Professional Documents
Culture Documents
Pendahuluan
Tuberkulosis (TB) merupakan penyakit infeksi yang terbesar di seluruh dunia.
Diperkirakan sekitar sepertiga penduduk dunia telah terinfeksi oleh Mycobacterium
tuberculosis. Pada tahun 1995, diperkirakan ada 9 juta pasien TB baru dan 3 juta kematian
akibat TB di seluruh dunia. Diperkirakan 95% kasus TB dan 98% kematian akibat TB di
dunia, terjadi pada negara-negara berkembang. Demikian juga, kematian wanita akibat TB
lebih banyak dari pada kematian karena kehamilan, persalinan dan nifas (Departemen
Kesehatan Republik Indonesia, 2006).
Di Indonesia sendiri, TB merupakan permasalahan kesehatan utama. Indonesia
menduduki peringkat ke 5 penderita TB terbanyak di dunia setelah India dan China atau
sekitar 10% dari total jumlah pasien TB di dunia (Departemen Kesehatan Republik Indonesia,
2007). Mengingat besar dan luasnya insidensi penyakit TB di Indonesia, maka diperlukan
penanggulangan yang tepat untuk memutus rantai penularan TB.
Strategi Directly Observed Treatment Shortcourse (DOTS) terbukti sebagai strategi
penanggulangan yang paling efisien secara ekonomis (Departemen Kesehatan Republik
Indonesia, 2007). Strategi ini dikembangkan dari berbagi studi, clinical trials, best practices,
dan hasil implementasi program penanggulangan TB selama lebih dari dua dekade.
Penerapan strategi DOTS secara baik, selain secara cepat merubah kasus menular menjadi
tidak menular, juga mencegah berkembangnya Multidrug Resistant-Tuberculosis (MDR-TB).
Strategi DOTS adalah pemberian Obat Anti Tuberkulosis (OAT) selama jangka waktu 6-8
bulan. Sehubungan dengan lamanya pengobatan TB diperlukan kepatuhan pasien TB untuk
teratur mengikuti pengobatan hingga tuntas. Pengobatan yang tidak teratur dan kombinasi
obat yang tidak cukup, menyebabkan timbulnya resistensi kuman TB terhadap OAT secara
meluas atau Multidrug Resistant (MDR) (Departemen Kesehatan Republik Indonesia, 2007).
MDR adalah resistensi terhadap dua obat lini pertama, yaitu rifampisin dan isoniazid
(INH) dengan atau tanpa resistensi terhadap OAT lainnya. Kondisi ini menyebabkan pasien
harus mengulang kembali pengobatan OAT dari awal dengan biaya yang lebih mahal (700
kali), lebih toxic, dan waktu yang lebih lama dengan menggunakan obat lini kedua yang
hasilnya belum tentu memuaskan.
Permasalahan MDR hingga saat ini masih merupakan masalah serius. WHO
memperkirakan terdapat hampir setengah juta kasus baru MDR-TB. Pola MDR-TB di
Indonesia khususnya Rumah Sakit Persahabatan tahun 1995-1997 adalah resistensi primer
4,6%-5,8% dan resistensi sekunder 22,95%-26,07%. Penelitian yang dilakukan Aditama
mendapatkan resistensi primer sebesar 6,86% sedangkan resistensi sekunder sebanyak
15,61%.
Hasil penelitian terbaru oleh Ida Parwati et al di Jawa Barat tahun 2006 menyatakan
bahwa pada kasus tuberkulosis baru (n= 644) resistensi antimikroba di Indonesia sebanyak 50
pasien atau 7,8% resisten isoniazid. Sebanyak 43 pasien atau 6,7% resisten terhadap
rifampisin. Sekitar 28 pasien atau 4,3% resisten terhadap etambutol. Sebanyak 44 pasien atau
6,8% resisten terhadap streptomisin. Sebanyak 24 orang atau 3,7% mengalami MDR-TB.
Sedangkan pada kasus yang sebelumnya pernah terkena tuberkulosis (n=88), sebanyak 32
pasien atau 36,4 % resisten terhadap isoniazid.
