perairan, termasuk dalam tipe
oligotropik, yakni kandungan total phospat kurang dari 0,5 ppm. Berdasarkan
penjelasan mengenai hasil pengukuran phospat tersebut di atas, berarti perairan
Waduk Cengklik, Boyolali memiliki kualitas perairan yang cukup baik.
Kalsium (Ca) dalam perairan, terutama pada penelitian ini diduga
mempengaruhi keadaan organisme bentos. Hal ini karena kalsium dibutuhkan
dalam pembentukan cangkang terutama oleh gastropoda. Berdasarkan hasil
pengukuran, kandungan kalsium dalam perairan Waduk Cengklik 155,52-279,01
ppm, kondisi tersebut dapat dikatakan masih cukup baik dan sesuai dengan jumlah
batas zat-zat kimia dan zat-zat beracun yang diperkenankan dalam The Indian
Council of Medical Research dalam Michael (1994), yakni batas kalsium yang
diperkenankan antara 75-200 ppm. Pada stasiun III dan IV kandungan kalsium
melebihi batas yang diperkenankan, yakni 279,01 ppm dan 260,02 ppm. Hal ini
mungkin disebabkan oleh kurangnya organisme akuatik jenis gastropoda pada
stasiun tersebut yang dapat mengurangi atau mengimbangi kandungan kalsium
dalam perairan sedang masuknya terus dilakukan. Berdasarkan penjelasan
mengenai hasil pengukuran kandungan kalsium tersebut di atas, berarti perairan
Waduk Cengklik, Boyolali memiliki kualitas perairan yang cukup baik.
Tabel 1 menggambarkan kandungan magnesium perairan Waduk
Cengklik sekitar 106,31-523,33 ppm, yang berarti telah melampaui ambang batas
zat-zat kimia yang ditentukan dalam The Indian Council of Medical Research
dalam Michael (1994), yakni batas magnesium yang diperkenankan antara 50-150

ppm. Hal ini mungkin disebabkan oleh besarnya masuknya limbah baik dari
pemukiman maupun limbah pertanian dan perikanan yang ada di kawasan
perairan Waduk Cengklik, Boyolali dan tidak dapat lagi ditolerir oleh daya lenting
alami ekosistem. Berdasarkan penjelasan mengenai hasil pengukuran kandungan
magnesium, berarti perairan Waduk Cengklik, Boyolali memiliki kualitas perairan
yang kurang baik.
Tekstur tanah sedimen merupakan perbandingan komposisi fraksi-fraksi
penyusun tanah sedimen. Perbandingan tersebut terdiri dari fraksi pasir, debu, dan
liat yang didasarkan pada ukuran partikel tanah. Tekstur tanah sedimen Waduk
Cengklik, Boyolali seperti ditunjukkan pada tabel 2. Berdasarkan sampel sedimen
yang telah ditentukan persent komposisi partikel penyusunnya, tekstur tanah
sebagai substrat tempat hidup bentos di perairan Waduk Cengklik umumnya
bertipe lempung berliat.
Beberapa studi dalam Ponk-Masak (2006) menunjukkan bahwa
organisme bentos dapat menyesuaikan kehidupannya dalam perairan dengan
adanya perubahan karakteristik substrat. Perbedaan karakteristik tekstur (pasir,
liat, dan debu) berhubungan erat dengan dinamika erosi dan endapan. Selanjutnya
tekstur tanah berhubungan dengan pertumbuhan pakan alami termasuk bentos
yang hidup di dasar perairan
Gambar 1. Histogram Tekstur Tanah Sedimen di Perairan Waduk Cengklik, Boyolali
Grafik Tekstur Tanah Sedimen di Perairan Waduk Cengklik,
Boyolali

50
45
40
35
30
25
20
15
10
5
0

Pasir (%)
Liat (%)
Debu (%)

Stasiun Stasiun Stasiun Stasiun Stasiun Stasiun


I
II
III
IV
V
VI

Tabel 2. Data Tekstur Tanah Sedimen Waduk Cengklik, Boyolali


Fraksi
Stasiun I Stasiun II Stasiun III Stasiun IV Stasiun V Stasiun VI
Tanah
Pasir (%)
20
26
21
32
26
23
Liat (%)
37
34
38
29
31
34
Debu (%)
43
40
41
39
43
43
Keterangan Lempung Lempung Lempung Berlempung Lempung Lempung
berliat
berliat
berliat
halus
berliat
berliat

Tekstur tanah sedimen Waduk Cengklik memiliki kandungan pasir, liat,


dan debu yang hampir sama komposisinya. Meski demikian kandungan pasir pada
stasiun IV lebih besar dibanding stasiun yang lain. Hal ini dimungkinkan karena
adanya pelapukan batuan dimana mineral-mineral di dalamnya tidak dalam
keseimbangan dengan suhu, tekanan, dan kelembababan yang ada. Ponk-Masak
(2006) menjelaskan, kandungan pasir 15% berindikasi pada pertumbuhan pakan
alami yang melimpah, kandungan pasir 63% akan terjadi pertumbuhan pakan
alami yang berkurang dan kandungan pasir 79% pertumbuhan sangat berkurang.
Masuknya bahan pencemar baik dari limbah rumah tangga, pertanian,
perikanan, dan / atau industri ke dalam perairan dapat mempengaruhi kualitas
perairan. Parameter lingkungan abiotik yang umum di jadikan perwakilan
diantaranya seperti yang diukur dalam penelitian ini, yakni parameter suhu,
kejernihan, dan substrat sebagai perwakilan parameter fisik serta pH, DO, Nitrat,
Kalsium, Phospat, dan Magnesium sebagai perwakilan parameter kimia.
Perbedaan kualitas perairan pada tiap stasiun membentuk karakter habitat
tersendiri serta dapat mempengaruhi jumlah dan distribusi dari organisme akuatik
di dalamnya. Dengan demikian secara langsung maupun tidak langsung akan
mempengaruhi keanekaragaman

