Professional Documents
Culture Documents
Tugas Jamber
Tugas Jamber
Disusun oleh:
Mita Adriyani Asih 1406536063
Keshya Baby Putri Ashilla 1506730880
Lisany Haq Istiqomah 1506735774
Satya Rakasiwi 1506747553
Maisya Shabira 1506747591
Gabrielle Octavian Hasiholan 1506747811
Berdasarkan KUHPerdata hak jaminan atas benda milik orang lain antara lain adalah: gadai dan
hipotik. Gadai merupakan pemberian jaminan yang bendanya diserahkan kedalam kekuasaan
kreditur, sedangkan hipotik merupakan jaminan perlunasan hutang yang bendanya tidak
diserahkan ke dalam kekuasaan kreditur,1Hipotik diatur dalam Buku II KUHPerdata BAB XXI
pasal 1162 sampai dengan Pasal 1232. Pasal 1162 KUHPerdata mendefinisikan hipotik sebagai
suatu hak kebendaan atas benda tak bergerak yang dijadikan jaminan dalam pelunasan suatu
perikatan.
Menurut pasal 1164 KUHPerdata, yang dapat dibebani hipotik adalah benda – benda tidak
bergerak yang dapat dipindah tangankan, beserta segala perlengkapannya yang dianggap sebagai
benda tidak bergerak.
Objek Hipotik setelah berlakunya Undang – Undang Pokok Agraria (UUPA) adalah bahwa
berdasarkan Peraturan Menteri Agraria Nomor 2 Tahun 1960 Pasal 2 , diadakan penggolongan –
penggolongan sebagai berikut:
a. Hak – hak tanah yang dapat dibebani Hipotik adalah Hak Milik, Hak Guna Bangunan dan
Hak Guna Usaha yang bersasal dari konversi tanah Barat yaitu Hak Eigendom, Hak
Opstaal dan Hak Erfpacht.
b. Hak – hak tanah yang dapat dibebani Credietverband adalah, Hak Milik, Hak Guna
Bangunan, Hak Guna Usaha yang berasal dari hak – hak Indonesia yaitu hak – hak tanah
adat.
Namun, dengan berlakunya UUHT, lembagai jaminan hipotik tidak lagi berlaku atas tanah dan
segala sesuatu yang berkaitan dengan tanah melainkan hanya berlaku atas kapal laut yang berbiti
20M3 atau lebih. Berdasrkan pasal 314 KUHD Jo. Pasal 60 UU 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran,
1
J. Satrio, Hukum Jaminan Hak – hak Jaminan Kebendaan, Cet.2, (Bandung : Citra Aditya Bakti, 1993),
hal 213.
Kapal yang telah didaftarkan dalam Daftar Kapal Indonesia dapat dijaminkan jaminan utang
dengan pembeanan hipotek atas kapal.
Hipotik mempunyai sifat dan ciri dari hak kebendaan pada umumnya antara lain :
1. Absolut, yaitu hak yang dapat dipertahankan terhadap setiap orang. Pemegang hak berhak
menuntut setiap orang yang menggangu haknya.2
2. Droit de suite atau zaaksgevolg, artinya hak itu senantiasa mengikuti bendanya ditangan
siapapun benda terseut berada. Dengan Droit de Suite ini, seorang pemegang hak
kebendaan dilindungi karena ke tangan siapapun kebendaan yang dimiliki dengan hak
kebendaan tersebut beralih, pemilik dengan hak kebendaan terseut berhak utuk
menentutnya kembali, dengan atau tanpa disertai dengan ganti rugi3 (Ps. 1163 ayat 2, Ps.
1198 KUHPerdata).
3. Droit de Preference, yaitu hak untuk didahukukan pemuenuhan piutanya diantara orang
berpitang lainnya. Droit de Preference sesuai dengan Pasal 1132 jo. Pasal 1133
KUHPerdata yang menyatakan bahwa kebendaan menjadi jaminan bersama – sama bagi
orang yang mengutsngkan padanya, kecuali apabila di antara para berpiutang itu ada alas
an – alas an yang sah untuk didahukuman diman hak untuk didahukukan di antara orang –
orang berpiutang terbit dari hak istimewa, gadai dan hipotik.
