Professional Documents
Culture Documents
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Tuberkulosis tulang belakang atau dikenal juga dengan spondilitis tuberkulosa
merupakan peradangan granulomatosa yang bersifat kronik destruktif yang
disebabkan oleh mikrobakterium tuberkulosa. Spondilitis tuberkulosa dikenal juga
sebagai penyakit Pott atau paraplegi Poot. Penyakit ini merupakan penyebab
paraplegia terbanyak setelah trauma, dan banyak dijumpai di Negara berkembang.
Tuberkulosis tulang dan sendi 50% merupakan spondilitis tuberkulosa. Pada negara
yang sedang berkembang, sekitar 60% kasus terjadi pada usia dibawah usia 20
tahun. Sedangkan pada negara maju, lebih sering mengenai pada usia yang lebih
tua. Meskipun perbandingan antara pria dan wanita hampir sama, namun biasanya
pria lebih sering terkena dibanding wanita yaitu 1,5:2,1. Di Indonesia tercatat 70%
spondilitis tuberkulosis dari seluruh tuberkulosis tulang yang terbanyak di daerah
Ujung Pandang. Umumnya penyakit ini menyerang orang-orang yang berada dalam
keadaan sosial ekonomi rendah (Admin, 2008, http:/www.medicine and lunex.com)
Spondilitis tuberkulosa atau tuberkulosis spinal terhitung kurang lebih 3 juta
kematian terjadi setiap tahun. Di waktu yang lampau, spondilitis tuberkulosa
merupakan istilah yang dipergunakan untuk penyakit pada masa anak-anak,
terutama yang berusia 3-5 tahun. Saat ini dengan adanya perbaikan pelayanan
kesehatan, maka insidensi usia ini mengalami perubahan sehingga golongan umur
dewasa menjadi lebih sering terkena dibandingkan anak-anak.
Insidensi spondilitis tuberkulosa bervariasi diseluruh dunia dan biasanya
berhubungan dengan kualitas fasilitas pelayanan kesehatan masyarakat yang
tersedia serta kondisi sosial di negara tersebut. Saat ini spondilitis tuberkulosa
merupakan sumber morniditas dan mortalitas utama pada negara yang belum dan
sedang berkembang, terutama di Asia, dimana malnutrisi dan kepadatan penduduk
masih menjadi masalah utama.
1
Seseorang yang menderita spondilitis akan mengalami kelemahan bahkan
kelumpuhan atau paling kurang mengalami kelemahan tulang, dimana dampak
tersebut akan mempengaruhi aktifitas klien, baik sebagai individu maupun
masyarakat.
Perawat berperan penting dalam mengidentifikasikan masalah-masalah dan mampu
mengambil keputusan secara kritis menangani masalah tersebut serta mampu
berkolaborasi dengan tim kesehatan yang lain untuk dapat memberikan asuhan
keperawatan yang optimal.
Oleh karena itu kami tertarik menyusun makalah inni mengenai asuhan
keperawatan dengan gangguan sistem muskuloskletal : spondilitis tuberkulosisi
untuk meningkatkan asuhan keperawatan yang sistematis, menyeluruh dan
berkesinambungan yang bertujuan untuk mencegah, meningkatkan dan
mempertahankan stasus kesehatan klien.
B. Tujuan Penulisan
1. Tujuan Umum :
Mahasiswa mampu mengidentifikasikan konsep penyakit dan asuhan keperawatan
dengan penyakit infeksi pada sistem muskuloskeletal : spondilitis tuberkulosis
2. Tujuan Khusus :
Setelah mendapatkan pembahasan tentang spondilitis tuberkulosis, mahasiswa
dapat :
- Menjelaskan konsep penyakit spondilitis tuberkulosis
- Dapat memahami dan mengaplikasikan asuhan keperawatan klien dengan
spondilitis tuberkulosis
- Dapat memberikan pendidikan kesehatan kepada masyarakat, keluarga
ataupun pasien terhadap penyakit spondilitis tuberkulosis.
2
BAB II
TINJAUAN TEORITIS
A. Definisi
Infeksi pada korpus vertebra disebut spondilitis. Korpus vertebra merupakan
tempat yang sering terkena osteomielitis hematogenik pada orang dewasa. Infeksi
ini dapat menyebar melalui ligamen yang berdekatan sehingga sering mengenai 2
korpus vertebra yang berdekatan. Diskus intervebral tidak memiliki vaskularisasi
tapi dapat terinfeksisecara langsung dari abses vertebra. Infeksi dapat menyebar
ke sentral ke dalam kanalis spinalis. Selain itu dapat juga menyebar ke jaringan
lunak ke jaringan paraspinal. Pada daerah servikal, osteomielitis dapat
menyebabkan abses retrofaringeal atau mediastinitis, empiema, atau perikarditis,
dan pada daerah lumbal dapat menyebabkan peritonotis dan abses subfrenik atau
sepanjang fascia otot ilipsoas.
