You are on page 1of 20

BAGIAN ILMU KESEHATAN KULIT DAN KELAMIN REFERAT

SEPTEMBER, 2017
FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MAKASSAR

FIXED DRUG ERUPTION

Oleh :

ZULFADLI FAJRIN 10542044512

FAHMI AZHARI S 10542037812

AHMAD WARDIMAN 105420335412

TRI WAHYUNI A 10542043812

RIZKY EKA FRIANIE 10542042712

Pembimbing :

dr. A. Amal Alamsyah M, M.Si, Sp.KK

(Dibawakan dalam rangka tugas kepaniteraan klinik bagian Ilmu Kesehatan


Kulit dan Kelamin)

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MAKASSAR

2017

i
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL
DAFTAR ISI ........................................................................................................ i
PENDAHULUAN ............................................................................................... 3
DEFINISI ............................................................................................................. 4
EPIDEMIOLOGI .................................................................................................. 5
FAKTOR RESIKO ............................................................................................... 5
PATOGENESIS .................................................................................................... 7
GAMBARAN JENIS-JENIS OBAT ................................................................... 10
GAMBARAN KLINIK ........................................................................................ 11
PEMERIKSAAN PENUNJANG .......................................................................... 15
DIAGNOSIS ......................................................................................................... 17
PENATALAKSANAAN ..................................................................................... 17
PROGNOSIS ....................................................................................................... 18
DAFTAR PUSTAKA .......................................................................................... 19

ii
FIXED DRUG ERUPTION
PENDAHULUAN

Kulit adalah organ tubuh yang terletak paling luar dan membatasinya dari
lingkungan hidup manusia.Luas kulit orang dewasa 1.5 m2 dengan berat kira-kira
15% berat badan.Kulit merupakan organ yang esensial dan vital serta merupakan
cermin kesehatan dan kehidupan.Ada banyak hal yang dapat menyebabkan kelainan
pada kulit manusia baik dari luar maupun dalam tubuh manusia.Salah satu penyebab
yang sering ditemukan adalah erupsi obat. Erupsi obat alergi atau allergic drug
eruption itu sendiri ialah reaksi alergi pada kulit atau daerah mukokutan yang terjadi
1
sebagai akibat pemberian obat dengan cara sistemik.
Fixed drug eruption (FDE) disebabkan khusus obat atau bahan kimia.Fixed drug
eruption merupakan salah satu erupsi kulit yang sering dijumpai. Kelainan ini
umumnya berupa eritema dan vesikel berbentuk bulat atau lonjong dan biasanya
numular.Kemudian meninggalkan bercak hiperpigmentasi yang lama, baru hilang,
bahkan sering menetap. Dari namanya dapat diambil kesimpulan bahwa kelainan
akan timbul berkali-kali pada tempat yang sama. Tempat predileksinya di sekitar
mulut, di daerah bibir dan daerah penis pada laki-laki sehingga sering disangka
penyakit kelamin karena berupa erosi yang kadang-kadang cukup luas disertai
eritema dan rasa panas setempat.Obat penyebab yang sering ialah sulfonamid,
barbiturat, trimetropin dan analgesik.1
Tidak semua obat dapat mengakibatkan reaksi alergi ini. Hanya beberapa
golongan obat yang 1% hingga 3% dari seluruh pemakainya akan mengalami erupsi
obat alergi atau erupsi obat. Sekitar 2-3% pasien rawat inap mengalami erupsi obat.
Beberapa golongan yang sering menyebabkan reaksi tersebut antara lain; obat anti
inflamasi non steroid (OAINS), antibiotik-antipiretik; golongan beta lactam,
3,4
sulfonamid, antikonvulsan, allopurinol.

3
Perlu ditegakkan diagnosa yang tepat dari gangguan ini memberikan
manifestasi yang serupa dengan gangguan kulit lain pada umumnya. Identifikasi dan
anamnesa yang tepat dari penyebab timbulnya reaksi obat adalah salah satu hal
penting untuk memberikan tatalaksana yang cepat dan tepat bagi penderita dengan
3
tujuan membantu meningkatkan prognosis serta menurunkan angka morbiditas.

