You are on page 1of 14

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Mahasiswa dan radikalisme seakan menjelma sebagai kesatuan yang


holistik, menjadi “panganan” yang tiada henti dikonsumsi dan dinikmati setiap
harinya. Sebagai “anak-anak muda”, kelabilan dalam bersikap serta emosi yang
masih sukar dikendalikan, menjadi sebab utama mudahnya mahasiswa tersulut
dalam gerakan-gerakan berbau radikalistik bernuansa kekerasan. Tak jarang,
justru dijadikan sebagai trend masa kini yang semakin hari semakin lumrah
adanya. Pada umumnya, radikalisme ada di setiap elemen masyarakat. Tidak
hanya di kalangan kaum awam, bahkan para politisi yang sudah dianggap
“matang” sekalipun bisa memiliki hal yang demikian. Namun, tak bisa kita
pungkiri bahwa radikalisme yang paling berbahaya adalah radikalisme
mahasiswa. Di satu sisi, mahasiswa memahami cara berpikir secara filsafat
(radik). Di sisi lain, mahasiswa juga sangat potensial untuk disulut pada
gerakan-gerakan radikalisme dengan sikap dan perilakunya yang kaku serta
cenderung tak mau mengalah. Inilah yang mesti diwaspadai sebagai seorang
mahasiswa.

Di Indonesia kasus-kasus plagiarisme di dunia akademik bukan lagi isu


yang baru. Menurut (Fasli Jalal 2010) bahwa tindakan plagiarisme (menjiplak)
karya tulis ilmiah orang lain yang kemudian diakui sebagai karya sendiri
sebenarnya sudah lama berlangsung di berbagai institusi perguruan tinggi di
negeri ini. The Psicological melaporkan, bahwa sebesar 36% mahasiswa sarjana
melakukan plagiarisme atas tulisan akademiknya. Sedangkan data di Education
Week menunjukkan, 74% mahasiswa melakukan kecurangan akademik yang
serius. Fenomena yang sama juga terjadi di Indonesia, pada tahun 2012, 3 orang
doktor sebuah Perguruan Tinggi Negeri melakukan plagiasi dalam meraih
profesi Guru Besar. Berdasarkan Data yang diakses dari data pangkalan DIKTI

1
sejak tahun 2009 sampai tahun 2012, kasus plagiarisme semakin meningkat dari
tahun ke tahun. DIKTI menghimbau agar perguruan tinggi memberikan sanksi
yang tegas atas perilaku yang tidak tauladan tersebut, berupa sanksi tidak boleh
meningkatkan jabatan akademik dalam kurun waktu tertentu sampai dengan
pemecatan yang bersangkutan sebagai Pegawai Negeri Sipil (PNS). Sebagai
bentuk perlindungan hukum, pemerintah dalam hal DIKTI telah mengeluarkan
berbagai kebijakan yang bersifat antisipasif. Secara khusus, pemerintah juga
telah menerbitkan Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 17 tahun
2010 tentang pencegahan dan penanggulangan plagiasi di Perguruan Tinggi.
Meskipun demikian masih terdapat silang pendapat terkait bentuk sanksi yang
sesuai tanpa mengancam bentuk potensi penulisan bidang karya akademik.

1.2 Rumusan Masalah


1. Apa pengertian radikalisme?
2. Bagaimana radikalisme di kalangan mahasiwa?
3. Apa saja faktor penyebab munculnya radikalisme?
4. Apa pengertian plagiarisme?
5. Bagaimana plagiarisme di kalangan mahasiwa akademik/institusi?
6. Bagaimana hukum menjelaskan dan mengatur plagiarism di Indonesia?

1.3 Tujuan Penulisan


1. Untuk mengetahui pengertian tentang Radikalisme.
2. Untuk mengetahui bagaimana radikalisme dapat terjadi di kalangan
mahasiswa.
3. Untuk mengetahui apa saja faktor penyebab munculnya radikalisme.
4. Untuk mengetahui pengertian plagiarism.
5. Untuk mengetahui bagaimana plagiarisme dapat terjadi di kalangan
mahasiswa akademik/institusi.
6. Untuk mengetahui bagaimana hukum mengatur plagiarisme di Indonesia.

