You are on page 1of 16

Cerita Pendek Bahasa Inggris Kate Chopin A Story of an

Hour Beserta Artinya

karya sastra dari salah satu penulis asal Amerika yakni Kate Chopin. Penulis wanita yang
lahir pada tahun 1850 ini. Kate Chopin merupakan penulis Amerika yang produktif, salah satu
karyanya yang terkenal cerita pendek yang berjudul The Story of an Hour atau dalam bahasa
Indonesia yang berarti Kisah satu jam.

The Story of an Hour (English Version)

Knowing that Mrs. Mallard was afflicted with a heart trouble, great care was taken to break to
her as gently as possible the news of her husbands death.
It was her sister Josephine who told her, in broken sentences; veiled hints that revealed in half
concealing. Her husbands friend Richards was there, too, near her. It was he who had been in the
newspaper office when intelligence of the railroad disaster was received, with Brently Mallards
name leading the list of killed. He had only taken the time to assure himself of its truth by a
second telegram, and had hastened to forestall any less careful, less tender friend in bearing the
sad message.
She did not hear the story as many women have heard the same, with a paralyzed inability to
accept its significance. She wept at once, with sudden, wild abandonment, in her sisters arms.
When the storm of grief had spent itself she went away to her room alone. She would have no
one follow her.
There stood, facing the open window, a comfortable, roomy armchair. Into this she sank, pressed
down by a physical exhaustion that haunted her body and seemed to reach into her soul.
She could see in the open square before her house the tops of trees that were all aquiver with the
new spring life. The delicious breath of rain was in the air. In the street below a peddler was
crying his wares. The notes of a distant song which someone was singing reached her faintly, and
countless sparrows were twittering in the eaves.
There were patches of blue sky showing here and there through the clouds that had met and piled
one above the other in the west facing her window.
She sat with her head thrown back upon the cushion of the chair, quite motionless, except when a
sob came up into her throat and shook her, as a child who has cried itself to sleep continues to
sob in its dreams.
She was young, with a fair, calm face, whose lines bespoke repression and even a certain
strength. But now there was a dull stare in her eyes, whose gaze was fixed away off yonder on
one of those patches of blue sky. It was not a glance of reflection, but rather indicated a
suspension of intelligent thought.
There was something coming to her and she was waiting for it, fearfully. What was it? She did
not know; it was too subtle and elusive to name. But she felt it, creeping out of the sky, reaching
toward her through the sounds, the scents, the color that filled the air.
Now her bosom rose and fell tumultuously. She was beginning to recognize this thing that was
approaching to possess her, and she was striving to beat it back with her willas powerless as her
two white slender hands would have been. When she abandoned herself a little whispered word
escaped her slightly parted lips. She said it over and over under hte breath: free, free, free! The
vacant stare and the look of terror that had followed it went from her eyes. They stayed keen and
bright. Her pulses beat fast, and the coursing blood warmed and relaxed every inch of her body.
She did not stop to ask if it were or were not a monstrous joy that held her. A clear and exalted
perception enabled her to dismiss the suggestion as trivial. She knew that she would weep again
when she saw the kind, tender hands folded in death; the face that had never looked save with
love upon her, fixed and gray and dead. But she saw beyond that bitter moment a long procession
of years to come that would belong to her absolutely. And she opened and spread her arms out to
them in welcome.
There would be no one to live for during those coming years; she would live for herself. There
would be no powerful will bending hers in that blind persistence with which men and women
believe they have a right to impose a private will upon a fellow-creature. A kind intention or a
cruel intention made the act seem no less a crime as she looked upon it in that brief moment of
illumination.
And yet she had loved himsometimes. Often she had not. What did it matter! What could love,
the unsolved mystery, count for in the face of this possession of self-assertion which she
suddenly recognized as the strongest impulse of her being!
Free! Body and soul free! she kept whispering.
Josephine was kneeling before the closed door with her lips to the keyhold, imploring for
admission. Louise, open the door! I beg; open the dooryou will make yourself ill. What are
you doing, Louise? For heavens sake open the door.
Go away. I am not making myself ill. No; she was drinking in a very elixir of life through that
open window.
Her fancy was running riot along those days ahead of her. Spring days, and summer days, and all
sorts of days that would be her own. She breathed a quick prayer that life might be long. It was
only yesterday she had thought with a shudder that life might be long.
She arose at length and opened the door to her sisters importunities. There was a feverish
triumph in her eyes, and she carried herself unwittingly like a goddess of Victory. She clasped
her sisters waist, and together they descended the stairs. Richards stood waiting for them at the
bottom.
Someone was opening the front door with a latchkey. It was Brently Mallard who entered, a little
travel-stained, composedly carrying his grip-sack and umbrella. He had been far from the scene
of the accident, and did not even know there had been one. He stood amazed at Josephines
piercing cry; at Richards quick motion to screen him from the view of his wife.
When the doctors came they said she had died of heart diseaseof the joy that kills.
Kisah Satu Jam (Versi Indonesia)

