You are on page 1of 28

PRESENTASI KASUS

GENERAL ANASTESI PADA LAPAROSCOPY


KASUS APPENDICITIS AKUT

Disusun Untuk Memenuhi Syarat Kelulusan Kepaniteraan Klinik


Bagian Ilmu Anestesi di RSUD Tidar Kota Magelang

Disusun oleh :

Disusun Oleh :

Arifin Nugroho
20174011053

Dokter Pembimbing
dr. Michael Budi Aviantoro, Sp.An

PROGRAM PENDIDIKAN PROFESI DOKTER


FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA
2018
BAB I
LAPORAN KASUS

A. IDENTITAS PASIEN
Nama : Nn Lh
Jenis Kelamin : Perempuan
Usia : 19 tahun
Berat Badan : 53 kg
Agama : Islam
Alamat : Magelang
Diagnosis : Appendicitis Akut

B. ANAMNESIS
a. Keluhan utama : Nyeri Perut Kanan Bawah
b. Riwayat penyakit sekarang :
Pada anamnesis didapatkan pasien mengeluh nyeri perut kanan bawah sejak 3
hari. Nyeri yang dialami pasien hilang timbul dan memberat saat bagian perut
kanan bawah ditekan. Menurut orangtuanya, keluhan nyeri dirasakan setelah
beberapa hari, sebelumnya sempat mengalami demam. Selain itu pasien juga
merasa sangat mual dan beberapa kali munta - muntah selama 3 hari terakhir.
Pasien juga mengatakan kalau nafsu makan pasien turun. Pasien tidak merasa
pusing, adanya nyeri telan, diare, maupun adanya penurunan berat badan.
c. Riwayat penyakit dahulu :
1) Riwayat asma disangkal
2) Riwayat alergi makanan dan obat disangkal
d. Riwayat penyakit keluarga:
Riwayat asma, alergi dan riwayat penyakit yang sama dengan pasien
disangkal.

C. PEMERIKSAAN FISIK
GCS : E4V5M6 = 15
Vital Sign : Tekanan darah : 120/80 mmHg

2
Nadi : 82 x/menit

Suhu : 36,8C
Pernafasan : 18 x/menit

Status Generalis
a. Kulit : Warna kulit sawo matang, tidak ikterik, tidak sianosis, turgor
kulit cukup, capilary refill kurang dari 2 detik dan teraba
hangat.
b. Kepala : Tampak tidak ada jejas, tidak ada bekas trauma, distribusi
merata dan tidak mudah dicabut.
c. Mata : Tidak terdapat konjungtiva anemis dan sklera ikterik
d. Pemeriksaan Leher
1) Inspeksi : Tidak terdapat jejas
2) Palpasi : Trakea teraba di tengah, tidak terdapat pembesaran kelenjar
tiroid. Teraba pembesaran limfonodi submandibula.
i. Pemeriksaan Thorax
1) Jantung
a) Inspeksi : Tampak ictus cordis 2cm dibawah papila mamae sinistra
b) Palpasi : Ictus cordis teraba kuat
c) Perkusi :
i. Batas atas kiri : ICS II garis parasternal sinsitra
ii. Batas atas kanan : ICS II garis parasternal dextra
iii. Batas bawah kiri : ICS V garis midclavikula sinistra
iv. Batas bawah kanan : ICS IV garis parasterna dextra
d) Auskultasi : S1 > S2 reguler, tidak ditemukan gallop dan murmur.
2) Paru
a) Inspeksi : Dinding dada simetris pada saat statis dan dinamis serta
tidak ditemukan retraksi dan ketertinggalan gerak.
b) Palpasi : Simetris, vokal fremitus kanan sama dengan kiri dan tidak
terdapat ketertinggalan gerak.
c) Perkusi : Sonor kedua lapang paru
d) Auskultasi: Tidak terdengar suara rhonkhi pada kedua pulmo. Tidak
terdengar suara wheezing
j. Pemeriksaan Abdomen

3
a) Inspeksi : Perut datar, simetris, tidak terdapat jejas dan massa
b) Auskultasi : Terdengar suara bising usus
c) Perkusi : Timpani
d) Palpasi : Supel, tidak terdapat nyeri tekan. Hepar dan lien tidak
teraba. Nyeri tekan regio kanan bawah (+) nyeri alih (+).
k. Pemeriksaan Ekstremitas :
 Tidak terdapat jejas, bekas trauma, massa, dan sianosis
 Turgor kulit cukup, akral hangat

D. PEMERIKSAAN PENUNJANG
 Laboratorium
Pemeriksaan Nilai normal
Hematologi
Hemoglobin 11,6 11,5-15,5 g/dL
Leukosit 12.90 4800-10800/L
Hematokrit 33,4 35-45%
Eritrosit 4,27x106 4,0-4,2x106/
Trombosit 442000 150000-450000/L
MCV 77,1 80,0-99,0 fl
MCH 27,2 27,0-31,0 pg
MCHC 34,9 33,0-37,0 %
RDW 14.5 11,5-14,5 %
MPV 7.4 7,2-14,1 fl
CT 2.00 1-3 menit
BT 2.00 1-6 menit
Gol. Darah A
Kimia Klinik
SGOT 17 < 31 U/L
SGPT 8 < 32 U/L
Ureum 16,9 10-50 mg/dL
Creatinin 0,63 0,60-0,90 mg/dL
GDS 107 ≤ 200 mg/dL

4
Seroimmunologi
HbsAg Negatif Negatif

E. KESAN ANESTESI
Perempuan 19 tahun menderita Appendicitis Akut dengan ASA I

F. PENATALAKSANAAN
Penatalaksanaan yaitu :
a. Intravena fluid drip (IVFD) RL 20 tpm
b. Pro Laparoscopy
c. Informed Consent Operasi
d. Konsul ke Bagian Anestesi
e. Informed Consent Pembiusan
Dilakukan operasi dengan general anestesi dengan status ASA I

G. KESIMPULAN
Berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisik, maka :
Diagnosis pre operatif : Appendicitis Akut
Status Operatif : ASA 1, Mallampati II
Jenis Operasi : Laparoscopy Appendicitis
Jenis Anastesi : General Anastesi

5
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Anatomi Dan Fisiologi Saluran Nafas Bagian Atas


Dalam melakukan tindakan intubasi endotrakheal terlebih dahulu kita harus
memahami anatomi dan fisiologi jalan napas bagian atas dimana intubasi itu dipasang.

Gambar 1. Anatomi Saluran Nafas Bagian Atas


( dikutip : www.pearsoned.co.uk )

1. Respirasi Internal dan Eksternal


Respirasi dibagi dalam dua fase. Fase pertama ekspirasi eksternal dalam
pengertian yang sama dengan bernafas. Ini merupakan kombinasi dari pergerakan otot
dan skelet, dimana udara untuk pertama kali didorong ke dalam paru dan selanjutnya
dikeluarkan. Peristiwa ini termasuk inspirasi dan ekspirasi. Fase yang lain adalah
respirasi internal yang meliputi perpindahan / pergerakan molekul-molekul dari gas-gas
pernafasan (oksigen dan karbondioksida) melalui membrana, perpindahan cairan, dan
sel-sel dari dalam tubuh sesuai keperluan.
2. Organ-organ pernafasan
Traktus respiratorius ini meliputi: (a) rongga hidung (b) laring (c) trakea (d)
bronkhus (e) paru-paru dan (f) pleura. Faring mempunyai dua fungsi yaitu untuk sistem
pernafasan dan sistem pencernaan. Beberapa otot berperan dalam proses pernafasan.
Diafragma merupakan otot pernafasan yang paling penting disamping muskulus
intercostalis interna dan eksterna beberapa otot yang lainnya.