3
Percivall pott (1793) adalah penulis pertama tentang penyakit ini dan menyatakan
bahwa terdapat hubungan antara penyakit ini dan deformitas tulang belakang
sehingga penyakit ini disebut juga sebagai penyakit Pott.
Dari beberapa penjelasan diatas, dapat disimpulkan bahwa Spondilitis
Tuberkulosis adalah peradangan pada tulang belakang granulomatosa yang
bersifat kronis destruktif oleh Mycobacterium tuberkulosa yang disebut juga
dengan penyakit pott dan juga selalu merupakan infeksi sekunder dari fokus di
tempat lain dalam tubuh.
B. Etiologi
Spondilitis tuberkulosa terutama ditemukan pada kelompok usia 2-10 tahun
dengan perbandingan yang hampir sama antara wanita dan pria. Tuberkulosa
tulang belakang merupakan infeksi sekunder dari tuberkulosis di tempat lain dalam
tubuh; 90-95% disebabkan oleh Mycobacterium tuberculosis tipik (2/3 dari tipe
human dan 1/3 dari tipe bovine) dan 5-10% oleh Mycobacterium tuberculosis
atipik. Lokasi spondilitis tuberkulosa terutama pada daerah vertebra torakalis
bawah dan vertebra lumbalis atas, sehingga diduga ada infeksi sekunder dari
tuberkulosis traktus urinarius, yang penyebarannya melalui pleksus Batsori pada
vena para vertebralis. (Aru W. Sudoyo, 2009)
C. Klasifikasi
1. Berdasarkan lokasi Spondilitis tuberkulosa dapat dibagi menjadi :
a. Spondilitis Tuberkulosa Servikal
Spondilitis tuberkulosa servikal adalah suatu proses peradangan pada vertebra
servikalis yang disebabkan oleh kuman tuberkulosis. Pada kondisi klinis penyakit
in sangat jarang dijumpai, tetapi jika ada, memberikan implikasi pada asuhan
keperawatan klien dengan gangguan leher.
1). Patofisiologi
Infeksi berawal dari bagian epifisial korpus vertebra. Kemudian terjadi hiperemia
dan eksudasi yang menyebabkan osteoporosis dan perlunakan korpus.
Selanjutnyaterjadi kerusakan pada korteks epifisis, diskus intervertebra dan
vertebra disekitarnya. Kemudian, eksudat (yang terdiri atas serum, leukosit, tulang
4
dan fibrosis dan basil tuberkulosa) menyebar kedepan dibawah ligamen
longitudnal anterior. Eksudat ini daPAT menembus ligamen dan berekspansi
keberbagai arah disepanjang garis ligamen yang lemah. Pada daerah vertebra
servikalis, eksudat berkumpul dibelakang pravertebral dan menyebar ke lateral
dibelakang muskulus sternokledomastoideus. Eksudat dapat mengalami protrusi
kedepan dan kedalam farign yang dikenal sebagai abses faringeal.
Perubahan struktur vertebra servikals menyebabkan spasme otot dan kekakuan
leher yang meruakan stimulus keluhan nyeri pada leher. Pembentukan abses
faringeal menyebabkan nyeri tenggorokan dan gangguan menelan sehingga terjadi
penurunan asupan nutrisi dan masalah ketidakseimbangan nutrisi kurang dari
kebutuhan. Kekakuan leher menyebabkan keluhan mobilitas leher dan resiko
tinggi trauma sekunder akibat tidak optimalnya cara mobilisasi. Tindakan
dekompresi dan stabilisasi servikal pada pasca bedah menimbulkan post de entree
luka pasca bedah dan resiko tinggi infeksi.
Ketidak seimbangan
Port de entree Hambatan nutrisi : kurang dari
mobilitas resiko kebutuhan
tinggi trauma
Resiko tinggi infeksi
5
b. Spondilitis Tuberkulosa Torakolumbal
Spondilitis tuberkulosa adalah suatu proses peradangan pada kolumna yang
disebabkan oleh kuman tunerkulosis yang menyebar secara hematogen pada
kolumna vertebra torakolumbal.
1) Patofisiologi
Infeksi berasal dari bagian sentral, bagian atau daerah epifisial korpus vertebra.
Kemudian terjadi hiperemia dan eksudasi yang menyebabkan osteoporosis dan
perlunakan korpus. Selanjutnya terjadi kerusakan pada korteks epifisis, duktus
intravertebra, dan vertebra serta daerah sekitarnya. Kerusakan pada bagian depan
korpus akan menyebabkan terjadinya kifosis.
