You are on page 1of 20

TUGAS REKAYASA IDE DAN PROJECT RESEARCH

KEPEMIMPINAN
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Sudah diketahui bahwa kepemimpinan dalam manajemen pendidikan sangat diperlukan
didalam manajemen pendidikan karena pada dasarnya setiap instansi atau lembaga pendidikan
diperlukan sebuah figur seorang pemimpin, alsan pemiliham judul didalam artikel ini adalah
untuk mengetahui hakikat pemimpin, tipe-tipe dari pemimpin, dan faktor- faktor yang
mempengaruhi efektifitas kepemimpinan didalam manajemen pendidikan.
Diakui secara luas bahwa kepemimpinan adalah yang kedua setelah pengajaran di kelas
yang berdampak pada pembelajaran siswa. Leithwood et al. (2006) laporan yang banyak dikutip
menunjukkan bahwa 'kepemimpinan bertindak sebagai katalis' untuk efek yang menguntungkan,
termasuk pembelajaran siswa. Laporan ini juga membedakan antara dampak kepemimpinan
kepala sekolah (biasanya 5-7%) dan kepemimpinan total (27%). Temuan ini memberikan banyak
dukungan empiris untuk minat saat ini dalam kepemimpinan terdistribusi (lihat di bawah) dan
untuk konsep 'kepadatan' kepemimpinan.
Kepemimpinan merupakan bagian penting dari manajemen yaitu merencanakan dan
mengorganisasi, tetapi peran utama kepemimpinan adalah mempengaruhi orang lain untuk
mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Hal ini merupakan bukti bahwa pemimpin boleh jadi
manajer yang lemah apabila perencanaannya jelek yang menyebabkan kelompok berjalan ke
arah yang salah. Akibatnya walaupun dapat menggerakkan tim kerja, namun mereka tidak
berjalan kearah pencapaian tujuan organisasi. Guna menyikapi tantangan globalisasi yang
ditandai dengan adanya kompetisi global yang sangat ketat dan tajam.
Sebuah sekolah adalah organisasi yang kompleks dan unik, sehingga memerlukan tingkat
koordinasi yang tinggi. Untuk membantu para kepala sekolah di dalam mengorganisasikan
sekolah secara tepat, diperlukan adanya satu esensi pemikiran yang teoretis, seperti kepala
sekolah harus bisa memahami teoriorganisasi formal yang bermanfaat untuk menggambarkan
kerja sama antara struktur dan hasil sekolah. Oleh sebab itu dikatakan bahwa” keberhasilan
sekolah adalah sekolah yang memiliki pemimpin yang berhasil.
Kepemimpinan merupakan faktor penting yang paling menentukan berjalan atau tidaknya
suatu organisasi. Kepemimpinan juga merupakan salah satu faktor penting yang mempengaruhi
gagal atau tidaknya sebuah organisasi. Definisi kepemimpinan sendiri menurut Wahyudi
(2012:13) kemampuan seseorang untuk beraktifitas, memimpin, menggerakkan, atau
mempengaruhi bawahan, melakukan koordinasi serta mengambil keputusan untuk mencapai
tujuan yang telah ditetapkan. Dalam hal ini Guru sebagai pemimpin dalam kegiatan belajar
mengajar memiliki peran penting di dalam kelas. Perbuatan siswa selalu berada dalam koridor
disiplin dan tata tertib sekolah, mematuhi semua peraturan yang berlaku di sekolah merupakan
suatu kewajiban bagi setiap siswa.
Pertumbuhan dalam pentingnya kepemimpinan sekolah telah disertai dengan
perkembangan teori, dengan model-model baru yang muncul dan pendekatan yang mapan
diredefinisikan dan dikembangkan lebih lanjut. Tujuan makalah ini adalah untuk meninjau teori
kepemimpinan mana yang baik digunakan dalam proses pembelajaran. Makalah ini membahas
literatur teoritis, untuk melihat bagaimana kepemimpinan dikonseptualisasikan, dan literatur
empiris, untuk menunjukkan apakah dan bagaimana bukti penelitian mendukung konsep-konsep
ini. Makalah ini menunjukkan bahwa model kepemimpinan tunduk pada mode tetapi sering
berfungsi untuk mencerminkan, dan menginformasikan, perubahan dalam praktik kepemimpinan
sekolah.

