You are on page 1of 11

LABORATORY FINDING ON SEPSIS

Focus on Hemostatic Markers, PCT and CRP

Tahono
Department of Clinical Pathology
Faculty of Medicine UNS / Moewardi Hospital

Abstrac.
Sepsis is a clinical syndrome associated with the product of infections, while SIRS is a process of
inflammation with the absent of infections. The morbidity and mortality of sepsis remained high due
to MOF and DIC processes. The bacteremia may be intermittent so that the blood culture may not
reveal causative agents. The study on humoral response due to sepsis is therefore being developed
as a mean to determine the marker of sepsis. The inflammatory cytokin mediator is the first humoral
response to sepsis, followed by the activation of coagulation system, immuno-regulator cytokin, pro-
inflamatory cytokin, anti-inflamatory cytokin, acute phase protein, hormokines, intra cellular factors
and the activation of stress hormon. The changes of hemostatic system may be due to the activation
coagulation system by tissue factors or by the inhibition of coagulation and the changes of
fibrinolysis system. Cytokin, fibronectin, CRP, ferritin, LPS, leptin, PCT, MIF, HMG-1, NO, cortisol,
cathecolamine, prolactin and ACTH are biochemical markers which so far need further study..
Plt, PT, APTT, TT, MDT - Burr sel, D Dimer, F1+2, sFM, FDP, AT III, FPA, PAP, PC, and PS are
Hemostatic markers.
The response complex of the body to sepsis give variations of laboratory test, for which however
should be in a good control on sensitivity, specificity, negative and positive predictive value.

Key-words : Sepsis, Hemostatic markers, PCT, CRP.

