You are on page 1of 22

1.

Memahami dan menjelaskan perdarahan antepartum


1.1 Definisi
Perdarahan antepartum menurut WHO adalah perdarahan pervaginam setelah 29
minggu kehamilan atau lebih. Perdarahan yang terjadi umumnya lebih berbahaya dibandingkan
perdarahan pada umur kehamilan kurang dari 28 minggu karena biasanya disebabkan faktor
plasenta, perdarahan dan plasenta biasanya hebat dan mengganggu sirkulasi O2, CO2 dan
nutrisi dari ibu ke janin.
Perdarahan antepartum sering terjadi pada kehamilan usia muda. “Bloody show” adalah
konsekuensi dari awal terbentuknya segmen bawah rahim dan dilatasi serviks yang
menyebabkan robeknya pembuluh darah kecil. Perdarahan dalam uterus sering berasal dari sisi
atas serviks. Misalnya pada plasenta previa yang disebabkan abnormalitas lokasi implantasi
plasenta, solusio plasenta yang disebabkan terlepasnya plasenta dari tempat implantasinya
yang normal dalam rahim sebelum waktunya ataupun vasa previa.
Perdarahan antepartum biasanya dibatasi pada perdarahan jalan lahir setelah kehamilan
22 minggu, walaupun patologi yang sama dapat pula terjadi pada kehamilan sebelum 22
minggu. Perdarahan setelah kehamilan 22 minggu biasanya lebih banyak dan lebih berbahaya
daripada sebelum kehamilan 22 minggu, oleh karena itu perlu diberikan penanganan yang
berbeda.
Perdarahan antepartum yang berbahaya umumnya bersumber pada kelainan plasenta,
sedangkan perdarahan yang tidak bersumber pada kelainan plasenta umpamanya kelainan
serviks biasanya tidak seberapa berbahaya. Pada setiap perdarahan antepartum pertama-tama
harus selalu dipikirkan bahwa hal itu bersumber pada kelainan plasenta.
Perdarahan antepartum dapat berasal dari :
A. Kelainan Plasenta
1. Plasenta previa
Plasenta previa adalah keadaan dimana plasenta berimplantasi pada tempat abnormal,
yaitu segmen bawah rahim sehingga menutupi sebagian atau seluruh pembukaan jalan
lahir. Pada keadaan normal plasenta terletak dibagian atas uterus.

1
Gambar 1. Kelainan Plasenta

2. Solusio plasenta
Solusio plasenta adalah terlepasnya plasenta yang letaknya normal di korpus uteri yang
terjadi setelah kehamilan 20 minggu dan sebelum janin dilahirkan. Yang dapat
termanifestasikan dalam perdarahan pervagina, peningkatan kontraksi uterus dan distres
pada fetus yang dapat berakibat pada kematian ibu dan janin.

Gambar 2. Solusio Plasenta

3. Perdarahan antepartum yang belum jelas sumbernya, mungkin disebabkan : ruptura sinus
marginalis, atau vasa previa.
Vasa previa adalah keadaan dimana pembuluh darah umbilikalis janin berinsersi dengan
vilamentosa yakni pada selaput ketuban.

B. Bukan dari kelaianan plasenta


Misalnya didapatkan kelainan serviks dan vagina, dapat diketahui bila dilakukan
pemeriksaan dengan spekulum yang seksama.
Kelainan yang tampak ialah :
1. Erosio portionis uteri
2. Carcinoma portionis uteri
3. Polypus cervicis uteri, varices vulvae, dan trauma.

Disini penulis hanya akan membahas perdarahan antepartum yang bersumber dari kelainan
plasenta yaitu tentang plasenta previa dan solusio plasenta dan pemeriksaan penunjang
ultrasonography untuk mendukung diagnosa. Perlu diketahui kematian perinatal terbesar
karena perdarahan antepartum adalah solusio plasenta (70%) dan plasenta previa (26,3%).

2
Gambar 3. Kelainan Letak Plasenta

Keterangan : A. Plasenta Normal : tampak plasenta tidak melekat pada dinding


endometrium
B. Plasenta Previa : tampak plasenta letak di bagian bawah dari
endometrium
C. Plasenta Akreta : tampak dinding endometrium menempel dengan
plasenta
D. Solusio Plasenta : tampak gambar darah berada diantara dinding
endometrium dengan plasenta
1.2 Klasifikasi
2.2.1 Plasenta Previa
Didasarkan atas terabanya jaringan plasenta melalui pembukaan jalan lahir pada waktu
tertentu :
a) Plasenta previa totalis, bila seluruh pembukaan tertutup oleh jaringan plasenta.

Gambar 4. Plasenta previa totalis

b) Plasenta previa lateralis, bila sebagian pembukaan tertutup oleh jaringan plasenta.

3
Gambar 5. Plasenta previa lateralis

c) Plasenta previa marginalis, bila pinggir plasenta berada tepat pada pinggir
pembukaan.

Gambar 6. Plasenta previa marginalis

d) Plasenta letak rendah bila plasenta yang letaknya abnormal di segmen bawah uterus,
akan tetapi belum sampai menutupi pembukaan jalan lahir. Pinggir plasenta kira-
kira 3 atau 4 cm diatas pinggir pembukaan, sehingga tidak akan teraba pada
pembukaan jalan lahir.

A. Letak plasenta normal B. Plasenta letak rendah


Gambar 7. Plasenta letak rendah

4
2.2.2 Solusio Plasenta
Ada 3 tipe perdarahan pada solusio plasenta, yaitu
1. Perdarahan keluar (External hemorrhage)
Diakibatkan terlepasnya plasenta bagian perifer (tepian) dan membran di antara
plasenta dan kanalis servikalis terlepas dari desidua yang di bawahnya. Sehingga
perdarahan yang terjadi dapat tampak pervaginam. Gejala klinis sesuai dengan
jumlah kehilangan darah, tidak terdapat ketegangan uterus, atau hanya ringan.
2. Perdarahan tersembunyi (Concealed hemorrhage)
Diakibatkan terlepasnya plasenta bagian sentral, sedangkan perdarahan yang terjadi
sifatnya retroplasenta. Gejala yang terjadi, tidak terdapat perdarahan pervaginam,
uterus tegang dan hipertonus, sering terjadi fetal distress berat.
3. Perdarahan kombinasi (Combined hemorrhage)
Terjadi perdarahan baik retroplasental atau pervaginam dan uterus tetanik.
Sedangkan berdasarkan luas terlepasnya plasenta dari uterus, solusio plasenta dapat dibagi
atas :
1. Solusio plasenta totalis
2. Solusio plasenta partialis

5
Gambar 8. Perdarahan pada solusio plasenta

Gambar 9. Solusio Plasenta Totalis dan Perdarahan tersembunyi (Concealed hemorrhage)

1.3 Etiologi
1.3.1 Plasenta Previa
Beberapa faktor dan etiologi dari plsenta previa tidak diketahui. Tetapi diduga hal
tersebut berhubungan dengan abnormalitas dari vaskularisasi endometrium yang
mungkin disebabkan oleh timbulnya parut akibat trauma operasi/infeksi. Perdarahan
berhubungan dengan adanya perkembangan segmen bawah uterus pada trimester
ketiga. Plasenta yang melekat pada area ini akan rusak akibat ketidakmampuan segmen
bawah rahim. Kemudian perdarahan akan terjadi akibat ketidakmampuan segmen
bawah rahim untuk berkonstruksi secara adekuat.

