You are on page 1of 107

1

BAB 1. PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Diabetes melitus (DM) merupakan penyakit gangguan metabolisme kronis

yang ditandai dengan metabolisme karbohidrat, protein dan lemak yang abnormal

akibat kegagalan sekresi insulin, kerja insulin, atau keduanya(Chang et al.,

2009).Kurang lebih 90% hingga 95% penderita mengalami diabetes tipe II, yaitu

diabetes yang tidak tergantung insulin.Diabetes tipe II terjadi akibat penurunan

sensitivitas terhadap insulin (yang disebut resistensi insulin) atau akibat penurunan

jumlah produksi insulin.Diabetes tipe II paling sering ditemukan pada individu yang

berusia lebih dari 30 tahun dan obesitas (Brunner & Suddarth, 2002).

Diabetes adalah salah satu keadaan darurat kesehatan global terbesar abad

21.Setiap tahun semakin banyak orang hidup dengan kondisi ini yang dapat

mengakibatkan komplikasi yang mengubah kualitas hidup. Selain 415 juta orang

dewasa yang diperkirakan saat ini memiliki DM,ada 318 juta orang dewasa dengan

gangguan toleransi glukosa yang menempatkan mereka pada risiko tinggi

berkembangnya penyakit DM di masa depan.Di negara-negara berpenghasilan tinggi,

beberapa penelitian telah memperkirakan bahwa sekitar 87% sampai 91% dari semua

penderita diabetes memiliki diabetes tipe 2,7% sampai 12% diperkirakan memiliki

diabetes tipe 1, dan 1% hingga 3% memiliki diabetes tipe lain(International Diabetes

Federation[IDF], 2015). Jumlah keseluruhan penderita DM di dunia tahun 2015

mencapai 415 juta dan pada tahun 2040 akan meningkat menjadi 642 juta.Orang
2

dewasa yang meninggal karena diabetes pada tahun 2015 mencapai 5 juta

orang.Penyakit diabetes menduduki peringkat pertama di antara penyakit-penyakit

lain seperti HIV/AIDS, tuberkulosis, dan malaria yang menyebabkan kematian pada

orang dewasa.Selain menempatkan beban keuangan yang besar pada individu dan

keluarga mereka karena biaya insulin dan obat-obatan penting lainnya, diabetes juga

memiliki dampak ekonomi besar pada negara dan sistem kesehatan nasional.Hal ini

karena peningkatan penggunaan layanan kesehatan, hilangnya produktivitas dan

dukungan jangka panjang yang diperlukan untuk mengatasi komplikasi diabetes

terkait, seperti gagal ginjal, kebutaan atau masalah jantung. Mayoritas negara-negara

menghabiskan antara 5% dan 20% dari total belanja kesehatan mereka pada diabetes.

Dengan biaya yang tinggi, penyakit ini merupakan tantangan besar bagi sistem

kesehatan dan hambatan untuk pembangunan ekonomi yang berkelanjutan (IDF,

2015).

Berdasarkan data IDF tahun 2015 menunjukkan bahwa Indonesia berada di

peringkat ke 7 dari 10 negara teratas dengan diabetes melitus.Secara epidemiologi,

diperkirakan bahwa pada tahun 2030 prevalensi DM di Indonesia mencapai 21,3 juta

orang. Hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2007, diperoleh bahwa

proporsi penyebab kematian akibat DM pada kelompok usia 45-54 tahun di daerah

perkotaan menduduki ranking ke-2 yaitu 14,7%, dan daerah pedesaan, DM

menduduki ranking ke-6 yaitu 5,8% (Kementrian Kesehatan RI, 2009).Menurut

laporan Riskesdas tahun 2013, Provinsi Jawa Timur merupakan salah satu wilayah di

Indonesia dengan prevalensi penderita DM sebesar 2,1%. Berdasarkan data dari


3

Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Timur tahun 2012 berdasarkan 10 pola penyakit

terbanyak pada pasien rawat jalan di rumah sakit tipe B DM merupakan penyakit

terbanyak nomor dua setelah hipertensi yakni sebanyak 102.399 kasus (Kemenkes RI,

2014).

Hasil data dari Dinas Kesehatan Kabupaten Jember, jumlah kunjungan pasien

DM tahun 2016 sebanyak 10.941 kunjungan. Jumlah kunjungan dengan DM tipe 2 di

wilayah kerja Puskesmas Patrang pada tahun 2016 yaitu sebanyak 414 kunjungan.

Data di Puskesmas Patrang mulai bulan April 2016 sampai Maret 2017 menunjukkan

terdapat 467 kunjungan dengan jumlah pasien DM tipe 2 sebanyak 243 orang. Hasil

studi pendahuluan dengan melakukan wawancara kepada 10 pasien DM tipe 2 di

wilayah kerja Puskesmas Patrang dengan hasil yang didapatkan adalah bahwa 6 orang

tidak melakukan aktivitas kesehatan yang cukup untuk menjaga kesehatan seperti

jogging serta tidak dapat menjaga pola makan yang sehat. 2 pasien diantaranya

merasa ragu bahwa tuhan akan menyembuhkan penyakit yang diderita dan

mengatakan bahwa banyak ajaran agama yang tidak dipahami.

Keadaan DM yang tidak dikelola dengan baik dalam jangka waktu yang lama

akan berkontribusi terhadap terjadinya komplikasi kronik. Hal ini akan berdampak

terhadap kualitas hidup pasien. Penurunan kualitas hidup dapat mempengaruhi umur

harapan hidup pasien DM dan secara signifikan dapat mempengaruhi terhadap

peningkatan angka kematian.Pengelolaan DM memerlukan waktu yang lama,

sehingga membutuhkan perubahan perilaku.Tujuan dari perubahan perilaku pasien

DM adalah untuk meningkatkan kepatuhan pasien DM. Salah satu faktor kunci dalam
4

mencapai perubahan perilaku adalah dengan efikasi diri.Efikasi diri dapat

memberikan pengaruh terhadap perubahan perilaku dengan mempengaruhi

bagaimana seseorang berpikir, memotivasi diri, dan bertindak.Efikasi diri dapat

mempengaruhi komitmen pasien (Rahman et al., 2017).

Efikasi diri didefinisikan sebagaikepercayaan seseorang terhadap

kemampuannya untuk melakukan sesuatu pada tingkat yang diinginkan dimana

kemampuan tersebut didapat melalui sebuah kejadian yang berpengaruh pada hidup

orang tersebut.Kepercayaan terhadap efikasi diri menentukan bagaimana seseorang

merasakan sesuatu, berpikir, memotivasi diri mereka sendiri, dan bertindak (Bandura,

1994). Efikasi diri mendorong proses kontrol diri untuk mempertahankan perilaku

yang dibutuhkan dalam mengelola perawatan diri pada pasien. Efikasi diri pada

pasien diabetes melitus tipe 2 berfokus pada keyakinan pasien untuk mampu

melakukan perilaku yang dapat mendukung perbaikan penyakitnya dan meningkatkan

manajemen perawatan dirinya seperti diet, latihan fisik, medikasi, kontrol glukosa,

dan perawatan diabetes melitus secara umum. Dampak psikologis yang sering

muncul pada pasien dengan penyakit kronis termasuk diabetes melitus dapat

menimbulkan masalah pada efikasi diri pasien (Wu et al. dalam Ariani, 2011).

Hasil penelitian Ariani et al. (2012) didapatkan pasien DM yang memiliki

efikasi diri yang kurang baik sebanyak 61,4%. Sebagian besar responden memiliki

motivasi yang kurang dalam melakukan perawatan DM. Hal ini menunjukkan

responden yang memiliki motivasi yang buruk menjukkan efikasi diri yang

buruk.Hasil penelitian Kusuma dan Hidayati (2013) didapatkan bahwa responden


5

dengan efikasi diri yang kurang baik sebanyak 30,9%. Hasil penelitian Purwanti

(2014) menunjukkan bahwa responden yang memiliki efikasi diri yang buruk

sebanyak 36,3%.Penelitian Rias (2016) didapatkan responden yang memiliki efikasi

diri yang kurang baik sebanyak 47%.

Religiusitas memiliki peran dalam efikasi diri. Tanggapan yang umum

diungkapkan adalah percaya pada Tuhan, penerimaan dan harapan akan masa depan

yang lebih baik, yang kesemuanya merupakan batas dari efikasi diri untuk mencapai

tujuan tugas yang spesifik (Omu, 2010).Mayoritas percaya bahwa

religiusitas/spiritualitas dapat membantu pasien dalam mengatasi penyakit kronis

seperti diabetes.Religiusitas membantu pasien menginduksi keadaan pikiran positif

dan menyediakan dukungan emosional melalui kegiataan keagamaan yang dilakukan

(Diabetes Initiative National Program Office 2009).Banyak studi menyebutkan

bahwa religiusitas (kepatuhan dalam beragama) berdampak baik bagi kesehatan

(Chappoti et al. dalam Satrianegara, 2014).Hampir 350 penelitian kesehatan fisik dan

kesehatan mental pada umumnya telah menggunakan agama dan spiritual yang

menghubungkan dengan hasil kesehatan yang lebih baik.Hampir 90% pasien

mengakui dirinya religius atau beragama dengan baik.Kebanyakan pasien dengan

masalah kesehatan yang serius atau kronis yang berumur tua pada umumnya lebih

religius karena merasa nyaman dengan aktivitas keagamaan seperti berdoa dan

meditasi pada saat berjuang menghadapi penyakitnya (Koenig dalam Satrianegara,

2014).
6

Penelitian Kartikasari (2014) menunjukkan bahwa 16% dari pasien diabetes

melitus memiliki religiusitas sedang dan sebanyak 44% memiliki religiusitas

tinggi.Hasil penelitian Damayanti et al. (2011) menunjukkan bahwa mayoritas

responden yang mengidap diabetes melitus mempunyai spiritualis yang baik yaitu

sebanyak 83 orang (81,4%), sedangkan spiritualis kurang baik sebanyak 19 orang

(18,6%). Mayoritas responden dengan efikasi diri baik sebanyak 87 orang (85,3%),

sedangkan efikasi diri kurang baik sebanyak 15 orang (18,6%).Individu dengan

tingkat spiritualitas tinggi lebih memungkinkan rejimen pengobatan yang

direkomendasikan, melakukan perilaku perawatan diri yang positif pada manajemen

diabetes.

Seorang penderita diabetes yang menginternalisasikan religiusitas dalam

kehidupannya diharapkan dapat memiliki keyakinan akan segala sesuatu yang terjadi

padanya merupakan kebaikan dari Tuhan danmenjadikan motivasi untuknya dalam

meningkatkan efikasi dirinya sehingga dapat menimbulkan rasa bahagia dan

mencegah untuk jatuh dalam perasaan terpuruk, kecewa, dan putus asa (Hutama,

2013).Ketika seseorang memiliki efikasi diri dan religiusitas yang baik, maka ia akan

memiliki motivasi yang tinggi pula dalam mewujudkan keinginannya menjadi yang

terbaik untuk meraih emosi yang positif (Istiqomah dan Hasan dalam Hutama,

2013).Berdasarkan latar belakang tersebut peneliti ingin melakukan penelitian tentang

hubungan religiusitas dengan efikasi diri pada pasien DM tipe 2 di wilayah kerja

Puskesmas Patrang.
7

1.2 Rumusan Masalah

Bagaimanakah hubungan antara religiusitas dengan efikasi diri pada pasien

diabetes melitus (DM) tipe 2di wilayah kerja Puskesmas Patrang Kabupaten Jember?

1.3 Tujuan Penelitian

1.3.1 Tujuan Umum

Tujuan umum penelitian ini adalah menganalisis hubungan antara religiusitas

dengan efikasi diri pada pasien diabetes melitus (DM) tipe 2 di wilayah kerja

Puskesmas Patrang Kabupaten Jember.

1.3.2 Tujuan Khusus

Tujuan khusus dari penelitian ini antara lain:

a. mengidentifikasi karakteristik pasien DM tipe 2 di wilayah kerja Puskesmas

Patrang Kabupaten Jember

b. mengidentifikasi religiusitas pasien DM tipe 2 di wilayah kerja Puskesmas

Patrang Kabupaten Jember

c. mengidentifikasi efikasi diri pasien DM tipe 2 di wilayah kerja Puskesmas

Patrang Kabupaten Jember

d. menganalisis hubungan antara religiusitas dengan efikasi diri pada pasien

diabetes melitus (DM) tipe 2 di wilayah kerja Puskesmas Patrang Kabupaten

Jember.
8

1.4 Manfaat Penelitian

1.4.1 Manfaat bagi Peneliti

Penelitian ini diharapkan dapat meningkatkan pengetahuan dan pemahaman

peneliti khususnya tentang hubungan religiusitas dengan efikasi diri pada pasien

diabetes melitus (DM)tipe 2.

1.4.2 Manfaat bagi Pendidikan

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi untuk pengembangan

tindakan keperawatan pada pasien diabetes melitus (DM) tipe 2, dan bagi mahasiswa

untuk menambah informasi dalam asuhan keperawatan untuk pasien diabetes melitus

tipe 2.

1.4.3 Manfaat bagi Profesi Keperawatan

Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi sumber informasi dalam

pemberianasuhan keperawatan secara komprehensif dengan mengkaji faktor

religiusitas dan efikasi diri pasien diabetes melitus tipe 2.

1.4.4 Manfaat bagi Masyarakat

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi kepada

masyarakat mengenai religiusitas dan hubungannya dengan efikasi diri pasien

diabetes melitus tipe 2.


9

1.5 Keaslian Penelitian

Penelitian terdahulu yang mendasari penelitian ini adalah penelitian yang

dilakukan olehYesi Ariani, Ratna Sitorus, dan Dewi Gayatri dengan judul Motivasi

dan Efikasi Diri Pasien Diabetes Melitus Tipe 2 dalam Asuhan Keperawatan.

Penelitian ini dilakukan pada tahun 2010 dengan tujuan untuk mengidentifikasi

hubungan antara motivasi dengan efikasi diri pasien DM tipe 2 di RSUP X

Medan.Jenis penelitian ini menggunakan desain penelitian analitik cross sectional

dengan jumlah sampel penelitian 110 pasien DM tipe 2 dengan alat ukur

menggunakan kuesioner. Teknik pengambilan sampel dengan menggunakan teknik

purposive sampling.Hasil penelitian yang dianalisis menggunakan uji Chi Square.

Penelitian saat ini berjudul hubungan religiusitas dengan efikasi diri pada

pasien diabetes melitus (DM) tipe 2 di Wilayah Kerja Puskesmas Patrang Kabupaten

Jember.Tujuan penelitian ini untuk mengetahui hubungan religiusitas dengan efikasi

diri pada pasien diabetes mellitus (DM) tipe 2 di Wilayah Kerja Puskesmas Patrang

Kabupaten Jember. Desain penelitian adalah korelasi pendekatan cross sectional.

Sampel yang akan digunakan sebanyak 71 orang pasien DM tipe 2 dengan alat ukur

menggunakan kuesioner. Teknik pengambilan sampel dengan menggunakan teknik

consecutive sampling.
10

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Konsep Dasar Penyakit Diabetes

2.1.1 Pengertian Diabetes

Diabetes melitus merupakan sekelompok kelainan heterogen yang ditandai

oleh kenaikan kadar glukosa dalam darah atau hiperglikemia. Pada diabetes,

kemampuan tubuh untuk bereaksi terhadap insulin dapat menurun, atau pankreas

dapat menghentikan sama sekali produksi insulin keadaan ini menimbulkan

hiperglikemia yang dapat mengakibatkan komplikasi metabolik akut seperti diabetes

ketoasidosis dan sindrom hiperglikemik hiperosmoler nonketotik (NHK).

Hiperglikemia jangka panjang dapat ikut menyebabkan komplikasi mikrovaskuler

yang kronis seperti penyakit ginjal dan mata serta komplikasi neuropati.Diabetes

melitus tipe II adalah bentuk yang lebih sering dijumpai, sekitar 90% pasien dengan

diabetes. Pasien diabetes khasnya menderita obesitas, dewasa dengan usia lebih tua

dengan gejala ringan(Brunner & Suddarth, 2002).

2.1.2 Klasifikasi Diabetes

Klasifikasi diabetes yang utama adalah:

a. Tipe I: diabetes melitus tergantung insulin (Insulin Dependent Mellitus (IDDM))

b. Tipe II: diabetes melitus tidak tergantung insulin (Non Insulin Dependent

Diabetes Melitus (NIDDM))

c. Diabetes melitus yang berhubungan dengan keadaan atau sindrom lainnya


11

d. Diabetes melitus gestasional (Gestasional Diabetes Melitus (GDM)) (Brunner &

Suddarth, 2002).

2.1.3 Etiologi

Etiologi masing-masing diabetes antara lain:

a. Diabetes tipe 1

Diabetes tipe 1 ditandai oleh penghancuran sel-sel beta pankreas.Kombinasi

faktor genetik, imunologi, dan mungkin pula lingkungan (misalnya, infeksi virus)

diperkirakan turut menimbulkan destruksi sel beta.

Faktor-faktor genetik.Penderita diabetes tidak mewarisi diabetes tipe 1 itu sendiri

tetapi mewarisi suatu predisposisi atau kecenderungan genetik kearah terjadinya

diabetes tipe 1.Kecenderungan genetik ini ditemukan pada individu yang

memiliki tipe antigen HLA (human leucocyte antigen) tertentu. HLA merupakan

kumpulan gen yang bertanggung jawab atas antigen transplantasi dan proses

imun lainnya. 95% pasien berkulit putih (Caucasian) dengan diabetes tipe 1

memperlihatkan tipe HLA yang spesifik (DR3 atau DR4). Risiko terjadinya

diabetes tipe 1 meningkat tiga hingga lima kali lipat pada individu yang memiliki

salah satu dari kedua tipe HLA ini. Risiko tersebut meningkat sampai 10 hingga

20 kali lipat pada individu yang memiliki tipe HLA DR3 maupun DR4 (jika

dibandingkan dengan populasi umum).

Faktor-faktor imunologi.Pada diabetes tipe 1 terdapat bukti adanya suatu respons

autoimun. Respons ini merupakan respon abnormal dimana antibody terarah


12

pada jaringan normal tubuh dengan cara bereaksi terhadap jaringan tersebut yang

dianggapnya seolah-olah sebagai jaringan asing. Autoantibodi terhadap sel-sel

pulau Langerhans dan insulin endogen (internal) terdeteksi pada saat diagnosis

dibuat dan bahkan beberapa tahun sebelum timbulnya tanda-tanda klinis diabetes

tipe 1.

Faktor-faktor lingkungan.Penyelidikan juga sedang dilakukan terhadap

kemungkinan faktor-faktor eksternal yang dapat memicu destruksi sel beta.

Sebagai contoh hasil penyelidikan yang menyatakan bahwa virus atau toksin

tertentu dapat memicu proses autoimun yang menimbulkan destruksi sel beta

(Brunner & Suddarth, 2002).

b. Diabetes tipe 2

Mekanisme yang menyebabkan resistensi insulin dan gangguan sekresi insulin

pada diabetes melitus tipe 2 masih belum diketahui. Faktor genetik diperkirakan

memegang peranan dalam proses terjadinya resistensi insulin. Selain itu terdapat

pula faktor-faktor risiko tertentu yang berhubungan dengan proses terjadinya

diabetes tipe 2. Faktor-faktor ini adalah usia (resistensi insulin cenderung

meningkat pada usia di atas 65 tahun), obesitas, riwayat keluarga, kelompok

etnik (Brunner & Suddarth, 2002).

