You are on page 1of 20

Demensia Alzheimer

NAMA : WINDY

NIM : 102009008

KELOMPOK : A2

FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS KRISTEN KRIDA WACANA
JAKARTA 2010
Kata Pengantar

Puji dan syukur saya panjantkan kepada Tuhan yang Maha Esa karena berkat anugerahNya
saya dapat menyelesaikan makalah kami dengan tepat waktu. Makalah saya kali ini berjudul
Demensia Alzheimer .

Pada kesempatan ini, saya juga tidak lupa untuk mengucapkan terima kasih yang sebesar-
besarnya pada dr. Susanti yang telah yang membimbing saya dalam proses pembuatan
makalah ini. Serta telah memberi saya kesempatan untuk membuat makalah ini sehingga saya
dapat menambah wawasan dan pengetahuan saya khususnya dalam mata kuliah Demensia
Alzheimer

Di dalam kamus Indonesia telah dikatakan bahwa tak ada gading yang tak retak. Saya sadar
saya dapat melakukan kesalahan. Oleh karena itu, dengan segala kerendahan hati saya sangat
mengharapkan saran dan kritik dari pembaca guna pembuatan makalah saya yang berikutnya.

Akhir kata, saya mengucapkan terima kasih. Semoga makalah ini dapat berguna dan
bermanfaat bagi anda.

Jakarta , 15 Januari 2011

Windy
Daftar isi
Daftar Isi..i

I. PENDAHULUAN

1.1 Latar belakang........1


1.2 Tujuan .......1

II. PEMBAHASAN

2.1 Diagnosis.....2

2.2 Diagnosis Banding......5

2.3 Etiologi ...................6


2.4 Patogenesis .....7
2.5 Gambaran Klinis..8
2.6 Pengobatan....................10
2.7 Komplikasi....13
2.8 Pencegahan.......13
2.9 Prognosis14

III. PENUTUP

3.1 Kesimpulan......15

DAFTAR PUSTAKA..........16

1.1 Latar Belakang

Demensia merupakan masalah besar dan serius yang dihadapi oleh Negara-negara
maju, dan telah pula menjadi masalah kesehatan yang mulai muncul dinegara-negara
berkembang seperti Indonesia. Hal ini disebabkan oleh makin mengemukanya penyakit-
penyakit degenerative serta makin meningkatnya usia harapan hidup di hampir seluruh
belahan dunia. Studi prevalensi menunjukkan bahwa di Amerika Serikat, pada populasi diatas
umur 65 tahun, persentase orang dengan penyakit Alzheimer meningkat dua kali lipat setiap
pertumbuhan umur 5 tahun. Saat ini telah disadari bahwa diperlukan deteksi dini terhadap
munculnya demensia , karena ternyata berbagai penelitian telah menunjukkan bila gejala-
gejala penurunan fungsi kognitif dikenali sejak awal maka dapat dilakukan upaya-upaya
meningkatkan atau paling tidak mempertahankan fungsi kognitif agar tidak jatuh pada
keadaan demensia.

1.2 Tujuan

Untuk mengetahui bagaimana pemeriksaannya, diagnosis, diagnosis banding,


Etiologi, patogenesis, gejala klinis, Terapi, Komplikasi, Pencegahan, dan Prognosis.