Berdasarkan gambaran tersebut dapat dirumuskan suatu permasalahan bahwa
penggunaan obat yang tidak sesuai dengan standar dan tujuan terapi justru akan merugikan
pasien. Puskesmas dan rumah sakit dalam menjalankan fungsinya sebagai pusat pelayanan
kesehatan, tentunya banyak menggunakan obat anti tuberkulosis yang obat tersebut telah
dipadukan untuk memperoleh hasil terapi yang baik dan mencegah atau memperkecil
kemungkinan timbulnya resistensi obat. Agar terapi menggunakan obat tuberkulosis tersebut
berhasil dan resiko resistennya minimal, maka diperlukan suatu uji resistensi terhadap obat
yang akan diberikan, dalam hal ini terkait dengan OAT lini pertama yaitu isoniazid dengan
hasil penelitian terbaru mendapatkan angka resistensi yang cukup signifikan. Oleh karena itu,
perlu dilakukan suatu penelitian resistensi OAT khususnya isoniazid di wilayah Kota
Mataram.
Metode Penelitian
Penelitian ini merupakan suatu penelitian deskriptif laboratoris dengan desain penelitian
cross sectional. Data pada penelitian ini merupakan gambaran resistensi Mycobacterium
tuberculosis terhadap OAT isoniazid.
Pada penelitian, pengukuran variabel dilakukan hanya satu kali yaitu pengambilan
sampel isolat klinis pasien tuberkulosis dengan kasus setelah putus berobat (default) di
wilayah Kota Mataram. Isolat klinis tersebut akan dikultur kemudian diuji resistensi bakteri
Mycobacterium tuberculosis terhadap pengobatan OAT isoniazid. Hasil yang diperoleh dari
uji laboratoris tersebut akan dijabarkan dalam bentuk data persentase tingkat resistensi
Mycobacterium tuberculosis terhadap isoniazid.
Penelitian ini menggunakan keseluruhan populasi yang diperoleh dari populasi terbatas
yaitu seluruh pasien tuberkulosis dengan kasus setelah putus berobat di wilayah Kota
Mataram dimulai dari triwulan II 2010 sampai dengan triwulan II 2011. Penentuan unit
sampel yang dipakai dilakukan dengan cara consecutive sampling, dengan kriteria inklusi
dan eksklusi sebagai berikut :
Kriteria inklusi :
1. Seluruh pasien tuberkulosis dengan kasus setelah putus berobat di pelayanan kesehatan
wilayah Kota Mataram dimulai dari triwulan II 2010 sampai dengan triwulan II 2011.
2. Pasien bersedia menjadi sampel penelitian.
Kriteria eksklusi :
1. Pasien yang tidak berada di alamat rumah yang sesuai dengan data pasien yang
tercantum di puskesmas.
2. Pasien yang telah meninggal dunia.
3. Tidak bersedia menjadi sampel penelitian.
Variabel-variabel yang digunakan dalam penelitian ini tidak dibagi menjadi variabel
tergantung ataupun variabel bebas. Adapun variabel yang digunakan dalam penelitian ini
adalah isolat klinis M. tuberculosis yang diambil dari sputum pasien, Isoniazid, M.
tuberculosis resisten Isoniazid, putus berobat, berhenti berobat, dan pengawas minum obat.
Data mengenai profil pengobatan TB pasien berhenti berobat di pelayanan kesehatan
wilayah Kota Mataram diperoleh dari pengambilan data sekunder. Data yang telah mencakup
kriteria inklusi dan eksklusi sampel akan diteliti secara laboratoris. Penelitian secara
laboratoris ini akan diobservasi langsung pada pertumbuhan kuman Mycobacterium
tuberculosis pada media yang mengandung antibiotik. Data yang diperoleh tersebut akan
diolah dan disajikan secara deskriptif dalam persentase, untuk mengetahui adanya resistensi
Mycobacterium tuberculosis terhadap isoniazid.
Hasil
Berdasarkan pengambilan data sekunder pasien TB yang berhenti berobat di pelayanan
kesehatan wilayah Kota Mataram didapatkan 16 pasien. Dari keenam belas pasien ini
dilakukan pengambilan sampel disesuaikan dengan kriteria inklusi yaitu dengan cara
pemeriksaan sputum BTA. Adapun daftar pasien yang berhenti berobat yang akan dilakukan
uji BTA dapat dilihat pada lampiran 4.