DEFINISI

Fixed drug eruption adalah erupsi alergi obat yang apabila berulang akan
timbul pada tempat yang sama.1

Menurut American Society of Health-System Pharmacists (ASHP) pada tahun


1995, reaksi silang obat adalah respon obat yang tidak diinginkan sehingga
memerlukan penghentian obat, penggantian obat, perawatan rumah sakit, pengobatan
tambahan, dan menyebabkan prognosis negatif seperti cacat permanen sampai
kematian.5,10
Salah satu bentuk reaksi silang obat pada kulit adalah erupsi obat alergi.Erupsi
obat alergi atau allergic drug eruption itu sendiri adalah reaksi alergi pada kulit atau
daerah mukokutan yang terjadi sebagai akibat pemberian obat dengan cara
sistemik.1,10
Fixed drug eruption merupakan salah satu erupsi kulit yang sering dijumpai.
Lesi berupa macula atau plak eritema keunguan dan kadang-kadang disertai vesikel /
bula pada bagian tengah lesi sehinggasering menyerupai eritema multiforme.1
Fixed drug eruption adalah erupsi alergi obat yang bila berulang akan timbul
pada tempat yang sama. FDE disebabkan khusus obat atau bahan kimia. Banyak obat
yang dilaporkan dapat menyebabkan FDE yang paling sering dilaporkan adalah
phenolphthalein, barbiturate, sulfonamide, tetrasiklin, antipiretik, pyrazolone dan obat
anti inflamasi non steroid (NSAID). FDE merupakan salah satu erupsi kulit yang
sering dijumpai.1

4
EPIDEMIOLOGI
Sekitar 10% FDE terjadi pada anak dan dewasa, usia paling muda yang
pernah dilaporkan adalah 8 bulan. Kajian oleh Neogrohowati (1999) mendapatkan
FDE (63%), sebagai manifestasi klinis erupsi alergi obat terbanyak dari 58 kassus
bayi dan anak, disusul dengan erupsi eksantematosa (3%) dan urtikaria (12%).
Jumlah bertambah dengan meningkatnya usia, hal tersebut meungkin disebabkan
pajanan obat yang bertambah.1,2 FDE telah dilaporkan terjadi pada pasien mulai usia
1,5 tahun dan sampai 87 tahun. Usia rata-rata adalah 30,4 tahun pada pria dan 31,3
tahun pada wanita12
Menurut hasil penelitian Chatterjee et al. (2006), insidens erupsi obat alergi
mencapai 2,66% dari total 27.726 pasien dermatologi selama setahun. Erupsi obat
alergi terjadi pada 2-3% pasien yang dirawat di rumah sakit, tetapi hanya 2% yang
berakibat fatal. Insidens erupsi obat alergi pada negara berkembang berkisar antara
1% – 3%. Di India, kasus erupsi obat alergi mencapai 2-5%. Erupsi obat alergi
terjadi 2-3% dari seluruh reaksi silang obat.Hampir 45% dari seluruh pasien dengan
erupsi di kulit merupakan kasus erupsi obat alergi. Insidens erupsi obat alergi lebih
tinggi pada wanita dibandingkan pria.6
FAKTOR RISIKO

Faktor-faktor risiko yang menimbulkan erupsi obat adalah:8

1. Jenis kelamin dan usia.

Banyak orang menyatakan bahwa anak-anak lebih jarang tersensitisasi akibat


obat jika dibandingkan dengan orang dewasa. Akan tetapi beberapa jenis kasus erupsi
obat alergi yang memiliki prognosis buruk lebih sering mengenai anak-anak. Fixed
drug eruption telah dilaporkan pada pasien muda 1,5 tahun dan pasien tua usia 87
tahun. Usia rata-rata 30,4 tahun pada pria dan 31,3 tahun pada wanita. Pada anak–
anak, ruam merah yang timbul akibat virus sering mengaburkan gambaran klinis
erupsi alergi obat akibat antimikroba yang diberikan.Wanita lebih sering menderita

5
erupsi obat alergi dibandingkan pria.8 Menurut penelitian terhadap 450 pasien
menunjukkan rasio antara laki-laki terhadap perempuan 1: 1.1 pada fixed drug
erupsi.12

2. Faktor genetik

Erupsi obat alergik berhubungan dengan faktor genetik dan lingkungan


misalnya pada kasusnekrolisis epidermal toksik akibat sulfonamida. Hal ini
berhubungan dengan gen human leukocyte antigen.Diantara para remaja yang
memiliki orang tua dengan riwayat alergi antibiotika, 25,6% remaja tersebut juga
memiliki alergi obat yang sama. Faktor genetik terjadinya fixed drug erupsi mungkin
diakibatkan peningkatan kejadian HLA-B22.12

