You are on page 1of 10
73 DEMAM TIFOID Djoko Widodo PENDAHULUAN Demam tifoid masih merupakan penyakit endemik di Indonesia. Penyakit ini mudah menular dan dapat menyerang banyak orang sehingga dapat menimbulkan wabah, EPIDEMIOLOG! Sejak awal abad ke-20, insidens demam tifid menurun di USA dan ropa, Hal ini dikarenakan ketersediaan air bersih dan sistem pembuangan yang baik, dan inl belum dimilik ‘oleh sebagian besar negara berkembang. Insidens demam tifoid yangtergolong tinggi terjadi di wilayah Asia Tengah, Asia Selatan, Asia Tenggara, dan kemungkinan Afrika Selatan (Insidens >100 kasus per 100,000 populasi per tahun). nsidents demamtifeid yang tergolong sedang (10-100 kasus per 100.000 populasi pertahun) berada diwilayah Afrika, Amerika Latin, dan Oceania (kecuali Australie dan SelandiaBaru); serta yang termasuk rendah (<10 kasusper 100.000 populasi per tahun) di bagian dunia lainnya Di Indonesia, insidens demam tifoid banyak dijurpai pada populas yang berusia 3-19 tahun. Kejadian demam tifoid di Indonesia juga berkaitan dengan rumah tangga, yaitu adanya anggota keluarga dengan riwayat terkena demam tifoid, tidak adanya sabun untuk mencucltangan, menggunakan piring yang sama untuk makan, dan tidak tersedianya tempat buang air besar dalam rumah Ditjen Bina Upaya Kesehatan Masyarakat Departemen Kesehatan Ri tahun 2010, melaporkan demam tifoid menempati urutan ke-3 dari 10 pola penyakit terbanyak pada pasien rawat nap di rumah sakit di Indonesia (41.081 asus) 549 PATOGENESIS Masuknya kuman Salmonella typhi (S. typhi) dan Salmonella paratyphi (S. paratyphi) ke dalam tubuh ‘manusia terjadi melalui makanan yang terkontaminast. Sebagian kuman dimusnahkan dalam lambung, sebagian lolos masuk ke dalam usus dan selanjutnya berkembang biak. Bila respons imunitas humoral mukosa (IgA) usus keurang bai, maka kuman akan menembus sel-sel epitel (terutama sel-M) dan selanjutnya ke lamina propia. Di lamina propia kuman berkembang biak dan difagosit leh sel-sel fagosit terutama oleh makrofag. Kuman dapat hidup dan berkembang biak di dalam makrofag dan selanjutnya dibawa ke plak Peyeri ileum distal dan kemudian ke kelenjar getah bening mesenterika Selanjutnya melalui duktus torasikuskuman yang terdapat di dalam makrofag ini masuk ke dalam sirkulasi darah (mengakibatkan bakteremia pertama yang asimtomatik) ddan menyebar ke seluruh organ retikuloendotelialtubuh terutama hati dan limpa. Di organ-organ ini kuman rmeninggalkan sel-selfagosit dan kemudian berkembang biak di luar sel atau ruang sinusoid dan selanjutnya masuk ke dalam sirkulasi darah lagi mengakibatkan bakteremia yang kedua kanya dengan diserta tanda-tanda dan gejala penyakitinfeksi sistem Kuman dapat masuk ke dalam kandung empedu, berkembang biak, dan bersama cairan empedu diekskresikan secara intermiten ke dalam lumen usus. Sebagian kuman dikeluarkan melalui feses dan sebagian masuk lagi ke dalam sirkulasi setelah menembus usus. Proses yang sama terulang kembal,karena makrofag yang telah teraktvasi, hiperaktif; maka saat fagositosis kuman, Salmonella terjadi pelepasan beberapa mediator inlamasi yang selanjutnya akan menimbulkan gejalareaksiinflamasi sistemik seperti demam, malaise, mialgia, sakit kepala, 550 PENYAKIT TROPIK DAN INFEKS! Plek peyert ileum distal }¢——| | KGB mesenterka| q See J eel Aeeoeat 1 ES + Sirkulasi darah Berkembang biak P | 1 Tanda gejalasisterik A eeeieg eros Hiperaktit | ¢— | Makrofag Berkembang bak | teraktivasi | ¢—Tenembus Se oA Lumen usus