You are on page 1of 12

ANESTHETIC MANAGEMENT

FOR GYNAECOLOGIC LAPAROSCOPY PROCEDURES

U. Kaswiyan A.
Department of Anesthesiology and Reanimation
Faculty of Medicine Padjadjaran University / Hasan Sadikin General Hospital Bandung

ABSTRACT
Laparoscopic procedure in gynaecological surgery grow up since 1960. Now most of gynaecological
surgery in the United States done by laparoscopic procedure.
Patient benefits include reduction in postoperativepain, better cosmetic result and quicker return to
normal activities. Hospital stay is shortened resulting in a reduction in overall medical cost. From medical
aspects, intraoperative problems could occur due to gas insufflation to create pneumoperitoneum, typical
gas insufflator (CO2) and changes in patient position, those would interfere cardiopulmonal, renal and
metabolic system. Due to patient safety, intraabdominal pressure must not exceed 14-15 mmHg and patient
positions must not too extreme.
Concern with morbidity and mortality, patient with certain physical condition and related medical
problems must be selected. Optimalized patients condition before surgery.
General anesthesia is the most common technique for laparoscopic gynaecological surgery. For short
procedure, regional anesthesia is preferred, although there are inconvenience especially for the surgeon.
Considerations in general anesthesia for laparoscopic gynaecogical surgery are:
General anesthesia with endotracheal intubation or laryngeal mask airway (LMA), controlled
ventilation (IPPV) with precautions: during induction, gastric decompression and bladder
catheterization, avoid drugs that can induce arrhythmia and emesis, secure of ETT or LMA during gas
insufflation and Trendelenburg position, PONV prevention and therapy. N 2O usage is controversial
issues.
Close monitoring with standard non invasive monitor, capnograph and nerve stimulator. Invasive
monitoring as indicated.

Keywords: gynaecologic laparoscopy, carbondioxyde, pneumoperitoneum, positioning, anesthesia


technique.

ABSTRAK
Prosedur laparoskopi di bidang ginekologi berkembang pesat sejak tahun 1960. Hampir sebagian
besar pembedahan ginekologi di Amerika Serikat dilakukan dengan prosedur laparoskopi.
Bagi pasien pembedahan dengan prosedur laparoskopi sangat menguntungkan karena nyeri
pascabedah relatif ringan, luka operasi secara kosmetik sangat baik, dan masa pemulihan lebih pendek.
Dari segi medikal, permasalahan intraoperatif akan timbul akibat kebutuhan untuk kelancaran prosedur
laparoskopi, yaitu insuflasi gas untuk menciptakan pneumoperitoneum, jenis gas insuflator (CO 2), dan
perubahan posisi pasien. Kesemuanya ini akan mengganggu fungsi sistem kardiopulmonal, renal, dan
metabolisme. Demi keamanan tekanan intraabdominal tidak boleh melebihi 14-15 mmHg dan pasien tidak
boleh diposisikan terlalu ekstrim.
Untuk menekan angka morbiditas dan mortalitas pasien harus diseleksi ketat mengenai kondisi atau
penyakit yang dideritanya dan dipersiapkan sampai optimal.
Teknik anestesia umum merupakan teknik anestesia yang sering dipilih untuk bedah ginekologi per
laparaskopik. Untuk tindakan atau pembedahan pendek dipilih anestesia regional / lokal, tetapi untuk
pasien / ahli bedah menjadi kurang nyaman karena adanya keterbatasan.
Penatalaksanaan anestesia umum untuk bedah ginekologi dengan prosedur laparoskopi adalah :
Anestesia umum dengan pemasangan pipa endotrakhea atau LMA, ventilasi kendali (IPPV)
dengan beberapa hal khusus yang harus diperhatikan: saat induksi, dekompresi lambung, dan
pengosongan kandung kencing, hindari obat anestetika bersifat aritmogenik dan emetogenik, kontroversi
N2O, amankan posisi ETT/LMA saat insuflasi gas dan posisi Trendelenburg, cegah dan terapi PONV.
Monitoring ketat dengan monitor non invasif standar ditambah kapnograf dan nerve stimulator.
Monitor invasif atas indikasi.