Kemudian eksudat (yang terdiri atas serum, leukosit, tulang yang fibrosis dan basil
tuberkulosa) menyebar kedepan, dibawah ligamen dan berekspansi keberbagai
arah di sepanjang garis ligamen yang lemah.
Abses pada vertebra torakalis biasanya tetap ada di daerah toraks setempat,
menempati daerah paravertebral, berbentuk masa yang menonjol dan fusiform.
Pada kondisi lanjut, kerusakan kolumna vertebra menjadi lebih jelas dengan
destruksi kolaps vertebra, dan berbentuk masa kaseosa serta pus. Selanjutnya dapat
berbentuk sekuestrum dan kerusakan diskus intervertebra.
Destruksi vertebra torakolumbalis menyebabkan perubahan bentuk toraks
sehingga terjadi penurunan ventilasi dan peningkatan akumulasi sekret yang
menyebabkan masalah ketidak efektifan bersihan jalan nafas. Kompresi diskus dan
medula spinalis menimbulkan keluhan nyeri paraplegia. Adanya paraplegia
menyebabkan hambatan mobilitas fisik, penekanan lokal yang meningkatkan
resiko dekubitus. Adanya intervensi medis berupa dekompresi dan stabilisasi
lamina menimbulkan dampak psikologis dan adanya port de entree luka pasca
bedah menimbulkan resiki tinggi infeksi. Kompresi lumbal menyebabkan
kehilangan kontrol defekasi dan eliminasi urine. Respon sistemik akibat
peningkatan pemakaian energi menyebabkan pemakaian nutrisi berlebih yang
cenderung terjadi pada klien spondilitis tuberkulosa sehingga timbul perubahan
pada sistem pencernaan berupa mual dan anoreksia yang mengakibatkan
ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan .
6
Keluhan utama yang sering menjadi alasan klien untuk meminta pertolongan
kesehatan adalah paraplegia, nyeri punggung, gangguan pergerakan tulang
belakang, adanya massa pada lumbal atau femur. Ketidakmampuan kontrol
berkemih dan defekasi atau adanya dekubitus. Kaji adanya riwayat tuberkulosis
paru dan penggunaan obat anti tuberkulosis. Penyakit lainnya seperti hipertensi
dan diabetes miletus juga perlu untuk dikaji. Adanya perubahan berupa paralisis
anggota gerak bawah menimbulkan manifestasi yang berbeda pada setiap klien
yang mengalami spondilitis tuberkulosa dan pada pengkajian sering didapatkan
adanya rasa ansitas.
8
gangguan vaskuler vertebra. Derajat I-III disebut sebagai paraparesis dan derajat
IV disebut sebagai paraplegia.
5. Stadium deformitas residual
Stadium ini terjadi kurang lebih 3-5 tahun setelah timbulnya stadium implamasi.
Kifosis atau gibus bersifat permanen karena kerusakan vertebra yang masif sebelah
depan.
D. Patofisiologi
Penyakit ini pada umumnya mengenai lebih dari satu vertebra. Infeksi bermulai
dari bagian sentral, bagian depan atau daerah epifisial korpus vertebra. Kemudian
menjadi hiperemia dan eksudasi yang menyebabkan osteoporosis dan pelunakan
korpus. Selanjutnya terjadi pelunakan pada korteks epifisis, diskus intervertebralis,
dan vertebra sekitarnya. Kerusakan pada bagian depan korpus ini akan
menybabkan terjadinya kifosis.
Kemudian eksudat (yang terdiri atas serum, leukosit, tulang yang fibrosis, serta
hasil tuberkulosis) menyebar ke depan, di bawah ligamentum longitudinal anterior.
Eksudat ini dapat menembus ligamentum dan berekspansi ke berbagai arah
sepanjang garis ligamen yang lemah. Pada daerah vertebra servikalis, eksudat
terkumpull di belakang paravertebral dan menyebar ke lateral di belakkang
muskulus sternokleidomastoideus. Eksudat dapat mengalami protrusi ke depan
dan ke dalam faring yang dikenal sebagai abses faringeal. Abses dapat berjalan
mengisi tempat trakea, esofagus, atau kavum pleura. Abses pada vertebra torakalis,
biasanya tetap tinggal pada daerah torak setempat menempati daerah
paravertebral, berbentuk massa yang menonjol dan fusiform. Abses pada daerah
ini dapat menekan medula spinalis sehingga timbul paraplegia.abses pada daerah
lumbal dapat menyebar masuk mengikuti muskulus psoas dan muncul di bawah
ligamentum inguinale pada bagian medial pada. Eksudat juga dapat menyebar ke
daeraah krista iliaka dan mungkin dapat mengikutipembuluh darah femoral pada
trigonum skarpei atau regio gluteal.