PENDAHULUAN
Definisi klasik terjadinya sepsis dari Hugo Schottmller (1914) adalah adanya hubungan dan gejala
penyakit akibat sumber infeksi/peradangan di dalam tubuh melepaskan secara konstan kuman
patogen pada waktu tertentu ke dalam aliran darah.
Perkembangan selanjutnya ACCP and SCCM ( 2001 ) dengan pertimbangan untuk memudahkan
klinisi dalam mendiagosis dan memberikan tatalaksana yang cepat, definisi berdasarkan perbedaan
gejala klinik dan laboratorik, yaitu bacteremia, Systemic inflammatory response syndrome (SIRS),
Sepsis, Severe Sepsis, Septic shock dan Multiple organ dysfunction syndrome (MODS).
Respons tubuh secara lokal dengan adanya pemicu inflamasi, dilakukan oleh leukocytes,
lymphocytes, endothelial / parenchymal dan dilanjutkan dengan humoral respons antara lain
suatu sitokin yang berperan sebagai mediator pro inflamatory dan anti inflamatory. Respons humoral
meliputi aktivasi koagulasi dan complement cascade, sitokin
, Acute phase proteins
, stress hormon, hormokines, dan Intraselluler faktor.
1
Permasalahan akan menjadi kompleks dan sangat serius apabila pemicu atau mediator2 tersebut
berada dalam sirkulasi sistemik. Pemicu tersebut dapat bakteri gram negatif yang menghasilkan
endotoxin, bakteri gram positif yang memproduksi eksotoxin, parasit, virus dll. Perkembangan
selanjutnya dapat dalam bentuk bakteriemia, sepsis, SIRS ( Systemic Inflammatory Response
Syndrome ) apabila mediator pro inflamatory dominan, CARS ( Compensatory Anti Inflammatory
Response Syndrome ) apabila mediator anti inflamatory dominan, MARS ( Mixed Antagonist
Response Syndrome ) merupakan sindrome respons antagonis gabungan, Septic shock, dan MODS
( Multi Organ Dysfunction Syndrome). Sindroma yang muncul dari mediator sistemik sangat
tergantung keseimbangan SIRS dan CARS, sehingga konsekwensi klinik yang mungkin terjadi oleh
Dr. Bone dengan istilah CHAOS meliputi Cardiovascular compromise, Homeostasis, Apoptosis,
Organ dysfunction and Suppression of the immune system.
MODS, anergy dan Septic shok terjadi karena respons pathofisiologi menunjukkan ketidak
seimbangan dan ketidak sesuaian dengan kebutuhan pasien, kondisi ini sebagai Immunologic
Dissonance.
Epidemiologi sepsis di AS sesuai Centers for Disease Control in the United States, selama kurun
waktu 1979 2000 menunujukkan peningkatan. Dari tahun 1979 didapatkan 73,6 / 100.000 pasien
menjadi 175,9 / 100.000 pasien pada tahun 1987 atau terjadi peningkatan 13,7 % / tahun. Survai di
Amerika dan Eropa, estimasi severe sepsis 2 - 11 % dari pasien ICU..Kultur yang teridentifikasi 51
%, terdiri dari gram positive 52,1 %, gram negative 37,5 %, poly-microbial 4,7 %, fungi 4,6 % dan
anaerobic bacteri 1,0 %. Infeksi oleh Gram positive meningkat 26,3 % / tahun, kondisi ini
mengisyaratkan meningkatnya MRSA. Sepsis juga menjadi penyebab kematian ke 11 di AS.
Fokus dalam tulisan ini adalah parameter laboratorium terkait dengan aktivasi koagulasi dan
complement cascade dalam bentuk DIC (Disseminated Intravascular Coagulation), respons
Acute phase proteins
dalam hal ini CRP ( C Reactive Protein ), dan hormokines PCT ( Pro Calcitonin ).
ENDOTOXIN
Endotoxin adalah komponen membran luar semua bakteri gram negatif, merupakan glikolipid
kompleks yang terdiri dari active lipid ( Lipid A ), dan membran molekul sel endotoxin
terindentifikasi sebagai Lipooligosaccaharide ( LOS, endotoxin rantai pendek) dan lipoprotein.
Endotoxin/LPS berinteraksi dengan semua komponen sistem kekebalan sel, dengan netropil
memperlihatkan molekul2 adhesi sel yang menjembatani netropil ke netropil , netropil ke sel
endothelial vaskuler dan netropil ke ikatan jaringan, sehingga menyebabkan gangguan vaskuler dan
reaksi inflamasi lokal. Pengaruh terhadap limposit akan memacu proliferasi sel B dan produksi
antibodi, mengaktifkan sel T untuk mengeluarkan cytokine dan mengurangi regulasi sel Ts. LPS
yang masuk sirkulasi akan dikelilingi sejumlah konstituen serum seperti LBP yang meningkatkan
patogenisitas, lipoprotein dan chylomikron. Salah satu ligand ikatan LPS adalah BPI
(Bactericidal/Permeability increasing protein) yang terdapat di granula azurophil netropil, sehingga
LPS ternetralisasi.
Interaksi LPS yang banyak dikenal yaitu dengan monosit / macrophag yang menghasilkan reseptor
CD-14 dan koreseptor TLR-4 sebagai reseptornya ikatan kompleks LPS-LPB. Sebagai akibatnya
monosit memproduksi dan mengeluarkan cytokin pro inflamatory dan anti inflamatory.