2.1.4 Patofisiologi

Pada diabetes tipe II terdapat dua masalah utama yang berhubungan dengan

insulin, yaitu resistensi insulin dan gangguan sekresi insulin.Untuk mengatasi


13

resistensi insulin dan mencegah terbentuknya glukosa dalam darah, harus terdapat

peningkatan jumlah insulin yang disekresikan.Meskipun terjadi gangguan sekresi

insulin yang merupakan ciri khas diabetes tipe II, namun masih terdapat insulin

dengan jumlah yang adekuat untuk mencegah pemecahan lemak dan produksi badan

keton yang menyertainya.Diabetes tipe II paling sering terjadi pada penderita diabetes

yang berusia lebih dari 30 tahun dan obesitas.Intoleransi glukosa yang berlangsung

lambat dan progresif, membuat awitan diabetes tipe II dapat berjalan tanpa terdeteksi

(Brunner & Suddarth, 2002).Intensitivitas jaringan terhadap insulin (resistensi

insulin) dan tidak adekuatnya respons sel β pankreas terhadap glukosa plasma yang

khas, menyebabkan penggunaannya yang terlalu rendah oleh jaringan.Walaupun

kebutuhan insulin bisa dikendalikan dengan diet dan obat hipoglikemik oral, namun

pada akhirnya banyak pasien yang memerlukan insulin tambahan (Rubenstein et al.,

2007).

2.1.5 Manifestasi Klinis

Gejala yang dialami pasien diabetes tipe II sering bersifat ringan mencakup

kelelahan, iritabilitas, poliuria, polidipsia, luka pada kulit yang lama sembuh, infeksi

vagina dan pandangan kabur (jika kadar glukosa sangat tinggi) (Brunner & Suddarth,

2002). Penggunaan glukosa yang tidak efisien dapat menyebabkan penurunan berat

badan dan selera makan berlebihan (polifagia). Kenaikan kadar glukosa darah

merupakan predisposisi terjadinya karies dentis (gigi yang keropos) dan


14

meningkatnya frekuensi infeksi seperti vaginitis karena kadar gula darah yang tinggi

merupakan media yang baik bagi pertumbuhan bakteri (Berkowitz, 2013).

Manifestasi klinis kerusakan renal berat meliputi edema perifer, mual dan

muntah, letih, gatal dan kenaikan berat badan tanpa direncanakan yang terjadi karena

penumpukan cairan.Manifestasi neuropati diabetik dapat terjadi setelah diagnosis

diabetes ditegakkan.Neuropati otonom merupakan bentuk neuropati diabetik yang

serius dan dapat mengakibatkan impotensi, gangguan saluran cerna, disfungsi

kandung kemih dan hipotensi ortostatik.Nyeri merupakan masalah serius yang

berkaitan dengan neuropati otonom (Chang, 2009).

2.1.6 Diagnosis

Kelainan utama dalam hasil laboratorium berupa kadar gula darah yang tinggi.

Kriteria diagnostik yang resmi adalah kadar glukosa plasma ≥ 126mg/dL, kadar

glukosa plasma sewaktu ≥ 200mg/dL dengan poliuria dan polidipsia, atau tes

toleransi glukosa dengan kadar glukosa plasma ≥ 200mg/dL (Berkowitz,

2013).Pemeriksaan perlu dilakukan pada kelompok dengan risiko tinggi untuk DM,

yaitu kelompok usia dewasa tua (>40 tahun), obesitas, tekanan darah tinggi, riwayat

keluarga DM, riwayat kehamilan dengan berat badan lahir bayi >4.000 g, riwayat

DM pada kehamilan, dan dislipidemia. Pemeriksaan penyaring dapat dilakukan

dengan pemeriksaan glukosa darah sewaktu, kadar glukosa darah puasa, kemudian

diikuti dengan Tes Toleransi Glukosa Oral (TTGO) standar. Untuk kelompok risiko

tinggi yang hasil pemeriksaan penyaringnya negatif, perlu pemeriksaan penyaring


15

ulangan tiap tahun.Bagi pasien berusia >45 tahun tanpa faktor risiko, pemeriksaan

penyaring dapat dilakukan setiap 3 tahun (Mansjoeret al., 2000).

Tabel 2.1kadar glukosa darah sewaktu dan puasa dengan metode enzimatik

sebagai patokan penyaring dan diagnosis DM (mg/dl)

Bukan DM Belum pasti DM


DM
Kadar glukosa darah sewaktu
Plasma vena < 110 110-199 >200
Darah kapiler < 90 90-199 >200
Kadar glukosa darah puasa
Plasma vena < 110 110-125 >126
Darah kapiler < 90 90-109 >110

Cara pemeriksaan TTGO , adalah:

1. tiga hari sebelum pemeriksaan pasien makan seperti biasa;

2. kegiatan jasmani sementara cukup, tidak terlalu banyak;

3. pasien puasa semalam selama 10-12 jam;

4. periksa glukosa darah puasa;

5. berikan glukosa 75 g yang dilarutkan dalam air 250 ml, lalu diminum dalam waktu

5 menit;

6. periksa glukosa darah 1 jam dan 2 jam sesudah beban glukosa;

7. selama pemeriksaan, pasien yang diperiksa tetap istirahat dan tidak

merokok(Mansjoeret al., 2000).

Keluhan dan gejala yang khas ditambah hasil pemeriksaan glukosa darah

sewaktu > 200 mg/dl atau glukosa darah puasa ≥ 126 mg/dl sudah cukup untuk
16

menegakkan diagnosis DM. Bila hasil pemeriksaan glukosa darah meragukan,

pemeriksaan TTGO diperlukan untuk memastikan diagnosis DM. Untuk diagnosis

DM dan gangguan toleransi glukosa lainnya diperiksa glukosa darah 2 jam setelah

beban glukosa. Sekurang-kurangnya diperlukan kadar glukosa darah 2 kali abnormal

untuk konfirmasi tidak diperlukan pada keadaan khas hiperglikemia dengan

dekompensasi metabolik akut, seperti ketoasidosis, berat badan yang menurun cepat,

dll(Mansjoeret al., 2000).

2.1.7 Komplikasi

Pada stadium yang lebih lanjut, seringkali setelah ditemukannya komplikasi

seperti retinopati atau penyakit kardiovaskular.Diabetes dapat menyebabkan

terjadinya retinopati (perubahan mikrovaskular pada retina yang menyebabkan

kebutaan), nefropati (yang dapat mengakibatkan gagal ginjal) dan neuropati

(Berkowitz, 2013).

Komplikasi secara luas dapat diklasifikasikan menjadi komplikasi

makrovaskular dan mikrovaskular.Komplikasi makrovaskular terjaid karena penyakit

aterosklerosis pada pembuluh darah besar yang meliputi penyakit vaskular jantung,

serebral, dan perifer.Komplikasi mikrovaskular biasanya hanya terjadi pada penderita

diabetes melitus yang nyata meliputi retinopati, nefropati dan neuropati diabetik

(Chang, 2009).
17

2.1.8 Penatalaksanaan

Tujuan utama terapi diabetes adalah mencoba menormalkan aktivitas insulin

dan kadar glukosa darah dalam upaya untuk mengurangi terjadinya komplikasi

vaskuler serta neuropatik. Tujuan terapeutik pada setiap tipe diabetes adalah

mencapai kadar glukosa darah normal (euglikemia) tanpa terjadinya hipoglikemia dan

gangguan serius pada pola aktivitas pasien. Ada 5 komponen dalam penatalaksanaan

diabetes antara lain diet, latihan, pemantauan, terapi (jika diperlukan), pendidikan.

Penanganan di sepanjang perjalanan penyakit diabetes akan bervariasi karena

terjadinya perubahan pada gaya hidup, kedaan fisik dan mental penderitanya di

samping karena berbagai kemajuan dalam metode terapi yang dihasilkan dari riset.

Penatalaksanaan diabetes meliputi pengkajian yang konstan dan modifikasi rencana

penanganan oleh professional kesehatan di samping penyesuaian terapi oleh pasien

sendiri setiap hari. Meskipun tim kesehatan akan mengarahkan penanganan tersebut,

namun pasien sendirilah yang harus bertanggung jawab dalam pelaksanaan terapi

yang kompleks itu setiap hari. Karena alasan ini, pendidikan pasien dan keluarganya

dipandang sebagai komponen yang penting dalam menangani penyakit diabetes

(Brunner & Suddarth, 2002).

Ada lima komponen dalam penatalaksanaan diabetes (Mansjoeret al., 2000):

a. diet

diet dan pengendalian berat badan meruapakan dasar dari penetalaksanaan

diabetes. Penatalaksanaan nutrisi pada pasien diabetes diarahkan untuk mencapai

tujuan berikut:
18

1) memberikan semua unsur makanan esensial (misalnya vitamin, mineral)

2) mencapai dan mempertahankan berat badan yang sesuai

3) memenuhi kebutuhan energi

4) mencegah fluktuasi kadar glukosa darah setiap harinya dengan mengupayakan

kadar glukosa darah mendekati normal melalui cara-cara yang aman dan

praktis

5) menurunkan kadar lemak darah jika kadar lemak meningkat.Bagi pasien-

pasien obesitas (khususnya pasien diabetes tipe II), penurunan berat badan

merupakan kunci dalam penanganan diabetes. Secara umum penurunan berat

badan bagi individu obesitas menjadi faktor utama untuk mencegah timbulnya

penyakit diabetes. Obesitas akan disertai peningkatan resistensi terhadap

insulin dan merupakan salah satu faktor etiologi utama yang menyertai

diabetes tipe II. Sebagian pasien diabetes tipe II yang obesitas dan memerlukan

insulin atau obat oral untuk mengendalikan kadar glukosa darahnya mungkin

dapat mengurangi secara signifikan atau bahkan menghambat sama sekali

kebutuhan terapi melalui penurunan berat badan. Bahkan penrunan berat badan

yang hanya 10% dari total berat badan dapat memperbaiki kadar glukosa darah

secara signifikan. Untuk pasien-pasien diabetes yang obesitas dan tidak

menggunakan insulin, konsistensi dalam hal volume makanan atau penentuan

jam makan tidak begitu menentukan. Sebaliknya, fokus utamanya terletak pada

penurunan keseluruhan jumlah kalori yang dimakan. Namun demikian, pasien

tidak boleh terlambat untuk makan. Pengaturan jarak waktu makan di


19

sepanjang hari akan membuat pankreas dapat melakukan fungsinya dengan

lebih teratur.

b. latihan

Latihan sangat penting dalam penatalaksanaan diabetes karena efeknya dapat

menurunkan kadar glukosa darah dan mengurangi faktor risiko kardiovaskuler.

Latihan akan menurunkan kadar glukosa darah dengan meningkatkan pengambilan

glukosa oleh otot dan memperbaiki pemakaian insulin. Sirkulasi darah dan tonus

otot juga diperbaiki dengan berolahraga. Latihan dengan cara melawan tahanan

(resistance training) dapat meningkatkan lean body mass dan dengan demikian

menambah laju metabolisme istirahat (resting metabolic rate). Semua efek ini

sangat bermanfaat pada diabetes karena dapat menurunkan berat badan,

mengurangi rasa stres dan mempertahankan kesegaran tubuh. Latihan juga akan

mengubah kadar lemak darah yaitu meningkatkan kadar HDL-kolesterol dan

menurunkan kadar kolesterol total serta trigliserida. Semua manfaat ini sangat

penting bagi pasien diabetes mengingat adanya peningkatan risiko untuk terkena

penyakit kardiovaskuler pada diabetes.

Pasien-pasien yang ikut serta dalam latihan yang panjang harus memeriksa kadar

glukosa darahnya sebelum, selama dans esudah periode latihan tersebut. Mereka

harus makan camilan yang mengandung karbohidrat jika diperlukan. Pada pasien

diabetes tipe II yang obesitas, latihan dan penatalaksanaan diet akan memperbaiki

metabolisme glukosa serta meningkatkan penghilangan lemak tubuh. Latihan yang

digabung dengan penurunan berat akan memperbaiki sensitivitas insulin dan


20

menurunkan kebutuhan pasien akan insulin atau obat hipoglikemia oral. Pada

akhirnya, toleransi glukosa dapat kembali normal.Pasien diabetes tiep II yang tidak

menggunakan insulin atau obat oral mungkin tidak memerlukan makanan ekstra

sebelum melakukan latihan.

c. pemantauan

dengan melakukan pemantauan kadar glukosa darah secara mandiri Self

Monitoring of Blood Glucose (SMBG), pasien diabetes kini dapat mengatur

terapinya untuk mengendalikan kadar glukosa darah secara optimal. Cara ini

memungkinkan deteksi dan pencegahan hipoglikemia serta hiperglikemia, dan

berperan dalam menentukan kadar glukosa darah normal yang kemungkinan akan

mengurangi komplikasi diabetes jangka panjang.

Bagi pasien yang tidak menggunakan insulin, pemantauan mandiri glukosa darah

sangat membantu dalam melakukan pemantauan terhadap efektivitas latihan, diet

dan obat hipoglikemia oral. Metode ini juga dapat membantu memotivasi pasien

untuk melanjutkan terapinya.Bagi pasien diabetes tipe II, pemantauan mandiri

glukosa darah harus dianjurkan dalam kondisi yang diduga dapat menyebabkan

hiperglikemia (misalnya, keadaan sakit) atau hipoglikemia (misalnya, peningkatan

aktivitas yang berlebihan).

Jika pasien tidak bersedia atau tidak mampu untuk melakukan pemeriksaan dengan

sering, maka pemeriksaan satu atau dua kali sehari mungkin sudah adekuat jika

waktu pemeriksaannya divariasikan (misalnya, pemeriksaan sebelum sarapan pada

hari pertama, pemeriksaan sebelum makan siang pada hari berikutnya,


21

dsb).Kecenderungan untuk menghentikan pemantauan mandiri glukosa darah

dapat terlihat pada pasien yang tidak pernah mendapatkan instruksi tentang cara

memanfaatkan hasil pemantauan untuk mengubah terapi. Instruksi dapat bervariasi

sesuai dengan tingkat pemahaman pasien dan filosofi dokter tentang

penatalaksanaan diabetes.

d. terapi

hormon insulin yang disekresikan oleh sel-sel pulau Langerhans yang bekerja

untuk menurunkan kadar glukosa darah post prandial dengan mempermudah

pengambilan serta penggunaan glukosa oleh sel-sel otot, lemak dan hati. Selama

periode puasa, insulin menghambat pemecahan simpanan glukosa, protein dan

lemak. Pada diabetes tipe II, insulin mungkin diperlukan sebagai terapi jangka

panjang untuk mengendalikan kadar glukosa darah jika diet dan obat hipoglikemia

oral tidak berhasil mengontrolnya. Di samping itu, sebagian pasien diabetes tipe II

yang biasanya mengendalikan kadar glukosa darah dengan diet atau dengan diet

dan obat oral kadang membutuhkan insulin secara temporer selama mengalami

sakit, infeksi, kehamilan, pembedahan atau beberapa kejadian stres lainnya.

Penyuntikan insulin sering dilakukan dua kali per hari untuk mengendalikan kadar

glukosa darah sesudah makan dan pada malam hari. Karena dosis insulin yang

diperlukan masing-masing pasien ditentukan oleh kadar glukosa darah yang akurat

sangat penting. Pemantauan mandiri kadar glukosa darah telah menjadi dasar

dalam memberikan terapi insulin.


22

e. pendidikan pasien

diabetes melitus merupakan sakit kronis yang memrlukan perilaku penanganan

mandiri yang khusus seumur hidup. Karena diet, aktivitas fisik dan stres fisik serta

emosional dapat mempengaruhi pengendalian diabetes, maka pasien harus belajar

untuk mengatur keseimbangan berbagai faktor. Pasien bukan hanya harus belajara

keterampilan untuk merawat diri sendiri setiap hari guna menghindari penurunan

atau kenaikan glukosa darah yang mendadak, tetapi harus memiliki perilaku

preventif dalam gaya hidup untuk menghindari komplikasi diabetik jangka

panjang.

Pasien diabetes tipe II yang baru terdiagnosis juga harus mempelajari beberapa

informasi dasar ini.Sebagian besar pelajaran yang diberikan mula-mula menekankan

pada diet.Bagi pasien yang baru memulai penggunaan preparat sulfonilurea oral,

pendidikan tentang hipoglikemia sangat penting dan harus diberikan.Jika penyakit

diabetes sudah diderita selama bertahun-tahun tanpa terdeteksi, barangkali pasien

telah mengalami beberapa komplikasi diabetes yang kronis.Jadi, bagi sebagian pasien

diabetes tipe II yang baru terdeteksi, pendidikan dasar tentang diabetes harus

mencakup informasi tentang ketrampilan preventif seperti perawatan kaki dan mata.

Meningkatnya pengetahuan yang lebih dalam tentang diabetes dapat terjadi secara

informal di sepanjang usia pasien (melalui pengalaman dan saling bertukar

pengalaman dengan pasien lain). Dan secara formal (melalui program pendidikan

yang berkelanjutan).
23

2.2 Religiusitas

2.2.1 Pengertian religiusitas

Religi atau agama bukanlah merupakan sesuatu yang tunggal, tetapi

merupakan sistem yang terdiri dari beberapa aspek.Di dalam psikologi agama dikenal

adanya kesadaran beragama (religious consiousness) dan pengalaman beragama

(religious experience). Dalam bergama, orang senantiasa menerapkan prinsip

kebersyukuran. Ketika mendapatkan sesuatu yang baik dia akan berterima kasih dan

meningkatkan pengabdiannya kepada Tuhan. Ketika mendapatkan musibah, maka dia

akan dengan rela menerimanya sebagai bagian dari dirinya dan bersabar dalam

menjalaninya (Subandi, 2013).

2.2.2 Dimensi religiusitas

Menurut Hutoro (dalam Subandi, 2013) dimensi religiusitas ada lima yaitu:

a. Religious belief (the ideological dimension)

Dimensi keyakinan yaitu tingkatan sejauh mana seseorang menerima hal-hal

dogmatik dalam agama. Misalnya dalam agama Islam, dimensi keyakinan ini

tercakup dalam rukun iman yang terdiri dari iman kepada Allah, iman kepada

malaikat Allah, iman kepada Rasul Allah, iman kepada kitab Allah, iman kepada

hari kiamat, dan iman kepada takdir.

b. Religious practice (the ritual dimension)

Dimensi peribadatan yaitu tingkatan sejauh mana seseorang mengerjakan

kewajiban-kewajiban ritual dalam agama yang dianutnya. Dalam agama Islam,


24

dimensi ini dikenal dengan Rukun Islam, yaitu: mengucapkan kalimat syahadat,

melaksanakan shalat, membayar zakat, melaksanakan puasa di bulan Ramadhan

dan menjalankan haji bagi yang mampu.

c. Religious feeling (the Experiential Dimension)

Dimensi pengalaman dan penghayatan beragama, yaitu perasaan atau pengalaman

keagamaan yang pernah dialami dan dirasakan.Misalnya merasa dekat dengan

tuhan, merasa takut berbuat dosa, merasa do’a yang dikabulkan atau diselamatkan

Tuhan.Di dalam afama Islam aspek ini banyak dibicarakan dalam ilmu Tasawuf

yang dikenal dengan aspek Ihsan.

d. Religious knowledge (the Intelectual Dimension)

Dimensi pengetahuan atau dimensi ilmu yaitu seberapa jauh seseorang mengetahui

tentang ajaran-ajaran agamanya, terutama yang ada di kitab suci maupun yang

lainnya.Di dalam agama Islam dimensi ini termasuk dalam pengetahuan tentang

ilmu Fiqih, ilmu Tauhid dan ilmu Tasawuf.

e. Religious Effect (the Consequential Dimension)

Dimensi amal yaitu dimensi yang mengukur sejauh mana perilaku seseorang

dimotivasi oleh ajaran agamanya di dalam kehidupan sosial.Misalnya,

mengunjungi tetangga yang sakit, menolong orang yang kesulitan, mendermakan

harta.
25

2.2.3 Tipe religiusitas

Berdasarkan teori James (dalam Subandi, 2013) ada dua tipe beragama, yaitu:

a. The healthy minded (jiwa yang sehat)

Orang yang memiliki jiwa yang sehat secara kognitif cenderung melihat segala

sesuatu di sekitarnya sebagai sesuatu yang baik dan selalu optimis melihat masa

depan serta senantiasa mempunyai harapan bahwa Tuhan akan memberikan

pertolongan melalui jalan yang tidak pernah diperkirakan sebelumnya. Secara

afektif emosional mereka senantiasa merasa gembira dan bahagia.Dalam

hubungan dengan orang lain, cenderung bersikap terbuka, beorientasi keluar yang

dapat menerima pandangan dan pemikiran keberagaman dari orang lain, baik

seagama maupun berbeda agama.

b. The thick soul (jiwa yang sakit)

Orang yang memiliki jiwa yang sakit secara kognitif mereka lebih

mengembangkan sikap pesimis, yaitu selalu melihat sisi negatif dalam memandang

segala sesuatu. Secara emosional dia akan didominasi oleh rasa sedih, merasa

penuh dosa yang tidak terampuni. Mereka bersikap introvert, berorientasi pada diri

sendiri, tertutup dan menganggap dirinya dan kelompoknya sebagai yang paling

benar.
26

2.2.4 Faktor yang Mempengaruhi Religiusitas

Menurut Thouless (2000), faktor-faktor yang sudah diakui bisa menghasilkan

sikap keagamaan, faktor-faktor itu terdiri dari empat kelompok yang ada dalam

perkembangan sikap keagamaan sebagai berikut.

a. Pengaruh pendidikan atau pengajaran dan berbagai tekanan sosial (faktor sosial).

