Professional Documents
Culture Documents
PENDAHULUAN
1
sejak tahun 2009 sampai tahun 2012, kasus plagiarisme semakin meningkat dari
tahun ke tahun. DIKTI menghimbau agar perguruan tinggi memberikan sanksi
yang tegas atas perilaku yang tidak tauladan tersebut, berupa sanksi tidak boleh
meningkatkan jabatan akademik dalam kurun waktu tertentu sampai dengan
pemecatan yang bersangkutan sebagai Pegawai Negeri Sipil (PNS). Sebagai
bentuk perlindungan hukum, pemerintah dalam hal DIKTI telah mengeluarkan
berbagai kebijakan yang bersifat antisipasif. Secara khusus, pemerintah juga
telah menerbitkan Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 17 tahun
2010 tentang pencegahan dan penanggulangan plagiasi di Perguruan Tinggi.
Meskipun demikian masih terdapat silang pendapat terkait bentuk sanksi yang
sesuai tanpa mengancam bentuk potensi penulisan bidang karya akademik.
2
BAB 2
PEMBAHASAN
2.1 Radikalisme
Radikalisme adalah suatu paham yang dibuat-buat oleh sekelompok orang
yang menginginkan perubahan atau pembaharuan sosial dan politik secara drastis
dengan menggunakan cara-cara kekerasan. Namun bila dilihat dari sudut pandang
keagamaan dapat diartikan sebagai paham keagamaan yang mengacu pada fondasi
agama yang sangat mendasar dengan fanatisme keagamaan yang sangat tinggi,
sehingga tidak jarang penganut dari paham atau aliran tersebut menggunakan
kekerasan kepada orang yang berbeda paham atau aliran untuk mengaktualisasikan
paham keagamaan yang dianut dan dipercayainya untuk diterima secara paksa.
3
kampus, terlebih ketika mereka berjumpa dengan aktifis-aktifis lembaga dakwah
dan organisasi-organisasi tertentu.
Hal ini saja tentu menjadi lahan empuk untuk membangun dan membangkitkan
sikap militansi keagamaan di dalam diri mereka. Kondisi ini ditambah dengan
adanya kebijakan kampus yang tidak memberi ruang kepada mahasiswa untuk
menuangkan ide-ide kritis dan kreatifnya. Mahasiswa dijejali dengan serangkaian
program yang sistematis yang membuat mahasiswa tidak berkutik, membosankan,
jenuh dan bahkan bisa menyebabkan stress. Kreasi dan ide-ide kritisnya tidak
tersalurkan, padahal mereka adalah generasi yang sangat membutuhkan ruang
untuk menuangkan gagasan atau ide-ide kritis dan kreatif. Ketika kritisisme dan
kreatifitas mahasiswa tersumbat atau sengaja disumbat, maka sangat mungkin
mahasiswa mencari escapisme (pelarian) terhadap gerakan-gerakan radikal yang
menurut mereka memberikan kebebasan berekspresi (tentu dengan pemahaman
yang sangat subjektif).
4
b. Pemahaman agama
Radikalisme ini merupakan sasaran yang tepat bagi orang-orang yang
bertujuan menyelewengkan ajaran agama atau mengajarkan paham-paham
keagamaan yang sesat.
c. Sosial Politik
Secara historis kita dapat melihat bahwa konflik-konflik yang ditimbulkan oleh
kalangan radikal dengan seperangkat alat kekerasannya dalam menentang dan
membenturkan diri dengan kelompok lain ternyata lebih berakar pada masalah
sosial-politik. Dalam hal ini kaum radikalisme memandang fakta historis bahwa
umat Islam tidak diuntungkan oleh peradaban global sehingga menimbulkan
perlawanan terhadap kekuatan yang mendominasi. Dengan membawa bahasa dan
simbol serta slogan-slogan agama kaum radikalis mencoba menyentuh emosi
keagamaan dan mengggalang kekuatan untuk mencapai tujuan “mulia” dari
politiknya. Tentu saja hal yang demikian ini tidak selamanya dapat disebut
memanipulasi agama karena sebagian perilaku mereka berakar pada interpretasi
agama dalam melihat fenomena historis. Karena dilihatnya terjadi banyak
penyimpangan dan ketimpangan sosial yang merugikan komunitas Muslim maka
terjadilah gerakan radikalisme yang ditopang oleh sentimen dan emosi keagamaan.