6
Gambar 2. Sistem Respirasi
( dikutip : www.pearsoned.co.uk )

3. Faring
Udara masuk ke dalam rongga mulut atau hidung melalui faring dan masuk ke
dalam laring. Nasofaring terletak di bagian posterior rongga hidung yang
menghubungkannya melalui nares posterior. Udara masuk ke bagian faring ini turun
melewati dasar dari faring dan selanjutnya memasuki laring.
Kontrol membukanya faring, dengan pengecualian dari esofagus dan
membukanya tuba auditiva, semua pasase pembuka masuk ke dalam faring dapat
ditutup secara volunter. Kontrol ini sangat penting dalam pernafasan dan waktu makan,
selama membukanya saluran nafas maka jalannya pencernaan harus ditutup sewaktu
makan dan menelan atau makanan akan masuk ke dalam laring dan rongga hidung
posterior.
4. Laring
Organ ini (kadang-kadang disebut sebagai Adam’s Apple) terletak di antara akar
lidah dan trakhea. Laring terdiri dari 9 kartilago melingkari bersama dengan ligamentum
dan sejumlah otot yang mengontrol pergerakannya. Kartilago yang kaku pada dinding
laring membentuk suatu lubang berongga yang dapat menjaga agar tidak mengalami
kolaps. Pita suara terletak di dalam laring, oleh karena itu ia sebagai organ pengeluaran
suara yang merupakan jalannya udara antara faring dan laring. Bagian laring sebelah
atas luas, sementara bagian bawah sempit dan berbentuk silinder. Fungsi laring, yaitu
mengatur tingkat ketegangan dari pita suara yang selanjutnya mengatur suara. Laring

7
juga menerima udara dari faring diteruskan ke dalam trakhea dan mencegah makanan
dan air masuk ke dalam trakhea. Ketika terjadi pengaliran udara pada trakhea, glotis
hampir terbuka setiap saat dengan demikian udara masuk dan keluar melalui laring
namun akan menutup pada saat menelan. Epiglotis yang berada di atas glottis selain
berfungsi sebagai penutup laring juga sangat berperan pada waktu memasang intubasi,
karena dapat dijadikan patokan untuk melihat pita suara yang berwarna putih yang
mengelilingi lubang.
B. Appendicitis Akut
Appendicitis adalah peradangan yang terjadi pada Appendix vermicularis, dan
merupakan penyebab abdomen akut yang paling sering pada anak-anak maupun
dewasa. Appendicitis akut merupakan kasus bedah emergensi yang paling sering
ditemukan pada anak-anak dan remaja. Terdapat sekitar 250.000 kasus appendicitis
yang terjadi di Amerika Serikat setiap tahunnya dan terutama terjadi pada anak usia 6-
10 tahun.
1. Anatomi
Apendiks merupakan organ berbentuk tabung, panjangnya kira-kira 10cm (kisaran
3-15cm), dan berpangkal di caecum. Lumennya sempit di bagian proksimal dan melebar
di bagian distal. Namun demikian, pada bayi, apendiks berbentuk kerucut, lebar pada
pangkalnya dan menyempit ke arah ujungnya. Keadaan ini mungkin menjadi sebab
rendahnya insiden appendicitis pada usia itu. Pada 65% kasus, apendiks terletak
intraperitoneal. Kedudukan itu memungkinkan apendiks bergerak dan ruang geraknya
bergantung pada panjang mesoapendiks penggantungnya4. Pada kasus selebihnya,
apendiks terletak retroperitoneal, yaitu di belakang caecum, di belakang colon
ascendens, atau di tepi lateral colon ascendens. Gejala klinis appendicitis ditentukan
oleh letak apendiks. Persarafan parasimpatis berasal dari cabang n.vagus yang
mengikuti a.mesenterica superior dan a.apendikularis, sedangkan persarafan simpatis
berasal dari n.torakalis X. Oleh karena itu, nyeri visceral pada appendicitis bermula di
sekitar umbilicus. Pendarahan apendiks berasal dari a.apendikularis yang merupakan
arteri tanpa kolateral. Jika arteri ini tersumbat, misalnya karena thrombosis pada infeksi
apendiks akan mengalami gangren.

8
Gambar 3. Sistem Pencernaan
2. Fisiologi
Apendiks menghasilkan lender 1-2 ml per hari. Lendir itu normalnya dicurahkan
ke dalam lumen dan selanjutnya mengalir ke caecum. Hambatan aliran lender di muara
apendiks tampaknya berperan pada pathogenesis appendicitis. Immunoglobulin
sekretoar yang dihasilkan oleh GALT (gut associated lymphoid tissue) yang terdapat di
sepanjang saluran cerna termasuk apendiks, ialah IgA. Immunoglobulin itu sangat
efektif sebagai pelindung terhadap infeksi. Namun demikian, pengangkatan apendiks
tidak mempengaruhi sistem imun tubuh karena jkumlah jaringan limf disini kecil sekali
jika dibandingkan dengan jumlahnya di saluran cerna dan di seluruh tubuh.
3. Etiologi
Appendicitis disebabkan karena adanya obstruksi pada lumen appendix sehingga terjadi
kongseti vaskuler, iskemik nekrosis dan akibatnya terjadi infeksi. Appendicitis
umumnya terjadi karena infeksi bakteri. Penyebab obstruksi yang paling sering adalah
fecolith. Fecolith ditemukan pada sekitar 20% anak dengan appendicitis. Penyebab lain
dari obstruksi appendiks meliputi: Hiperplasia folikel lymphoid Carcinoid atau tumor
lainnya Benda asing (pin, biji-bijian) Kadang parasit. Penyebab lain yang diduga
menimbulkan Appendicitis adalah ulserasi mukosa appendix oleh parasit E. histolytica.
Berbagai spesies bakteri yang dapat diisolasi pada pasien appendicitis yaitu: Bakteri
aerob fakultatif Bakteri anaerob Escherichia coli Viridans streptococci Pseudomonas
aeruginosa Enterococcus Bacteroides fragilis Peptostreptococcus micros Bilophila
species Lactobacillus species.
9
4. Patogenesis
Appendicitis terjadi dari proses inflamasi ringan hingga perforasi, khas dalam 24-
36 jam setelah munculnya gejala, kemudian diikuti dengan pembentukkan abscess
setelah 2-3 hari Appendicitis dapat terjadi karena berbagai macam penyebab, antara lain
obstruksi oleh fecalith, gallstone, tumor, atau bahkan oleh cacing (Oxyurus
vermicularis), akan tetapi paling sering disebabkan obstruksi oleh fecalith dan kemudian
diikuti oleh proses peradangan. Hasil observasi epidemiologi juga menyebutkan bahwa
obstruksi fecalith adalah penyebab terbesar, yaitu sekitar 20% pada ank dengan
appendicitis akut dan 30-40% pada anak dengan perforasi appendiks. Hiperplasia folikel
limfoid appendiks juga dapat menyababkan obstruksi lumen. Insidensi terjadinya
appendicitis berhubungan dengan jumlah jaringan limfoid yang hyperplasia. Penyebab
dari reaksi jaringan limfatik baik lokal atau general misalnya akibat infeksi Yersinia,
Salmonella, dan Shigella; atau akibat invasi parasit seperti Entamoeba, Strongyloides,
Enterobius vermicularis, Schistosoma, atau Ascaris. Appendicitis juga dapat
diakibatkan oleh infeksi virus enteric atau sistemik, seperti measles, chicken pox, dan
cytomegalovirus. Pasien dengan cyctic fibrosis memiliki peningkatan insidensi
appendicitis akibat perubahan pada kelenjar yang mensekresi mucus. Carcinoid tumor
juga dapat mengakibatkan obstruksi appendiks, khususnya jika tumor berlokasi di 1/3
proksimal. Selama lebih dari 200 tahun, benda asaning seperti pin, biji sayuran, dan
batu cherry dilibatkan dalam terjadinya appendicitis. Trauma, stress psikologis, dan
herediter juga mempengaruhi terjadinya appendicitis. Awalnya, pasien akan merasa
gejala gastrointestinal ringan seperti berkurangnya nafsu makan, perubahan kebiasaan
BAB yang minimal, dan kesalahan pencernaan. Anoreksia berperan penting pada
diagnosis appendicitis, khususnya pada anak-anak. Distensi appendiks menyebabkan
perangsangan serabut saraf visceral dan dipersepsikan sebagai nyeri di daerah
periumbilical.