1.2. Rumusan Masalah


1. Apakah yang dimaksud dengan kepemimpinan?
2. Apakah definisi dari kepemimpinan sekolah?
3. Bagaimana teori kepemimpinan di sekolah?
4. Bagaimana implementasi teori kepemimpinan pada guru dalam proses pembelajaran ?

1.3. Tujuan Penulisan


1. Mengetahui apakah yang dimaksud dengan kepemimpinan.
2. Mengetahui apakah definisi dari kepemimpinan sekolah.
3. Mengetahui bagaimana model-model kepemimpinan di sekolah.
4. Mengetahui bagaimana implementasi teori kepemimpinan pada guru dalam proses
pembelajaran.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1. Pengertian Kepemimpinan
Pemimpin pada hakikatnya adalah seorang yang mempunyai kemampuan untuk
memepengaruhi perilaku orang lain di dalam kerjanya dengan menggunakan kekuasaan. Dalam
kegiatannya bahwa pemimpin memiliki kekuasaan untuk mengarahkan dan mempengaruhi
bawahannya sehubungan dengan tugas-tugas yang harus dilaksanakan.
Kepemimpinan atau leadership merupakan ilmu terapan dari ilmu-ilmu social, sebab
prinsip-prinsip dan rumusannya diharapkan dapat mendatangkan manfaat bagi kesejahteraan
manusia.Ada banyak pengertian yang dikemukakan oleh para pakar menurut sudut pandang
masing-masing, definisi-definisi tersebut menunjukkan adanya beberapa kesamaan.
2.1.1. Pengertian Kepemimpinan Menurut Para ahli
a. Menurut Tead; Terry; Hoyt (dalam Kartono, 2003) Pengertian Kepemimpinan yaitu
kegiatan atau seni mempengaruhi orang lain agar mau bekerjasama yang didasarkan pada
kemampuan orang tersebut untuk membimbing orang lain dalam mencapai tujuan-tujuan
yang diinginkan kelompok.
b. Menurut Young (dalam Kartono, 2003) Pengertian Kepemimpinan yaitu bentuk dominasi
yang didasari atas kemampuan pribadi yang sanggup mendorong atau mengajak orang
lain untuk berbuat sesuatu yang berdasarkan penerimaan oleh kelompoknya, dan
memiliki keahlian khusus yang tepat bagi situasi yang khusus.
c. Dari beberapa definisi diatas dapat disimpulkan bahwa kepemimpnan merupakan
kemampuan mempengaruhi orang lain, bawahan atau kelompok, kemampuan
mengarahkan tingkah laku bawahan atau kelompok, memiliki kemampuan atau keahlian
khusus dalam bidang yang diinginkan oleh kelompoknya, untuk mencapai tujuan
organisasi atau kelompok
d. Zaman yang berbeda menghasilkan pemikiran yang berbeda, zaman yang berbeda
melahirkan pemimpin yang berbeda. Topik kepemimpinan bila dibahas dan dibicarakan,
sangat menarik dan tidak akan ada habisnya. Berbagai tantangan kepemimpinan dan
peran sentral pemimpin dalam menghadapi situasi turbulensi, khususnya yang dihadapi
bangsa ini, sangat komplek dan memerlukan legitimasi sentral agar dapat diterima oleh
semua pihak didalam menerapkan “kecerdasan” dalam kepemimpinannya.
2.2. Definisi Kepemimpinan Sekolah
Menurut Danim (2010), kepemimpinan sekolah (school leadership) adalah proses
membimbing dan membangkitkan bakat dan energi guru, murid, dan orang tua untuk mencapai
tujuan pendidikan yang dikehendaki. Di Amerika Serikat, istilah kepemimpinan sekolah sering
digunakan secara sinonim dengan kepemimpinan pendidikan (educational leadership). Di
Inggris Raya istilah ini sering digunakan untuk menggantikan sinonim manajemen pendidikan
(educational management). Di Indonesia, istilah-istilah ini sering dipakai bergantian dengan
makna konotatif yang sama atau berbeda.
Kepemimpinan adalah proses pengaruh yang mengarah pada pencapaian tujuan yang
diinginkan. Pemimpin yang berhasil mengembangkan visi untuk sekolah mereka berdasarkan
nilai-nilai pribadi dan profesional mereka. Mereka mengartikulasikan visi ini di setiap
kesempatan dan mempengaruhi staf dan pemangku kepentingan lainnya untuk berbagi visi.
Filosofi, struktur, dan aktivitas sekolah diarahkan untuk mencapai visi bersama ini. (Bush dan
Glover, 2003).