Mengetahui bahwa Nyonya Mallard menderita penyakit jantung, maka diperlukan kehati-hatian
yang besar untuk memberitahukan padanya selembut mungkin mengenai kabar kematian
suaminya.

Adalah saudaranya, Josephine, yang mengatakan kepadanya, dengan kalimat yang terpatah-
patah, petunjuk terselubung yang terungkap sebagian. Teman suaminya, Richards, juga ada di
sana, di dekatnya. Dialah yang sedari tadi berada di kantor surat kabar ketika berita mengenai
kecelakaan kereta api diterima, dengan nama Brently Mallard yang berada di daftar teratas
tewas. Dia perlu waktu untuk meyakinkan dirinya sendiri mengenai kebenarannya dengan
telegram kedua, dan telah bergegas untuk mencegah teman yang kurang berhati-hati dan kurang
sabar dalam memikul berita menyedihkan.

Dia tidak mendengar ceritanya seperti kebanyakan wanita yang telah mendengarkan hal yang
sama, dengan ketidakmampuan untuk menerima maknanya. Dia langsung menangis, dengan
tiba-tiba, sehisteris mungkin, dalam pelukan saudaranya. Ketika badai kesedihan telah reda
dengan sendirinya dia pergi ke kamarnya sendiri. Dia tidak ingin satu orang pun mengikutinya.

Di sana ada sebuah kursi lebar yang nyaman, menghadap ke jendela yang terbuka. Di situlah dia
menjatuhkan badannya, ditekan oleh kelelahan fisik yang menghantui tubuhnya dan tampaknya
mencapai ke jiwanya.

Dia bisa melihat melalui persegi terbuka itu, di depan rumahnya, puncak-puncak pohon yang
kesemuanya bergetar dengan girangnya menyambut kehidupan baru musim semi. Harum nafas
hujan bergerak di udara. Di jalan bawah sana seorang penjual sedang menangisi barang
dagangannya. Not not dari sebuah lagu di kejauhan yang dinyanyikan seseorang sampai ke
tempatnya samar-samar, dan ratusan burung pipit berkicau di atap.

Ada petak-petak langit biru yang timbul di sana-sini melalui awan yang telah bertemu dan
menumpuk satu sama lain di barat yang menghadap ke jendelanya.

Dia duduk dengan kepalanya bersandar pada bantal kursi, tidak bergerak sama-sekali, kecuali
ketika tangisan mencegat tenggorokannya dan menggetarkan tubuhnya, seperti seorang anak
kecil yang menangis sampai tertidur lalu lanjut menangis dalam mimpinya.

Dia masih muda, dengan wajah yang terang dan tenang, yang garis-garisnya membuat kesan
represi dan bahkan kekuatan tertentu. Tapi sekarang ada tatapan menjemukan di matanya,
tatapannya itu menetap di sana, di salah satu petak-petak langit biru. Itu bukan tatapan
merenung, melainkan menunjukkan penangguhan pemikiran cerdas.

Ada sesuatu yang datang ke arahnya dan ia menunggunya, dengan ketakutan. Apa itu? Dia tidak
tahu, itu terlalu halus dan sulit untuk disebutkan. Tapi dia merasakannya, merayap dari langit,
mencapai ke arahnya melalui suara, aroma, warna yang memenuhi udara.
Sekarang dadanya naik-turun dengan gaduh. Dia mulai menyadari hal yang mendekat untuk
merasukinya ini, dan dia berjuang untuk mengalahkan itu dengan kehendaknya sebagaimana
tidak berdayanya kedua tangan putihnya yang ramping.

Ketika dia meninggalkan dirinya, seuntai bisikan kata keluar dari bibirnya yang sedikit terbuka.
Dia mengatakan itu berulang-ulang kali: bebas, bebas, bebas! Tatapan kosong dan rupa teror
yang datang berbarengan dengan itu pergi dari matanya. Mereka tetap tajam dan cerah. Nadinya
berdebar cepat, dan darahnya yang mengalir menjadi hangat dan membuat santai setiap inci
tubuhnya.