bentos pada tiap

stasiun dan struktur

komunitasnya.
B. Struktur Komunitas Bentos
Struktur komunitas bentos dapat dicirikan oleh indeks biologi yang berupa
indeks keanekaragaman. Keanekaragaman atau diversitas Bentos pada suatu
perairan, mempunyai karakteristik komunitas dengan indikator jumlah dan dapat
digunakan untuk menganalisa derajat pencemaran air secara biologis. Sifat fauna
bentos di suatu tempat dikendalikan oleh sifat fisik dan substratnya.

Dari 6 stasiun pengambilan sampel di perairan Waduk Cengklik, Boyolali


seperti yang nampak pada tabel 3, ditemukan sebelas jenis bentos yang berasal
dari lima phylum. Jenis yang ditemukan adalah Tubifex sp, Pheritima sp (cacing
tanah) dari phylum Annelida; Schistosoma haematobium (cacing darah) dan
Acanthomacrostamum sp dari Phylum Platyhelmintes; Helix pomatia (sumpil),
Bellamy javanica (tutut), dan Pila scutata (keong sawah/Gondang Undak) dari
phylum Molusca; Cambarus virilis (udang), Parathelpusa maculata (yuyu), dan
Spesies x dari Phylum Arthropoda; dan Stentor sp dari Phylum Protozoa.
Tabel 3. Jenis-jenis dan Jumlah Individu serta Indeks Diversitas (ID) Bentos pada Dasar
Perairan Waduk Cengklik, Boyolali
No.
1
2
3

Jenis
Tubifex sp**
Pheritima sp (Cacing
tanah)**
Schistosoma haematobium
(Cacing darah)**

Phylum

Stasiun
III
IV

VI

II

Annelida

189

121

115

55

Annelida

105

78

97

20

Platyhelmintes

56

27

15

Acanthomacrostamum sp**

Platyhelmintes

Helix pomatia (sumpil)***

Molusca

Molusca

17

24

32

Molusca

Arthropoda

28

11

14

Arthropoda

6
7
8
9

Bellamy javanica
(Tutut)***
Pila scutata (keong
sawah)***
Cambarus virilis
(udang)***
Parathelpusa maculata
(yuyu)***

10

Spesies x*

Arthropoda

27

18

14

12

58

11

Stentor sp*

Protozoa

399

26

248

291

136

111

1,42 0,99

1,26

1,53

1,76

0,87

Jumlah
indeks keanekaragaman (ID)

Keterangan :
*

: golongan mikrobentos

**

: golongan mesobentos

***

: golongan makrobentos

Terdapat perbedaan jumlah spesies pada tiap stasiun. Jumlah spesies


bentos terkecil pada stasiun II, yakni sebanyak 26 spesies dan jumlah spesies
bentos terbesar pada stasiun I, yakni sebanyak 399 spesies. Perbedaan jumlah
spesies pada tiap stasiun tidak terlepas dari pengaruh yang ditimbulkan oleh faktor
lingkungan baik fisik maupun kimia. Hal ini menunjukkan bahwa organisme
tersebut bersifat spesifik, tidak dapat beradaptasi dan memiliki toleransi yang
rendah terhadap kondisi lingkungannya.
Berdasarkan tabel 3 tersebut di atas, nampak bahwa jenis bentos yang
banyak dijumpai adalah bentos jenis meso (meiobentos). Spesies meiobentos yang
paling sering dijumpai adalah Tubifex sp dari phylum Annelida. Kemampuan
adaptasi spesies ini terhadap kondisi fisik dan kimia habitat cukup tinggi,
misalnya pada pH perairan yang cukup basa bagi kehidupan organisme akuatik
yang lain, tidak terlalu berpengaruh terhadap keberadaan bentos jenis Tubifex sp.
Keberadaan partikel substrat yang didominasi oleh pasir halus sangat sesuai untuk
tempat hidup jenis-jenis bentos infauna misalnya Tubifex sp.
Besarnya frekuensi kehadiran bentos jenis meso atau meiobentos adalah
mungkin disebabkan karena banyaknya jumlah serasah dan jenis partikel substrat
yang ada di dasar perairan. Keberadaan serasah merupakan salah satu faktor
dimana memungkinkan adanya pakan alami bagi spesies jenis mesobentos.
Dengan jumlah meiobentos yang besar diduga besar pula kesempatan lingkungan
dalam proses dekomposisi sehingga mampu mengendalikan jumlah limbah yang
terakumulasi di dalam sedimen.
Bentos jenis makro tidak banyak dijumpai pada dasar perairan Waduk
Cengklik. Hal ini mungkin disebabkan oleh adanya pengaruh lingkungan ataupun
faktor-faktor fisika kimia yang ada termasuk juga jenis substrat yang tergolong
lumpur berliat. Selain makrobentos, jenis-jenis mikrobentos juga jarang
ditemukan di perairan Waduk Cengklik. Hal ini mungkin karena mikrobentos
memiliki ukuran tubuh yang sangat kecil, tidak stabil pada perairan berarus dan
tidak dapat beradaptasi terhadap kondisi lingkungan dengan baik.
Indeks keanekaragaman bentos di perairan Waduk Cengklik, Boyolali
berkisar antara 0,87-1,76. Hal ini menunjukkan bahwa perbedaan karakter habitat,

