You are on page 1of 12

CLEFT LIP AND PALATE

DEFINITION

A cleft lip and palate is an abnormal gap in the upper lip and the roof of the mouth that occurs
when some parts fail to join together during early pregnancy. The lip and palate develop
separately, so it is possible for a baby to be born with only a cleft lip, only a cleft palate, or
combination of both.

Effect :

The following areas can be affected by the cleft lip and/or palate and, in some instances, by
the treatment necessary . They are:
Feeding:
This is dealt with in the following sections. It is easy to understand why there may be
problems with a cleft palate which leaves a large opening between the mouth and nose. Less
easily understood are the problems caused by a cleft lip by itself, but even this can interfere
with efficient sucking in both breast and bottle feeding.
Appearance:
The initial appearance of any cleft, no matter how minor, is a shock to the whole family. This
initial shock and revulsion is not abnormal and at this stage it is helpful to talk to other
parents who can be contacted through the Cleft Lip & Palate Association. The Cleft Team are
also available to answer as many queries as possible.
Shock is replaced by denial, by anger and often grief. These are normal reactions and parents
should concentrate on two main facts, firstly, the joy of a new child and secondly the
treatment available to give that child the best chance for a normal life.
Speech:
Articulation (the ability to make speech sounds) is affected by abnormalities of lip, tongue or
palatal movement; orthodontic treatment may also affect clarity. The cleft palate will cause
air to escape from the mouth in to the nose during speech and will therefore give rise to nasal
escape and hypernasality (a nasal tone). Compensatory efforts can cause abnormal facial
movements (grimacing) and peculiar sounds in the throat. These are all assessed by the
speech and language therapists.

Hearing:
Abnormalities of the muscles in the cleft palate affect the eustachian tube which in turn can
cause poor drainage of the middle ear and hearing problems. This is dealt with in detail in a
later section.
Dentition:
A cleft lip by itself does not affect the teeth but if the gum is notched or the palate cleft this
can cause dental abnormalities. The repair of the palate may unavoidably affect future dental
growth but as techniques change this has become less likely. It is essential that the patient
looks after their teeth and pays regular visits to the family dentist.
Facial Growth:
In a severe cleft the mid part of the face may fail to grow satisfactorily and result in a “dished
in” appearance, or a very prominent lower jaw in relation to the upper jaw. Problems with
bite may result. These will be looked after by the orthodontist and the maxillo-facial surgeon.

Klasifikasi dari American Cleft Association (1962) yaitu :


1. Celah langit-langit primer

- Celah bibir : unilateral, median atau bilateral dengan derajat luas celah 1/3, 2/3
dan 3/3.

- Celah alveolar dengan segala variasinya.

2. Celah langit-langit sekunder

- Celah langit-langit lunak dengan variasinya.

- Celah langit-langit keras dengan variasinya.

3. Celah mandibula
Klasifikasi celah bibir dan celah langit-langit menurut Kernahan dan Stark (1958)
yaitu:
- Group I : Celah langit-langit primer. Dalam grup ini termasuk celah bibir, dan
kombinasi celah bibir dengan celah pada tulang alveolar. Celah terdapat dimuka
foramen insisivum.
- Group II : Celah yang terdapat dibelakang foramen insisivum. Celah langit-langit
lunak dan keras dengan variasinya. Celah langit-langit sekunder.
- Group III : Kombinasi celah langit-langit primer (group I) dengan langit-langit
sekunder (group II).

Gambar 1. (A) Celah bibir unilateral tidak komplit, (B) Celah bibir unilateral (C) Celah bibir
bilateral dengan celah langit-langit dan tulang alveolar, (D) Celah langit-langit. (Stoll et al.
BMC Medical genetics. 2004, 154.)
ALVEOLAR CLEFT

BONE GRAFT PADA CELAH ALVEOLAR

1. PENDAHULUAN

Defek celah alveolar biasanya tidak dikoreksi pada saat tindakan labioplasty atau palatoplasty
( perbaikan primer) sehingga akan menimbulkan adanya fistula orornasal pada daerah
tersebut. Hal ini akan menimbulkan beberapa masalah antara lain : cairan dari rongga mulut
akan lolos ke dalam rongga hidung, sekresi hidung akan mengalir ke rongga mulut, erupsi
gigi kedalam celah, segmen alveolar collepse , dan jika celah lebar akan mempengaruhi suara
(Peterson, 2003).