9
Pathway Spondilitis Tuberkulosis
Kerusakan korpus vertebra Kerusakan korpus vertebra Penekanan korda dan radiks
dan terjadi angulasi dan terjadi angulasi saraf oleh pembesaan
vertebra ke depan vertebra ke depan abses/tulang yang bergeser
11
4. Saat tulang belakang yang terkena lebih rendah dari dada (regio lumbal),
dimana juga berada dibawah serabut saraf spinal, pus juga dapat menjalar pada oto
sebagai mana pada tingkat yang lebih tinggi. Jika ini terjadi akan tampak sebagai
pembengkakan lunak di atas atau dibawah ligamentum pada lipatan paha atau di
bawahnya tetap pada sisi dalam bagian paha (abses psoas).
5. Pada pasien dengan malnutrisi akan didapatkan demam (kadang-kadang
demam tinggi), kehilangan berat badan dan kehilangan nafsu makan
Berdasarkan derajatnya, Manifestasi klinis spondilitis tuberkulosis sebagai berikut
:
Derajat Manifestasi Klinis
I Kelemahan pada abggota gerak bawah terjadi setelah
melakukan aktivitas atau setelah berjalan jauh. Pada tahap ini
belum terjadi gangguan saraf sensorik.
F. Komplikasi
1. Pottds paraplegiaa
a. Muncul pada stadium awal disebabkan tekanan ekstradural oleh pus
maupun sequester atau infasi jaringan granulasi pada media spinalis. Paraplegiaa
ini membutuhkan tindakan operatif dengan cara dekompresi medula spinalis dan
saraf.
b. Muncul pada stadium lanjut disebabkan oleh terbentuknya fibrosis dan
jaringan granulasi atau perlengketan tulang (ankilosing) diatas kanalis spinalis.
12
2. Ruptur abses paravertebra
a. Pada vertebra torakal maka nanah akan turun ke dalam pleura sehingga
menyebabkan empiema tuberkulosis.
b. Pada vertebra lumbal maka nanah akan turun ke otot iliopsoas membentuk
psoas abses yang merupakan coldapsces (lindsay. 2008).
3. Cidera Corda Spinalis (Spinalis Cord Injury)
Dapat terjadi karena adanya tekanan ekstradural sekunder karena pustuberkulosa,
sequestra tulang, sequester dari diskus intervertebralis atau dapat juga langsung
karena keterlibatan korda spinalis oleh jaringan granulasi tuberkulosa. Jika cepat
diterapi sering berespon baik. MRI dan Mieolografi dapat membantu membedakan
paraplegi karena tekanan atau karena infasi dura dan korda spinalis.
G. Penatalaksanaan
1. Medis
Pada prinsipnya, penatalaksanaan teberkulosa tulang belakang harus dilakukan
segera mungkin untuk menghentikan progresivitas penyakit serta mencegah
paraplegia. Penatalaksanaan terdiri atas :
a. Terapi konservatif (tirah baring, memperbaiki keadaan umum klien,
pemasangan brace pada klien yang dioperasi ataupun yang tidak dioperasi,
pemberian obat antiteberkulosa. Obat-obatan yang diberikan terdiri atas :
1) INH dengan dosis oral 5 mg/kg berat badan per hari dengan dosis maksimal
300 mg. Dosis orang pada anak-anak 10 mg/kg berat badan.
2) Asam para-amino salisilat, dosis orang 8-12 mg/kg berat badan
3) Etambutol, dosis orang 15-25 mg/kg berat badan untuk anak-anak dan pada
orang dewasa 300-400 mg perhari.
4) Streptomisin, pada saat ini tidak digunakan lagi.