Faktor ini mencakup semua pengaruh sosial dalam perkembangan keagamaan

itu, termasuk pendidikan dari orang tua, tradisi-tradisi sosial, tekanan dari

lingkungan sosial untuk menyesuaikan diri dengan berbagai pendapat dan sikap

yang disepakati oleh lingkungan itu.

b. Berbagai pengalaman yang membantu sikap keagamaan, terutama pengalaman-

pengalaman mengenai sebagai berikut.

1. Keindahan, keselarasan, dan kebaikan di dunia lain (faktor alami).

2. Konflik moral (faktor moral).

3. Pengalaman emosional kegamaan (faktor afektif)

c. Faktor-faktor yang seluruhnya atau sebagian timbul dari kebutuhan-kebutuhan

yang tidak terpenuhi, terutama kebutuhan-kebutuhan terhadap keamanan, cinta

kasih, harga diri, dan ancaman kematian.

d. Berbagai proses pemikiran verbal (faktor intelektual). Beberapa hal yang dapat

mempengaruhi religiusitas antara lain yaitu pengaruh pendidikan atau pengajaran

dan berbagai tekanan sosial (faktor sosial), pengalaman keagamaan, faktor yang

tumbuh dari kebutuhan yang tidak terpenuhi (keamanan, cinta kasih, harga diri,

dan kematian), serta berbagai proses pemikiran verbal (faktor intelektual).


27

2.2.5 Pengukuran Religiusitas

Pengukuran religiusitas antara lain:

a. The Centrality of Religiosity Scale (CRS)

CRS mengukur secara umum intensitas dari lima teoritis dimensi inti religiusitas.

Dimensi inti mengacu pada model multidimensi agama oleh Charles

Glock.Pendekatan Glock adalah berasal dari sosiologi agama.Ia mendefinisikan

lima dimensi inti dari agama yang merupakan kerangka acuan umum untuk

penelitian empiris: intelektual, yang ideologis, ritualistik, pengalaman, dan

dimensi konsekuensial. CRS memiliki tiga item per dimensi. Ini adalah versi

dengan discriminance dimensi tertinggi, yaitu, memungkinkan pengukuran

dimensi inti dengan kehandalan tertinggi dan akurasi dan dengan demikian

paling diterapkan jika pengaruh diferensial dimensi pada fenomena lain yang

menarik. Dalam tiga studi reliabilitas individu dimensi berkisar 0,80-0,93, dan

0,92-0,96 untuk seluruh CRS (Huber, 2012).

b. Religious Orientation Scale (ROS)

ROS yang dikembangkan oleh Allport & Ross (1967), adalah salah satu metode

yang paling luas digunakan dalam mengeksplorasi hubungan antara perilaku

keagamaan dan kesehatan.ROS dikembangkan atas dasar teori bahwa di balik

perilaku keagamaan ada motif.ROS berisi 14 pertanyaan.Pertanyaan-pertanyaan

ini dijawab dengan jenis skala yaitu 5 skala likert (Darvyri et al., 2014).
28

c. System of Belief Inventory (SBI)

SBI adalah alat yang dirancang untuk memperoleh keyakinan agama utama

(keyakinan pada transendensi dan makna transenden hidup manusia) serta

hadirnya untuk praktik agama (subskala keyakinan, 10 item), dan dukungan yang

diterima oleh komunitas agama (subskala dukungan, 5 item). Skor dari setiap

item didasari oleh 4-point (dari 0 sampai 3) skala Likert. Skor total berkisar

antara 0 dan 30 untuk subskala kepercayaan dan antara 0 dan 15 untuk subskala

dukungan, dengan tinggi skor yang menunjukkan tingkat religiusitas yang lebih

tinggi. Skor tersebut untuk seluruh kuesioner dengan menjumlahkan dua nilai

subskala (Ripamonti et al., 2010).

2.3 Efikasi Diri (Self Efficacy)

2.3.1 Definisi efikasi diri

Efikasi diri adalah kepercayaan seseorang terhadap kemampuannya untuk

melakukan sesuatu pada tingkat yang diinginkan dimana kemampuan tersebut didapat

melalui sebuah kejadian yang berpengaruh pada hidup orang tersebut.Kepercayaan

terhadap efikasi diri menentukan bagaimana seseorang merasakan sesuatu, berpikir,

memotivasi diri mereka sendiri, dan bertindak (Bandura, 1994).

2.3.2 Sumber Efikasi Diri

Menurut Bandura (1994), keyakinan seseorang tentang efikasi mereka dapat

dikembangkan oleh empat sumber utama, antara lain.


29

a. Performance accomplishment. Jika seseorang hanya mengalami suatu kejadian

yang mudah, mereka cendeurng menginginkan hasil yang cepat dan mudah

menyerah jika gagal. Efikasi yang mampu bertahan memerlukan pengalaman

dalam mengatasi tantangan dengan usaha yang gigih. Kemunduran dan

kesusahan dalam usaha manusia untuk mengejar keinginannya berguna untuk

memberi manusia pelajaran bahwa sukses membutuhkan usaha yang

berkelanjutan. Setelah seseorang yakin bahwa mereka telah memiliki persiapan

yang cukup untuk menjadi sukses, maka mereka bertahan dalam kesusahan dan

akan kembali dengan cepat saat mengalami kemunduran. Dengan tetap

berpegang teguh pada hal ini dalam masa – masa susah, maka manusia akan

menjadi lebih kuat dari tiap kesusahan yang dialami.

b. Vicarious experience. Cara kedua untuk menciptakan dan menguatkan

kepercayaan pada efikasi diri adalah dengan mengamati pengalaman yang telah

dialami orang lain lewat model – model sosial. Dengan melihat orang yang mirip

dengan diri sendiri menjadi sukses dengan usaha yang gigih membuat keyakinan

pengamat menjadi tinggi dan percaya bahwa mereka juga punya kemampuan

yang sama dan mampu untuk sukses. Dalam hal yang sama, saat melihat

seseorang yang gagal setelah berusaha sekeras – kerasnya, maka hal ini akan

menurunkan tingkat kepercayaan seseorang pada efikasi dirinya dan

meremehkan kemampuannya.

c. Verbal persuasion. Persuasi sosial adalah cara ketiga untuk memperkuat

kepercayaan seseorang terhadap dirinya sendiri bahwa orang tersebut mampu


30

untuk sukses. Seseorang yang dibujuk secara verbal bahwa mereka memiliki

kemampuan untuk menguasai keadaan cenderung untuk berusaha dengan gigih

dan mempertahankannya dibandingkan dengan mereka yang meragukan diri

mereka sendiri dan bergumul dengan kekurangan diri mereka saat sebuah

masalah muncul.

d. Emotional arousal. Cara keempat untuk memodifikasi kepercayaan seseorang

terhadap efikasi dirinya adalah dengan mengurangi reaksi stres seseorang dan

mengalihkan kecenderungan emosi negatif mereka dan kesalahan misinterpretasi

terhadap keadaan fisiknya.

2.3.3 Pengaruh Efikasi Diri terhadap proses dalam diri manusia

Menurut Bandura (1994), efikasi diri akan mempengaruhi proses dalam diri

manusia antara lain.

a. Proses Kognitif

Efek dari keyakinan terhadap efikasi diri pada proses kognitif dapat dilihat

dalam berbagai bentuk. Banyak perilaku manusia, yang bertujuan, diatur dengan

pemikiran yang mewujudkan tujuan berharga. Penetapan tujuan pribadi dipengaruhi

oleh penilaian diri sendiri terhadap kemampuannya sendiri. Semakin kuat efikasi diri

yang dirasakan, semakin tinggi juga tujuan yang ditetapkan untuk diri mereka sendiri

dan lebih tegas juga komitmennya.


31

b. Proses Motivasi

Keyakinan terhadap efikasi diri memainkan peran kunci dalam regulasi

motivasi diri. Kebanyakan motivasi manusia dihasilkan melalui proses kognitif.

Orang memotivasi diri dan membimbing tindakan antisipasi mereka dengan latihan

pemikiran. Mereka membentuk keyakinan tentang apa yang bisa mereka lakukan.

Mereka mengantisipasi kemungkinan hasil dari tindakan yang mereka lakukan.

Mereka menetapkan tujuan untuk diri mereka sendiri dan merencanakan program

yang dirancang untuk mewujudkan masa depan mereka.

c. Proses Afektif

Keyakinan orang dalam kemampuan mereka mempengaruhi berapa banyak

stres dan depresi yang dapat mereka atasi dalam sebuah situasi yang mengancam atau

sulit, begitu juga tingkat motivasi mereka. Efikasi diri secara sadar untuk

mengendalikan hal – hal yang menimbulkan stres memainkan peran sentral dalam

mengatasi kecemasan. Orang-orang yang percaya bahwa mereka dapat melakukan

kontrol atas ancaman tidak tidak akan terganggu dengan munculnya pola – pola

pikiran yang menggangu. Tapi orang-orang yang percaya bahwa mereka tidak bisa

mengelola ancaman akan mengalami kecemasan yang tinggi. Mereka memikirkan

cara mengatasi kekurangan mereka. Mereka melihat banyak aspek lingkungan di

sekitar mereka sebagai lingkungan yang penuh dengan bahaya.Mereka memperbesar

kemungkinan ancaman dan khawatir tentang hal-hal yang jarang terjadi.Dengan

berpikir seperti itu mereka akan menyebabkan diri mereka sendiri tertekan dan

merusak tingkat fungsionalitas mereka. Efikasi diri yang secara sadar mengatur
32

perilaku penghindaran serta kecemasan. Semakin kuat rasa efikasi diri seseorang,

maka orang tersebut akan semakin berani dalam mengambil resiko dan mengikuti

kegiatan yang berbahaya.

d. Proses Seleksi

Sejauh ini, diskusi yang ada menekankan pada proses – proses dimana efikasi

diri terlibat yang memungkinkan orang untukmenciptakan lingkungan yang

menguntungkan dan berlatih untuk mengendalikan apa yang mereka temui sehari-

hari.Manusia adalah sebagian hasil dari lingkugan mereka sendiri.Oleh karena itu,

keyakinan terhadapa efikasi diri dapat membentuk arah kehidupan dengan

mempengaruhi mereka jenis kegiatan dan lingkungan yang dipilih

seseorang.Seseorang cenderung menghindari aktivitas dan situasi yang mereka

percaya melebihi kemampuan mereka. Tapi mereka akan siap untuk melakukan

kegiatan menantang dan situasi yang mereka nilai mampu mereka hadapi.Dengan ini,

orang memiliki kompetensi, kepentingan dan jaringan social yang berbeda, dimana

pada akhirnya menentukan alur kehidupan.Faktor - faktor yangmempengaruhi

perilaku seseorang dapat juga mempengaruhi arah perkembangan pribadi.Hal ini

karena pengaruh sosial yang beroperasi pada lingkungan yang dipilih terus

mempromosikan kompetensi, nilai-nilai, dan minat tertentujauh sebeleum keputusan

efikasional menampakkan efeknya.


33

2.3.4 Perkembangan Efikasi Diri Selama Masa Hidup

Menurut Bandura (1994), perkembangan perubahan mental dalam sifat dan

ruang lingkup yang dirasakan efikasi diri selama hidup yakni sebagai berikut.

a. Asal dari Rasa Pribadi

Bayi yang baru lahir tidak memiliki rasa diri.Pengalaman eksplorasi mereka di

mana mereka sadar bahwa mereka menghasilkan efek melalui tindakan mereka untuk

memberikan dasar awal untuk mengembangkan rasa efikasi diri.Dengan berulang kali

mengamati bahwa apa yang terjadi pada lingkungan mereka dengan melakukan

sebuahtindakan, tetapi tidak dalam ketiadaan, bayi belajar bahwa sebuah tindakan

menghasilkan efek.Bayi yang berhasil dalam mengendalikan peristiwa di lingkungan

sekitar mereka menjadi lebih memperhatikan perilaku mereka sendiri dan lebih

kompeten dalam mempelajari respon – respon baru, daripada bayi mengalami

peristiwa dan lingkungan yang sama terlepas dari bagaimana tindakan mereka.

b. Sumber Efikasi Diri Keluarga

Mengalami keberhasilan dalam latihan kontrol pribadi adalah hal penting

dalam tahap pengembangan awal kompetensi sosial dan kognitif.Orang tua yang

responsif terhadap perilaku bayi mereka, dan menciptakan kesempatan bagi tindakan

– tindakan efikasi dengan menyediakan lingkungan fisik yang diperkaya dan

memungkinkan dalam kebebasan bergerak untuk eksplorasi, memiliki bayi yang

cepat dalam perkembangan sosial dan kognitif mereka.Orang tua yang tanggap

meningkatkan kompetensi kognitif, dan kemampuan bayi yang diperluas

menimbulkan respon orangtua yang lebih besar dalam pengaruh dua


34

arah.Perkembangan bahasa memberikan anak-anak cara simbolik untuk

merefleksikan pengalaman mereka dan apa yang dikatakan orang lain kepada mereka

tentang kemampuan mereka dan, dengan demikian, akan memperluas pengetahuan

diri mereka tentang apa yang bisa dan tidak bisa mereka lakukan.

c. Perluasan Efikasi Diri melalui Pengaruh Rekan Sebaya

Pengujian efikasi anak – anak mengalami perubahan secara substansial ketika

mereka bergerak ke dalam komunitas yang lebih besar.Mempunyai hubungan dengan

teman sebaya mereka akan memperluas pengetahuan diri atas kemampuan

mereka.Dengan menjadi berpasangan, mereka akan mengalami fungsi efikasi diri

yang penting.Mereka yang paling berpengalaman dan kompeten akan memberikan

model efikasi dalam berpikir dan berperilaku.Sejumlah besar pembelajaran sosial

terjadi saat mereka berpasang-pasangan.Selain itu, pasangan yang seusia akan

menyediakan perbandingan yang sangat informatif dalam menilai dan memverifikasi

efikasi diri seseorang.Karena itu, anak – anak menjadi sangat sensitif terhadap

dimana mereka berdiri secara relatif di antara rekan-rekan mereka dalam kegiatan

yang menentukan wibawa dan popularitas.

d. Sekolah sebagai Badan Pembentukan Efikasi Diri Kognitif

Selama periode formatif penting dalam kehidupan anak-anak, fungsi sekolah

sebagai pembentukan utama dalam membentuk dan validasi sosial terhadap

kompetensi kognitif.Sekolah adalah tempat di mana anak-anak mengembangkan

kompetensi kognitif dan memperoleh pengetahuan dan keterampilanpemecahan

masalah yang penting untuk berpartisipasi secara efektif dalam masyarakat yang lebih
35

besar.Disini pengetahuan dan keterampilanberpikir mereka terus diuji, dievaluasi, dan

dibandingkansecara sosial.

e. Pertumbuhan Efikasi Diri melalui PengalamanTransisi Remaja

Setiap periode perkembangan membawa serta tantangan baru untuk mengatasi

efikasi.Sebagai remaja mendekati tuntutan dewasa, mereka harus belajar untuk

bertanggung jawab penuh untuk diri mereka sendiri di hampir setiap dimensi

kehidupan.Hal ini memerlukan menguasai banyak keterampilan baru dan cara-cara

masyarakat dewasa.Belajar bagaimana menghadapi perubahan pubertas, hubugan

emosional dan seksualitas menjadi masalah yang sangat penting.Memilih pekerjaan

apayang harus dikejar juga munculdalam periode ini.Hal – hal ini sedikit dari

banyaknya area di mana kompetensi baru dan keyakinan diri terhadap efikasi diri

harus dikembangkan.

f. Kekhawatiran Efikasi Diri pada Masa Dewasa

Dewasa awal adalah masa ketika orang harus belajar untuk mengatasi

berbagai tuntutan baru yang timbul dari kemitraan yang langgeng, hubungan

perkawinan, orang tua, dan karir kerja.Seperti dalam tugas penguasaan sebelumnya,

rasa yang kuat dari efikasi diri merupakan kontributor yang penting untuk mencapai

kompetensi yang lebih lanjut dan kesuksesan.Mereka yang masuk masa dewasa

dengan buruk dan tidak memiliki keterampilan yang cukup dan diganggu oleh

keraguan diri akan menemukan banyak aspek dari kehidupan dewasa mereka yang

menimbulkan stres dan depresi.


36

g. Penilaian Ulang Efikasi Diri pada Usia Lanjut

Isu-isu efikasi diri pada usia lanjut bertumpu pada penilaian ulang dan

kesalahan dalam penilaian kemampuan mereka.Konsepsi biologis penuaan berfokus

secara ekstensif pada kemampuan yang menurun.Banyak kemampuan fisik yang

menurun saat seseorang bertambah tua, dengan demikian, orang tersebut

membutuhkan penilaian ulang efikasi dirinya dalam kegiatan fisik dimana fungsi

biologisnya telah terpengaruh secara signifikan.Namun, orang tersebut akan

mendapatkan keuntungan dari pengetahuan, keterampilan, dan keahlian mereka yang

akan mengkompensasi beberapa kerugian dalam kapasitas fisik mereka.Ketika orang

tua diajarkan untuk menggunakan kemampuan intelektual mereka, perbaikan fungsi

kognitif mereka akan lebih dari penurunan rata-rata kinerja selama lebih dari dua

dekade.Karena orang jarang memanfaatkan potensi penuh mereka, orang tua yang

berusaha lebih yang diperlukan dapat berfungsi pada tingkat yang lebih tinggi dari

orang dewasa awal.Dengan mempengaruhi tingkat keterlibatan dalam kegiatan,

efikasi diri yang dirasakan dapat berkontribusi pada pemeliharaan fungsi sosial, fisik

dan intelektual selama rentang kehidupan usia lanjut.