II. PEMBAHASAN
Diagnosis

Anamnesis. Anamnesis harus terfokus pada awitan, lamanya, dan bagaimana laju progresi
penurunan fungsi kognitif yang terjadi. Kebingungan yang terjadi akut dan subakut mungkin
merupakan manifestasi delirium dan harus dicari kemungkinan penyebabnya seperti
intoksikasi, infeksi, atau perubahan metabolic. Seorang usia lanjut dengan kehilangan
memori yang berlangsung lambat selama beberapa tahun kemungkinan menderita penyakit
Alzheimer. Hampir 75% pasien penyakit Alzheimer dimulai dengan gejala memori, tetapi
gejala awal juga dapat meliputi kesulitan mengurus keuangan, berbelanja, mengikuti
perintah, menemukan kata,atau mengemudi. Perubahan kepribadian, disinhibisi, peningkatan
berat badan, atau obsesi terhadap makanan mengarah pada fronto-temporal dementia ( FTD),
bukan penyakit Alzheimer. FTD juga patut diduga diduga bila ditemukan apati, hilangnya
fungsi eksekutif, abnormalitas progresif fungsi berbicara, atau keterbatasan kemampuan
memori atau spasial. Diagnosis demensia dengan lewy body (DLB) dicurigai bila terdapat
adanya gejala awal berupa halusinasi visual, parkinsonisme, delirium, gangguan tidur, atau
sindrom capgras, yaitu delusi bahwa seseorang yang dikenal digantikan oleh penipu. Riwayat
adanya strok dengan progresi bertahap dan tidak teratur mengarah pada demensia multi
infark. Demensia multi-infark umumnya terjadi pada pasien-pasien dengan faktor risiko
hipertensi, fibrilasi atrium, penyakit vaskular perifer, dan diabetes. Pada pasien yang
menderita penyakit serebrovaskular dapat sulit ditentukan apakah demensia yang terjadi
adalah penyakit Alzheimer, demensia multi infark, atau campuran keduanya. Bila dikaitkan
dengan berbagai penyebab demensia. Maka, anamnesis harus diarahkan pula pada berbagai
faktor risiko seperti trauma kepala berulang,infeksi susunan saraf pusat akibat sifilis,
konsumsi alkohol berlebihan, intoksikasi bahan kimia pada pekerja pabrik, serta penggunaan
obat jangka panjang. Riwayat keluarga juga harus selalu menjadi bagian dari evaluasi,
mengingat bahwa pada penyakit Alzheimer, FTD, dan penyakit Hungtington.1

Pemeriksaan fisis dan neurologis

Pemeriksaan fisis dan neurologis pada pasien dengan demensia dilakukan untuk mencari
keterlibatan sistem saraf dan penyakit sistematik yang mungkin dapat dihubungkan dengan
gangguan kognitifnya. Umumnya penyakit Alzheimer tidak menunjukkan gangguan sistem
motorik kecuali pada tahap lanjut. Kekakuan motorik dan bagian tubuh aksial, hemiparesis,
parkinsonisme, mioklonus, atau berbagai gangguan motorik lain umumnya timbul pada
FTD,DLB, atau demensia multi infark. Penyebab sistemik seperti defisiensi vitamin B12,
intoksikasi logam berat, dan hipotiroidisme dapat menunjukkan gejala-gejala yang khas.
Yang tidak boleh dilupakan adalah adanya gangguan pendengaran dan penglihatan yang
menimbulkan kebingungan dan disorientasi pada pasien yang sering disalahartikan sebagai
dimensia. Pada usia lanjut defisit sensorik seperti ini sering terjadi.1

Pemeriksaan kognitif dan neuropsikiatrik

Pemeriksaan yang sering digunakan untuk evaluasi dan konfirmasi penurunan fungsi kognitif
adalah the mini mental status examination(MMSE), yang dapat pula digunakan untuk
memantau perjalanan penyakit. MMSE merupakan pemeriksaan yang mudah dan cepat
dikerjakan. Berupa 30 point test terhadap fungsi kognitif dan berisikan pula uji orientasi,
memori kerja dan memori episodik, komprehensi bahasa, menyebutkan kata, dan mengulang
kata. Pada penyakit Alzheimer defisit yang terlibat berupa memori episodik, category
generation (sebutkan sebanyak-banyaknya binatang dalam satu menit), dan kemampuan
visuokonstruktif. Defisit pada kemampuan verbal memori episodik visual sering merupakan
abnormalitas neoropsikologis awal yang terlihat pada penyakit Alzheimer, dan tugas yang
membutuhkan pasien untuk menyebutkan ulang daftar panjang kata atau gambar setelah jeda
waktu tertentu akan menunjukkan defisit pada sebagian pasien penyakit Alzheimer. Pada
FTD defisit awal sering melibatkan fungsi eksekutif frontal atau bahasa ( berbicara atau
menyebutka kata). Pasien DLB mempunyai defisit lebih berat pada fungsi visuospasial tetapi
melakukan tugas memori episodik lebih baik dibandingkan pasien dengan penyakit
Alzheimer. Pasien dengan demensia vaskular sering menunjukkan campuran defisit eksekutif
frontal dan visuospasial. Pada delirium, defisit cenderung terjadi pada area pemusatan
perhatian, memori kerja, dan fungsi frontal.1

Pengkajian status fungsional harus juga dilakukan. Dokter juga harus menentukan dampak
kelainan terhadap memori pasien, hubungkan dikomunitas, hobi, penilaian, berpakaian, dna
makan. Pengetahuan mengenai status fungsional pasien sehari-hari kana membantu mengatur
pendekatan terapi dengan keluarga.2