Masalah lain yang timbul adalah jaringan parut yang terjadi setelah rekonstruksi primer
jaringan lunak berperan mengurangi pertumbuhan maksila ke arah horisontal dan vertikal dan
memperpendek segmen maksila, terutama segmen yang lebih kecil. Pada celah bilateral
kedua segmen lateral memendek dan premaksila goyang. Celah juga menyebabkan dukungan
alar hidung kurang memadai. Terdapat attachment priodontal yang hilang pada regio celah,
terutama sebelah mesial kaninus dan distal insisif sentral. Insisif sentral akan erupsi memutar
dan miring. Insisif lateral umumnya tidak erupsi dan jika ada bentuknya tidak sempurna
(Hall, 1991).

Pada tahun 1961 pertama kali dipublikasikan di Inggis perbaikan sekunder celah alveolar.
Perbaikan sekunder dengan bone graft dikerjakan setelah labioplasty dan palatoplasty.
Perbaikan konvensional dengan bone graft pada alveolar dilakukan antara usia 5 tahun
sampai pubertas atau sebelum erupsi kaninus. Tindakan ini pertama kali dikerjakan
menggunakan tulang iliaka autogenus (Hall,1991).

Sejarah penutupan celah pada palatum dengan bone graft melalui beberapa fase yang
meliputi modifikasi perawatan, beberapa type sistem graft, dan variasi waktu prosedur
pembedahan (Boyne, 1991).
2. KEUNTUNGAN BONE GRAFT PADA CELAH ALVEOLAR (McCarthy, 1990;
Peterson,2003):

Bone graft pada celah alveolar mempunyai beberapa keuntungan anatara lain :

1. Bone graft menyatu dengan segmen alveolar dan membantu mencegah collapse atau
kontriksi lengkung gigi , yang terutama sangat penting jika maksila telah diekspansi
secara ortodonti.
2. Bone graf pada celah alveolar menyediakan dukungan tulang untuk gigi disekitarnya
pada celah dan untuk gigi yang akan erupsi pada celah. Seringkali dukungan tulang
pada sisi distal insisif sentral adalah tipis, dan tinggi dukungan tulang bervariasi. Gigi-
gigi ini tampak agak goyang karena kurang dukungan tulang. Peningkatan jumlah
tulang alveolar untuk gigi ini akan membantu menjamin pemeliharaan periodontalnya.
Kaninus cenderung erupsi ke arah celah dan dengan penempatan tulang yang sehat ke
dalam celah, akan mempertahankan dukungan periodontal yang sehat selama erupsi
dan setelahnya.

3. Penutupan fistula orornasal, yang akan memisahkan rongga mulut dan nasal, dan
mencegah lewatnya cairan diantaranya.

4. Augmentasi tulang alveolar pada daerah celah yang akan memfasilitasi pemakaian
dental protesa dengan membuat dasar dukungan yang lebih pantas.

5. Membuat pondasi yang lebih padat untuk bibir dan dasar alar hidung.

3. TUJUAN BONE GRAFT PADA CELAH ALVEOLAR (Hall, 1991)

Tujuan perbaikan sekunder celah adalah :

1. Menutup oronasal dan palatal fistula


2. Stabilisasi pelebaran lengkung dan pada kasus celah bilateral premaksila

3. Dukungan tulang untuk erupsi kaninus

4. Memperbaiki tulang dan status periodontal insisif sentral dan lateral


5. Mendukung alar hidung

6. Beberapa keadaan prosesus alveolaris , gigi, dan gingiva maksila anterior normal.

4. WAKTU OPERASI

Bone graft pada usia dini dilakukan tanpa memperhitungkan gangguan pertumbuhan.
Meskipun derajat susunan akar kaninus (sepertiga sampai dua pertiga) umumnya merupakan
kriteria waktu operasi, namun aspek yang paling penting adalah apakah gigi kaninus telah
erupsi.atau belum.. Jika bone graft dilakukan sebelum erupsi, maka hasil yang lebih baik
akan diperoleh.