37

2.3.5 Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan Efikasi Diri

Faktor-faktor yang mempengaruhi efikasi diri antara lain.

a. Usia

Usia 40-65 tahun disebut juga tahap keberhasilan yaitu waktu untuk pengaruh

maksimal, membimbing diri sendiri dan menilai diri sendiri, sehingga pasien

memiliki efikasi diri yang baik (Potter & Perry, 2005).

b. Jenis Kelamin

Responden dengan jenis kelamin perempuan menunjukkan efikasi diri yang baik

dibandingkan dengan responden yang berjenis kelamin laki-laki (Ariani, 2011).

c. Tingkat Pendidikan

Responden dengan tingkat pendidikan tinggi menunjukkan efikasi diri yang baik

dibandingkan dengan responden yang tingkat pendidikannya rendah. Tingkat

pendidikan umumnya akan berpengaruh terhadap kemampuan dalam mengolah

informasi (Ariani, 2011).

d. Status Pernikahan

Responden yang masih memiliki pasangan hidup menunjukkan efikasi diri yang

baik dibandingkan dengan responden yang berstatus janda/duda (Ariani,

2011).Tingkat dukungan sosial yang lebih besar, terutama dukungan terkait

diabetes dari pasangan dan anggota keluarga lainnya, dikaitkan dengan

kepatuhan rejimen yang lebih baik.Dukungan sosial juga berfungsi untuk

menyangga efek buruk dari stres pada manajemen diabetes (Delamater, 2006).
38

e. Status Sosial Ekonomi

Rata-rata responden yang berpenghasilan lebih tinggi mempunyai efikasi diri

yang baik daripada responden yang berpenghasilan rendah (Ariani,

2011).Seseorang yang bekerja memiliki kepercayaan diri yang lebih tinggi untuk

mengatasi masalah (Wantiyah, 2010).

f. Lama Menderita DM

Pasien yang telah menderita DM >11 tahun memiliki efikasi diri yang baik

daripada pasien yang menderita DM <10 tahun. Hal ini disebabkan karena

pasien telah berpengalaman mengelola penyakitnya dan memiliki koping yang

baik (Wu et al dalam Ariani, 2011).

g. Dukungan Keluarga

Responden yang mendapatkan dukungan keluarga yang baik menunjukkan

efikasi diri yang baik dibandingkan dengan responden yang kurang mendapat

dukungan keluarga (Ariani, 2011).Hubungan keluarga memainkan peran penting

dalam pengelolaan diabetes.Studi telah menunjukkan bahwa tingkat konflik yang

rendah, tingkat kohesi dan organisasi yang tinggi, dan pola komunikasi yang baik

dikaitkan dengan ketaatan rejimen yang lebih baik (Delamater, 2006).

h. Depresi

Responden yang tidak depresi menunjukkan efikasi diri yang baik dibandingkan

dengan responden yang mengalami depresi (Ariani, 2011). Tingkat stress yang

tinggi dan koping yang maladaptive dikaitkan dengan masalah kepatuhan.

Masalah psikologis seperti kecemasan, depresi, dan gangguan makan juga


39

dikaitkan dengan manajemen diabetes yang buruk pada remaja dan orang dewasa

dengan diabetes.Studi DAWN menunjukkan bahwa sejumlah besar pasien

diabetes memiliki kesehatan psikologis yang buruk dan penyedia layanan

melaporkan bahwa masalah psikologis ini mempengaruhi kepatuhan rejimen

(Delamater, 2006).

2.3.6 Pengukuran Efikasi Diri

Pengukuran efikasi diri pada pasien DM tipe 2 dengan menggunakan Diabetes

Management Self Efficacy Scale (DMSES) yang dikembangkan oleh van der Bijl

(1999) dan dimodifikasi oleh Shi (2010). Kuesioner telah diterjemahkan ke dalam

bahasa Indonesia oleh Rondhianto (2011) yang terdiri dari 20 pertanyaan dengan

skala likert 1-5. Pertanyaan tersebut mengkaji kemampuan dalam mengecek gula

darah (3 pertanyaan), mengatur diet dan menjaga berat badan ideal (11 pertanyaan),

aktivitas fisik (2 pertanyaan), perawatan kaki (1 pertanyaan) dan program pengobatan

(3 pertanyaan). Uji validitas dengan rumus korelasi product moment didapatkan nilai

r diatas 0,658>0,228 (p,0,05) dan uji reliabilitas didapatkan nilai cronbach alpha

0,975 (Rondhianto, 2011).

2.4 Hubungan antara Religiusitas dengan Efikasi Diri pada Pasien Diabetes

Melitus

Penyakit DM merupakan salah satu penyakit kronik yang mengganggu

kemampuan untuk melanjutkan gaya hidup normal dan kualitas hidup pasien akibat
40

dari komplikasi yang muncul seperti gagal jantung, stroke, ulkus diabetik, kebutaan

dan gagal ginjal kronik. Akibat dari komplikasi ini kemandirian pasien dapat sangat

terancam, yang menyebabkan ketakutan, ansietas, dan kesedihan yang menyeluruh.

Ketergantungan pada orang lain untuk mendapat perawatan diri rutin dapat

menimbulkan perasaan tidak berdaya dan persepsi tentang penurunan kekuatan

batiniah atau spiritualitas. Kekuatan tentang spiritualitas pada pasien DM dapat

menjadi faktor penting dalam menghadapi perubahan yang diakibatkan oleh

penyakitnya.Keberhasilan dalam mengatasi perubahan yang diakibatkan oleh

penyakit kronis dapat menguatkan seseorang secara spiritual. Pasien yang kuat secara

spiritual akan membentuk kembali identitas diri dan hidup dengan baik (Potter &

Perry, 2005).

Religiusitas dekat dengan konsep spiritualitas.Spiritualitas dianggap sebagai

sebuah bentuk religiusitas personal.James (dalam Purnama, 2011), religiusitas ialah

pengalaman mistis (mystical experience) mengenai objek-objek yang abstrak (the

reality of unsen) seperti Tuhan.Kekuatan agama terletak pada nuansa spiritual yang

dimiliki oleh manusia.Walaupun mungkin tidak harus memperlihatkan symbol agama

secara formal, spiritualitas dapat diperlihatkan dan dimunculkan oleh individu-

individu yang memilikinya.

Seseorang dengan penyakit kronis sering menderita gejala yang melumpuhkan

dan mengganggu kemampuan untuk melanjutkan gaya hidup normal. Kemandirian

dapat sangat terancam, menyebabkan ketakutan, ansietas, kesedihan yang menyeluruh

bahkan dapat menimbulkan stres. Ketergantungan pada orang lain dalam perawatan
41

diri rutin dapat menimbulkan perasaan tidak berdaya dan penurunan kekuatan

batiniah. Seseorang mungkin merasa kehilangan tujuan dalam hidup untuk

menghadapi perubahan fungsi yang dialami.Kekuatan spiritual dapat menjadi faktor

penting dalam menghadapi perubahan yang diakibatkan oleh penyakit kronis.

Seseorang yang kuat secara spiritual akan membentuk kembali identitas diri dan

hidup dalam potensi dirinya (Purwaningrum, 2013).

Aktivitas spiritual yang dilakukan oleh pasien dapat meningkatkan persepsi

positif terhadap makna/arti hidup, religiusitas, harapan dan menumbuhkan kekuatan

dalam diri pasien. Hal tersebut penting untuk menekan tingkat stres karena kebutuhan

akan arti hidup adalah universal yang merupakan esensi dari hidup itu sendiri, ketika

seseorang tidak dapat menemukan arti hidup akan mengalami stress. Sedangkan

memiliki harapan dan keinginan hidup adalah penting bagi orang yang sehat maupun

sakit, untuk orang yang sakit merupakan faktor penting dalam proses penguatan diri

ataupun penyembuhan (Purwaningrum, 2013).

Religiusitas memiliki peran dalam efikasi diri. Tanggapan yang umum

diungkapkan adalah percaya pada Tuhan, penerimaan dan harapan akan masa depan

yang lebih baik, yang kesemuanya merupakan batas dari efikasi diri untuk mencapai

tujuan tugas yang spesifik (Omu, 2010). Mayoritas percaya bahwa

religiusitas/spiritualitas dapat membantu pasien dalam mengatasi penyakit kronis

seperti diabetes.Religiusitas membantu pasien menginduksi keadaan pikiran positif

dan menyediakan dukungan emosional melalui kegiataan keagamaan yang dilakukan

(Diabetes Initiative National Program Office 2009).Banyak studi menyebutkan


42

bahwa religiusitas (kepatuhan dalam beragama) berdampak baik bagi kesehatan

(Chappoti et al. dalam Satrianegara, 2014).Hampir 350 penelitian kesehatan fisik dan

kesehatan mental pada umumnya telah menggunakan agama dan spiritual yang

menghubungkan dengan hasil kesehatan yang lebih baik.Hampir 90% pasien

mengakui dirinya religius atau beragama dengan baik.Kebanyakan pasien dengan

masalah kesehatan yang serius atau kronis yang berumur tua pada umumnya lebih

religius karena merasa nyaman dengan aktivitas keagamaan seperti berdoa dan

meditasi pada saat berjuang menghadapi penyakitnya (Koenig dalam Satrianegara,

2014).Pasien yang memiliki religiusitas yang tinggi berpengaruh terhadap kondisi

fisik yang semakin membaik, terlihat lebih tenang dan tidak terlihat seperti orang

sakit.Hal ini dikarenakan pasien ikhlas dalam menerima sakit (Anggraeni et al.,

2015).

Spiritual merupakan komitmen tertinggi dan prinsip yang paling kuat dalam

diri individu terhadap pilihan yang dibuat dalam hidupnya.Efikasi diri didefinisikan

sebagai penilaian, kepercayaan atau keyakinan diri untuk mampu melakukan tugas-

tugas tertentu, mengatur dan melaksanakan program tindakan yang diperlukan dalam

mencapai tujuan yang diinginkan.Efikasi diri merupakan penentu penting dari

perilaku sehat dan kepatuhan terhadap rejimen pengobatan.Efikasi diri dapat

mempengaruhi seseorang untuk memilih, kemampuan untuk bertahan dan tangguh

menghadapi kesulitan.Efikasi diri membantu seseorang dalam menentukan pilihan,

usaha untuk maju, kegigihan dan ketekunan dalam mempertahankan tugas-tugasnya


43

yang mencakup kehidupan mereka.Efikasi diri mempengaruhi bagaimana seseorang

berfikir, merasa, memotivasi diri sendiri dan bertindak (Damayanti et al., 2011).

Puchalski (2009) menyatakan bahwa tidak semua penyakit dapat disembuhkan

namun selalu ada ruang untuk healing atau penyembuhan.Penyembuhan dapat

dimaknai sebagai penerimaan terhadap penyakit dan ketentraman dalam kehidupan

dan spiritual menjadi inti dari penyembuhan.Penyembuhan mengacu kepada

kemampuan seseorang mendapatkan kebahagiaan, kenyamanan, koneksi, makna, dan

tujuan hidup dalam penderitaan maupun rasa sakit yang dialami (Nuraeni et al.,

2015).Individu dengan tingkat spiritualitas tinggi lebih memungkinkan rejimen

pengobatan yang direkomendasikan, melakukan perilaku perawatan diri yang positif

pada manajemen diabetes (Damayanti et al., 2011).

Pengelolaan DM memerlukan waktu yang lama, sehingga membutuhkan

perubahan perilaku.Tujuan dari perubahan perilaku pasien DM adalah untuk

meningkatkan kepatuhan pasien DM. Salah satu faktor kunci dalam mencapai

perubahan perilaku adalah dengan efikasi diri.Efikasi diri dapat memberikan

pengaruh terhadap perubahan perilaku dengan mempengaruhi bagaimana seseorang

berpikir, memotivasi diri, dan bertindak.Efikasi diri dapat mempengaruhi komitmen

pasien (Rahman et al., 2017).

Seorang penderita diabetes yang menginternalisasikan religiusitas dalam

kehidupannya diharapkan dapat memiliki keyakinan akan segala sesuatu yang terjadi

padanya merupakan kebaikan dari Tuhan dan menjadikan motivasi untuknya dalam

meningkatkan efikasi dirinya sehingga dapat menimbulkan rasa bahagia dan


44

mencegah untuk jatuh dalam perasaan terpuruk, kecewa, dan putus asa (Hutama,

2013). Efikasi diri adalah prediktor utama dari perilaku yang dapat mempengaruhi

dimulainya tugas, jumlah usaha yang dikeluarkan dalam melaksanakan tugas dan

lamanya waktu orang tersebut akan memenuhi tugas. Efikasi diri dapat

mengoptimalkan kepatuhan terhadap rejimen diabetes.Efikasi diri menyediakan

sumber-sumber untuk mengatasi stres akibat rejimen perawatan yang rumit, seperti

penatalaksanaan DM tipe 2 (Damayanti et al., 2011). Ketika seseorang memiliki

efikasi diri dan religiusitas yang baik, maka ia akan memiliki motivasi yang tinggi

pula dalam mewujudkan keinginannya menjadi yang terbaik untuk meraih emosi

yang positif (Istiqomah dan Hasan dalam Hutama, 2013).


45

2.5 Kerangka Teori

Faktor Risiko1: Perawatan Diri Pasien DM2 3:


a. Usia a. Diet
b. Obesitas DM Tipe 2 b. Latihan fisik
c. Riwayat keluarga c. Monitoring kadar gula darah
d. Kelompok etnik d. Manajemen obat
e. Perawatan kaki
Sumber Efikasi Diri5:
a. Performance
Faktor yang berhubungan accomplishment
dengan Efikasi Diri4: b. Vicarious experience
a. Usia c. Verbal persuasion Religiusitas Faktor yang mempengaruhi
b. Jenis kelamin d. Emotional arousal Religiusitas7:
c. Tingkat pendidikan a. Pendidikan
d. Status pernikahan b. Pengalaman
e. Status sosial ekonomi c. Kebutuhan yang tidak
f. Lama menderita DM terpenuhi
g. Dukungan keluarga Efikasi Diri d. Proses pemikiran verbal
h. Depresi

Dimensi Religiusitas8:
a. Ideologis
Pengaruh Efikasi Diri6:
b. Ritualistik
a. Proses kognitif
c. Pengalaman
b. Proses motivasi
d. Intelektual
c. Proses afektif
e. Konsekuensi
d. Proses seleksi

Gambar 2.5 Kerangka Teori

Sumber: (1) Brunner & Suddarth (2002), (2) Mansjoer et al. (2000), (3) PERKENI
(2015), (4) Ariani (2011), (5) (6) Bandura (1994), (7) Thouless (2000), (8) Hutoro dalam
Subandi (2013).
46

BAB 3. KERANGKA KONSEP

Bab ini menjelaskan mengenai kerangka konsep penelitian dan hipotesis

penelitian mengenai hubungan religiusitas dengan efikasi diri pada pasien diabetes

melitus tipe 2 di wilayah kerja Puskesmas Patrang.

3.1 Kerangka Konsep

Religiusitas pada pasien Efikasi diri pada pasien


DM tipe 2 DM tipe 2

Faktor yang mempengaruhi Faktor yang berhubungan dengan


religiusitas: efikasi diri:

1. Pengaruh pendidikan 1. Usia


2. Pengalaman 2. Jenis kelamin
3. Faktor yang timbul dari 3. Tingkat pendidikan
kebutuhan yang tidak 4. Status pernikahan
terpenuhi 5. Status sosial ekonomi
4. Proses pemikiran verbal 6. Lama menderita DM
7. Dukungan keluarga
8. Depresi

Gambar 3.1 Kerangka Konseptual Penelitian

Keterangan:

: diteliti
47

: tidak diteliti

: diteliti

: tidak diteliti

3.2 Hipotesis Penelitian

Hipotesis adalah kesimpulan teoritis yang masih harus dibuktikan

kebenarannya melalui analisis terhadap bukti-bukti empiris.Setelah melalui

pembuktian dari hasil penelitian, maka hipotesis ini dapat benar atau salah, dapat

diterima atau ditolak (Setiadi, 2007). Hipotesis dari penelitian ini adalah Ha : ada

hubungan antara religiusitas dengan efikasi diri pada pasien diabetes melitus tipe 2 di

wilayah kerja Puskesmas Patrang Kabupaten Jember.


48

BAB 4. METODE PENELITIAN

4.1 Desain Penelitian

Desain penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah observasional

analitik dengan pendekatan cross sectional. Cross sectional adalah suatu penelitian

untuk mempelajari dinamika korelasi antara faktor-faktor resiko dengan efek dengan

cara pendekatan observasi atau pengumpulan data sekaligus pada satu waktu (point

time approach) (Notoatmodjo, 2010). Variabel religiusitas dan efikasi diri pada

pasien DM tipe 2 akan diukur sekali saja pada waktu yang sama.

4.2 Populasi dan Sampel

4.2.1 Populasi Penelitian

Populasi adalah keseluruhan objek yang diteliti (Notoatmodjo, 2010).Populasi

dalam penelitian ini adalah seluruh pasien DM tipe 2 yang terdata di wilayah kerja

Puskesmas Patrang pada April 2016 – Maret 2017 yakni berjumlah 243 orang.
49

4.2.2 Sampel Penelitian

Sampel penelitian adalah sebagian dari keseluruhan objek yang diteliti yang

dianggap mewakili seluruh populasi (Notoatmodjo, 2010).Sampel penelitian ini

adalah pasien DM tipe 2 yang berada di wilayah kerja Puskesmas Patrang yang telah

sesuai dengan kriteria inklusi dan eksklusi.Teknik pengambilan sampel dalam

penelitian ini menggunakan jenis non probability sampling dan teknik sampling yang

digunakan adalah consecutive sampling.Consecutive sampling merupakan

pengambilan sampel dengan menetapkan subjek yang memenuhi kriteria penelitian

dimasukkan dalam penelitian sampai kurun waktu tertentu dan secara berurutan,

sehingga jumlah klien yang diperlukan terpenuhi (Sastroasmoro & Ismail, 2000).

Penentuan besarnya sampel dalam penelitian ini menggunakan rumusan

Slovin (Notoatmodjo, 2010) sebagai berikut:

N
n =
1 + N(d2 )

Keterangan:

N : Besar Populasi

n : Besar Sampel

d : Penyimpangan terhadap populasi yang diinginkan yaitu 10% atau 0,1

Hasil perhitungan sampel menggunakan rumus Slovin:

243
n=
243. (0,1)2 + 1
50

243
n=
3,43

n = 71 responden

Jumlah sampel pada penelitian ini sebanyak 71 orang.

4.2.3 Kriteria Subjek Penelitian

Kriteria subjek dalam penelitian ini dapat dikelompokkan dalam kriteria

inklusidan kriteria eksklusi.Kriteria inklusi merupakan kriteria subjek penelitian yang

dapat mewakili sampel penelitian yang memenuhi syarat untuk dijadikan sampel.

a. Kriteria inklusi

1. Klien terdiagnosa diabetes melitus tipe 2 di wilayah kerja Puskesmas

Patrang

2. Pasien yang berusia 30-65 tahun

3. Bisa berkomunikasi dengan baik

4. Bersedia menjadi responden

b. Kriteria eksklusi

1. Pasien memiliki penyakit penyerta seperti stroke dan penyakit jantung

2. Pasien dengan keterbatasan fisik seperti buta dan tuli

3. Pasien mengalami gangguan mental seperti Alzheimer dan demensia

4.3 Tempat Penelitian

Penelitian ini akan dilaksanakan di wilayah kerja Puskesmas Patrang,

Kecamatan Patrang.
51

4.4 Waktu Penelitian

Waktu penelitian terhitung mulai dari pembuatan proposal sampai

penyusunan laporan dan publikasi penelitian yaitu pada bulan Maret–Mei 2017.

Tabel 4.1 Alokasi Waktu Penelitian


Bulan

Kegiatan Maret April Mei Juni

1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4

Penetapan
Judul
Studi
Pendahuluan
Penyusunan
Proposal
Seminar
Proposal
Pelaksanaan
Penelitian
Sidang Hasil

4.5 Definisi Operasional

Definisi operasional adalah unsur penelitian yang menjelaskan bagaimana

caranya menentukan variabel dan mengukur suatu variabel (Setiadi, 2007).Definisi

operasional pada penelitian yang berjudul Hubungan Religiusitas dengan Efikasi Diri

pada Pasien Diabetes Melitus (DM) Tipe 2 di Wilayah Kerja Puskesmas Patrang.
52

Tabel 4.2 Definisi operasional

No Variabel Definisi Indikator Alat ukur Skala Hasil


1. Variabel Religiusitas merupakan 1. Ideologis Kuesioner Interval Nilai minimal = 19
bebas: perasaan spiritual pada 2. Ritualistik religiusitas Nilai maksimal =
Religiusitas pasien DM tipe 2 yang 3. Pengalaman 76
dapat membantu 4. Intelektual
mengorganisasikan 5. Konsekuensi
kehidupan sehari-
harinya.