Pemeriksaan penunjang
Tes laboratorium pada pasien demensia tidak dilakukan dengan serta merta pada semua
kasus. Penyebab yang reversible dan dapat diatasi seharusnya tidak boleh terlewat.
Pemeriksaan fungsi tiroid, kadar vitamin B12, darah lengkap, elektrolit, dan VDRL
direkomendasikan untuk periksa secara ruitn. Pemeriksaan tambahan yang perlu
dipertimbangkanadlaah fungsi lumbal, fungsi hati,fungsi ginjal, pemeriksaan toksin diurin
atau darah, dan apolipoprotein E. pemeriksaan penunjang yang juga direkomendasikan adalah
CT/MRI kepala. Pemeriksaan ini dapat mengindentifikasi tumor primer atau sekunder, lokasi
area infark, hematoma subdural, dan memperkirakan adanya hidrosefalus bertekanan normal
tau penyakit white matter yang luas. MRI dan CT juga dapat mendukung diagnosis penyakit
Alzheimer, terutama bila terdapat atrofi hipokampus selain adanya atrofi kortikal yang difus.
Abnormalitas white matter yang luas berkorelasi dengan demensia vaskular. Peran pencitraan
fungsional seperti single photon emission computed tomography (SPECT) dan positron
emission tomography (PET) scanning dalam penelitian. SPEECT dan PET scanning dapat
menunjukkan hipoperfusi atau hipometabolisme temporal parietal pada penyakit Alzheimer
dan hipoperfusi atau hipometabolisme frontotemporal pada FTD. 2

Diagnosis Banding

Gejala klinis demensia vaskuler bervariasi, tergantung pada lokasi lesi kelainan vaskuler
pada otak. Gangguan memori tidak selalu menonjol dan terjadi secara bertahap dan
relatip dalam masa yang lebih singkat dibandingkan dengan proses terjadinya demensia
Alzheimer. Onset gejala demensia vaskuler dapat bersifat gradual ataupun dramatik yang
secara garis besar dapat berupa gangguan kognitip (gangguan konsentrasi, memori,
disorientasi), gangguan komunikasi (afasia, apraksia, agnosia), gangguan kemampuan
eksekusi atau pengambilan keputusan, dan gangguan fisik (paresis, gangguan kontrol
kandung kencing) dan lain-lain.3

Tabel I. Perbedaan klinis delirium dan Demensia

Gambaran Delirium Demensia


Riwayat Penyakit akut Penyakit kronik
Awal Cepat Lambat laun
Sebab Terdapat penyakit lain (infeksi, Biasanya penyakit otak kronik (spt
dehidrasi, guna/putus obat Alzheimer, demensia vaskular)
Lamanya Ber-hari/-minggu Ber-bulan/-tahun
Perjalanan sakit Naik turun Kronik progresif
Taraf kesadaran Naik turun Normal
Orientasi Terganggu, periodik Intak pada awalnya
Afek Cemas dan iritabel Labil tapi tak cemas
Alam pikiran Sering terganggu Turun jumlahnya
Bahasa Lamban, inkoheren, inadekuat Sulit menemukan istilah tepat
Daya ingat Jangka pendek terganggu nyata Jangka pendek & panjang
terganggu
Persepsi Halusinasi (visual) Halusinasi jarang kecuali
sundowning
Psikomotor Retardasi, agitasi, campuran Normal
Tidur Terganggu siklusnya Sedikit terganggu siklus tidurnya
Atensi & kesadaran Amat terganggu Sedikit terganggu
Reversibilitas Sering reversibel Umumnya tak reversibel
Penanganan Segera Perlu tapi tak segera
5

Etiologi

a. Usia
Bertambahnya usia memang menjadi salah satu faktor resiko paling penting
seseorang menderita penyakit Alzheimer. Walaupun begitu penyakit Alzheimer ini dapat
diderita oleh semua orang pada semua usia. Namun 96% diderita oleh individu yang
berusia 40 tahun keatas.1

b. Genetik
Faktor genetik merupakan faktor resiko penting kedua setelah faktor usia. Individu
yang memiliki hubungan keluarga yang dekat dengan penderita beresiko dua kali lipat
untuk terkena Alzheimer. Pada penderita early onset umumnya disebabkan oleh faktor
turunan. Tetapi secara keseluruhan kasus ini mungkin kurang dari 5% dari semua kasus
Alzheimer. Sebagian besar penderita Downs Syndrome memiliki tanda-tanda
neuropatholigic Alzheimer pada usia 40 tahun.