4. Accessoir, artinya hipotik merupakan perjanjian tambahan yang keberadaanya tergantung
pada perjanjian pokoknya yaitu hutang – piutang.
5. Ondeelbaar, yaitu hipotik yang tidak dapat dibagi – bagi karena hipotik terletak di atas
seluruh benda yang menjadi objeknya artinya sebagian hak hipotik tidak menjadi hapus
dengan dibayarnya sebagian dari hutang. (Ps. 113 ayat 1 KUHPerdata)
2
Mariam Darus Badrulzaman, Mencari Sistem Hukum Benda Nasional, (Bandung : Alumni, 1983), hal.
30.
3
Kartini Muljadi dan Gunawan Widjaja, Hak Istimewa, Gadai, dan Hipotek, Cet. 1, (Jakarta: Prenada
Media, 2004), hlm. 220
1. Asas publiciteit
Pengikatan jaminan hipotik harus didaftarkan dalam Register Umum agar masyarakat
dan pihak ketiga yang terkait dapat mengetahuinya. Kewajiban untuk melakukan
pendaftaran dan pengumuman dalam pemberian hipotik ditentukan dalam Pasal 1179
KUHPerdata.
2. Asas Specialiteit
Pengikatan hippotik hanya dapat dilakukan atas benda – benda yang ditunjuk secara
khusus mengenai besar dan luasnya, letak dan batasannya.,
Kedua belah pihak, yaitu kreditur dan debitur membuat perjajian kredit dengan calon penerima
kredit. Dibuat dengan akta noraris atau dibawah tangan. Dalam tahap ini perjanjian masih bersifat
konsensual dan obligatoir sedangkan janji hipotik yang dicantumkan didalamnya bersifat accesoir
terhadap perjanjian kreditnya. Perjanjian kredit disini merupakan perjanjian pendahuluan.
Berdasarkan keentuan Pasal 1168 KUHPerdata pembebanan Hipotik hanya dapat dilakukan
oleh mereka yang mempunyai hak menguasai atas benda dan mempunyai wewenang untuk
memindahyangankan benda yang dibebani Hipotik dan Hipotik tidak dapat dilakukan oleh
sesorang yang tidak mempunyai kewenangan itu.4 Pembebanan hipotik menurut KUHPerdata
diatur dalam Pasal 1171 - 1178. Bunyi Pasal 1171 KUHPerdata adalah sebagai berikut : “Hipotek
hanya dapt diberikan dengan akta otentik, kecuali dalam hal yang dengan tegas ditunjuk oleh
undangundang. Juga pemberian kuasa untuk memberikan hipotek harus dibuat dengan akta
otentik. Orang yang menurut undang-undang atau perjanjian wajib untuk memberikan hipotek,
dapat dipaksa untuk itu dengan putusan Hakim, yang mempunyai kekuatan yang sama seperti bila
ia telah memberi persetujuan terhadap hipotek itu, dan menunjukkan secara pasti barang-barang
yang harus didaftar, Seorang wanita bersuami yang dalam perjanjian kawin kepadanya telah
diperjanjikan hipotek, tanpa bantuan suaminya atau kuasa dan Hakim, dapat mengusahakan
pendaftaran hipoteknya, dan melancarkan tuntutan hukum yang dipenlukan untuk itu”
4
Hasan Djuhaendah, “Aspek Hukum Jaminan Kebendaan dan Perorangan,” Jurnal Hukum Bisnis, Volume
11, (2000), hlm. 101.
Pemberian hipotik baik dengan kuasa maupun tanpa kuasa harus dibuat dengan Akta Hipotik.