2.3. Teori Kepemimpinan Sekolah


Ada beberapa teori kepemimpinan Sekolah, antara lain adalah sebagai berikut:
1. Kepemimpinan Instruksional
Meningkatnya fokus pada pengelolaan pengajaran dan pembelajaran sebagai kegiatan inti
dari lembaga pendidikan telah memunculkan kepemimpinan 'kepemimpinan instruksional', atau
'belajar berorientasi', yang ditekankan:
Kepemimpinan instruksional biasanya mengasumsikan bahwa fokus kritis untuk perhatian
oleh pemimpin adalah perilaku guru ketika mereka terlibat dalam kegiatan yang secara langsung
mempengaruhi pertumbuhan siswa. (Leithwood, Jantzi, dan Steinbach, 1999). Istilah
'kepemimpinan instruksional' berasal dari Amerika Utara dan telah digantikan di Inggris dan di
tempat lain oleh gagasan 'kepemimpinan yang berpusat pada pembelajaran'. Rhodes dan
Brundrett (2010) berpendapat bahwa konsep yang terakhir lebih luas dan memiliki potensi lebih
besar untuk berdampak pada hasil sekolah dan siswa. Mereka mengeksplorasi transisi dari
kepemimpinan instruksional, berkaitan dengan memastikan kualitas pengajaran, kepemimpinan
untuk belajar, yang menggabungkan spektrum tindakan kepemimpinan yang lebih luas untuk
mendukung pembelajaran dan hasil belajar.
Kepemimpinan instruksional adalah konsep terpanjang yang menghubungkan
kepemimpinan dan pembelajaran. Namun, beberapa istilah lain dapat digunakan untuk
menggambarkan hubungan ini, termasuk kepemimpinan pedagogik, kepemimpinan kurikulum
dan kepemimpinan untuk pembelajaran. Meskipun menonjol dan berumur panjang,
kepemimpinan instruksional telah dikritik dengan dua alasan. Pertama, dianggap terutama
berkaitan dengan pengajaran daripada pembelajaran (Bush 2013).