reaks! seperti semua bce este) icdienae| Rx. Hipersensitivitas: ee tipe lambat )—Akumulas! nar Le Teak hiperplasiaplek peyen'_|<—| Miperblsi | [>| érosi pemb. dara |—® | _Perdorahan saluran coma es berjalan terus —» [Menembus lap | 9” Perporasi L_» Proses berjalan terus mukosa dan otot ve Gambar 1. Patofsiologi demam tifoid DEMAM TIFOID sakit perut, gangguan vaskular, mental, dan koagulas. Didalam plak Peyeri makrofag hiperaktif menimbulkan reaksi hiperplasia jaringan (S. typhi intra makrofag menginduksi reaksi hipersensitivitas tipe lambat, hiperplasia jaringan dan nekrosis organ). Perdarahan saluran cera dapat terjaciakibat erosi pembuluh darah sekitar plague Peyeri yang sedang mengalami nekrosis din hiperplasia akibat akumulasisel-sel mononuklear di dinding usus. Proses patologisjaringan limfoid ini dapat berkembang hingga ke lapisan oto, serosa usus, dan dapat ‘mengakibatkan perforas. Endotoksin dapat menempel di reseptor sel endotel kapiler dengan akibat timbulnya komplikasi seperti gangguan neuropsikiatrik, kardiovaskular, pernapasan, dan gangguan organ lainnya. GAMBARAN KLINIS Penegakan diagnosis sedini mungkin sangat bermanfaat ‘agar bisa diberikan terapi yang tepat dan meminimalkan komplikasi. Pengetahuan gambaran klinis penyakit ini sangat penting untuk membantu mendeteksi secara dini. \Walaupun pada kasus tertentu dibutuhkan pemeriksaen tambahan untuk membantu menegakkan diagnosis. Masa inkubasi demam tifoid berlangsung antara 10- 14 hari. Gejala-gejala klinis yang timbul sangat bervariasi dariringan sampai dengan berat, dari asimtomatik hingga gambaran penyakit yang khas disertai komplikasi hingga kematian, Pada minggu pertama gejala klinis penyakit ini ditemukan keluhan dan gejala serupa dengan penyakit infeksi akut lain yaitu demam, nyeri kepala, pusing, nyeri otot, anoreksia, mual, muntah, obstipasi atau diare, perasaan tidak enak di perut, batuk, dan epistaksis. Pada pemeriksaan fisik hanya didapatkan suhu badan rmeningkat Sifat demam adalah meningkat perlahan-lahan terutama pada sore hingga malam hari, Dalam minggu kedua gejala-gejala menjadi lebih jelas berupa demam, bracikardia relatif(bradikardia relatif adalah peningketan suhu 1°C tidak dilkuti peningkatan denyut nadi 8 kali per ‘meni, lidah yang berselaput (kotor di tengah, tepi dan jung merah serta tremor), hepatomegali splenomegali ‘meteroismus, gangguan mental berupa somnolen, sopor, koma, delirium, atau psikosis. Roseolae jarang ditemukan pada orang Indonesia. PEMERIKSAAN LABORATORIUM Pemeriksaan Rutin \Walaupun pada pemeriksaan darah perifer lengkap sering ditemukan leukopenia, dapat pula terjadi kadar leukosit 551 normal atau leukositosis. Leukositosis dapat terjadi walaupun tanpa disertai infeksi sekunder. Selain itu pula dapat ditemukan anemia ringan dan trombositopenia. Pada pemeriksaan hitung jenis leukosit dapat terjadi ‘aneosinofilia maupun limfopenia. Laju endap darah pada demam tifoid dapat meningkat. SGOT dan SGPT seringkali meningket, tetapi akan kembali menjadi normal setelah sembuh. Kenaikan SGOT dan SGPT tidak memerlukan penanganan khusus. Pemeriksaan lain yang rutin dilakukan adalah uji jal dan kultur salmonella shigella. Sampai sekarang, kultur masih menjadi standar baku dalam penegakkan diagnostik. Selain uji widal, terdapat beberapa metode pemeriksaan serologi lain yang dapat dilakukan dengan cepat dan mudah serta memilikisensitivitas dan spesifisitas lebih balk dari antara lain pemeriksaan serologi |gM/IgG