2. Variabel Efikasi diri merupakan 1. Keyakinan terhadap Kuesioner Interval Nilai minimal = 20
terikat: keyakinan individu kemampuan pengecekan gula dari The Nilai maksimal =
Efikasi diri akan kemampuannya darah Diabetes Self 100
untuk mengatur dan 2. Keyakinan terhadap Management
melakukan perawatan kemampuan pengaturan diet dan Self-Efficacy
diri dan mencegah menjaga BB ideal Scale for tipe
komplikasi DM tipe 2 3. Keyakinan terhadap 2 DM
kemampuan melakukan aktifitas (DMSES)
fisik
4. Keyakinan terhadap
kemampuan perawatan kaki
5. Keyakinan terhadap program
pengobatan
53

4.6 Pengumpulan Data

4.6.1 Sumber Data

a. Data primer

Data primer adalah data yang diperoleh sendiri oleh peneliti dari hasil

pengukuran, pengamatan, survei, dan lain-lain (Setiadi, 2007).Data primer pada

penelitian ini yaitu data hasil pengisian kuesioner yang berisi beberapa item

pertanyaan tentang religiusitas dengan efikasi diri. Data primer lain dalam penelitian

ini yaitu karakteristik responden yang meliputi jenis kelamin, usia, lama menderita

DM, status menikah, pendidikan, dan pekerjaan.

b. Data Sekunder

Data sekunder adalah data yang diperoleh peneliti dari pihak lain, badan atau

instansi atau lembaga yang secara rutin mengumpulkan data (Setiadi, 2007). Data

sekunder yang digunakan dalam penelitian ini adalah data dari Puskesmas Patrang

terkait jumlah kunjungan dan jumlah pasien DM yang terdapat di wilayah kerja

Puskesmas Patrang.

4.6.2 Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data dalam penelitian sangat penting karena digunakan

peneliti untuk mengetahui cara mendapatkan data dari responden. Peneliti

mengumpulkan data dengan cara melakukan pemberian kuesioner kepada responden

tentang variabel independen dan dependen yaitu religiusitas dan efikasi diri pada
54

pasien diabetes melitus tipe 2. Kuesioner tersebut kemudian akan diisi oleh responden

yang telah memenuhi kriteria inklusi. Penelitian akan dilakukan oleh peneliti sendiri

tanpa menggunakan numerator. Prosedur pengumpulan data pada penelitian ini

adalah sebagai berikut:

a. Sebelum melakukan penelitian, peneliti akan mengajukan surat permohonan ijin

penelitian kepada institusi pendidikan bidang akademik, Badan Kesatuan Bangsa

dan Politik Kabupaten Jember, Dinas Kesehatan Kabupaten Jember, dan Kepala

Puskesmas Patrang;

b. Peneliti menentukan responden penelitian sesuai kriteria data dari Puskesmas

Patrang;

c. Peneliti melakukan kunjungan ke rumah masing-masing pasien berdasarkan data

dari Puskesmas Patrang;

d. Responden yang memenuhi kriteria akan diberikan penjelasan mengenai

mekanisme penelitian;

e. Responden diminta menandatangani lembar persetujuan (informed concent) jika

bersedia berpartisipasi dalam penelitian;

f. Peneliti memberikan lembar kuesioner religiusitas dan lembar kuesioner DMSES

kepada responden untuk diisi dengan alokasi waktu 30-45 menit. Jika responden

kesulitan dalam membaca, maka peneliti membacakan isi kuesioner kepada

responden;
55

g. Peneliti melakukan cross-check ulang apabila ada jawaban yang belum terjawab

atau terlewati dan meminta responden menjawab pertanyaan yang terlewati atau

belum terjawab.

4.6.3 Alat Pengumpulan Data

Alat pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah kuesioner.

Kuesioner adalah suatu cara mengumpulkan data yang dilakukan dengan

membagikan sejumlah pertanyaan atau pernyataan kepada responden (Setiadi, 2007).

Kuesioner adalah sejumlah pertanyaan yang dapat mengukur variabel yang diukur

sehingga memiliki makna dalam pengujian hipotesis penelitian (Notoatmodjo, 2010).

Kuesioner yang digunakan berisi pertanyaan tentang sumber informasi tentang

religiusitas dan efikasi diri.Lembar kuesioner yang digunakan untuk religiusitas

disusun oleh peneliti Kartikasari (2014) dengan mengacu pada konsep Glock dan

Stark (1966).Kuesioner ini terdiri dari 19 pernyataan yang disusun berdasarkan

beberapa indikator yaitu dimensi ideologis, dimensi ritual, dimensi eksperiensial,

dimensi intelektual, dan dimensi konsekuensial. Nilai yang diberikan pada masing-

masing pernyataan favorable diberi skor 4 = sangat setuju, 3 = setuju, 2 = tidak

setuju, 1 = sangat tidak setuju. Nilai yang diberikan pada masing-masing pernyataan

unfavorable diberi skor 1 = sangat setuju, 2 = setuju, 3 = tidak setuju, 4 = sangat tidak

setuju. Rentang nilai religiusitas adalah 19-76.

Tabel 4.3Blue Print Kuesioner Skala Religiusitas

Indikator Favorable Unfavorable Jumlah


Ideologis 1,2 11,12 4
Ritualistik 3,4 13,14 4
56

Pengalaman 5,6 15,16 4


Intelektual 7,8 17,18 4
Konsekuensi 9,10 19 3
Total 10 19 19

Kuesioner yang digunakan untuk mengukur efikasi diri menggunakan

kuesioner DMSES yang dikembangkan oleh van der Bijl (1999) yang dimodifikasi

oleh Shi (2010) dan telah diterjemahkan oleh Rondhianto (2011) berjumlah 20

pernyataan. Kuesioner efikasi diri disusun berdasarkan beberapa indikator yaitu

kemampuan pengecekan gula darah, pengaturan diet dan menjaga berat badan ideal,

aktivitas fisik, perawatan kaki, dan mengikuti program pengobatan. Nilai yang

diberikan pada masing-masing pernyataan diberi skor 5 = sangat yakin, 4 = yakin, 3 =

cukup yakin, 2 = kurang yakin, dan 1 = tidak yakin. Rentang nilai efikasi diri adalah

20-100.

Tabel 4.4Blue Print Kuesioner Skala Efikasi Diri Pasien DM Tipe 2

Indikator Nomor Pernyataan Jumlah


Keyakinan terhadap kemampuan
1,2, 3 3
pengecekan gula darah
Keyakinan terhadap kemampuan
4, 5, 6, 9, 10, 13, 14,
pengaturan diet dan menjaga berat badan 9
15, 16
ideal
Keyakinan terhadap kemampuan
8, 11, 12, 17 4
melakukan aktivitas fisik
Keyakinan terhadap kemampuan
7 1
perawatan kaki
Keyakinan terhadap program pengobatan 18, 19, 20 3
Total 20 20
57

4.6.4 Uji Validitas dan Reliabilitas

Uji validitas dan reliabilitas merupakan suatu alat ukur yang menghasilkan

nilai kuantitatif yang merupakan syarat suatu instrumen dapat digunakan dalam

penelitian.Instrumen yang valid dan reliabel merupakan syarat untuk mendapatkan

hasil penelitian yang valid dan reliabel (Setiadi, 2007).Reliabilitas adalah indeks yang

menunjukkan sejauh mana suatu alat ukur dapat dipercaya atau dapat diandalkan. Hal

ini berarti menunjukkan sejauh mana hasil pengukuran itu tetap konsisten atau tetap

asas bila dilakukan pengukuran dua kali atau lebih terhadap gejala yang sama, dengan

menggunakan alat ukur yang sama (Notoatmodjo, 2010).

Uji validitas skala religiusitas telah dilakukan oleh Nofita Dwi Kartikasari

(2014) dengan meminta pertimbangan ahli terhadap 50 responden dengan nilai r tabel

pada uji validitas adalah 0,284.Hasil uji validitas didapatkan nilai r antara 0,302-

0,619.Hasil uji reliabilitas diperoleh nilai Crobanch’s Alpha sebesar α > 0,839.

Uji validitas skala efikasi diri telah dilakukan oleh Rondhianto (2012)

terhadap 10 responden yang menunjukkan nilai korelasi product moment dengan nilai

r diatas 0,228 – 0,658 (p < 0,05). Nilai reabilitas Cronbach’s Alpha adalah 0,975.

4.7 Pengolahan Data

Pengolahan data merupakan suatu proses untuk memperoleh data atau data

ringkasan berdasarkan suatu kelompok data mentah dengan menggunakan rumus

tertentu sehingga menghasilkan informasi yang diperlukan. Ada beberapa kegiatan

dalam pengolahan data, yaitu editing, coding, entry, dan cleaning (Setiadi, 2007).
58

4.7.1 Editing

Editingadalah memeriksa daftar pertanyaan yang telah diserahkan oleh para

pengumpul data.Pemeriksaan daftar pertanyaan yang telah selesai ini dilakukan

terhadap kelengkapan jawaban, keterbacaan tulisan, dan relevansi jawaban (Setiadi,

2007).Secara umum editing adalah merupakan kegiatan untuk pengecekan dan

perbaikan isian formulir atau kuesioner tentang kelengkapan, kejelasan setiap

jawaban dari masing-masing pertanyaan, relevan antara jawaban dengan pertanyaan,

konsisten antara jawaban pertanyaan yang satu dengan pertanyaan yang lainnya

(Notoatmodjo, 2010).

4.7.2 Coding

Coding adalah mengklasifikasikan jawaban-jawaban dari para responden

kedalam kategori. Biasanya klasifikasi dilakukan dengan cara memberi tanda/kode

berbentuk angka pada masing-masing jawaban (Setiadi, 2007).Jawaban yang telah

diberikan oleh responden menyesuaikan dengan kode yang dibuat oleh peneliti.

Pemberian coding pada penelitian ini meliputi:

a. Jenis kelamin

Laki-laki :1

Perempuan :2

b. Pendidikan

Tidak Sekolah :1

SD :2

SLTP :3
59

SLTA :4

Perguruan Tinggi :5

c. Status menikah

Tidak menikah :1

Menikah :2

d. Pekerjaan

Tidak bekerja :1

Petani :2

Wiraswasta :3

Pegawai swasta :4

PNS :5

Ibu rumah tangga :6

4.7.3 Processing/entry

Processing adalah proses memasukkan data dengan cara manual atau melalui

pengolahan program yang ada di komputer (Setiadi, 2007). Pengolahan data dalam

penelitian ini menggunakan program komputer.

4.7.4 Cleaning

Cleaning adalah pembersihan data dengan mengecek kembali untuk melihat

kemungkinan-kemungkinan adanya kesalahan-kesalahan kode, ketidaklengkapan, dan

sebagainya, kemudian dilakukan pembetulan atau koreksi (Notoatmodjo, 2010).


60

4.8 Analisa Data

Analisis data yang digunakan dalam penelitian tersebut meliputi:

4.8.1 Analisis Univariat

Analisis univariat digunakan untuk menggambarkan karakteristik setiap

variabel penelitian yang diukur (Notoatmodjo, 2010).Penelitian ini terdiri dari

karakteristik umum dan khusus. Karakteristik umum dari penelitian ini yang

merupakan karakteristik responden terdiri dari umur, jenis kelamin, pendidikan,

pekerjaan, status perkawinan, dan lama DM. Karakteristik khusus dari penelitian ini

terdiri dari variabel dependent yaitu efikasi diridan variabel independentyaitu

religiusitas. Bentuk analisis univariat tergantung dari jenis datanya. Jenis data

numerik yaitu usia dan lama mengalami DM digunakan nilai mean, median, dan

standar deviasi sedangkan jenis data kategorik yaitu jenis kelamin, tingkat

pendidikan, pekerjaan, status pernikahan menggunakan proporsi.

4.8.2 Analisis Bivariat

Analisa bivariat dilakukan untuk mengetahui hubungan antara variabel

independen religiusitas dan variabel dependen efikasi diri pasien DM tipe 2 sehingga

dapat diketahui ada atau tidaknya hubungan antara kedua variabel dengan

menggunakan uji statistik. Data akan dilakukan uji normalitas untuk menguji variabel

terikat dan variabel bebas keduanya mempunyai distribusi normal atau tidak normal

menggunakan kolmogorov-smirnov. Data dapat dikatakan terdistribusi normal apabila

p > 0,05.
61

Apabila data terdistribusi normal maka uji statistik yang digunakan yaitu

korelasi pearsonatau product moment yang jenis datanya harus berskala interval atau

rasio.Apabila data tidak terdistribusi normal menggunakan uji spearman.

Tabel 4.5 Panduan interpretasi hasil uji hipotesis berdasarkan kekuatan korelasi, nilai
p, dan arah korelasi
No. Parameter Nilai Interpretasi
1. Kekuatan korelasi (r) 0,00-0,199 Sangat lemah
0,20-0,399 Lemah
0,40-0,599 Sedang
0,60-0,799 Kuat
0,80-1,000 Sangat kuat
2. Nilai p p < 0,005 Terdapat korelasi yang
bermakna antara dua variabel
yang diuji.
p > 0,005 Tidak terdapat korelasi yang
bermakna antara dua variabel
yang diuji.
3. Arah korelasi + (positif) Searah, semakin besar nilai satu
variabel, semakin besar pula
nilai variabel lainnya.
- (negatif) Berlawanan arah, semakin
besar nilai suatau variabel,
semakin kecil nilai variabel
lainnya.
Sumber: Dahlan (2011)

4.9 Etika Penelitian

Semua penelitian yang erat kaitannya dengan manusia sebagai obyek harus

mempertimbangkan etika. Oleh karena itu, diperlukan suatu etika penelitian (Potter &

Perry, 2005), antara lain sebagai berikut.


62

4.9.1 Informed Consent

Lembar penelitian diberikan oleh peneliti kepada responden sebelum

penelitian dilakukan.Lembar persetujuan ini digunakan untuk memberikan informasi

maupun gambaran terkait penelitian kepada responden penelitian. Lembar

persetujuan merupakan sebuah cara untuk mencapai persetujuan antara peneliti

dengan responden penelitian. Lembar persetujuan berisi pernyataan kesediaan atau

penolakan responden dalam mengikuti kegiatan penelitian (Notoatmodjo, 2010).

Peneliti memberikan informed consent kepada responden yang sesuai dengan kriteria

inklusi dari penelitian ini. Sebagai bentuk kesediaan untuk menjadi responden,

peneliti meminta responden untuk menandatangani lembar persetujuan.

4.9.2 Asas Kemanfaatan

Kemanfaatan adalah prinsip untuk melakukan hal yang baik dan tidak

merugikan orang lain (Notoatmodjo, 2012). Penelitian ini dilakukan karena memiliki

manfaat yang mana religiusitas berguna untuk membangun efikasi diri pada pasien

diabetes melitus tipe 2.Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui apakah ada

hubungan religiusitas dengan efikasi diri.

4.9.3 Kerahasiaan

Kerahasiaan menjamin bahwa informasi apapun yang diberikan oleh

responden tidak dilaporkan dengan cara apapun untuk mengidentifikasi responden

dan tidak mungkin diakses oleh orang lain selain tim peneliti (Potter & Perry, 2005).

Kerahasiaan pada penelitian saat ini dilakukan oleh peneliti dengan cara penggunaan
63

anonimity berupa kode responden untuk mendokumentasikan responden dalam

pendokumentasian hasil penelitian di Universitas Jember.

4.9.4 Keadilan

Responden memiliki hak untuk diperlakukan secara adil dan baik sebelum,

selama, dan sesudah mengikuti penelitian tanpa adanya diskriminasi apabila ternyata

responden tersebut tidak bersedia atau dikeluarkan dari penelitian (Nursalam,

2008).Peneliti mempertimbangkan hak responden untuk mendapatkan perlakuan yang

sama baik sebelum, selama, maupun sesudah penelitian.


64

BAB 5. HASIL DAN PEMBAHASAN

Penelitian ini dilakukan di wilayah kerja Puskesmas Patrang dengan

mengambil data kunjungan pasien DM tipe 2 pada bulan April 2016 – Maret 2017

sebanyak 243 orang.

5.1 Hasil Penelitian

5.1.1 Karakteristik Responden

Karakteristik responden terdiri dari umur, jenis kelamin, pendidikan,

pekerjaan, status perkawinan, dan lama DM. karakteristik responden ini terdiri dari

dua jenis data yaitu jenis data numerik dan jenis data kategorik. Jenis data numerik

yaitu usia dan lama mengalami DM dalam bentuk nilai mean, median, dan standar

deviasi. Jenis data kategorik yaitu jenis kelamin, tingkat pendidikan, pekerjaan, status

pernikahan dalam bentuk proporsi. Table distribusi responden menurut usia dan lama

DM tertera pada table 5.1.

Table 5.1 Distribusi Responden Menurut Usia dan Lama DM pada Pasien DM Tipe

2 di Wilayah Kerja Puskesmas Patrang Kabupaten Jember Juni 2017 (n : 71)

Variabel Mean Median SD Min-


Maks
Usia (tahun) 55,96 58 7,03 38 - 65
Lama DM 4,08 3 3,21 1 - 13
(tahun)
Sumber : data primer peneliti (Juni 2017)
65

Berdasarkan tabel 5.1 diketahui usia rata-rata responden adalah 55,96 tahun

dengan standar deviasi 7,03. Usia minimal adalah 38 tahun dan usia maksimal adalah

65 tahun. Rata-rata lama DM adalah 4,08 tahun dengan standar deviasi 3,21. Lama

DM paling pendek adalah 1 tahun dan paling lama 13 tahun.

Tabel 5.2 Distribusi Responden Menurut Jenis Kelamin, Tingkat Pendidikan,

Pekerjaan, dan Status Pernikahan pada Pasien DM Tipe 2 di Wilayah Kerja

Puskesmas Patrang Kabupaten Jember Juni 2017 (n : 71)

Variabel Jumlah Presentase (%)


Jenis Kelamin
Laki-laki 30 42,3
Perempuan 41 57,7
Total 71 100
Tingkat Pendidikan
Tidak Sekolah 3 4,2
SD 32 45,1
SLTP 10 14,1
SLTA 21 29,6
Perguruan Tinggi 5 7
Total 71 100
Pekerjaan
Tidak Bekerja 3 4,2
PNS 3 4,2
Petani 1 1,4
Pegawai Swasta 7 9,9
Wiraswasta 27 38
Ibu Rumah Tangga 27 38
Lain-lain 3 4,2
Total 71 100
Status Pernikahan
Menikah 71 100
Belum Menikah 0 0
Total 71 100
Sumber : data primer peneliti (Juni 2017)
66

Distribusi responden meliputi jenis kelamin, tingkat pendidikan, pekerjaan,

status pernikahan dapat dilihat pada tabel 5.2. Tabel 5.2 menunjukkan lebih banyak

responden perempuan yaitu 41 orang (57,7%). Tingkat pendidikan terakhir paling

banyak adalah SD yaitu 32 orang (45,1%). Pekerjaan responden terbanyak adalah

wiraswasta dan ibu rumah tangga yaitu 27 orang (38%). Status pernikahan seluruh

responden adalah menikah yaitu 71 orang (100%)

5.1.2 Religiusitas

Hasil penelitian tentang religiusitas terdapat lima indicator yaitu ideologis,

ritualistik, pengalaman, intelektual, dan konsekuensi. Distribusi variabel religiusitas

terlampir pada tabel 5.3 dan 5.4.