2. Kepemimpinan Manajerial
Kepemimpinan manajerial mengasumsikan bahwa fokus pemimpin harus pada fungsi,
tugas dan perilaku, jika fungsi-fungsi ini dilakukan secara kompeten, pekerjaan orang lain dalam
organisasi akan difasilitasi. Sebagian besar pendekatan untuk kepemimpinan manajerial juga
mengasumsikan bahwa perilaku anggota organisasi sangat rasional. Pengaruh timbul sebagian
besar karena otoritas formal pemimpin dan Leithwood, Jantzi, dan Steinbach (1999) berpendapat
bahwa pengaruh dialokasikan secara proporsional dengan status posisi tersebut dalam hierarki
organisasi.
Leithwood, Jantzi, dan Steinbach (1999) menambahkan bahwa, 'ada bukti dukungan yang
cukup besar dalam literatur dan di antara para pemimpin yang berlatih untuk pendekatan
manajerial terhadap kepemimpinan'. Mereka menambahkan bahwa 'kekuatan posisional, dalam
kombinasi dengan kebijakan dan prosedur formal, adalah sumber pengaruh yang dilakukan oleh
kepemimpinan manajerial' (Leithwood, Jantzi, dan Steinbach, 1999).
Hoyle dan Wallace (2005) mencatat hubungan antara kepemimpinan manajerial dan
kepemimpinan untuk pembelajaran: 'Manajemen berfungsi untuk mendukung pembelajaran dan
pengajaran, inti dari pendidikan'.Kepemimpinan dan manajemen yang efektif mengambil
keputusan dengan menciptakan struktur dan proses yang memungkinkan guru untuk terlibat
semaksimal mungkin dalam tugas utama mereka. Manajerialisme, di sisi lain, adalah
kepemimpinan dan manajemen yang berlebihan. Ini melampaui peran dukungan kepemimpinan
dan, dalam manifestasinya yang ekstrem, menjadi tujuan itu sendiri.
Kepemimpinan manajerial adalah model yang memberikan risiko terbesar dari pendekatan
manajerialis terhadap organisasi sekolah. Dengan berfokus pada fungsi, tugas, dan perilaku, ada
kemungkinan bahwa tujuan pendidikan akan disubordinasikan ke tujuan manajerial dengan
efisiensi yang lebih besar. Pentingnya pendekatan berbasis nilai untuk kepemimpinan ditekankan
sebelumnya, tetapi Simkins (2005), mengklaim bahwa nilai-nilai manajerial, seperti perencanaan
kaku dan rezim penetapan target, sedang diatur terhadap nilai-nilai profesional tradisional.
Bukti pendekatan manajerialis terhadap pendidikan dapat ditemukan di sekolah-sekolah
bahasa Inggris (Hoyle dan Wallace 2007; Rutherford 2006). Kepemimpinan manajerial
merupakan komponen penting dari sekolah yang sukses tetapi harus melengkapi, bukan
menggantikan, pendekatan berbasis nilai. Manajemen yang efektif adalah penting tetapi
manajerialisme bebas nilai tidak pantas dan merusak (Bush 2011).

3. Kepemimpinan Transformasional
Bentuk kepemimpinan ini mengasumsikan bahwa fokus pusat kepemimpinan haruslah
komitmen dan kapasitas anggota organisasi. Tingkat komitmen pribadi yang lebih tinggi
terhadap tujuan organisasi dan kapasitas yang lebih besar untuk mencapai tujuan tersebut
diasumsikan akan menghasilkan usaha ekstra dan produktivitas yang lebih besar (Leithwood,
Jantzi, dan Steinbach, 1999).
Kepemimpinan transformasional sering kontras dengan pendekatan transaksional, yang
terakhir berhubungan dengan hubungan antara pemimpin dan guru yang didasarkan pada
pertukaran sumber daya yang berharga. Dalam bentuknya yang paling sederhana, para guru
memberikan layanan pendidikan (mengajar, kesejahteraan murid, kegiatan ekstra kurikuler)
sebagai ganti gaji dan penghargaan lainnya. Ini adalah pendekatan dasar dan tidak mengarah
pada tingkat komitmen yang terkait dengan model transformasional.Leithwood (1994),
penelitian menunjukkan bahwa ada beberapa dukungan empiris untuk model kepemimpinan
transformasional pada dasarnya normatif. Dia melaporkan tujuh studi kuantitatif dan
menyimpulkan bahwa:
Praktik kepemimpinan transformasional, yang dianggap sebagai konstruksi gabungan,
memiliki pengaruh langsung dan tidak langsung yang signifikan terhadap kemajuan dengan
inisiatif restrukturisasi sekolah dan guru yang dipahamihasil siswa.
Model transformasional bersifat komprehensif karena menyediakan pendekatan normatif
terhadap kepemimpinan sekolah yang berfokus terutama pada proses di mana para pemimpin
berusaha untuk mempengaruhi hasil sekolah daripada pada sifat atau arah hasil tersebut. Namun,
ini juga dapat dikritik sebagai kendaraan untuk mengendalikan guru, melalui mengharuskan
kepatuhan pada nilai-nilai pemimpin, dan lebih mungkin untuk diterima oleh pemimpin daripada
yang dipimpin (Chirichello, 1999).
Bahasa transformasional digunakan oleh pemerintah untuk mendorong, atau
mengharuskan, praktisi untuk mengadopsi dan menerapkan kebijakan yang ditentukan secara
terpusat. Di Afrika Selatan, misalnya, bahasa transformasi digunakan untuk mendukung sistem
pendidikan pasca-apartheid non-rasis. Kebijakan ini kaya simbolisme tetapi lemah dalam praktik
karena banyak kepala sekolah tidak memiliki kapasitas dan wewenang untuk melaksanakan
perubahan secara efektif (Bush et al., 2009).