d. Emosi Keagamaan
Dalam konteks ini yang dimaksud dengan emosi keagamaan adalah agama
sebagai pemahaman realitas yang sifatnya interpretatif. Jadi sifatnya nisbi dan
subjektif. Ada sebagian kalangan yang memahami bahwa apa yang dipahaminya
merupakan hal yang paling benar. Mereka menganggap bahwa kelompok atau
golongannya yang paling benar sendiri. Sementara orang lain yang tak memiliki
pandangan yang sama dengannya dinyatakan salah. Mestinya, adanya perbedaan
yang muncul di tengah-tengah kehidupan kita dapat diselesaikan dengan melakukan
komunikasi dan dialog. Bukannya mengedepankan penyelesaian yang melibatkan
kekerasan. Kita mestinya menarik teladan dari tokoh-tokoh Islam terdahulu, seperti
Mohamad Natsir, yang meski berbeda pandang dengan tokoh lainnya, namun tetap
5
mengedepankan dialog dan tetap saling menghormati di antara mereka. Mereka
memberikan contoh yang bijak dalam menghadapi perbedaan yang ada.
e. Faktor Kultural
Faktor kultural di sini adalah sebagai anti tesa terhadap budaya sekularisme.
Budaya Barat merupakan sumber sekularisme yang dianggab sebagai musuh yang
harus dihilangkan dari bummi. Sedangkan fakta sejarah memperlihatkan adanya
dominasi Barat dari berbagai aspeknya atas negeri-negeri dan budaya Muslim.
Peradaban barat sekarang ini merupakan ekspresi dominan dan universal umat
manusia. Barat telah dengan sengaja melakukan proses marjinalisasi selurh sendi-
sendi kehidupan Muslim sehingga umat Islam menjadi terbelakang dan tertindas.
Barat, dengan sekularismenya, sudah dianggap sebagai bangsa yang mengotori
budaya-budaya bangsa Timur dan Islam, juga dianggap bahaya terbesar dari
keberlangsungan moralitas Islam.
6
Intelektual dan masyarakat menolak terhadap eksitensi ISIS di Indonesia. Berbagai
pernyataan menolak ISIS di Indonesia pun bermunculan.
b. Radikalisme Pancasila
Pemerintah harus melakukan radikalisasi Pancasila dan revolusi mental untuk
menangkis masuk dan berkembangnya radikalisme di Indonesia. Salah satunya
adalah gerakan ISIS, yang belakangan diketahui terindikasi dengan jaringan
terorisme. Menurutnya, nilai-nilai Pancasila di era sekarang hanya sebatas hafalan
dan tidak diimplementasikan dalam kehidupan sehari-hari. Selama ini,
implementasi tidak sampai tujuan, harus melakukan radikalisasi Pancasila dan
revolusi mental untuk menangkis radikalisme. Akibat nilai-nilai Pancasila yang
tidak membumi, gerakan radikalisme juga subur seiring dengan meningkatnya
angka kemiskinan dan pengangguran di Indonesia. Kemiskinan dan pengangguran
menjadi pintu masuk gerakan ISIS ke Indonesia. Karena saat ini, ada indikasi
aktivis ISIS juga terkait dengkait dengan jaringan terorisme di Indonesia. Kalau
7
sampai paham ISIS dan terorisme saling berkaitan, maka ibarat api dan bensin, akan
menyebar ke mana-mana.
Untuk itulah, dibutuhkan peran Pancasila dan revolusi mental, tokoh agama,
guru/pendidik, elit politik, pemerintah daerah dan masyarakat untuk mencegah
berkembangnya gerakan ISIS di Indonesia. Pemerintah dan masyarakat harus
sepakat jika pemberitaan dan informasi anti-ISIS harus terus digelorakan untuk
mematahkan upaya ISIS mengajak pemuda Indonesia menjadi bagian darinya.
Pemerintah dan DPR berencana merevisi Undang-Undang Terorisme agar dapat
menjerat orang-orang yang menyebarkan kebencian dan permusuhan. Produk UU
tersebut lebih bersifat reaktif atau hanya diberlakukan setelah kejadian teror,
padahal propaganda mendukung kelompopk teroris seperti Negara Islam Irak dan
Suriah (ISIS) banyak dijumpai di media sosial, tetapi sulit dibendung. Belajar dari
negara lain, untuk mengalahkan terorisme diperlukan tindakan proaktif. kibat
kelemahan UU ini aparat kepolisian tidak dapat melakukan upaya hukum terhadap
orang-orang yang terbukti melakukan hal tersebut.