kondisi perairan, dan sistem pengelolaan yang beragam diduga dapat menjadikan
indeks diversitas yang bervariasi. Variasi indeks diversitas yang ada pada perairan
Waduk Cengklik nampak pada gambar 2.
Nilai indeks keanekaragaman bentos di perairan Waduk Cengklik,
Boyolali menurut penggolongan nilai tolak ukur keanekaragaman Restu (2002)
dalam Fitriana (2006) termasuk dalam golongan keanekaragaman rendah sampai
sedang. Keanekaragaman yang ada di suatu ekosistem mungkin disebabkan oleh
perbedaan kondisi atau karakter habitat yang berbeda dari wilayah perairan
Waduk Cengklik dan membentuk iklim mikro serta keberadaan faktor pendukung
kehidupan yang berbeda.
Nilai Indeks Keane karagaman (ID) Bentos di
Perairan Waduk Cengklik, Boyolali
2
1,8
1,6
1,4
1,2
1
0,8
0,6
0,4
0,2
0

ID

Stasiun Stasiun Stasiun Stasiun Stasiun Stasiun


I
II
III
IV
V
VI

Gambar 2. Histogram Nilai Indeks Keanekaragaman Bentos di Perairan Waduk


Cengklik, Boyolali

Stasiun I merupakan daerah aliran masuk atau mulut sungai yang berasal
dari Sungai Centhing. Keanekaragaman bentos di stasiun I sebesar 1,42. Menurut
nilai tolak ukur keanekaragaman Restu (2002) dalam Fitriana (2006), nilai indeks
tersebut termasuk memiliki keanekaragaman bentos sedang. Hal ini karena stasiun
I telah mengalami pemulihan kualitas perairan setelah dilakukan pengerukan atau
pengurangan jumlah sedimen. Seperti diungkapkan oleh Raharjo (2005), bahwa
habitat yang memiliki kondisi yang baik, maka jenis organisme yang mampu
bertoleransi dan beradaptasi lebih besar dengan ketersediaan faktor fisik dan
kimia yang mendukung kehidupan organisme di dalamnya, sebaliknya habitat

yang kondisi lingkungannya kurang baik menjadikan faktor pembatas bagi


kehidupan dalam habitat perairan tersebut.
Stasiun

II,

merupakan

daerah

perairan

Waduk

Cengklik

yang

diperuntukkan sebagai kawasan karamba atau budidaya perikanan. Indeks


keanekaragaman bentos di stasiun II sebesar 0,99. Menurut nilai tolak ukur
keanekaragaman Restu (2002) dalam Fitriana (2006), stasiun II termasuk
memiliki keanekaragaman bentos rendah. Hal ini disebabkan oleh masuknya
limbah baik dari limbah rumah tangga, limbah pertanian, dan limbah dari
budidaya ikan.
Stasiun

III,

merupakan

daerah

tengah

waduk.

Nilai

indeks

keanekaragaman bentos di stasiun ini sebesar 1,26. Menurut nilai tolak ukur
keanekaragaman Restu (2002) dalam Fitriana (2006), stasiun III termasuk
memiliki keanekaragaman bentos sedang. Hal ini karena pada daerah tengah
waduk belum dimanfaatkan secara keseluruhan, sehingga daerah ini dapat
dikatakan daerah alami waduk yang belum banyak mendapatkan dampak dari
aktifitas manusia.
Stasiun

IV,

merupakan

daerah

air

terperangkap.

Nilai

indeks

keanekaragaman bentos di stasiun IV sebesar 1,53. Menurut nilai tolak ukur


keanekaragaman Restu (2002) dalam Fitriana (2006), stasiun IV termasuk
memiliki keanekaragaman bentos sedang. Hal ini karena pada daerah utara waduk
pada musim kering maupun musim penghujan memiliki volume yang cukup. Hal
ini seperti keterangan Ponk-Masak (2006), bahwa kondisi komunitas moderat
(sedang) merupakan kondisi komunitas yang mudah berubah hanya dengan
terjadinya pengaruh lingkungan yang relatif kecil.
Nilai indeks keanekaragaman bentos di perairan Waduk Cengklik yang
paling tinggi, yaitu stasiun V sebesar 1,76. Hal ini disebabkan oleh pengerukan
atau pengurangan jumlah sedimen serta telah mengalami perbaikan mutu kualitas
perairan. Dalam Wulandari (2006) menjelaskan bahwa bentos yang merupakan
bottom feeder biasanya mengalami kerugian akibat adanya sedimentasi, meskipun
mungkin ada sedikit keuntungan bagi bentos, keuntungan tersebut kalah dari
kerugiannya.

Nilai indeks keanekaragaman bentos di perairan Waduk Cengklik yang


paling rendah, yaitu stasiun VI sebesar 0,87. Stasiun ini merupakan daerah aliran
keluar atau pintu air keluar (out let). Rendahnya keanekaragaman pada stasiun VI
mungkin disebabkan oleh kondisi perairan yang cenderung telah mengalami
pencemaran bagi kehidupan organisme bentos. Akumulasi limbah baik dari proses
perikanan dan pertanian yang dilakukan oleh penduduk sekitar di kawasan Waduk
Cengklik, diduga menjadi penyebab adanya faktor pembatas bagi kehidupan
organisme bentos. Oleh karena itu perlu suatu kebijakan untuk pembukaan lahan
pertanian dan pengelolaan lahan perikanan budidaya yang sesuai dengan daya
dukung lingkungan.
C. Indeks Similaritas
Indeks similaritas merupakan salah satu bentuk indeks biologi yang
menunjukkan seberapa besar tingkat kesamaan struktur komunitas satu dengan
yang lainnya. Dalam hal ini struktur komunitas bentos di perairan Waduk
Cengklik yang terdiri dari enam stasiun pengamatan. Indeks similaritas yang
digunakan adalah rumus Jaccard yang dikembangkan oleh Sorensen pada tahun
1984.
Tabel 4. Indeks Similaritas (IS) (%) Komunitas Bentos di Perairan Waduk Cengklik,
Boyolali