Dia tidak berhenti untuk bertanya jika hal itu adalah sebuah ledakan suka cita yang tadi
menghampirinya atau bukan. Sebuah persepsi yang jelas dan mulia memungkinkannya untuk
mengabaikan sugesti yang sepele seperti itu.

Dia tahu bahwa dia akan menangis lagi ketika ia melihat tangan lembut dan ramah itu terlipat
dalam kematian; wajah yang tampak tak pernah diisi dengan cinta pada dirinya, kaku, pucat, dan
mati. Tapi dia melihat melampaui momen pahit itu, sebuah prosesi sepanjang tahun yang akan
datang yang akan benar-benar menjadi miliknya. Dan dia membuka dan merentangkan kedua
tangannya menyambut mereka.

Tidak akan ada orang yang hidup selama tahun-tahun mendatang; dia akan hidup untuk dirinya
sendiri. Tidak akan ada hasrat kuat yang dapat membengkokkan niatnya dalam keteguhan buta
seperti itu yang mana para laki-laki dan perempuan percaya bahwa mereka memiliki hak untuk
memaksakan sebuah kehendak pribadi pada sesama makhluk. Sebuah niat baik atau niat kejam
membuat tindakannya tampak tidak kurang berdosa saat dia memandangi hal itu dalam momen
singkat pencerahan.

Namun ia mencintai suaminya kadang-kadang. Seringkali tidak. Apa bedanya! Apa yang bisa
dilakukan oleh cinta, misteri yang belum terpecahkan, dilibatkan dalam menghadapi kepemilikan
penonjolan diri ini yang tiba-tiba ia akui sebagai dorongan terkuat keberadaannya!

Bebas! Tubuh dan jiwa bebas! dia terus berbisik.

Josephine berlutut di depan pintu yang tertutup dengan bibirnya ke lubang kunci, memohon
untuk masuk. Louise, buka pintunya! kumohon, buka pintunya Kau bisa membuat dirimu
sakit. Apa yang kau lakukan Louise? Demi Tuhan, buka pintunya.

Pergilah. Aku tidak akan sakit. Tidak, dia sedang meminum obat kehidupan1 yang paling
mujarab melalui jendela yang terbuka itu.

Khayalannya berjalan dengan ributnya di sepanjang masa depannya. Hari-hari di musim semi,
dan musim panas, dan segala macam hari-hari yang akan menjadi miliknya. Dia memanjatkan
doa singkat berharap kehidupannya menjadi panjang. Baru saja kemarin dia berpikir dengan
gemetar bahwa kehidupan mungkin panjang.
Akhirnya Louise berdiri dan membukakan pintu atas permintaan saudaranya. Ada gelisah
kemenangan di matanya, dan dia membawa dirinya sendiri, tanpa disadari, seperti dewi
Kemenangan. Dia memegang pinggang saudaranya, dan bersama-sama mereka menuruni tangga.
Richards berdiri menunggu mereka di lantai bawah.

Seseorang sedang berusaha membuka pintu depan dengan sebuah kunci2. Orang itu adalah
Brently Mallard, sedikit kotor karena perjalanan, dengan tenang membawa kantong jinjingan dan
payungnya. Dia telah jauh dari lokasi kecelakaan, dan bahkan tidak tahu kalau ada kecelakaan.
Dia berdiri dengan heran melihat tangisan Josephine yang meraung-raung, juga pada gerakan
cepat Richards yang menutupinya dari pandangan istrinya.

Tapi Richards terlambat. Ketika dokternya datang, dia berkata bahwa dia telah meninggal karena
serangan jantung kegembiraan yang membunuhnya.

Anton Chekhov
Anton Pavlovich Chekhov ( ) (29 Januari 1860 15 Juli 1904)
(Kalender Julian: 17 Januari 1860 2 Juli 1904) adalah seorang penulis besar Rusia yang
terkenal terutama karena cerpen-cerpen dan dramanya. Banyak dari cerpennya dianggap sebagai
apotheosis dari bentuk sementara dramanya, meskipun hanya sedikit - dan hanya empat yang
dianggap besar - mempunyai dampak yang besar dalam literatur dan pertunjukan drama.

