You are on page 1of 13

1

BAB 1

PENDAHULUAN

Penyakit autoimun adalah segolongan penyakit yang disebabkan karena


kelainan pada sistem imun sehingga tubuh akan menyerang organ, jaringan, atau
sel sendiri (self antigen).(1) Sampai saat ini diketahui lebih dari 100 penyakit
termasuk ke dalam golongan ini. Sampai saat ini belum ada pengobatan yang
memuaskan sehingga pasien yang menderita penyakit ini membutuhkan
pengobatan seumur hidup. Pemfigoid bulosa (PB) adalah penyakit autoimun
kronik ditandai dengan adanya bula subepidermal yang berukuran besar dan
berdinding tegang. Pada pemeriksaan imunopatologik ditemukan C3 (Komplemen
ke-3) pada epidermal basement membrane zone.(2) Pemfigoid bulosa paling sering
terjadi pada usia tua terutama diatas 60 tahun dengan puncak kejadian di atas usia
80 tahun. Angka kejadian PB di Perancis dan Jerman sekitar tujuh kasus per juta
orang setiap tahun, dan di Skotlandia terdapat kurang lebih empat belas kasus
perjuta orang setiap tahun. Data rekam medik Departemen Ilmu Kesehatan Kulit
dan Kelamin (IKKK) RSUP Dr. Hoesin Palembang menunjukkan sebanyak tiga
kasus PB yang dirawat inap pada tahun 2011.(1)

Penyebab penyakit ini adalah autoimun, tetapi penyebab yang menginduksi


produksi autoantibodi pada pemfigoid bulosa masih belum diketahui. Pemfigoid
bulosa merupakan penyakit autoimun yang ditandai oleh bula subepidermal
dengan autoantibodi yang menyerang langsung komponen basement membrane
zone (BMZ).(1)
2

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Anatomi dan Fisiologi Kulit

Gambar 2.1 Anatomi Kulit(3)

1. Epidermis

Epidermis terdiri dari banyak lapisan sel epitel. Rata-rata epidermis mengganti
dirinya sendiri setiap dua setengah bulan. Lapisan epidermis bagian dalam terdiri
dari sel-sel berbentuk kubus yang cepat membelah, sementara sel-sel di lapisan
luar mati dan gepeng. Epidermis tidak memiliki aliran darah langsung. Sel-selnya
mendapat makanan hanya melalui difusi dari jaringan vaskular dermis di
bawahnya. Sel-sel yang baru terbentuk di lapisan dalam dan terus mendorong sel-
sel tua mendekati permukaan, semakin jauh dari pasokan nutriennya.(3) Lapisan-
lapisan luar secara terus-menerus mendapat tekanan serta mengalami “wear and
tear”, menyebabkan sel-sel tua ini mati dan menggepeng. Sel-sel epidermis
disatukan oleh desmosom, yang berhubungan dengan filamen keratin intrasel
3

yang membentuk lapisan penutup kohesif yang kuat. Sewaktu sel penghasil
keratin ini mengalami pematangan, filamen-filamen keratin secara progresif
menumpuk dan membentuk ikatan-ikatan silang satu sama lain. Sewaktu sel
lapisan luar mati, protein keratin fibrosa ini tertinggal dan membentuk skuama
gepeng keras yang membentuk lapisan tanduk (berkeratin) protektif yang kuat.(3)