2.3.2. Solusio Plasenta


Penyebab primer solusio plasenta belum diketahui secara pasti.

Faktor Risiko
1.3.2 Plasenta Previa
Faktor risiko plasenta previa termasuk :
1. Riwayat plasenta previa sebelumnya
2. Riwayat seksio cesarea
3. Riwayat aborsi
4. Kehamilan ganda
5. Umur ibu yang telah lanjut, wanita lebih dari 35 tahun
6. Multiparitas
7. Adanya gangguan anatomis/tumor pada rahim, sehingga mempersempit permukaan bagi
penempatan plasenta
8. Adanya jaringan rahim pada tempat yang bukan seharusnya. Misalnya dari indung telur
setelah kehamilan sebelumnya atau endometriosis.
9. Adanya trauma selama kehamilan
10. Sosial ekonomi rendah/gizi buruk, patofisologi dimulai dari usia kehamilan 30 minggu
segmen bawah uterus akan terbentuk dan mulai melebar serta menipis
11. Mendapat tindakan kuretase

6
1.3.3 Solusio Plasenta
Ada beberapa faktor yang dapat meningkatkan risiko terjadinya solusio plasenta, antara
lain:
a) Usia ibu saat hamil
Dalam sebuah penelitian oleh Cleary dan Goldman (2007), menunjukan data bahwa pada
evaluasi di trimester pertama dan kedua kehamilan terdapat peningkatan insidensi
terjadinya soluiso plasenta sebesar 2-3 kali pada ibu hamil yang berusia ≥ 40 tahun
dibandingkan usia ≤ 35 tahun.
b) Paritas
Sampai saat ini, masih menjadi kontroversi tentang pengaruh multiparitas sebagai faktor
predisposisi terjadinya solusio plasenta. Misalnya pada penelitian yang dilakukan
Pritchard dan Colleagues (1991) melaporkan insidensi terjadinya solusio plasenta lebih
tinggi pada multiparitas, sedangkan penelitian yang dilakukan oleh Toohey dan Associates
(1995) tidak menemukan pengaruh multiparitas dan insidensi terjadinya solusio plasenta.9
Akan tetapi pada penelitian yang dilakukan oleh Iram Sarwer et al (2003-2004), dilaporkan
bahwa nulipara lebih cenderung terjadinya solusio plasenta dibanding ibu multipara.

Tabel 1 : Presentase Kasus Solusio Plasenta terhadap Paritas dan Umur Kehamilan
Vartables No. Of cases Percentage Mean ± S.D

Parity Groups
0 06 11.3 3.92 ±
4 26 49.1 2.56
>4 21 39.6

Gestational
Ages (Wks)
28 -32 24 45.3 33.81
33 – 36 15 28.3 ± 3.64
37 – 40 14 26.4

Lalu bagaimana dengan hubungan tingkat paritas dan frekuensi terjadinya solusio plasenta
di Indonesia? Pada penelitian yang dilakukan pada RSUD Dr. Moerwadi Surakarta tahun
2001-2003, dilaporkan bahwa tingginya frekuensi solusio plasenta terjadi pada
multiparitas dibanding nulipara.
Tabel 2 : Persentase Kasus Solusio Plasenta terhadap Paritas
Paritas Solusio Plasenta Persalinan Frekuensi (%)
0 4 1682 0,23

1–3 13 1875 0,69

7
4–6 12 1064 1,13

7 3 257 1,18

Jumlah 32 4878 0,65

c) Ras dan faktor keturunan


Pada data yang dilaporkan oleh Pritchard and co-workers (1991) yang diambil dari
170.000 kelahiran di Rumah Sakit Parkland, solusio plasenta sering terjadi pada wanita
dengan ras Afro-Amerika dan Kaukasoid (1 kasus dari 450 kelahiran).
Rasmusen dan Irgens (2009) melaporkan penelitiannya yang dilakukan pada 378.000
wanita bersaudara dengan lebih dari 767.000 kehamilan, didapatkan data bahwa jika
saudara wanita tersebut memiliki riwayat solusio plasenta pada kehamilannya, maka
terdapat peningkatan risiko terjadinya solusio plasenta sebesar 16%.
d) Hipertensi kronis dan preeklampsia
Hubungan solusio plasenta dan beberapa bentuk hipertensi (hipertensi gestasional,
preeklampsia, hipertensi kronis ataupun kombinasinya), pada penelitian yang dilakukan
oleh Pritchard dan co-workers (1991) di Rumah Sakit Parkland ditemukan dari 408 kasus
solusio plasenta dan kematian janin ternyata 50% kasus tersebut ada hubungan erat dengan
riwayat hipertensi dan 25% diantaranya akibat riwayat hipertensi kronis. Dan diduga hal
ini diakibatkan dari deplesi intravaskular dan pengisian yang tidak adekuat. Hal yang
cenderung sama juga terlihat pada beberapa penelitian lainnya, seperti : Sibai dan co-
workers (1998), Ananth dan associates (2007), Zetterstrom dan colleagues (2005).
e) Riwayat trauma
Pada beberapa kasus trauma abdomen, seperti : kecelakaan kendaraan bermotor dan
trauma fisik lainnya yang berat sering diikuti dengan terlepasnya plasenta dari tempat
nidasinya. Pada penelitian yang dilakukan pada Rumah Sakit Parkland, sekitar 2%
penyebab terjadinya solusio plasenta yang menyebabkan kematian fetus disebabkan oleh
trauma kecelakaan di jalan raya.
f) Merokok
Menurut hasil penelitian yang dilakukan Ananth (1986-1993) didapatkan data bahwa
terdapat peningkatan risiko menjadi 2 kali lipat terjadinya solusio plasenta pada kehamilan
dengan riwayat ibu yang merokok bukan perokok (baik perokok pasif ataupun aktif).Hal
yang sama didapatkan penelitian yang dilakukan oleh Mortensen (2001), Hogberg (2007),
Kaminsky (2007).
g) Kokain
Wanita yang pernah menggunakan kokain memiliki risiko yang tinggi terjadi solusio
plasenta pada kehamilan. Hal ini dapat dibuktikan pada penelitian yang dilakukan oleh
Bingol (1987) dan Addis (2001). Mengapa hal ini dapat terjadi? Karena kokain dapat
menyebabkan peningkatan katekolamin dan hipertensi yang akhirnya akan menyebabkan
vasospasme pembuluh darah uterin sebagai penyebab solusio plasenta.

h) Leiomyomas
Myoma uteri terutama yang berlokasi dibelakang sisi implantasi plasenta cenderung akan
menyebabkan terjadinya solusio plasenta. Rice pada penelitiannya tahun 1989 menemukan
8 dari 14 wanita dengan myoma uteri retroplasenta akan berkembang menjadi solusio
plasenta sedangkan 4 lainnya akan berakhir dengan kejadian 4 bayi lahir mati. Sedangkan
hanya 2 dari 79 wanita dengan kasus myoma uteri non retroplasenta yang berkembang
menjadi solusio plasenta.