Kata Kunci: laparoskopik ginekologi, karbondioksida, pneumoperitoneum, posisi, teknik anestesia.

KONAS VII IDSAI, Makassar, 15-17 Juli 2004 1


PENDAHULUAN

Untuk Pertama kalinya prosedur laparoskopi dilakukan terhadap binatang pada


awal tahun 1900-an, dan istilah laparoskopi diperkenalkan pertama kali oleh seorang ahli
bedah Swedia bernama Jacobaeus pada tahun 1901.1,2
Sejak awal tahun 1960-an, prosedur laparoskopi berkembang pesat dan aman
terutama di bidang ginekologi untuk tindakan diagnostik dan sterilisasi ligasi tuba2 dan
kemudian disusul oleh pembedahan besar seperti kholesistektomi dan pembedahan
ginekologi.1,2,3
Dengan berkembangnya teknologi audiovisual dan ilmu kedokteran saat ini,
sebagian besar pembedahan ginekologi dari yang sederhana sampai yang kompleks
dilakukan per laparoskopi. Di Amerika Serikat saat ini sebagian besar bedah ginekologi,
termasuk setengahnya dari 700.000 sterilisasi ligasi tuba bilateral pertahun, dilakukan
dengan laparoskopi.1
Bagi pasien, pembedahan dengan laparoskopi sangat menguntungkan dan
terkesan sebagai bedah minor, karena luka dan incisinya kecil, nyeri pascabedah relatif
ringan, dan masa pemulihan lebih singkat. Sebaliknya dari segi anestesia dan
pembedahan, prosedur laparoskopi mengandung resiko cukup besar karena tidak banyak
berbeda dengan pembedahan laparatomi, seperti infeksi, cedera organ intra abdominal,
dan lain-lain. Berbagai penyulit atau masalah yang dapat timbul pada prosedur
laparoskopi disebabkan oleh gas insuflasi, pneumoperitoneum, hiperkarbia, posisi
pasien, trokar, instrument, dan faktor lainnya .

PERMASALAHAN SAAT BEDAH LAPAROSKOPI

Laparoskopi merupakan prosedur invasif minimal yang memungkinkan


perangkat endoskopi (trokar, jarum Verres, dan lain-lain) dapat masuk kedalam rongga
perut melewati dinding perut. Untuk dapat melakukan prosedur tersebut dengan aman
dan lancar serta memudahkan ahli bedah/ginekologi melakukan manipulasi dengan baik,
maka diperlukan gas insuflator untuk menciptakan keadaan pneumoperitonium dan
pasien diposisikan anti Trendelenburg (bedah kholesistektomi) atau Trendelenburg
dengan/atau disertai lithotomi (bedah ginekologi).
Prosedur tersebut di atas akan memberikan dampak kurang baik terhadap fungsi
kardiovaskuler, pulmonal, renal, dan metabolisme.3,4,5

KONAS VII IDSAI, Makassar, 15-17 Juli 2004 2


Tekanan Pneumoperitoneum
Dengan diciptakannya tekanan pneumoperitoneum, maka tekanan intraabdominal
(IAP = intraabdominal pressure) akan meningkat dan mengakibatkan :
1. Diafragma terdorong ke atas (cephalad displacement) yang menyebabkan
volume paru, kapasitas residual fungsional paru (FRC = functional residual capacity)
dan compliance paru menurun, tetapi tekanan jalan nafas meningkat. 3,4,5 Pada
keadaan dimana compliance paru menurun dan tekanan jalan nafas yang meningkat
akan menimbulkan resiko barotrauma dan gangguan hemodinamik pada saat pasien
mendapat ventilasi dengan tekanan positif intermiten (IPPV = intermittent positive
pressure ventilation).3
2. Gerakan diafragma mengalami keterbatasan dengan akibat dapat terjadi
gangguan ratio ventilasi perfusi, hiperkarbia, dan hipoksemia.3
3. Ujung pipa endotrakhea berubah posisi bahkan bisa terdorong ke arah
bronkhus (intubasi endobronkhial).3,6 Migrasi pipa endotrakhea ke dalam bronkhus
merupakan resiko yang sering terjadi pada bedah laparoskopi ginekologi.6
4. Resiko untuk terjadinya regurgitasi sampai aspirasi cairan lambung ke paru. 7
Regurgitasi dan aspirasi ini akan lebih mudah terjadi pada pasien dengan posisi
lithotomi, Trendelenburg, saat insuflasi gas, dan stimulasi terhadap peritoneum.2
5. Terhadap sistem kardiovaskuler/hemodinamik menyebabkan3 :

Tahanan vaskuler sistemik meningkat sesuai dengan
peningkatan IAP.