KOAGULOPATI PADA SEPSIS


Hubungan antara koagulasi dan inflamasi adalah kompleks dan hingga kini semakin jelas, walaupun
tidak dengan sepenuhnya dipahami. Koagulasi tidak hanya terbentuknya fibrin dan aktivasi
trombosit, tetapi juga mengakibatkan pengaktifan sel endotel vaskuler, yang berperan untuk
aktivasi leukocyte. Pada sisi lain, inflamasi dapat mengexpresikan TF dan memacu monosit untuk
mengexpresikan sitokin dengan cara mengaktifkan Nuclear Factor - kB ( NF-k B).
Peran TF yang berikatan dengan F VII atau F VIIa sebagai jalur extrinsik koagulasi merupakan awal
terjadinya abnormalitas pembekuan, dan TFPI ( Tissue Factor Pathway Inhibitor ) dengan jumlah
terbatas memegang kunci terbentuknya trombin. Abnormalitas pembekuan dapat dilihat darii jumlah
trombosit yang menurun sampai lamanya pembekuan yang berakibat Disseminated Intravascular
Coagulation (DIC) yang dikaitkan dengan perkembangan Multiple Organ Dysfunction (MODS).
Keadaan ini ditandai penyebaran trombosis mikrovaskuler secara serentak dan diikuti perdarahan di
beberapa bagian tubuh. Perdarahan disebabkan oleh pemakaian protein pembekuan dan trombosit
secara berlebihan yang berfungsi mengaktifkan sistem pembekuan. Berkurangnya sistem
penghambat pembekuan, seperti AT III, dan Protein C menurun cepat beberapa jam sebelum
perkembangan tanda2 klinis sepsis shock.
Berdasarkan tahapan terjadinya koagulasi dan adanya petanda yang spesifik meningkatnya aktivasi
koagulasi, fibrinolitik dan konsumsi inhibitor koagulasi, maka pemeriksaan dapat terbagi dalam :
1. Uji Penapis : Plt, PT, APTT, TT dan fibrinogen
2. Uji Minimal : Plt, MDT - Burr sel, D Dimer
3. Uji Penentu : sFM, D Dimer, FDP, AT III
4. Aktivasi koagulasi : TAT, sFM, FPA, D Dimer
5. Aktivasi fibrinolitik : PAP, FDP, D Dimer
6. Konsumsi inhibitor : AT, PC, PS
Interaksi antara koagulasi dan inflamasi, dapat dilihat secara mikroskopis :
1. Leukosit ditemukan pada konsentrasi yang tinggi di dalam thrombus pembuluh darah.
Leukosit dan trombosit yang teraktivasi dapat membentuk rosettes dengan mediator
P-Selectin, dan terlihat dipermukaan trombosit yang teraktivasi. Hal ini kemungkinan oleh
pengaruh trombin dengan bantuan PAR 1 / 4 yang mengaktivkan trombosit. P-Selectin
adalah mediator awal yang menyebabkan leukosit bermigrasi dan adhesi ke sel endotel.
2. Terbentuknya trombin oleh karena aktivasi kompleks TF:VIIa dan faktor Xa
3. Ekspresi GAG dan TM di permukaan sel menghambat aktivitas pro inflamatori cytokin dan
lipopoly-saccharide ( LPS), dengan cara AT III berinteraksi dengan GAG dan terbentuknya
APC oleh TM ( Trombomodulin) yang diperkuat oleh EPCR (Endotelial Protein C Reseptor ).

TFPI Tissue Factor Pathway Inhibitor


TFPI menghambat produksi IL-6 dan IL-8, serta mencegah aktivasi koagulasi akibat endotoxin. TFPI
bersaing dengan LPS dalam mengikat LBP, dan TFPI sendiri akan berikatan dengan LPS.

AT III - Anti Trombin III


AT III menginaktivasi F Xa, sehingga menghambat reaksi protrombin ke trombin.
Terikatnya AT dengan GAG ( glikosaminoglikan ) akan memproduksi prostacyclin ( PGI-2 ) dari sel
endotel.
Prostacyclin berperan dalam :
1. Inhibitor agregasi trombosit.
2. Menghambat akumulasi lekosit di pulmo dengan cara menghambat adhesi lekosit di sel
endothel.
3. Menekan sintesis TNF alpha dan IL-1 di monosit
4. Meningkatkan siklus intra sel AMP yang berakibat menghambat aktivasi netropil
5. Vasodilatator
Okabayashi K. et al (2004) melaporkan, bahwa angka mortalitas oleh karena DIC yang dirawat di
Intensive Care Unit mencapai 44,7%. Dalam 5 hari PC dan AT menurun dan terjadi kenaikan PAI-1.
F1 dan F2, TAT ( Trombin Anti Trombin ), D Dimer lebih tinggi pada SIRS yang sudah 3 hari
dibandingkan kurang dari 3 hari, hal ini menunjukkan SIRS yang lebih dari 3 hari berpotensi menjadi
DIC. Pada pasien DIC didapatkan Plt dan fibrinogen menurun, dan FDP meningkat. Penentuan uji
pembekuan global seperti Plt, FDP, fibrinogen, PT ( Pro Trombin Time ) dan Score DIC dapat untuk
diagnosa DIC tetapi kurang sensitif, sedangkan penentuan molekul hemostasis seperti D Dimer, TAT,
PPIC ( Plasmin Plasmin Inhibitor Complex ), sF, tPA-PAI-1 kompleks meningkat signifikan, TM
( Trmbomodulin ) dan AT menurun signifikan sebagai petanda Pra DIC. Level plasma D Dimer, TAT,
tPA-PAI-1 kompleks cenderung lebih tinggi pada survivor. AT III pada non survivor lebih rendah dari
survivor, hal ini menunjukkan penurunan AT III sebagai indikator penyebab kematian pasien DIC.
Score SOFA non survivor lebih tinggi dibandingkan survivor. Abnormalitas AT merefleksikan gagal
organ. Pada pasien severe sepsis terjadi pemendekan masa hidup AT dari 55 jam menjadi 20 jam.