10
9
8
7
6
Jumlah Pasie n be rhe nti be robat
5
4 II 2010 sampai dengan triwulan II 2011
Jumlah pasien berhenti berobat periode triwulan
3
2
1
0
triwulan II, III, IV tahun 2010
Gambar 1. Grafik Penyebaran Data Pasien Berhenti Berobat Periode Triwulan II 2010
sampai dengan Triwulan II 2011 menurut periode triwulan per tahun.
pelayanan kesehatan wilayah Kota Mataram berdasarkan setiap tahun. Penyebaran data total
sampling setiap tahun adalah sebanyak 6 sampel pada tahun 2010 dan 10 sampel pada tahun
2011. Untuk melihat sebaran data pasien berhenti berobat di puskesmas dan RSUP wilayah
Kota Mataram dapat dilihat pada tabel berikut:
Tabel 1. Penyebaran Data Jumlah Pasien Berhenti Berobat mulai Periode Triwulan II
2010 sampai dengan Triwulan II 2011
Instansi pelayanan kesehatan
Persentase ( %)
Puskesmas Cakranegara
18,75
Puskesmas Pagesangan
25
12,5
6,25
RSUP NTB
37,5
Total
16
100
Berdasarkan tabel di atas penyebaran data jumlah pasien yang berhenti berobat mulai
periode triwulan II tahun 2010 sampai dengan triwulan II tahun 2011 di wilayah Kota
Mataram terdapat pada RSUP NTB, yaitu 37,5% dari 16 total pasien putus dan gagal berobat
di Wilayah Kota Mataram. Dari seluruh sampel ini ada 4 sampel yang masuk dalam
pengkajian, sedangkan 12 sampel dikeluarkan dari penelitian dalam proses pengolahannya.
Hasil pemeriksaan BTA dapat dilihat pada lampiran 4. Adapun data mengenai sampel
penelitian yang akan dilakukan kultur dan uji resistensi dapat dilihat pada tabel berikut :
Tabel 2. Distribusi Wilayah Pelayanan Kesehatan dan PMO Pasien dengan BTA (+)
No. Pasien
Wilayah
PMO
N
7
PKM.
Pagesangan
Keluarga
1
9
PKM.
Cakranegara
Keluarga
1
10
PKM. Dasan
Cermen
Keluarga
1
16
RSUP NTB
Keluarga
1
Total
Berdasarkan hasil penelitian yang tercantum pada tabel 4.2 didapatkan ditribusi wilayah
pelayanan kesehatan pasien BTA (+) masing-masing satu orang pada masing-masing wilayah
yang tercantum. Terlihat PMO yang terlibat pada masing-masing pasien adalah keluarga dari
pasien sendiri.
Penelitian ini dilakukan sesuai dengan panduan laboratorium Balai Laboratorium
Kesehatan (BLK) Kota Mataram.
Tabel 3. Persentase Resistensi M. tuberkulosis Terhadap Isoniazid
Kultur resistensi
Jumlah
Sensitif
50
Resisten
50
Total
100
Resisten
Total
Puskesmas Selaparang
Puskesmas Cakranegara
0
0
Puskesmas Mataram
Puskesmas Pagesangan
RSU Mataram
Dapat disimpulkan dari tabel di atas bahwa pola sensitivitas M. tuberculosis terhadap
isoniazid pada setiap instansi peyalanan kesehatan yang ada di wilayah Kota Mataram, pasien
yang menjadi responden memiliki pola yang sama besarnya dengan pola resistensi, yaitu
masing-masing 2 pasien.
Pembahasan
Pada penelitian ini, didapatkan 16 pasien yang akan dijadikan populasi penelitian yaitu
pasien TB yang berhenti berobat menurut pengertian pelayanan kesehatan yang ada di
wilayah Kota Mataram. Alasan kenapa dari ke 16 pasien ini berhenti berobat ada beberapa
kemungkinan, salah satunya yaitu kemungkinan pasien tidak mengingat apakah waktu
pengobatannya sudah selesai atau tidak, ataupun dari petugas puskesmas yang memegang
program TB di wilayah yang bersangkutan yang kurang merekap data pasien tersebut. Dari
sekian pasien yang dapat dilihat pada lampiran 2, penderita TB terbanyak yang mengalami
berhenti berobat terdapat pada wilayah Cakranegara.
Keenam belas pasien tersebut dilakukan pemeriksaan sputum BTA sehingga bisa
diketahui apakah pasien ini layak dijadikan sampel atau terekslusi. Dari hasil pemeriksaan
sputum BTA, didapatkan 4 sampel yang dianggap memenuhi kriteria inklusi yaitu pasien
tersebut disimpulkan mengalami kasus setelah putus berobat atau default , hal ini dibuktikan
dengan hasil pemeriksaan BTA +.
Ada banyak faktor yang dapat mempengaruhi terjadinya kasus setelah putus berobat
(default) pada pasien TB, seperti yang telah dikemukakan oleh
Susilaningtyas pada
Jadi, tugas dari pengawas petugas kesehatan dalam pengobatan TB dalam memilih dan
mengawasi PMO yang baik untuk pasien masih perlu diperketat.