2
BAB 2
PEMBAHASAN

2.1 Radikalisme
Radikalisme adalah suatu paham yang dibuat-buat oleh sekelompok orang
yang menginginkan perubahan atau pembaharuan sosial dan politik secara drastis
dengan menggunakan cara-cara kekerasan. Namun bila dilihat dari sudut pandang
keagamaan dapat diartikan sebagai paham keagamaan yang mengacu pada fondasi
agama yang sangat mendasar dengan fanatisme keagamaan yang sangat tinggi,
sehingga tidak jarang penganut dari paham atau aliran tersebut menggunakan
kekerasan kepada orang yang berbeda paham atau aliran untuk mengaktualisasikan
paham keagamaan yang dianut dan dipercayainya untuk diterima secara paksa.

2.1.1 Radikalisme di kalangan Mahasiswa


Proses radikalisasi ternyata juga menjangkau kampus khususnya kalangan
mahasiswa. Perguruan tinggi umum lebih mudah menjadi target rekrutmen
gerakan-gerakan radikal, sementara perguruan tinggi berbasis keagamaan dianggap
lebih sulit. Kalau ternyata faktanya menunjukkan bahwa gerakan radikal juga sudah
marak dan subur di kampus berbasis keagamaan, maka ini dapat membuktikan dua
hal. Pertama, telah terjadi perubahan di dalam perguruan tinggi berbasis keagamaan
itu sendiri. Kedua, telah terjadi metamorfosa bentuk dan strategi gerakan di internal
gerakan-gerakan radikal. Sebagai contoh jika dahulu sebagian besar calon
mahasiswa IAIN berasal dari lulusan madrasah atau pondok pesantren. Ketika
mereka kuliah ternyata mendapati pelajaran yang diajarkan sudah pernah dipelajari
di pesantren bahkan bisa jadi mereka lebih menguasai dari pada dosennya sendiri.
Oleh karena itu, mereka lebih suka membaca buku-buku filsafat, ilmu sosial politik
dan semacamnya. Semangat untuk mempelajari agama menjadi menurun bahkan
ada kecenderungan untuk liberal. Dengan kondisi semacam ini tentu mereka sulit
didoktrin untuk menjadi orang yang militan dan radikal. Sementara calon
mahasiswa yang berasal dari SMU/SMK/STM karena dahulunya lebih banyak
belajar umum (non agama), mereka baru menemukan semangat beragamanya di

3
kampus, terlebih ketika mereka berjumpa dengan aktifis-aktifis lembaga dakwah
dan organisasi-organisasi tertentu.
Hal ini saja tentu menjadi lahan empuk untuk membangun dan membangkitkan
sikap militansi keagamaan di dalam diri mereka. Kondisi ini ditambah dengan
adanya kebijakan kampus yang tidak memberi ruang kepada mahasiswa untuk
menuangkan ide-ide kritis dan kreatifnya. Mahasiswa dijejali dengan serangkaian
program yang sistematis yang membuat mahasiswa tidak berkutik, membosankan,
jenuh dan bahkan bisa menyebabkan stress. Kreasi dan ide-ide kritisnya tidak
tersalurkan, padahal mereka adalah generasi yang sangat membutuhkan ruang
untuk menuangkan gagasan atau ide-ide kritis dan kreatif. Ketika kritisisme dan
kreatifitas mahasiswa tersumbat atau sengaja disumbat, maka sangat mungkin
mahasiswa mencari escapisme (pelarian) terhadap gerakan-gerakan radikal yang
menurut mereka memberikan kebebasan berekspresi (tentu dengan pemahaman
yang sangat subjektif).