Chekhov lebih dikenal di Rusia modern karena ratusan cerpennya, dan banyak di antaranya
dianggap merupakan adikarya dalam bentuk karangan tersebut. Namun drama-dramanya juga
memberikan pengaruh yang mendalam terhadap drama abad ke-20. Dari Chekhov, banyak
pengarang drama kontemporer belajar bagaimana memanfaatkan suasana hati, hal-hal yang
kelihatannya tidak berarti dan inaksi (berdiam diri) untuk menyoroti psikologi batin para
tokohnya. Keempat drama utama Chekhov - Burung Camar, Paman Vanya, Tiga Saudari, dan
Kebun Ceriseringkali ditampilkan kembali dalam pementasan-pementasan modern.

The Bet

It was a dark autumn night. The old banker was walking up and down his study and
remembering how, fifteen years before, he had given a party one autumn evening. There had
been many clever men there, and there had been interesting conversations. Among other things
they had talked of capital punishment. The majority of the guests, among whom were many
journalists and intellectual men, disapproved of the death penalty. They considered that form of
punishment out of date, immoral, and unsuitable for Christian States. In the opinion of some of
them the death penalty ought to be replaced everywhere by imprisonment for life. "I don't agree
with you," said their host the banker. "I have not tried either the death penalty or imprisonment
for life, but if one may judge a priori, the death penalty is more moral and more humane than
imprisonment for life. Capital punishment kills a man at once, but lifelong imprisonment kills
him slowly. Which executioner is the more humane, he who kills you in a few minutes or he who
drags the life out of you in the course of many years?"

"Both are equally immoral," observed one of the guests, "for they both have the same object -
to take away life. The State is not God. It has not the right to take away what it cannot restore
when it wants to."

Among the guests was a young lawyer, a young man of five-and-twenty. When he was asked
his opinion, he said:

"The death sentence and the life sentence are equally immoral, but if I had to choose between
the death penalty and imprisonment for life, I would certainly choose the second. To live anyhow
is better than not at all."

A lively discussion arose. The banker, who was younger and more nervous in those days, was
suddenly carried away by excitement; he struck the table with his fist and shouted at the young
Taruhan
Oleh: Anton Chekov

(Judul Asli : The Bet)

Saat itu malam musim gugur yang gelap. Seorang bankir tua berjalan
mondar-mandir di ruang kerjanya terkenang pesta yang diselenggarakannya pada
musim gugur lima belas tahun silam. Banyak orang pandai yang hadir dan
percakapan-percakapan yang menarik di sana.

Di antara hal-hal yang mereka perbincangkan adalah masalah hukuman mati. Para
tamu, tidak sedikit di antaranya adalah para sarjana dan jurnalis, sebagian besar
tidak setuju atas pelaksanaan hukuman tersebut. Mereka menganggap hal itu
sebagai suatu bentuk hukuman yang sudah kuno, tidak cocok untuk negara kristen
dan amoral. Sebagian dari mereka berpendapat bahwa hukuman mati hendaknya
diganti saja dengan hukuman penjara seumur hidup secara universal.

Aku tak sependapat dengan kalian, kata sang tuan rumah. Aku sendiri belum
pernah mengalami hukuman mati atau penjara seumur hidup, tapi bila kita boleh
mengambil pertimbangan berdasarkan kenyataan yang sebenarnya, menurut
pendapatku hukuman mati lebih bermoral dan lebih manusiawi daripada penjara.
Eksekusi langsung membunuh, sedang penjara seumur hidup membunuh
perlahan-lahan. Siapakah algojo yang lebih manusiawi, orang yang membunuhmu
dalam beberapa detik ataukah seseorang yang mencabut nyawamu selama
bertahun-tahun? Keduanya sama-sama amoral, ujar seorang tamu, karena
tujuan keduanya sama, mengambil kehidupan. Negara bukan Tuhan. Ia tak punya
hak untuk mengambil apa yang tak dapat diberikannya kembali.

Di antara mereka terdapat seorang pengacara muda yang berusia sekitar dua puluh
lima tahun. Ketika dimintai pendapatnya, ia berkata:

Hukuman mati dan penjara seumur hidup sama-sama amoral, tapi kalau aku
disuruh memilih di antara keduanya, aku pasti memilih yang kedua. Bagaimanapun
juga, hidup lebih baik daripada tidak hidup sama sekali.

Terjadilah perdebatan yang seru. Sang bankir yang saat itu masih muda dan
temperamental tiba-tiba naik pitam, ia menggebrak meja dan berteriak kepada
pengacara muda tadi:

Bohong! Aku berani bertaruh dua juta kau takkan betah ngendon di sel walau
hanya untuk lima tahun saja!

Kalau kau serius, sahut sang pengacara, aku bertaruh akan ngendon bukan
hanya selama lima, tapi lima belas tahun.