Curah jantung akan menurun bila IAP > 20 mmHg karena
aliran darah dari bagian bawah tubuh akan terhambat akibat adanya kompresi
pada vena cava inferior sehingga venous return menurun.8

Tekanan darah relatif tidak mengalami perubahan.
Respon kardiovaskuler bifasik ini sering ditemukan pada bedah laparoskopik
ginekologi sebagai akibat peningkatan IAP.3
6. Terhadap fungsi ginjal, bila tekanan IAP meningkat > 20 mmHg
menyebabkan fungsi ginjal dan diuresis akan terganggu, dimana aliran darah ke
ginjal, laju filtrasi glomerulus (GFR = glomerular filtration rate), serta curah jantung
mengalami penurunan.3,4 Bila peningkatan IAP dilakukan secara massif, maka akan
timbul asidosis laktat sebagai akibat penurunan curah jantung yang hebat dan adanya
gangguan clearance dari laktat darah oleh hepar.

KONAS VII IDSAI, Makassar, 15-17 Juli 2004 3


Insuflasi Gas
Hingga saat ini gas CO2 (karbondioksida) merupakan gas yang paling banyak
digunakan untuk menciptakan pneumoperitoneum, karena mempunyai banyak kelebihan
dibanding dengan gas insuflator lainnya seperti udara, oksigen, dan gas N2O (nitrous
oxide).3,7
Gas CO2 mempunyai keuntungan :

Tidak menyebabkan dan memudahkan bahaya kebakaran saat dilakukan


kauterisasi.

Mudah berdifusi menembus membran dan cepat dikeluarkan dari paru-paru.

Kelarutannya yang tinggi dalam darah menyebabkan buffering dalam darah


berlangsung cepat sehingga gas yang tersisa dalam rongga peritoneum pascabedah
minimal sekali. Keadaan demikian membuat pasien merasa nyaman pada saat
pascabedah dan gas yang masuk ke rongga ekstraperitoneum tidak akan banyak
menimbulkan pengaruh.7,8

Resiko embolisasi oleh gas CO2 kecil sekali.7

Kerugian gas CO2 sebagai gas insuflator :

Karena gas tergolong non inert, maka akan menimbulkan iritasi


langsung terhadap peritoneum sehingga pasien akan merasa kesakitan selama
laparoskopi dengan anestesia lokal. Rasa sakit timbul karena terbentuknya asam
karbonat akibat gas CO2 kontak langsung dengan peritoneum yang lembab.3,7

Gas CO2 sulit larut tanpa adanya sel-sel darah merah. Oleh sebab
itu, maka kemungkinan besar dengan masih adanya gas yang tersisa dalam rongga
peritoneum setelah laparoskopi selesai, dapat mengakibatkan sakit bahu yang dikenal
dengan istilah referred shoulder pain.3,7,9

Dapat menimbulkan hiperkarbia akibat absorpsi sistemik yang


kadang-kadang disertai dengan asidosis respiratorik apabila kemampuan buffering
dari darah melampaui kapasitas.3,7

Kelarutan gas CO2 akan menurun bila digabung dengan gas N2O.3

Posisi Pasien3,7,10
Pada prosedur laparoskopi pasien diposisikan sedemikian rupa dimana bagian
yang akan mengalami pembedahan lebih tinggi agar manipulasi menjadi lebih mudah
karena organ tubuh lainnya dan darah berkumpul di daerah yang lebih rendah sesuai