AKTIVATED PROTEIN C - APC


1. Sistem koagulasi :
a. APC menginaktivasi F Va, F VIIIa dan menghambat aktivitas PAI-1. Inaktivasi F Va
akan menghambat aktivasi F Xa yang berfungsi merubah protrombin menjadi trombin,
inaktivasi F VIIIa menyebabkan F IXa tidak berperan dalam perubahan F X ke F Xa.
b. Adanya aktivitas PAI-1 yang dihambat APC, akan meningkatkan peran tPA dan
urokinase dalam memacu plasminogen ke plasmin. Terbentuknya plasmin akan
menyebabkan fibrinolisis primer dan sekunder.
c. Mencegah aktivasi TAFI ( Thrombin-Activatable Fibrinolysis Inhibitor )
2. Anti inflamasi :
a. Menghambat produksi anti inflamatori sitokin, yaitu TNF-
, IL-1 , dan IL-6

b. Menurunkan migrasi monosit dan netropil di endotelium yang cidera.


Tabel 1 : Sensitivitas dan Spesifisitas Hemostasis pada Sepsis
Parameter Sensitivitas - % Spesifisitas - % Referensi
Platelet 97 48 Yu M et al, 2000
PT 91 27 Yu M et al, 2000
APTT 91 42 Yu M et al, 2000
TT 83 60 Yu M et al, 2000
sFM 80 90 80 - 90 Levi M et al, 1999
D Dimer 91 68 Bick RL et al, 1996
FDP 100 67 Yu M et al, 2000
AT III 91 40 Yu M et al, 2000
APC

Rekomendasi Konsensus Nasional Tatalaksanan DIC Akut pada Sepsis ( 2001 ), parameter
hemostasis meliputi :
1. Uji Penapis : Plt ( hitung trombosit), PT ( Masa Protrombin ), aPTT ( Masa tromboplastin
parsial teraktivasi ), TT ( Masa Trombin ) dan Fibrinogen.
2.. Uji Penentu : sFM (soluble fibrin monomer ), D Dimer, FDP ( Fibrin degradation product ),
dan AT ( Anti trombin ).