2.1.2 Faktor-faktor penyebab munculnya gerakan radikalisme


Gerakan radikalisme sesungguhnya bukan sebuah gerakan yang muncul begitu
saja tetapi memiliki latar belakang yang sekaligus menjadi faktor pendorong
munculnya gerakan radikalisme. Diantara faktor-faktor itu adalah :

a. Kapitalisme Global dan Problem Kemiskinan


Sistem kapitalisme yang sampai hari ini berkuasa berhasil menciptakan
kesejahteraan dengan kemajuan tingkat produktivitas dan kecanggihan teknologi
yang semakin tinggi. Sebagai sistem ekonomi, kapitalisme yang diterapkan dunia
Barat dinilai merusak dasar-dasar kebudayaan dan menyingkirkan mereka yang
lemah secara ekonomi, di samping mampu berkuasa secara politik di level
kebijakan negara. Ketidakberdayaan umat Islam terhadap hegemoni ekonomi
kapitalisme Barat menyebabkan sebagian umat Islam melakukan resistensi.

4
b. Pemahaman agama
Radikalisme ini merupakan sasaran yang tepat bagi orang-orang yang
bertujuan menyelewengkan ajaran agama atau mengajarkan paham-paham
keagamaan yang sesat.

c. Sosial Politik
Secara historis kita dapat melihat bahwa konflik-konflik yang ditimbulkan oleh
kalangan radikal dengan seperangkat alat kekerasannya dalam menentang dan
membenturkan diri dengan kelompok lain ternyata lebih berakar pada masalah
sosial-politik. Dalam hal ini kaum radikalisme memandang fakta historis bahwa
umat Islam tidak diuntungkan oleh peradaban global sehingga menimbulkan
perlawanan terhadap kekuatan yang mendominasi. Dengan membawa bahasa dan
simbol serta slogan-slogan agama kaum radikalis mencoba menyentuh emosi
keagamaan dan mengggalang kekuatan untuk mencapai tujuan “mulia” dari
politiknya. Tentu saja hal yang demikian ini tidak selamanya dapat disebut
memanipulasi agama karena sebagian perilaku mereka berakar pada interpretasi
agama dalam melihat fenomena historis. Karena dilihatnya terjadi banyak
penyimpangan dan ketimpangan sosial yang merugikan komunitas Muslim maka
terjadilah gerakan radikalisme yang ditopang oleh sentimen dan emosi keagamaan.

d. Emosi Keagamaan
Dalam konteks ini yang dimaksud dengan emosi keagamaan adalah agama
sebagai pemahaman realitas yang sifatnya interpretatif. Jadi sifatnya nisbi dan
subjektif. Ada sebagian kalangan yang memahami bahwa apa yang dipahaminya
merupakan hal yang paling benar. Mereka menganggap bahwa kelompok atau
golongannya yang paling benar sendiri. Sementara orang lain yang tak memiliki
pandangan yang sama dengannya dinyatakan salah. Mestinya, adanya perbedaan
yang muncul di tengah-tengah kehidupan kita dapat diselesaikan dengan melakukan
komunikasi dan dialog. Bukannya mengedepankan penyelesaian yang melibatkan
kekerasan. Kita mestinya menarik teladan dari tokoh-tokoh Islam terdahulu, seperti
Mohamad Natsir, yang meski berbeda pandang dengan tokoh lainnya, namun tetap

5
mengedepankan dialog dan tetap saling menghormati di antara mereka. Mereka
memberikan contoh yang bijak dalam menghadapi perbedaan yang ada.

e. Faktor Kultural
Faktor kultural di sini adalah sebagai anti tesa terhadap budaya sekularisme.
Budaya Barat merupakan sumber sekularisme yang dianggab sebagai musuh yang
harus dihilangkan dari bummi. Sedangkan fakta sejarah memperlihatkan adanya
dominasi Barat dari berbagai aspeknya atas negeri-negeri dan budaya Muslim.
Peradaban barat sekarang ini merupakan ekspresi dominan dan universal umat
manusia. Barat telah dengan sengaja melakukan proses marjinalisasi selurh sendi-
sendi kehidupan Muslim sehingga umat Islam menjadi terbelakang dan tertindas.
Barat, dengan sekularismenya, sudah dianggap sebagai bangsa yang mengotori
budaya-budaya bangsa Timur dan Islam, juga dianggap bahaya terbesar dari
keberlangsungan moralitas Islam.