KONAS VII IDSAI, Makassar, 15-17 Juli 2004 4


gaya gravitasi. Posisi pasien pada prosedur laparoskopi biasanya supine, Trendelenburg
dan/atau dorsolithotomi untuk bedah ginekologi, anti Trendelenburg (head-up position)
untuk bedah abdomen bagian atas atau traktus biliaris, lateral dekubitus untuk
torakoskopi, nefrektomi, dan adrenalektomi, atau Trendelenburg dengan kemungkinan
rotasi lateral untuk bedah urologi.7
Pada posisi Trendelenburg pasien akan mengalami gangguan pada sistem
pernafasan akibat terdorongnya diafragma ke atas (cephalad displacement), dan akan
diperparah oleh adanya pneumoperitonium. Gerakan diafragma menjadi terbatas disertai
dengan tekanan intratorakal yang meningkat mengakibatkan penurunan compliance paru,
kapasitas vital (VC = vital capacity), FRC, atelektasis alveolar dan hipoksemia akibat
ratio ventilasi perfusi yang menjadi lebih buruk. Apabila pasien termasuk golongan
obese dan orang tua, maka keadaan tersebut diatas akan lebih buruk lagi.1,2,7
Pada pasien sehat posisi Trendelenburg tidak begitu banyak menimbulkan
masalah terhadap sistem kardiovaskuler, kecuali venous return. Tetapi tekanan vena
sentral (CVP = central venous pressure), tekanan baji pulmonalis (PCWP = pulmonal
capillary wedge pressure), tahanan vaskuler sistemik dan frekwensi nadi tidak berubah.
Bila pasien mempunyai penyakit jantung, posisi Trendelenburg dapat menyebabkan
kenaikan CVP, dan PCWP disertai dengan penurunan curah jantung. Kenaikan venous
return dan kebutuhan oksigen miokard yang meningkat dapat menjadi pencetus untuk
terjadinya gagal jantung akut pada pasien dengan penyakit jantung yang berat.10

JENIS TINDAKAN GINEKOLOGI PER LAPAROSKOPIK

Prosedur laparoskopi banyak dilakukan di bidang ginekologi untuk tujuan1,2 :


A. Diagnostik
Meliputi pemeriksaan rongga pelvis, untuk mencari penyebab keluhan nyeri akut
atau khronis, diagnosa kehamilan ektopik terganggu, endometriosis, torsi adnexa atau
kelainan lainnya di rongga pelvis.
B. Pembedahan terapeutik
Hampir semua pembedahan ginekologi dapat dilakukan per laparoskopik :
1. Sterilisasi ligasi tuba bilateral.
2. Adheolysis, yaitu melepaskan dan membebaskan perlengketan di rongga
pelvis akibat infeksi, pembedahan yang lalu, atau yang mungkin sebagai
penyebab adanya infertilitas atau nyeri kronis.

KONAS VII IDSAI, Makassar, 15-17 Juli 2004 5


3. Fulguration of endometriosis, reseksi atau ablasio lesi endometriotik
untuk memperbaiki fertilitas dan mengurangi nyeri di pelvis.
4. Kehamilan ektopik terganggu (KET), dimana dilakukan salfingektomi
atau salfingostomi.
5. Reseksi ovarium.
6. Ooforektomi (Oophorectomy).
7. Miomektomi
8. Histerektomi : Laparoscopic Assisted Vaginal Histerectomy
(LAVH)
Laparoscopic Hysterectomy (LH)
Laparoscopic Supracervical Hysterectomy (LSH)

PENATALAKSANAAN ANESTESIA

Ada dua faktor utama yang perlu diperhatikan dan dipahami oleh seorang
anesthesiologist dalam penatalaksanaan anestesia untuk bedah laparoskopik di bidang
ginekologi, yaitu :
1. Kemampuan mengakomodasi apa yang dibutuhkan oleh ahli bedah saat
melaksanakan tindakan/pembedahan dan resiko akibat teknik pembedahan.
2. Cara mengatasi masalah yang timbul sebagai akibat dari prosedur laparoskopi
seperti insuflasi gas, jenis gas insuflator dan perubahan posisi pasien intraoperatif.