PROCALCITONIN PCT dan C REACTIV PROTEIN CRP


Procalcitonin ( PCT ) merupakan prekursor polypeptide hormon calcitonin yang berasal dari kelenjar
thyroid, hormon calcitonin sendiri berfungsi merespons efek hyper atau hypocalcemia. PCT tersusun
dari 116 asam amino dan terdiri dari 3 peptide, yaitu 57 asam amino di terminus amino ( N ProCT),
32 asam amino CT immature yang mengandung glysine, dan 21 asam amino CT Carboxyterminus
peptide I (CCP-1). Serum normal mengandung Pro PCT, Free N ProCT , Free CCP-1 dan Free CT-
CCP-1 peptide.
Pada kondisi sepsis, didapatkan CTmRNA diseluruh tubuh dan berfungsi sebagai kelenjar endokrin
penghasil CTpr ( CT precursor). Peningkatan tersebut terjadi di liver, pulmo, ginjal, pankreas, otak,
jantung dan usus kecil.
Molekul PCT sangat stabil baik invitro ataupun invivo, waktu paruh antara 22 - 29 jam. PCT
meningkat 2-3 jam setelah induksi dan dapat meningkat sampai beberapa ratus ng/ml.
Induksi PCT pada tahap awal (< 6 jam) meningkat kira-kira 0.5 ng/ml per jam, setelah tahap latent
sekitar 2-3 jam akan diikuti produksi PCT secara masive sebanyak kira-kira 50 ng/ml per jam.
Becker et al ( 2004 ), p
ada percobaan pada binatang melaporkan bahwa :
1. Pada hewan sepsis dalam 24 jam, PCT meningkat relatif tinggi dan IL-1, TNF meningkat
2 x ( dua kali )
2. Hewan sepsis yang diberi PCT, tidak menimbulan respons kenaikan IL-1 dan TNF.
3. Hewan sehat yang juga diberi PCT, juga tidak terlihat adanya respons terhadap IL-1
danTNF
4. Hewan sehat dengan penambahan TNF, terlihat peningkatan PCT sampai 25 x
Dari percobaan tersebut menunjukkan bahwa peningkatan PCT diinduksi oleh sitokin TNF.
Dilaporkan juga bahwa hewan sepsis tanpa perawatan, hewan mati antara 9 15 jam. Sedangkan h
ewan sepsis yang diberikan immune Ig terlihat adanya perbaikan yang signifikan, tetapi apabila
hewan sepsis diberi IgG reaktif Non PCT tidak menunjukkan perbaikan.
Penelitian Meisner dan Reinhart ( 2001), menunjukkan bahwa ada korelasi yang signifikan antara
tingginya SOFA score dengan peningkatan kadar PCT. Sedangkan peningkatan kadar CRP terlihat
signifikan hanya antara SOFA score 1 6 dengan 7 12, dan antara SOFA score lainnya relatif
kadar CRP sama dengan SOFA score 7 12.
CRP merupakan protein fase akut, di sintesis di hati dan di induksi IL- 6. Fungsi biologis CRP adalah
mengikat bahan eksogen dan endogen untuk kemudian dibuang dengan opsonisasi. Waktu paruh +
19 jam
. CRP mengikat dan mempresipitasi polisacharida C somatik kuman pneumococci.
CRP berperan dalam mekanisme pertahanan primitif terhadap penyakit mikrobial dan t
idak dipengaruhi seks dan makanan.
Tabel 2 : Reference Range of PCT in neonatus
Umur jam Kadar PCT ng/ml
06 2
6 12 8
12 18 15
18 30 21
30 36 15
36 42 8
42 48 2
( Cheisa C et al, 1998 )
Pada infants ( 0 48 jam ), sensitivitas PCT = 92,6 % dan spesifisitas = 97,5 %. Sedangkan pada
infants ( 8 30 hari ), sensitivitas dan spesifisitasnya = 100 %. ( Cheisa C et al, 1998 ).

Tabel 3 : Reference Range of PCT plasma concentration in respect


to different clinical conditions.
Diagnosis PCT ng/ml
Normal range < 0,5
Non bacterial inflamation ( viral, autoimmun, other non bacterial
< 0,5
chronic inflammation )
Induction during systemic inflammation of non bacterial etiology
0,5 - 2
( SIRS, burn trauma, poly trauma, post surgical )
Induction during sepsis and severe systemic inflammation < 2
Often > 10
Severe bacterial infection, sepsis, MOD
up to > 100
(Meisner & Reinhart, 2001)

Table 4 : Sensitivity, specificity, negative and positive predictive value of laboratory parameters
In predicting sepsis
Parameter CRP TNF- IL-2 IL-6 IL-8
PCT

Sensitivity (%) 58 55 63 51 68 85
Specificity (%) 58 66 55 53 57 91
NPV (%) 68 65 65 56 69 95
PPV (%) 53 54 50 42 53 89

( Balcl C et al, 2003 )


CRP, C-reactive protein; PCT, procalcitonin; TNF, tumour necrosis factor.
NPV, Negative predictive value; PPV, Positive predictive value