3. Pajanan obat sebelumnya

Hal yang terpenting dari erupsi alergi obat adalah pajanan obat yang
sebelumnya menimbulkan alergi ataupun obat–obatan lain yang memiliki struktur
kimia yang sama.Akan tetapi, alergi obat tidak bersifat persisten. Setelah pajanan,
imunnoglobulin E dapat bertahan dari 55 hingga 2000 hari.8

4. Riwayat penyakit yang dimiliki

Pasien dengan riwayat penyakit asma cenderung mudah menderita dermatitis


atopi.8

5. Bentuk obat

Beberapa jenis obat seperti antibiotika beta laktam dan sulfonamida memiliki
potensial untuk mensensitisasi tubuh.8

6. Cara masuk obat

Obat yang diaplikasikan secara kutaneus cenderung lebihmenyebabkan erupsi


alergi obat.Antibiotika beta laktam dan sulfonamida jarang digunakan secara topikal

6
karena alasan ini.Dosis dan durasi pemberian obat juga berperan dalam timbunya
erupsi alergi obat.8

PATOGENESIS
Banyak obat yang dilaporkan dapat menyebabkan FDE yang paling sering
dilaporkan adalah phenolphthalein, barbiturate, sulfonamide, tetrasiklin,antipiretik,
pyrazolone dan obat anti inflamasi non steroid (NSAID).10
Patogenesis FDE sampai saat ini belum diketahui pasti, diduga karena reaksi
imunologi. Berdasarkan mekanisme imunologik yang terjadi pada reaksi obat dapat
berupa IgE mediated drug eruption, immunecomplex dependent drug reaction,
cytotoxic grud induced reaction dan cell mediatedreaction.10
Penelitian Alanko dkk (1992) membuktikan bahwa lesi FDE terjadi
peningkatan kadar histamine dan komplemen yang sangat bermakna (200-640
nMol/L). keadaan ini diduga sebagai penyebab timbulnya reaksi eritem, lepuh dan
rasa gatal. 4
Visa dkk (1987) melakukan penelitian untuk mengetahui sel imunokompeten
pad FDE dengan tehnik imunoperoksidase. Ternyata 60-80% sel infiltrate pada FDE
adalah sel limfosit T (T4 dan T8). Terlihat pula peningkatan sel mast sebesar 5-10%
serta ditemukan HLA-DR pada limfosit T (limfosit aktif) yang berada di dermis.
Keadaan ini sama dengan lesi pada hipersensitivitas tipe lambat. Limfosit T yang
menetap dilesi kulit berperan dalam memori imunologis dan menjelaskan rekurensi
lesi pada tempat yang sama. Keratinosit pada lesi kulit FDE menunjukkan
peningkatan ekspresi pada ICAM 1 dan HLA DR dan peningkatan ekspresi ICAM 1
ini menjelaskan migrasi limfosit T ke sel epidermis dan mengakibatkan kerusakan.4
Visa dkk juga menyatakan bahwa mekanisme imunologis bukan satu -
satunya penyebab kelainan ini, akan tetapi faktor genetik turut mendasari terjadinya
FDE. Keadaan ini dapat dibuktikan dengan terjadinya kasus FDE dalam satu keluarga
yang menunjukkan kesamaan pada HLA B12. 12

7
Ada dua macam mekanisme yang dikenal disini.Pertama adalah mekanisme
imunologis dan kedua adalah mekanisme non imunologis.Umumnya erupsi obat
alergi timbul karena reaksi hipersensitivitas berdasarkan mekanisme imunologis.
Reaksi ini juga dapat terjadi melalui mekanisme non imunologis yang disebabkan
karena toksisitas obat, over dosis, interaksi antar obat dan perubahan dalam
metabolisme.1
Menurut Lee& Thomson(2006), terdapat empat mekanisme imunologis.Reaksi
pertama yaitu:
 Reaksi tipe I (reaksi anafilaksis) merupakan mekanisme yang paling banyak
ditemukan. Pada tipe ini, imunoglobulin yang berperan ialah imunoglobulin
E yang mempunyai afinitas tinggi terhadap mastosit dan basofil. Pajanan
pertama dari obat tidak menimbulkan reaksi, tetapi bila dilakukan pemberian
kembali obat yang sama, maka obat tersebut akan dianggap sebagai antigen
yang akan merangsang pelepasan bermacam-macam mediator seperti
histamin, serotonin, bradikinin, dan heparin. Mediator yang dilepaskan ini
akan menimbulkan bermacam-macam efek misalnya urtikaria. Reaksi
anafilaksis yang paling ditakutkan adalah timbulnya syok.5
 Mekanisme kedua adalah reaksi tipe II (reaksi autotoksis) dimana terdapat
ikatan antara imunoglobulin G dan imunoglobulin M dengan antigen yang
melekat pada sel. Aktivasi sistem komplemen ini akan memacu sejumlah
reaksi yang berakhir dengan lisis.5
 Mekanisme tipe 3 adalah reaksi kompleks imun. Reaksi ini ditandai oleh
pembentukan kompleks antigen, antibodi (IgG dan IgM) dalam sirkulasi
darah atau jaringan dan mengaktifkan komplemen. Komplemen yang
diaktifkan kemudian melepaskan berbagai mediator di antarannya enzim-
enzim yang dapat merusak jaringan. Komplek imun akan beredar dalam
sirkulasi dan kemudian dideposit pada sel sasaran.5