a. Stratum Basalis
Keratinosit stratum basalis berbentuk toraks, berjajar di atas lapisan struktural
yang disebut basal membrane zone (BMZ). Keratinosit basal berdiri kokoh di atas
BM karena protein struktural yang “memaku” membran sitoplasma keratinosit
pada BMZ yang disebut hemidesmosom. Hemidesmosom yang penting
diantaranya adalah BPAg dan integrin. Gangguan pada struktur hemodesmosom
akan menyebabkan kulit tidak dapat menahan trauma mekanik. Terdapat tiga
subpopulasi keratinosit di stratum basalis, yaitu: sel punca (stem cell), transient
amplifying cells dan sel pascamitosis (post-mitotic cells).(2)
b. Stratum Spinosum
Keratinosit stratum spinosum memiliki bentuk poligonal, berukuran lebih besar
daripada keratinosit stratum basal. Pada pemeriksaan mikroskopis terlihat struktur
mirip taji (spina) pada permukaan keratinosit yang sebenarnya merupakan
penyambung antar keratinosit yang disebut desmosom. Desmosom terdiri dari
berbagai protein struktural, misalnya desmoglein dan desmokolin. Struktur ni
memberi kekuatan pada epidermis untuk menahan trauma fisis di permukaan
kulit. Pada stratum spinosum dan granulosum terdapat sel langerhans (SL) , sel
dendritik yang merupakan sel penyaji antigen. Antigen yang menerobos sawar
kuit akan difagosit dan diproses oleh SL, untuk kemudian dibawa dan disajikan
kepada imfosit untuk dikenali.(2)
c. Stratum Granulosum
Keratinosit stratum granulosum mengandung keratohyaline granules (KG).
Keratinosit di stratum granulosum memulai program kematiannya sendiri
(apoptosis), sehingga kehilangan inti dan organel sel penunjang hidupnya. Waktu
4

yang diperlukan bagi keratinosit basal untuk mencapai stratum korneum kira-kira
14 hari.(2)
d. Stratum Korneum
Korneosit berperan dalam memberi penguatan terhadap trauma mekanis,
produksi sitokin yang memulai proses peradangan serta perlindungan terhadap
sinar ultraviolet. Waktu yang diperlukan bagi korneosit untuk melepaskan diri
dari epidermis kira-kira 14 hari.(2)

2. Dermis

Dermis merupakan jaringan dibawah epidermis yang memberi fungsi


termoregulasi, perlindungan imunologik, dan ekskresi. Fungsi-fungsi tersebut
mampu dilaksanakan dengan baik karena berbagai elemen yang berada pada
dermis, yakni struktur fibrosa dan filamentosa, ground substance, dan selular
yang terdiri atas endotel, fibroblas, sel radang, kelenjar folikel rambut dan saraf.
Serabut kolagen bersama-sama dengan serabut elastik memberikan kekuatan dan
elastisitasnya. Fibroblas, makrofag dan sel mast ditemukan pada dermis. Fibroblas
adalah sel yang memproduksi protein matriks jaringan ikat dan serabut kolagen
serta elastik didermis. Makrofag merupakan salah satu elemen pertahanan
imunologik pada kulit yang mampu bertindak sebagai fagosit, sel penyaji antigen
maupun mikrobisidal dan tumorisidal.(2)

3. Subkutan

Kulit melekat ke jaringan dibawahnya (otot atau tulang), melalui hipodermis


yang juga dikenal sebagai jaringan subkutis (sub artinya dibawah; kutis artinya
kulit). Sebagian besar sel lemak terdapat di dalam hipodermis. Endapan lemak di
seluruh tubuh untuk secara kolektif disebut sebagai jaringan adiposa.(3)

2.2 Definisi Pemfigoid Bullosa

Pemfigoid bulosa (PB) adalah penyakit autoimun kronik yang ditandai oleh
adanya bula subepidermal yang besar dan berdinding tegang(4), dengan
5

autoantibodi yang menyerang komponen basement membrane zone (BMZ). Dua


autoantigen tersebut adalah BP230 (BPAg1) dan BP180 (BPAg2).(5)

2.3 Epidemiologi

Pemfigoid bulosa ini menyerang pada semua umur, terutama pada orang tua.
Frekuensi yang sama pada pria dan wanita. Semua ras bisa terkena penyakit ini.(6)
Insidens di Eropa Barat mencapai 43 juta orang per tahun.(5)