Faktor yang selanjutnya yang berkaitan dengan keberhasilan pengobatan TB dalam hal ini
agar tidak terjadinya putus berobat adalah manajemen program pengobatan. Untuk
puskesmas dan RSUP di wilayah Kota Mataram tempat dilakukan penelitian ini, manajemen
program pengobatan TB telah dicanangkan, namun masih banyak keterbatasan salah satunya
adalah petugas yang memegang program TB tiap-tiap puskesmas hanya ada 1 orang. Hal ini
pula yang mengakibatkan terhambatnya program pengobatan TB walaupun manajemen
programnya telah dibuat sebaik mungkin di puskesmas setempat.
Faktor terakhir adalah hal-hal yang berhubungan dengan pasien meliputi tingkat
pengetahuan tentang TB, dan tingkat kepatuhan pengobatan. Faktor yang ketiga ini
sebenarnya berhubungan dan berkaitan dengan faktor-faktor sebelumnya. Pengawas petugas
kesehatan seharusnya bisa mengontrol dan mengawasi apakah manajemen program
pengobatan TB ini telah berjalan dengan baik atau tidak, salah satunya tindak lanjut terhadap
penyakit TB. Untuk meningkatkan pengetahuan tentang TB dan tingkat kepatuhan
pengobatannya, petugas kesehatan yang memegang ataupun yang tidak memegang program
TB seharusnya melakukan promosi tentang penyakit ini karena dengan cara ini diharapkan
masyarakat dapat peka dan mengetahui lebih banyak tentang penyakit TB. Dapat dilihat di
wilayah Kota Mataram masih terdapat sekian persen angka kejadian pasien yang berhenti
berobat dalam kurun waktu 1 tahun, ini membuktikan bahwa kegiatan promosi kesehatan
yang dilakukan oleh petugas kesehatan di wilayah setempat belum tercapai maksimal.
Hasil penelitian yang dikemukakan oleh Susilaningtyas sangat sesuai dengan hasil
penelitian ini, yang menyatakan juga bahwa faktor-faktor yang dapat memicu tingginya
angka kejadian default pada pasien TB. Data mengenai faktor-faktor tersebut didapatkan oleh
peneliti dalam pengisian ceklist sebelum dilakukannya pengambilan sputum, pasien
cenderung mengakui berhenti minum obat pada fase intensif. Hal ini dapat dilihat karena
tingkat pengawasan petugas kesehatan yang kurang dan hal-hal yang berhubungan dengan
10
pengetahuan tentang TB serta tingkat kepatuhan pengobatan yang kurang dari pasien. Data
faktor-faktor yang dapat mempengaruhi berhenti berobat ini selain dari ceklist juga
didapatkan dari hasil wawancara pemegang program TB dalam wilayah puskesmas masingmasing.
Data resistensi isoniazid yang didapatkan dalam penelitian ini terhitung 50% atau
setengah dari sampel yang memenuhi kriteria inklusi yaitu pasien TB yang BTA ( + )
kemudian dilanjutkan dengan kultur bakteri dengan menggunakan biakan Ogawa, dan
selanjutnya dilakukan uji resistensi. Untuk data resistensi isoniazid pada penelitian ini dapat
dikatakan suatu persentase yang cukup tinggi, karena satu orang yang mengalami resistensi
pada suatu daerah, maka dalam kurun waktu satu tahun akan menularkan ke 10 sampai 15
orang. Oleh karena itu, walaupun dalam penelitian ini terlihat sangat sedikit distribusi pola
resistensi akan obat isoniazid, namun sangat berdampak besar terhadap dunia kesehatan.
Dapat diasumsikan, jika tahun ini terdapat 2 pasien yang resistensi akan OAT khususnya
isoniazid yang merupakan OAT lini pertama, maka bisa dibayangkan satu tahun kemudian
pasien TB yang resistensi obat tersebut akan menularkan ke 10 orang lainnya, begitu pula
untuk tahun berikutnya jika tidak dilakukan suatu penanggulangan ataupun pencegahan.
Resistensi yang terjadi pada pasien dalam penelitian ini kemungkinan besar mengalami
resistensi sekunder. Dikatakan resistensi sekunder karena pasien dalam penelitian ini
mengalami berhenti berobat masih dalam fase intensif, sehingga pasien ini mengalami
resistensi obat anti tuberkulosis isoniazid.