8
i) Thrombofilia
Pada dekade yang lalu. Trombofilia yang diturunkan ataupun didapatkan selalu
mempunyai korelasi langsung pada kasus thromboembolik dalam kehamilan yang
akhirnya akan berasosiasi sebagai penyebab terjadinya solusio plasenta dan preeklampsia,
hal ini ditemukan oleh Kenny (2009). Beberapa literatur menulis bahwa mutasi pada faktor
V Leiden, gen prothrombin, hiperhomocysteinemia, activated protein C resistance,
defisiensi antithrombin III dan terdapatnya antibodi anticardiolipin immunoglobin G. Jika
pada antenatal care ditemukan pasien positif terindikasi thrombofilia maka seharusnya
pasien mendapatkan terapi heparin ataupun aspirin dalam kehamilannya.
j) Riwayat solusio plasenta sebelumnya
Seorang wanita yang pernah menderita solusio plasenta terlebih yang menyebabkan
kematian janin memiliki risiko tinggi terjadinya rekurensi. Hal ini ditemukan pada
berbagai sumber dari laporan penelitian yang dilakukan. Pada penelitain yang terakhir oleh
Rasmusen dan Irgens (2009) dengan 767.000 kehamilan peningkatan ratio terjadinya
rekurensi hampir 3 kali dengan riwayat solusio plasenta pada kehamilan sebelumnya.

2. Memahami dan Menjelaskan Hipertensi dalam Kehamilan

2.1 Memahami dan Menjelaskan Definisi


Hipertensi dalam kehamilan adalah adanya tekanan darah 140/90 mmHg atau lebih
setelah kehamilan 20 minggu pada wanita yang sebelumnya normotensif, atau kenaikan
tekanan sistolik 30 mmHg dan atau tekanan diastolik 15 mmHg di atas nilai normal. Pre-
eklampsia dalam kehamilan adalah apabila dijumpai tekanan darah 140/90 mmHg setelah
kehamilan 20 minggu (akhir triwulan kedua sampai triwulan ketiga) atau bisa lebih awal
terjadi.Sedangkan pengertian eklampsia adalah apabila ditemukan kejang-kejang pada
penderita pre-eklampsia, yang juga dapat disertai koma.

Hipertensi adalah adanya kenaikan tekanan darah melebihi batas normal yaitu tekanan
darah ≥140/90 mmHg (Prawirohardjo, 2008).
Pengukuran tekanan darah sekurang-kurangnya dilakukan 2 kali selanh 4 jam.
Kenaikan tekanan darah sistolik ≥ 30 mmHg dan keniakan tekanan darahdiastolik ≥ 15
mmHg sebagai parameter hipertensi sudah tidak dipaki lagi.
Hipertensi pada kehamilan terdapat pada 5-10% kehamilan, hipertensi merupakan salah
satu dari ketiga penyebab kematian pada ibu hamil selain perdarahan dan infeksi. World
Health Organization (WHO) menyatakan pada negara maju 16% kematian maternal
diakibatkan karena hipertensi pada kehamilan, dan menempati proporsi kematian pertama
setelah perdarahan (13%), aborsi (8%), dan sepsis (2%). Berg et all pada tahun 2003
melaporkan kematian maternal sekitar 16% karena komplikasi dari hipertensi pada
kehamilan, dua tahun kemudian berg et al melakukan penelitian yang menunjukan bahwa
kematian maternal akibat hipertensi dapat dicegah melalui beberapa tahapan.

2.2 Memahami dan Menjelaskan Epidemiologi

9
Dari data berbagai kepustakaan didapat angka kejadian preeklampsia di berbagai
negara antara 7 – 10 % . Di Indonesia sendiri angka kejadian preeklampsia berkisar antara
3,4 – 8,5 % .

Pada penelitian di RS. Dr. Kariadi Semarang tahun 1997 didapatkan angka kejadian
preeklampsia 3,7 % dan eklampsia 0,9 % dengan angka kematian perinatal sebesar 3,1 %.
Sedang pada periode tahun 1997 – 1999 didapatkan angka kejadian preeklampsia 7,6 %
dan eklampsia 0,15 %. Penelitian pada bulan Juni 2002 – Februari 2004 di RS. Dr. Kariadi
Semarang didapatkan 28,1 % kasus persalinan dengan preeklampsia berat. Dari data ini
terlihat kecenderungan peningkatan angka kejadian preeklampsia di RS.Dr.Kariadi dari
tahun ke tahun.

2.3 Memahami dan Menjelaskan Etiologi


Etiologi

Teori yang dianggap dapat menjelaskan etiologi dan patofisiologi PE harus dapat
menjelaskan kenyataan bahwa HDK seringkali terjadi pada :

1. Mereka yang terpapar pada villi chorialis untuk pertama kalinya ( pada nulipara )
2. Mereka yang terpapar dengan villi chorialis yang berlimpah ( pada kehamilan kembar
atau mola )
3. Mereka yang sudah menderita penyakit vaskular sebelum kehamilan.
4. Penderita dengan predisposisi genetik Hipertensi .

Menurut Sibai (2003), faktor-faktor yang berpotensi sebagai etiologi :

1. Invasi trofoblastik abnormal kedalam vasa uterina.


2. Intoleransi imonologi antara maternal dengan jaringan feto-maternal .
3. Maladaptasi maternal terhadap perubahan kardiovaskular atau inflamasi selama
kehamilan.
4. Defisiensi bahan makanan tertentu ( nutrisi ).
5. Pengaruh genetik.

Beberapa faktor resiko ibu terjadinya preeklampsi:

1) Paritas
Kira-kira 85% preeklamsi terjadi pada kehamilan pertama. Paritas 2-3 merupakan
paritas paling aman ditinjau dari kejadian preeklamsi dan risiko meningkat lagi pada
grandemultigravida (Bobak, 2005). Selain itu primitua, lama perkawinan ≥4 tahun juga
dapat berisiko tinggi timbul preeklamsi (Rochjati, 2003)

2) Usia
Usia aman untuk kehamilan dan persalinan adalah 23-35 tahun. Kematian maternal
pada wanita hamil dan bersalin pada usia dibawah 20 tahun dan setelah usia 35 tahun
meningkat, karena wanita yang memiliki usia kurang dari 20 tahun dan lebih dari 35
tahun di anggap lebih rentan terhadap terjadinya preeklamsi (Cunningham, 2006).
Selain itu ibu hamil yang berusia ≥35 tahun telah terjadi perubahan pada jaringan

10
alat-alat kandungan dan jalan lahir tidak lentur lagi sehingga lebih berisiko untuk terjadi
preeklamsi (Rochjati, 2003).

3) Riwayat hipertensi
Riwayat hipertensi adalah ibu yang pernah mengalami hipertensi sebelum hamil
atau sebelum umur kehamilan 20 minggu.Ibu yang mempunyai riwayat hipertensi
berisiko lebih besar mengalami preeklamsi, serta meningkatkan morbiditas dan
mortalitas maternal dan neonatal lebih tinggi.

4) Sosial ekonomi
Beberapa penelitian menyimpulkan bahwa wanita yang sosial ekonominya lebih
maju jarang terjangkit penyakit preeklamsi.Secara umum, preeklamsi/eklamsi dapat
dicegah dengan asuhan pranatal yang baik. Namun pada kalangan ekonomi yang masih
rendah dan pengetahuan yang kurang seperti di negara berkembang seperti Indonesia
insiden preeklamsi/eklampsi masih sering terjadi (Cunningham, 2006)

5) Hiperplasentosis /kelainan trofoblast


Hiperplasentosis/kelainan trofoblas juga dianggap sebagai faktor predisposisi
terjadinya preeklamsi, karena trofoblas yang berlebihan dapat menurunkan perfusi
uteroplasenta yang selanjutnya mempengaruhi aktivasi endotel yang dapat
mengakibatkan terjadinya vasospasme, dan vasospasme adalah dasar patofisiologi
preeklamsi/eklamsi. Hiperplasentosis tersebut misalnya: kehamilan multiple, diabetes
melitus, bayi besar, 70% terjadi pada kasus molahidatidosa (Prawirohardjo,2008;
Cunningham, 2006).