Meski pemerintah sudah menolak ISIS dan melarang pengembangan
idiologinya di Indonesia, aparat hanya mampu menjerat hukum pendukungnya jika
terbukti melakukan tindak pidana. Kepala BNPT telah mengusulkan beberapa
perubahan pada Undang-Undang No. 15 Tahun 2003 tentang Tindak Pidana
Terorisme dalam rapat kerja dengan Komisi III DPR. Dijelaskan ada beberapa hal
yang belum tercakup dalam UU Terorisme, di antaranya mengenai pemidanaan
terhadap perbuatan yang mendukung tindak pidana terorisme, perbuatan
penyebaran kebencian dan permusuhan, masuknya seseorang ke dalam organisasi
terorisme, dan masalah rehabilitasi yang juga belum diatur dalam UU No. 15 tahun
2003. Selain beberapa usulan perubahan tersebut, BNPT juga mengusulkan
perubahan lain, yaitu terkait perubahan masa penahanan dari 7 hari menjadi 1 bulan,
dan perubahan masa penahanan penyidik dari 4 bulan menjadi 6 bulan.
8
2.2 Plagiarisme
Plagiarisme atau plagiat adalah penjiplakan atau pengambilan karangan,
pendapat, dan sebagainya dari orang lain dan menjadikannya seolah karangan dan
pendapat sendiri (Wikipedia, 2015). Plagiat dapat dianggap sebagai tindak pidana
karena mencuri hak cipta orang lain. Di dunia pendidikan, pelaku plagiarisme dapat
mendapat hukuman berat seperti dikeluarkan dari sekolah/universitas. Pelaku
plagiat disebut sebagai plagiator. Plagiat adalah pencurian karangan milik orang
lain. Dapat juga diartikan sebagai pengambilan karangan (pendapat dan
sebagainya) orang lain yang kemudian dijadikan seolah-olah miliknya sendiri.
Setiap karangan yang asli dianggap sebagai hak milik si pengarang dan tidak boleh
dicetak ulang tanpa izin yang mempunyai hak atau penerbit karangan tersebut.
Sesudah 2 × 24 jam berita surat kabar tersiar, maka seseorang dapat mengambil alih
dengan syarat menyebutkan sumbernya.
Plagiarisme dalam literatur terjadi ketika seseorang mengaku atau memberi
kesan bahwa ia adalah penulis asli suatu naskah yang ditulis orang lain, atau
mengambil mentah-mentah dari tulisan atau karya orang lain atau karya sendiri
(swaplagiarisme) secara keseluruhan atau sebagian, tanpa memberi sumber.
Swaplagiarisme adalah penggunaan kembali sebagian atau seluruh karya penulis
itu sendiri tanpa memberikan sumber aslinya. Swaplagiarisme juga sering terjadi di
dunia akademis.
9
mahasiswa; satu atau lebih dosen/peneliti/tenaga kependidikan; satu atau lebih
dosen/peneliti/tenaga kependidikan bersama satu atau lebih mahasiswa.
10
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) berupa: presentasi di depan khalayak umum
atau terbatas; presentasi melalui radio/televise/video/cakram video digital; bentuk
atau cara lain sejenis yang tidak termasuk dalam huruf a dan huruf b. dimuat dalam
bentuk tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (2) berupa cetakan dan/atau
elektronik. Pernyataan sumber memadai apabila dilakukan sesuai dengan tata cara
pengacuan dan pengutipan dalam gaya selingkung setiap bidang ilmu, teknologi,
dan seni.y
11
2.2.3 Pencegahan
Pencegahan plagiarism dilakukan berdasarkan Permendiknas No.17 Tahun
2010 pasal 6, pasal 7, pasal 8, pasal, dan pasal 9, diantaranya yaitu:
a. Pimpinan perguruan tinggi mengawasi pelaksanaan kode etik
mahasiswa/dosen/peneliti/tenaga kependidikan akademi, yang antara lain
berisi kaidah pencegahan dan penanggulangan plagiat.
b. Menetapkan dan mengawasi pelaksanaan gaya selingkung untuk setiap
bidang ilmu, teknologi, dan seni yang dikembangkan perguruan tinggi.