f. Faktor Ideologis Anti Westernisme


Westernisme merupakan suatu pemikiran yang membahayakan Muslim dalam
mengapplikasikan syari’at Islam. Sehingga simbol-simbol Barat harus dihancurkan
demi penegakan syarri’at Islam. Walaupun motivasi dan gerakan anti Barat tidak
bisa disalahkan dengan alasan keyakinan keagamaan tetapi jalan kekerasan yang
ditempuh kaum radikalisme justru menunjukkan ketidakmampuan mereka dalam
memposisikan diri sebagai pesaing dalam budaya dan peradaban.

2.1.3 Upaya pencegahan Radikalisme dan Undang-Undang


Sebagai contoh belakangan ini telah di hebohkan adanya ISIS yang berusaha
mencari dukungan dan pengaruh di Indonesia. Namun, secara tegas pemerintah RI
dan Badan Nasional Penanggulangan Tindakan Terorisme (BNPT) menyatakan
menolak paham ISIS berkembang di Indonesia karena tidak sesuai dengan ideologi
Pancasila dan Kebhinekaan yang menaungi NKRI, karena apa yang dilakukan ISIS
masuk dalam kategori tindakan terorisme karena dilakukan dengan cara kekerasan
dan menebar teror. Seperti penyeru jihad ala ISIS di Indonesia tersebut adalah
kelompok teroris Santoso asal Poso yang s5aat ini menjadi Daftar Pencarian Orang
(DPO). Sikap yang sama juga ditunjukkan oleh Ormas Islam, tokoh politisi,

6
Intelektual dan masyarakat menolak terhadap eksitensi ISIS di Indonesia. Berbagai
pernyataan menolak ISIS di Indonesia pun bermunculan.

a. Pendidikan bagi Guru Agama


Pentingnya pendidikan Islam bagi para calon guru agama Islam, karena
pendidikan Islam yang berada di punggung guru bagai pedang bermata dua, di satu
sisi bisa menangkal radikalisme, di sisi yang lain justru bisa melahirkan radikalisme
agama. Di sinilah peran guru sebagai pendidik menduduki posisi kunci. Karena di
tangan merekalah, anak didik bisa dibentuk cara pandang pada agama dengan
kacamata cinta. Sementara itu, untuk mencegah lahirnya radikalisme, perlunya
merombak total cara pandang terhadap agama Islam serta mengkritisi kurikulum
pendidikan agama yang menurutnya lebih berorientasi pada hukum (nomos
oriented religion) yang kaku dan eksklusif, bukannya pada cinta (eros oriented
religion) yang moderat dan inklusif. Padahal Islam adalah ajaran yang sangat
berorientasi pada ajaran cinta (eros). Pelajaran agama dan Pancasila harus
dilakukan secara berkesinambungan dalam kurikulum pendidik. Hal tersebut perlu
dilakukan agar revolusi dan mental terintegrasi agar tidak salah paham dalam
praktiknya.

b. Radikalisme Pancasila
Pemerintah harus melakukan radikalisasi Pancasila dan revolusi mental untuk
menangkis masuk dan berkembangnya radikalisme di Indonesia. Salah satunya
adalah gerakan ISIS, yang belakangan diketahui terindikasi dengan jaringan
terorisme. Menurutnya, nilai-nilai Pancasila di era sekarang hanya sebatas hafalan
dan tidak diimplementasikan dalam kehidupan sehari-hari. Selama ini,
implementasi tidak sampai tujuan, harus melakukan radikalisasi Pancasila dan
revolusi mental untuk menangkis radikalisme. Akibat nilai-nilai Pancasila yang
tidak membumi, gerakan radikalisme juga subur seiring dengan meningkatnya
angka kemiskinan dan pengangguran di Indonesia. Kemiskinan dan pengangguran
menjadi pintu masuk gerakan ISIS ke Indonesia. Karena saat ini, ada indikasi
aktivis ISIS juga terkait dengkait dengan jaringan terorisme di Indonesia. Kalau