13
Regimen yang dipergunakan dalan di Amerika dan Eropa adalah INH dan
Rifampisin selama 9 bulan atau INH + Rifampisin + Etambutol diberikan selama
2 bulan yang dilanjutkan dengan pemberian INH + Rifampisin selama 7 bulan. Di
korea, kombinasi antara INH + Rifampisin diberikan selama 6-12 bulan atau INH
+ Etambutol diberikans elama 9-18 bulan. Standar pengobatan di Indonesia yang
berdasarkna program P2TB paru adalah :
1) Kategori 1. Untuk klien baru BTA positif dan BTA negatif/Rontgent positif,
obat diberikan dalam dua tahap, yaitu :
a) Tahap I : diberikan Rifampisin 450 mg, Etambutol 750 mg, INH
300 mg dan Pirazinamid 1500 mg. Obat diberikan setiap hari selama 2 bulan
pertama (60 kali)
b) Tahap II : diberikan Rifampisin 450 mg dan INH 600 mg. Obat
diberikan tiga kali seminggu (intermiten) selama 4 bulan (54 kali)
2) Kategori 2. Untuk klien baru BTA positif yang pernah minum obat selama
lebih dari sebulan, termasuk klien dengan BTA positif yang kambuh/gagal obat
yang diberikan dalam dua tahap, yaitu :
a) Tahap I : diberikan Streptomisin 750 mg, (injeksi), INH 300 mg,
Rifampisin 450 mg. Pirazinamid 1500 mg dan Etambutol 750 mg. Obat diberikan
setiap hari. Streptomisin injeksi hanya 2 bulan pertama (60 kali) dan obat lainnya
selama 3 bulan (90 kali)
b) Tahap II : diberi INH 600 mg, Rifampisin 450 mg dan Etambutol
1250 mg. Obat diberikan 3 kali seminggu (intermiten) selama 5 bulan (66 kali)
14
Indikasi penatalaksanaan operatif yang perlu diketahui perawat sebagai bahan
untuk melakukan kolaborasi, meliputi :
a. Bila dengan terapi konservatif tidak ada perbaikan paraplegia atau kondisi
tersebut bertambah berat
b. Adanya abses yang besar sehingga diperlukan sistem drainase abses secara
terbuka, penatalaksanaan debridemen, dan bone graf.
c. Pada pemeriksaan radiologi (foto polos, mielografi, CT scan, dan MRI),
didapatkan adanya penekanan langsung pada medula spinalis
d. Koreksi deformitas pada spondilitis tuberkulosa yang telah mengalami
penyebuhan.
2. Keperawatan
a. Pengkajian
1) Anamnesis
a) Identitas klien meliputi nama, usia, jenis kelamin, pendidikan, alamat,
pekerjaan, agama, suku bangsa, tanggal dan jam MRS, nomor register, asuransi
kesehatan, dan diagnosis medis
Keluhan utama yang sering menjadi alasan klien meminta pertolongan kesehatan
adalah paraparesis, gejala paraplegia, keluhan gangguan pergerakan tulang
belakang, dan adanya nyeri tulang belakang. Untuk memperoleh pengkajian yang
lengkap tentang nyeri klien, perawat dapat menggunakan metode PQRST
Provoking incident : Hal yang menjadi faktor presipitasi nyeri adalah : adanya
peradangan pada tulang belakang
Qualiti of pain : Nyeri yang dirasakan klien bersifat menusuk. Nyeri sering disertai
dengan adanya parestesia. Faktor yang mengurangi nyeri dikaji karena pada
beberapa keadaaan, kualitas dan kuantitas nyeri berkurang dengan menajemen
nyeri keperawatan dengan meliputi pengaturan posisi, ralaksasi nafas dalam,
metode distraksi, menajemen sentuhan dengan masase ringan disekitar lokasi
nyeri.
Region, Radiation, Relief : Kaji apakah nyeri dapat reda, apakar nyeri menjalar
karena pada beverapa kasus, nyeri sering menjalar ke pinggul dan menjalar ke
15
tungkai. Selain itu, kaji dimana nyeri terjadi, apakah nyeri terlokalisasi, dan
sebatas apa.
Severity (scale) of pain : Nyeri biasanya 1-3 pada penilaian skala nyeri 0-4
Time: berapa lama nyeri berlangsung, kapan, apakah kondisi nyeri berlangsung
terus menerus atau hilang timbul.
b) Riwayat Penyakit sekarang
Keluhan rang didapat hampir sama dengan kejala tuberkulosis pada umumnya,
yatu badan lemah/lesu, nafsu makan berkurang, berat badan menurun, suhu sedikit
meningkat (subfebril) terutama pada malam hari, serta sakit punggung. Pada anak-
anak sering disertai dengan menangis pada malam hari (night cries). Pada
tuberkulosa vertebra servikalis, dapat ditemukan nyeri di daerah belakang kepala,
gangguan menelan, dan gangguan pernafasan akibat adanya abses retrofaring.
Kadang kala klien datang dengan gejala abses pada daerah paravertebral,
abdominal, inguinal, popliteal, atau bokong.
c) Riwayat penyakit dahulu
Ada keluhan riwayat TB paru dan penggunaan obat antituberkulosis (OAT).