6) Genetik
Genotip ibu lebih menentukan terjadinya hipertensi dalam kehamilan secara
familial jika dibandingkan dengan genotip janin. Telah terbukti pada ibu yang
mengalami preeklamsi 26% anak perempuannya akan mengalami preeklamsi pula,
sedangkan 8% anak menantunya mengalami preeklamsi. Karena biasanya kelainan
genetik juga dapat mempengaruhi penurunan perfusi uteroplasenta yang selanjutnya
mempengaruhi aktivasi endotel yang dapat menyebabkan terjadinya vasospasme yang
merupakan dasar patofisiologi terjadinya preeklamsi/eklamsi (Wiknjosastro, 2008;
Cunningham, 2008).

7) Obesitas
Obesitas adalah adanya penimbunan lemak yang berlebihan di dalam tubuh.
Obesitas merupakan masalah gizi karena kelebihan kalori, biasanya disertai kelebihan
lemak dan protein hewani, kelebihan gula dan garam yang kelak bisa merupakan faktor
risiko terjadinya berbagai jenis penyakit degeneratif, seperti diabetes melitus,
hipertensi, penyakit jantung koroner, reumatik dan berbagai jenis keganasan (kanker)
dan gangguan kesehatan lain.Hubungan antara berat badan ibu dengan risiko
preeklamsia bersifat progresif, meningkat dari 4,3% untuk wanita dengan indeks massa
tubuh kurang dari 19,8 kg/m2 terjadi peningkatan menjadi 13,3 % untuk mereka
yang indeksnya ≥35 kg/m2 (Cunningham, 2006; Mansjoer, 2008)

11
2.4 Memahami dan Menjelaskan Klasifikasi
1. Hipertensi kronik adalah hipertensi yang timbul sebelum umur kehamilan 20 minggu
atau hipertensi yang pertama kali didiagnosis setelah umur kehamilan 20 minggu dan
hipertensi menetap sampai 12 minggu pasca persalinan.

2. Preeklamsi adalah hipertensi yang timbul setelah 20 minggu kehamilan disertai dengan
proteinuria.

3. Eklamsi adalah preeklamsi yang disertai dengan kejang-kejang sampai dengan koma.

4. Hipertensi kronik dengan superposed preeklamsi adalah hipertensi kronik di sertai


tanda-tanda preeklamsi atau hipertensi kronik disertai proteinuria.

5. Hipertensi gestasional (transient hypertensi) adalah hipertensi yang timbul pada


kehamilan tanpa disertai proteinuria dan hipertensi menghilang setelah 3 bulan
pascapersalin, kehamilan dengan preeklamsi tetapi tanpa proteinuria.

2.5 Memahami dan Menjelaskan Patofisiologi


Hipertensi
1. Teori kelainan vaskularisasi plasenta
Pada kehamilan normal, rahim dan plasenta mendapatkan aliran darah dari
cabang – cabang arteri uterina dan arteri ovarika yang menembus miometrium dan
menjadi arteri arkuata, yang akan bercabang menjadi arteri radialis. Arteri radialis
menembus endometrium menjadi arteri basalis memberi cabang arteri spiralis. Pada
kehamilan terjadi invasi trofoblas kedalam lapisan otot arteri spiralis, yang
menimbulkan degenerasi lapisan otot tersebut sehingga terjadi distensi
dan vasodilatasi arteri spiralis, yang akan memberikan dampak penurunan tekanan
darah, penurunan resistensi vaskular, dan peningkatan aliran darah pada utero plasenta.
Akibatnya aliran darah ke janin cukup banyak dan perfusi jaringan juga meningkat,
sehingga menjamin pertumbuhan janin dengan baik. Proses ini dinamakan
remodelling arteri spiralis. Pada pre eklamsia terjadi kegagalan remodelling
menyebabkan arteri spiralis menjadi kaku dan keras sehingga arteri spiralis tidak
mengalami distensi dan vasodilatasi, sehingga aliran darah utero plasenta menurun dan
terjadilah hipoksia dan iskemia plasenta.

2. Teori Iskemia Plasenta, Radikal bebas, dan Disfungsi Endotel


a. Iskemia Plasenta dan pembentukan Radikal Bebas
Karena kegagalan Remodelling arteri spiralis akan berakibat plasenta
mengalami iskemia, yang akan merangsang pembentukan radikal bebas, yaitu
radikal hidroksil (-OH) yang dianggap sebagai toksin. Radiakl hidroksil akan
merusak membran sel yang banyak mengandung asam lemak tidak jenuh menjadi
peroksida lemak. Periksida lemak juga akan merusak nukleus dan protein sel
endotel.
b. Disfungsi Endotel
Kerusakan membran sel endotel mengakibatkan terganggunya fungsi
endotel, bahkan rusaknya seluruh struktur sel endotel keadaan ini disebut disfungsi
endotel, yang akan menyebabkan terjadinya :

12
- Gangguan metabolisme prostalglandin, yaitu menurunnya
produksi prostasiklin (PGE2) yang merupakan suatu vasodilator kuat.
- Agregasi sel-sel trombosit pada daerah endotel yang mengalami kerusakan.
Agregasi trombosit memproduksi tromboksan (TXA2) yaitu suatu
vasokonstriktor kuat. Dalam Keadaan normal kadar prostasiklin lebih banyak
dari pada tromboksan. Sedangkan pada pre eklamsia kadar tromboksan lebih
banyak dari pada prostasiklin, sehingga menyebabkan peningkatan tekanan
darah.
- Perubahan khas pada sel endotel kapiler glomerulus (glomerular endotheliosis)
.
- Peningkatan permeabilitas kapiler.
- Peningkatan produksi bahan – bahan vasopresor, yaitu endotelin. Kadar NO
menurun sedangkan endotelin meningkat.
- Peningkatan faktor koagulasi

3. Teori intoleransi imunologik ibu dan janin


Pada perempuan normal respon imun tidak menolak adanya hasil konsepsi yang
bersifat asing.Hal ini disebabkan adanya Human Leukocyte Antigen Protein G (HLA-
G) yang dapat melindungi trofoblas janin dari lisis oleh sel natural killer (NK) ibu.
HLA-G juga akan mempermudah invasis el trofoblas kedalam jaringan desidua ibu.
Pada plasenta ibu yang mengalami pre eklamsia terjadi ekspresi penurunan HLA-G
yang akan mengakibatkan terhambatnya invasi trofoblas ke dalam desidua.
Kemungkinan terjadi Immune-Maladaptation pada pre eklamsia.

4. Teori Adaptasi kardiovaskular


Pada kehamilan normal pembuluh darah refrakter terhadap bahan vasopresor.
Refrakter berarti pembuluh darah tidak peka terhadap rangsangan vasopresor atau
dibutuhkan kadar vasopresor yang lebih tinggi untuk menimbulkan respon
vasokonstriksi. Refrakter ini terjadi akibat adanya sintesis prostalglandin oleh sel
endotel. Pada pre eklamsia terjadi kehilangan kemampuan refrakter terhadap bahan
vasopresor sehingga pembuluh darah menjadi sangat peka terhadap
bahan vasopresor sehingga pembuluh darah akan mengalami vasokonstriksi dan
mengakibatkan hipertensi dalam kehamilan.