stasiun
I
II
III
IV
V
VI

II

III

IV

62,5
77,78
90
100
53,33

16,67
71,43
62,5
66,67

62,5
77,78
36,36

90
61,54

53,33

VI

Dari hasil analisa indeks similaritas komunitas bentos yang disajikan pada
tabel 4 di atas terlihat bahwa perairan Waduk Cengklik, Boyolali memiliki
perbedaan yang sangat besar. Hal ini ditunjukkan oleh nilai IS yang tertinggi
yakni antara stasiun I dan V sebesar 100% dan nilai IS yang terendah yakni antara
stasiun II dan III sebesar 16,67%.

Kawasan pada stasiun I dan V tergolong baru, karena telah mengalami


pengerukkan (pengurangan sedimen). Meski gerakan arus air tidak cukup besar
atau tidak nampak jelas, keduanya sama-sama mengalami pergantian air yang
cukup cepat. Hal ini karena stasiun I sebagai daerah in let dan stasiun V berada
dekat dengan daerah in let (stasiun I) dan out let (stasiun VI).
Nilai IS yang rendah mungkin terjadi karena perbedaan karakter habitat
antar stasiun yang sangat menonjol dilihat dari jumlah kandungan senyawa kimia
yang terukur seperti nitrat dan magnesium yang lebih tinggi pada stasiun II
daripada stasiun III. Hal ini berarti tingkat pencemaran pada stasiun II lebih besar
dari pada stasiun III. Hal tersebut di dukung oleh pemanfaatan stasiun II yang
sebagian besar kawasannya digunakan sebagai karamba, yang memungkinkan
penambahan materi selama proses pemeliharaannya.
Dengan demikian struktur komunitas bentos antara stasiun satu dengan
yang lainnya memiliki perbedaan yang cukup jelas dengan daya dukung
lingkungan pada masing-masing stasiun yang berbeda pula. Hal ini mungkin
disebabkan

karena

stasiun-stasiun

tersebut

mendapat

pengelolaan

dan

pemanfaatan yang berbeda, yakni stasiun I sebagai daerah in let, stasiun II sebagai
kawasan Karamba, stasiun III sebagai daerah tengah waduk yang belum mendapat
banyak perlakuan dari penduduk sekitar, stasiun IV yang merupakan daerah
dengan air terperangkap yang belum banyak mengalami perubahan karena
pencemaran/kerusakan habitat, stasiun V merupakan daerah litoral/daerah dengan
penetrasi cahaya mampu mencapai dasar perairan serta stasiun VI sebagai daerah
aliran air keluar atau out let.
D. Hubungan Komunitas Bentos dengan Faktor Lingkungan Abiotik
Keanekaragaman Bentos di perairan Waduk Cengklik dengan faktor
lingkungan abiotik cenderung membentuk pola hubungan regresi nonlinier atau
pola regresi tertentu. Gambar di bawah ini menunjukkan pola hubungan tersebut.

Grafik Hubungan Antara Suhu dengan Indeks


Keanekaragaman (ID) Bentos di Perairan Waduk
Cengklik, Boyolali
Indeks Keanekaragaman
(ID)

1,5

V
IV

III

VI

II

0,5

0
0

10

15

20

25

30

35
Stasiun

Suhu

Gambar 3. Grafik Hubungan antara Suhu dengan Indeks Keanekaragaman (ID) Bentos
di Perairan Waduk Cengklik, Boyolali

Pada grafik hubungan antara suhu dengan indeks keanekaragaman (ID)


bentos tersebut di atas nampak bahwa selisih suhu yang kecil dapat
mempengaruhi keadaan komunitas bentos. Hal ini nampak pada stasiun V dan VI,
dimana pada stasiun V dengan suhu 29,3C dan indeks keanekaragaman 1,78
sedangkan pada stasiun VI dengan suhu 28,7C indeks keanekaragamannya 0,87.
Hal ini nampak pada stasiun I, dimana keanekaragaman cukup tinggi sekitar 1,42.
Suhu

perairan

yang

lebih

tinggi

cenderung

mengurangi

jumlah

dan

keanekaragaman jenis organisme, seperti yang terjadi pada stasiun II. Pada suhu
di atas 30C terjadi penurunan keanekaragaman jenis bentos.
Grafik Hubungan Antara Kejernihan dengan Indeks
Keanekaragaman (ID) Bentos di Perairan Waduk
Cengklik, Boyolali
2

Indeks
Keanekaragaman (ID)

V
IV

1,5

III

II
VI

0,5

0
0

10

15

20

25

Kejernihan (cm)

30

35

40

45
Stasiun

Gambar 4. Grafik Hubungan antara Kejernihan dengan Indeks Keanekaragaman (ID)


Bentos di Perairan Waduk Cengklik, Boyolali

Berdasarkan

grafik

hubungan

antara

kejernihan

dan

indeks

keanekaragaman bentos di atas, menunjukkan semakin tinggi tingkat kejernihan


perairan indeks keanekaragaman semakin menurun. Hal ini karena keterkaitan
antara banyaknya intensitas cahaya yang mampu lolos jatuh di badan air dengan
material unsur muatan sedimen yang saling berbanding terbalik. Pada stasiun V
menunjukkan tingginya indeks keanekaragaman (ID) bentos meskipun tingkat
kekeruhan juga cukup tinggi. Hal ini mungkin disebabkan oleh adanya faktor
pendukung kehidupan bentos selain kekeruhan. Faktor tersebut antara lain adalah
nutrien yang terkandung dalam sedimen serta kondisi habitat yang cukup baik
atau kualitas perairan yang tinggi.