2.4 Etiologi

Autoimun, tetapi penyebab yang menginduksi produksi autoantibodi pada


pemfigoid bulosa masih belum diketahui. Faktor yang dapat memicu penyakit ini
yaitu trauma, suhu panas, luka bakar, radioterapi dan radiasi sinar ultraviolet.
Sebagian kecil kasus dapat dipicu oleh obat seperti furosemid, sulfasalazine,
penisilamin, dan kaptopril dan obat antipsikotik.(4)

2.5 Patogenesis

Pemfigoid bulosa merupakan penyakit autoimun yang ditandai oleh bula


subepidermal dengan autoantibodi yang menyerang langsung komponen basement
membrane zone (BMZ). Antigen PB merupakan protein komponen
hemidesmosom yang berfungsi melekatkan sel basal dengan membran basal.
Antigen BPAG1(Bullous Pemphigoid Antigen 1) merupakan antigen intraseluler
dan terletak di plak hemidesmosom, sedangkan antigen BPAG2 (Bullous
Pemphigoid Antigen 2) merupakan molekul transembran. Autoantibodi PB berupa
igG terutama IgG1 dan IgG4, jarang berupa IgA, IgM atau IgE.(1)

Pada tahap awal pembentukan bula autoantibodi berikatan dengan antigen PB.
Sel T autoreaktif memiliki respon terhadap antigen PB. Sitokin T-helper1 (Th1)
yaitu interferon-ᵞ yang mampu menginduksi sekresi imunoglobulin (IgG1) dan
IgG2, sedangkan sitokin T-helper2 (Th2) misalnya IL4, IL5 dan IL13 berperan
mengatur sekresi IgG4 dan IgE. Ikatan autoantibodi IgG di BMZ mengaktivasi
komplemen jalur klasik. Aktivasi komplemen menyebabkan kemotaksis leukosit
dan degranulasi sel mast. Produk sel mast menyebabkan kemotaksis eosinofil
6

melalui mediator yaitu eosinophil chemotactic factor of anaphylaxis. Leukosit dan


protease sel mast menyebabkan pemisahan dermis-epidermis. Eosinofil dan sel
inflamasi yang terdapat pada membran basal lesi PB menghasilkan gelatinase
yang berperan dalam pembentukan bula.(1)

Gambar 2.2 Patofisiologis pembentukan bula PB(1)

2.6 Gambaran Klinis

Gambaran klinis dari pemfigoid bulosa adalah:(6)

● Bula dapat bercampur dengan vesikel berdinding tegang dan sering disertai
eritema.

● Tempat predileksi: aksila, lengan bagian fleksor, lipat paha dan mulut.

● Efloresensi/sifat-sifatnya berupa: bula numular sampai plakat berisi cairan


jernih dengan dinding tegang, terkadang hemoragik. Jika bula pecah
terdapat erosif numular hingga plakat, bentuk tak teratur.

● Keadaan umum baik, sakit ringan, sering disertai rasa gatal


7

Gambar 2.3 Bula pada Pemfigoid Bulosa(7)

2.7 Cara Penegakan Diagnosis

a. Anamnesis: memiliki riwayat: trauma, suhu panas, luka bakar, radioterapi dan
radiasi sinar ultraviolet. Sebagian kecil kasus dapat dipicu oleh obat seperti
furosemid, sulfasalazine, penisilamin, dan kaptopril.(4) Intake obat (1-6 bulan
terakhir) yang memiliki potensial untuk memicu seperti diuretik dan obat
psikoleptik (Fenotiazin).(8)

b. Pemeriksaan Fisik: pruritus bula yang berat, bula biasanya timbul dari kulit
yang mengalami inflamasi dan eritem; distribusi sistemik (aksila, lengan bagian
fleksor, paha dan abdomen).(8)

c. Laboratorium: Histopatologis dan imunofloresens.