5. Teori Genetik
Ada faktor keturunan dan familial dengan model gen tunggal. Genotype ibu
lebih menentukan terjadinya hipertensi dalam kehamilan secara familial jika
dibandingkan dengan genotype janin. Telah terbukti bahwa ibu yang mengalami pre
eklamsia, 26% anak perempuannya akan mengalami pre eklamsia pula, sedangkan
hanya 8% anak menantu mengalami pre eklamsia.

6. Teori Defisiensi Gizi


Beberapa hasil penelitian menunjukkan bahwa defisiensi gizi berperan dalam
terjadinya hipertensi dalam kehamilan.Penelitian terakhir membuktikan bahwa
konsumsi minyak ikan dapat mengurangi resiko pre eklamsia.Minyak ikan banyak
mengandung asam lemak tidak jenuh yang dapat menghambat produksi tromboksan,
menghambat aktivasi trombosit, dan mencegah vasokonstriksi pembuluh darah.

7. Teori Stimulasi Inflamasi

13
Teori ini berdasarkan bahwa lepasnya debris trofoblas di dalam sirkulasi darah
merupakan rangsangan utama terjadinya proses inflamasi. Berbeda dengan proses
apoptosis pada pre eklamsia, dimana pada pre eklamsia terjadi peningkatan stres
oksidatif sehingga produksi debris trofoblas dan nekrorik trofoblas juga meningkat.
Keadaan ini mengakibatkan respon inflamasi yang besar juga. Respon inflamasi akan
mengaktifasi sel endotel dan sel makrofag/granulosit yang lebih besar pula, sehingga
terjadi reaksi inflamasi menimbulkan gejala – gejala pre eklamsia pada ibu.

Preeklampsia
Pada preeklampsia yang berat dan eklampsia dapat terjadi perburukan patologis pada
sejumlah organ dan sistem yang kemungkinan diakibatkan oleh vasospasme dan iskemia
(Cunningham, 2003).Wanita dengan hipertensi pada kehamilan dapat mengalami
peningkatan respon terhadap berbagai substansi endogen (seperti prostaglandin,
tromboxan) yang dapat menyebabkan vasospasme dan agregasi platelet.Penumpukan
trombus dan pendarahan dapat mempengaruhi sistem saraf pusat yang ditandai dengan sakit
kepala dan defisit saraf lokal dan kejang.Nekrosis ginjal dapat menyebabkan penurunan
laju filtrasi glomerulus dan proteinuria.Kerusakan hepar dari nekrosis hepatoseluler
menyebabkan nyeri epigastrium dan peningkatan tes fungsi hati.Manifestasi terhadap
kardiovaskuler meliputi penurunan volume intravaskular, meningkatnya cardiac output dan
peningkatan tahanan pembuluh perifer.Peningkatan hemolisis microangiopati
menyebabkan anemia dan trombositopeni.Infark plasenta dan obstruksi plasenta
menyebabkan pertumbuhan janin terhambat bahkan kematian janin dalam rahim (Michael,
2005).

2.6 Memahami dan Menjelaskan Manifestasi Klinis

 Edema
Pada kehamilan normal dapat ditemukan edema yang bebas, tetapi jika terdapat
edema yang tidak bebas, terdapat di tangan dan wajah yang meningkat pada pagi hari
dapat dipikirkan merupakan edema yang patologis.Peningkatan berat badan yang
sangat banyak atau secara tiba-tiba dapat meningkatkan kemungkinan
preeklampsia.Preeklampsia dapat juga terjadi tanpa adanya edema(Pernoll, 1987).

 Hipertensi
Hipertensi merupakan kiteria paling penting dalam diagnosa penyakit
preeklampsia.Hipertensi ini sering terjadi sangat tiba-tiba. Banyak primigravida dengan
usiamuda memiliki tekanan darah sekitar 100-110/60-70 mmHg selama trimester
kedua. Peningkatan diastolik sebesar 15 mmHg atau peningkatan sistolik sebesar 30
mmHg harus dipertimbangkan sesuatu yang buruk.Oleh karena itu, pada pasien
preeklampsia merupakan hipertensi relatif jika tekanandarahnya 120/80
mmHg.Tekanan darah sangat labil. Tekanan darah pasien preeklampsia ataupun
hipertensi kronis biasanya menurun pada saat pasien tidur, tetapi pada pasien
preeklampsia berat tekanan darah akan tetap tinggi walaupun dalam keadaan
tidur(Pernoll, 1987).

14
 Proteinuria
Proteinuria merupakan gejala yang paling terakhir timbul(Pernoll, 1987).
Proteinuria berarti konsentrasi protein dalam urin yang melebihi 0,3 gr/liter dalam urin
24 jam atau pemeriksaan kualitatif menunjukan 1+ atau 2+ atau 1gr/liter atau lebih
dalam urin yang dikeluarkan kateter atau midstreamyang diambil minimal dua kali
dengan jarak waktu 6 jam(Wiknjosastro, 2006).

 Penemuan Laboratorium
Hemoglobin dan hematokrit akan meningkat akibat hemokonsentrasi.
Trombositopenia biasanya terjadi.Penurunan produksi benang fibrin dan factor
koagulasi bisa terdeksi.Asam urat biasanya meningkat diatas 6 mg/dl.Kreatinin serum
biasanya normal tetapi bisa meningkat pada preeklampsia berat.Alkalin
fosfatasemeningkat hingga 2-3 kali lipat.Laktat dehydrogenase bisa sedikit meningkat
dikarenakan hemolisis.Glukosa darah dan elektrolit pada pasien preeklampsia biasanya
dalam batas normal. Urinalisis dapat ditemukan proteinuria dan beberapa kasus
ditemukan hyaline cast(Pernoll, 1987).

2.7 Memahami dan Menjelaskan Diagnosis

Hipertensi Kronik

 Tekanan darah sistolik darah sistolik ≥ 140mmHg atau tekanan darah diastolik ≥ 90
mmHg didapatkan sebelum kehamilan atau sebelum 20 minggu usia kehamilan dan
tidak termasuk pada penyakit trophoblastic gestasional, atau

 Tekanan darah sistolik darah sistolik ≥ 140mmHg atau tekanan darah diastolik ≥ 90
mmHg didapatkan pada usia kehamilan > 20 minggu menetap 12 minggu
postpartum

 Diagnosis sulit ditegakkan pada trisemester pertama kehamilan dan umumnya


didapatkan pada beberapa bulan setelah melahirkan.