c. Pada setiap karya ilmiah yang dihaslkan di lingkungan perguruan tinggi
harus dilampirkan pernyataan yang ditandatangani oleh penyusunnya
bahwa karya ilmiah tersebut bebas plagiat, apabila di kemudian hari
terbukti terdapat plagiat dalam karya ilmiah tersebut, maka
penyusunannya bersedia menerima sanksi sesuai ketentuan peraturan
perundang-undangan.
d. Pimpinan perguruan tinggi wajib mengunggah secara elektronik semua
karya ilmiah mahasiswa/dosen/peneliti/tenaga kependidikan yang telah
dilampiri pernyataan dari penyusunnya melalui Portal Garuda sebagai titik
akses terhadap karya ilmiah, atau portal lain yang ditetapkan oleh DIKTI.
2.2.4 Penanggulangan
Penanggulangan plagirisme dapat dilaksanakan sesuai Permendiknas No.17
Tahun 2010 pada pasal 10 dan pasal 11, yaitu:
a. Jika diduga terjadi plagiat oleh mahasiswa, ketua jurusan/departemen
membuat persandingan antara karya ilmiah mahasiswa dengan karya
ilmiah yang diduga merupakan sumber yang tidak dinyatakan oleh
mahasiswa.
b. Ketua jurusan atau departemen meminta seorang dosen sebidang untuk
memberikan kesaksian secara tertulis tentang kebenaran plagiat yang
diduga telah dilakukan oleh mahasiswa.
c. Mahasiswa yang diduga melakukan plagiat diberi kesempatan untuk
melakukan pembelaan di hadapan ketua jurusan/departemen.
12
d. Apabila berdasarkan persandingan dan kesaksian telah terbukti melakukan
plagiat, maka ketua jurusan/departemen menjatuhkan sanksi kepada
mahasiswa sebagai plagiator.
e. Apabila salah satu dari persandingan atau kesaksian tidak dapat
membuktikan adanya plagiat, maka sanksi tidak dapat dijatuhkan kepada
mahasiswa tersebut.
13
BAB 3
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Radikalisme adalah suatu paham yang dibuat-buat oleh sekelompok orang
yang menginginkan perubahan atau pembaharuan sosial dan politik secara drastis
dengan menggunakan cara-cara kekerasan. Proses radikalisasi ternyata juga
menjangkau kampus khususnya kalangan mahasiswa, perguruan tinggi umum lebih
mudah menjadi target rekrutmen gerakan-gerakan radikal. Mahasiswa dijejali
dengan serangkaian program yang sistematis yang membuat mahasiswa tidak
berkutik, membosankan, jenuh dan bahkan bisa menyebabkan stress. Kreasi dan
ide-ide kritisnya tidak tersalurkan, padahal mereka adalah generasi yang sangat
membutuhkan ruang untuk menuangkan gagasan atau ide-ide kritis dan kreatif.
Ketika kritisisme dan kreatifitas mahasiswa tersumbat atau sengaja disumbat, maka
sangat mungkin mahasiswa mencari escapisme (pelarian) terhadap gerakan-
gerakan radikal yang menurut mereka memberikan kebebasan berekspresi (tentu
dengan pemahaman yang sangat subjektif). Sedangkan plagiarism adalah perbuatan
secara sengaja atau tidak sengaja dalam memperoleh atau mencoba memperoleh
kredit atau nilai untuk suatu karya ilmiah, dengan mengutip sebagian atau seluruh
karya dan/atau karya ilmiah pihak lain yang diakui sebagai karya ilmiahnya sendiri,
tanpa menyatakan sumber secara tepat dan memadai. Plagiarisme sering terjadi
dikalangan institusi/akademi khususnya mahasiswa. Peraturan mengenai
plagiarism dielaskan dalam Permendiknas No.17 Tahun 2010.
3.2 Saran
a. Mahasiswa diharapkan selalu waspada dan berhati-hati terhadap segala bentuk
tindakan organisasi atau kelompok yang bersifat radicalism.
b. Dosen/ketua jurusan/departemen membuat peraturan tertulis untuk setiap
tindakan organisasi/ kelompok yang bersifat radikals.
c. Mahasiswa lebih berhati-hati dan memperhatikan setiap penulisan dalam
membuat karya ilmiah/tulis dan mencantumkan sumber yang memadai.
14