5. Gambaran Klinis
Appendicitis dapat mengenai semua kelompok usia. Meskipun sangat jarang pada
neonatus dan bayi, appendicitis akut kadang-kadang dapat terjadi dan diagnosis
appendicitis jauh lebih sulit dan kadang tertunda. Nyeri merupakan gejala yang pertama
kali muncul.

10
Seringkali dirasakan sebagai nyeri tumpul, nyeri di periumbilikal yang samar-
samar, tapi seiring dengan waktu akan berlokasi di abdomen kanan bawah. Terjadi
peningkatan nyeri yang gradual seiring dengan perkembangan penyakit. Variasi lokasi
anatomis appendiks dapat mengubah gejala nyeri yang terjadi. Pada anak-anak,
dengan letak appendiks yang retrocecal atau pelvis, nyeri dapat mulai terjadi di
kuadran kanan bawah tanpa diawali nyeri pada periumbilikus. Nyeri pada flank, nyeri
punggung, dan nyeri alih pada testis juga merupakan gejala yang umum pada anak
dengan appendicitis retrocecal arau pelvis1. Jika inflamasi dari appendiks terjadi di
dekat ureter atau bladder, gejal dapat berupa nyeri saat kencing atau perasaan tidak
nyaman pada saat menahan kencing dan distensi kandung kemih. Anorexia, mual, dan
muntah biasanya terjadi dalam beberapa jam setelah onset terjadinya nyeri. Muntah
biasanya ringan. Diare dapat terjadi akibat infeksi sekunder dan iritasi pada ileum
terminal atau caecum. Gejala gastrointestinal yang berat yang terjadi sebelum onset
nyeri biasanya mengindikasikan diagnosis selain appendicitis. Meskipun demikian,
keluhan GIT ringan seperti indigesti atau perubahan bowel habit dapat terjadi pada
anak dengan appendicitis. Pada appendicitis tanpa komplikasi biasanya demam ringan
(37,5 -38,5 0 C). Jika suhu tubuh diatas 38,6 0 C, menandakan terjadi perforasi. Anak
dengan appendicitis kadang-kadang berjalan pincang pada kaki kanan. Karena saat
menekan dengan paha kanan akan menekan Caecum hingga isi Caecum berkurang
atau kosong. Bising usus meskipun bukan tanda yang dapat dipercaya dapat menurun
atau menghilang. Anak dengan appendicitis biasanya menghindari diri untuk bergerak
dan cenderung untuk berbaring di tempat tidur dengan kadang-kadang lutut diflexikan.
Anak yang menggeliat dan berteriak-teriak jarang menderita appendicitis, kecuali pada
anak dengan appendicitis retrocaecal, nyeri seperti kolik renal akibat perangsangan
ureter.
C. Anestesi Umum
Anestesi umum adalah tindakan menghilangkan rasa nyeri/sakit secara sentral
disertai hilangnya kesadaran dan dapat pulih kembali (reversibel). Komponen trias
anestesi yang ideal terdiri dari analgesia, hipnotik, dan relaksasi otot.
Obat anestesi yang masuk ke pembuluh darah atau sirkulasi kemudian menyebar
ke jaringan. Yang pertama terpengaruh oleh obat anestesi ialah jaringan kaya akan
pembuluh darah seperti otak, sehingga kesadaran menurun atau hilang, hilangnya rasa
sakit, dan sebagainya. Seseorang yang memberikan anestesi perlu mengetahui stadium

11
anestesi untuk menentukan stadium terbaik pembedahan itu dan mencegah terjadinya
kelebihan dosis.
Agar anestesi umum dapat berjalan dengan sebaik mungkin, pertimbangan
utamanya adalah memilih anestetika ideal. Pemilihan ini didasarkan pada beberapa
pertimbangan yaitu keadaan penderita, sifat anestetika, jenis operasi yang dilakukan,
dan peralatan serta obat yang tersedia. Sifat anestetika yang ideal antara lain mudah
didapat, murah, tidak menimbulkan efek samping terhadap organ vital seperti saluran
pernapasan atau jantung, tidak mudah terbakar, stabil, cepat dieliminasi, menghasilkan
relaksasi otot yang cukup baik, kesadaran cepat kembali, tanpa efek yang tidak
diinginkan.
Obat anestesi umum yang ideal mempunyai sifat-sifat antara lain pada dosis yang
aman mempunyai daya analgesik relaksasi otot yang cukup, cara pemberian mudah,
mulai kerja obat yang cepat dan tidak mempunyai efek samping yang merugikan. Selain
itu obat tersebut harus tidak toksik, mudah dinetralkan, mempunyai batas keamanan
yang luas.
1. Macam-macam Teknik Anestesi
 Open drop method: Cara ini dapat digunakan untuk anestesik yang menguap,
peralatan sangat sederhana dan tidak mahal. Zat anestetik diteteskan pada kapas
yang diletakkan di depan hidung penderita sehingga kadar yang dihisap tidak
diketahui, dan pemakaiannya boros karena zat anestetik menguap ke udara
terbuka.
 Semi open drop method: Hampir sama dengan open drop, hanya untuk
mengurangi terbuangnya zat anestetik digunakan masker. Karbondioksida yang
dikeluarkan sering terhisap kembali sehingga dapat terjadi hipoksia. Untuk
menghindarinya dialirkan volume fresh gas flow yang tinggi minimal 3x dari
minimal volume udara semenit.
 Semi closed method: Udara yang dihisap diberikan bersama oksigen murni
yang dapat ditentukan kadarnya kemudian dilewatkan pada vaporizer sehingga
kadar zat anestetik dapat ditentukan. Udara napas yang dikeluarkan akan
dibuang ke udara luar. Keuntungannya dalamnya anestesi dapat diatur dengan
memberikan kadar tertentu dari zat anestetik, dan hipoksia dapat dihindari
dengan memberikan volume fresh gas flow kurang dari 100% kebutuhan.