Tabel 5.3 Nilai Rerata Religiusitas pada Pasien DM Tipe 2 di Wilayah Kerja

Puskesmas Patrang Kabupaten Jember Juni 2017; (n : 71)

Variabel Mean Median SD Min –


Maks
Religiusitas 73,27 76 5,33 50 - 76
Sumber: data primer peneliti (Juni 2017)

Tabel 5.4 Distribusi Responden Berdasarkan Kategori Religiusitas pada Pasien DM

Tipe 2 di Wilayah Kerja Puskesmas Patrang Kabupaten Jember Juni 2017 (n :

71)

Religiusitas Jumlah Presentase (%)


Religiusitas rendah 0 0
Religiusitas sedang 5 7,04
Religiusitas tinggi 66 92,96
Total 71 100,00
67

Sumber: data primer peneliti (Juni 2017)

Tabel 5.3 menunjukkan nilai rata-rata religiusitas adalah 73,27 dengan standar

deviasi 5,33. Skor minimal adalah 50 dan skor maksimal adalah 76. Tabel 5.4

menunjukkan presentase terbanyak religiusitas berada pada kategori tinggi yaitu

sebanyak 66 orang (92,96%).

Tabel 5.5 Nilai Rerata Indikator Religiusitas pada Pasien DM Tipe 2 di Wilayah

Kerja Puskesmas Patrang Kabupaten Jember Juni 2017 (n : 71)

Indikator Variabel Mean


Ideologis 3,85
Ritualistik 3,86
Pengalaman 3,87
Intelektual 3,83
Konsekuensi 3,85
Sumber: data primer peneliti (Juni 2017)

Tabel 5.5 menunjukkan nilai rerata perindikator religiusitas yang terbesar

adalah indikator pengalaman dengan nilai rata-rata 3,87. Nilai rata-rata terendah

terletak pada indikator intelektual dengan nilai rata-rata 3,83.

5.1.3 Efikasi Diri pada DM

Hasil penelitian tentang efikasi diri terdiri dari lima indikator yaitu, keyakinan

terhadap kemampuan pengecekan gula darah, keyakinan terhadap kemampuan

pengaturan diet dan menjaga BB ideal, keyakinan terhadap kemampuan melakukan

aktifitas fisik, keyakinan terhadap kemampuan perawatan kaki, dan keyakinan


68

terhadap program pengobatan. Nilai rerata efikasi diri responden dapat dilihat di tabel

5.6.

Tabel 5.6 Nilai Rerata Efikasi Diri pada Pasien DM Tipe 2 di Wilayah Kerja

Puskesmas Patrang Kabupaten Jember Juni 2017 (n: 71)

Variabel Mean Median SD Min –


Maks
Efikasi 80,20 80 2,85 75 – 94
diri
Sumber: data primer peneliti (Juni 2017)

Tabel 5.7 Distribusi Responden Berdasarkan Efikasi diri pada Pasien DM Tipe 2 di

Wilayah Kerja Puskesmas Patrang Kabupaten Jember Juni 2017 (n: 71)

Efikasi Diri Jumlah Presentase (%)


Rendah 0 0
Sedang 0 0
Tinggi 71 100
Total 71 100,00
Sumber: data primer peneliti (Juni 2017)

Berdasarkan tabel 5.6, rata-rata nilai efikasi diri responden yaitu 80,20 dengan

standar deviasi 2,85. Nilai efikasi diri terendah adalah 75 dan nilai efikasi diri

tertinggi adalah 94. Berdasarkan tabel 5.7, sebanyak 71 orang (100%) termasuk

kategori efikasi diri tinggi.


69

Tabel 5.8 Nilai Rerata Indikator Efikasi Diri pada Pasien DM Tipe 2 di Wilayah

Kerja Puskesmas Patrang Kabupaten Jember Juni 2017 (n: 71)

Variabel Mean
Pengecekan gula darah 4,11
Pengaturan diet dan BB ideal 3,95
Aktifitas fisik 3,92
Perawatan kaki 4,14
Program pengobatan 4,14
Sumber: data primer peneliti (Juni 2017)

Tabel 5.8 menunjukkan nilai rerata perindikator efikasi diri yang terbesar

adalah indikator perawatan kaki dan program pengobatan. Nilai rata-rata terendah

terletak pada indikator aktivitas fisik dengan nilai rata-rata 3,92.

5.1.4 Uji Normalitas

Uji normalitas yang digunakan adalah Kolmogorov-smirnov karena sampel

>50. Data dikatakan terditribusi normal jika p > 0,05. Uji normalitas dilakukan

terhadap variabel religiusitas dan efikasi diri.

Tabel 5.9 Hasil Uji Normalitas Variabel Religiusitas dan Efikasi Diri

Variabel p
Religiusitas 0.000
Efikasi Diri 0.000

Tabel 5.9 menunjukkan hasil uji normalitas variabel religiusitas dan efikasi

diri tidak terdistribusi normal karena p = 0,000 sehingga pada penelitian ini

menggunakan uji statistik spearman-rank karena data tidak terdistribusi normal.


70

5.1.5 Hubungan Religiusitas dengan Efikasi Diri pada Pasien DM Tipe 2 di Wilayah

Kerja Puskesmas Patrang

Analisa hubungan religiusitas dengan efikasi diri pada pasien DM tipe 2

menggunakan uji spearman dapat dilihat pada tabel 5.9.

Tabel 5.10 Analisa Hubungan Religiusitas dengan Efikasi Diri pada Pasien DM Tipe

2 di Wilayah Kerja Puskesmas Patrang Kabupaten Jember Juni 2017 (n: 71)

Variabel r P value
Religiusitas 0,291 0,014
Efikasi diri
Sumber: data primer peneliti (Juni 2017)

Hasil analisa data pada tabel 5.10 didapatkan hasil p value sebesar 0,014.

Penelitian ini menggunakan tingkat signifikasi 0,05 (5%). Hasil analisa didapatkan

bahwa p value < α (0,014<0,05), sehingga disimpulkan bahwa ada hubungan antara

religiusitas dengan efikasi diri pada pasien DM tipe 2 di wilayah kerja Puskesmas

Patrang. Korelasi (r) yang diperoleh sebesar 0,291 yang menunjukkan ada hubungan

dengan tingkat keeratan lemah antara religiusitas dengan efikasi diri pada pasien DM

tipe 2.

5.2 Pembahasan

5.2.1 Karakteristik Responden

a. Usia

Usia rata-rata responden penelitian adalah 55,96 tahun. Usia minimal adalah

38 tahun dan usia maksimal adalah 65 tahun. Probabilitas untuk terjadinya DM pada
71

usia <45 tahun da 45 tahun adalah lebih kurang 1 banding 6. Mereka dengan usia

lebih dari 45 tahun adalah kelompok usia yang berisiko menderita DM. DM

merupakan penyakit yang terjadi akibat penurunan fungsi organ tubuh (degeneratif)

terutama gangguan organ pankreas dalam menghasilkan hormon insulin, sehingga

DM akan meningkat kasusnya sejalan dengan pertambahan usia (Zahtamal et al.,

2007).

Responden penelitian memiliki rata-rata usia 55,96 tahun. Berdasarkan

Kemenkes RI (2013), 55,96 tahun termasuk kategori lansia awal atau pralansia.

Menurut Rahmi et al (2015), tingkat religiusitas lansia secara umum berada pada

kategori tinggi. Religiusitas yang tinggi memperlihatkan bahwa pada masa lansia

tingkat keberagamaan juga semakin meningkat. Kehidupan keagamaan pada lansia

sudah mencapai tingkat kemantapan. Semakin bertambah umur maka kematangan

beragama semakin meningkat. Religiusitas yang tinggi pada lansia memunculkan

suatu perasaan keterhubungan dengan Tuhan, ada suatu perasaan keintiman bahwa

dirinya dekat dengan Tuhan. Pada penelitian ini mayoritas responden sebanyak

92,96% termasuk dalam kategori religiusitas tinggi dan sebanyak 7,04% memiliki

religiusitas sedang.

Usia > 55 tahun dapat dikatakan memiliki efikasi diri yang baik, semakin

matang akan meningkatkan efikasi diri seseorang (GedeNgurah, 2014). Usia 40-65

tahun disebut juga tahap keberhasilan yaitu waktu untuk pengaruh maksimal,

membimbing diri sendiri dan menilai diri sendiri, sehingga pasien memiliki efikasi

diri yang baik (Potter & Perry, 2005).


72

b. Lama DM

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa rata-rata lamanya menderita DM

adalah 4,08 tahun dengan standar deviasi 3,21. Lama DM paling pendek adalah 1

tahun dan paling lama 13 tahun. DM tipe 2 merupakan penyakit yang baru

terdiagnosa saat telah timbulnya komplikasi yang terjadi selama bertahun-tahun.

Akibat intoleransi glukosa yang berlangsung lambat (selama bertahun-tahun) dan

progresif, maka awitan diabetes tipe 2 dapat berjalan tanpa deteksi (Smeltzer $ Bare,

2002).

Sepanjang waktu seiring dengan lamanya penyakit yang dialami, pasien dapat

belajar bagaimana seharusnya melakukan pengelolaan penyakitnya. Pengalaman

langsung pasien merupakan sumber utama terbentuknya efikasi diri (Bandura, 1997).

Semakin lama seseorang terdiagnosa penyakit, maka semakin baik mekanisme

koping dan banyak pengalaman yang dimiliki dalam menghadapi penyakitnya

sehingga akan memiliki efikasi diri yang jauh lebih baik (GedeNgurah, 2014).

c. Jenis Kelamin

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa responden perempuan lebih banyak

daripada laki-laki yaitu 41 orang (57,7%). Tingginya kejadian DM tipe 2 pada

perempuan dipengaruhi oleh beberapa faktor risiko, seperti obesitas, kurang

aktivitas/latihan fisik, usia, dan riwayat DM saat hamil. Perempuan berisiko lebih

tinggi mengalami DM tipe 2 daripada laki-laki. Ini dikarenakan beberapa faktor risiko

di atas lebih sering dialami wanita, terlebih lagi pada wanita yang sulit untuk

mengatur gaya hidupnya (GedeNgurah, 2014).


73

Responden dengan jenis kelamin perempuan menunjukkan efikasi diri yang

baik dibandingkan dengan responden yang berjenis kelamin laki-laki (Ariani, 2011).

Dilihat dari jenis kelamin, perempuan memiliki efikasi diri yang lebih baik dari laki-

laki. Perempuan dianggap lebih patuh dalam menjalani pengobatan dan perawatan

diri dibandingkan laki-laki. Selain itu perempuan memiliki mekanisme koping yang

lebih baik daripada laki-laki dalam menghadapi sebuah masalah (GedeNgurah, 2014).

d. Tingkat Pendidikan

Tingkat pendidikan merupakan indikator bahwa seseorang telah menempuh

jenjang pendidikan formal di bidang tertentu, namun bukan indikator bahwa

seseorang telah menguasai beberapa bidang ilmu. Seseorang dengan pendidikan yang

baik lebih matang terhadap proses perubahan pada dirinya, sehingga lebih mudah

menerima pengaruh luar yang positif, objektif dan terbuka terhadap berbagai

informasi termasuk informasi tentang kesehatan (Notoatmodjo, 2005). Penderita DM

yang memiliki pendidikan tinggi lebih mudah untuk mengakses berbagai informasi

mengenai penyakit dan penatalaksanaannya untuk mencegah terjadinya komplikasi

lebih lanjut yang dapat disebabkan oleh DM tipe 2 (GedeNgurah, 2014).

Ketidaktahuan seseorang tentang sesuatu dalam hal ini tentang DM tentunya

akan meningkatkan risiko orang tersebut untuk menderita DM. pada kenyataannya

hasil temuan menemukan bahwa pada kelompok kasus lebih banyak yang

berpengetahuan baik dari pada kelompok kontrol. Hal ini disebabkan karena sebagian

besar penderita DM (kelompok kasus) sudah menderita DM selama bertahun-tahun,

sehingga mereka mencari sumber-sumber informasi tentang DM. seseorang


74

cenderung berusaha mencari tahu atau mencari informasi setelah ia mengalami

gangguan/masalah atau berusaha mencari tahu apa permasalahan yang sedang

dihadapi dan bagaimana pemecahannya (Zahtamal et al., 2007).

e. Pekerjaan

Rata-rata responden yang berpenghasilan lebih tinggi mempunyai efikasi diri

yang baik daripada responden yang berpenghasilan rendah (Ariani, 2011). Seseorang

yang bekerja memiliki kepercayaan diri yang lebih tinggi untuk mengatasi masalah

(Wantiyah, 2010). Berbeda dengan GedeNgurah (2014), Kondisi pekerjaan

merupakan salah satu stressor bagi penderita DM tipe 2 yang dapat menurunkan

kemampuan seseorang untuk menyelesaikan masalah. Kondisi ini kemungkinan dapat

memperberat kondisi pasien DM tipe 2 yang berdampak pada penurunan efikasi diri

dan manajemen perawatan diri.

f. Status Pernikahan

Responden yang masih memiliki pasangan hidup menunjukkan efikasi diri

yang baik dibandingkan dengan responden yang berstatus janda/duda (Ariani, 2011).

Tingkat dukungan sosial yang lebih besar, terutama dukungan terkait diabetes dari

pasangan dan anggota keluarga lainnya, dikaitkan dengan kepatuhan rejimen yang

lebih baik. Dukungan sosial juga berfungsi untuk menyangga efek buruk dari stres

pada manajemen diabetes (Delamater, 2006). Pengaruh status pernikahan terkait

dengan dukungan keluarga yang merupakan indikator paling kuat memberikan

dampak positif terhadap perawatan diri pada pasien DM (Hensarling dalam Wahyuni,

2014).
75

Bentuk dukungan emosional keluarga dapat berupa dukungan simpati, empati,

cinta, kepercayaan dan penghargaan. Seseorang yang sedang mempunyai masalah

tidak merasa beban untuk dirinya sendiri, tetapi masih ada orang lain yang

memperhatikan, mendengarkan dan membantu memecahkan masalahnya. Bentuk

perhatian dari pasangan akan meningkatkan perawatan diri pasien DM tipe 2 yang

dapat menurunkan risiko komplikasi. Dukungan pasangan seperti mengingatkan dan

memantau makanan yang sesuai, mendukung usaha responden untuk olahraga,

membantu dalam hal pengobatan, dan memberikan informasi merupakan salah satu

hal yang mempengaruhi tingginya kualitas hidup pasien DM tipe 2 (Wahyuni 2014).

5.2.2 Religiusitas pada Pasien DM Tipe 2 di Wilayah Kerja Puskesmas Patrang

Kabupaten Jember

Religiusitas merupakan ekspresi spiritual seseorang yang berkaitan dengan

system keyakinan, nilai, symbol dan ritual. Hal tersebut berarti bahwa religiusitas

pada umumnya memiliki aturan-aturan yang harus dipatuhi dan dilaksanakan yang

berfungsi untuk mengikat seseorang dalam hubungan dengan Tuhan, sesama manusia

dan alam sekitar (Koenig dalam Hidayat, 2011). Religiusitas menunjukkan pada

tingkat keterikatan individu terhadap agamanya sehingga berpengaruh dalam segala

tindakan dan pandangan hidupnya (Ismail, 2009).

Hasil penelitian menunjukkan nilai rata-rata religiusitas adalah 73,27 dan

mayoritas responden masuk dalam kategori religiusitas tinggi yaitu sebanyak 66

orang (92,96%). Penelitian Kartikasari (2014) menunjukkan mayoritas responden


76

masuk kategori religiusitas tinggi sebanyak 22 orang (44%). Penelitian Satrianegara

(2014) menunjukkan mayoritas responden memiliki tingkat religiusitas sedang yaitu

sebanyak 24 orang (82,8%). Penelitian Hidayat (2016) menunjukkan bahwa

mayoritas responden masuk kategori religiusitas baik sebanyak 17 orang (54,8%).

Tingkat religiusitas ini dipengaruhi oleh beberapa faktor, diantaranya adalah

pengaruh pendidikan dan berbagai tekanan sosial (faktor sosial), pengalaman yang

pernah dialami yang mempengaruhi sikap keagamaan seperti perasaan mendapatkan

peringatan dari atau pertolongan dari Tuhan, faktor kebutuhan yang tidak terpenuhi

terutama kebutuhan keagamaan, cinta kasih, harga diri dan ancaman kematian dan

proses pemikiran verbal atau proses intelektual karena manusia adalah makhluk yang

dapat berfikir, sehingga manusia akan memikirkan tentang keyakinan-keyakinan dan

agama yang dianutnya

Mayoritas percaya bahwa religiusitas/spiritualitas dapat membantu pasien

dalam mengatasi penyakit kronis seperti diabetes. Religiusitas membantu pasien

menginduksi keadaan pikiran positif dan menyediakan dukungan emosional melalui

kegiataan keagamaan yang dilakukan (Diabetes Initiative National Program Office

2009). Hampir 350 penelitian kesehatan fisik dan kesehatan mental pada umumnya

telah menggunakan agama dan spiritual yang menghubungkan dengan hasil kesehatan

yang lebih baik. Hampir 90% pasien mengakui dirinya religius dan spiritual atau

beragama dengan baik. Kebanyakan pasien dengan masalah kesehatan yang serius

atau kronis yang berumur tua pada umumnya lebih religius karena merasa nyaman
77

dengan aktivitas keagamaan seperti berdoa dan meditasi pada saat berjuang

menghadapi penyakitnya (Koenig dalam Satrianegara, 2014).

Faktor yang dapat mempengaruhi religiusitas pada pasien DM tipe 2 adalah

usia. Menurut Rahmi et al (2015), tingkat religiusitas lansia secara umum berada

pada kategori tinggi. Religiusitas yang tinggi memperlihatkan bahwa pada masa

lansia tingkat keberagamaan juga semakin meningkat. Kehidupan keagamaan pada

lansia sudah mencapai tingkat kemantapan. Semakin bertambah umur maka

kematangan beragama semakin meningkat. Religiusitas yang tinggi pada lansia

memunculkan suatu perasaan keterhubungan dengan Tuhan, ada suatu perasaan

keintiman bahwa dirinya dekat dengan Tuhan. Pada penelitian ini mayoritas

responden sebanyak 92,96% termasuk dalam kategori religiusitas tinggi dan sebanyak

7,04% memiliki religiusitas sedang.

5.2.3 Efikasi Diri pada Pasien DM Tipe 2 di Wilayah Kerja Puskesmas Patrang

Kabupaten Jember

Efikasi diri adalah prediktor utama dari perilaku yang dapat mempengaruhi

dimulainya tugas, jumlah usaha yang dikeluarkan dalam melaksanakan tugas dan

lamanya waktu orang tersebut akan memenuhi tugas. Efikasi diri dapat

mengoptimalkan kepatuhan terhadap rejimen diabetes. Efikasi diri menyediakan

sumber-sumber untuk mengatasi stres akibat rejimen perawatan yang rumit, seperti

penatalaksanaan DM tipe 2 (Damayanti et al., 2011).


78

Hasil penelitian menunjukkan nilai rata-rata efikasi diri adalah 80,20 dan

seluruh responden memiliki efikasi diri yang tinggi yaitu sebanyak 71 orang. Hasil

penelitian Ariani et al. (2012) didapatkan pasien DM yang memiliki efikasi diri yang

kurang baik sebanyak 61,4%. Sebagian besar responden memiliki motivasi yang

kurang dalam melakukan perawatan DM. Hal ini menunjukkan responden yang

memiliki motivasi yang buruk menjukkan efikasi diri yang buruk.Hasil penelitian

Kusuma dan Hidayati (2013) didapatkan bahwa responden dengan efikasi diri yang

kurang baik sebanyak 30,9%. Hasil penelitian Purwanti (2014) menunjukkan bahwa

responden yang memiliki efikasi diri yang buruk sebanyak 36,3%.Penelitian Rias

(2016) didapatkan responden yang memiliki efikasi diri yang kurang baik sebanyak

47%.

Salah satu faktor kunci dalam mencapai perubahan perilaku adalah dengan

efikasi diri.Efikasi diri dapat memberikan pengaruh terhadap perubahan perilaku

dengan mempengaruhi bagaimana seseorang berpikir, memotivasi diri, dan

bertindak.Efikasi diri dapat mempengaruhi komitmen pasien (Rahman et al., 2017).