c. Jenis kelamin
Berdasarkan jenis kelamin, maka prevalensi wanita yang menderita Alzheimer lebih
banyak tiga kali lipat dibandingkan pria. Hal ini mungkin disebabkan karena usia harapan
hidup wanita lebih lama dibandingkan dengan pria.

d.Pendidikan
Seseorang yang memiliki tingkat pendidikan tinggi memiliki faktor pelindung dari
resiko menderita Alzheimer, tetapi hanya untuk menunda onset manifestasi klinis. Hal ini
disebabkan karena edukasi berhubungan erat dengan intelegensi, oleh karena itu ada juga
penderita dengan tingkat pendidikan yang tinggi. Tetapi beberapa ahli mengatakan bahwa
kemampuan linguistik seseorang lebih baik dalam hal menjadi prediktor daripada
edukasi.2

e. Trauma kepala

Beberapa penelitian menunjukkan adanya hubungan antara penyakit Alzheimer


dengan trauma kepala. Hal ini dihubungkan dengan petinju yang menderita demensia
pugilistik, dimana pada otopsinya ditemukan banyak neurofibrillary tangles
Patobiologi dan Patogenesis
Komponen utama patologi penyakit Alzheimer adalah plak senilis dan neuritik,
neurofibrillary tangles,hilangnya neuron/sinaps, degenerasi granulovakular,dan Hirano
bodies. Plak neuritik emngandung b-amyloid ekstraselular yang dikelilingi neuritis
distrofik,sementara olak difus adalah istilah yang kadang digunakan untuk deposisi
amyloid tanpa abnormalitas neuron. Deteksi adanya Apo E di dalam plak b-amyloid
dan studi mengenai ikatan high-avidity antara Apo E dengan b-amylodi menunjukkan
bukti hubungan antara amyloidogenesis dan Apo E. Plak neuritik juga mengandung
protein komplemen,mikroglia yang teraktivasi,sitokin-sitokin,dan
protein fase-akut,sehingga komponen inflamasi juga diduga terlibat pada pathogenesis
penyakit Alzheimer. Gen yang mengkode kromosom 21,menunjukkan hubungan
potensial patologi penyakit Alzheimer dengan sindrom Down yang diderita oleh semua
pasien penyakit Alzheimer uang muncul pada usia 40 tahun.
pembentukan amyloid merupakan pencetus berbagai proses sekunder yang terlibat pada
patogenesis penyakit Alzheimer (hipotesis kaskade amyloid) Berbagai mekanisme yang
terlibat pada pathogenesis tersebut bila dapat dimodifikasi dengan obat yang tepat
diharapkan dapat mempengaruhi perjalanan penyakit Alzheimer. Adanya dan jumlah
plak senilis adalah satu gambaran patologis utama yang penting untuk diagnosis
penyakit Alzheimer. Sebenarnya jumlah plak meningkat seiring usia,dan plak ini juga
muncul di jaringan otak orang usia lanjut yang tidak demensia. Juga dilaporkan bahwa
satu dari tiga orang berusia 85 tahun yang tidak demensia mempunyai deposisi amyloid
yang cukup di korteks serebri untuk memenuhi kriteria diagnosis penyakit
Alzheimer,namun apakah ini mencerminkan fase preklinik dari penyakit masih belum
diketahui. 2

7
Lewy body adalah cytoplasmic inclusion intraneuron yang terwarnai dengan periodic
acid-Schiff (PAS) dan ubiquitin,yang terdiri dari neurofilamen lurus sepanjang 7
sampai 20nm yang dikelilingi material amorfik. Lewy body dikenali melalui antigen
terhadap protein neurofilamen yang terfosforilasi maupun yang tidak
terfosforilasi,ubiquitin,dan protein presinap yang disebut -synuclein. Jika pada
seorang demensia tidak ditemukan gambaran patologik selain adanya Lewy body maka
kondisi ini disebut diffuse Lewy body disease,semntara bila ditemukan juga plak
amyloid dan neurofibrillary tangles maka disebut varian Lewy body dari penyakit
Alzheimer.
Defisit neurotransmiter utama pada penyakit Alzheimer,juga pada demensia tipe
lain,adalah sistem kolinergik. Walaupun sistem noradrenergik dan
serotonin,somatostatin-like reactivity,dan corticotropin-releasing factor juga
berpengaruh pada penyakit Alzheimer,defisit asetilkolin tetap menjadi proses utama
penyakit dan menjadi target sebagian besar terapi yang tersedia saat ini untuk penyakit
Alzheimer. 3