Proses ini diakukan di hadapan pejabat Pendaftar Kapal dan Pencatat Balik Nama Kapal. Setelah
akta hipotik selesai dibuat, kemudian Akta tersebut didaftarkan. Pasal 1179 KUHPerdata secara
tegas menuliskan bahwa : “Pembukuan segala ikatan hipotik harus dilakukan dalam register –
register umum yang disediakan untuk itu. Jika pembukuan yang demikian tidak dilakukan, maka
suatu Hipotik tidaklah mempunyai sesuatu kekuatan apa pun, bahkan pula terhadap orang – orang
yang berpiutang yang tidak mempunyai ikatan hipotik” kreditur yang tidak mempunyai ikatan
hipotik. Kreditur datang menghadap pejabat pendaftar dan Pencatat Balik Nama Kapal dengan
membawa SKMH dari debitur. SKMH harus dibuat dalam bentuk akte noraris dan tidak dapt
dicabut kembali oleh debitur atau berakhir karena seba apapun. Pada saat pendafatran selesai
dilakukan maka lahirlah “Hak Pemagang Hipotik atas Kapal”
BAB II
Berdasarkan ketentuan pasal 1171 KUH Perdata, hipotik hanya dapat diberikan dengan
suatu akta otentik, kecuali dalam hal-hal yang dengan tegas ditunjuk oleh undang-undang. Dari
ketentuan Pasal 1171 KUH Perdata tersebut berarti ketika seseorang akan memasang hipotik, maka
perjanjian pemasangan hipotik harus dibuat dalam bentuk akta resmi. Seperti dalam hal hipotik
atas tanah maka perjanjian pemasangan atau pembebanannya harus dibuat oleh Pejabat Pembuat
Akte Tanah (PPAT) setempat. Akte hipotik tersebut kemudian harus didaftarkan di Kamtor
Pendaftaran Tanah setempat dan di Kantor Pendaftaran Kapal. Dalam perkara ini, akta hipotik
telah dibuat secara sah. Namun dikatakan menurut Pembantah yaitu bahwa Grosse Akta Hipotik
Pertama No. 28/2011 tanggal 20 Juni 2011 beserta Akta Kuasa Untuk memasang Hipotik Nomor
: 74 tanggal 27 September 2011, Grosse Akta Hipotik Pertama No. 07/2012 tanggal 17 April 2012
dan Grosse Akta Hipotik Pertama Nomor : 08/2012 tanggal 17 April 2012 adalah cacat baik secara
formil maupun materiil. Hal ini dikarenakan menurut pembantah, jika dibaca dan dipelajari Akta
WA'D PEMBIAYAAN MURABAHAH No. 129 tertanggal 25 Agustus 2010 dimaksud,
khususnya ketentuan pasal 2, dinyatakan: jumlah maksimal fasilitas pembiayaan adalah sebesar
Rp. 10.000.000.000,- (sepuluh miliyar rupiah). Sedangkan dalam Grosse Akta Hipotik Pertama
jumlah hutang pokok adalah sebesar Rp. 10.399.500.000,-. Namun dalam kenyataannya fasilitas
pembiayaan diberikan kepada Pembantah adalah sebesar Rp. 9.500.000.000,- sehingga Pembantah
menyatakan akta tersebut cacat secara formil. Sedangkan, yang dimaksud Pembantah adalah cacat
materil dikarenakan dalam permasalahan ini Pembantah merasa bukan dibantu dan dibina agar
berkembang oleh pihak Terbantah sebagai lembaga perbankan, melainkan Pembantah merasa
sikap dan perbuatan Terbantah dimaksud telah berusaha untuk mematikan usaha Pembantah
sebagai Pengusaha bermodal lemah. Sedangkan menurut Surat Edaran Bank Indonesia No.