Teknik anestesia yang biasa dilakukan untuk prosedur laparoskopi adalah teknik
anestesia umum, anestesia regional/blok, dan anestesia infiltrasi lokal. Pilihan teknik
anestesia sebaiknya berdasarkan pertimbangan faktor-faktor dibawah ini2 :
1. Keadaan pasien dan lamanya pembedahan/tindakan.
2. Komplikasi medis yang mungkin timbul.
3. Pengalaman dan keterampilan ahli bedah.
4. Pilihan pasien.

Kontra indikasi pasien untuk pembedahan ginekologi per laparoskopik umumnya


lebih bersifat relatif karena sangat bergantung kepada derajat keadaan klinis pasien dan
keterampilan serta pengalaman baik ahli bedah ginekologis maupun ahli anestesia.1,3,4
Beberapa penelitian telah membuktikan bahwa pembedahan per laparoskopik pada

KONAS VII IDSAI, Makassar, 15-17 Juli 2004 6


pasien yang mendapat terapi anti koagulan, ibu hamil, dan pasien gemuk dapat
berlangsung dengan lancar.3,12,13
Berdasarkan literatur disebutkan berbagai keadaan pasien yang memerlukan
pertimbangan matang untuk memutuskan bedah laparoskopik sebagai pilihan yang akan
diambil,1,4,7 antara lain :
1. Pasien dengan riwayat pembedahan terakhir menunjukkan adanya bakat
perlengketan lebih dari 20% (lengket pada dinding perut atau omentum), dinding
perut yang tebal, adanya tumor pada dinding perut, hernia umbilikalis, atau tumor
intraabdominal yang besar.1
2. Obesitas/kegemukan (BMI = body mass index > 30 kg/m2).
3. Usia tua (geriatri), dimana fungsi kardiopulmonalnya sudah banyak mengalami
penurunan, dan mungkin disertai pula oleh penyakit-penyakit lainnya terutama
system kardiopulmonal.
4. Pasien dengan penyakit kardiovaskuler dan hipertensi berat.
5. Penyakit saluran nafas dan paru.
6. Pasien dengan tekanan tinggi intrakranial atau tekanan tinggi intraorbital.
7. Gangguan koagulasi, hemoglobinopati, sickle cell disease.
8. Peritonitis.
9. Kehamilan, mengingat adanya perubahan anatomi dan fisiologi.12,14
10. Pasien menolak atau rasa cemas yang berlebihan.

Anestesia Umum1,2

Pra Anestesia
Pemeriksaan dan evaluasi pasien seperti biasa, sesuai dengan standar
pemeriksaan dan evaluasi pada sistem kardiopulmonal, harus dilakukan dengan cermat
dan seksama.
Pasien dipersiapkan seoptimal mungkin, dipuasakan yang cukup, dan bila perlu
diberikan premedikasi.

Induksi dan Rumatan Anestesia


Dilakukan induksi dan pemasangan pipa ETT (endotracheal tube) untuk
mencegah aspirasi pulmonal dan ventilasi kendali. Dilakukan ventilasi kendali dengan
mode IPPV untuk mengamankan pernafasan dari pengaruh pneumoperitonum,

