You are on page 1of 6

Laporan Kasus

Gigitan Ular Berbisa

Abstrak

Gigitan ular merupakan masalah kesehatan yang signifikan di India, terutama di daerah

pedesaan. Secara umum sekitar 70% gigitan ular disebabkan oleh ular yang tidak beracun,

sisanya 15% gigitan kering dan hanya 15% yang berbisa. Venom adalah air liur ular yang

dikeluarkan saat menggigit, racun (kelenjar parotid yang dimodifikasi). Bisa jadi, neurotoxic,

vasculotoxic, atau myotoxic gejalanya. Neurotoksisitas adalah kunci dari beberapa gigitan, dan

ada banyak pertanyaan yang tidak terjawab tentang manifestasinya. Zat racun antisnake

polivalen yang tersedia di India efektif untuk melawan ular berbisa yang umum. Oleh karena itu,

diagnosis yang ceoat dan tepat untuk pemberian antisnake polivalen, diagnose yang tepat tidak

hanya bisa menyelamatkan nyawa, tapi juga mencegah morbiditas. Ular yang menyebabkan

gejala neurotoksik merupakan ular yang hidup saat malam hari, menggigit orang tidur di lantai,

sering tanpa membangunkan korbannya, karena racunnya tidak menimbulkan rasa sakit. Saat

korban bangun, tiba-tiba lumpuh atau mati saat tidur.

Dalam laporan kasus ini, kita membahas manifestasi penyakitnya dan gejala yang

ditimbulkan satu pasien gigitan ular

Kata Kunci: Gigitan, Kematian, Kecacatan, Manifestasi

1
Pengantar:

Gigitan ular merupakan kasus pada daerah tropis yang sering diabaikan dalam kasus

global. [1] Berjuta –juta data studi kematian di India salah satunya dkarenakan oleh gigitan ular.

Gigitan gigitan ular lebih dari 30 kali lipat dari yang tercatat di rumah sakit resmi. [2]

Dalam racun ular, bisa menyebabkan gangguan haemotoxic, neurotoxic, dan myotoxic.

Di kelompok neurotoksik, sebagian besar gigitan disebabkan oleh Ophiphagus Hannah (king

cobra), Naja naja (kobra biasa), dan Bungarus caeruleus (Krait) di India.

Banyak penelitian beragumen, gigitan ular menyebabkan gejala neurotoksisitas. Ada

banyak manifestasi klinis antara orang satu dengan yang lainnya, tergantung jenis ular yang

menggigit. Efek neurologis yang diakibatkan meliputi hipotensi, syok dan disfungsi organ lain

(seperti penurunan fugsi ginjal).

Manifestasi neurologis dari gigitan yang tidak berbisa dapat menimbulkan gangguang

koagulopati. Menurut beberapa penelitian dapat menyimpulkan sulit untuk menemukan

kelemahan neuromuskular, atau penilaian respon terhadap pengobatan.

Interpretasi dari neurofisiologis juga sulit menemukan perbedaan metode dari beberapa

penelitian. [3]

Namun, pemberian antisnake venom pada gigitan dengan tepat waktu dapat membantu

mencegah kematian dan morbiditas korban.

2
Kasus:

Seorang pria berusia 18 tahun, dibawah ke IGD RS kami pada dini hari, dengan keluhan

tiba-tiba sulit berjalan dan sulit menelan kemudian pingsan selama 4 jam.

Dia pergi tidur di malam hari, namun ia terbangun di pagi hari, karena dia haus. Dia

mengambil air dari dapur, tapi ia mengalami kesulitan dalam berjalan. Selanjutnya, saat ia

mencoba minum air, ia juga megeluh sulit menelan.

Beberapa jam kemudian, dia tiba-tiba menjadi tidak sadarkan diri dan dilarikan ke rumah

sakit kami. Kerabatnya memberikan keterangan bahwa pasien mengalami cedera ringan lutut

kiri, tujuh hari yang lalu.

Pada pemeriksaan umum, pasien tidak sadar, tidak responsif terhadap rangsangan yang

menyakitkan, denyut nadi dan tekanan darah normal, depresi pernafasan. Pucat, icterus, sianosis

clubbing, edema dan limfadenopati tidak ada.

Pada pemeriksaan sistemik, pemeriksaan pernafasan dan kardiovaskular normal.

Pemeriksaan sistem saraf pusat didapatkan hipotonik namun daya tidak dapat dinilai, karena

pasien pingsan.

Semua saraf kranial normal. Refleks cahaya normal. Pupil berukuran normal, dengan

reflek pupil normal.

Pasien diberi oksigen karena sesak, diberi antibiotik, disertai anti tetanus (ATS) karena

ada riwayat cedera yang dialami di lutut kiri. Selanjutnya, pasien diperiksa darah lengkap, CT

scan kepala dan pemeriksaan CSF.

Pada hari ke 2, semua pemeriksaan yang dilakukan normal. Tapi tubuh pasien tidak

ada respon terhadap obat yang telah diberikan .