26/4/BPPP tanggal 29 Mei 1993, dalam kondisi seperti ini Terbantah sebagai lembaga perbankan
berkewajiban untuk melakukan penyertaan modal yaitu melalui rescheduling, reconditioning dan
restrukturing terhadap permasalahan hutang yang dihadapi Pembantah, sehingga Grosse Akta
Hipotik Pertama No. 28/2011 tanggal 20 Juni 2011 beserta Akta Kuasa Untuk memasang Hipotik
Nomor : 74 tanggal 27 September 2011, Grosse Akta Hipotik Pertama No. 07/2012 tanggal 17
April 2012 dan Grosse Akta Hipotik Pertama Nomor 08/2012 tanggal 17 April 2012, dianggap
cacat materiil.
Mengingat Akta WA'D PEMBIAYAAN MURABAHAH No. 129 tertanggal 25 Agustus 2010,
adalah merupakan dasar diterbitkannya Grosse Akta Hipotik Pertama No. 28/2011 tanggal 20 Juni
2011 beserta Akta Kuasa Untuk memasang Hipotik Nomor : 74 tanggal 27 September 2011,
Grosse Akta Hipotik Pertama No. 07/2012 tanggal 17 April 2012 dan Grosse Akta Hipotik Pertama
Nomor : 08/2012 tanggal 17 April 201/2 yang berkepala “DEMI KEADILAN BERDASARKAN
KETUHANAN YANG MAHA ESA". Sedangkan hutang pokok yang sesungguhnya adalah
sebesar Rp. 9.500.000.000,- maka barang jaminan yang hendak dieksekusi tersebut, tidak dapat
dieksekusi berdasarkan pasal 224 HIR, karena Akta Notaris dalam perjanjian kredit a quo bukan
merupakan "Notariele schuldbrief", meskipun dibubuhi kepala "Demi Keadilam ... dstnya"
dan/atau setidak-tidaknya tidak memenuhi persyaratan materiil sebagaimana yang ditentukan
pasal 224 HIR, yaitu jumlah hutang yang harus dibayar Pembantah menjadi tidak pasti. Kemudian
ketidakpastian jumlah hutang yang harus dibayar Pembantah jelas terbukti menurut hukum, karena
Pembantah telah melakukan pembayaran, sebesar Rp. 7.400.000.000,- Sehingga menurut hemat
Pembantahan sisa hutang Pembantah hanya sebesar Rp. 2.100.000.000,- Dalam hal ini juga
Terbantah masih mengenakan bunga dan denda. Hal ini tidak sesuai dengan Jurisprodensi Putusan
Mahkamah Agung R.I. No. 2899 K/Pdt/1994, tanggal 15 Pebruari 1996 menyatakan "Bank
(kreditur) yang melakukan pemutusan secara sepihak terhadap perjanjian kredit dengan
debiturnya, dengan menyatakan secara tertulis bahwa kreditnya tersebut sebagai kredit macet,
maka secara juridis pada saat itu segala sesuatunya harus dalam keadaan status quo, baik mengenai
jumlah kredit yang macet tersebut maupun, tentang jumlah bunganya. Tidak dapat dibenarkan lagi
penambahan atas bunga, terhadap jumlah kredit yang sudah dinyatakan macet tersebut. Dengan
demikian jumlah hutang di dalam Grosse Akta Hipotik Pertama No. 28/2011 tanggal 20 Juni 2011
beserta Akta Kuasa Untuk memasang Hipotik Nomor : 74 tanggal 27 September 2011, Grosse
Akta Hipotik Pertama No. 07/2012 tanggal 17 April 2012 dan Grosse Akta Hipotik Pertama
Nomor : 08/2012 tanggal 17 April 2012 dan/atau Penetapan Ketua Pengadilan Negeri Surabaya
tersebut di atas tidak jelas sehingga pelaksanaan eksekusi berdasarkan Grosse Akta Hipotik
dimaksud di atas tidak sesuai dengan jiwa/maksud pasal 224 HIR ; Dengan demikian, adanya fakta
hukum seperti adanya jumlah hutang yang harus dibayar menjadi tidak pasti, Hutang belum jatuh
tempo, adanya kesepakatan para pihak untuk memilih arbitrase atau. Pengadilan Agama
berdasarkan kesepakatan yang diadakan antara pemberi dan pemegang hipotik untuk
menyelesaikan perdebatan secara musyawarah mufakat dan apabila tidak tercapai maka dapat
diselesaikan melalui Badan Arbitrase Syariah Nasional (BASYARNAS) menurut peraturan dan
prosedur arbitrase yang berlaku sehingga PT Bank Muamalat Indonesia dapat dikatakan melanggar
kewajibannya untuk melakukan kesepakatan yang telah ditentukan kedua belah pihak namun
langsung meminta pelaksanaan eksekusi melalui Pengadilan Negeri Surabaya, maka sudah patut
dan adil sengketa hutang piutang antara Pembantah dengan Terbantah harus diselesaikan melalui
proses perkara perdata biasa.
