You are on page 1of 5

Name : Vivia Honesta

Class : XII-IPS

U.P Bahasa Inggris

Indonesian Education Index Lower than


Philippines, Ethiopia
News Desk

The Jakarta Post

Jakarta | Sat, March 25, 2017 | 10:48 am

A recent study commissioned by the Network for Education Watch Indonesia


(JPPI) reveals the index of education services in Indonesia in 2016 ranks lower
than the Philippines and Ethiopia.

The Right to Education Index (RTEI) research shows that from indicators
measured in the survey, which comprise education governance, availability,
accessibility, acceptability and adaptability, Indonesia scores 77 percent.

This indicates that the quality of education in Indonesia is at the same level with
Honduras and Nigeria but lower than the Philippines (81 percent) and Ethiopia (79
percent).

The JPPI says three strategic issues need closer attention. These issues
include teachers quality, child-unfriendly schools and discrimination against
marginalized groups.

It further says Indonesias low score in terms of the quality of teachers is a


result of the unbalanced ratio on the availability of teachers especially in
outermost and secluded areas across the country. Results of a test held in 2016
show that the competency of teachers in Indonesia is still below standard.

Many schools in Indonesia are considered to still have a child-unfriendly


environment due to the rise in reports on violence, both physical and non-physical,
at school. Cases of bullying, physical violence and sexual violence against school
children have emerged so often in mass media.

The JPPI says poor access to education experienced by people from marginalized
groups needs an immediate solution. The groups include women, children in prison,
disabled people, children from poor families and refugees.

Carried out in 14 countries in collaboration with RESULTS International, the RTEI


research aims to measure the fulfillment of peoples rights to education. (dis/ebf)
Nama : Vivia Honesta

Kelas : XII IPS

Ujian Praktek Bahasa Indonesia

Jepang Catat Rekor Bunuh Diri Tertinggi di Dunia,


Simak Datanya...
Jumat, 24 Maret 2017 | 08:33 WIB

TOKYO, KOMPAS.com - Jumlah warga Jepang yang memilih mengakhiri hidup


dengan cara bunuh diri di tahun 2016, mengalami penurunan.

Fakta itu merupakan pertanda baik bagi Negeri Matahari Terbit yang selama ini
dikenal sebagai negara dengan tingkat bunuhh diri warga tertinggi di dunia.

Kementerian Kesehatan Jepang, Kamis (23/3/2017) mengungkap, pada tahun 2016


lalu tercatat angka kematian akibat bunuh diri mencapai 21.897 orang.

Jumlah ini menurun dari catatan tahun 2011 dan 1994 yang menembus angka lebih
dari 30.000 orang.

Dari jumlah tersebut, tercatat pula 15.121 korban adalah laki-laki dan 6.776
perempuan.

Penurunan jumlah kematian akibat bunuh diri ini merupakan tren positif di Jepang
yang terjadi dalam tujuh tahun berturut-turut.

Kendati demikian para ahli mengaku sulit untuk menemukan alasan dari penurunan
angka tersebut.

Sebab, aksi bunuh diri selalu merupakan kombinasi dari banyak faktor.

Selama ini, Pemerintah Jepang telah mengambil langkah khusus untuk menangani
persoalan tersebut. Hal itu diawali dengan pembuatan undang-undang di tahun 2006.
Hukum yang mengatur tentang pemberian pinjaman kepada warga pun telah
diperketat. Hal itu menyebabkan warga tak bisa mengambil utang terlalu banyak.

Langkah tersebut dilakukan seiring dengan kampanye untuk membawa isu maraknya
kasus bunuh diri tersebut ke muka publik.

Saat ini kita bisa berbicara mengenai bunuh diri," ungkap Yasuyuki Shimuzu,
seperti dikutip laman Japan Today.

Shimuzu adalah pendiri Lifelink, sebuah lembaga nirlaba untuk pencegahan aksi
bunuh diri.

Saya percaya perubahan kondisi lingkungan membuat segalanya menjadi lebih


mudah, juga memudahkan mereka yang 'bermasalah' mencari tempat pertolongan,"
kata dia.

Sebelum ada kabar baik, tentu ada kabar buruk.

Jumlah angka kematian karena bunuh diri di Jepang meningkat tajam pada tahun
1998, hingga jauh melebihi jumlah 30.000 jiwa.

Rekor itu pun bertahan hingga tahun-tahun berikutnya, selama lebih dari satu
dekade.

Masa itu menjadi masa di mana perekonomian Jepang mengalami krisis,


kebangkrutan, dan persoalan pengangguran yang memuncak.

Angka bunuh diri pun mencapai 26 kasus di tiap 100.000 penduduk.

Satu-satunya kabar baik adalah, angka kematian akibat bunuh diri tak melambung
lagi setelah resesi para di era 2008-2009.

Kemudian di tahun 2010, penurunan mulai terjadi. Dan sejak itu, angka tersebut kian
berkurang dari tahun ke tahun, hingga mencapai rekor terendah seperti era
sebelum 1998.

Ada data mengenai faktor utama dari tingginya angka bunuh diri hingga lebih dari
30.000 orang per tahun, dan penurunan hingga mendekati angka 20.000 pertahun.

Faktor utama tersebut adalah mengenai isu kesehatan dan persoalan finansial.
Penurunan tajam pun terjadi pada kelompok umur 50-59 tahun.

Para pakar menyebut, langkah yang diambil pemerintah sejak 2006 telah
menunjukkan perkembangan yang efektif.

Langkah itu mengarah para perbaikan kehidupan sosial ekonomi warga, yang
diidentifikasi menjadi salah satu faktor utama kasus bunuh diri di kelompok usia
menengah.

Upaya preventif pemerintah itu telah membuat fokus pencegahan beralih kepada
kelompok anak muda dan orang tua. Pada kelompok itulah angka kematian akibat
bunuh diri tak turun signifikan.

Meskipun mengalami penurunan, angka kematian akibat bunuh diri di Jepang masih
tercatat sebanayak 17,3 per 100.000 warga di tahun 2016.

Capaian itu masih menempatkan Jepang sebagai negara dengan angka bunuh diri
tertinggi di dunia.

Di Amerika Serikat, angka kematian akibat bunuh diri tercatat sekitar 13 per
100.000 orang per tahun. Di Inggris, angkanya tercatat di bawah 10 per 100.000,

Shimizu mengatakan, Jepang harus mencari langkah yang jitu untuk membuat rasio
itu berkurang hingga mencapai 14.000-15.000 kematian per tahun.

Rasio yang kini masih tinggi mencerminkan Jepang sebagai negara yang sulit untuk
dijadikan tempat hidup.

Pandangan itu dikatakan Dr Yutaka Motohashi, Kepala Lembaga Pemerintah untuk


Pemberantasan Bunuh Diri di Jepang.

Pencegahan bunuh diri bukan tugas para pakar atau pun lembaga-lembaga khusus
yang menangani persoalan tersebut. Masalah ini adalah beban semua orang," kata
dia.

Kita dapat melakukan langkah kecil yang sederhana dengan mencoba untuk selalu
menjangkau orang-orang di sekitar kita," ungkap Motohashi.

You might also like