Efikasi diri pada pasien diabetes melitus tipe 2 berfokus pada keyakinan pasien untuk

mampu melakukan perilaku yang dapat mendukung perbaikan penyakitnya dan

meningkatkan manajemen perawatan dirinya seperti diet, latihan fisik, medikasi,

kontrol glukosa, dan perawatan diabetes melitus secara umum. Dampak psikologis

yang sering muncul pada pasien dengan penyakit kronis termasuk diabetes melitus

dapat menimbulkan masalah pada efikasi diri pasien (Wu et al. dalam Ariani, 2011).
79

5.2.4 Hubungan Religiusitas dengan Efikasi Diri pada Pasien DM Tipe 2 di Wilayah

Kerja Puskesmas Patrang Kabupaten Jember

Hasil uji statistik menunjukkan ada hubungan signifikan antara religiusitas

dengan efikasi diri pada pasien DM tipe 2 di wilayah kerja Puskesmas Patrang

Kabupaten Jember. Hasil penelitian menunjukkan hubungan yang positif dimana

semakin tinggi religiusitas maka semakin tinggi nilai efikasi diri.

Penyakit DM merupakan salah satu penyakit kronik yang mengganggu

kemampuan untuk melanjutkan gaya hidup normal dan kualitas hidup pasien akibat

dari komplikasi yang muncul seperti gagal jantung, stroke, ulkus diabetik, kebutaan

dan gagal ginjal kronik. Akibat dari komplikasi ini kemandirian pasien dapat sangat

terancam, yang menyebabkan ketakutan, ansietas, dan kesedihan yang menyeluruh.

Ketergantungan pada orang lain untuk mendapat perawatan diri rutin dapat

menimbulkan perasaan tidak berdaya dan persepsi tentang penurunan kekuatan

batiniah atau spiritualitas. Kekuatan tentang spiritualitas pada pasien DM dapat

menjadi faktor penting dalam menghadapi perubahan yang diakibatkan oleh

penyakitnya.Keberhasilan dalam mengatasi perubahan yang diakibatkan oleh

penyakit kronis dapat menguatkan seseorang secara spiritual. Pasien yang kuat secara

spiritual akan membentuk kembali identitas diri dan hidup dengan baik (Potter &

Perry, 2005).

Religiusitas dekat dengan konsep spiritualitas.Spiritualitas dianggap sebagai

sebuah bentuk religiusitas personal.James (dalam Purnama, 2011), religiusitas ialah

pengalaman mistis (mystical experience) mengenai objek-objek yang abstrak (the


80

reality of unsen) seperti Tuhan.Kekuatan agama terletak pada nuansa spiritual yang

dimiliki oleh manusia.Walaupun mungkin tidak harus memperlihatkan symbol agama

secara formal, spiritualitas dapat diperlihatkan dan dimunculkan oleh individu-

individu yang memilikinya.

Seseorang dengan penyakit kronis sering menderita gejala yang melumpuhkan

dan mengganggu kemampuan untuk melanjutkan gaya hidup normal. Kemandirian

dapat sangat terancam, menyebabkan ketakutan, ansietas, kesedihan yang menyeluruh

bahkan dapat menimbulkan stres. Ketergantungan pada orang lain dalam perawatan

diri rutin dapat menimbulkan perasaan tidak berdaya dan penurunan kekuatan

batiniah. Seseorang mungkin merasa kehilangan tujuan dalam hidup untuk

menghadapi perubahan fungsi yang dialami.Kekuatan spiritual dapat menjadi faktor

penting dalam menghadapi perubahan yang diakibatkan oleh penyakit kronis.

Seseorang yang kuat secara spiritual akan membentuk kembali identitas diri dan

hidup dalam potensi dirinya (Purwaningrum, 2013).

Aktivitas spiritual yang dilakukan oleh pasien dapat meningkatkan persepsi

positif terhadap makna/arti hidup, religiusitas, harapan dan menumbuhkan kekuatan

dalam diri pasien. Hal tersebut penting untuk menekan tingkat stres karena kebutuhan

akan arti hidup adalah universal yang merupakan esensi dari hidup itu sendiri, ketika

seseorang tidak dapat menemukan arti hidup akan mengalami stress. Sedangkan

memiliki harapan dan keinginan hidup adalah penting bagi orang yang sehat maupun

sakit, untuk orang yang sakit merupakan faktor penting dalam proses penguatan diri

ataupun penyembuhan (Purwaningrum, 2013).


81

Religiusitas memiliki peran dalam efikasi diri. Tanggapan yang umum

diungkapkan adalah percaya pada Tuhan, penerimaan dan harapan akan masa depan

yang lebih baik, yang kesemuanya merupakan batas dari efikasi diri untuk mencapai

tujuan tugas yang spesifik (Omu, 2010). Mayoritas percaya bahwa

religiusitas/spiritualitas dapat membantu pasien dalam mengatasi penyakit kronis

seperti diabetes.Religiusitas membantu pasien menginduksi keadaan pikiran positif

dan menyediakan dukungan emosional melalui kegiataan keagamaan yang dilakukan

(Diabetes Initiative National Program Office 2009).Banyak studi menyebutkan

bahwa religiusitas (kepatuhan dalam beragama) berdampak baik bagi kesehatan

(Chappoti et al. dalam Satrianegara, 2014).Hampir 350 penelitian kesehatan fisik dan

kesehatan mental pada umumnya telah menggunakan agama dan spiritual yang

menghubungkan dengan hasil kesehatan yang lebih baik.Hampir 90% pasien

mengakui dirinya religius atau beragama dengan baik.Kebanyakan pasien dengan

masalah kesehatan yang serius atau kronis yang berumur tua pada umumnya lebih

religius karena merasa nyaman dengan aktivitas keagamaan seperti berdoa dan

meditasi pada saat berjuang menghadapi penyakitnya (Koenig dalam Satrianegara,

2014).Pasien yang memiliki religiusitas yang tinggi berpengaruh terhadap kondisi

fisik yang semakin membaik, terlihat lebih tenang dan tidak terlihat seperti orang

sakit.Hal ini dikarenakan pasien ikhlas dalam menerima sakit (Anggraeni et al.,

2015).

Spiritual merupakan komitmen tertinggi dan prinsip yang paling kuat dalam

diri individu terhadap pilihan yang dibuat dalam hidupnya.Efikasi diri didefinisikan
82

sebagai penilaian, kepercayaan atau keyakinan diri untuk mampu melakukan tugas-

tugas tertentu, mengatur dan melaksanakan program tindakan yang diperlukan dalam

mencapai tujuan yang diinginkan.Efikasi diri merupakan penentu penting dari

perilaku sehat dan kepatuhan terhadap rejimen pengobatan.Efikasi diri dapat

mempengaruhi seseorang untuk memilih, kemampuan untuk bertahan dan tangguh

menghadapi kesulitan.Efikasi diri membantu seseorang dalam menentukan pilihan,

usaha untuk maju, kegigihan dan ketekunan dalam mempertahankan tugas-tugasnya

yang mencakup kehidupan mereka.Efikasi diri mempengaruhi bagaimana seseorang

berfikir, merasa, memotivasi diri sendiri dan bertindak (Damayanti et al., 2011).

Puchalski (2009) menyatakan bahwa tidak semua penyakit dapat disembuhkan

namun selalu ada ruang untuk healing atau penyembuhan.Penyembuhan dapat

dimaknai sebagai penerimaan terhadap penyakit dan ketentraman dalam kehidupan

dan spiritual menjadi inti dari penyembuhan.Penyembuhan mengacu kepada

kemampuan seseorang mendapatkan kebahagiaan, kenyamanan, koneksi, makna, dan

tujuan hidup dalam penderitaan maupun rasa sakit yang dialami (Nuraeni et al.,

2015).Individu dengan tingkat spiritualitas tinggi lebih memungkinkan rejimen

pengobatan yang direkomendasikan, melakukan perilaku perawatan diri yang positif

pada manajemen diabetes (Damayanti et al., 2011).

Pengelolaan DM memerlukan waktu yang lama, sehingga membutuhkan

perubahan perilaku.Tujuan dari perubahan perilaku pasien DM adalah untuk

meningkatkan kepatuhan pasien DM. Salah satu faktor kunci dalam mencapai

perubahan perilaku adalah dengan efikasi diri.Efikasi diri dapat memberikan


83

pengaruh terhadap perubahan perilaku dengan mempengaruhi bagaimana seseorang

berpikir, memotivasi diri, dan bertindak.Efikasi diri dapat mempengaruhi komitmen

pasien (Rahman et al., 2017).

Seorang penderita diabetes yang menginternalisasikan religiusitas dalam

kehidupannya diharapkan dapat memiliki keyakinan akan segala sesuatu yang terjadi

padanya merupakan kebaikan dari Tuhan dan menjadikan motivasi untuknya dalam

meningkatkan efikasi dirinya sehingga dapat menimbulkan rasa bahagia dan

mencegah untuk jatuh dalam perasaan terpuruk, kecewa, dan putus asa (Hutama,

2013). Efikasi diri adalah prediktor utama dari perilaku yang dapat mempengaruhi

dimulainya tugas, jumlah usaha yang dikeluarkan dalam melaksanakan tugas dan

lamanya waktu orang tersebut akan memenuhi tugas. Efikasi diri dapat

mengoptimalkan kepatuhan terhadap rejimen diabetes.Efikasi diri menyediakan

sumber-sumber untuk mengatasi stres akibat rejimen perawatan yang rumit, seperti

penatalaksanaan DM tipe 2 (Damayanti et al., 2011). Ketika seseorang memiliki

efikasi diri dan religiusitas yang baik, maka ia akan memiliki motivasi yang tinggi

pula dalam mewujudkan keinginannya menjadi yang terbaik untuk meraih emosi

yang positif (Istiqomah dan Hasan dalam Hutama, 2013).

5.3 Keterbatasan Penelitian

Penelitian ini memiliki keterbatasan sebagai berikut:

a. Penelitian melibatkan subyek penelitian dalam jumlah terbatas, yakni

sebanyak 71 orang.
84

b. Penelitian yang peneliti laksanakan terbatas pada satu tempat, yaitu pada

pasien DM tipe 2 di wilayah kerja Puskesmas Patrang. Kemungkinan apabila

dilakukan di tempat lain hasilnya akan berbeda.


85

BAB 6. KESIMPULAN

6.1 Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan pada bab sebelumnya dapat

disimpulkan sebagai berikut:

a. Rata-rata usia responden adalah 55,96 tahun dan rata-rata lama DM adalah

4,08 tahun. Lebih banyak responden perempuan daripada laki-laki, responden

paling banyak berpendidikan SD, bekerja sebagai wiraswasta dan ibu rumah

tangga.

b. Nilai rata-rata religiusitas adalah 73,27. Religiusitas paling banyak berada

pada kategori religiusitas tinggi yaitu sebanyak 66 orang (92,96%).

c. Nilai rata-rata efikasi diri responden adalah 80,20. Seluruh responden

memiliki efikasi diri yang tinggi yaitu sebanyak 71 orang.

d. Ada hubungan signifikan antara religiusitas dengan efikasi diri pada pasien

DM tipe 2 di wilayah kerja Puskesmas Patrang (p: 0,014). Korelasi (r)

sebesar 0,291 yang menunjukkan hubungan dengan tingkat keeratan lemah.

6.2 Saran

Penelitian yang dilakukan ini selain memberikan kesimpulan hasil juga

memberikan saran pada berbagai pihak untuk dapat membantu meningkatkan dan

mempertahankan kesehatan serta mencegah komplikasi pasien DM tipe 2. Saran-

saran adalah sebagai berikut;


86

a. Bagi Peneliti

Penelitian lanjutan diharapkan mengambil sampel yang lebih besar agar lebih

akurat dan mewakili.

b. Bagi Masyarakat

Setelah mengetahui informasi tentang hubungan religiusitas dengan efikasi

diri diharapkan masyarakat khususnya penderita DM tipe 2 dapat

meningkatkan religiusitas dan efikasi diri dalam pengelolaan DM.

c. Profesi Keperawatan

Perawat perlu mengkaji spiritual pasien DM tipe 2 untuk meningkatkan

pengelolaan dan perawatan diri pasien DM.

d. Instansi Kesehatan

Pelayanan kesehatan perlu membuat program terkait religiusitas pasien DM

sehingga dapat meningkatkan efikasi diri pasien DM.


87

DAFTAR PUSTAKA

Ariani, Y. 2011. Hubungan antara Motivasi dengan Efikasi diri pasien DM


tipe 2 dalam konteks Asuhan Keperawatan di RSUP H. Adam Malik Medan.
[Serial Online].lontar.ui.ac.id/file?file=digital/20282755-T+Yesi+Ariani.pdf.
[25 Maret 2017].

Ariani, Y., Sitorus, R., Gayatri, D. 2012. Motivasi dan Efikasi Diri Pasien Diabetes
Melitus Tipe 2 dalam Asuhan Keperawatan. [serial online].
jki.ui.ac.id/index.php/jki/article/download/44/44. [25 Maret 2017].

Bandura. 1994. Self Efficacy. [serial online].


https://www.uky.edu/~eushe2/Bandura/Bandura1994EHB.pdf. [28 Maret
2017].

Berkowitz, Aaron. 2013. Patofisiologi Klinis. Tangerang Selatan: Binarupa Aksara


Publisher.

Chang, Esther. 2009. Patofisiologi: aplikasi pada praktik keperawatan. Jakarta: EGC.

Dahlan, M. S. 2011. Statistik untuk Kedokteran dan Kesehatan: Deskriptif, Bivariat,


dan Multivariat, Dilengkapi Aplikasi dengan Menggunakan SPSS. Edisi 5.
Jakarta: Salemba Medika.

Damayanti, S., Sitorus, R., Sabri., L. 2011. Hubungan antara Spiritualitas dan Efikasi
Diri dengan Kepatuhan Pasien Diabetes Mellitus Tipe 2 di RS Jogja. [serial
online]. journal.respati.ac.id/index.php/medika/article/view/294. [25 Maret
2017].
Darvyri, P., M. Galanakis, A. G Avgoustidis, N. Pateraki, S. Vasdekis, & C. Darviri.
2014. The Revised Intrinsic/Extrinsic Religious Orientation Scale in a Sample
of Attica’s Inhabitants. Psychology 5: 1557-1567. [serial
online]http://file.scirp.org/pdf/PSYCH_2014092909275333.pdf [26 April
2017].
Delamater, A., M. 2006. Improving Patient Adherence Clinical Diabetes.[serial
online]. clinical.diabetesjournals.org/content/24/2/71.full-text.pdf. [24 Mei
2017].
Diabetes Initiative National Program Office. 2009. Health Coping in Diabetes: A
Guide for Program Development and Implementation. New Jersey:
88

Washington University School of Medicine. [serial


online]http://www.diabetesinitiative.org/support/documents/HealthyCopingin
DiabetesFINAL9-9-09.pdf. [12 Mei 2017].

Huber, S., & O. W. Huber. 2012. The Centrality of Religiosity Scale (CRS).
Religions 3: 710-724. [serial
online]http://www.readcube.com/articles/10.3390/rel3030710 [26 April
2017].

Hutama, R. Y., 2016. Pengaruh antara Efikasi Diri dan Religiusitas terhadap
Kebahagiaan Penderita Diabetes Tipe II (RSUD A.W Syahranie Samarinda).
[serial online]. www.portal.fisip-unmul.ac.id/site/?p=3834.[25 Maret 2017].

International Diabetes Federation [IDF]. 2015. Diabetes Atlas. Edisi 6. [serial


online] http://www.idf.org/diabetesatlas. [Diakses pada 29 Maret 2017].

Kartikasari, N.D. 2014. Hubungan antara Religuisitas dengan Kesejahteraan


Psikologis pada Penderita Diabetes Mellitus Tipe 2.Tesis. Surakarta: Fakultas
Psikologi Universitas Muhammadiyah Surakarta.[serial online]
http://eprints.ums.ac.id/31986/1/02.%20Naskah%20Publikasi.pdf.[26 April
2017].

Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. 2009. [serial online]


http://www.depkes.go.id/article/view/414/tahun-2030-prevalensi-diabetes-
melitus-di-indonesia-mencapai-213-juta-orang.html. [Diakses pada 25 Maret
2017]

Kusuma, H., Hidayati, W. 2013. Hubungan antara Motivasi dengan Efikasi Diri pada
Pasien Diabetes Melitus Tipe 2 di Persadia Salatiga. [serial online].
jurnal.unimus.ac.id/index.php/JKMB/article/view/1105. [25 Maret 2017].

Mansjoer, A., K. Triyani, R. Savitri, W. I. Wardhani, & W. Setiowulan. 2000. Kapita


Selekta Kedokteran. Edisi Ketiga. Jilid 1. Jakarta: Media Aesculapius.

Notoatmodjo, S. 2010. Metodologi Penelitian Kesehatan. Jakarta: Rineka Cipta.

Notoatmodjo, S. 2012. Metode Penelitian Kesehatan. Jakarta: Rineka Cipta.

Nursalam. 2008. Konsep dan Penerapan Metodologi Penelitian Ilmu Keperawatan.


Jakarta: Salemba Medika.
89

Omu, M., O. 2010. Life Satisfaction, Self-Efficacy and Religious Faith in Stroke
Patients Living in Kuwait. [serial online].
bura.brunel.ac.uk/bitstream/2438/5080/1/FulltextThesis.pdf [12 Mei 2017].

Potter & Perry. 2005. Buku Ajar Fundamental Keperawatan: Konsep Proses dan
Praktik.Volume 1.Edisi 4. Jakarta: EGC.

Purnama, T. S., 2011. Hubungan Aspek Religiusitas dan Aspek Dukungan Sosial
terhadap Konsep Diri Selebriti di Kelompok Pengajian Orbit Jakarta. [serial
online].http://lib.ui.ac.id/file?file=digital/20294596-T29856-
Hubungan%20aspek.pdf.[24 Mei 2017].

Purwaningrum, F. 2013. Hubungan Aktivitas Spiritual dengan Tingkat Stres pada


Pasien Gagal Ginjal Kronik yang Menjalani Hemodialisa di RS PKU
Muhammadiyah Yogyakarta.[serial online]. opac.unisayogya.ac.id/598/. [25
Maret 2017].

Purwanti, L., E. 2014. Hubungan Motivasi dengan Efikasi Diri Pasien DM Tipe 2
dalam Melakukan Perawatan Kaki di Wilayah Kerja Puskesmas Ponorogo
Utara. [serial online]. www.jurnal.stikes-aisyiyah.ac.id › Beranda › Vol 11, No
1 (2014) › Purwanti.[25 Maret 2017].

Pusat Data dan Informasi Kementerian Kesehatan RI. 2014. Situasi dan Analisis
Diabetes. [serial online].
www.depkes.go.id/download.php?file=download/.../infodatin/infodatin-
diabetes.pdf. [25 Maret 2017].

Rahman, H. F., Yulia., Sukmarini, L. 2017. Efikasi Diri, Kepatuhan, dan Kualitas
Hidup Pasien Diabetes Melitus Tipe 2. [serial online].
http://jurnal.unej.ac.id/index.php/JPK/article/view/4059. [25 Maret 2017].

Rias, Y., A. 2016. Hubungan Pengetahuan dan Keyakinan dengan Efikasi Diri
Penyandang Diabetic Foot Ulcer. [serial online].
journal.umsurabaya.ac.id/index.php/JKM/article/view/358/264. [25 Maret
2017].
Ripamonti. 2010. System of Belief Inventory (SBI-15 R): A Validation Study in
Italian Cancer Patients on Oncological, Rehabilitation, Psychological and
Supportive Care Settings. [serial online].
http://citeseerx.ist.psu.edu/viewdoc/download?doi=10.1.1.682.3467&rep=rep
1&type=pdf.[25 Maret 2017].
90

Rondhianto. 2011. Pengaruh Diabetes Self Management Education dalam Dischard


Planning terhadap Self Efficacy dan Self Care Behaviour Pasien. Surabaya:
Universitas Airlangga.