Gejala Klinis

Gejala klinis demensia Alzheimer merupakan kumpulan gejala demensia akibat gangguan
neuro degenaratif (penuaan saraf) yang berlangsung progresif lambat, dimana akibat proses
degenaratif menyebabkan kematian sel-sel otak yang massif. Kematian sel-sel otak ini baru
menimbulkan gejala klinis dalam kurun waktu 30 tahun. Awalnya ditemukan gejala mudah
lupa (forgetfulness) yang menyebabkan penderita tidak mampu menyebut kata yang benar,
berlanjut dengan kesulitan mengenal benda dan akhirnya tidak mampu menggunakan barang-
barang sekalipun yang termudah. Hal ini disebabkan adanya gangguan kognitif sehingga
timbul gejala neuropsikiatrik seperti, Wahan (curiga, sampai menuduh ada yang mencuri
barangnya), halusinasi pendengaran atau penglihatan, agitasi (gelisah, mengacau), depresi,
gangguan tidur, nafsu makan dan gangguan aktifitas psikomotor, berkelana.4

Gejala-gejala Demensia Alzheimer sendiri meliputi gejala yang ringan sampai berat. Sepuluh
tanda-tanda adanya Demensia Alzheimer adalah :

Gangguan memori yang mempengaruhi keterampilan pekerjaan, seperti; lupa meletakkan


kunci mobil, mengambil baki uang, lupa nomor telepon atau kardus obat yang biasa
dimakan, lupa mencampurkan gula dalam minuman, garam dalam masakan atau cara-cara
mengaduk air,
Kesulitan melakukan tugas yang biasa dilakukan, seperti; tidak mampu melakukan
perkara asas seperti menguruskan diri sendiri.

Kesulitan bicara dan berbahasa

Disorientasi waktu, tempat dan orang, seperti; keliru dengan keadaan sekitar rumah,
tidak tahu membeli barang ke kedai, tidak mengenali rekan-rekan atau anggota
keluarga terdekat.

Kesulitan mengambil keputusan yang tepat

Kesulitan berpikir abstrak, seperti; orang yang sakit juga mendengar suara atau
bisikan halus dan melihat bayangan menakutkan.

Salah meletakkan barang

Perubahan mood dan perilaku, seperti; menjadi agresif, cepat marah dan kehilangan
minat untuk berinteraksi atau hobi yang pernah diminatinya.

Perubahan kepribadian, seperti; seperti menjerit, terpekik dan mengikut perawat ke


mana saja walaupun ke WC.

Hilangnya minat dan inisiatif.5

Stadium demensia Alzheimer terbagi atas 3 stadium, yaitu :

Stadium I

Berlangsung 2-4 tahun disebut stadium amnestik dengan gejala gangguan memori, berhitung
dan aktifitas spontan menurun. Fungsi memori yang terganggu adalah memori baru atau
lupa hal baru yang dialami.5

Stadium II
Berlangsung selama 2-10 tahun, dan disebutr stadium demensia. Gejalanya antara lain:

Disorientasi

gangguan bahasa (afasia)

penderita mudah bingung

penurunan fungsi memori lebih berat sehingga penderita tak dapat melakukan kegiatan
sampai selesai, tidak mengenal anggota keluarganya tidak ingat sudah melakukan suatu
tindakan sehingga mengulanginya lagi.

Dan ada gangguan visuospasial, menyebabkan penderita mudah tersesat di lingkungannya,


depresi berat prevalensinya 15-20%.