Penyakit lainnya seperti hipertensi, diabetes melitus juga dikaji untuk
mengidentifikasi penyulit pada penatalaksanaan dan implementasi keperawatan.
d) Pengkajian Psikososiospiritual
Perawat mengkaji mekanisme koping yang digunakan klien untuk klien untuk
menilai respons emosi klien terhadap penyakit yang dideritanya dan perubahan
peran klien dalam keluarga dan masyarakat, serta respons atau pengaruhnya dalam
kehidupan sehari-hari, baik dalam keluarga ataupun dalam masyarakat. Adanya
perubahan berupa paralisis anggota gerak bawah memberikan manifestasi yang
berbeda pada setiap klien yang mengalami spondilitis tuberkulosa.
Karena klien harus menjalani rawat inap, kaji apakah keadaan ini memberi dampak
pada status ekonomi klien. Hal ini dilakukan karena perawatan dan pengobatan
memerlukan dana yang tidak sedikit. Spondilitis tuberkulosa memerlukan biaya
untuk pemeriksaan, penggobatan dan perawatan yang dapat mengacaukan
keuangan keluarga sehingga faktor biaya ini dapat mempengaruhi stabilitas emosi
dan pikiran klien dan keluarga. Perawat juga memasukkan pengkajian fungsi
16
neurologis mengenai dampak hambatan mobolitas terhadap gaya hidup baru
individu. Perspektif keperawatan dalam mengkaji terdiri atas dua masalah, yaitu
keterbatasan yang diakibatkan oleh hambatan mobilitas dalam hubungannya
dengan peran sosial klien dan rencana pelayanan yang akan mendukung adaptasi
hambatan mobilitas muskuloskeletaldalam sistem dukungan individu.
2) Pemeriksaan fisik
Setelah melakukan anamnesis yang mengarah pada keluhan klien, pemeriksaan
fisik sangat berguna untuk mendukung pengkajian anamnesis. Pemeriksaan fisik
sebaiknya dilakukan persistem (B1-B6) dengan fokus pemeriksaan B6 (Bone)
yang terarah dan dihubungkan dengan keluhan klien.
a) Keadaan umum
Pada keadaan spondilitis tuberkulosa, klien umunya tidak mengalami penurunan
kesadaran. Adanya perubahan tanda-tanda vital yang meliputi bradikardi dan
hipotensi sering berhubungan dengan penurunan aktivitas secara umum akibat
adanya hambatan dalam melakuakn mobilitas ekstremitas.
b) B1 (Breathing)
Hasil pemeriksaan fisik sistem ini pada klien spondilitis tuberkulosa dengan fase
penurunan aktifitas yang parah adalah pada inspeksi di dapatkan bahwa klien
batuk, ada peningkatan produksi sputum, sesak nafas, penggunaan otot bantu
nafas, dan peningkatan frekuensi pernafasan. Pada palpasi, ditemukan taktil
fremitus seimbang kanan dan kiri. Pada perkusi ditemukan adanya resonan pada
seluruh lapang paru. Pada auskultasi, dadapatkans suara nafas tambahan, seperti
ronki pada klien dengan peningkatan produksi sekret, dan kemampuan batuk yang
menurun yang sering ditemukan pada klien spondilitis tuberkulosa dengan
penurunan tingkat kesaadaran koma. Pada klien spondilitis tuberkulosa fase awal,
biasanya tidak didapatkan kelainan pada sistem pernafasan.
c) B2 (Blood)
Pada keadaan spondilitis tuberkulosa dengan komplikasi paraplegia yang lama di
derita, biasanya akan didapatkan adanya hipotensi ortostatik (penurunan tekanan
17
darah sistolik ≤25 mmHg dan diastolik ≤10 mmHG ketika klien bangun dari posisi
baring ke posisi duduk). Pada klien spondilitis tuberkulosa tanpa paraplegia,
biasanya tidak didapatkan kalainan pada sistem kardiovaskuler.
d) B3 (Brain)
Tingkat kesadaran biasanya komposmentis
(1) Kepala : Tidak ada gangguan, yaitu normosefalik, simetris, tidak ada
penonjolan, sering didapatkan adanya nyeri belakang kepala.
(2) Leher : Pada spondilitis tuberkulosa yang mengenai vertebra servikalis,
sering didapatkan adanya kekakuan leher sehingga mengganggu mobilitas leher
dalam melakukan rotasi, fleksi, dan ekstensi kepala.
(3) Wajah : Wajah terlihat menahan sakit, tidak ada perubahan fungsi maupun
bentuk. Wajah simetris, tidak ada lesi dan edema.
(4) Mata : Tidak ada ganggguan, seperti konjungtiva tidak anemis
(5) Telinga : Tes bisik atau weber masih dalam keadaan normal. Tidak ada lesi
atau nyeri tekan
(6) Hidung : Tidak ada deformitas, tidak ada pernafasan cuping hidung
(7) Mulut dan faring : tidak ada pembesaran tonsil, gusi tidak terjadi
perdarahan, mukosa mulut tidak pucat
(8) Pemeriksaan fungsi sebrebral. Status mental : observasi penampilan dan
tingkah laku klien. Biasanya status mental klien tidak mengalami perubahan.