8
 Tipe 4 adalah reaksi alergi selular tipe lambat. Reaksi ini melibatkan limfosit,
Antigen Presenting Cell (APC), dan sel langerhan yang mempresentasi
antigen kepada limfosit T. Limfosit T yang tersentisisasi mengadakan reaksi
dengan antigen. Reaksi ini disebut tipe lambat karena baru timbul 12-48 jam
setelah pajanan dengan antigen menyebabkan pelepasan serangkaian
limfokin.5
Fixed drug eruption termasuk dalam reaksi tipe 3 dengan adanya reaksi
kompleks antigen antibodi.5

Tabel 1. Reaksi Imunologis dan Non Imunologis9

Tipe Contoh Kasus


Imunologis
Reaksi Tipe 1 Anafilaksis antibioktik beta laktam
Reaksi Tipe 2 Anemia hemolitik akibat penisillin
Reaksi Tipe 3 Serum sickness akibatanti-
thymocyteglobulin
Reaksi Tipe 4 Dermatitis kontak akibat antihistamin
topikal
Aktivasi sel T spesifik Morbilliform rashakibat sulfonamid
Fas/Fas ligand-induced apoptosis Stevens-Johnson syndrome
Toxic epidermal necrolysis

Non imunologis
Efek samping farmakologis Bibir kering akibat antihistamin
Efek samping farmakologis sekunder Thrushakibat pemakaian antibiotik
Toksisitas obat Hepatotoksisitas akibat methotrexate

9
Overdosis obat Kejang akibat kelebihan pemakaian
lidokain
Intoleransi Tinitus akibat pemakaian aspirin

Sumber: Riedl&Casillas(2003)

Tabel 2. Klasifikasi hipersensitifitas menurut Gell dan Coombs2

Gambaran Jenis-Jenis Obat yang menyebabkan Erupsi Obat

Menurut penelitian Saha et al (2012), jenis-jenis obat yang paling sering


menyebakan erupsi obat alergi adalah sulfonamid yaitu sekitar 17%, lalu diikuti
flurokuinolon sekitar 11,3%, analgesik sekitar 11,3%, anti epilepsi sekitar 11,3%,
allopurinol sekitar 7,5%, dan azitromicin sekitar 5,70%.2,4,9

10
Menurut penelitian Young, Jong & Joo (2011), jenis-jenis obat yang paling
sering menyebakan erupsi obat alergi adalah golongan antimikroba yaitu sekitar
34,10%, lalu diikuti golongan anti konvulsan sekitar 32,88%, dan golongan anti
inflamasi non steroid sekitar 21,51%.2,9
Menurut penelitian Nandha, Gupta & Hashmi (2011), jenis-jenis obat yang
paling sering menyebakan erupsi obat alergi adalah golongan antimikroba yaitu
sekitar 48,30%, lalu diikuti golongan anti inflamasi non steroid sekitar 21,90%.4,9
Menurut penelitian Shah, Desai & Dikshit(2011), jenis-jenis obat yang paling
sering menyebakan erupsi obat alergi adalah golongan antimikroba yaitu
kotrimoksazole sekitar 15% dan flurokuinolon sekitar 15%. 2,4
Menurut penelitian Hotchandani, Bhatt & Shah(2010), jenis-jenis obat yang
paling sering menyebakan erupsi obat alergi adalah golongan antimikroba yaitu
sekitar 61,4%, lalu diikuti golongan anti inflamasi non steroid sekitar 22,9%, dan obat
anti epilepsi sekitar 10%. 2,9
Menurut penelitian Ghosh, Acharya &Rao(2006), jenis-jenis obat yang paling
sering menyebakan erupsi obat alergi adalah golongan antimikroba yaitu sekitar 30%,
lalu diikuti golongan anti epilepsi sekitar 25%, obat anti tuberkulosis sekitar 11%,
dan obat anti piretik sekitar 9%.2,9
Menurut penelitian Pudukadan & Thappa (2004), jenis-jenis obat yang paling
sering menyebakan erupsi obat alergi adalah kotrimoksazole yaitu sekitar 22,2%, lalu
diikuti dapson sekitar 17,7%.2,9
Menurut penelitian Sharma,Sethuraman & Kumar(2001), jenis-jenis obat
yang paling sering menyebakan erupsi obat alergi adalah golongan antimikroba yaitu
sekitar 42,6% lalu diikuti golongan anti inflamasi non steroid sekitar 18%.2,9