7
sampai paham ISIS dan terorisme saling berkaitan, maka ibarat api dan bensin, akan
menyebar ke mana-mana.
Untuk itulah, dibutuhkan peran Pancasila dan revolusi mental, tokoh agama,
guru/pendidik, elit politik, pemerintah daerah dan masyarakat untuk mencegah
berkembangnya gerakan ISIS di Indonesia. Pemerintah dan masyarakat harus
sepakat jika pemberitaan dan informasi anti-ISIS harus terus digelorakan untuk
mematahkan upaya ISIS mengajak pemuda Indonesia menjadi bagian darinya.
Pemerintah dan DPR berencana merevisi Undang-Undang Terorisme agar dapat
menjerat orang-orang yang menyebarkan kebencian dan permusuhan. Produk UU
tersebut lebih bersifat reaktif atau hanya diberlakukan setelah kejadian teror,
padahal propaganda mendukung kelompopk teroris seperti Negara Islam Irak dan
Suriah (ISIS) banyak dijumpai di media sosial, tetapi sulit dibendung. Belajar dari
negara lain, untuk mengalahkan terorisme diperlukan tindakan proaktif. kibat
kelemahan UU ini aparat kepolisian tidak dapat melakukan upaya hukum terhadap
orang-orang yang terbukti melakukan hal tersebut.
Meski pemerintah sudah menolak ISIS dan melarang pengembangan
idiologinya di Indonesia, aparat hanya mampu menjerat hukum pendukungnya jika
terbukti melakukan tindak pidana. Kepala BNPT telah mengusulkan beberapa
perubahan pada Undang-Undang No. 15 Tahun 2003 tentang Tindak Pidana
Terorisme dalam rapat kerja dengan Komisi III DPR. Dijelaskan ada beberapa hal
yang belum tercakup dalam UU Terorisme, di antaranya mengenai pemidanaan
terhadap perbuatan yang mendukung tindak pidana terorisme, perbuatan
penyebaran kebencian dan permusuhan, masuknya seseorang ke dalam organisasi
terorisme, dan masalah rehabilitasi yang juga belum diatur dalam UU No. 15 tahun
2003. Selain beberapa usulan perubahan tersebut, BNPT juga mengusulkan
perubahan lain, yaitu terkait perubahan masa penahanan dari 7 hari menjadi 1 bulan,
dan perubahan masa penahanan penyidik dari 4 bulan menjadi 6 bulan.

8
2.2 Plagiarisme
Plagiarisme atau plagiat adalah penjiplakan atau pengambilan karangan,
pendapat, dan sebagainya dari orang lain dan menjadikannya seolah karangan dan
pendapat sendiri (Wikipedia, 2015). Plagiat dapat dianggap sebagai tindak pidana
karena mencuri hak cipta orang lain. Di dunia pendidikan, pelaku plagiarisme dapat
mendapat hukuman berat seperti dikeluarkan dari sekolah/universitas. Pelaku
plagiat disebut sebagai plagiator. Plagiat adalah pencurian karangan milik orang
lain. Dapat juga diartikan sebagai pengambilan karangan (pendapat dan
sebagainya) orang lain yang kemudian dijadikan seolah-olah miliknya sendiri.
Setiap karangan yang asli dianggap sebagai hak milik si pengarang dan tidak boleh
dicetak ulang tanpa izin yang mempunyai hak atau penerbit karangan tersebut.
Sesudah 2 × 24 jam berita surat kabar tersiar, maka seseorang dapat mengambil alih
dengan syarat menyebutkan sumbernya.
Plagiarisme dalam literatur terjadi ketika seseorang mengaku atau memberi
kesan bahwa ia adalah penulis asli suatu naskah yang ditulis orang lain, atau
mengambil mentah-mentah dari tulisan atau karya orang lain atau karya sendiri
(swaplagiarisme) secara keseluruhan atau sebagian, tanpa memberi sumber.
Swaplagiarisme adalah penggunaan kembali sebagian atau seluruh karya penulis
itu sendiri tanpa memberikan sumber aslinya. Swaplagiarisme juga sering terjadi di
dunia akademis.