salmonella, Uji Widal Uji Widal ditakukan untuk deteksi antibodi terhadap kuman S. typhi. Pada uji Widal terjadi suatu reaksi aglutinasi antara antigen kuman S. typhi dengan antibod yang disebut aglutinin. Antigen yang digunakan pada uji ‘Widal adalah suspensi Salmonella yang sudah dimatikan dan diolah di laboratorium, Maksud uji Widal adalah untuk menentukan adanya aglutinin dalam serum penderita tersangka demam tifoid yaitu: a). Aglutinin O (dari tubuh kuman), 6). Aglutinin H (flagela kuman), dan c), Aglutinin Vi (simpai kuman), Dar ketiga aglutinin tersebut hanya aglutinin O dan H yang digunakan untuk diagnosis demam tifoid. Semakin tinggi titernya semakin besar kemungkinan terinfeksi kuman ini Pembentukan aglutinin mulai terjadi pada akhir minggu pertarna demam, kemudian meningkat secara cepat dan mencapai puncak pada minggu ke-empat, dan tetap tinggi selama beberapa minggu. Pade fase akut rmula-mula timbul aglutinin ©, kemudian diikuti dengan aglutinin H. Pada orang yang telah sembuh aglutinin © masih tetap dijumpai setelah 4-6 bulan, sedangkan aglutinin H menetap lebih lama antara 9-12 bulan. Oleh arena itu uj Widal bukan untuk menentukan kesembuhan penyakit. ‘Ada beberapa faktor yang mempengaruhi uji Widal yaitu:t}, Pengobatan dini dengan antibiotik, 2). Gangguan pembentukan antibodi, dan pemberian kortikosteroid, 3) Waktu pengambilan darah, 4). Daerah endemik atau non- cendemik,§).Riwayat vaksinasi, 6). Reaksi anamnestik, yaitu peningkatan titer aglutinin pada infeksi bukan demam tifoid akibat infeksi demam tifoid masa lalu atau vaksinasi, 7). Faktor teknik pemeriksaen antar laboratorium, akibat aglutinasi silang, dan strain Salmonella yang digunakan untuk suspensi antigen. 552 Saat ini belum ada kesamaan pendapat mengenai titer aglutinin yang bermakna diagnostik untuk demam tifoid. Batas titer yang sering dipakai hanya kesepakatan saja, hanya berlaku setempat dan batas ini bahkan dapat, berbeda di berbagai laboratorium setempat. Uji Typhidot Ujityphidot dapat mendeteksiantibodi IgM dan loG yang terdapat pads protein membran luar Salmonella typhi Hasil positif pada ujityphidot didapatkan 2-3 hari setelah infeksi dan dapat mengidentifikasisecara spesifantibodi IgM dan IgG terhadap antigen S. typhi seberat 50 KD, yang terdapat pada strip nitroselulosa Didapatkan sensitivtas yjiini sebesar 98%, spesifisitas sebesar 76.6% dan efisiensi uj sebesar 84% pada peneliian yang dilakukan oleh Gopalakhrisnan dkk (2002) yang dlilakukan pada 144 kasus demam tifoid. Pada penelitian lain yang dilakukan oleh Olsen dkk, didapatkan sensitiftas dan spestisitas ui ini hampir sama dengan uji Tubex yaitu 79% dan 89% dengan 78% dan 89%, Pada kasus reinfeksi, respons imun sekunder (IgS) teraktivasi secara berlebihan sehingga IgM sult terdeteks. gG dapat bertahan sampai 2 tahun sehingga pendeteksian 1gG saja tidak dapat digunakan untuk membedakan antara infeksi akut dengan kasus reinfeksi atau Konvalesen pada asus infeksi primer. Untuk mengatasi masalah tersebut, ji ini kemudian dimodifkasi dengan menginaktivastotal lgG pada sampel serum. Uji ini, yang dikenal dengan nama uji Typhidot-M, memungkinkan ikatan antara antigen dengan IgM spesifk yang ada pada serum pasien, Stud evaluasi yang dilakukan oleh Khoo KE dkk pada tahun 1997 terhadap Uji Typhidot M menunjukkan bahwa uji ini bahkan lebih sensitf (sensitvitas mencapai 100%) dan lebih cepat (3 jar) dilakukan bila dibandingkan dengan kultur Uji IgM Dipstick Uji ini secara khusus mendeteksi