(9) Pemeriksaan saraf kranial :
(a) Sarraf I. Biasanya pada klien sppondilitis tuberkulosa tidak ada kelainan dan
fungsi penciuman tidak ada kelainan
(b) Saraf II. Tes ketajaman penglihatan dalam kondisi normal
(c) Saraf III, IV, dan VI. Biasanya tidak ada ganggguan mengangkat kelopak
mata, pupil isokor.
(d) Saraf V. Klien spondilitis tuberkulosa umumnya tidak mengalami paralisis
pada otot wajah dan refleks kornea biasanya tidak ada kelainan.
18
(e) Saraf VII. Persepsi pengecapan dalam batas normal dan wajah simetris
(f) Saraf VIII. Tidak ditemukan adanya tuli konduktif dan tuli persepsi
(g) Saraf IX dan X. Secara sensorik, kemampuan menelan baik, tetapi adanya
gangguan menelan lebih sering disebabkan oleh adanya abses faring sehingga
menggganggu klien dalam proses menelan karena adanya sensasi nyeri menelan.
(h) Saraf XI. Tiidak ada atrofi otot sternokleido-mastoideus dan trapezius
(i) Saraf XII. Lidah simetris, tidak ada deviasi pada satu sisi dan tidak ada
fasikulasi. Indra pengecapan normal.
(10) Pemeriksaan Refleks : biasanya tidak terdapat refleks patologis.
e) B4 (Bladder).
Pada spondilitis tuberkulosa daerah torakal dan servikal, tidak ada kelainan pada
sistem ini. Pada spondilitis tuberkulosa daerah lumbal, sering didapatkan keluhan
inkontinensia urine, ketidakmampuan mengomunikasiakan kebutuhan eliminasi
uine.
f) B5 (Bowel).
Inspeksi abdomen : Bentuk datar, simetris, tidak ada hernia. Palpasi : turgor baik,
tidak ada kejang otot abdomen akibat adanya abses pada lumbal, hepar tidak
teraba. Perkusi : Suara timpani, ada pantulan gelombang cairan. Auskultasi :
Peristaltik usus nornal ±20 kali/menit. Inguinal-genitalia-anus : Tidak ada hernia,
tidak ada pembesaran limfe, tidak ada kesulitan BAB. Pola nutrisi dan
metabolisme : pada klien spondilitis tuberkulosa sering ditemukan penurunan
nafsu makan dan gangguan menelan dari abses faring sehingga pemenuhan nutrisi
menjadi berkurang.
g) B6 (Bone)
Untuk Spondilitis tuberkulosa servikalis, lebih sering terjadi pada anak-anak.
Keluhan yang sering ditemukan adalah nyeri leher dan kekakuan. Pada kasus yang
tidak diobati, abses retrofariengal dapat menyebabkan gangguan menelan atau
bengkak pada sisi leher tersebut. Pada pemeriksaan, leher terasa sangat nyeri dan
semua gerakan terbatas. Pada kasus yang sudah terlambat, dapat terjadi kifosis
yang nyata, abses leher yang berfluktuasi atau pembengkakan retrofaringeal.
Anggota tubuh harus diperiksa untuk mengetahui ada atau tidaknya defisit
19
neurologis. Pada pemeriksaan diagnostik radiologi sering didapatkan adanya
penyempitan ruang diskus dan erosi korpus vertebra yang bersebelahan.
3) Pemeriksaan radiologi
a) Pemeriksaan rontgen
(1) Pemeriksaan foto torak untuk melihat adanya tuberkulosis paru
(2) Pada foto polos vertebra, ditemukan osteoporosis, osteolik, dan destruksi
korpus vertebra, disertai penyempitan diskus intervertebralis yang ada diantara
korpus tersebut, dan mungkin dapat ditemukan adanya masa abses paravertebral
(3) Pada foto AP, abses paravertebral pada daerah servikal berbentuk sarang
burung (bird’s nets), di daerah torakal berbentuk bulbus, dan pada daerah lembal
abses terlihat berbentuk fusiform. Pada stadium lanjut, terjadi destruksi vertebra
yang lebih hebat sehingga timbul kifosis.
b) Pemeriksaan CT-scan dengan mielografi. Pemeriksaan mielografi
dilakuakn bila terdapat gejala-gejala penekanan sumsum tulang.