GAMBARAN KLINIS
FDE dapat timbul dalam waktu 30 menit sampai 8 jam setelah ingesti obat
secara oral. Lesi berupa makula oval atau bulat, berawarna merah atau keunguan,
berbatas tegas, seiring dengan waktu lesi bisa menjadi bula, mengalami deskuamasi

11
atau menjadi krusta. Ukuran lesi bervariasi mulai dari lentikuler sampai plakat. Lesi
awal biasanya soliter, tapi jika penderita meminum obat yang sama maka lesi yang
lama akan timbul kembali disertai dengan lesi yang baru. Namun jumlah lesi biasanya
sedikit. Timbulnya kembali lesi ditempat yang sama menjelaskan arti kata “fixed”
pada nama penyakit tersebut.1

Lesi dapat dijumpai dikulit dan membran mukosa yaitu di bibir, badan,
tungkai, tangan dan genital. Tempat paling sering adalah bibir dan genital. Lesi FDE
pada penis sering disangka sebagai penyakit kelamin.10

Fixed drug eruption disebabkan khusus obat atau bahan kimia.Fixed drug
eruption merupakan salah satu erupsi kulit yang sering dijumpai. Kelainan ini
umumnya berupa eritema dan vesikel berbentuk bulat atau lonjong dan biasanya
numular. Kemudian meninggalkan bercak hiperpigmentasi yang lama, baru hilang,
bahkan sering menetap. Dari namanya dapat diambil kesimpulan bahwa kelainan
akan timbul berkali-kali pada tempat yang sama. Tempat predileksinya di sekitar
mulut, di daerah bibir dan daerah penis pada laki-laki sehingga sering disangka
penyakit kelamin karena berupa erosi yang kadang-kadang cukup luas disertai
eritema dan rasa panas setempat. Obat penyebab yang sering ialah sulfonamid,
barbiturat, trimetropin dan analgesik.10,11

Gejala lokal meliputi gatal dan rasa terbakar, dapat juga timbul demam dan
malaise. Tidak dijumpai pembesaran kelenjar getah bening regional. Lesi pada FDE
jika menyembuh akan meninggalkan bekas radang dengan hiperpigmentasi. 12

12
Gambaran 1 : Hiperpigmentasi Fixed Drug Eruption pada bibir kanan atas12

Gambar 2 : Fixed Drug Eruption Targetoid pada perut seorang anak12

13
Gambar 3 : Fixed Drug Eruption pada glans penis12

Gambar 4: Lesi hiperpigmentasi yang lama menghilang atau


bahkan menetap12

14
Gambar 5. Lesi eritem berbentuk plakat pada lengan remaja13

Pemeriksaan Penunjang dan Diagnosis


Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis dan gambaran klinis yang khas.
Riwayat perjalanan penyakit yang rinci, termasuk pola gejala klinis, macam obat,
dosis, waktu dan lama pajanan serta riwayat alergi obat sebelumnya penting untuk
membuat diagnosis.6
Pemeriksaan darah tidak berguna untuk diagnosa FDE, meskipun eosinofil
umum terjadi pada erupsi obat. Pemeriksaan yang dapat dilakukan untuk menunjang
diagnosis:12
1. Biopsi kulit membantu untuk memastikan diagnosis atau menyingkirkan
diagnosis banding. Pemeriksaan histologi inflamasi/lesi akut menunjukkan
dermatitis dengan perubahan vakuolar dan badan Civatte. Pola keseluruhan
mungkin mengikuti yang terlihat pada eritema multiforme. Dyskeratosis dan
keratinosit nekrotik individual dalam epidermis merupakan hal yang
menonjol.12
2. Uji tempel obat merupakan prosedur yang tidak berbahaya . Reaksi
anafilaksis sangat jarang terjadi, dan untuk mengantisipasinya dianjurkan
mengamati penderita dalam waktu setengah jam setelah penempelan. Secara
teoritis dapat terjadi sensitisasi akibat uji tempel, namun dalam prakteknya