Rubenstein, D., Wayne, D., Bradley, J. 2007. Kedokteran klinis edisi 6. Penerbit
Erlangga: PT Gelora Aksara Pratama. [serial online]
https://books.google.co.id/books?id=lhDl8_eIsiEC&pg=PA177&dq=diagnosi
s+diabetes+melitus&hl=id&sa=X&redir_esc=y#v=onepage&q=diagnosis%20
diabetes%20melitus&f=false [Diakses pada 25 Maret 2017].

Satrianegara, M. F. 2014. Pengaruh Religiusitas Terhadap Tingkat Depresi,


Kecemasan, Stres, dan Kualitas Hidup Penderita Penyakit Kronis di Kota
Makassar (Kajian Survei epidemiologi Berbasis Integrasi islam dan
Kesehatan). Jurnal KesehatanVII(1):288-304. [serial online]
https://www.google.com/search?q=google+translate&oq=google+&aqs=chro
me.0.69i59j69i60l3j69i65j69i60.5333j0j7&sourceid=chrome&es_sm=93&ie=
UTF8#q=Pengaruh+Religiusitas+Terhadap+Tingkat+Depresi,+Kecemasan,+S
tres,+dan+Kualitas+Hidup+Penderita+Penyakit+Kronis+di+Kota+Makassar+
&*. [25 Maret 2017].

Sastroasmoro, S. & S. Ismail. 2002. Dasar-Dasar Metodologi Penelitian Klinis.


Jakarta: Sagung Seto.

Setiadi. 2007. Konsep dan Penulisan Riset Keperawatan. Yogyakarta: Graha Ilmu.

Smeltzer, S.C. and Bare, B.G. 2002.Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah. Edisi
Delapan. Vol 2. Jakarta: EGC.

Subandi, M. A. 2013. Psikologi Agama & Kesehatan Mental. Yogyakarta: Pustaka


Pelajar.

Thouless, H. R. 2000. Pengantar Psikologi Agama. Jakarta: PT Rajagrafindo Persada.

Wantiyah.2010. Analisis Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Efikasi Diri Pasien


Penyakit Jantung Koroner dalam Konteks Asuhan Keperawatan di RSD DR
Soebandi Jember. [serial online]. lib.ui.ac.id/file?file=digital/137273-
T%20Wantiyah.pdf. [24 Mei 2017].
91

LAMPIRAN
92

PERMOHONAN MENJADI RESPONDEN

Kepada

Calon Responden

Dengan Hormat,

Yang bertanda tangan dibawah ini :

Nama : Iput Hardianti


NIM : 102310101096
Pekerjaan : Mahasiswa
Alamat :Jl. Jawa no. 8 Jember
Bermaksud akan melaksanakan penelitian tentang “Hubungan Religiusitas
dengan Efikasi Diri pada Pasien DM Tipe 2 di Wilayah Kerja Puskesmas Patrang
Kabupaten Jember”. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui hubungan
religiusitas dengan efikasi diri pada pasien DM tipe 2.Manfaat penelitian ini adalah
dapat menjadikan religiusitas untuk meningkatkan efikasi diri pasien DM tipe
2.Pengisian kuesioner ini membutuhkan waktu 10-15 menit.Pada penelitian ini,
peneliti memberikan lembar skala religiusitas dan kuesioner efikasi diri untuk
mengetahui tingkat religiusitas dan efikasi diri pada pasien DM tipe 2.

Penelitian ini tidak akan menimbulkan akibat yang merugikan bagi anda
sebagai responden. Kerahasiaan semua informasi akan dijaga dan dipergunakan untuk
kepentingan penelitian. Jika anda tidak bersedia menjadi responden, maka tidak ada
ancaman bagi anda maupun keluarga.Jika anda bersedia menjadi responden, maka
saya mohon kesediaan untuk menandatangani lembar persetujuan yang saya
lampirkan dan menjawab pertanyaan yang saya sertakan.Atas perhatian dan
kesediannya menjadi responden saya ucapkan terima kasih.

Jember,..........................2017

Iput Hardianti
102310101096
93

PERSETUJUAN MENJADI RESPONDEN

Setelah saya membaca dan memahami isi dan penjelasan pada lembar permohonan
menjadi responden, maka saya bersedia turut berpartisipasi sebagai responden dalam
penelitian yang akan dilakukan oleh mahasiswa Program Studi Ilmu Keperawatan
Universitas Jember, yaitu:

Nama : Iput Hardianti

NIM : 102310101096

Pekerjaan : Mahasiswa

Alamat : Jl. Jawa no. 8 Jember

Judul : Hubungan religiusitas dengan efikasi diri pada pasien diabetes


melitus tipe 2 di wilayah kerja Puskesmas Patrang

Saya memahami bahwa penelitian ini tidak membahayakan dan merugikan saya
maupun keluarga saya, sehingga saya bersedia menjadi responden dalam penelitian
ini.

Jember, ..................2017

(.............................................)
94

Kode Responden:

KUESIONER PENELITIAN

HUBUNGAN RELIGIUSITAS DENGAN EFIKASI DIRIPADA


PASIEN DM TIPE 2 DI WILAYAH KERJA PUSKESMAS
PATRANG KABUPATEN JEMBER

Petunjuk Pengisian :

1. Bacalah dengan cermat dan teliti setiap bagian pertanyaan dalam kuesioner
ini.
2. Isilah titik-titik yang tersedia dengan jawaban yang benar.
3. Pilihlah salah satu jawaban yang menurut Bapak/Ibu paling sesuai dengan
kondisi yang dialami oleh Bapak/Ibu dengan cara memberikan tanda check
list (v) pada pilihan jawaban yang dipilih.

A. Karakteristik Demografi Responden


1. Nama (Inisial) :
2. Umur :
3. Agama :
4. Status Menikah : Menikah Belum Menikah Lain-lain
5. Jenis kelamin : Laki-laki Perempuan
6. Pendidikan :
Tidak Sekolah SLTA
SD Perguruan Tinggi
SLTP Lain-lain
7. Pekerjaan :
Tidak bekerja Karyawan swasta
Buruh PNS
Petani Ibu Rumah Tangga
Wiraswasta
8. Lamanya menderita DM:...........................tahun
95

Lampiran D : Kuesioner Skala Religiusitas

SKALA RELIGIUSITAS

1. Pernyataan dibawah merupakan pernyataan yang menunjukkan sejauh mana


tingkat religiusitas pada pasien diabetes.
2. Saudara/i diminta untuk mengisi jawaban dengan memberi tanda silang (X)
pada salah satu kolom jawaban yang menggambarkan keadaan yang saudara
alami.
3. Pilihan jawaban yang tersedia adalah sebagai berikut ini:
SS : Jika anda SANGAT SETUJU dengan pernyataan berikut ini
S :Jika anda SETUJU dengan pernyataan berikut ini
TS : Jika anda TIDAK SETUJU dengan pernyataan ini
STS :Jika anda SANGAT TIDAK SETUJU dengan pernyataan ini

No. Pernyataan SS S TS STS


Saya percaya bahwa apabila saya sakit, hal itu
1. merupakan cobaan, ujian, musibah atau
peringatan.
Saya percaya bahwa Tuhan tidak
mendatangkan penyakit kecuali
2.
mendatangkan juga obatnya, kecuali penyakit
tua.
Bila saya sedang menghadapi masalah saya
akan jadikan ibadah dan sabar sebagai
3.
penolong saya. Karena saya yakin bahwa
Tuhan beserta orang-orang yang sabar.
Saya merasa lebih sehat secara fisik,
4.
psikologis, sosial, dan spiritual setelah
96

menjalankan ibadah sesuai keyakinan yang


saya anut.
Saya senantiasa merasakan ketentraman
5.
setiap kali saya berdoa kepada Tuhan.
Saya merasa damai ketika mengingat rahmat
6.
yang diberikan Tuhan dalam kehidupan saya.
Saya wajib berpegang teguh pada ajaran
agama yang saya anut berdasarkan kitab suci
7.
dalam agama saya agar hidup saya tidak
tersesat.
Saya ingin belajar lebih dalam tentang agama
8.
yang saya anut.
Bila saya sakit, saya berusaha untuk berobat
pada ahlinya (dokter), karena saya percaya
9. bahwa sesungguhnya Tuhan tidak datangkan
suatu penyakit kecuali juga mendatangkan
obatnya.
Saya membentengi harta saya dengan zakat,
saya mengobati penyakit dengan sodaqoh
10.
(selain berobat secara medis) dan saya hadapi
ujian dengan doa.
Saya tidak percaya bahwa bila saya sakit
11. Tuhan-lah yang menyembuhkan sedangkan
dokter hanya mengobati penyakit saya.
Saya tidak percaya bahwa Tuhan selalu
12.
bersama saya apabila saya ingat pada-Nya.
Saya merasa tidak ditolong Tuhan saat
13.
mengalami masalah.
97

Saya tidak percaya bahwa menjalankan


14. ibadah itu merupakan benteng terkuat bagi
saya.
Saya merasa segala doa-doa saya tidak pernah
15.
dikabulkan Tuhan.
Saya tidak pernah mendapat pertolongan dari
16.
Tuhan.
Banyak ajaran agama yang tidak saya pahami
17. dari agama yang saya anut, dan saya tidak
berminat untuk mencari tahu.
Saya tidak tertarik untuk mencari tahu apa
18. yang tertulis dalam kitab suci dalam agama
saya.
Uang penghasilan saya tidak pernah saya
19.
sumbangkan (sodaqoh) kan.
(adaptasi Kartikasari, 2014)
98

Lampiran E : Kuesioner Efikasi Diri

EFIKASI DIRI PENGELOLAAN DIABETES

(Diabetes Management Self Efficacy Scale (DSMES))

Petunjuk:

1. Daftar pertanyaan di bawah ini adalah perilaku atau tindakan yang akan anda
lakukan dalam melakukan pengelolaan penyakit Diabetes Melitus anda.
2. Silahkan di baca masing-masing pertanyaan dengan cermat kemudian
lingkarilah angka di bawah pertanyaan yang menunjukkan keyakinan anda
pada aktivitas yang akan anda lakukan.
3. Ketentuan :
1 : Tidak yakin 4 : Yakin
2 : Kurang yakin 5 : Sangat yakin
3 : Cukup yakin
4. Jika anda sangat yakin mampu melakukannya, maka lingkarilah angka 5.
Namun jika anda merasa bahwa tidak mampu sekali melakukannya maka
lingkarilah angka 1 atau anda pilih angka yang lain.
No. Pertanyaan Skor

1 Saya mampu memeriksakan kadar gula darah saya 1 2 3 4 5


jika diperlukan

2 Ketika saya merasa gula darah saya terlalu tinggi 1 2 3 4 5


(misal sering kencing, sering merasa haus, badan
terasa lemah, dll) saya mampu memperbaiki kadar
gula darah saya ke dalam kadar gula darah normal
(misal: mengganti makanan yang bisa saya makan
atau makan makanan yag berbeda, olahraga dll)

3 Ketika saya merasa kadar gula darah saya terlalu 1 2 3 4 5


rendah (mual, keringat dingin, gangguan
99

konsentrasi, jantung berdebar-debar, dll) saya


mampu memperbaiki kadar gula darah saya ke
dalam kadar gula darah normal (misal: mengganti
makanan yang biasa saya makan atau makan
makanan yang berbeda)

4 Saya mampu memilih makanan yang sehat dan 1 2 3 4 5


terbaik sesuai dengan diet DM untuk menjaga
kondisi kesehatan saya

5 Saya mampu memilih makanan dari beragam 1 2 3 4 5


makanan yang ada dan tetap menjaga pola makan
yang sehat

6 Saya mampu menjaga berat badan saya dalam 1 2 3 4 5


batasan Berat Badan Ideal (BBI)

7 Saya mampu melakukan pemeriksaan terhadap kaki 1 2 3 4 5


saya secara mandiri (misal: ada luka, mengupas,
dll)

8 Saya mampu melakukan aktivitas fisik yang cukup 1 2 3 4 5


untuk menjaga kesehatan saya (contohnya: jogging,
berkebun, latihan peregangan)

9 Saya mampu untuk tetap menjaga pola makan yang 1 2 3 4 5


sehat sesuai diet DM

10 Saya mampu mengikuti pola makan yang sehat 1 2 3 4 5


(diet DM) yang dianjurkan oleh tim kesehatan
sepanjang waktu

11 Saya mampu melakukan aktivitas fisik yang lebih 1 2 3 4 5


banyak, jika dokter menginstruksikannya untuk
memperbaiki kondisi kesehatan saya

12 Ketika saya melakukan aktivitas fisik lebih dari 1 2 3 4 5


biasanya, saya mampu melakukan penyesuaian
dengan pola makan
100

13 Saya mampu menjaga pola makan yang sehat (diet 1 2 3 4 5


DM) walaupun saya tidak berada di rumah

14 Saya mampu memilih makanan dari makanan yang 1 2 3 4 5


beragam dan tetap menjaga pola makan yang sehat,
ketika saya tidak berada di rumah, misal: memilih
makanan yang ada di rumah makan / restoran

15 Saya mampu menjaga pola makan yang sehat (diet 1 2 3 4 5


DM) walaupun saya makan di acara pesta
(perkawinan, khitanan, dll)

16 Saya mampu memilih makanan yang sehat dari 1 2 3 4 5


beragam makanan yang ada ketika saya makan di
luar rumah atau pada saat makan di tempat pesta

17 Saya mampu menjaga pola makan sehat (diet DM), 1 2 3 4 5


ketika saya sedang merasa tertekan / stress / cemas

18 Saya mampu datang ke tempat layanan kesehatan 4 1 2 3 4 5


kali dalam setahun untuk memonitor penyakit
diabetes saya

19 Saya mampu meminum obat sesuai aturan 1 2 3 4 5


minumnya

20 Saya mampu mempertahankan program pengobatan 1 2 3 4 5


yang diberikan kepada saya walaupun saya dalam
kondisi sakit

(adaptasi Rondhianto, 2011).


101

LAMPIRAN F : Analisa Data

a. Karakteristik Responden

Statistics
Usia

N Valid 71

Missing 0
Mean 55.96
Median 58.00
Std. Deviation 7.035
Minimum 38
Maximum 65

Usia

Cumulative
Frequency Percent Valid Percent Percent

Valid 38 1 1.4 1.4 1.4

39 1 1.4 1.4 2.8

40 1 1.4 1.4 4.2

44 2 2.8 2.8 7.0

45 2 2.8 2.8 9.9

46 2 2.8 2.8 12.7

47 1 1.4 1.4 14.1

48 2 2.8 2.8 16.9

50 5 7.0 7.0 23.9

51 3 4.2 4.2 28.2

52 4 5.6 5.6 33.8

53 1 1.4 1.4 35.2

54 3 4.2 4.2 39.4

55 1 1.4 1.4 40.8

56 1 1.4 1.4 42.3

57 4 5.6 5.6 47.9

58 4 5.6 5.6 53.5


102

60 10 14.1 14.1 67.6

61 5 7.0 7.0 74.6

62 6 8.5 8.5 83.1

63 5 7.0 7.0 90.1

64 1 1.4 1.4 91.5

65 6 8.5 8.5 100.0

Total 71 100.0 100.0

Statistics
Lama Menderita

N Valid 71

Missing 0
Mean 4.085
Median 3.000
Std. Deviation 3.2105
Minimum 1.0
Maximum 13.0

Lama Menderita

Cumulative
Frequency Percent Valid Percent Percent

Valid 1.0 14 19.7 19.7 19.7

2.0 17 23.9 23.9 43.7

3.0 12 16.9 16.9 60.6

4.0 6 8.5 8.5 69.0

5.0 5 7.0 7.0 76.1

7.0 3 4.2 4.2 80.3

8.0 3 4.2 4.2 84.5

9.0 3 4.2 4.2 88.7

10.0 6 8.5 8.5 97.2

12.0 1 1.4 1.4 98.6

13.0 1 1.4 1.4 100.0


103

Total 71 100.0 100.0

Statistics
Jenis Kelamin

N Valid 71

Missing 0
Mean 1.58
Median 2.00
Std. Deviation .497
Minimum 1
Maximum 2

Jenis Kelamin

Cumulative
Frequency Percent Valid Percent Percent

Valid Laki-laki 30 42.3 42.3 42.3

Perempuan 41 57.7 57.7 100.0

Total 71 100.0 100.0

Statistics
Status Menikah

N Valid 71

Missing 0
Mean 1.00
Median 1.00
Std. Deviation .000
Minimum 1
Maximum 1

Status Menikah

Cumulative
Frequency Percent Valid Percent Percent
Valid Menikah 71 100.0 100.0 100.0
104

Statistics
Pendidikan Terakhir

N Valid 71

Missing 0
Mean 2.90
Median 3.00
Std. Deviation 1.097
Minimum 1
Maximum 5

Pendidikan Terakhir

Cumulative
Frequency Percent Valid Percent Percent

Valid Tidak Sekolah 3 4.2 4.2 4.2

SD 32 45.1 45.1 49.3

SLTP 10 14.1 14.1 63.4

SLTA 21 29.6 29.6 93.0

Perguruan Tinggi 5 7.0 7.0 100.0

Total 71 100.0 100.0

Pendidikan Terakhir

Cumulative
Frequency Percent Valid Percent Percent

Valid Tidak Sekolah 3 4.2 4.2 4.2

SD 32 45.1 45.1 49.3

SLTP 10 14.1 14.1 63.4

SLTA 21 29.6 29.6 93.0

Perguruan Tinggi 5 7.0 7.0 100.0

Total 71 100.0 100.0


105

Pekerjaan

Cumulative
Frequency Percent Valid Percent Percent

Valid Tidak Bekerja 3 4.2 4.2 4.2

PNS 3 4.2 4.2 8.5

Petani 1 1.4 1.4 9.9

Pegawai swasta 7 9.9 9.9 19.7

Wiraswasta 27 38.0 38.0 57.7

Ibu Rumah Tangga 27 38.0 38.0 95.8

Lain-lain 3 4.2 4.2 100.0

Total 71 100.0 100.0

b. Religiusitas
Descriptives

Statistic Std. Error

Total skor Mean 73.27 .633

95% Confidence Interval for Lower Bound 72.01


Mean Upper Bound 74.53

5% Trimmed Mean 74.21

Median 76.00

Variance 28.427
Std. Deviation 5.332

Minimum 50

Maximum 76

Range 26

Interquartile Range 3

Skewness -3.090 .285

Kurtosis 9.603 .563


Tests of Normality

Kolmogorov-Smirnova Shapiro-Wilk

Statistic df Sig. Statistic df Sig.


Total skor .304 71 .000 .532 71 .000
106

a. Lilliefors Significance Correction

c. Efikasi Diri
Descriptives

Statistic Std. Error

Total skor Mean 80.20 .339

95% Confidence Interval for Lower Bound 79.52


Mean Upper Bound 80.87

5% Trimmed Mean 80.04

Median 80.00

Variance 8.161

Std. Deviation 2.857

Minimum 75

Maximum 94

Range 19

Interquartile Range 4

Skewness 1.676 .285

Kurtosis 6.826 .563


Tests of Normality

Kolmogorov-Smirnova Shapiro-Wilk

Statistic df Sig. Statistic df Sig.

Total skor .232 71 .000 .863 71 .000


a. Lilliefors Significance Correction
107

d. Analisa Hubungan Religiusitas dengan Efikasi Diri

Correlations

Skor religiusitas Skor efikasi diri

Spearman's rho Skor religiusitas Correlation Coefficient 1.000 .291*

Sig. (2-tailed) . .014

N 71 71

Skor efikasi diri Correlation Coefficient .291* 1.000

Sig. (2-tailed) .014 .

N 71 71

*. Correlation is significant at the 0.05 level (2-tailed).

You might also like