20
c) Pemeriksaan MRI terutama untuk melihat jaringan lunak yaitu diskus
intervertebtalis dan ligamentum flavum serta lesi dalam sumsum tulang belakang.
4) Pemeriksaan laboratorium
a) Peningkatan laju endap darah dan mungkin disertai leukositosis
b) Uji Mantoux positif
c) Pada pemeriksaan biakan kuman, mungkin ditemukan Mycrobacterium.
d) Biopsi jaringan granulasi atau kelenjar limpe regional
e) Pada pemeriksaan histopatologis, dapat ditemukan tuberkel.
b. Diagnosa Keperawatan
Masalah keperawatan yang muncul pada klien spondilitis tuberkulosa meliputi :
1. Hambatan mobilitas fisik yang berhubungan dengan paraplegia, paralisis
ekstremitas bawah.
2. Ketidakefektifan bersihan jalan nafas yang berhubungan dengan
penumpukan stupum, peningkatan sekresi sekret, dan penurunan kemampuan
batuk
3. Nyeri yang berhubungan dengan kompresi saraf dan refleks spasme otot
sekunder pada tulang belakang
4. Ketidakseimbangan nutrisi : kurang dari butuhan tubuh yang berhubungan
dengan gangguan kemampuan menelan makanan, peningkatan kebutuhan
metabolisme
5. Gangguan metabolisme urine yang berhubungan dengan perubahan dalam
mengomnunikasikan eliminasi urine
6. Risiko kerusakan integritas kulit yang berhubungan dengan paraplegia,
paralisis ekstremitas, tidak adekuatnya sirkulasi perifer
7. Ansietas yang berhubungan dengan krisis situasional, ancaman terhadap
konsep diri, perubahan status kesehatan/status ekonomi/fungsi peran.
8. Ketidakefektifan kopin individu dan keluarga.
21
BAB III
ASUHAN KEPERAWATAN
Kasus
22
A. Analisa Data
Kerusakan korpus vertebra Kerusakan korpus vertebra Penekanan korda dan radiks
dan terjadi angulasi dan terjadi angulasi saraf oleh pembesaan
vertebra ke depan vertebra ke depan abses/tulang yang bergeser
Akumulasi sekret
meningkat
2. ketidakefektifan
bersihan jalan nafas
23
B. Diagnosa Keperawatan
1. Nyeri yang berhubungan dengan kompresi saraf dan refleks spasme otot
sekunder pada tulang belakang
2. Ketidakefektifan bersihan jalan nafas yang berhubungan dengan
penumpukan stupum, peningkatan sekresi sekret, dan penurunan
kemampuan batuk
3. Hambatan mobilitas fisik yang berhubungan dengan paraplegia, paralisis
ekstremitas bawah.
C. Intervensi
1. Nyeri yang berhubungan dengan kompresi saraf dan refleks spasme otot
sekunder pada tulang belakang
a. NOC :
1) Memperlihatkan pengendalian nyeri, yang dibuktikan oleh
indikator (tidak pernah, jarang, kadang-kadang, sering, atau selalu):
(a) Mengenali awitan nyeri
(b) Menggunakan tindakan pencegahan
(c) Melaporkan nyeri dapat dikendalikan
2) Menunjukan tingkat nyeri, yang dibuktikan oleh indikator (sangat
berat, sedang, ringan atau tidak ada):
(a) Ekspresi nyeri pada wajah
(b) Gelisah atau ketegangan otot
(c) Durasi episode nyeri
(d) Merintih dan menangis
(e) Gelisah
b. NIC
Pengkajian
24
- Observasi isyarat nonverbal ketidaknyamanan, khususnya pada
mereka yang tidak mampu berkomunikasi efektif
Aktivitas kolaboratif
25
b. Nic :
intervensi
26
- Ajarkan pasien dan keluarga tentang makna perubahan pada sputum,
seperti warna, karakter, jumlah dan bau
Kolaborasi
b. NIC :
Intervensi
27
- Terapi latihan fisik (ambulasi) : meningkatkan dan membantu
dalam berjalan untnuk memeprtahankan atau mengendalikan fungsi
tubuh autonom dan volunter selama pengobatan dan pemulihan dari
kondisi sakit
- Pengaturan posisi : mengatur posisi pasien untuk bagian tubuh
pasien secara hati-hati untuk meningkatkan kesehahteraan
fisiologis dan psikologis.
28
BAB IV
PENUTUP
A. KESIMPULAN
B. SARAN
29
DAFTAR PUSTAKA
Muttaqin, Arif. 2008. Buku Ajar Asuhan Keperawatan Klien Dengan Gangguan
Sistem Muskuloskeletal. Jakarta : EGC
Sudoya, Aru W., Dkk. 2009. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta :
Internapublishing
30