antibodi IgM spesifik tethadap S. typhi pada spesimen serum atau whole blood. Uji ini menggunakan strip yang mengandung antigen lipopolisakarida (LPS) S. typhoid dan anti IgM {sebagai kontrol), reagen deteksi yang mengandung antibodi anti IgM yang dilekati dengan lateks pewarna cairan membasahi strip sebelum diinkubasi dengan reagen dan serum pasien, tabung uji. Komponen perlengkapan ini stabil untuk disimpan selama 2 tahun pada suhu 4-25° C di tempat kering tanpa paparan sinar matahari, Pemeriksaan dimulai dengan inkubasi strip pada larutan campuran reagen deteksi dan serum, selama 3 jam pada suhu kamar Setelat inkubas, strip dibilas dengan air mengalir dan dikeringkan, Secara semi kuanttatfdiberikan perilaian terhadap garis uj dengan rmembandingkannya dengan reference strip. Garis kontrol hrarus terwarna dengan baik PENYAKIT TROPIK DAN INFEKS! House dkk, 2001 dan Gasem MH dkk, 2002 menelit mengenai penggunaan uji ini dibandingkan dengan pemeriksaan kultur darah di indonesia dan melaporkan sensitivitas sebesar 65-77% dan spesifisitas sebesar 95- 100%, Pemeriksaan ini mudah dan cepat (dalam 1 hari) dilakukan tanpa peralatan khusus apapun, namun akurasi hasil didapatkan bila pemeriksaan dilakukan 1 minggu setelah timbulnya gejala Kultur Darah Hasil biakan darah yang positif merastikan demam tifoid, akan tetapi hasil negatif tidak menyingkirkan demam tifoid, karena mungkin disebabkan beberapa hal seperti berikut : 1), Telah mendapat terapi antibiotik. Bila pasien sebelum dilakukan kultur darah telah mendapat antibiotik pertumbuhan kuman dalam media biakan terhambat dan hhasil mungkin negatif; 2). Volume darah yang kurang (diperiukan kurang lebih 5 ce darah). Bila darah yang dibiak terlalu sedikt hasil biakan bisa negatif. Darah yang diambil sebaiknya secara bedside langsung dimasukkan ke dalam media cair empedu (oxgal) untuk pertumbuhan kuman; 3) Riwayat vaksinasi. Vaksinasi di masa lampau menimbulkan antibod dalam darah pasien. Antibodi (aglutinin) ini dapat menekan bakteremia hingga biakan darah dapat negatif; 4), Waktu pengambilan darah setelah minggu pertama, pada saat aglutinin semakin meningkat. PENATALAKSANAAN ‘Sampai saat ini trlogi penatalaksanaan demam tifoid, adalah: Istirahat dan perawatan, dengan tujuan mencegah komplikasi dan mempercepat penyembuhan Diet dan terapi penunjang (simtomatik dan suportif), dengan tujuan mengembalikan rasa nyaman dan kesehatan pasien secara optimal. Pemberian antimikroba, dengan tyjuan menghentikan ddan mencegah penyebaran kuman Istirahat dan perawatan. Tirah baring dan perawatan profesional bertujuan untuk mencegah korplikasi. Tah baring dengan perawatan sepenuhnya di tempat seperti akan, minum, mandi, buang air kecil, dan buang air besar ‘akan membantu dan mempercepat masa penyembuhan. Dalam perawatan perlu sekali djaga kebersihan tempat tidur, pakaian, dan perlengkapan yang dipakai. Posisi pasien perlu diawasi untuk mencegah dekubitus dan pneumonia ortostatik serta higiene perorangan tetap perlu diperhatikan dan dijaga, Diet dan terapi penunjang. Diet merupakan hal yang ‘cukup penting dalam proses penyembuhan penyakit DEMAM TIFOID 553 demam tifoid, karena makanan yang kurang akan menurunkan keadaan umum dan gizi penderita akan semakin turun dan proses penyembuhan akan menjadi lama. Di masa lampau penderita demam tifoid diberi diet bubur saring, kemudian ditingkatkan menjadi bubur kasar dan akhirnya diberikan nasi, yang perubahan diet tersebut disesuaikan dengan