Indeks
Keanekaragaman (ID)

Garfik Hubungan Antara pH dengan Indeks


Keanekaragaman (ID) Bentos di Perairan Waduk
Cengklik, Boyolali

V
1,5

IV
III

II
VI

0,5
0
0

5
pH

9
Stasiun

Gambar 5. Grafik Hubungan antara pH dengan Indeks Keanekaragaman (ID) Bentos di


Perairan Waduk Cengklik, Boyolali

Berdasarkan grafik hubungan antara pH dengan indeks keanekaragaman


(ID) bentos tersebut di atas menunjukkan bahwa secara umum pH perairan dapat
mempengaruhi kehidupan organisme akuatik (bentos). Pada grafik hubungan
antara pH dengan indeks keanekaragaman, pH yang lebih dari 7 hingga mendekati
9 dapat menurunkan nilai indeks keanekaragaman bentos. Hal ini mungkin
disebabkan oleh tingginya senyawa-senyawa yang terkandung dalam perairan
yang dapat meningkatkan pH.

Grafik Hubungan Antara DO dengan Indeks


Keanekaragaman (ID) Bentos di Perairan Waduk
Cengklik, Boyolali
Indeks
Keanekaragaman (ID)

V
IV
III

1,5
1

II

I
VI

0,5
0
0

4
DO (ppm)

8
stasiun

Gambar 6. Grafik Hubungan antara DO dengan Indeks Keanekaragaman (ID) Bentos di


Perairan Waduk Cengklik, Boyolali

Berdasarkan grafik hubungan antara DO dengan indeks keanekaragaman


(ID) bentos pada perairan Waduk Cengklik, nampak pada gambar 6, membentuk
pola hubungan menyerupai parabola. Dimana stasiun V sebagai puncak dengan
nilai DO 6,33 ppm dan indeks keanekaragaman bentos 1,76. Pada stasiun II, II,
dan IV menunjukkan adanya peningkatan indeks keanekaragaman bentos dengan
DO mendekati 6 ppm, sedang pada stasiun II dan VI menunjukkan penurunan
indeks keanekaragaman bentos dengan DO lebih dari 6 ppm. Hal ini
dimungkinkan bahwa perairan Waduk Cengklik memiliki DO optimum bagi
keanekaragaman bentos pada kisaran 6 ppm.
Setiap organisme membutuhkan oksigen untuk bernafas. Kadar oksigen
terlarut akan turun seiring dengan kenaikan suhu. Berkurangnya oksigen dalam air
dapat menyebabkan terganggunya organisme akuatik, contohnya tumbuhan air
mati dan tidak dapat lagi menghasilkan oksigen lewat proses fotosintesis.
Aktivitas masuknya limbah ke perairan dapat mengurangi oksigen dan limbah
yang merupakan bahan yang mudah dibusukkan / dipecah oleh organisme dengan
adanya bantuan oksigen. Hal ini nampak pada stasiun II, dimana adanya karamba
budidaya ikan memberikan sumbangan limbah berupa pakan ikan atau pelet dapat
menurunkan DO dalam perairan. DO tertinggi terjadi pada stasiun VI, karena pada
daerah ini masih terdapat cukup banyak alga jenis Hydrilla verticillata.

Grafik Hubungan Antara Nitrat dengan Indeks


Keanekaragaman (ID) Bentos di Perairan Waduk
Cengklik, Boyolali
Indeks
Keanekaragaman (ID)

2
V
IV

1,5

III
1

II

VI

0,5
0
0

500

1000

1500

Nitrat (ppm)

2000

2500
Stasiun

Gambar 7. Grafik Hubungan antara Nitrat dengan Indeks Keanekaragaman (ID) Bentos
di Perairan Waduk Cengklik, Boyolali

Pada grafik hubungan antara kandungan nitrat dan indeks keanekaragaman


bentos di perairan Waduk Cengklik seperti terlihat pada gambar 7 tersebut di atas,
nampak pola hubungan yang tidak teratur. Meskipun demikan nitrat berpengaruh
terhadap keanekaragaman bentos di perairan tersebut. Besarnya kandungan nitrat
cenderung meningkatkan keanekaragaman bentos. Hal ini nampak dari grafik,
dimana garis naik lebih banyak dibanding menurun. Titik tertinggi terjadi pada
stasiun V, dimana pada kandungan nitrat tertinggi (1941,88 ppm) nilai
keanekaragaman juga tinggi (1,76). Nitrat sebagai salah satu zat hara atau bahan
organik pada umumnya dapat membusuk atau terdegradasi oleh komposer. Proses
degradasi dapat meningkatkan populasi organisme di dalam air, tak terkecuali
bentos. Dengan bertambahnya populasi tidak menutup kemungkinan terjadinya
peningkatan keanekargaman.