2.2.1 Plagiarisme Menurut Permendiknas Nomor 17 Tahun 2010


Sebagaimana dijelaskan dalam Permendiknas Nomor 17 Tahun 2010 Pasal 1,
plagiat adalah perbuatan secara sengaja atau tidak sengaja dalam memperoleh atau
mencoba memperoleh kredit atau nilai untuk suatu karya ilmiah, dengan mengutip
sebagian atau seluruh karya dan/atau karya ilmiah pihak lain yang diakui sebagai
karya ilmiahnya sendiri, tanpa menyatakan sumber secara tepat dan memadai
(Permendiknas No.17 (1), 2010). Sedangkan plagiator adalah orang perseorangan
atau kelompok orang pelaku plagiat, masing-masing bertindak untuk diri sendiri,
untuk kelompok atau untuk dan atas nama suatu badan (Permendiknas No.17 (2),
2010). Plagiator yang dimaksud dijelaskan dalam pasal 3 yaitu: satu atau lebih

9
mahasiswa; satu atau lebih dosen/peneliti/tenaga kependidikan; satu atau lebih
dosen/peneliti/tenaga kependidikan bersama satu atau lebih mahasiswa.

2.2.2 Lingkup dan Pelaku Plagiarisme


Dalam Permendiknas Nomor 17 Tahun 2010 pasal 2 ayat (1), plagiat meliputi:
a. Mengacu dan/atau mengutip istilah, kata-kata dan/atau kalimat, data
dan/atau informasi dari suatu sumber tanpa menyebutkan sumber dalam
catatan kutipan dan/atau tanpa menyatakan sumber secara memadai;
b. Mengacu dan/atau mengutip secara acak istilah, kata-kata dan/atau
kalimat, data dan/atau, informasi dari suatu sumber tanpa menyebutkan
sumber dalam catatan kutipan, dan/atau tanpa menyatakan sumber secara
memadai;
c. Menggunakan sumber gagasan, pendapat, pandangan, atau teori tanpa
menyatakan sumber secara memadai;
d. Merumuskan dengan kata-kata dan/atau kalimat sendiri dari sumber kata-
kata dan/atau kalimat, gagasan, pendapat, pandangan, atau teori tanpa
menyatakan sumber secara memadai
e. Menyerahkan suatu karya ilmiah yang dihasilkan dan/atau telah
dipublikasikan oleh pihak lain sebagai karya lmiahnya tanpa menyatakan
sumber yang memadai.
Sumber sebagaimana yang dimaksud pasal 2 ayat (1) diatas, terdiri atas orang
perseorangan atau kelompok orang, masing-masing bertindak untuk diri sendiri
atau kelompok atau atas nama suatu badan, anonym penghasil satu atau lebih suatu
karya dan/atau karya ilmiah yang dibuat, diterbitkan, dipresentasikan, atau dimuat
dalam bentuk tertulis baik cetak maupun elektronik (Permendiknas No.17 2(2),
2010). Hasil yang dibuat sesuai maksud pasal 2 ayat (2) yaitu berupa: komposisi
music, perangkat lunak computer, fotografi, lukisan, sketsa, patung, atau hasil karya
tulis/ilmiah.
Diterbitkan seuai pasal 2 ayat (2) berupa: buku yang dicetak dan diedarkan oleh
penerbit atau perguruan tinggi; artikel yang dimuat dalam berkala ilmiah, majalah,
atau surat kabar; kertas kerja atau makalah professional dari organisasi tertentu; isi
laman elektronik; atau hasil karya tulis dan karya ilmiah. Dipresentasikan