Ketentuan Pasal 1178 ayat (2) Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPer) memberi
wewenang kepada kreditur pemegang hipotik pertama untuk meminta diperjanjikan agar dia dapat
menjual benda yang dibebani hipotik atas kekuasaanya sendiri melalui kantor lelang. Demikian
pula ketentuan Pasal 6 jo. Pasal 20 undang-undang no. 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan
Atas Tanah beserta Benda-Benda yang berkaitan dengan Tanah , memberi wewenang kepada
kreditur pemegang hak tanggungan pertama untuk menjual atas kekuasaan sendiri melalui
pelelangan umum. Berdasarkan ketentuan pasal 224 HIR, kreditur dapat menggunakan grosse akte
hipotik yang mempunyai kekuatan eksekutorial seperti putusan hakim yang berkekuatan tetap
untuk mengajukan permohonan fiat eksekusi dari pengadilan atas benda yang dibebani hipotik
untuk selanjutnya dijual melalui kantor lelang. Demikian pula ketentuan pasal 14 jo pasal 20
undang-undang no. 4 tahun 1996, menyebutkan bahwa sertifikat hak tanggungan yang memuat
irah-irah dengan kata-kata “DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG
MAHA ESA” mempunyai kekuatan hukum tetap dan berlaku sebagai grosse akte hipotik
sepanjang mengenai hak atas tanah.
5
Victor M. Situmorang dan Cormentyna Sitanggang, Grosse Akta Dalam Pembuktian dan Eksekusi,
(Jakarta: PT. Rineka Cipta, 1993), hlm. 119.
6
Ibid, hlm. 120.
7
Ibid.
grosse pertama, dengan menyebutkan nama dari orang yang atas permintaannya grosse itu
diberikan dan tanggal pemberiannya.
Adanya irah-irah diatas memberikan kekuatan eksekutorial, sehingga dapat dieksekusi tanpa
melalui proses pengadilan. Dengan demikian bila debitur wanprestasi maka kreditor pemegang
hipotik dapat meminta eksekusi baik secara lisan maupun tulisan kepada Ketua Pengadilan Negeri
yang berwenang, hal ini didasarkan pada pasal 224 jo. pasal 195 jo. pasal 196 HIR. Selain hal yang
telah disampaikan diatas, terdapat dua alternative lain untuk melakukan eksekusi, yaitu:
1. Melalui proses pengadilan, dan;
2. Melalui penjualan lelang oleh kreditur berdasarkan kuasa sendiri.
Eksekusi melalui proses pengadilan dapat dilakukan dengan cara:
1. Mengajukan gugatan perdata pada Pengadilan Negeri yang sesuai dengan kompetensi
relative menurut pasal 118 HIR, debitur menjadi pihak Tergugat;
2. Melalui gugatan itu akan dilakukan pemeriksaan persidangan hingga didapatkan suatu
putusan;
3. Terhadap putusan PN dapat diajukan upaya hukum banding, kasasi, dan peninjauan
kembali.
Eksekusi melalui proses ini memakan waktu lama sehingga tidak efektif dan efisien, selain
itu biayanya mahal.