15
jarang ditemui. Tidak dianjurkan melakukan uji tempel selama erupsi masih
aktif maupun segera sesudahnya. Berdasarkan pengalaman para peneliti, uji
tempel sebaiknya dilakukan sekurang-kurangnya 6 minggu setelah erupsi
mereka.1,5,10
Khusus untuk FDE Alanko (1994) menggunakan cara uji tempel yang agak
berbeda. Obat dengan konsentrasi 10% dalam vaselin atau etanol
70% diaplikasikan secara terbuka pada bekas lesi dan punggung penderita.
Observasi dilakukan dalam 24 jam pertama, dan dianggap positif bila terdapat
eritema yang jelas yang bertahan selama minimal 6 jam. Kalau cara ini tidak
memungkinkan untuk dilaksanakan dianjurkan uji tempel tertutup biasa
dengan pembacaan pertama setelah penempelan 24 jam. 1,5,10
Hasil uji tempel yang negatif tidak menyingkirkan diagnosis erupsi obat dan
hasil yang positif dapat menyokong diagnosis dan menentukan penyebab
meskipun peranannya masih kontroversi. Metode uji tempel masih
memerlukan banyak perbaikan, diantaranya dengan menggiatkan penelitian
tentang konsentrasi yang sesuai untuk setiap obat, vehikulum yang tepat dan
menentukan metabolisme obat di kulit.1,5
3. Uji provokasi oral merupakan pemeriksaan baku emas untuk
memastikan penyebab. Uji ini dikatakan aman dan dapat dipercaya untuk
pasien anak. Uji ini bertujuan untuk mencetuskan tanda dan gejala klinis yang
lebih ringan dengan pemberian obat dosis kecil biasanya dosis 1/10 dari obat
penyebab sudah cukup untuk memprovokasi reaksi dan provokasi biasanya
sudah muncul dalam beberapa jam. Karena resiko yang mungkin
ditimbulkannya maka uji ini harus dilakukan dibawah pengawasan petugas
medis yang terlatih.1,5,10
Dasar diagnosis fixed drug eruption adalah anamnesis yang teliti mengenai
obat-obatan yang dipakai, kelainan kulit yang timbul akut atau dapat juga beberapa
hari sesudah masuknya obat, dan rasa gatal yang dapat pula disertai demam yang

16
biasanya subfebris. Selain itu dilihat juga kelainan kulit yang ditemukan baik
distribusi yang menyeluruh dan simetris serta bentuk kelainan yang timbul.5
Penegakkan diagnosis harus dimulai dari pendeskripsian yang akurat dari
jenis lesi dan distribusinya serta tanda ataupun gejala lain yang menyertainya. Data
mengenai semua jenis obat yang pernah dimakan pasien, dosisnya, data kronologis
mengenai cara pemberian obat serta jangka waktu antara pemakaian obat dengan
onset timbulnya erupsi harus ikut dikumpulkan. Tetapi ada kalanya hal ini sulit untuk
dievaluasi terutama pada penderita yang mengkonsumsi obat yang mempunyai waktu
paruh yang lama atau mengalami erupsi obat alergi yang bersifat persisten.6

Diagnosa Banding
Diagnosa banding FDE di antarannya adalah eritema multiforme dan Post
Inflammatory Hiperpigmentasi (PIH). Eritema multiforme dalah penyakit inflamasi
akut pada kulit dan mukosa yang menyebabkan berbagai bentuk lesi akibat deposit
imunokomples. Etiologi belum jelas, tetapi ada beberapak faktor yang diduga
berperan yaitu obat-obatan golongan sulfad, penisilin, analgetik dan antipiretik12
Penatalaksanaan
1. Hentikan penggunaan obat yang diduga sebagai penyebab1
2. Pengobatan sistemik
Pemberian kortikosteroid sistemik biasanya tidak diperlukan. Untuk keluhan
rasa gatal pada malam hari yang kadang mengganggu istrahat pasien, dan
orang tuanya dapat diberikan antihistamin generasi lama yang mempunya efek
sedasi.1,3
3. Pengobatan topikal
Pengobatan topikal bergantung pada keadaan kelainan kulit apakah kering
atau basah.3
4. Jika lesi basah dapat diberi kompres secara terbuka. Tujuannya adalah
mengeringkan eksudat, membersihkan debris dan krusta serta memberikan
efek menyejukkan. Pengompresan dilakukan cukup 2-3 kali sehari, biarkan