tingkat kesembuhan pasien, Pemberian bubur saring tersebut ditujukan untuk menghindari Komplikasi perdarahan saluran cerna atau perforasi usus. Hal ini disebabken ada pendapat bahwa sus harus diistirahatkan. Beberapa peneliti menunjukkan bahwa pemberian makan padat diniyaitu nasi dengan lauk pauk rendah selulosa (menghindari sementara sayuran yang berserat) dapat diberikan dengan aman pada pasien ‘demam tifoid. Pemberian antimikroba. Obat-obat antimikroba yang sering digunakan untuk mengobati demam tifoid adalah sebagai berikut: + Kloramfenikol. Di indonesia kloramfenikol masih merupakan obat pilihan untuk mengobati demam tifoid, Dosis yang diberikan adalah 4 x 500 mg per hari dapat diberikan secara per oral atau intravena, Diberikan sampai dengan 7 hari bebas panas. Penyuntikan intramuskular tidak dianjurkan oleh Karena hidrolisis ester ini tidak dapat diramalkan ddan tempat suntikan terasa nyeri, Dari pengalaman ppenggunaen obat ini dapat menurunkan demam rata- rata 7,2 hari Penulis lain menyebutkan penurunan demam dapat terjadirata-rata setelah hari ke-5. Pada penelitian yang dilakuken selame 2002 hingga 2008 leh Mochario LH dkk didapatkan 90% kurman masih ‘memiliki kepekaan terhadap antibiotik in. + Tiamfenikol. Dosis dan efeltivitas tiamfenikol pada 57°C, iodisasi, dan klorinisasi) 11. Pengunjung ke daerah ini harus minum air yang telah melalui pendidihan, menjauhi makanan segar (sayur/ buah) 12. Vaksinasi secara menyeluruh pada masyarakat setempat maupun pengunjung VAKSINASI Vaksin pertama kali ditemukan tahun 1896 dan setelah tahun 1960 efektivitas vaksinasi telah ditegakkan, keberhiasilan proteksi sebesar 51-88% (WHO) dan sebesar 67% (Universitas Maryland) bila terpapar 105 bakter tetapi tidak mampu proteksi bila terpapar 107 bakteri ‘Vaksinasitifoid belum dianjurkan secara rutin di USA, 10 tahun dan anak usia 5-9 th insidens turun 17%, Vaksin parenteral non-aktif relatif lebih sering menyebabkan efek samping serta tidak seefektif vaksin Jenis ViCPS maupun Ty21a oral. Jenis vaksin dan jadwal pemberiannya, yang ada saat ini di Indonesia hanya ViCPS, Indikasi Vaksinasi Tindakan preventif berupa vaksinasi tifoid tergantung pada faktorrisiko yang ada, yaitu faktor individual atau populasi + Populasi: anak usia sekolah di daerah endemik, personil militer, petugas rumah sakit, laboratorium Kesehatan, industri makanan/minuman, + Individval pengunjung/wisatawan ke daerah endemik, trang yang kontak erat dengan tifoid karier. Pada anak usia 2-5 tahun toleransi dan respons imunologisnya sama denganorang dewasa. Kontraindikasi Vaksinasi Vaksin hidup oral Ty21a secara teoritis dikontraindikasikan pada seseorang yang alergi atau riwayat efek samping erat, penurunan imunitas, dan kehamilan (karena sedikitnya data). Bila diberikan bersamaan dengan obat anti-malaria (klorokuin, meflokuin) dianjurkan minimal setelah 24 jam pemberian obat baru dilakukan vaksinasi. Dianjurkan tidak memberikan vaksinasi bersamaan dengan bat sulfonamid atau antimikroba lainnya. Efek Samping Vaksinasi Pemberian vaksin Ty21a menimbulkan demam pada 0-5%, kasus sakit kepala (0-5%), sedangkan pada VICPS efek samping lebih kecil (demam 0,25%; malaise 0,5%, sakit kepala 1,5%, rash 5%, reaksi yer lokal 17%). Efek samping terbesar pada veksin parenteral adalah 6,7-24%, nyeri kepala 9-10% dan reaksi lokal nyeri dan edema 3-35% bbahkan reaksi berat termasuk hipotensi, nyeri dada, dan syok dilaporkan pernah terjadi meskipun sporadis dan sangat jarang