Grafik Hubungan Antara Kalsium dengan Indeks


Keanekaragaman (ID) Bentos di Perairan Waduk
Cengklik, Boyolali
Indeks
Keanekaragaman (ID)

V
1,5

IV

III

II
VI

1
0,5
0
0

50

100

150
200
Kalsium (ppm)

250

300
Stasiun

Gambar 8. Grafik Hubungan antara Kalsium dengan Indeks Keanekaragaman (ID)


Bentos di Perairan Waduk Cengklik, Boyolali

Kandungan kalsium dalam perairan Waduk Cengklik yang nampak pada


gambar 8, menunjukkan adanya hubungan dengan nilai indeks keanekaragaman
bentos di perairan tersebut. Terjadi peningkatan keanekaragaman yang sangat
jelas antara stasiun VI dan II ke stasiun V. Kandungan kalsium pada stasiun VI
dan II kurang lebih 150 ppm, memiliki keanekaragaman kurang dari 1,00. Stasiun
V memiliki kandungan kalsiun 168,78 ppm dan keanekaragaman bentos 1,76.
Keadaan tersebut manandakan bahwa bentos dalam aktivitas hidupnya
membutuhkan kalsium sebagai pembentuk cangkang. Besarnya kandungan
kalsium

dalam

perairan

kurang

dari

200

ppm

dapat

meningkatkan

keanekaragaman bentos. Meskipun demikian keanekaragaman bentos di perairan


Waduk Cengklik tidak hanya dipengaruhi oleh besarnya kandungan kalsium,
melainkan juga oleh faktor-faktor lingkungan yang lain. Kandungan kalsium yang
besar, seperti pada stasiun III yakni sebesar 279,01 ppm dalam perairan dapat
menyebabkan kondisi kesadahan serta meningkatkan kebasaan perairan. Ini dapat
dilihat dari nilai pH stasiun III sebesar 8,49.

Indeks
Keanekaragaman (ID)

Grafik Hubungan Antara Magnesium (Mg) (ppm)


dengan Indeks Keanekaragaman (ID) Bentos di
Perairan Waduk Cengklik, Boyolali
2
V
1,5
III

IV

VI

II

0,5
0
0

100

200

300

400

500

600

Magnesium (ppm)

Stasiun

Gambar 9. Grafik Hubungan antara Magnesium dengan Indeks Keanekaragaman (ID)


Bentos di Perairan Waduk Cengklik, Boyolali

Hubungan antara kandungan magnesium dan indeks keanekaragaman


bentos di perairan Waduk Cengklik seperti yang nampak pada gambar 9,
manggambarkan

bahwa

terdapat

keterkaitan

diantara

kaduanya.

Grafik

menunjukkan, tingginya kandungan magnesium dalam perairan mampu


meningkatkan keanekaragaman bentos di perairan Waduk Cengklik dan
kandungan magnesium yang sangat besar atau melampaui ambang batas dapat
menurunkan indeks keanekaragaman. Peningkatan keanekaragaman bentos
berdasarkan keberadaan magnesium nampak pada stasiun I, III, IV, dan V.
Stasiun-stasiun tersebut merupakan titik pengambilan sampel yang memiliki
kandungan magnesium kurang dari 500 ppm. Stasiun VI, meskipun memiliki
kandungan magnesium kurang dari 500 ppm, memiliki keanekargaman bentos
yang rendah. Hal ini disebabkan karena keanekaragaman bentos tidak hanya
dipengaruhi oleh besarnya kandungan magnesium melainkan kondisi habitat
dengan faktor lingkungan lain yang saling berkaitan. Dalam proses kasadahan
kandungan magnesium yang sangat besar (500 ppm), dapat menurunkan jumlah
atau meningkatkan kejernihan perairan. Seperti dijelaskan sebelumnya, semakin
besar tingkat kejernihan keanekaragaman bentos akan menurun.

Grafik Hubungan Antara Pasir (%) dengan Indeks


Keanekaragaman (ID) Bentos di Perairan Waduk
Cengklik, Boyolali

Indeks

Keanekaragaman (ID)

V
1,5

IV
III
II

VI

0,5
0
0

10

15

20

25

30

35
Stasiun

Pasir (%)

Gambar 10. Grafik Hubungan antara Pasir dengan Indeks Keanekaragaman (ID) Bentos
di Perairan Waduk Cengklik, Boyolali

Interaksi antara faktor abiotik dan biotik dalam perairan, dimana


keberadaan bentos sangat terkait dengan beberapa faktor, antara lain adalah:
kualitas air dan kualitas substrat dasar. Selanjutnya tekstur tanah berhubungan
dengan pertumbuhan pakan alami termasuk bagi bentos di perairan Waduk
Cengklik. Kandungan pasir di perairan Waduk Cengklik, dapat mengindikasikan
pertumbuhan pakan alami yang cukup melimpah. Hal ini didukung oleh Kahar et.
al., (1991) dalam Ponk-Masak (2006), bahwa pakan alami yang melimpah di
perairan memiliki kandungan bahan organik yang cukup tinggi (>16%). Dengan
demikian dapat meningkatkan jumlah dan keanekaragaman bentos di perairan
tersebut.
Grafik Hubungan Antara Liat (%) dengan Indeks
Keanekaragaman (ID) Bentos di Perairan Waduk
Cengklik, Boyolali
Indeks
Keanekaragaman (ID)

V
IV

1,5

III

II
VI

1
0,5
0
0

10

20
Liat (%)

30

40
Stasiun

Gambar 11. Grafik Hubungan antara Liat dengan Indeks Keanekaragaman (ID) Bentos
di Perairan Waduk Cengklik, Boyolali

Kandungan liat dalam sedimen tidak banyak dibahas dalam suatu


penelitian secara khusus. Keberadaan liat sebagai substrat, merupakan
kamungkinan bagi organisme terutama jenis mesobnetos untuk dapat dengan
mudah mengubur dirinya. Perilaku ini sebagai upaya pelindungan diri dari
organisme tingkat tinggi seperti ikan. Kandungan liat dalam sedimen, menjadikan
salah satu faktor yang mendukung keberadaan bentos di dalam suatu habitat, oleh
karenanya dapat menjadikan interaksi dan kompetisi. Kejadian tersebut berarti
memungkinkan peningkatan jumlah dan tingkat keanekaragaman bentos serta
organisme perairan lainnya.