Hipertensi Gestasional

 Tekanan darah sistolik darah sistolik ≥ 140mmHg atau tekanan darah


diastolik ≥ 90 mmHg didapatkan pertama kali pada usia kehamilan > 20
minggu

 Tidak ada proteinuria maupun tanda dan gejala preeklampsia

 Tekanan darah kembali normal pada 42 hari setelah post partum

 Definisi ini meliputi wanita dengan sindroma preeklampsia tanpa disertai


manifestasi proteinuria

 Mempunyai resiko hipertensi pada kehamilan selanjutnya

15
 Dapat berkembang menjadi preeklampsia maupun hipertensi berat.

Preeklampsia

Kriteria minimal
 Tekanan darah sistolik darah sistolik ≥ 140mmHg atau tekanan darah
diastolik ≥ 90 mmHg pada usia kehamilan > 20 minggu
 Disertai proteinuria ≥ 300 mg / 24 jam atau ≥ +1 pada pemeriksaan urin sesaat
dengan urin dipstik atau rasio protein : kreatinin urine ≥ 0.3

Kriteria tambahan yang memperkuat diagnosis


 Tekanan darah ≥ 160/110 mmHg
 Proteinuria 2.0 g/24 jam atau ≥ +2 pada pemeriksaan urin sesaat denganurin
dipstik.
 Serum kreatinin > 1.2 mg/dl kecuali sudah didapatkan peningkatan serum
kreatinin sebelumnya
 Trombosit < 100.000/μl
 Hemolisis mikroangiopati – peningkatan LDH
 Peningkatan kadar serum transaminase – ALT atau AST
 Nyeri kepala yang menetap atau gangguan cerebral maupun visual lainnya
 Nyeri epigastrium yang menetap

Eklampsia

 Kejang yang tidak dapat dijelaskan penyebabnya pada wanita dengan


preeklamsia

Hipertensi kronis superimpose preeklampsia

 Wanita hipertensi dengan proteinuria ≥ 300 mg / 24 jam yang baru muncul dan
tidak didapatkan sebelum usia kehamilan 20 minggu, atau
 Peningkatan mendadak pada proteinuria dan tekanan darah atau jumlah
trombosit < 100.000 /μl pada wanita dengan hipertensi dan proteinuria sebelum
usia kehamilan 20 minggu.

3. Menjelaskan tentang solusio plasenta

3.1 Definisi solusio plasenta


Solusio plasenta adalah terlepasnya sebagian atau keseluruhan plasenta dari implantasi
normalnya (korpus uteri) setelah kehamilan 20 minggu dan sebelum janin lahir . Cunningham
dalam bukunya mendefinisikan solusio plasenta sebagai separasi prematur plasenta dengan
implantasi normalnya korpus uteri sebelum janin lahir (2). Jika separasi ini terjadi di bawah
kehamilan 20 minggu maka mungkin akan didiagnosis sebagai abortus imminens (5).
Sedangkan Abdul Bari Saifuddin dalam bukunya mendefinisikan solusio plasenta adalah
terlepasnya plasenta dari tempat implantasi normalnya sebelum janin lahir, dan definisi ini

16
hanya berlaku apabila terjadi pada kehamilan di atas 22 minggu atau berat janin di atas 500
gram .

Gambar 2.Solusio Plasenta (Placental abrubtion).

 Epidemiologi solusio plasenta


Insiden solusio plasenta bervariasi antara 0,2-2,4 % dari seluruh kehamilan. Literatur lain
menyebutkan insidennya 1 dalam 77-89 persalinan, dan bentuk solusio plasenta berat 1 dalam
500-750 persalinan . Slava dalam penelitiannya melaporkan insidensi solusio plasenta di dunia
adalah 1% dari seluruh kehamilan. Di sini terlihat bahwa tidak ada angka pasti untuk insiden
solusio plasenta, karena adanya perbedaan kriteria menegakkan diagnosisnya (8).
Penelitian Cunningham di Parkland Memorial Hospital melaporkan 1 kasus dalam 500
persalinan. Tetapi sejalan dengan penurunan frekuensi ibu dengan paritas tinggi, terjadi pula
penurunan kasus solusio plasenta menjadi 1 dalam 750 persalinan (2). Menurut hasil penelitian
yang dilakukan Deering didapatkan 0,12% dari semua kejadian solusio plasenta di Amerika
Serikat menjadi sebab kematian bayi . Penelitian retrospektif yang dilakukan oleh Ducloy di
Swedia melaporkan dalam 894.619 kelahiran didapatkan 0,5% terjadi solusio plasenta .

3.2 Klasifikasi solusio plasenta

Gambar 3. Klasifikasi solusio plasenta


Klasifikasi solusio placenta antara lain:
a. Solusio plasenta parsialis : bila hanya sebagian saja plasenta terlepas dari tempat
perlengkatannya.
b. Solusio plasenta totalis ( komplek ) : bila seluruh plasenta sudah terlepas dari tempat
perlengketannya.
c. Prolapsus plasenta : kadang-kadang plasenta ini turun ke bawah dan dapat teraba
pada pemeriksaan dalam.

3.3 Manifestasi solusio plasenta


Gambaran klinis dari kasus-kasus solusio plasenta diterangkan atas pengelompokannya
menurut gejala klinis:
a. Solusio plasenta ringan
Solusio plasenta ringan ini disebut juga ruptura sinus marginalis, dimana terdapat
pelepasan sebagian kecil plasenta yang tidak berdarah banyak. Apabila terjadi
perdarahan pervaginam, warnanya akan kehitam-hitaman dan sedikit sakit. Perut terasa

17
agak sakit, atau terasa agak tegang yang sifatnya terus menerus. Walaupun demikian,
bagian-bagian janin masih mudah diraba. Uterus yang agak tegang ini harus selalu
diawasi, karena dapat saja menjadi semakin tegang karena perdarahan yang
berlangsung. Salah satu tanda yang menimbulkan kecurigaan adanya solusio plasenta
ringan ini adalah perdarahan pervaginam yang berwarna kehitam-hitaman.
b. Solusio plasenta sedang
Dalam hal ini plasenta telah terlepas lebih dari satu per empat bagian, tetapi belum dua
per tiga luas permukaan. Tanda dan gejala dapat timbul perlahan-lahan seperti solusio
plasenta ringan, tetapi dapat juga secara mendadak dengan gejala sakit perut terus
menerus, yang tidak lama kemudian disusul dengan perdarahan pervaginam. Walaupun
perdarahan pervaginam dapat sedikit, tetapi perdarahan sebenarnya mungkin telah
mencapai 1000 ml. Ibu mungkin telah jatuh ke dalam syok, demikian pula janinnya
yang jika masih hidup mungkin telah berada dalam keadaan gawat. Dinding uterus
teraba tegang terus-menerus dan nyeri tekan sehingga bagian-bagian janin sukar untuk
diraba. Apabila janin masih hidup, bunyi jantung sukar didengar. Kelainan pembekuan
darah dan kelainan ginjal mungkin telah terjadi, walaupun hal tersebut lebih sering
terjadi pada solusio plasenta berat.
c. Solusio plasenta berat
Plasenta telah terlepas lebih dari dua per tiga permukaannnya. Terjadi sangat tiba-tiba.
Biasanya ibu telah jatuh dalam keadaan syok dan janinnya telah meninggal. Uterusnya
sangat tegang seperti papan dan sangat nyeri. Perdarahan pervaginam tampak tidak
sesuai dengan keadaan syok ibu, terkadang perdarahan pervaginam mungkin saja
belum sempat terjadi. Pada keadaan-keadaan di atas besar kemungkinan telah terjadi
kelainan pada pembekuan darah dan kelainan/gangguan fungsi ginjal.