12
 Closed method: Cara ini hampir sama seperti semi closed hanya udara
ekspirasi dialirkan melalui soda lime yang dapat mengikat CO2, sehingga udara
yang mengandung anestetik dapat digunakan lagi.
Dalam memberikan obat-obatan pada penderita yang akan menjalani operasi maka
perlu diperhatikan tujuannya yaitu sebagai premedikasi, induksi, maintenance, dan lain-
lain.
2. Persiapan Pra Anestesi
Pasien yang akan menjalani anestesi dan pembedahan (elektif/darurat) harus
dipersiapkan dengan baik. Kunjungan pra anestesi pada bedah elektif dilakukan 1-2 hari
sebelumnya, dan pada bedah darurat sesingkat mungkin. Kunjungan pra anestesi pada
pasien yang akan menjalani operasi dan pembedahan baik elektif dan darurat mutlak
harus dilakukan untuk keberhasilan tindakan tersebut. Adapun tujuan kunjungan pra
anestesi adalah:
a. Mempersiapkan mental dan fisik secara optimal.
b. Merencanakan dan memilih teknik serta obat-obat anestesi yang sesuai dengan
fisik dan kehendak pasien.
c. Menentukan status fisik dengan klasifikasi ASA (American Society
Anesthesiology):
ASA I : Pasien normal sehat, kelainan bedah terlokalisir, tanpa kelainan faali,
biokimiawi, dan psikiatris. Angka mortalitas 2%.
ASA II : Pasien dengan gangguan sistemik ringan sampai dengan sedang
sebagai akibat kelainan bedah atau proses patofisiologis. Angka
mortalitas 16%.
ASA III : Pasien dengan gangguan sistemik berat sehingga aktivitas harian
terbatas. Angka mortalitas 38%.
ASA IV : Pasien dengan gangguan sistemik berat yang mengancam jiwa, tidak
selalu sembuh dengan operasi. Misal : insufisiensi fungsi organ,
angina menetap. Angka mortalitas 68%.
ASA V : Pasien dengan kemungkinan hidup kecil. Tindakan operasi hampir
tak ada harapan. Tidak diharapkan hidup dalam 24 jam tanpa operasi
/ dengan operasi. Angka mortalitas 98%.
ASA VI : Pasien mati otak yang organ tubuhnya akan diambil (didonorkan)
Untuk operasi cito, ASA ditambah huruf E (Emergency) terdiri dari kegawatan
otak, jantung, paru, ibu dan anak.
13
a. Pemeriksaan praoperasi anestesi
I. Anamnesis
1. Identifikasi pasien yang terdiri dari nama, umur, alamat, dll.
2. Keluhan saat ini dan tindakan operasi yang akan dihadapi.
3. Riwayat penyakit yang sedang/pernah diderita yang dapat menjadi penyulit
anestesi seperti alergi, diabetes melitus, penyakit paru kronis (asma bronkhial,
pneumonia, bronkhitis), penyakit jantung, hipertensi, dan penyakit ginjal.
4. Riwayat obat-obatan yang meliputi alergi obat, intoleransi obat, dan obat yang
sedang digunakan dan dapat menimbulkan interaksi dengan obat anestetik
seperti kortikosteroid, obat antihipertensi, antidiabetik, antibiotik, golongan
aminoglikosid, dan lain lain.
5. Riwayat anestesi dan operasi sebelumnya yang terdiri dari tanggal, jenis
pembedahan dan anestesi, komplikasi dan perawatan intensif pasca bedah.
6. Riwayat kebiasaan sehari-hari yang dapat mempengaruhi tindakan anestesi
seperti merokok, minum alkohol, obat penenang, narkotik
7. Riwayat keluarga yang menderita kelainan seperti hipertensi maligna.
8. Riwayat berdasarkan sistem organ yang meliputi keadaan umum, pernafasan,
kardiovaskular, ginjal, gastrointestinal, hematologi, neurologi, endokrin,
psikiatrik, ortopedi dan dermatologi.

II. Pemeriksaan Fisik


1. Keadaan psikis : gelisah,takut, kesakitan
2. Keadaan gizi : malnutrisi atau obesitas
3. Tinggi dan berat badan. Untuk memperkirakan dosis obat, terapi cairan yang
diperlukan, serta jumlah urin selama dan sesudah pembedahan.
4. Frekuensi nadi, tekanan darah, pola dan frekuensi pernafasan, serta suhu tubuh.
5. Jalan nafas (airway). Jalan nafas diperiksa untuk mengetahui adanya trismus,
keadaan gigi geligi, adanya gigi palsu, gangguan fleksi ekstensi leher, deviasi
ortopedi dan dermatologi. Ada pula pemeriksaan mallampati, yang dinilai dari
visualisasi pembukaan mulut maksimal dan posisi protusi lidah. Pemeriksaan
mallampati sangat penting untuk menentukan kesulitan atau tidaknya dalam
melakukan intubasi. Penilaiannya yaitu:
i. Mallampati I : palatum molle, uvula, dinding posterior
oropharynk, tonsilla palatina dan tonsilla
14
pharingeal

ii. Mallampati II : palatum molle, sebagian uvula, dinding


posterior uvula
iii. Mallampati III : palatum molle, dasar uvula
iv. Mallampati IV : palatum durum saja
6. Jantung, untuk mengevaluasi kondisi jantung
7. Paru-paru, untuk melihat adanya dispneu, ronki dan mengi
8. Abdomen, untuk melihat adanya distensi, massa, asites, hernia, atau tanda
regurgitasi.
9. Ekstremitas, terutama untuk melihat adanya perfusi distal, sianosis, adanya jari
tabuh, infeksi kulit, untuk melihat di tempat-tempat pungsi vena atau daerah
blok saraf regional
III. Pemeriksaan laboratorium dan penunjang lain
 Lab rutin :
1. Pemeriksaan lab. Darah
2. Urine : protein, sedimen, reduksi
3. Foto rongten ( thoraks )
4. EKG
 Pemeriksaan khusus, dilakukan bila ada indikasi :
1. EKG
2. Spirometri pada tumor paru
3. Tes fungsi hati pada ikterus
4. Fungsi ginjalpada hipertensi
5. AGD, elektrolit.
b. Premedikasi Anestesi
Premedikasi anestesi adalah pemberian obat sebelum anestesi. Adapun tujuan dari
premedikasi antara lain :
a. memberikan rasa nyaman bagi pasien, misal : diazepam.
b. menghilangkan rasa khawatir, misal : diazepam
c. membuat amnesia, misal : diazepam, midazolam
d. memberikan analgesia, misal : fentanyl, pethidin
e. mencegah muntah, misal : droperidol, ondansentron
f. memperlancar induksi, misal : pethidin