Dalam menanggulangi suatu daerah yang mengalami resistensi yang cukup tinggi,
adapun menurut penelitian yang dilakukan Gitawati dkk tahun 2006, upaya dan program
pemerintah adalah menetapkan surveilans rutin untuk MDR, namun ada pula faktor yang
berperan pada keberhasilan surveilans MDR ini antara lain kinerja program TB, termasuk
kualitas Sumber Daya Manusia (SDM) yang meliputi penanganan kasus (case holding), cara
melakukan sampling untuk mendapatkan spesimen dahak yang berkualitas, dan tersedianya
11
12
(Kumalasari, 2011), dan resistensi Streptomisin (Silaen, 2011). Jadi, hasil ini menunjukkan
bahwa pasien telah mengalami MDR. Angka kejadian MDR di dunia memang sangat tinggi,
hal ini dapat dilihat dari data yang disajikan oleh WHO yang menyatakan bahwa kejadian
MDR di Indonesia menduduki peringkat kedelapan jumlah kasus MDR-TB dari 27 negara.
Data awal survei resistensi obat OAT lini pertama (Drug Resistant Survey = DRS) yang
dilakukan di Jawa Tengah pada 2006, menunjukan angka MDR-TB pada kasus baru 2,07%
angka ini meningkat pada pasien yang pernah diobati sebelumnya yaitu 16,3 %. Beberapa
komponen yang harus dipenuhi dalam penatalaksanaan MDR TB adalah tersedianya sarana
laboratorium yang tersertifikasi khususnya uji resistensi OAT, obat obat lini kedua yang
lengkap dan sumber daya manusia yang terlatih serta sumber dana yang memadai. (Wibisono,
M. J.,et al, 2010)
Kesimpulan
Berdasarkan analisis hasil dan pembahasan diatas, dapat ditarik beberapa kesimpulan
penelitian, antara lain (1) Pasien TB dengan kasus setelah putus berobat (default) masih
cukup tinggi di Kota Mataram khususnya di wilayah Cakranegara, (2) Faktor dominan yang
mempengaruhi terjadinya resistensi Isoniazid pada pasien BTA (+) adalah ketidakpatuhan
minum obat , dan (3) Resistensi M. tuberculosis pada pasien putus berobat dengan sputum
BTA + di wilayah Kota Mataram sebesar 50% .
Daftar Pustaka
13
Aditama, T. J. (2006), XDR-TB, Jurnal Tuberkulosis Indonesia, Vol. 3 No. 2 pp. 20.
Balai Laboratorium Kesehatan Mataram. (2000), Standard Operating Procedures (SOP) In
Microbiology. Laboratorium Kesehatan Departemen Kesehatan Republik Indonesia.
Brooks, G.F., Butel, J.S., Morse, S.A. (2008), Mikrobiologi Kedokteran Jawetz, Melnick &
Adelberg, edisi 23, cetakan pertama. EGC : Jakarta.
Brunton,
L.L.,Lazo,
J.S.,
Parker, K.L.
editors.
(2006),
Goodman
&
Gilmans
edisi
2,
68
cetakan
pertama
available
from
http://www.tbindonesia.or.id/pdf/BUKU_PEDOMAN_NASIONAL.pdf (accessed : 20
Juli, 2011)
Departemen
Kesehatan
Penanggulangan
Republik
Tuberkulosis,
Indonesia.
(2007),
available
Pedoman
from
Nasional
:
http://www.tbindonesia.or.id/pdf/BUKU_PEDOMAN_NASIONAL.pdf (accessed : 20
Juli 2011)
14
available
from
http://xa.yimg.com/kq/groups/46694515/1060976715/name/bookmikroskopis.pdf
(accessed : 21 Desember, 2011)
Gitawati, R., Isnawati, A., Raini, M. (2006), Proporsi Resistensi Ganda (MDR) TB Paru Di
Kabupaten
dan
Kota
Pekalongan
Berdasarkan
Survey,
available
from
Di
Indonesia,
available
from
H.
(2008),
Tuberkulosis
Paru
Resistensi
Ganda,
available
from
http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/3375/1/08E00731.pdf (Accessed : 20
Juli, 2011)
UKK Respirologi PP IDAI. (2007), Jurnal Respirologi Indonesia, available from
http://jurnalrespirologi.org/jurnal/APRIL%20VOL_30%20NO_2%202007.pdf
(Accessed : 20 Juli, 2011)
Viska, Oke. (2007), Extensively Drugs Resistant Tubeculosis (XDR-TB), available from :
www.cdc.gov/tb/publications/factsheets/drtb/xdrtb.htm (Accessed : 20 Juli, 2011)
WHO.
(2011),
WHO
Report
Global
Tuberculosis
Control,
available
from:
Mantingan
Ngawi
Periode
Februari
April
2009,
available
from
17