Patofisiologi solusio plasenta


1) Perdarahan dapat terjadi dari pembuluh darah plasenta atau uterus yang membentuk
hematoma pada desidua,sehingga plasenta terdesak dan akhirnya terlepas. Apabila
perdarahan sedikit,hematoma yang kecil itu hanya akan mendesak jaringan
plasenta,pedarahan darah antara uterus dan plasenta belum terganggu,dan tanda serta
gejala pun belum jelas. Kejadian baru diketahui setelah plasenta lahir,yang pada
pemeriksaan di dapatkan cekungan pada permukaan maternalnya dengan bekuan darah
yang berwarna kehitam-hitaman.
Biasanya perdarahan akan berlangsung terus-menerus karena otot uterus yang
telah meregang oleh kehamilan itu tidak mampu untuk lebih berkontraksi
menghentikan perdarahannya. Akibatnya hematoma retroplasenter akan bertambah
besar,sehingga sebagian dan seluruh plasenta lepas dari dinding uterus. Sebagian darah
akan menyeludup di bawah selaput ketuban keluar dari vagina atau menembus selaput
ketuban masuk ke dalam kantong ketuban atau mengadakan ektravasasi di antara
serabut-serabut otot uterus.
Apabila ektravasasinya berlangsung hebat,maka seluruh permukaan uterus akan
berbercak biru atau ungu. Hal ini di sebut uterus Couvelaire (Perut terasa sangat tegang
dan nyeri). Akibat kerusakan jaringan miometrium dan pembekuan retroplasenter,maka
banyak trombosit akan masuk ke dalam peredaran darah ibu,sehinga terjadi pembekuan
intravaskuler dimana-mana,yang akan menghabiskan sebagian besar persediaan
fibrinogen. Akibatnya terjadi hipofibrinogenemi yang menyebabkan gangguan
pembekuan darah tidak hanya di uterus tetapi juga pada alat-alat tubuh yang lainnya.
Keadaan janin tergantung dari luasnya plasenta yang terlepas dari dinding
uterus. Apabila sebagian besar atau seluruhnya terlepas,akan terjadi anoksia sehingga
mengakibatkan kematian janin. Apabila sebagian kecil yang terlepas,mungkin tidak

18
berpengaruh sama sekali,atau juga akan mengakibatkan gawat janin. Waktu sangat
menentukan beratnyaa gangguan pembekuan darah,kelainan ginjal,dan keadaan janin.
Makin lama penanganan solusio plasenta sampai persalinan selesai,umumnya makin
hebat komplikasinya.
2) Pada solusio plasenta,darah dari tempat pelepasan akan mencari jalan keluar antara
selaput janin dan dinding rahim hingga akhirnya keluar dari serviks hingga terjadilah
perdarahan keluar atau perdarahan terbuka. Terkadang darah tidak keluar,tetapi
berkumpul di belakang plasenta membentuk hematom retroplasenta. Perdarahan
semacam ini disebut perdarahan ke dalam atau perdarahan tersembunyi.
Solusio plasenta dengan perdarahan tersembunyi menimbulkan tanda yang
lebih khas karena seluruh perdarahan tertahan di dalam dan menambah volume uterus.
Umumnya lebih berbahaya karena jumlah perdarahan yang keluar tidak sesuai dengan
beratnya syok. Perdarahan pada solusio plasenta terutama berasal dari ibu,namun dapat
juga berasal dari anak.

Perdarahan keluar Perdarahan tersembunyi

1. Keadaan umum penderita relative 1. Keadaan penderita jauh lebih


lebih baik. jelek.
2. Plasenta terlepas sebagian atau
inkomplit.
3. Jarang berhubungan dengan 2. Plasenta terlepas luas,uterus
hipertensi. keras/tegang.
3. Sering berkaitan dengan
hipertensi.
Terlepasnya plasenta sebelum waktunya menyebabkan timbunan darah antara plasenta dan
dinding uterus yang menimbulkan gangguan penyulit terhadap ibu dan janin.

Penyulit terhadap ibu Penyulit terhadap janin

1. Berkurangnya darah dalam sirkulasi 1. Tergantung pada luasnya plasenta


darah umum yang lepas dapat menimbulkan
2. Terjadi penurunan tekanan asfiksia ringan sampai kematian
darah,peningkatan nadi dan dalam uterus.
pernapasan
3. Ibu tampak anemis
4. Dapat timbul gangguan pembekuan
darah,karena terjadi pembekuan
intravaskuler diikuti hemolisis darah
sehingga fibrinogen makin berkurang
dan memudahkan terjadinya
perdarahan (hipofibrinogenemia)
5. Dapat timbul perdarahan
packapartum setelah persalinan
karena atonia uteri atau gangguan
pembekuan darah
6. Dapat timbul gangguan fungsi ginjal
dan terjadi emboli yang
menimbulkan komplikasi sekunder

19
7. Timbunan darah yang meningkat
dibelakang plasenta dapat
menyebabkan uterus menjadi
keras,padat dan kaku.

4. Diagnosis solusio plasenta


Keluhan dan gejala pada solusio plasenta dapat bervariasi cukup luas. Sebagai contoh,
perdarahan eksternal dapat banyak sekali meskipun pelepasan plasenta belum begitu luas
sehingga menimbulkan efek langsung pada janin, atau dapat juga terjadi perdarahan eksternal
tidak ada, tetapi plasenta sudah terlepas seluruhnya dan janin meninggal sebagai akibat
langsung dari keadaan ini. Solusio plasenta dengan perdarahan tersembunyi mengandung
ancaman bahaya yang jauh lebih besar bagi ibu, hal ini bukan saja terjadi akibat kemungkinan
koagulopati yang lebih tinggi, namun juga akibat intensitas perdarahan yang tidak diketahui
sehingga pemberian transfusi sering tidak memadai atau terlambat.

Tatalaksana solusio plasenta


Penanganan kasus-kasus solusio plasenta didasarkan kepada berat atau ringannya gejala klinis,
yaitu:
a. Solusio plasenta ringan
4.1.1 Ekspektatif, bila usia kehamilan kurang dari 36 minggu dan bila ada perbaikan
(perdarahan berhenti, perut tidak sakit, uterus tidak tegang, janin hidup) dengan
tirah baring dan observasi ketat, kemudian tunggu persalinan spontan.
4.1.2 Bila ada perburukan (perdarahan berlangsung terus, gejala solusio plasenta makin
jelas, pada pemantauan dengan USG daerah solusio plasenta bertambah luas),
maka kehamilan harus segera diakhiri. Bila janin hidup, lakukan seksio sesaria, bila
janin mati lakukan amniotomi disusul infus oksitosin untuk mempercepat
persalinan.
b. Solusio plasenta sedang dan berat
4.1.3 Apabila tanda dan gejala klinis solusio plasenta jelas ditemukan, penanganan di
rumah sakit meliputi transfusi darah, amniotomi, infus oksitosin dan jika perlu
seksio sesaria.
4.1.4 Apabila diagnosis solusio plasenta dapat ditegakkan berarti perdarahan telah terjadi
sekurang-kurangnya 1000 ml. Maka transfusi darah harus segera diberikan.
4.1.5 Amniotomi akan merangsang persalinan dan mengurangi tekanan intrauterin.
Keluarnya cairan amnion juga dapat mengurangi perdarahan dari tempat implantasi
dan mengurangi masuknya tromboplastin ke dalam sirkulasi ibu yang mungkin
akan mengaktifkan faktor-faktor pembekuan dari hematom subkhorionik dan
terjadinya pembekuan intravaskuler dimana-mana. Persalinan juga dapat
dipercepat dengan memberikan infus oksitosin yang bertujuan untuk memperbaiki
kontraksi uterus yang mungkin saja telah mengalami gangguan.
4.1.6 Gagal ginjal sering merupakan komplikasi solusio plasenta. Biasanya yang terjadi
adalah nekrosis tubuli ginjal mendadak yang umumnya masih dapat tertolong
dengan penanganan yang baik. Tetapi bila telah terjadi nekrosis korteks ginjal,
prognosisnya buruk sekali. Pada tahap oliguria, keadaan umum penderita
umumnya masih baik. Oleh karena itu oliguria hanya dapat diketahui dengan
pengukuran pengeluaran urin yang teliti yang harus secara rutin dilakukan pada
penderita solusio plasenta sedang dan berat, apalagi yang disertai hipertensi
menahun dan preeklamsia. Pencegahan gagal ginjal meliputi penggantian darah
yang hilang, pemberantasan infeksi yang mungkin terjadi, mengatasi hipovolemia,