10
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) berupa: presentasi di depan khalayak umum
atau terbatas; presentasi melalui radio/televise/video/cakram video digital; bentuk
atau cara lain sejenis yang tidak termasuk dalam huruf a dan huruf b. dimuat dalam
bentuk tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (2) berupa cetakan dan/atau
elektronik. Pernyataan sumber memadai apabila dilakukan sesuai dengan tata cara
pengacuan dan pengutipan dalam gaya selingkung setiap bidang ilmu, teknologi,
dan seni.y

2.2.2 Tempat dan Waktu

Dalam Permendiknas No.17 Tahun 2010 dijelaskan tempat terjadi plagiat:


a. Di dalam lingkungan perguruan tinggi, antarkarya ilmiah mahasiswa,
dosen/penelitian/tenaga kependidikan dan dosen terhadap mahasiswa atau
sebaliknya
b. Dari dalam lingkungan perguruan tinggi terhadap karya ilmiah mahasiswa
dan/atau dosen/peneliti/tenaga kependidikan dari perguruan tinggi lain,
karya dan/atau karya ilmiah orang perseorangan dan/atau kelompok orang
yang bukan dari kalangan perguruan tinggi, baik dalam maupun luar negeri
c. Di luar perguruan tinggi ketika mahasiswa dan/atau dosen/peneliti/tenaga
kependidikan dari perguruan tinggi yang bersangkutan sedang
mengerjakan atau menjalankan tugas yang diberikan oleh perguruan tinggi
atau pejabat yang berwenang.
Kemudian, pasal 5 Permendiknas No.17 Tahun 2010 menjelaskan tentang
waktu terjadinya plagiat, yaitu:
a. Selama mahasiswa menjalani proses pembelajaran
b. Sebelum dan setelah dosen mengemban jabatan akademik asisten ahli,
lector, lector kepala, atau guru besar/professor.
c. Sebelum dan setelah peneliti/tenaga kependidikan mengemban jabatan
fungsional dengan jenjang pertama, muda, madya, dan utama.

11
2.2.3 Pencegahan
Pencegahan plagiarism dilakukan berdasarkan Permendiknas No.17 Tahun
2010 pasal 6, pasal 7, pasal 8, pasal, dan pasal 9, diantaranya yaitu:
a. Pimpinan perguruan tinggi mengawasi pelaksanaan kode etik
mahasiswa/dosen/peneliti/tenaga kependidikan akademi, yang antara lain
berisi kaidah pencegahan dan penanggulangan plagiat.
b. Menetapkan dan mengawasi pelaksanaan gaya selingkung untuk setiap
bidang ilmu, teknologi, dan seni yang dikembangkan perguruan tinggi.
c. Pada setiap karya ilmiah yang dihaslkan di lingkungan perguruan tinggi
harus dilampirkan pernyataan yang ditandatangani oleh penyusunnya
bahwa karya ilmiah tersebut bebas plagiat, apabila di kemudian hari
terbukti terdapat plagiat dalam karya ilmiah tersebut, maka
penyusunannya bersedia menerima sanksi sesuai ketentuan peraturan
perundang-undangan.
d. Pimpinan perguruan tinggi wajib mengunggah secara elektronik semua
karya ilmiah mahasiswa/dosen/peneliti/tenaga kependidikan yang telah
dilampiri pernyataan dari penyusunnya melalui Portal Garuda sebagai titik
akses terhadap karya ilmiah, atau portal lain yang ditetapkan oleh DIKTI.

2.2.4 Penanggulangan
Penanggulangan plagirisme dapat dilaksanakan sesuai Permendiknas No.17
Tahun 2010 pada pasal 10 dan pasal 11, yaitu:
a. Jika diduga terjadi plagiat oleh mahasiswa, ketua jurusan/departemen
membuat persandingan antara karya ilmiah mahasiswa dengan karya
ilmiah yang diduga merupakan sumber yang tidak dinyatakan oleh
mahasiswa.
b. Ketua jurusan atau departemen meminta seorang dosen sebidang untuk
memberikan kesaksian secara tertulis tentang kebenaran plagiat yang
diduga telah dilakukan oleh mahasiswa.
c. Mahasiswa yang diduga melakukan plagiat diberi kesempatan untuk
melakukan pembelaan di hadapan ketua jurusan/departemen.