Pemeriksaan histopatologis pada bula kecil yang baru menunjukkan bula


subepidermal dengan infiltrat dermis superfisial terdiri dari eosinofil, limfosit, dan
histiosit tanpa disertai nekrosis epidermis. Pemeriksaan histopatologis pada bula
dengan dasar eritem menunjukkan lebih banyak infiltrat terutama eosinofil dan
neutrofil dalam rongga bula pada lesi urtikaria menunjukkan infiltrat dermis
superfisial terdiri dari limfosit, histiosit, dan eosinofil serta edema papila dermis.
8

Pada lesi urtikaria didapatkan degranulasi eosinofil di BMZ dengan pemisahan sel
basal dari membran basal atau spongiosis eosinofil.(1)

Pemeriksaan imunofluoresensi langsung dari biopsi tepi lesi menunjukkan


deposit IgG, kadang imunoglobulin lain, atau C3 di BMZ. Pemeriksaan
imunofluoresensi tidak langsung dari serum, cairan lepuh, atau urin menunjukkan
IgG sirkulasi.(1)

2.8 Diagnosis Banding

Penyakit ini dibedakan dengan pemfigus vulgaris dan dermatitis herpetiformis.


Pada pemfigus keadaan umum buruk, dinding bula kendur, letak bula
intraepidermal dan terdapat IgG di stratum spinosum. Pada dermatitis
herpetiformis ruam yang utama ialah vesikel berkelompok, sangat gatal, dan IgA
tersusun granular.(2)

2.9 Penatalaksanaan

a. Terapi dengan Kortikosteroid

Terapi PB bertujuan menyembuhkan lesi kulit dan mukosa dengan cepat dan
menekan rasa gatal sehingga dapat meningkatkan kualitas hidup pasien.(1).
Kortikosteroid topikal kelas super poten efektif dalam pengobatan PB. Hasil
penelitian menunjukkan bahwa krim klobetasol propionat 0,05% yang
diaplikasikan dua kali sehari pada lesi PB, lebih efektif dari pada pemberian
prednison oral 1mg//kg/hari sekali sehari.(9) Efek samping kortikosteroid topikal
antara lain atrofi kulit, striae, telangiektasis, purpura, hirsutisme dan
hipopigmentasi.(1) Penyakit yang lebih luas biasanya diobati dengan prednison
oral, Dosis prednison 0,5-1 mg/kgBB/hari efektif untuk mengurangi gejala klinis
dalam tiga minggu. Dosis diturunkan dalam periode 6-9 bulan. Efek samping
kortikosteroid sistemik meliputi diabetes mellitus, hipertensi, obesitas, ulkus
peptikum, dan osteoporosis.
9

b. Terapi Ajuvan

Terapi ajuvan pada PB bertujuan untuk meningkatkan keefektivitasan terapi.


Dengan terapi ini, dosis kortikosteroid tidak terlalu tinggi sehingga efek samping
lebih sedikit. Terapi ajuvan meliputi bahan imunosupresif (misalnya azatioprin,
mikofenolat mofetil, metotreksat, siklosfamid, siklosporin, klorambusil dan
takrolimus). Obat antiinflamasi misalnya dapson, tetrasiklin, doksisiklin,
minosiklin, eritromisin dan nikotinamid. Pilihan terapi PB berdasarkan derajat
rekomendasi dan kualitas evidence dapat dilihat pada tabel.(1)
10

Gambar 2.4 Algoritme Terapi PB

2.10 Komplikasi

Pemfigoid bulosa dapat menyebabkan komplikasi langsung yang berhubungan


dengan penyakitnya sendiri atau dari pengobatan yang diberikan.(8) Infeksi yang
terjadi berupa infeksi sistemik atau lokal pada kulit.