20
menyelesaikan persalinan secepat mungkin dan mengatasi kelainan pembekuan
darah.
4.1.7 Kemungkinan kelainan pembekuan darah harus selalu diawasi dengan pengamatan
pembekuan darah. Pengobatan dengan fibrinogen tidak bebas dari bahaya hepatitis,
oleh karena itu pengobatan dengan fibrinogen hanya pada penderita yang sangat
memerlukan, dan bukan pengobatan rutin. Dengan melakukan persalinan
secepatnya dan transfusi darah dapat mencegah kelainan pembekuan darah.
4.1.8 Persalinan diharapkan terjadi dalam 6 jam sejak berlangsungnya solusio plasenta.
Tetapi jika itu tidak memungkinkan, walaupun sudah dilakukan amniotomi dan
infus oksitosin, maka satu-satunya cara melakukan persalinan adalah seksio
sesaria.
4.1.9 Apoplexi uteroplacenta (uterus couvelaire) tidak merupakan indikasi histerektomi.
Akan tetapi, jika perdarahan tidak dapat dikendalikan setelah dilakukan seksio
sesaria maka tindakan histerektomi perlu dilakukan

5. Komplikasi solusio plasenta


3.4.Komplikasi yang dapat terjadi pada Ibu:
a. Syok perdarahan
Pendarahan antepartum dan intrapartum pada solusio plasenta hampir tidak dapat
dicegah, kecuali dengan menyelesaikan persalinan segera. Bila persalinan telah
diselesaikan, penderita belum bebas dari perdarahan postpartum karena kontraksi
uterus yang tidak kuat untuk menghentikan perdarahan pada kala III persalinan dan
adanya kelainan pada pembekuan darah. Pada solusio plasenta berat keadaan syok
sering tidak sesuai dengan jumlah perdarahan yang terlihat. Titik akhir dari hipotensi
yang persisten adalah asfiksia, karena itu pengobatan segera ialah pemulihan defisit
volume intravaskuler secepat mungkin. Angka kesakitan dan kematian ibu tertinggi
terjadi pada solusio plasenta berat. Meskipun kematian dapat terjadi akibat nekrosis
hipofifis dan gagal ginjal, tapi mayoritas kematian disebabkan syok perdarahan dan
penimbunan cairan yang berlebihan. Tekanan darah tidak merupakan petunjuk
banyaknya perdarahan, karena vasospasme akibat perdarahan akan meninggikan
tekanan darah. Pemberian terapi cairan bertujuan mengembalikan stabilitas
hemodinamik dan mengkoreksi keadaan koagulopathi. Untuk tujuan ini pemberian
darah segar adalah pilihan yang ideal, karena pemberian darah segar selain dapat
memberikan sel darah merah juga dilengkapi oleh platelet dan faktor pembekuan .
b. Gagal ginjal
Gagal ginjal merupakan komplikasi yang sering terjadi pada penderita solusio
plasenta, pada dasarnya disebabkan oleh keadaan hipovolemia karena perdarahan
yang terjadi. Biasanya terjadi nekrosis tubuli ginjal yang mendadak, yang umumnya
masih dapat ditolong dengan penanganan yang baik. Perfusi ginjal akan terganggu
karena syok dan pembekuan intravaskuler. Oliguri dan proteinuri akan terjadi akibat
nekrosis tubuli atau nekrosis korteks ginjal mendadak (2,5). Oleh karena itu oliguria
hanya dapat diketahui dengan pengukuran pengeluaran urin yang harus secara rutin
dilakukan pada solusio plasenta berat. Pencegahan gagal ginjal meliputi penggantian
darah yang hilang secukupnya, pemberantasan infeksi, atasi hipovolemia, secepat
mungkin menyelesaikan persalinan dan mengatasi kelainan pembekuan darah.
c. Kelainan pembekuan darah
Kelainan pembekuan darah pada solusio plasenta biasanya disebabkan oleh
hipofibrinogenemia. Dari penelitian yang dilakukan oleh Wirjohadiwardojo di
RSUPNCM dilaporkan kelainan pembekuan darah terjadi pada 46% dari 134 kasus
solusio plasenta yang ditelitinya. Kadar fibrinogen plasma normal pada wanita hamil

21
cukup bulan ialah 450 mg%, berkisar antara 300-700 mg%. Apabila kadar fibrinogen
plasma kurang dari 100 mg% maka akan terjadi gangguan pembekuan darah.

DAFTAR PUSTAKA

 Cunningham, F.G et al: Williams Obstetrics 21st Editions. McGraw-Hill Medical


Publishing Divisions.
 Fakultas Kedokteran Univeresitas Padjadjaran. 2005: Obstetri Patologi Ilmu Kesehatan
Reproduksi Edisi 2. Editor: Prof.Sulaiman S, dr.,SpOG (K); Prof.DR.Djamhoer M,
dr.,MSPH,SpOG(K); Prof.DR.Firman F W, dr.,SpOG(K). Jakarta: Penerbit Buku
Kedokteran EGC.
 Pritchard JA, MacDonald PC, Gant NF. Williams Obstetrics, 20th ed. R Hariadi, R

Prajitno Prabowo, Soedarto, penerjemah. Obstetri Williams. Edisi 20. Surabaya:

Airlangga University Press, 2001; 456-70.

 Rachimhadhi T. Perdarahan Antepartum. Dalam: Ilmu Kebidanan, edisi III. Jakarta:

Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawiroharjo, 2002; 362-85.

 Gasong MS, Hartono E, Moerniaeni N. Penatalaksanaan Perdarahan Antepartum.

Bagian Obstetri danGinekologi FK UNHAS; 1997. 3-8.

 DeCherney, AH; Nathan, L. 2003. Current Obstetric & Gynecologic Diagnosis &
Treatment. Ninth Edition. The McGraw-Hill Companies, Inc.

 Hanafiah, T.M 2004. Plasenta Previa, on line, (http://www.


Library.usu.ac.id/download/fk/obstetri-tmhanafiah2.pdf, diakses tanggal 30 Agustus
2010).
 Mochtar, Rustam. 1998. Sinopsis Obstetri :Obstetri Fisiologi, Obstetri Patologi. Edisi
kedua. Jakarta : EGC.
 Martaadisoebrata Djamhoer, Wijayanegara Hidayat, dkk. 2005. Obstetri Patologi.
Jakarta. EGC.
 Saifuddin, Abdul Bari.2002. Buku Panduan Praktis Pelayanan Kesehatan Maternal
dan Neonatal. Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawiroharjo. Jakarta.

 Wiknjosastro,Hanifa. 2005. Ilmu Kebidanan. Edisi ketiga. Yayasan Bina Pustaka


Sarwono Prawiroharjo. Jakarta.

22

You might also like