Gigi erupsi mendorong pertumbuhan alveolar dan bone graft serta menghasilkan gambaran
kaninus yang lebih normal daripada graft ditempatkan setelah erupsi. Demikian juga
dukungan periodontal lebih baik, dan attech gingiva lebih besar, ketika kaninus dapat erupsi
melalui graft. Jika operasi bone graft ditunda sampai akar kaninus telah berkembang satu
setengah atau dua pertiga, gigi insisif sentral dan lateral akan segera nampak erupsi.

Bone graft yang dilakukan pada usia 5-6 tahun dimulai oleh Boyne dan Sand. Operasi pada
usia ini memberikan dukungan lebih baik untuk erupsi insisif sentral. Karena pertumbuhan
maksila di daerah celah adalah mendekati lengkap pada usia 5-6 tahun kecuali untuk
pertumbuhan alveolar, dan tidak mempengaruhi pertumbuhan. Catatan terakhir menyatakan
bahwa bone graft diawali usia 8 tahun tidak cukup mempengaruhi pertumbuhan maksila.
Menurut penelitian bahwa operasi pada usia 6 tahun lebih baik daripada usia 8-10 tahun
(Hall, 1991).

Namun demikian Graf pada celah alveolar biasanya dikerjakan ketika pasien berusai 7-10
tahun. Pada saat ini bagian mayor pertumbuhan maksila telah terjadi, dan pembedahan celah
alveolar tidak akan mempengaruhi pertumbuhan maksila. Idealnya prosedur graf dikerjakan
ketika satu setengah sampai dua pertiga akar gigi kaninus yang akan erupsi telah terbentuk
(McCarthy,1990).
5. EVALUASI PREOPERASI (Hall, 1990)

Data-data pasien dikumpulkan sebelum tindakan operasi. Meskipun banyak tanda-tanda yang
harus diperiksa, namun terdapat tiga hal yang sangat penting yaitu :

1. menyempitnya lengkung
2. fistula palatal dan labial

3. jumlah dan letak gigi pada celah

Penyempitan lengkung menyebabkan suatu crossbite dari segmen yang kurang dan bagian
anterior dari segmen yang paling besar. Meskipun segmen yang telah menyempit dapat
diekspansi setelah graft, tetapi disarankan terlebih dahulu perawatan ortodonti untuk ekspansi
sebelum operasi. Tindakan ekspansi akan meningkatkan ukuran fistula yang ada, tetapi tidak
akan memisahkan jaringan lunak yang utuh. Segmen yang telah diekspansi memudahkan
akses ke dasar hidung untuk penjahitan mukosa nasal.

Fistula labial dan palatal hampir tidak pernah menimbulkan masalah untuk penutupan. Ketika
terdapat fistula labial atau palatal, maka kaninus sulung dicabut terlebih dahulu 6-8 minggu
sebelum operasi. Hal ini dilakukan agar cukup tersedia mukosa yang berdekatan pada celah
dan memfasilitasi penutupan. Fistula yang lebar kadang-kadang memerlukan flap dari lidah.
Dengan perencanaan yang hati-hati, fistula yang paling besar dapat ditutup tanpa memerlukan
flap lidah atau jaringan yang lebih jauh lainnya.

Evaluasi radiografi pada tempat celah dapat memperlihatkan apakah gigi insisif lateral ada
dan apakah terdapat gigi supernumerer. Jika gigi supernumerer nampak pada mulut, maka
tidak diekstraksi terlebih dahulu sampai celah dibuka pada saat operasi.