Lima belas tahun. Jadi! seru sang bankir. Tuan-tuan, aku mempertaruhkan dua
juta!

Setuju. Kau bertaruh dengan dua juta, aku dengan kebebasanku, kata sang
pengacara.
Maka taruhan edan-edanan itu jadilah. Sang bankir yang saat itu memiliki banyak
uang tak dapat mengendalikan dirinya. Selama makan malam ia berkata kepada
sang pengacara dengan canda:

Sadarlah sebelum terlalu terlambat, anak muda. Dua juta tak ada artinya bagiku,
namun kau akan kehilangan tiga atau empat tahun terbaik dalam hidupmu.
Kubilang tiga atau empat, karena kau takkan kuat ngendon lebih lama lagi. Juga
jangan lupa, hai orang malang, bahwa sukarela lebih berat daripada melaksanakan
hukuman penjara sesungguhnya. Pikiran bahwa kau punya hak untuk membebas-
kan dirimu kapan saja, akan mengacaukan seluruh kehidupanmu di dalam sel. Aku
kasihan padamu.

Dan kini sang bankir berjalan mondar-mandir mengenang ini semua dan bertanya
pada dirinya sendiri:

Kenapa kulakukan taruhan ini? Apa manfaatnya? Si pengacara itu kehilangan lima
belas tahun kehidupannya dan aku membuang dua juta. Apakah ini akan
meyakinkan masyarakat bahwa hukuman mati lebih buruk atau lebih baik daripada
penjara seumur hidup? Tidak, tidak! Semua ini kesia-siaan belaka. Di pihakku itu
semata-mata akibat pikiran mendadak dari seorang yang kaya raya; sedang bagi si
pengacara, semata-mata karena kerakusan akan harta.

Ia mengenang lebih jauh tentang apa yang terjadi setelah pesta malam itu.
Diputuskan bahwa sang pengacara harus menjalani masa kurungannya di bawah
pengawasan yang sangat ketat di sebuah paviliun yang terletak di kebun milik sang
bankir. Juga telah disepakati bahwa selama masa itu ia akan kehilangan hak untuk
melintasi ambang pintu, melihat kehidupan masyarakat, mendengar suara-suara
manusia, dan menerima surat serta koran. Ia diijinkan memiliki sebuah alat musik,
membaca buku-buku, menulis surat, minum anggur dan menghisap tembakau.
Berdasar kesepakatan ia bisa berkomunikasi dengan dunia luar, namun hanya
dengan keheningan, melalui sebuah jendela kecil yang khusus dibangun untuk itu.

Semua kesepakatan itu telah tertulis secara rinci, yang membuat masa kurungan
itu amat sangat sunyi dan terasing, dan sang pengacara diwajibkan untuk tinggal
tepat selama lima belas tahun mulai dari pukul dua belas pada tanggal 14
November 1870 sampai dengan pukul dua belas tanggal 14 November 1885. Sedikit
saja ia melakukan pelanggaran atas syarat-syarat tadi, melepaskan diri walau
hanya kurang dua menit dari waktunya, membebaskan sang bankir untuk
membayarnya dua juta.

Selama tahun pertamanya di penjara, sang pengacara, sepanjang kesimpulan yang


dapat ditarik dari catatan-catatan kecilnya, sangat menderita karena kesendirian
dan kesepian. Siang malam dari kamarnya terdengar suara piano. Ia menolak
anggur dan tembakau. Anggur, tulisnya, membangkitkan keinginan-keinginan
yang merupakan musuh utama bagi seorang tahanan, lagi pula tak ada yang lebih
membosankan daripada minum anggur yang baik sendirian, sedangkan tembakau
mengotori udara di kamarnya.

Selama tahun pertama itu sang pengacara mendapat kiriman buku-buku tentang
para tokoh, novel-novel kisah percintaan yang rumit, cerita-cerita kejahatan dan
fantasi, komedi, dan sebagainya.

Pada tahun kedua tidak terdengar lagi suara piano dan sang pengacara hanya
meminta sastra Yunani dan Romawi kuno. Dalam tahun kelima suara musik kembali
terdengar dan sang tahanan meminta anggur. Orang-orang yang mengawasinya
mengatakan bahwa dalam waktu setahun itu ia hanya makan, minum dan berbaring
saja di ranjangnya. Ia sering menguap dan bicara sendiri sambil marah-marah. Ia
tidak lagi membaca buku. Terkadang di malam hari ia duduk sambil menulis. Ia
menulis dalam waktu lama kemudian merobek-robek semuanya di pagi hari. Lebih
dari sekali terdengar ia menangis.