Sementara ini eksekusi melalui penjualan lelang menurut pasal 1178 ayat (2) KUHPerdata,
dibolehkan pemberian kuasa kepada kreditor untuk menjual sendiri barang hipotik tanpa
campur tangan pengadilan bila debitur wanprestasi yang diperjanjikan dalam akta hipotik.
penjualannya harus dilakukan dimuka umum dan melalui lelang dengan bantuan Kantor
Pelayanan Piutang dan Lelang Negara.
Dalam putusan Nomor 510/Pdt.Plw/2014/PN.SBY, kelompok kami menemukan adanya
masalah, yaitu terdapat pada pelaksanaan eksekusi dari jaminan hipotik yang dijaminkan oleh
debitur. Yakni PT Dian Osiania Indonesia. Berdasarkan UU No. 17 Tahun 2008 tentang
Pelayaran, setiap grosse akta hipotik kapal memepunyai kekuatan eksekutorial, artinya adalah
Pemegang hipotik cukup meminta bantuan kepada pangadilan negeri untuk melaksanakan
eksekusi atas obyek hipotik. 8 Dengan begitu maka eksekusi untuk jaminan hipotik menurut
undang-undang adalah dapat diajukan langsung kepada pengadilan negeri.
Dalam putusan tersebut, terdapat perjanjian antara kedua belah pihak yang menentukan
bahwa jika terjadi perselisihan, mereka sepakat akan menyelesaikan dengan musyawarah dan
mufakat. Jika tidak tercapai mufakat, maka akan diselesaikan di Badan Arbitrase Syariah
Nasional (BASYARNAS). Karena telah terjadi perselisihan diantara kedua belah pihak, kedua
belah pihak telah mengadakan musyawarah, namun menurut kreditur tidak tercapai suatu
mufakat. Kemudian seharusnya apabila tidak terdapat mufakat, kedua belah pihak ini
membawa masalahnya ke Basyarnas, namun kreditur yang sudah pergi ke Basyarnas pada
tanggal 17 April menganggap debitur tidak akan mampu untuk membayar arbitrator sejumlah
Rp 50.000.000 sehingga tidak dilakukan penyelesaian sengketa di Basyarnas dan akhirnya
kreditur mengajukan permohonan eksekusi lelang ke pengadilan negeri Surabaya.
Yang menjadi masalah adalah, ketentuan undang-undang mengatakan bahwa mengenai
eksekusi dapat langsung dilakukan melalui pengajuan ke pengadilan negeri, tetapi dalam kasus
ini, terdapat sebuah perjanjian diantara kedua belah pihak yang menyatakan bahwa jika terjadi
perselisihan mereka akan megadakan musyawarah untuk mufakat, dan jika tidak tercapai
mufakat mereka akan pergi ke Basyarnas. Untuk itu, menurut pasal 1338 KUHPerdata, karena
setiap perjanjian menjadi undang-undang bagi mereka yang terikat di dalamnya, maka
ketentuan dalam perjanjian hipotik mereka lah yang seharusnya didahulukan dibandingkan
undang-undang. Artinya disini, kreditur seharusnya tidak langsung mengajukan eksekusi
lelang terhadap jaminan hipotik kepada pengadilan negeri Surabaya. Musyawarah memang
sudah dilakukan, tetapi tidak mencapai mufakat. Kemudian seharusnya diajukan ke Basyarnas,
tetapi kreditur secara sepihak menganggap debitur tidak akan mampu membayar arbitrator
sejumlah Rp 50.000.000, hal ini menurut penulis tidak bisa dijadikan pembelaan karena
kreditur hanya menganggap secara sepihak tanpa menanyakan terlebih dahulu kepada debitur.
Dr. Aktieva Tri Tjitrawati, S.H., M.Hum, “Penataan Aturan Hipotik Kapal Setelah Berlakunya Undang-
8
Undang Nomor 17 Tahun 2008 Tentang Pelayaran” Yuridika: Volume 25 No 2, Mei-Agustus 2010.