15
g. mengurangi jumlah obat-obat anesthesia, misal pethidin
h. menekan reflek-reflek yang tidak diinginkan, misal : tracurium, sulfas atropin.
i. mengurangi sekresi kelenjar saluran nafas, misal : sulfas atropin dan hiosin.
Premedikasi diberikan berdasar atas keadaan psikis dan fisiologis pasien yang
ditetapkan setelah dilakukan kunjungan prabedah. Dengan demikian maka pemilihan
obat premedikasi yang akan digunakan harus selalu dengan mempertimbangkan umur
pasien, berat badan, status fisik, derajat kecemasan, riwayat pemakaian obat anestesi
sebelumnya, riwayat hospitalisasi sebelumnya, riwayat penggunaan obat tertentu yang
berpengaruh terhadap jalannya anestesi, perkiraan lamanya operasi, macam operasi,
dan rencana anestesi yang akan digunakan.
c. Obat-obatan Premedikasi
Pada kasus ini digunakan obat premedikasi :

Fentanil
Fentanil merupakan salah satu preparat golongan analgesik opioid dan
termasuk dalam opioid potensi tinggi dengan dosis 100-150 mcg/kgBB, termasuk
sufentanil (0,25-0,5 mcg/kgBB). Bahkan sekarang ini telah ditemukan remifentanil,
suatu opioid yang poten dan sangat cepat onsetnya, telah digunakan untuk
meminimalkan depresi pernapasan residual. Opioid dosis tinggi yang deberikan
selama operasi dapat menyebabkan kekakuan dinding dada dan larynx, dengan
demikian dapat mengganggu ventilasi secara akut, sebagaimana meningkatnya
kebutuhan opioid potoperasi berhubungan dengan perkembangan toleransi akut. Maka
dari itu, dosis fentanyl dan sufentanil yang lebih rendah telah digunakan sebagai
premedikasi dan sebagai suatu tambahan baik dalam anestesi inhalasi maupun
intravena untuk memberikan efek analgesi perioperatif.

Sebagai analgesik, potensinya diperkirakan 80 kali morfin. Lamanya efek


depresi nafas fentanil lebih pendek dibanding meperidin. Efek euphoria dan analgetik
fentanil diantagonis oleh antagonis opioid, tetapi secara tidak bermakna diperpanjang
masanya atau diperkuat oleh droperidol, yaitu suatu neuroleptik yang biasanya
digunakan bersama sebagai anestesi IV. Dosis tinggi fentanil menimbulkan kekakuan
yang jelas pada otot lurik, yang mungkin disebabkan oleh efek opioid pada tranmisi
dopaminergik di striatum. Efek ini di antagonis oleh nalokson. Fentanyl biasanya
digunakan hanya untuk anestesi, meski juga dapat digunakan sebagai anelgesi pasca
operasi. Obat ini tersedia dalam bentuk larutan untuk suntik dan tersedia pula dalam
16
bentuk kombinasi tetap dengan droperidol. Fentanyl dan droperidol (suatu
butypherone yang berkaitan dengan haloperidol) diberikan bersama-sama untuk
menimbulkan analgesia dan amnesia dan dikombinasikan dengan nitrogen oksida
memberikan suatu efek yang disedut sebagai neurolepanestesia.

d. Induksi
Induksi merupakan saat dimasukkannya zat anestesi sampai tercapainya
stadium pembedahan yang selanjutnya diteruskan dengan tahap pemeliharaan anestesi
untuk mempertahankan atau memperdalam stadium anestesi setelah induksi.

Pada kasus ini digunakan obat induksi :

Propofol
Propofol (2,6-diisoprophylphenol) adalah campuran 1% obat dalam air dan
emulsi yang berisi 10% soya bean oil, 1,2% phosphatide telur dan 2,25% glyserol.
Dosis yang dianjurkan 2,5 mg/kgBB untuk induksi tanpa premedikasi.
Propofol memiliki kecepatan onset yang sama dengan barbiturat intravena
lainnya, namun pemulihannya lebih cepat dan pasien dapat diambulasi lebih cepat
setelah anestesi umum. Selain itu, secara subjektif, pasien merasa lebih baik setelah
postoperasi karena propofol mengurangi mual dan muntah postoperasi. Propofol
digunakan baik sebagai induksi maupun mempertahankan anestesi dan merupakan
agen pilihan untuk operasi bagi pasien rawat jalan. Obat ini juga efektif dalam
menghasilkan sedasi berkepanjangan pada pasien dalam keadaan kritis. Penggunaan
propofol sebagai sedasi pada anak kecil yang sakit berat (kritis) dapat memicu
timbulnya asidosis berat dalam keadaan terdapat infeksi pernapasan dan kemungkinan
adanya skuele neurologik.
Pemberian propofol (2mg/kg) intravena menginduksi anestesi secara cepat.
Rasa nyeri kadang-kadang terjadi di tempat suntikan, tetapi jarang disertai plebitis
atau trombosis. Anestesi dapat dipertahankan dengan infus propofol yang
berkesinambungan dengan opiat, N2O dan/atau anestetik inhalasi lain.
Propofol dapat menyebabkan turunnya tekanan darah yang cukup berarti
selama induksi anestesi karena menurunnya resitensi arteri perifer dan venodilatasi.
Propofol menurunkan tekanan arteri sistemik kira-kira 80% tetapi efek ini disebabkan
karena vasodilatasi perifer daripada penurunan curah jantung. Tekanan sistemik
kembali normal dengan intubasi trakea.

17
Setelah pemberian propofol secara intravena, waktu paruh distribusinya adalah
2-8 menit, dan waktu paruh redistribusinya kira-kira 30-60 menit. Propofol cepat
dimetabolisme di hati 10 kali lebih cepat daripada thiopenthal pada tikus. Propofol
diekskresikan ke dalam urin sebagai glukoronid dan sulfat konjugat, dengan kurang
dari 1% diekskresi dalam bentuk aslinya. Klirens tubuh total anestesinya lebih besar
daripada aliran darah hepatik, sehingga eliminasinya melibatkan mekanisme
ekstrahepatik selain metabolismenya oleh enzim-enzim hati. Propofol dapat
bermanfaat bagi pasien dengan gangguan kemampuan dalam memetabolisme obat-
obat anestesi sedati yang lainnya. Propofol tidak merusak fungsi hati dan ginjal. Aliran
darah ke otak, metabolisme otak dan tekanan intrakranial akan menurun. Keuntungan
propofol karena bekerja lebih cepat dari tiopental dan konvulsi pasca operasi yang
minimal.
Propofol merupakan obat induksi anestesi cepat. Obat ini didistribusikan cepat
dan dieliminasi secara cepat. Hipotensi terjadi sebagai akibat depresi langsung pada
otot jantung dan menurunnya tahanan vaskuler sistemik. Propofol tidak mempunyai
efek analgesik. Dibandingkan dengan tiopental waktu pulih sadar lebih cepat dan
jarang terdapat mual dan muntah. Pada dosis yang rendah propofol memiliki efek
antiemetik.