Dalam pertengahan tahun keenam, sang tahanan mulai mempelajari


bahasa-bahasa, filsafat dan sejarah dengan penuh semangat. Ia menekuni
bidang-bidang ini dengan laparnya sehingga sang bankir bersusah payah mencari
waktu untuk memenuhi kebutuhan buku-bukunya. Dalam masa empat tahun telah
sekitar enam ratus volume yang dibeli atas permintaannya.

Ketika gairah itu surut, sang bankir menerima surat berikut ini dari sang tahanan:

Sipirku yang baik, kutulis baris-baris ini dalam enam bahasa. Tunjukkanlah kepada
para ahli. Biar mereka membacanya. Jika mereka tak menemukan satu
kesalahanpun, kuminta kau memerintahkan orangmu melepas tembakan di kebun.
Dengan keributan itu, aku akan tahu bahwa usahaku selama ini tidaklah sia-sia.
Para cendekiawan dari segala masa dan negeri berbicara dalam bahasa-bahasa
yang berbeda, namun dalam diri mereka semua menyala semangat yang sama. Oh,
seandainya kau tahu betapa bahagianya aku kini karena telah mengerti
bahasa-bahasa mereka!

Keinginan sang tahananpun terpenuhi. Dua tembakan dilepas di kebun atas


perintah sang bankir.

Selanjutnya, setelah tahun ke sepuluh, sang pengacara duduk tak bergeming di


depan mejanya dan hanya membaca Kitab Perjanjian Baru. Sang bankir merasa
heran bahwa seorang pria yang selama empat tahun telah menguasai enam ratus
volume ilmu pengetahuan, akan menghabiskan hampir satu tahun hanya untuk
membaca sebuah buku saja, yang mudah dipahami dan sama sekali tidak tebal.
Perjanjian Baru itu kemudian digantikan dengan sejarah agama-agama dan teologi.

Selama dua tahun terakhir dari masa kurungannya sang tahanan dengan
edan-edanan membaca luar biasa banyak. Sekarang ia menekuni ilmu-ilmu alam,
kemudian melahap karya-karya Byron dan Shakespeare. Ia mengirim
catatan-catatan kecil minta dikirimi dalam waktu yang bersamaan sebuah buku
tentang kimia, sebuah textbook tentang kedokteran, sebuah novel, dan beberapa
risalah filsafat atau teologi. Ia membacanya seakan-akan sedang berenang di lautan
di antara kepingan-kepingan kapal pecah, dan dalam perjuangan menyelamatkan
nyawanya ia mencengkeram keping-keping itu satu per satu dengan bersemangat.

Sang bankir mengenang semua ini dan berpikir:

Pukul dua belas besok ia memperoleh kebebasannya. Berdasar kesepakatan, aku


nanti harus membayarnya dua juta. Kalau kubayar, tamatlah riwayatku. Aku
bangkrut selamanya.

Lima belas tahun silam uangnya berjuta-juta, tapi sekarang ia bahkan takut
bertanya kepada dirinya sendiri manakah yang lebih banyak dimilikinya, uang
ataukah hutang. Berjudi di pasar modal, spekulasi yang beresiko, dan
kesembronoan yang tidak dapat dihilangkannya bahkan sampai tuanya,
perlahan-lahan telah mengantar bisnisnya kepada kehancuran. Dan pengusaha
yang dulu pemberani, penuh percaya diri dan angkuh itu kini telah berubah menjadi
seorang bankir biasa yang gemetar setiap kali terjadi fluktuasi harga di pasar.

Taruhan terkutuk itu, bisik pria tua tadi sambil memegangi kepalanya dalam
keputusasaan. Kenapa orang itu tidak mati saja? Umurnya baru empat puluh
tahun. Ia akan membawa pergi sampai recehan terakhirku serta mengakhiri
semuanya; pernikahanku, hidupku yang enak ini, perjudian di bursa saham, dan aku
akan kelihatan seperti seorang kere yang iri dan mendengar kata-kata yang sama
darinya setiap hari: Aku berhutang budi padamu untuk kebahagiaan hidupku.
Biarlah aku menolongmu. Tidak, itu terlalu banyak! Satu-satunya cara melepaskan
diri dari kebangkrutan dan aib adalah pria itu harus mati.