2.11 Prognosis

Pemfigoid Bulosa merupakan penyakit yang dapat sembuh sendiri dan dapat
terjadi remisi dalam beberapa bulai sampai tahun.(10) Kematian pada tahun
pertama mencapai 11-40% penyakit ini dihubungkan dengan usia tua, kondisi
umum yang buruk, dan penggunaan oral kortikosteroid dosis tinggi.(7)
11

BAB 3

PENUTUP

Pemfigoid bulosa (PB) adalah penyakit autoimun kronik, ditandai adanya bula
subepidermal yang besar dan berdinding tegang. Pemfigoid bulosa ini menyerang
pada semua umur, terutama pada orang tua. Frekuensi yang sama pada pria dan
wanita. Semua ras bisa terkena penyakit ini. Penyebab penyakit ini adalah
autoimun, tetapi penyebab yang menginduksi produksi autoantibodi pada
pemfigoid bulosa masih belum diketahui. Pemfigoid bulosa merupakan penyakit
autoimun yang ditandai oleh bula subepidermal dengan autoantibodi yang
menyerang langsung komponen basement membrane zone (BMZ). Antigen PB
merupakan protein komponen hemidesmosom yang berfungsi melekatkan sel
basal dengan membran basal. Ikatan autoantibodi IgG di BMZ mengaktivasi
komplemen jalur klasik. Aktivasi komplemen menyebabkan kemotaksis leukosit
dan degranulasi sel mast. Produk sel mast menyebabkan kemotaksis eosinofil
melalui mediator yaitu eosinophil chemotactic factor of anaphylaxis. Leukosit dan
protease sel mast menyebabkan pemisahan dermis-epidermis. Eosinofil dan sel
berperan dalam pembentukan bula.

Cara menegakan diagnosis yaitu melalui anamnesis: intake obat (1-6 bulan
terakhir) yang memiliki potensial untuk memicu seperti diuretik dan obat
psikoleptik (Fenotiazin), pemeriksaan fisik: pruritus bula yang berat, bula
biasanya timbul dari kulit yang mengalami inflamasi dan eritem; distribusi
sistemik (aksila, lengan bagian fleksor, paha dan abdomen) dan Laboratorium:
Histopatologis dan imunofloresens. Diagnosis banding penyakit ini yaitu
pemfigus vulgaris dan dermatitis herpetiformis. Untuk pengobatan digunakan
terapi kortikosteroid dan terapi ajuvan. Pemfigoid Bulosa merupakan penyakit
yang dapat sembuh sendiri dan dapat terjadi remisi dalam beberapa bulai sampai
tahun.
12

DAFTAR PUSTAKA

1. Perhimpunan Dokter Spesialis Kulit dan Kelamin Indonesia (PERDOSKI).


Media Dermato-Venereologica Indonesia. 2012;39(2).

2. Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Ilmu Penyakit Kulit dan


Kelamin. 7th ed. Jakarta: Badan Penerbit FKUI; 2015.

3. Sherwood L. Fisiologi Manusia Dari Sel ke Sistem. 6th ed. Jakarta:


Penerbit Buku Kedokteran EGC; 2012.

4. Nurhidayati Z, Hamzah MS. Diagnosis dan Tatalaksana Pemfigoid Bulosa:


Tinjauan Kasus pada Pasien Geriatri. Majority. 2017;6:81–5.

5. Venning VA, Taghipour K, Mustapa MFM, Highet AS, Kirtschig G,


Venning V. British Association of Dermatologists Guidelines for the
Management of Bullous Pemphigoid. 2012;(June):1200–14.

6. Siregar RS. Atlas Berwarna Saripati Penyakit Kulit. 2nd ed. Jakarta:
Penerbit Buku Kedokteran EGC; 2005.

7. Kasperkiewicz M, Zillikens D, Schmidt E. Pemphigoid Diseases:


Pathogenesis, Diagnosis, and Treatment. Inf Heal Care.
2012;45(February):55–70.

8. Feliciani C, Joly P, Jonkman MF, Zambruno G, Zillikens D, Ioannides D,


et al. Management of Bullous Pemphigoid : The European Dermatology
Forum Consensus in Collaboration with the European Academy of
Dermatology and Venereology. 2015;867–77.

9. R J. Fitzpatrock’s Dermatoogy in General Medicine. 7th ed. Wolff, Austen,


Goldsmith KS, editor. New York: McGraw-Hill;

10. Mutasim DF. Therapy of Autoimmune Bullous Diseases. 2014;3(Dg


Iii):29–40.
13

You might also like