6. PERAWATAN ORTODONTI PREOPERASI (Hall,1990; McCarty, 1990)

Tujuan utama perawatan ortodonti pada bone graft untuk penutupan celah adalah
mengekspansi segmen yang lebih menyempit dan memperbaiki crossbite pada segmen yang
lebih besar. Ekspansi pada segmen yang telah menyempit dilakukan dengan ortopedik
alamiah. Segmen yang kurang seharusnya dirotasi sekitar titik perlekatan dataran pterigoid.
Gigi molar diekspansi berlebihan jika gigi kaninus terletak pada posisi yang tepat. Mungkin
digunakan alat ortodonti konvensional atau alat ekspansi palatal.

7. ASAL BONE GRAFT

Laporan yang paling banyak dari bone graft primer pada celah alveolar adalah penggunaan
tulang rusuk autogenus ,yang mempunyai rasio tinggi antara tulang kortek dan cancellus.
Beberapa peneliti kemudian memperlihatkan ketidakpuasan dengan graft tulang rusuk,
barangkali karena alasan ini. Johanson (1974) menggunakan tulang tibia karena banyak
tersedia tulang cancelus. Sedangkan pada pasien yang lebih tua, tulang iliaka paling sering
digunakan jika banyak terdapat tulang cancelus Pada tahun 1970 Shehadi telah menjelaskan
penggunaan tulang calvaria. Tulang ini merupakan sumber donor bone graft yang sangat baik
untul celah alveolar (McCarthy, 1990).

Bone graft standar adalah autogenuous cellous marrow ilium. Tulang ini selnya lebih
besar, sehinga resisten terhadap infeksi dan cepat terjadi penyembuhan. Albrektsson telah
memperlihatkan graft seperti ini pada kelinci dan telah terdapat pembuluh darah pada hari ke-
5 dan telah tervaskularisasi secara penuh pada hari ke-20. Graft pada manusia secara klinik
dan radiografi tidak berbeda dari tulang alveolar setelah 3 bulan operasi dan fungsinya seperti
tulang alveolar.

Pada tahun terakhir ini, kranium dan simpisis mandibula telah diyakini sebagai tempat donor
yang paling baik dari pada ilium karena asalnya membranous. Tulang membranous
memperlihatkan revaskularisasi lebih cepat dan kurang diresorbsi dari pada tulang
endochondral. Juga mempunyai beberapa keuntungan lainnya. Pada orang dewasa
komplikasinya lebih besar dari pada anak-anak, tulang membaranous memberi hasil yang
lebih baik. Kerugian tulang mandibula dan kranial adalah masing-masing harus dipotong
secara berurutan dengan persiapan tempat celah. Pada kasus ilium, prosedur dapat dilakukan
secara simultan, yang dapat mengurangi waktu operasi. Tulang rusuk lebih disukai untuk
bone graft primer tetapi seperti fibula jarang digunakan untuk perbaikan sekunder (Hall,
1990, Bets, 1991).
8. TEKNIK OPERASI

Kunci utama dari operasi adalah (Hall, 1990) :

1. Penutupan defek jaringan lunak dengan menggeser flap, yang menyediakan gusi lekat
pada margin inferior
2. Visualisasi penempatan insisi yang tepat untuk memastikan jaringan cukup memadai
pada penutupan mukosa nasal, palatal dan jaringan labial.

3. Memasukkan partikel kecil concellous marrow ilium secara padat yang dimulai pada
dasar hidung.

4. Penutupan luka secara teliti dan bebas tegangan.

8.1 Celah Unilateral (Hall,1990, Turvey , 1996)

Epineprin 1 : 100.000 diinjeksikan pada jaringan labial dan palatal untuk mengurangi
perdarahan. Kawat atau alat ekspansi palatal dilepas terlebih dahulu. Kemudian dilakukan
insisi sesuai pola. Flap labial ini diperluas sampai mukosa nasal dengan disseksi tumpul otot
orbikularis oris (gambar 1). Diseksi diperluas ke arah superior pada dasar hidung. Mukosa
nasal dibuka dari celah tulang dan diperluas ke palatal. Setiap gigi supernumerer pada celah
diekstraksi. Flap subpereiostal bagian palatal sisi celah dibuka mulai dari tepi ginggiva. Flap
mukosa dibuka secara lengkap melalui celah alveolar. Mukosa nasal yang melewati celah dan
berikatan pada palatal dipisahkan dari mukosa palatal. Jika fistula palatal meluas ke posterior,
maka pemisahan dan flap dibuat ke posterior yang merupakan akhir fistula. Mukosa nasal
kemudian dijahit dengan jahitan kromik 4-0.
Gambar 1 : Prosedur Bone Graft pada celah alveolar unilateral (Turvey, 1996)