Stadium III

Stadium ini dicapai setelah penyakit berlangsung 6-12 tahun.Gejala klinisnya antara lain:

Penderita menjadi vegetatif

tidak bergerak dan membisu

daya intelektual serta memori memburuk sehingga tidak mengenal keluarganya sendiri

tidak bisa mengendalikan buang air besar/ kecil

kegiatan sehari-hari membutuhkan bantuan ornag lain

kematian terjadi akibat infeksi atau trauma

Pengobatan

Pengobatan untuk Mempertahankan Fungsi Kognitif


Penyakit Alzheimer tidak dapat disembuhkan dan belum ada obat yang terbukti
tinggi efektivitasnya. Selain mengatasi gejala perubahan tingkah lau dan
membangun rapport dengan pasien,anggota keluarga,dan pramuwerdha,saat ini
fokus pengobatan adalah pada defisit sistem kolinergik. 1

10
Kolinesterase inhibitor. Tacrine (tetrahydroaminoacridine),donepezil,
rivastigmin,dan galantamin adalah kolinesterasi inhibitor yang telah disetujui U.S
Food and Drug Administration (FDA) untuk pengobatan penyakit Alzheimer.
Efek farmakologik obat-obatan ini adalah dengan menghambat enzim
kolinesterase,dengan meningkatnya kadar asetilkolin di jaringan otak. Dari
keempat obat tersebut,tacrine saat ini jarang digunakan karena efek sampingnya
ke organ hati (hepatotoksik). Donepezil dimulai pada dosis 5mg perhari,dan dosis
dinaikkan menjadi 10mg perhari setelah satu bulan pemakaian. Dosis rivastagmin
dinaikkan dari 15mg dua kali perhari menjadi 3mg dua kali perhari,kemudian
4,5mg dua kali perhari,sampai dosis maksimal 6mg dua kali sehari. Dosis dapat
dinaikkan pada interval antara satu sampai empat minggu; efek samping
umumnya lebih minimal bila peningkatan dosisnya dilakukan lebih lama.
Sementara galantamin diberikan dengan dosis awal 4mg dua kali perhari,untuk
dinaikkan menjadi 8mg dua kali perhari dan kemudian 12mg perhari. Seperti
rivastigmin,interval peningkatan dosis yang lebih lama akan meminimalkan efek
samping yang terjadi. Dosis harian efektif untuk masing-masing obat adalah 5
sampai 10mg untuk donepezil,6 sampai 12mg untuk rivastigmin,dan 16 sampai
24mg untuk galantamin. Efek samping yang dapat timbul pada pemakaian obat-
obatan kolinesterase inhibitor ini antara lain adalah mual,muntah,dan diare,dapat
pula timbul penurunan berat badan,insomnia,mimpi abnormal,kram otot,
bradikardia,sinkop,dan fatig. Efek-efek samping tersebut umumnya muncul saat
awal terapi,dapat dikurangi bila interval peningkatan dosisnya diperpanjang dan
dosis rumatan diminimalkan. Efek samping pada gastrointestinal juga dapat
diminimalkan bila obat-obat tersebut diberikan bersamaan dengan makan.
Penggunaan bersama-sama lebih dari satu kolinesterase iinhibitor pada saat yang
bersamaan belum pernah diteliti dan tidak dianjurkan. Kolinesterase inhibitor
umumnya digunakan bersama-sama dengan memantin dan vitamin E. 2

11
Antioksidan. Antioksidan yang telah diteliti dan memberikan hasil yang cukup
baik adalah alfa tokoferol (vitamin E). Pemberian vitamin E pada satu penelitian
dapat memperlambat progresi penyakit Alzheimer menjadi lebih berat. Vitamin E
telah banyak digunakan sebagai terapi tambahan pada pasien dengan penyakit
Alzheimer dan demensia tipe lain karena harganya murah dan dianggap aman.
Dengan mempertimbangkan stres oksidatif sebagai salah satu dasar proses menua
yang terlibat pada patofisiologi penyakit Alzheimer,ditambah hasil yang didapat
pada beberapa studi epidemiologis,vitamin E bahkan digunakan sebagai
pencegahan primer demensia pada individu dengan fungsi kognitif normal.
Namun suatu studi terakhir gagal membuktikan perbedaan efek terapi antara
vitamin E sebagai obat tunggal dan plasebo terhadap pencegahan penurunan
fungsi kognitif pada pasien-pasien dengan gangguan fungsi kognitif ringan. Efek
terapi vitamin E pada pasien demensia maupun gangguan kognitif ringan
tampaknya hanya bermanfaat bila dikombinasikan dengan kolinesterase inhibitor. 6