Indeks
Keanekaragaman (ID)

Grafik Hubungan Antara Debu (%) dengan Indeks


Keanekaragaman (ID) Bentos di Pe rairan Waduk
Cengklik, Boyolali
2

V
IV

1,5

III
II

I
VI

0,5
0
0

10

15

20

25

Debu (%)

30

35

40

45
Stasiun

Gambar 12. Grafik Hubungan antara Liat dengan Indeks Keanekaragaman (ID) Bentos
di Perairan Waduk Cengklik, Boyolali

Grafik hubungan antara persen debu dengan keanekaragaman bentos di


perairan Waduk Cengklik, Boyolali menggambarkan adanya suatu garis lurus
antara stasiun V, I, dan VI. Besarnya kandungan debu pada stasiun tersebut
disebabkan oleh beberapa kemungkinan, diantaranya berasal dari pemukiman
penduduk yang dilalui Sungai Centhing, dari jalan yang ada di sekitar waduk,
serta kandungan debu alami ynag sudah ada pada dasar waduk. Tingkat
keanekaragaman bentos tidak terpengaruh dengan besarnya kandungan debu.

E. Korelasi dan Regresi


Nugroho (1991), menyatakan bahwa jika koefisien korelasi lebih dari atau
sama dengan 0,500 terdapat hubungan diantara dua variabel yang dibandingkan.
Jika koefisien korelasinya kurang dari atau sama dengan 0,500 dianggap adanya
hubungan linier yang kurang meyakinkan.
Tabel 5. Hasil Analisa Korelasi AntaraVariabel Indeks Keanekaragaman Bentos dengan
Variabel Faktor Lingkungan Abiotik

ID
Suhu (C)
Kejernihan (cm)
pH
DO (ppm)
Nitrat (NO3) (ppm)
Phospat (ppm)
Kalsium (ppm)
Magnesium (ppm)
Pasir (%)
Liat (%)
Debu (%)

Indeks Keanekaragaman (ID) Bentos


Indeks korelasi Pearson
Status hubungan
1
-0,343
Lemah
-0,427
Lemah
-0,457
Lemah
-0,083
Sangat lemah
0,637
Moderat
-0,815
Kuat
0 ,354
Lemah
-0,378
Lemah
0,299
Sangat lemah
-0,405
Lemah
0,046
Sangat lemah

Hubungan yang paling kuat dan signifikan pada penelitian ini nampak
pada tabel 5. Korelasi antara indeks keanekaragaman dengan phospat yakni
sebesar 0,815 yang bersifat negatif (-). Hal ini menjelaskan bahwa kandungan
phospat pada sediment mempunyai hubungan berbanding terbalik dengan indeks
keanekaragaman bentos di perairan Waduk Cengklik, Boyolali. Kenaikan
kandungan phospat akan menjadikan indeks keanekaragaman bentos menurun.
Sebaliknya penurunan phospat akan meningkatkan indeks keanekaragaman
bentos.
Hubungan antara kandungan nitrat dengan indeks keanekaragaman bentos
bersifat positif (0,637). Hal ini menjelaskan bahwa kandungan total nitrat
berpengaruh terhadap besarnya indeks keanekaragaman bentos di perairan Waduk
Cengklik, Boyolali. Menurut Sastrawijaya (1991), sumber persenyawaan nitrogen
dalam air berasal dari limbah dengan substansi nitrogen yang dapat berupa bahan
organik protein dan senyawa organik seperti pupuk nitrogen.

Tabel 6. Hasil Analisis Regresi Antara Variabel indeks keanekaragaman (ID) dengan
Variabel Parameter Lingkungan Abiotik

Model
1

Variabel entered
Phospat (ppm)

R
R Square df
0,815
0,664
5

Sig.
0,048

Indeks Keanekaraman (ID)

Grafik Hubungan antara Phospat dengan Indeks


Keanekaragaman (ID) Bentos di Perairan Waduk
Cengklik, Boyolali
2,00
1,80
1,60
1,40
1,20
1,00
0,80
y = -0,0315x + 1,7643
R2 = 0,6637

0,60
0,40
0,20
0,00
0

10

15

20

25

30

Phospat ( g/g)

Gambar 13. Grafik Hubungan antara Phospat dengan Indeks Keanekaragaman (ID)
Bentos di Perairan Waduk Cengklik, Boyolali

Berdasarkan analisis regresi dari data penelitian didapatkan persamaan


model hubungan antara indeks keanekaragaman (ID) bentos dengan Phospat
sebagai berikut : y = - 0,0315 x + 1,7643 dengan R2 = 0,6637, tingkat signifikasi
0,048 atau kurang dari 0,05 serta membentuk pola regresi linier. Grafik disajikan
pada gambar 13. Berdasarkan persamaan model hubungan tersebut berarti, setiap
kandungan phospat bertambah satu maka indeks diversitas akan berkurang sebesar
0,0315. Koefisien 1,7643 sebagai titik awal ketika tidak terdapat phospat yang
berarti nilai indeks diversitas sebesar 1,7643. Dengan kata lain, semakin naik nilai
kandungan phospat maka semakin turun indeks diversitas bentos yang ada di
perairan Waduk Cengklik, Boyolali.
Dengan R2 sebesar 0,6637 dapat diartikan bahwa sebesar 0,6637 dari
seluruh variasi total indeks diversitas dipengaruhi oleh phospat dan masih ada
sebesar 0,3363 lagi yang tidak dapat diterangkan hubungannya oleh model yang
digunakan. Bagian sisa 0,3363 tersebut mungkin disebabkan oleh faktor lain yang
gagal diperhitungkan oleh model.

PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan studi dan analisis struktur komunitas bentos di perairan
Waduk Cengklik, Boyolali dapat ditarik kesimpulan, sebagai beikut :
1. Kualitas air dan sedimen di perairan

Waduk Cengklik cukup baik

berdasarkan parameter suhu, kejernihan, pH, DO, phospat, dan kalsium,


sehingga masih layak untuk dapat digunakan sebagai habitat organisme
akuatik (bentos) atau peruntukan lain yang mempersyaratkan Baku mutu air
PPRI no. 82 Th. 2001 kelas dua.
2. Komunitas bentos pada daerah dengan perbaikan kualitas air melalui
pengerukkan (stasiun I dan V) lebih baik dibandingkan daerah karamba dan
pintu air keluar (out let) (stasiun II dan VI), yang ditunjukkan oleh besarnya
jumlah individu, tingkat keanekaragaman dan indeks similaritas.
B. Saran
Setelah didapatkan hasil penelitian ini, maka penulis memberikan saran
sebagai berikut :
1. Penelitian lebih lanjut tentang komunitas bentos di perairan Waduk Cengklik,
Boyolali secara periodik, karena keberadaan bentos di suatu perairan dapat
menggambarkan kondisi fisik dan kimia perairan tersebut.
2. Diadakan kegiatan yang dapat memberikan pengertian kepada masyarakat
sekitar Waduk Cengklik agar menjaga keberadaan waduk tersebut sebagai
habitat yang baik bagi biota akuatik.

DAFTAR PUSTAKA
Barg, U. C. 1992. Guildelines of the promotion of enviromental management of
coastal aquaculture development. FAO Fisheries Technical Paper 328
FAO, Rome.
Boyd, C. E. 1999. Code of practice for responsible shrimp farming. Global
Aquaculture Alliance, St. Louis, MO USA.
Clesceri, L. S., A. E. Greenberg and A. D. Eaton. 1998. Standart Methods for the
Examination of Water and Waste Water, 2nd edition. Washington DC :
American Public Health Association.

Fitriana, Y. R. 2006. Keanekaragaman dan Kemelimpahan Makrozoobentos di


Hutan Mangrove Hasil Rehabilitasi Taman Hutan Raya Ngurah Rai
Bali. Biodiversitas. Vol.7 no.1 : 67 72.
Goldman, C R. and A. J. Horne. 1983. Limnology. Auckland : Mc Graw Hill
International Book Company.
Kahar, A. Hanafi, F. Cholik dan S. Tonnek. 1991. Evaluasi Produktivitas Perairan
Pantai Bagi Pengembangan Tata Ruang Pantai dalam Suparno, S.
Wibowo, A. M. Angawati, dan R. Arifudin (Eds). Prosiding Pertemuan
Teknis Pelestarian Lingkungan Hidup Perikanan. Jakarta, 11 Februari
1991. Pusat Penelitian dan Pengembangan Perikanan. Departemen
Pertanian. Jakarta. Hal. 35-49.
Levinton, J. S. 1982. Marine Ecology. Prentice-Hall Inc, Engelwood Cliffs,New
Jersey.
Michael, P. 1994. Metode Ekologi Untuk Penyelidikan Lapangan dan
Laboratorium. Jakarta : Penerbit UI.
Odum, P. 1993. Dasar-dasar Ekologi. Yogyakarta : Gadjah Mada University
Press.
Permana, D.;P. Setyono dan K. Winarno. 2003. Keanekaragaman Makro Bentos
di Bendungan Bapang dan Bendungan Ngablabaan Sragen. Enviro. Vol
3 No 1 : 18-27.
Pong-Masak, Petrus Rani dan Andi Marsambuana Pirzan. 2006. Komunitas
Makrozoobentos pada Kawasan Budidaya Tambak di Pesisir Malakosa
Parigi-Moutong, Sulawesi Tengah. Biodiversitas. Vol. 7 No. 4 hal. 354360.
Restu, I. W. 2002. Kajian Pengembangan Wisata Mangrove di Taman Hutan
Raya Ngurah Rai Wilayah Pesisir Selatan Bali. Tesis. Bogor : Program
Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.
Sastrawijaya. 1991. Pencemaran Lingkungan. Jakarta : Penerbit Rineka Cipta.
Widodo, J. 1997. Biodiversitas Sumber Daya Perikanan Laut Peranannya dalam
Pengelaolaan Terpadu Wilayah Pantai,dalm hal. 136-141 : Malawa, A.,
R. Syam, N. Naamin, S. Nurhakim, E. S. Kartamihardja, A. Purnomo,
dan Rachmansyah (Eds). Prosiding Simposium Perikanan Indonesia II,
Ujung Pandang 2-3 Desember 1997.
Wiryanto dan Pitoyo, Ari. 2002. Produktivitas Primer Perairan Waduk Cengklik
Boyolali. Biodiversitas. vol. 3, nomor 1, hal. 189-195. Surakarta :
Jurusan Biologi FMIPA UNS.

You might also like