Jam baru saja berdentang menunjukkan pukul tiga. Sang bankir menyimaknya. Di
rumah itu semua orang sudah tidur, dan yang terdengar hanyalah bunyi pepohonan
beku yang menderu-deru di luar jendela. Dengan berusaha agar tidak menimbulkan
suara, ia mengeluarkan kunci pintu yang tidak pernah dibuka selama lima belas
tahun dari peti besinya kemudian mengantongi di mantelnya lalu keluar dari rumah.
Di kebun suasananya gelap dan dingin. Saat itu sedang hujan. Ada kabut dan
hembusan angin yang menderu-deru, membuat pepohonan tidak bisa diam.
Meskipun telah memaksakan matanya, sang bankir tetap tak dapat melihat tanah,
patung-patung putih, paviliun ataupun pepohonan di kebun itu. Ketika sedang
mendekati paviliun, ia memanggil-manggil sang pengawas dua kali. Namun tak ada
jawaban. Agaknya sang pengawas telah mencari perlindungan dari cuaca buruk dan
kini sedang tertidur di dapur atau rumah kaca.

Kalau aku punya keberanian untuk menjalankan niatku, pikir laki-laki tua itu,
kecurigaan pertama kali akan ditujukan kepada si pengawas.

Di dalam kegelapan ia meraba-raba mencari jalan dan pintu kemudian memasuki


aula paviliun. Selanjutnya ia meneruskan langkahnya melewati sebuah celah sempit
dan menyalakan sebatang korek api. Tak ada seorangpun di sana. Terlihat dipan
tanpa seprei dan selimut serta sebuah kompor besi samar-samar di sudut ruangan.
Segel yang tertempel di pintu masuk kamar tahananpun masih utuh.

Ketika koreknya mati, pria tua itu, yang gemetaran karena gejolak di dalam dirinya,
mengintip lewat jendela kecil. Di kamar tahanan terdapat sebatang lilin yang
menyala remang-remang. Sang tahanan duduk sendirian di depan meja. Hanya
punggung, rambut dan kedua belah tangannya saja yang nampak. Buku-buku yang
terbuka berserakan di atas meja, kedua kursi, dan karpet di dekat meja.

Lima menit berlalu dan sang tahanan tak sekalipun menoleh. Lima belas tahun
dalam kurungan telah mengajarkannya untuk duduk tak bergeming. Sang bankir
mengetuk-ngetuk jendela dengan jarinya, tapi sang tahanan tidak melakukan
sebuah gerakanpun sebagai tanggapan. Lalu sang bankir dengan hati-hati merobek
segel pintu dan memasukkan kunci ke lubangnya. Lubang kunci yang berkarat
mengeluarkan suara serak dan pintu pun berderit. Sang bankir mengharap segera
mendengar seruan kaget dan bunyi langkah-langkah. Tiga menit berlalu dan
suasana tetap hening di dalam, sebagaimana sebelumnya. Iapun memutuskan
untuk masuk.

Pria itu duduk di depan meja, tidak seperti manusia biasa. Nampak mirip tengkorak
terbalut kulit yang berambut gondrong keriting seperti perempuan dan berewokan.
Wajahnya kuning pucat karena tak pernah tersentuh sinar matahari, kedua belah
pipinya kempot, punggungnya panjang dan kecil, dan tangannya yang dipakai
untuk menopangkan kepalanya sangat kurus dan lemah sehingga menyedihkan
sekali bagi yang melihatnya. Rambutnya sudah beruban, dan tak seorangpun yang
melihat sekilas ke wajah tua yang peot itu akan percaya bahwa ia baru berusia
empat puluh tahun. Di atas meja, di depan kepalanya yang tertunduk, tergeletak
secarik kertas yang berisi tulisan tangan yang kecil-kecil.

Manusia malang, batin sang bankir, dia sedang tertidur dan barangkali sedang
melihat uang jutaan dalam mimpinya. Aku tinggal mengangkat dan melempar
benda setengah mati ini ke atas dipan, membekapnya sebentar dengan bantal, dan
otopsi yang paling teliti sekalipun tak akan menemukan sebab kematian yang tidak
wajar. Tapi, pertama-tama, mari kita baca apa yang telah ditulisnya di sini. Sang
bankirpun mengambil kertas itu dan membacanya:

Besok pukul dua belas tengah malam aku akan memperoleh kebebasanku dan hak
untuk bergaul dengan masyarakat. Namun sebelum kutinggalkan ruangan ini dan
melihat cahaya matahari, kupikir aku perlu menyampaikan beberapa patah kata
kepadamu. Dengan nurani yang jernih dan Tuhan sebagai saksinya, kunyatakan
kepadamu bahwa aku memandang hina kebebasan, kehidupan, kesehatan, dan
semua yang disebut oleh buku-bukumu sebagai rahmat di dunia ini.
Selama lima belas tahun aku dengan rajin telah mempelajari kehidupan duniawi.
Memang benar, aku tidak melihat dunia maupun orang-orang, tapi dalam
buku-bukumu aku meminum anggur yang wangi, menyanyikan lagu-lagu, berburu
rusa dan babi hutan di rimba, mencintai wanita-wanita.