KONAS VII IDSAI, Makassar, 15-17 Juli 2004 7


hiperkarbia, dan posisi pasien. Diberikan pelemas otot yang cukup memadai untuk
memudahkan ventilasi kendali dan melemaskan dinding perut.
Dilakukan monitoring secara ketat dengan menggunakan monitor standar
ditambah kapnograf, nerve stimulator, dan suhu tubuh. Bila perlu atau atas indikasi
dipasang alat monitor CVP, kanula arteri, atau monitor invasif lainnya.
Hal-hal spesifik yang perlu diperhatikan adalah sebagai berikut :
Saat induksi harus dilakukan dengan hati-hati, terutama saat melakukan ventilasi
dengan menggunakan sungkup muka (jangan sampai udara masuk kedalam
lambung). Gunakan propofol untuk obat induksi karena mempunyai sifat amnesia
dan tidak menimbulkan mual dan muntah pascabedah, dan pelemas otot golongan
non depolarizer agar tidak sakit bahu (pada pemakaian suksinil kholin).
Lakukan dekompresi lambung dengan pemasangan sonde lambung (NGT) dan
pemasangan kateter urin untuk mengosongkan kandung kencing agar terhindar
cedera saat memasukkan trokar/jarum Verres ke dalam rongga perut.
Untuk rumatan anestesia dianjurkan untuk memilih isofluran karena kurang
menimbulkan aritmogenik dan tidak mendepresi miokard dibanding halotan.3
Penggunaan N2O masih kontroversial karena dapat menyebabkan usus kembung
dan mual-muntah pascabedah.7,16 Narkotik sebagai analgetik sebaiknya menggunakan
fentanil atau alfentanil.
Ventilasi kendali bertujuan agar kadar CO2 dalam batas normal. Tekanan
intraabdominal yang meningkat dan kemungkinan meningkatnya absorpsi CO2 ke
dalam sirkulasi, maka perlu meningkatkan volume semenit dan tekanan jalan nafas
(airway pressure).
Periksa ulang posisi ETT saat dilakukan insuflasi gas dan saat perubahan posisi
pasien.6
Walaupun telah dilakukan penelitian pemasangan LMA (laryngeal mask airway)
pada prosedur laparoskopi dengan hasil baik pada orang sehat, perlu diingat bahwa
LMA tidak mampu mencegah aspirasi, ada keterbatasan. Saat dilakukan ventilasi
dengan tekanan positif akan terganggu bila pada pasien terpasang NGT. 18 Bila
prosedur laparoskopi kurang dari 15 menit dengan tekanan intraabdominal tidak
tinggi, dan posisi pasien diperkirakan tidak terlalu head down, serta ahli bedah
ginekologi yang terampil, maka pemakaian/pemasangan LMA cukup aman.2,4,18
Beberapa ahli anestesia yang menggunakan LMA untuk prosedur laparoskopi lebih

KONAS VII IDSAI, Makassar, 15-17 Juli 2004 8


merupakan pilihan masing-masing individu. Pertimbangan pemakaian LMA
didasarkan kepada faktor obesitas, riwayat PONV, dan penyakit kardiopulmonal
berat.
Mual dan muntah, lebih dari 50% pasien ginekologi membutuhkan anti emetik.
Berikan obat anti emetik saat induksi sebagai pencegahan, dan/atau untuk mengatasi
mual-muntah pascabedah hindari pemakaian obat-obat yang bersifat emetogenik.
Prosedur laparoskopi umumnya berlangsung lama, seringkali lebih lama apabila
pada pasien tersebut dilakukan tindakan/pembedahan per laparotomi (open), terutama
bila dilakukan oleh trainee. Oleh sebab itu pasien perlu dijaga jangan sampai timbul
hipotermia, cedera akibat posisi, dan komplikasi lainnya.

Anestesia Lokal Infiltrasi / Blokade Regional3,7

Anestesia lokal infiltrasi umumnya dipilih untuk tindakan ginekologi per


laparoskopik yang singkat, seperti tindakan diagnostik dan sterilisasi. Selain itu anestesia
lokal infiltrasi dipilih bila prosedur laparoskopi tidak lama dan bila diperkirakan pada
pasien akan timbul komplikasi kardiopulmonal akibat anestesia umum. 3,9 Bila perlu
dibantu dengan pemberian sedatif. Sebagai gas insuflator dapat dipilih N2O untuk
menghindari iritasi pada peritoneum dan hiperkarbia bila digunakan CO2.3
Anestesia regional (epidural) umumnya dipilih sebagai alternatif bagi pasien
rawat jalan ginekologi untuk menghindari atau mengurangi penyulit dan mempersingkat
masa pemulihan. Kendala atau kesulitan pada laparoskopi dengan blokade regional
adalah blokade harus tinggi, pengaruh akibat pneumoperitoneum, posisi pasien, dan
pasien merasa kurang nyaman terutama dengan timbulnya sakit bahu intraoperaif.