Pada hari ke-3, pasien sedikit sadar , tapi disorientasi.

3
Seluruh pemeriksaan fisik dilakukan. Pemeriksaan neurologis didapatkan

pengelupasan kelopak mata bilateral, yang memberi kesan bahwa kita mungkin adalah kasus

gigitan ular neurotoksik. Dengan demikian kami memberikan enam botol antisnake venom

(ASV) yang diencerkan dalam 500 ml normal saline, setelah dilakukan uji sensitivitas.

Dosis lain dari antiracun diberikan, dalam bentuk empat botol, setelah 6 jam, diikuti

empat botol lagi setelah 12 jam. Myo-pyrolate 5ml yang diencerkan dalam 100 ml normal

saline juga diberikan perlahan 8 jam selama tiga hari. Keesokan harinya, pasien mulai

menunjukkan perbaikan. Kelopak mata perlahan kembali, dan pasien kembali sadar secara total

dalam satu hari.

Saat sadar, dia mengingat saat tidur di teras pada malam hari, dia digigit dekat

pergelangan kaki kanannya (yang tidak dilihatnya). Dia mengabaikan gigitan terssebut dan terus

tidur.

Hari kelima, pernafasannya membaik, jadi dia diekstubasi. Namun pemulihan kekuatan

otot tungkai bawahnya tidak begitu baik.

Pasien gigitan ular ini memiliki unit perawatan intensif yang cukup stabil selama tujuh

hari, setelah itu dia dipulangkan, dan disarankan fisioterapi untuk kelemahan residual pada

anggota badan bagian bawahnya.

4
Diskusi:

Racun ular mengandung beberapa jenis racun polipeptida, dimana neurotoksin

menghasilkan efek paralitik dengan mengikat situs presinaptik dan pasca sinaptik di

persimpangan neuromuskular. [4]

Gejala neurologis yang umum dalam meliputi ptosis (85,7%), ophthalmoplegia (75%),

kelemahan anggota badan (26,8%), gagal napas (17,9%), kelemahan palatal (10,7%) dan

kelemahan otot leher (7,1%). Ini biasanya dialami dalam waktu 6 jam setelah gigitan. (5)

Setelah pemberian antiracun, tanda-tanda pemulihan menjadi jelas dalam beberapa jam sampai

beberapa hari. [6]

Namun, pada pasien kami, kelemahan palatal terlebih dahulu, yang diikuti oleh

kelemahan pada tungkai bawah. Selanjutnya, ia mengalami kesulitan dalam respirasi, diikuti

dengank pengelupasan kedua kelopak mata, beberapa hari kemudian.

Racun yang masuk dan segera diberi antisnake venom (anti sera) yang tepat waktu

merupakan merupakan satu-satunya pengobatan yang efektif untuk menetralisir racun yang

masuk ke dalam sirkulasi. [7]

Antivom polivalen tidak memiliki manfaat yang signifikan dalam mengembalikan

kelumpuhan pernapasan dan mencegah komplikasi neurologis yang tertunda. Polyvalent ASV

relatif aman, dan reaksi alergi setelah injeksi ASV dapat dicegah dengan premedikasi dengan

adrenalin, hidrokortison IV dan antihistamin. [8]

Antikolinesterase bermanfaat melawan toksin postsynaptic yang menginduksi

myasthenia seperti blok. [9] Pada hewan, yang diberi racun ular dosis tinggi, efek

antikolinesterase sebagai penawar dalam memperpanjang waktu bertahan yang diharapkan. [10]

Namun, terlepas dari efek antikolinesterase yang telah terbukti, dan antisnake merupakan terapi

5
utama, dan dosis hingga 400 ml telah digunakan. Dalam kasus kami, 14 botol antisnake

polivalen digunakan.

Oksigen merupakan terapi utama pada gigitan ular . komplikasi yang terjadi

berbanding lurus dengan durasi racun dalam darah. Kegagalan pernafasan adalah penyebab

paling umum kematian dan morbiditas pada korban yang digigit ular. Angka kematian 7,6%

diamati pada pasien dengan perawatan intensif.

Kegagalan pernafasan dan oksigenasi yang tepat waktu dapat menurunkan morbiditas dan

mortalitas. Namun karena ketersediaan yang buruk di daerah pinggiran dan di pusat kecamatan

ASV yang lebih luas, masih tetap menjadi andalan terapi. [8]

Kesimpulan:

Dapat disimpulkan, bahwa meskipun tidak ada riwayat gigitan ular, kasus yang disertai

dengan gejala neurologis yang tiba-tiba, seperti kelemahan anggota badan, paralisis pernafasan

dan pengelupasan kelopak mata, kemungkinan dari gigitan ular. Pemberian ASV polivalen

intravena tepat waktu dengan oksigenasi telah terbukti menyelamatkan jiwa dalam semua kasus

tersebut.

You might also like