12
d. Apabila berdasarkan persandingan dan kesaksian telah terbukti melakukan
plagiat, maka ketua jurusan/departemen menjatuhkan sanksi kepada
mahasiswa sebagai plagiator.
e. Apabila salah satu dari persandingan atau kesaksian tidak dapat
membuktikan adanya plagiat, maka sanksi tidak dapat dijatuhkan kepada
mahasiswa tersebut.

2.2.5 Sanksi Plagiarisme


Mahasiswa yang terbukti melakukan plagiat, sanksi dapat dijatuhkan. Sanksi
dari yang paling ringan sampai yang paling berat sebagai berikut:
a. Berupa teguran;
b. Peringatan tertulis;
c. Penundaan pemberian hak mahasiswa;
d. Pembatalan nilai satu atau beberapa mata kuliah yang diperoleh
mahasiswa;
e. Pemberhentian dengan hormat dari status sebagai mahasiswa
f. Pemberhentian tidak dengan hormat dari status sebagai mahasiswa.
g. Sanksi berupa teguran, peringatan tertulis, penundaan pemberian hak,
pembatalan nilai mahasiswa, dijatuhkan sesuai dengan proporsi plagiat
hasil telaah dan apabila dilakukan secara tidak sengaja.
h. Sanksi berupa pemberhentian dengan hormat maupun tidak hormat
sebagai mahasiswa dijatuhkan apabila dilakukan secara sengaja dan
berulang kali.
i. Pemulihan nama baik dapat dilakukan apabila mahasiswa yang
bersangkutan tidak terbukti melakukan plagiat.

13
BAB 3
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Radikalisme adalah suatu paham yang dibuat-buat oleh sekelompok orang
yang menginginkan perubahan atau pembaharuan sosial dan politik secara drastis
dengan menggunakan cara-cara kekerasan. Proses radikalisasi ternyata juga
menjangkau kampus khususnya kalangan mahasiswa, perguruan tinggi umum lebih
mudah menjadi target rekrutmen gerakan-gerakan radikal. Mahasiswa dijejali
dengan serangkaian program yang sistematis yang membuat mahasiswa tidak
berkutik, membosankan, jenuh dan bahkan bisa menyebabkan stress. Kreasi dan
ide-ide kritisnya tidak tersalurkan, padahal mereka adalah generasi yang sangat
membutuhkan ruang untuk menuangkan gagasan atau ide-ide kritis dan kreatif.
Ketika kritisisme dan kreatifitas mahasiswa tersumbat atau sengaja disumbat, maka
sangat mungkin mahasiswa mencari escapisme (pelarian) terhadap gerakan-
gerakan radikal yang menurut mereka memberikan kebebasan berekspresi (tentu
dengan pemahaman yang sangat subjektif). Sedangkan plagiarism adalah perbuatan
secara sengaja atau tidak sengaja dalam memperoleh atau mencoba memperoleh
kredit atau nilai untuk suatu karya ilmiah, dengan mengutip sebagian atau seluruh
karya dan/atau karya ilmiah pihak lain yang diakui sebagai karya ilmiahnya sendiri,
tanpa menyatakan sumber secara tepat dan memadai. Plagiarisme sering terjadi
dikalangan institusi/akademi khususnya mahasiswa. Peraturan mengenai
plagiarism dielaskan dalam Permendiknas No.17 Tahun 2010.

3.2 Saran
a. Mahasiswa diharapkan selalu waspada dan berhati-hati terhadap segala bentuk
tindakan organisasi atau kelompok yang bersifat radicalism.
b. Dosen/ketua jurusan/departemen membuat peraturan tertulis untuk setiap
tindakan organisasi/ kelompok yang bersifat radikals.
c. Mahasiswa lebih berhati-hati dan memperhatikan setiap penulisan dalam
membuat karya ilmiah/tulis dan mencantumkan sumber yang memadai.

14

You might also like