Table 5: ROC analysis results for various biomarker-based prediction of sepsis in adult
and neonatal
Marker Age Cutoff range Sensitivity, % Specificity, %
Adults 11.5 ng/L 55 66
TNF
Neonates 12 20 ng/L 67 / 79 / 88 43 / 71 / 86
Adults 50200 ng/L 51 / 67/ 86 53 / 65 / 79
IL-6
Neonates 10160 ng/L 71 / 84 / 100 43 / 71 / 96
Children NA 33 89
IL-1ra
Neonates 10.9 ug/L 93 92
Adults 30340 ng/L 57 / 63 / 68 57 / 76 / 93
IL-8
Neonates 50 ng/L 92 70
Adults 4150 mg/L 35 / 69 / 89 18 / 61 / 81
CRP
Neonates 123 mg/L 43 / 65 / 96 80 / 90 / 100
Adults 0.48.1 ug/L 65 / 81 / 97 48 / 73 / 94
PCT
Neonates 1.06.1 ug/L 77 / 85 / 99 62 / 83 / 91
( Carrigan SD, et al, 2004
Table 6 : Sequential Organ Failure Assessment (SOFA) Score

Score
ORGAN
0 1 2 3 4
Respiration < 200 With < 100 With
> 400 < 400 < 300
PaO2Fi 02 (torr) resp. support resp. support
Coagulation
Platelets > 150 < 150 < 100 < 50 < 20
(103/mm3)
Liver
Bilirubin (mg/dL) < 1.2 1.2 - 1.9 2.0 - 5.9 6.0 - 11.9 > 12.0
(mmol/L) < 20 20 - 32 33 - 101 102 - 204 > 204
Cardiovascular No MAP Dopamine < 5 Dopamine Dopamine >15
Hypotension hypoten < 70 mm Hg or dobutamine > 5 or epi <0.1 or epi >0.1
sion (any dose)* or norepi <0.1* or norepi >0.1*
Central Nervous
Glasgow Coma Score 15 13 - 14 10 - 12 6-9 <6
Renal
Creatinine (mg/dL) < 1.2 1.2 - 1.9 2.0 - 3.4 3.5 - 4.9 > 5.0
(mol/L) 110 110 -170 171 - 299 300 - 440 > 440
or urine output /day or < 500 mL or < 200 mL
( Meisner M, et al, 1999 & FDA clinical review, 2001)
1. epi = epinephrine; norepi = norepinephrine.
2. *Adrenergic agents administered for at least 1 hr (doses given are in m/kg/min).
3. To convert torr to kPa, multiply the value by 0.1333.

PENUTUP
Berbagai penelitian telah dilakukan pada hewan coba atau uji klinik pada manusia untuk melihat
parameter2 laboratorium yang berhubungan dengan sepsis dengan berbagai patogenesisnya. SIRS
yang berlangsung lebih dari 3 hari berpotensi menjadi DIC. Mengingat meningkatnya aktivitas
koagulasi jalur intrinsik dan extrinsik akibat terpacunya TF, akan mengakibatkan PT, APTT dan TT
memanjang yang dikuti penurunan jumlah trombosit dan fibrinogen , hal ini mengisyaratkan test
tersebut sebagai Uji Penapis DIC. Disamping itu untuk melihat peningkatan pembentukan trombin
dan fibrin, peningkatan fibrinolisis dan menurunnya AT III sebagai respons peningkatan kebutuhan,
maka marker sFM, D Dimer, FDP, AT III dapat dipergunakan sebagai uji penentu.
Kesederhanaan dan kemudahan dalam penerapan SOFA score untuk menilai tingkat gagal organ,
kedepan dapat dipergunakan di ICU. Kegagalan organ disebabkan oleh DIC dan perdarahan.
Peningkatan PCT berkorelasi positif dengan meningkatnya SOFA score, dan adanya sifat biologi
PCT yang sangat stabil, sehingga PCT kedepan secara rutin dapat dipergunakan sebagai marker
Sepsis dibandingkan CRP.