Pascabedah

Walaupun masa pemulihan lebih cepat, monitoring dan pengawasan timbulnya


penyulit/komplikasi tetap dilakukan sesuai standar. Keluhan-keluhan yang sering
ditemukan berupa rasa tidak enak di tenggorokan, suara serak, pusing, mual-muntah,
sakit otot terutama bila digunakan suksinil kholin sebagai pelemas otot.
Rasa nyeri akan muncul pada jam-jam pertama pascabedah, terutama pada bahu
dan bekas tusukan. Bila nyeri berlanjut terus harus dipikirkan ada masalah
intraabdominal. Untuk menanggulangi pasca laparoskopi dapat digunakan obat golongan
parasetamol dan NSAID, apabila diperlukan dapat diberikan obat golongan opioid.

KONAS VII IDSAI, Makassar, 15-17 Juli 2004 9


Mual dan muntah pascabedah merupakan penyulit yang paling sering ditemukan
pada pasien bedah ginekologi per laparoskopi. Tergantung dari derajat hebatnya dan
frekwensi mual dan muntah, dapat diberikan obat anti emetik disertai cairan secukupnya,
serta pasien dipuasakn dahulu. Sebagai pencegahan, maka pada saat induksi sebaiknya
diberikan obat-obat anti emetik pencegah muntah, dan menghindari obat-obat anestetika
lainnya yang dapat merangsang muntah.

KOMPLIKASI

Morbiditas dan mortalitasmerupakan hal yang tidak diinginkan, terjadi sekitar


5%.3,7
1. Cedera akibat manipulasi atau instrumen.
Disebabkan oleh malposisi dan tusukan jarum Verres atau trokar yang dapat
menimbulkan perdarahan dinding perut, pembuluh darah atau organ viscera,
emfisema subkutan, peritonitis, infeksi luka tusukan, atau hernia.
2. Komplikasi pneumoperitoneum.
Karena tekanan udara intraabdominal naik, maka dapat terjadi iskemia dari organ-
organ viscera, herniasi, regurgitasi, kompresi vena cava inferior yang berlebihan
(venous return yang meningkat, curah jantung yang menurun), tekanan intratorakal
naik atau barotrauma, emfisema subkutis, pneumotoraks, emboli gas CO 2, atelektasis,
dan lain-lain.
3. Pengaruh absorpsi CO2 terhadap sistemik.
Berupa hiperkarbia, asidosis, stimulasi simpatoadrenal meningkat, hipertensi,
takhikardia, tekanan intrakranial meningkat, aritmia, dan lain-lain.
4. Posisi Trendelenberg.
Timbul kongesti vena di leher dan kepala, tekanan intrakranial meningkat,
perdarahan dan/atau ablasio retina, intubasi endobronkhial, hipoksemia, ratio
ventilasi-perfusi mismatch, edema jalan nafas dan muka, serta cedera pleksus
brakhialis, saraf-saraf femoral dan peroneal.
5. Komplikasi kemudian.
Antara lain obstruksi usus, luka akibat kauter, herniasi usus halus atau omentum
akibat trokar, perlengketan, deep vein thrombosis, dan kerusakan saraf karena
bantalan.

KONAS VII IDSAI, Makassar, 15-17 Juli 2004 10


KESIMPULAN

Laparoskopi adalah suatu prosedur invasif minimal yang berkembang sangat


pesat. Hampir sebagian besar pembedahan di bidang ginekologi dilakukan melalui
prosedur laparoskopi.
Walaupun prosedur laparoskopi sangat menguntungkan bagi pasien dari segi
kosmetik, nyeri pascabedah, dan masa pulih yang pendek, tidak demikian apabila dilihat
dari segi bedah dan anestesia. Permasalahan akan timbul sebagai akibat dari kebutuhan
untuk berlangsungnya prosedur laparoskopi, terutama sewaktu pembedahan/tindakan
(intraoperatif) yaitu dari jenis gas insuflator, pneumoperitoneum, dan perubahan posisi
pasien. Kesemuanya tersebut akan mengganggu fungsi dari organ respirasi,
kardiovaskuler, renal, dan metabolisme.
Prinsip dasar dalam penatalaksanaan anestesia untuk bedah ginekologi per
laparaskopi mengacu kepada permasalahan tersebut diatas.
Dengan kemajuan teknologi dan ilmu kedokteran saat ini, maka bidang
laparoskopi ini akan terus mengalami perkembangan yang semakin pesat. Perkembangan
ini harus mampu diimbangi dengan pengembangan di bidang anestesiologi, baik sarana
maupun sumber daya manusia, karena kunci keamanan dan kenyamanan pasien berada
di tangan seorang anesthesiologist.