Dan wanita-wanita cantik, selembut awan, yang diciptakan oleh sihir kejeniusan
para pujangga, mengunjungiku di malam hari dan membisikkan dongeng-dongeng
yang menakjubkan, membuat aku mabuk kepayang.

Dalam buku-bukumu aku mendaki puncak Elbruz dan Mont Blanc dan dari sana
menyaksikan bagaimana matahari terbit di pagi hari, dan ketika senjanya menutupi
langit, samudera, dan punggung pegunungan dengan warna lembayung keemasan.
Dari sana kulihat betapa di atasku kilat berkilauan membelah awan, kulihat
hutan-hutan yang hijau, ladang-ladang, sungai-sungai, danau-danau, kota-kota,
kudengar nyanyian sirene dan permainan pipa-pipa Pan, kusentuh sayap iblis-iblis
cantik yang terbang mendatangiku untuk berbicara tentang Tuhan. Dalam
buku-bukumu kuterjunkan diriku ke dalam jurang tanpa dasar, membuat berbagai
keajaiban, membakar kota-kota sampai rata dengan tanah, mengajarkan
agama-agama baru, menaklukkan seluruh negara.

Buku-bukumu memberiku kebijaksanaan. Semua pemikiran manusia yang tak


jemu-jemunya diciptakan selama berabad-abad telah terkumpul di dalam otakku
yang kecil. Aku tahu bahwa aku lebih pandai darimu dalam segala hal.

Dan aku memandang hina buku-bukumu, memandang hina semua rahmat duniawi
dan kebijakan. Semua itu hampa, lemah, dan khayali bagai bayang-bayang.
Sekalipun engkau hebat, bijaksana, dan tampan, kelak kematian akan
menghapuskanmu dari muka bumi seperti tikus di bawah tanah. Dan keturunan,
sejarah serta monumen kejeniusanmu akan menjadi ampas beku yang habis
terbakar bersama bola bumi ini.

Engkau sinting, dan menyusuri jalan yang salah. Engkau menukar kesejatian
dengan kepalsuan dan kecantikan dengan keburukan. Kau akan heran bila pohon
apel dan jeruk menghasilkan kodok dan kadal, bukannya buah. Dan jika
bunga-bunga mawar mengeluarkan bau keringat kuda. Demikian pula aku heran
padamu yang telah menukar sorga dengan dunia. Aku tak ingin memahamimu.
Kutunjukkan padamu kejijikanku atas cara hidupmu, kutolak dua juta itu yang
pernah kuimpikan sebagai sorga, dan yang kini kuanggap hina. Aku cabut hakku
atasnya, aku akan keluar dari sini lima menit sebelum waktunya, dengan demikian
akan batallah persetujuan itu.

Setelah membacanya, sang bankir meletakkan kembali kertas tersebut di atas


meja, dikecupnya kepala orang asing itu, dan iapun mulai menangis. Ia keluar dari
paviliun itu. Tak pernah sebelumnya, bahkan juga setelah mengalami kerugian
besar di bursa saham, ia merasa begitu jijik kepada dirinya sendiri seperti sekarang
ini. Setelah tiba di rumah, ia membaringkan tubuhnya di atas dipan, tapi gejolak
batin dan air mata menahannya untuk tidur selama beberapa saat.

Pada paginya sang pengawas yang malang mendatanginya dengan berlari-lari dan
melaporkan bahwa mereka telah melihat pria yang tinggal di paviliun itu memanjat
jendela dan turun ke kebun. Ia telah pergi ke pintu gerbang dan menghilang. Sang
bankir segera pergi bersama para pembantunya ke paviliun tadi dan mendapatkan
tahanannya telah melepaskan diri. Untuk menghindari desas-desus yang tak
diinginkan ia mengambil surat yang berisi pernyataan penolakan itu dari atas meja
dan setelah kembali ke rumah menyimpannya di peti besinya.

(*) Cerpen yang baru saja kita simak di atas dialih-bahasakan oleh Syafruddin
Hasani. Versi bahasa Inggrisnya berjudul The Bet

You might also like