Tepian fistula dirapihkan kemudian dijahit dengan kromik 3-0.Pelepasan insisi melalui
periosteum flap bukal posterior, mendukung kearah inferior dan anterior. Bone graft
dimasukkan dan disusun dari lapisan dasar hidung ke puncak alveolar. Flap labial dan palatal
kemudian dijahit. Alat-alat ekspansi palatal dan kawat ditempatkan kembali pada akhir
prosedur.
8.2 Celah Bilateral (Hall,1990, Turvey, 1996)

Perbaikan celah bilateral prinsipnya sama dengan celah unilateral tetapi ditambah beberapa
variasi (Gambar 2). Insisi mukosa pada celah terlihat lebih baik, dengan penekanan manual
dari pergerakan premaksila untuk membuka permukaan celah. Flap mukosa palatal
premaksila dikerjakan lebih hati-hati, karena suplai darahnya tergantung pada perlekatannya
pada tulang premaksila . Mukosa nasal ditutup sebagaimana kasus unilateral. Flap palatal
lateral dilepaskan secara bebas sebagaimana celah unilateral. Fistula palatal pada midline
pertama kali ditutup, selanjutnya flap palatal segmen lateral dan premaksila. Premaksila
biasanya memerlukan suatu kawat ortodontik atau yang sejenis untuk imobilisasi.

Gambar 2 : Teknik Bone graft pada celah alveolar bilateral ( Turvey ,1996)
Pascaoperasi dilakukan perawatan pada pasien secara baik yang meliputi pemberian
antibiotik dan analgetik, sedangkan diet untuk 24 jam pertama berupa cairan diikuti makanan
lunak.

9. PERAWATAN ORTODONTI PASCAOPERASI

Jika lengkung rahang diekspansi sebelum operasi maka alat ortodonti digunakan untuk
mempertahankan selama 3-4 bulan sampai graf menyatu. Alat ortodonti kemudian dilepas
dan mungkin terjadi collapse segmen yang minimal. Perawatan ortodonti konvensional
dilakukan untuk memperbaiki posisi insisif sentral yang dikerjakan setelah operasi ketika gigi
sekunder telah erupsi.

Jika ekspansi ortodonti dikerjakan setelah operasi, maka dimulai 1-2 bulan setelah operasi.
Hal ini paling mudah dilakukan jika penyembuhan tulang telah lengkap pada sekitar tiga
bulan (Hall,1991).

10. KOMPLIKASI

Komplikasi yang paling sering adalah kehilangan bone graft , selalu dengan rekurensi fistula
oronasal. Komplikasi ini terjadi sekitar 1% pada anak prepubertas dan 8% pada anak yang
telah matang organ seksnya. Komplikasi minor meliputi dehisensi luka superfisial yang kecil
pada puncak alveolar dan kegagalan kaninus untuk erupsi melalui graf tanpa pembukaan
dengan pembedahan. Komplikasi ini terjadi sekitar 50%. (Hall,1991).

Penutupan celah alveolar bilateral mempunyai rata-rata komplikasi yang lebih tinggi,
hal ini mungkin terjadi karena kesulitan dalam memperoleh flap yang memadai pada
permukaan posterior premaksila. Jika penutupan jaringan lunak berhasil, seringkali bone graft
juga betrhasil. Terbukanya bone graft yang kecil dapat dikelola secara konservatif dengan diet
lunak dan pemberian antibiotik. Penyembuhan daerah kecil tulang yang terbuka biasanya
tetap berlangsung jika hanya sedikit kehilangan material graft (McCarty, 1991).

You might also like