17
basah (tetapi tidak sampaik menetes) selama ±15-30 menit. Eksudat akan ikut
mengering bersama penguapan. Biasanya pengompresan cukup dilakukan 2
sampai 3 hari pertama saja. Cairan kompres yang dapat dipilih antara lain
larutan NaCl 0,9 atau dengan larutan antiseptik ringan misalnya larutan
permanganas kalikus 1:10.000 atau asam salisilat 1:10007
5. Jika lesi kering dapat diberi krim kortikosteroid misalnya krim hidrokortison 1
% atau 2,5%. Lesi hiperpigmetasi tidak perlu diobati karena akan menghilang
dalam jangka waktu lama.7
Prognosis
Prognosis umumnya baik. Apabila obat tersangka penyebab telah dapat
dipastikan maka sebaiknya kepada penderita diberikan catatan, berupa kartu kecil
yang memuat jenis oabat tersebut serta golongannya. Kartu tersebut dapat
ditunjukkan bilamana diperlukan (misalnya pabila penderita berobat), sehingga dapat
dicegah pajanan ulang yang memungkinkan terulangnya FDE. 1

18
DAFTAR PUSTAKA

1. Budianti, WK. Erupsi Obat Alergik.Dalam: Menaldi SL SW, Bramono K,


Indriatmi W, (editors), Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. ed. 7.Jakarta : Badan
Penerbit FKUI. 2016. hal 190-5.
2. Yodhian LF. Analgesik-Antipiretik. Dalam: Rahardjo R, (editor), Kumpulan
Kuliah Farmakologi. Jakarta : EGC. 2008. hal 499-500.
3. Brown GR, Bourke J, Cunliffe T. Erupsi Obat, Dermatologi Dasar : untuk
praktik klinik. Jakarta : EGC. 2010. 282-3pp.
4. Brunton L, Parker K, Blumenthal D, Buxton I. Analgesic-Antipyretic and Anti-
Inflammatory Agents; Pharmacotherapy Of Gout, Goodman and sGilman’s
Manual of Pharmacology and Therapeutics. The McGraw-Hill Companies.
USA. 2008. 428-61 pp.
5. Hamzah M (2012). Ilmu penyakit kulit dan kelamin. Edisi ke 4. Jakarta: FKUI.

6. Nayak & Acharjya (2008). “Adverse cutaneous drug reaction”.[online].


Tersedia :https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/19967009 Accessed on 27
september 2017.
7. Stern RS. Exanthematous Drug Eruptions. The new england journal o f
medicine. Department of Dermatology, Beth Israel Deaconess Medical Center,
Boston. 2012. 2492-2501 pp. Available at :
https://aaaai.confex.com/aaaai/2014/.../rash-SD-2.pdf Accessed on 03 October
2017.
8. Paterson, S. 2008. Manualof Skin Disease of The Dog and Cat / Sue Paterson,
2thEdition. Blackwell Publishing : Victoria, Australia.
9. Riedl MA, Casillas AM. Adverse drug reactions. Lancet. 2000;356(9237):1212
10. James WD, Berger TG, Elston DM. Andrew’s Disease Skin of the clinical
dermatology. California: Elsevier, 2011 : 116pp

19
11. Weller RB, Hunter H, Mann M. Clinical Dermatology Firth Edition. USA:
Willer Blackwell, 2015: 354pp
12. David FB. Fixed Drugs Eruptions. Central Texas Veterans Healthcare System.
2017. Available at : http://emedicine.medscape.com/article/1336702-
overview#a6 Accessed on 03 October 2017.
13. Key Shou. Color Atlas & Synopsis of Pediatric Dermatology. Available at :
http://www.medicinenet.com/imagecollection/fixed_drug_eruption_picture/pict
ure.htm Accessed on 03 October 2017

20

You might also like