Efek samping propofol pada sistem pernafasan adanya depresi pernafasan,


apnea, bronkospasme, dan laringospasme. Pada sistem kardiovaskuler berupa
hipotensi, aritmia, takikardi, bradikardi, hipertensi. Pada susunan syaraf pusat adanya
sakit kepala, pusing, euforia, kebingungan, dll. Pada daerah penyuntikan dapat terjadi
nyeri sehingga saat pemberian dapat dicampurkan lidokain (20-50 mg).

e. Pemeliharaan
Nitrous Oksida (N2O)
Merupakan gas yang tidak berwarna, berbau manis dan tidak iritatif, tidak
berasa, lebih berat dari udara, tidak mudah terbakar/meledak, dan tidak bereaksi
dengan soda lime absorber (pengikat CO2). Mempunyai sifat anestesi yang kurang
kuat, tetapi dapat melalui stadium induksi dengan cepat, karena gas ini tidak larut
dalam darah. Gas ini tidak mempunyai sifat merelaksasi otot, oleh karena itu pada
operasi abdomen dan ortopedi perlu tambahan dengan zat relaksasi otot. Terhadap SSP
menimbulkan analgesi yang berarti. Depresi nafas terjadi pada masa pemulihan, hal ini
terjadi karena Nitrous Oksida mendesak oksigen dalam ruangan-ruangan tubuh.
18
Hipoksia difusi dapat dicegah dengan pemberian oksigen konsentrasi tinggi beberapa
menit sebelum anestesi selesai. Penggunaan biasanya dipakai perbandingan atau
kombinasi dengan oksigen. Penggunaan dalam anestesi umumnya dipakai dalam
kombinasi N2O : O2 adalah sebagai berikut 60% : 40% ; 70% : 30% atau 50% : 50% .
f. Obat Pelumpuh Otot
Obat golongan ini menghambat transmisi neuromuscular sehingga
menimbulkan kelumpuhan pada otot rangka. Menurut mekanisme kerjanya, obat ini
dibagi menjadi 2 golongan yaitu obat penghambat secara depolarisasi resisten,
misalnya suksinil kolin, dan obat penghambat kompetitif atau nondepolarisasi, misal
kurarin.
Dalam anestesi umum, obat ini memudahkan dan mengurangi cedera tindakan
laringoskopi dan intubasi trakea, serta memberi relaksasi otot yang dibutuhkan dalam
pembedahan dan ventilasi kendali1,2.
Obat pelumpuh otot yang digunakan dalam kasus ini adalah :
Atracurium besilat (tracrium)
Merupakan obat pelumpuh otot non depolarisasi yang relatif baru yang
mempunyai struktur benzilisoquinolin yang berasal dari tanaman Leontice
leontopetaltum. Beberapa keunggulan atrakurium dibandingkan dengan obat terdahulu
antara lain adalah :
a. Metabolisme terjadi dalam darah (plasma) terutama melalui suatu reaksi kimia
unik yang disebut reaksi kimia hoffman. Reaksi ini tidak bergantung pada fungsi
hati dan ginjal.
b. Tidak mempunyai efek akumulasi pada pemberian berulang.
c. Tidak menyebabkan perubahan fungsi kardiovaskuler yang bermakna.
Mula dan lama kerja atracurium bergantung pada dosis yang dipakai. Pada
umumnya mulai kerja atracurium pada dosis intubasi adalah 2-3 menit, sedang lama
kerja atracurium dengan dosis relaksasi 15-35 menit3.
Pemulihan fungsi saraf otot dapat terjadi secara spontan (sesudah lama kerja
obat berakhir) atau dibantu dengan pemberian antikolinesterase. Nampaknya
atracurium dapat menjadi obat terpilih untuk pasien geriatrik atau pasien dengan
penyakit jantung dan ginjal yang berat1,2.
Kemasan dibuat dalam 1 ampul berisi 5 ml yang mengandung 50 mg
atracurium besilat. Stabilitas larutan sangat bergantung pada penyimpanan pada suhu
dingin dan perlindungan terhadap penyinaran.
19
Dosis intubasi : 0,5 – 0,6 mg/kgBB/iv

Dosis relaksasi otot : 0,5 – 0,6 mg/kgBB/iv

Dosis pemeliharaan : 0,1 – 0,2 mg/kgBB/ iv

g. Intubasi Nasal
Suatu tindakan memasukkan pipa khusus ke dalam trakea, sehingga jalan nafas
bebas hambatan dan nafas mudah dikendalikan. Intubasi trakea bertujuan untuk :1
a. Mempermudah pemberian anestesi.
b. Mempertahankan jalan nafas agar tetap bebas.
c. Mencegah kemungkinan aspirasi lambung.
d. Mempermudah penghisapan sekret trakheobronkial.
e. Pemakaian ventilasi yang lama.
f. Mengatasi obstruksi laring akut.
h. Terapi Cairan
Prinsip dasar terapi cairan adalah cairan yang diberikan harus mendekati
jumlah dan komposisi cairan yang hilang. Terapi cairan perioperatif bertujuan untuk1.
a. Memenuhi kebutuhan cairan, elektrolit dan darah yang hilang selama operasi.
b. Mengatasi syok dan kelainan yang ditimbulkan karena terapi yang diberikan.
Pemberian cairan operasi dibagi :
a. Pra operasi
Dapat terjadi defisit cairan karena kurang makan, puasa, muntah,
penghisapan isi lambung, penumpukan cairan pada ruang ketiga seperti pada
ileus obstruktif, perdarahan, luka bakar dan lain-lain. Kebutuhan cairan untuk
dewasa dalam 24 jam adalah 2 ml / kg BB / jam. Setiap kenaikan suhu 10 Celcius
kebutuhan cairan bertambah 10-15 %.
b. Selama operasi
Dapat terjadi kehilangan cairan karena proses operasi. Kebutuhan cairan
pada dewasa untuk operasi :
 Ringan = 4 ml/kgBB/jam.
 Sedang = 6 ml/kgBB/jam
 Berat = 8 ml/kgBB/jam.
Bila terjadi perdarahan selama operasi, di mana perdarahan kurang dari 10
% EBV maka cukup digantikan dengan cairan kristaloid. Apabila perdarahan

20
lebih dari 10 % maka dapat dipertimbangkan pemberian plasma / koloid /
dekstran.
c. Setelah operasi
Pemberian cairan pasca operasi ditentukan berdasarkan defisit cairan
selama operasi ditambah kebutuhan sehari-hari pasien1.
i. Pemulihan
Pasca anestesi dilakukan pemulihan dan perawatan pasca operasi dan anestesi
yang biasanya dilakukan di ruang pulih sadar atau recovery room yaitu ruangan untuk
observasi pasien pasca atau anestesi. Ruang pulih sadar merupakan batu loncatan
sebelum pasien dipindahkan ke bangsal atau masih memerlukan perawatan intensif di
ICU. Dengan demikian pasien pasca operasi atau anestesi dapat terhindar dari
komplikasi yang disebabkan karena operasi atau pengaruh anestesinya2.
Untuk memindahkan pasien dari ruang pulih sadar ke ruang perawatan perlu
dilakukan skoring tentang kondisi pasien setelah anestesi dan pembedahan. Beberapa
cara skoring yang biasa dipakai untuk anestesi umum yaitu cara Aldrete dan Steward,
dimana cara Steward mula-mula diterapkan untuk pasien anak-anak, tetapi sekarang
sangat luas pemakaiannya, termasuk untuk orang dewasa. Sedangkan untuk regional
anestesi digunakan skor Bromage1,6.