terjadi. Efektivitas Vaksinasi Serokonversi (peningkatan titer antibod 4 kali) setelah vvaksinasi dengan ViCPS terjadi secara cepat yaitu sekitar 15 hari -3 minggu dan 90% bertahan selama 3 tahun. Kemampuan proteksi sebesar 77% pada daerah endemik (Nepal) dan sebesar 60% untuk daerah hiperendemik: 558 REFERENSI Bunin KV, Tokarenko LG, Kravtsov EG, Comparative evaluation ‘of the dynamics of physico-chemically different serum O- land K-anlibodies in typhoid and chronic typhoid caries. ‘Abstract. Zh Mikrobiol Epidemiol Immunobiol 1981, (4:67. Bradley D, Jones. SALMONELLOSIS: Host Immune Responses ‘and Bacterial Virulence Determinants. Annu. Rev. Immunol 1996, 14533-61 Caygill CP, Braddick M, Hill MJ, Knowles RL, Sharp JC. The ‘seociaton between typhoid carriage, typhoid infection and Subsequent cancer at a number of site. Eur J Cancer Prev 199540).187-9. Caygill CP, Braddick M, Hill MJ, Sharp JC. Cancer mortality in chronic typhoid and paratyphoid carriers. Lancet 1994;343(8889) 83-4. DDham SK, Thompson RA. Humoral and cell-mediated immune responses in chronic typhoid carters. Clin Exp Immunol 1982:50(1):34-40. Departemen Kesehatan RI, Data surveilans tahun 1994 Jekaria,1995 pS. Data suvellans tahun 1996. Ditjen P2M Direktorat Epidemiologi dan Imunisasi Subdirektorat Sarveilas, Jakarta: Departemen Keschatan RI 199. p. 37 Dutta U, Garg PK, Kumar R, Tandon RK. Typhoid carriers among patients with gallstones are at increased risk for earcinoma of the gallbladder. Am J Gastroenterol 2000 957847. Espersen Mogensen HE, Hoiby N, Hojl, Greibe),RasmussenSN, ‘tal, Acta Pathol Micobiol Immunol Seand,1982.90(6}:253-9. Tifa EE. Bukirwa H, Azitromycin for treating uncomplicated typhoid and paratyphoid fever (enteric fever). Cochrane Database of Systematic Review 2008, Issue 4 Art. No. ‘€1005085, DOL 10.1002/ 14651858. CD0n606S pub? Gosem MH, Smith HL, Nugrobo N, Goris MA, Dolmans WMY. ‘Evaluation of asimplean rapid dipstick assay fr diagnosis of typhoid fever in Indonesia, Journal of Medical Microbiology 2000; 1173-7 Gopalakhrisnan V, Sekhar WY, Soo EH, Vinsent RA, Devi S. “Typhoid fever in Kuala Lumpur and a comparative evaluation ‘of two commercial diagnostic kits for the detection of Antibodies to Salmonella typhi. Sing Med J 2002;43(7)3548 Homnick RB, Typhoid fever. In: Hoeprick P, Jordan MC, Ronald AR, ‘editor Infectious diseases, a treatise of infectious processes Sth ed. Philadelphia: JB Lippincott Co; 1996. p. 747-53, Handoyo I Diagnosis laboratoriur demam tifoid. Jurnal Kimia Klinik Indonesia 1996,7() 117-22. Hardi S, Soeharyo, Kamadi E. The diagnostic value ofthe Widal test in typhoid fever patients. In: Typhoid fever: Profile, diagnosis and treatmentin the 1950s. 1stISAC international Symposium. Acta Media Indonesiana 1992:188-55. Hoffman St. Typhoid fever. In: Strickland GT.editor. Hunters ‘topical medicine, 7th ed. Philadelphia: WB Saunders Co; 1991, p. 34459, Khosla SN, Severe Typhokd feveran appraisal ofits profile IreNelwan "RHI, eto. Typhoid fever. Profile, diagnosis and treatmentin. the 1990's. Ite, Jakarta: FKUI Press; 1992.p. 51-82. LL Sherwal, RK Dhamija, VS Randhavra, M ls, A Kaintura, M Kumar. A comparative study of typhidot and widal test in Patents of typhoid fever. J Indian Academy of Clinical Medicine 2004; 5): 244-6. Lanata CF, Levine MM, Ristor C, Black RE, Jimenez 1, Saleedo ‘Metal. Vi serology in detection of chronic Salmonella Typhi carriers in an endemic area, Lancet 1983.2(8347)441-3, Lim