Kreditur seharusnya tidak langsung mengajukan permohonan lelang kepada pengadilan negeri
Surabaya, tetapi harus diselesaikan di Basyarnas seperti apa yang mereka perjanjikan dalam
perjanjian hipotiknya. Untuk itu maka permohonan lelang atas jaminan hipotik kepada
pengadilan negeri Surabaya menurut penulis seharusnya tidak dapat dilakukan karena menurut
perjanjian diantara kedua belah pihak pengadilan negeri tidak berwenang untuk melakukan hal
tersebut karena seharusnya segala perselisihan harus diselesaikan di Basyarnas apabila
musyawarah tidak mencapai mufakat. Sehingga, kelompok kami menyetujui putusan tersebut
yang membatalkan Penetapan Sita Eksekusi Ketua Pengadilan Negeri Surabaya No.
15/Eks.HPT/2014/PN.Sby. tertanggal 22 April 2014 terhadap 1 (satu) unit Kapal Motor
Penumpang.yang bernama Kapal Harapanku Mekar.
BAB III
3.1. Kesimpulan
Dari studi kasus yang dijelaskan diatas, maka dapat disimpulkan bahwa secara formil maka
pembebanan hak hipotik atas kapal laut tersebut telah sesuai dengan apa yang diatur dalam
undang-undang. Namun yang menjadi masalah adalah mengenai materi isi perjanjian hipotik
antara kedua belah pihak. Terlebih lagi mengenai klausul eksekusi pada perjanjian, yang
dijelaskan bahwa apabila terjadi perselisihan dalam pelaksanaan eksekusi maka kedua belah
pihak akan menyelesaikannya di Badan Arbitrase Syariah Nasional. Namun, dalam kasus
diatas, pihak Terbantah malah mengasumsikan bahwa pihak Pembantah tidak akan mampu
membayar biaya perkara di Badan Arbitrase Syariah Nasional tersebut sehingga malah
langsung mengajukan eksekusi pada Pengadilan Negeri Surabaya.
3.2. Saran
Menurut kelompok kami, dalam hal pembebanan hipotik, sebaiknya pihak Kantor Pendaftaran
Kapal dan Pencatat Balik Nama Kapal yang mengeluarkan Akta Hipotik, terlebih dahulu pula
memeriksa perjanjian hipotik yang terjadi di antara dua pihak. Pihak yang mengeluarkan akta
harus memeriksa apakah secara isi materi perjanjian, perjanjian tersebut telah sesuai dengan
jaminan hipotik yang akan dibebankan terlebih dahulu atau tidak. Sehingga, hal-hal seperti
kasus diatas tidak akan terulang karena baik secara materiil dan formiil perjanjian pembebanan
jaminan hipotik telah diperiksa pula oleh pihak yang akan mengeluarkan Akta Hipotik.
DAFTAR PUSTAKA
BUKU
Badrulzaman, Mariam Darus. Mencari Sistem Hukum Benda Nasional. Bandung: Alumni.
1983.
Muljadi, Kartini dan Gunawan Widjaja. Hak Istimewa, Gadai, dan Hipotik. Cet. 1. Jakarta:
Prenada Media. 2004.
Satrio, J. Hukum Jaminan, Hak-Hak Jaminan Kebendaan. Cet. 2. Bandung: Citra Aditya Bakti.
1993.
Situmorang, Victor M. dan Cormentyna Sitanggang. Grosse Akta dalam Pembuktian dan
Eksekusi. Jakarta: PT. Rineka Cipta. 1993.
JURNAL
Djuhaendah, Hasan. “Aspek Hukum Jaminan Kebendaan dan Perorangan,” Jurnal Hukum Bisnis.
Volume 11 (2000). hlm. 101.
Tjitrawati, Dr. Aktieva Tri. “Penataan Aturan Hipotik Kapal Setelah Berlakunya Undang-
Undang Nomor 17 Tahun 2008 Tentang Pelayaran” Yuridika Volume 25 No 2 (Mei-
Agustus 2010).