Tabel 1. Aldrete Scoring System


No. Kriteria Skor
1 Aktivitas  Mampu menggerakkan ke-4 ekstremitas atas 2
motorik perintah atau secara sadar.
 Mampu menggerakkan 2 ekstremitas atas perintah 1
atau secara sadar.
 Tidak mampu menggerakkan ekstremitas atas 0
perintah atau secara sadar.
2 Respirasi  Nafas adekuat dan dapat batuk 2
 Nafas kurang adekuat/distress/hipoventilasi 1
 Apneu/tidak bernafas 0
3 Sirkulasi  Tekanan darah berbeda ± 20% dari semula 2
 Tekanan darah berbeda ± 20-50% dari semula 1
 Tekanan darah berbeda >50% dari semula 0
4 Kesadaran  Sadar penuh 2
 Bangun jika dipanggil 1

21
 Tidak ada respon atau belum sadar 0
5 Warna kulit  Kemerahan atau seperti semula 2
 Pucat 1
 Sianosis 0
Aldrete score ≥ 8, tanpa nilai 0, maka dapat dipindah ke ruang perawatan.
Tabel 2. Steward Scoring System
No. Kriteria Skor
1 Kesadaran  Bangun 2
 Respon terhadap stimuli 1
 Tak ada respon 0
2 Jalan napas  Batuk atas perintah atau menangis 2
 Mempertahankan jalan nafas dengan baik 1
 Perlu bantuan untuk mempertahankan jalan nafas 0

3 Gerakan  Menggerakkan anggota badan dengan tujuan 2


 Gerakan tanpa maksud 1
 Tidak bergerak 0
Steward score ≥5 boleh dipindah ruangan.

Tabel 3. Robertson Scoring System


No. Kriteria Skor
1 Kesadaran  Sadar penuh, membuka mata, berbicara 4
 Tidur ringan 3
 Membuka mata atas perintah 2
 Tidak ada respon 1
2 Jalan napas  Batuk atas perintah 3
 Jalan nafas bebas tanpa bantuan 2
 Jalan nafas bebas tanpa bantuan ekstensi kepala 1
 Tanpa bantuan obstruksi 0
3 Aktifitas  Mengangkat tangan atas perintah 2
 Gerakan tanpa maksud 1
 Tidak bergerak 0

Tabel 4. Scoring System untuk pasien anak

22
Tanda Kriteria
Tanda vital Respirasi, T/N, suhu seperti semula
Reflek laryng dan pharyng Mampu menela, batuk, dan muntah
Gerakan Mampu bergerak sesuai umur dan tingkat
perkembangan
Muntah Muntah, mual pusing minimal
Pernafasan Tidak ada sesak nafas, stridor, dan
mendengkur
Kesadaran Alert, orientasi tempat, waktu, dan orang

Tabel 5. Bromage Scoring System


Kriteria Skor
Gerakan penuh dari tungkai 0
Tak mampu ekstensi tungkai 1
Tak mampu fleksi lutut 2
Tak mampu fleksi pergelangan kaki 3
Bromage score < 2  boleh pindah ke ruang perawatan.

23
BAB IV
PEMBAHASAN

Dari hasil kunjungan pra anestesi baik dari anamnesis, pemeriksaan fisik akan dibahas
masalah yang timbul, baik dari segi medis, bedah maupun anestesi.

A. PERMASALAHAN DARI SEGI MEDIK


Meningkatnya laju metabolisme tubuh karena radang, dimana kebutuhan cairan dapat
meningkat, sehingga pasien dapat mengalami dehidrasi. Tanda-tanda radang dapat dilihat dari
suhu maupun angka leukosit. Pada pasien ini suhu tubuh tidak mengalami peningkatan dan
angka leukosit masih dalam batas normal. Hal ini mungkin disebabkan karena pasien
sebelumnya sudah menerima terapi antibiotik. Berdasarkan history taking dengan metode
AMPLE pada kunjungan preoperative tanggal 10 April 2013, didapatkan bahwa tidak ada
riwayat alergi terhadap obat-obatan, alergi makanan, maupun penyakit asma. Pasien tidak
sedang menjalani pengobatan apapun. Pasien tidak didapatkan riwayat hipertensi, diabetes
mellitus, mengorok saat tidur, kejang, nyeri dada, keterbatasan aktifitas akibat sesak dan tidak
ada gangguan pada aktifitas sehari-hari. Pasien memiliki riwayat BAB tidak lancar, frekuensi
1x dalam 3-7 hari. Riwayat anastesi dan anastesi sebelumnya belum ada. Operasi ini
merupakan pengalaman pertama pasien mengalami pembedahan anastesi. Pasien tidak
merokok, tidak konsumsi minuman beralkohol. Pasien terakhir makan pukul 07.00 dan
sedang berpuasa.

B. PERMASALAHAN DARI SEGI BEDAH


1. Kemungkinan perdarahan durante dan post operasi.
2. Iatrogenik (resiko kerusakan organ akibat pembedahan)
Dalam mengantisipasi hal tersebut, maka perlu dipersiapkan jenis dan teknik anestesi
yang aman untuk operasi yang lama, juga perlu dipersiapkan darah untuk mengatasi
perdarahan.
Pada pasien ini teknik tonsilektomi yang digunakan adalah diseksi thermal
menggunakan electocauter dimana perdahan durante operasi dan post operasi lebih sedikit
karena pemotongan jaringan maupun hemostasis dilakukan dalam satu prosedur.