PL, Tam FCH, Cheong YM, Jegathesan M. One-step 2-minate test to detect typhoid-specifi antibodies based on particle separation in tubes, Journal of Clinical Microbiology 1995;36(8)2271.8. Lin FY, Becke JM, Groves C, Lim BPjsrael E, Becker EF. Bt al. Restaurant associated outbreak typhoid fever in Maryland: PENYAKIT TROPIK DAN INFEKSI identication of carrier facta by sua itll] Cn itil 2401987. hai John T), Rant M,e a. Sigiennce of salmonelasyphi bacteriuria. J Clin Mirobiol 1995;33(7):1791-2. i Mise Diss PS Rowley AHL. Characteristics of typhoid fever in hidren and adolescents ina major metropolitan area the Unites Sines Clin ifeeDi 199792495 Moehario LI Eni, Kianasart A. Susceptibility patterns of Salmonella typ and Salone partyp A tciprfionsn, levolloxacin choremphricol,teracyeline,cefrinxone and trimetopimsulfameloxarole during 0022008 in Joka. Dalam Nelwon REE, sta. editor), Absrtact book 1th Jtharts Antimicrobial Update 2009, Jakarta: Division of {Tropical Medicine ae Infectious Disease Internal Medline Departement p98 [Neian RHF Seb stad esksiptif kik mengena agnosis “din demam Tio. Acta Mecca Indonesia 199515135 [Nelwan RE. Pian antirobs dalam ftalaksane demam ibid: Dalam Mansjoer A, Stat, Spam AF, Laks PW, for NashahLenghapPeremean ita Tainan Penyakt Balam 23 Jaarta Pusat ener Pent Dalam FRU 2008, 11828 Nazir 1 DemanTifoid, pola kins dan pengidappascapengobatan Gi RS Perahabatan Jakarta, Naska lenphap laporan asl feneion aks PPOS Baio is Pongal Dalam, FRU SCM. ‘Nolan CM, White PC: Foley JC, ta. Viserolgy inthe detection 1 yphold cases Lance 961108220 1 1)585, ‘Olsen 5) al Evaluation of rapid dagnotc tests for typhoid fever, Journal of Clinical Microbiology, May 200, p. 1585-1889. Pohon HT, Suhendzo, Gaaran Kinis dan laboratoris demam id i Rumah Saat Perahabatan Jakarta I Zakari TVealor, Demam tois peren mediator, dingnosis, dan tera kara Pusat Informal dan Peneritan Bogan lt enyaut Dalam Talllas Kedokteran Universitas Indonesia; 20. p62. Pusponegoro AD, Syamsubidayat Relationship between biliary Sones ad nimonelaypicariage i: Nelwan RHF, eter. {Typhoid fever, rofl, diagnos and treatment inthe 180s ited Jakarta FRUI Pres 1982 p.1137 Sudarmono eataes of typhoid fever in Indonesia. In: Pang, ‘Koch Cl. Puhuchaery. Typhoid fever: trates forthe Selected papers rom the fist Asia-Pacific Symposium on “Typhoid Fever, Singapore: word sietiica 92 pul-l6 Simanjta: CH, Hofman 1, Panjabi NH, etal Epdemiolog hmam fei isuatdaerah pees Pash, Javea Barat. Cermin Dunia Kedteran 1997; 45168. suave Kesehatan Roma Tangga (KRY) 19%, Badan Penlitan ‘lan Pengembangan Kesehatan, Jakarta: Departemen echata Ri 1997p 1045 “Tokens Blecuon micneope stadsof experimental Slmoneli infection, Penetration into the ivestinal epithe by Snlmonata typhi. Am J Pathol 196750308-96, ‘aver Dy Zaidi ARM, Chirchley JA, Azmatallah A, Madoi SA. Shatta:ZA, Fluoroquinolone for retin typhoid and Faratyphotd fever (enteric fever). Cochrane Database of Eynwronc Reviews S005, lsue& Art. No: CD04530. DOL 10 1002/ 461858 CONS pbs Work Heats Organization Background document Thedlagnoss treatment and prevention of typhoid fever. 208 shan Bal Bhatnagat Styphod fever and paratyphoid fever, Uancet 2005:366:749-62 Volta AM, Ali: Van Asten HAGH, Widjia S, Visser LG SurjadiC, etal Risk factor typhoid and paratyphoi fever in kart, JAMA 2004, 291:260715 Dien BUK Depkes Rl Profle Keschatan Indonesia, Jakarta iementeran Keschatan Rl 2010. p41 tof serum

You might also like