KEPUSTAKAAN

1. Hurd WW, Duke JM. Gynecologic laparoscopy. Copyright 2003, eMedicine Com Inc
2002.
2. Osborn K, Simmons S. Anaesthesia for gynaecological surgery. In: Russell R.
Anaesthesia for obstetrics and gynaecology. BMJ Publishing Group 2000; 303-41.
3. Chui PT, Gin T, Oh TE. Anaesthesia for laparoscopic general surgery. Anaesth Intensive
Care 1993; 21: 163-71.
4. MacIntyre P. General surgery. In: Allman KG, Wilson IH. Oxford handbook of
anaesthesia. Oxford University Press 2001; 289-92.
5. Cunningham AJ, Dowd N. Anesthesia for minimally invasive procedures. In: Barash PG,
Bruce F, Cullen, Stoelting RK. Clinical anesthesia. Lippincott Williams & Wilkins,
Philadelphia 2001; 1055-62.

KONAS VII IDSAI, Makassar, 15-17 Juli 2004 11


6. Emilio LB, Glen PG, Michelle B, et al. Pneumoperitoneum as a risk factor for
endobronchial intubation during laparoscopic gynecologic surgery. Anesth Analg 1998; 86:
301-3.
7. Weingram J. Laparoscopic surgery. In: Yao FSF. Yao & Artusios Anesthesiology
problem-oriented patient management. 5th Ed, Lippincott Williams & Wilkins 2003; 862-87.
8. Kelman GR, Swapp GH, Smith I, Benzie RJ, Gordon NLM. Cardiac output and arterial
blood-gas tension during laparoscopy. Br J Anaesth 1972; 44: 1155-62.
9. Lindgren L. Pain after laparoscopic cholecystectomy. Acta Anaesthesiol Scand 1997; 41:
191-2.
10. Battillo JA, Hendler MA. Effects of positioning during anesthesia. Int Anesthesiol Clin
1993; 31: 67-86.
11. Brull SJ. Anesthetic considerations for laparoscopic procedures. ASA Refresher courses
in anesthesiology Park Ridge, IL. American Society of Anesthesiologists 1995; 23: 15-28.
12. Rosen MA. Management of anesthesia for the pregnant surgical patient. Anesthesiology
1999; 91: 1159-63.
13. Steinbrook RA, Bhavani-Shankar K. Hemodynamics during laparoscopic surgery in
pregnancy. Anesth Analg 2001; 93: 1570-1.
14. Lachman E, Schienfeld A, Voss E, et al. Pregnancy and laparoscopic surgery. J Am Assoc
Gynecol Laparosc 1999; 6: 347-51.
15. Raeder J, Gupta A, Pederson FM. Recovery characteristics of sevoflurane or propofol
based anaesthesia for day-care surgery. Acta Anaesthesiol Scand 1997; 41: 988-94.
16. Lonie DS, Harper NJN. Nitrous oxide anaesthesia and vomiting: the effect of nitrous
oxide anaesthesia on the incidence of vomiting following gynaecologic laparoscopy.
Anaesthesia 1986; 41: 703-7.
17. Bapat PP, Verghese C. Laryngeal mask airway and the incidence of regurgitation during
gynecological laparoscopies. Anesth Analg 1997; 85: 139-43.
18. Joshi GP, Inagaki Y, White PF, et al. Use of the laryngeal mask airway as an alternative
to the tracheal tube during ambulatory anesthesia. Anesth Analg 1997; 85: 573-7.
19. Snabes MC, Poindexter AN. Laparoscopic tubal sterilization under local anesthesia in
woman with cyanotic heart disease. Obstet Gynecol 1991; 78: 437-40.

-.o0 UK 0o.-

KONAS VII IDSAI, Makassar, 15-17 Juli 2004 12

You might also like