24
C. PERMASALAHAN DARI SEGI ANESTESI
1. Pemeriksaan pra anestesi
Pada penderita ini telah dilakukan persiapan yang cukup, antara lain :
a. Puasa lebih dari 6 jam (pasien sudah puasa selama 6 jam)
b. Pemeriksaan laboratorium darah
Permasalahan yang ada adalah :
 Bagaimana memperbaiki keadaan umum penderita sebelum
dilakukan anestesi dan operasi.
 Macam dan dosis obat anestesi yang bagaimana yang sesuai dengan keadaan
umum penderita.
Dalam mempersiapkan operasi pada penderita perlu dilakukan :
 Pemasangan infus untuk terapi cairan sejak pasien masuk RS. Pada pasien ini
diberikan cairan Ringer Laktat 20 tetes per menit, terhitung sejak pasien mulai
puasa hingga masuk ke ruang operasi. Puasa paling tidak 6 jam untuk
mengosongkan lambung, sehingga bahaya muntah dan aspirasi dapat
dihindarkan. Terdapat tiga jenis cairan berdasarkan tujuan terapi, yaitu:
1. Cairan rumatan (maintenance)
Bersifat hipotonis: konsentrasi partikel terlarut < konsentrasi cairan
intraseluler (CIS); menyebabkan air berdifusi ke dalam sel. Tonisitas <270
mOsm/kg. Misal: Dekstrosa 5 %, Dekstrosa 5 % dalam Salin 0,25 %
2. Cairan pengganti (resusitasi, substitusi)
Bersifat isotonis: konsentrasi partikel terlarut = CIS; no net water
movement melalui membran sel semipermeabel Tonisitas 275 – 295
mOsm/kg. Misal : NaCl 0,9 %, Lactate Ringer’s, koloid
3. Cairan khusus
Bersifat hipertonis: konsentrasi partikel terlarut > CIS; menyebabkan air
keluar dari sel, menuju daerah dengan konsentrasi lebih tinggi Tonisitas >
295 mOsm/kg. Misal: NaCl 3 %, Mannitol, Sodium- bikarbonat, Natrium
laktat hipertonik
Berdasarkan kepustakaan disebutkan bahwa dehidrasi isotonik merupakan
jenis dehidrasi yang paling sering terjadi (80%). Pada pasien ini diberikan
resusitasi cairan berupa Ringer Laktat dengan tujuan untuk memperbaiki
volume sirkulasi dan pemilihan cairan ini berdasarkan pertimbangan
kompartemen yang mengalami defisit.
25
 Persiapan kantung darah sebagai persiapan bila terjadi perdarahan durante atau
post operasi
 Jenis anestesi yang dipilih adalah general anestesi karena pada kasus ini
diperlukan hilangnya kesadaran, rasa sakit, amnesia dan mencegah resiko
aspirasi dengan menggunakan premedikasi sulfas atropin dan fentanyl. Teknik
anestesinya semi closed inhalasi dengan pemasangan endotrakheal tube.
 Selama operasi dipasang ET teknik cepat

2. Premedikasi
a. Sebagai antiemetic pada pasien diberikan ondansentron 4 mg iv
b. Untuk mengurangi rasa sakit pra bedah dan pasca bedah maka diberikan fentanyl
100 mcg I.V.
3. Induksi
a. Digunakan Propofol 100 mg I.V. (dosis induksi 2-2,5mg/kgBB) karena memiliki
efek induksi yang cepat, dengan distribusi dan eliminasi yang cepat. Selain itu juga
propofol dapat menghambat transmisi neuron yang hancur oleh GABA. Obat anestesi
ini mempunyai efek kerjanya yang cepat dan dapat dicapai dalam waktu 30 detik.
b. Pemberian Noveron 40 mg I.V. sebagai pelemas otot untuk mempermudah
pemasangan Nasotracheal Tube.
4. Maintenance
Dipakai N2O dan O2 dengan perbandingan 2L/2L, serta isofluran 1 vol %.
5. Terapi Cairan
Perhitungan kebutuhan cairan pada kasus ini adalah ( Berat Badan 41 kg )
a. Defisit cairan karena puasa 6 jam
(2 cc/jam x 41 kg x 6 jam) = 492 cc
Cairan ini sudah terpenuhi karena walaupun pasien puasa tapi tetap mendapat infus.
b. Perdarahan yang terjadi  25 cc
EBV = 70 cc x 41 kg = 2870 cc.
Jadi perkiraan kehilangan darah = 25/2870 x 100 % = 0,87 %
c. Cairan yang sudah diberikan :
1). Pra anestesi = 500 cc
2). Saat operasi = 250 cc
Total cairan yang masuk = 750 cc

26
BAB V
KESIMPULAN

Pemeriksaan pra anestesi memegang peranan penting pada setiap operasi yang
melibatkan anestesi. Pemeriksaan yang teliti memungkinkan kita mengetahui kondisi pasien
dan memperkirakan masalah yang mungkin timbul sehingga dapat mengantisipasinya.
Pada makalah ini disajikan kasus penatalaksanaan anestesi umum pada operasi
tonsilektomi pada penderita perempuan, usia 14 tahun, status fisik ASA I, dengan diagnosis
tonsilitis kronik yang dilakukan teknik anestesi semi closed dengan SCCS NTT no 30 cuff
(+) respirasi spontan.

Untuk mencapai hasil maksimal dari anestesi seharusnya permasalahan yang ada
diantisipasi terlebih dahulu sehingga kemungkinan timbulnya komplikasi anestesi dapat
ditekan seminimal mungkin.

Dalam kasus ini selama operasi berlangsung tidak ada hambatan yang berarti baik dari
segi anestesi maupun dari tindakan operasinya. Selama di ruang pemulihan juga tidak terjadi
hal yang memerlukan penanganan serius.
Secara umum pelaksanaan operasi dan penanganan anestesi berlangsung dengan baik.

27
DAFTAR PUSTAKA

1. Cole MA, Maldonado N. Emergency Medicine Practice: Evidence-Based Management of


Suspected Appendicitis In The Emergency Department Vol.13 Number 10. 2011:1-32
2. Humes DJ, Simpson J, Acute Appendicitis. BMJ. 2006;333;530-534
3. Latief, S. A., Suryadi, K. A., Dachlan M. R. 2009. Petunjuk Praktis Anestesiologi. Edisi
Kedua. Jakarta: Penerbit Bagian Anestesiologi dan Terapi Intensif FKUI
4. Barash, P. G., Cullen, B. F., Stoelting, R. K., Cahalan, M. K., Stock, M. C. 2009.
Handbook of Clinical Anesthesia. 6th edition. USA: Lippincott Williams & Wilkins.
5. American Society of Anesthesiologist. 2011. Practice Guidelines for Preoperative
Fasting and The Use of Pharmacologic Agents to Reduce Aspiration: Application to
Healthy Patients Undergoing Elective Procedures: An Updated Report by The American
Society of Anesthesiologists Committee on Standards and Practice parameters. USA:
Lippincott Williams & Wilkins.
6. Morgan, G. E., Mikhail, M. S., Murray, M. J. 2006. Clinical Anesthesiology. 4 th Edition.
USA: McGraw-Hill Companies, Inc.
7. Miller RD, Eriksson LI, Fleisher LA, Wiener JP, Young WL. 2009. Miller’s Anesthesia
7th ed. US : Elsevier
8. Universitas Sumatera Utara (USU). 2011. Anestesi Spinal.
http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/22847/4/Chapter%20II.pdf. Diakses pada
10 April 2013 pk.19.00
9. Aldrete JA, Kronlik D: A postanesthetic recovery score. Anesth Analg 1970;49:924 and
Aldrete JA: The post-anesthesia recovery score revisited. J Clin Anesth 1995;7:89.
10. Dunn, Peter F., Theodore A. Alston, Keith H. Baker, J. Kenneth Davison, Jean Kwo, dan
Carl Rosow. 2007. Clinical Anesthesia Procedures of The Massachusets General
Hospital 7th edition. USA: Lippincott Williams & Wilkins.

28

You might also like