KEPUSTAKAAN
Amaral A, Opal SM, Vincent JL. Coagulation in Sepsis. Intensive Care Med. 2004; 30 :1032- 40.
Balcl C, Sungurtekin H, Gurses E, Sungurtekin U, and Kaptanoglu B. Usefulness of procalcitonin for
diagnosis of sepsis in the intensive care unit. Critical Care. 2003; 7 ( 1 ) : 85-90.
Becker KL, Nylen ES, White JC, Muller B, and Snider Jr RH. Procalcitonin and the Calcitonin Gene
Family of Peptides in Inflammation, Infection, and Sepsis : A Journey from Calcitonin Back to its
Precursors. J. Clin Endocrinol Metab. 2004; 89 ( 4 ) : 1512-25.
Bernard GR. et al. Efficacy and Safety of Recombinant Human Activated Protein C for Severe
Sepsis. NEJM. 2001. 344 : 699 709.
Bochud PY, Calandra T. Clinical review Science, medicine, and the future. Pathogenesis of sepsis:
new concepts and implications for future treatment. BMJ. 2003. 326 : 262-66.
Castelli GP, Pognani C, Meisner M, Stuani A, Bellomi D, and Sgarbi L. Procalcitonin and C-reactive
protein during systemic inflammatory response syndrome, sepsis and organ dysfunction. Critical
Care. 2004. 8 : R234-R242.
Dellinger RP. Inflammation and Coagulation: Implications for the Septic Patient. CID. 2003.
36 : 1259 1265.
Hotchkiss RS, and Karl IE.The Pathophysiology and Treatment of Sepsis. NEJM. 2003.
348 : 138 50.
Hugo ten Cate. Trombocytopenia : One of the Markers of Disseminated Intravascular Coagulation.
Pathophysiol Haemost Thromb. 2003/2004; 33: 413-6
Konsensus Nasional Tatalaksana Koagulasi Intravaskuler Diseminata ( DIC ) pada Sepsis.
Perhimpunan Dokter Intensive Care Indonesia, Indonesian Shock Society, Perhimpunan Trombosis
Hemostasis Indonesia, Unit Kerja Pediatri Gawat Darurat-Ikatan Dokter Anak Indonesia dan
Perhimpunan Hemalogi dan Transfusi Darah Indonesia. 2001.
Lehman CM, Wilson LW, MT(ASCP) MS, Rodgers GM. Analytic Validation and Clinical Evaluation of
the STA LIA Test Immunoturbidimetric D-Dimer Assay for the Diagnosis of Disseminated
Intravascular Coagulation. Am J Clin Pathol . 2004. 122(2):217- 21.
Levi M., de Jonge E, and van der Poll T. Sepsis and Disseminated Intravascular Coagulation.
Journal of Thrombosis and Thrombolysis. 2003; 16 (1/2) : 43-47.
Liaw PCY, et al. Patients With Severe Sepsis Vary Markedly In Their Ability To Generate Activated
Protein C. Blood First Edition Paper, prepublished online August 19, 2004; DOI 10.1182/blood-2004-
03-1203.
Mackman N. Role of Tissue Factor in Hemostasis, Thrombosis, and Vascular development.
Arterioscler Thromb Vasc Biol. 2004. 24:1015-22.
Marcel Levi M, Tymen T. Keller TT, van Gorp E, ten Cate H. Infection and inflammation and the
coagulation system. Cardiovascular Research. 2003. 60 : 2639
Meisner M, and Reinhart K. Diagnosis of Sepsis : The Role of Parameters of the Inflammatory
Respons. NVIC Monitor. 2001; 5.5: 41-42.
Okabayashi K, Wada H, Ohta S, Shiku H, Nobori T, and Maruyama K. Hemostatic Markers and the
Sepsis-Related Organ Failure Assessment Score in Patients With Disseminated Intravascular
Coagulation in an Intensive Care Unit. Am J Hematol. 2004. 76 : 225 9.
Okajima K. New therapetic implications of antithrombine III replecement in disseminated
intravascular coagulation and multiple organ failure. Intensive med. 1996. 33 : 5-11.
Salvemini D, and Cuzzocrea S. Oxidative stress in septic shock and Disseminated Intravascular
Coagulation. Free Radical Biology & Medicine. 2002. 33 ( 9 ) : 117385.
Wada H et al. Comparison of Diagnostic Criteria for Disseminated Intravascular Coagulation (DIC) :
Diagnostic Criteria of the International Society of Thrombosis and Hemostasis (ISTH) and of the
Japanese Ministry of Health and Welfare for Overt DIC. Am J Hematol. 2003. 74 : 17-22.

You might also like