Memantin. Obat yang saat ini juga telah disetujui oleh FDA sebagai terapi pada
demensia sedang dan berat adalah memantin,suatu antagonis N - m e til- D
-aspartat. Efek terapinya diduga adalah melalui pengaruhnya pada glutaminergic
excitotoxicity dan fungsi neuron di hipokampus. Bila memantin ditambahkan pada
pasien Alzheimer yang telah mendapat kolinesterase inhibitor dosis tetap,
didapatkan perbaikan fungsi kognitif,berkurangnya penurunan status
fungsional,dan berkurangnya gejala perubahan perilaku baru bila dibandingkan
penambahan placebo. 3
12
Dengan adanya bukti bahwa proses inflamasi pada jaringan otak terlibat pada
patogenesis timbulnya penyakit Alzheimer,maka beberapa penelitian mencoba
mendapatkan manfaat obat-obat antiinflamasi baik dalam hal pencegahan maupun
terapi demensia Alzheimer. Hasil negatif (tidak berbeda dengan plasebo)
ditunjukkan baik pada prednison,refocoxib,maupun naproxen,sehingga sampai
saat ini tidak ada data yang mendukung penggunaan obat antiinflamasi dalam
pengelolaan pasien demensia. Selain itu,walaupun beberapa studi epidemiologik
menduga bahwa terapi sulih-estrogen mungkin dapat mengurangi insidensi
demensia,namun penelitian klinis menunjukkan ternyata tidak ada manfaatnya
pada perempuan menopause. Beberapa obat lain yang dari beberapa studi
pendahuluan nampaknya punya potensi untuk dapat digunakan sebagai
pencegahan dan pengobatan demensia diantaranya ginko biloba,huperzin A
(kolinesterase inhibitor),imunisasi/vaksinasi terhadap penyakit ayloid,dan
beberapa pendekatan yang bersifat neuroprotektif. 3

Komplikasi

Infeksi
Malnutrisi
Kematian5

Pencegahan
- Mengonsumsi minyak ikan,
- Berolahraga rutin
- Mengisi teka teki silang adalah aktivitas yang disebut-sebut bermanfaat bagi otak6
13

Prognosis

Penyakit Alzheimer adalah progresif tanpa kecuali. Studi-studi yang berbeda telah
menyatakan bahwa penyakit Alzheimer berlanjut diatas dua sampai 25 tahun dengan
kebanyakan pasien-pasien pada cakupan delapan sampai 15 tahun. Meskipun demikian,
menentukan kapan penyakit Alzheimer mulai, terutama pada peninjauan kembali, dapat
menjadi sangat menyulitkan. Pasien-pasien biasanya tidak meninggal secara langsung dari
penyakit Alzheimer. Mereka meninggal karena mereka mempunyai kesulitan menelan atau
berjalan dan perubahan-perubahan ini membuat infeksi-infeksi yang berlimpahan, seperti
pneumonia, jauh lebih mungkin.6
14

BAB III

PENUTUP

3.1 KESIMPULAN

Penyakit alzheimer sangat sukar di diagnosa hanya berasarkan gejala-gejala


klinik tanpa dikonfirmasikan pemeriksaan lainnya seperti neuropatologi, neuropsikologis,
MRI, SPECT, PET. Sampai saat ini penyebab yang pasti belum diketahui, tetapi faktor
genetik sangat menentukan (riwayat keluarga), sedangkan faktor lingkungan hanya sebagai
pencetus ekspresi genetik. Pengobatan pada saat ini belum mendapatkan hasil yang
memuaskan, hanya dilakukan secara empiris, simptomatik dan suportif untuk
menyenangkanpenderita atau keluarganya.
15

DAFTAR PUSTAKA

1. Amar K, Wilcock G. Vaskular dementia. BMJ. 1996.h.227-31.

2. Cummings JL. Alzheimer disease. N Engl J Med.2004.h.56-67.

3. Wilcock G, Howe I, Coles H, Lilienfeld S, Truyen L, Zhu Y, dkk. A long-term


comparison of galantamine and donepezil in the treatment of Alzheimer disease. Drugs
Aging. 2003;20:777-89.

4. Titus AM, Revest P, Shortland P. The nervous system. The second edition. Churchill
living store Elsevier ; 2010.h. 256-67.
5. Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I,Simadibrata M, Setiati S. Ilmu penyakit dalam. Edisi
ke-3. Jakarta: Internal Publishing;2003.h.249-57.
6. Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I,Simadibrata M, Setiati S. Ilmu penyakit dalam. Edisi
ke-5. Jakarta: Internal Publishing;2009.h.837-44.
16

You might also like