4. Kepemimpinan Moral Dan Otentik


Sebagaimana ditunjukkan oleh diskusi di atas, kepemimpinan transformasional dapat
diarahkan untuk mencapai tujuan yang layak atau kurang layak. Kita semua dapat berpikir
tentang pemimpin karismatik atau transformasional yang tujuannya tidak pantas atau tidak
bermoral.
Model kepemimpinan moral berbeda dari pendekatan transformasional melalui
penekanannya pada integritas. Ini mengasumsikan bahwa fokus kritis kepemimpinan seharusnya
terletak pada nilai, keyakinan, dan etika pemimpin itu sendiri. Otoritas dan pengaruh harus
berasal dari konsepsi yang dapat dipertahankan tentang apa yang benar atau baik (Leithwood,
Jantzi, dan Steinbach, 1999). Beberapa istilah lain juga telah digunakan untuk menggambarkan
kepemimpinan berbasis nilai. Ini termasuk kepemimpinan etis (Stefkovich dan Begley 2007;
Starratt, 2007), kepemimpinan otentik (Begley, 2007) dan kepemimpinan spiritual (G. Woods
2007).
West-Burnham (1997) membahas dua pendekatan untuk kepemimpinan yang dapat
dikategorikan sebagai 'moral'. Yang pertama ia gambarkan sebagai ‘spiritual’ dan berhubungan
dengan, ‘pengakuan bahwa banyak pemimpin memiliki apa yang mungkin disebut sebagai“ orde
yang lebih tinggi ”, mungkin diwakili oleh afiliasi keagamaan tertentu. Pemimpin seperti itu
memiliki seperangkat prinsip yang memberikan dasar kesadaran diri. Survei G. Woods (2007)
tentang guru kepala di Inggris menemukan bahwa 52% 'terinspirasi atau didukung dalam
kepemimpinan mereka oleh beberapa jenis kekuatan spiritual'. Kategori kedua West-Burnham
(1997) adalah ‘keyakinan moral’, kemampuan untuk bertindak dengan cara yang konsisten
dengan sistem etika dan konsisten dari waktu ke waktu.
Sergiovanni (1991) berpendapat untuk kepemimpinan moral dan manajerial:
Dalam kepemimpinan, tantangan kepemimpinan adalah berdamai dengan dua imperatif yang
bersaing, manajerial dan moral. Kedua imperatif itu tidak dapat dihindari dan pengabaiannya
menimbulkan masalah. Sekolah harus dijalankan secara efektif jika mereka ingin bertahan .
Tetapi bagi sekolah untuk mengubah dirinya menjadi sebuah institusi, komunitas pembelajar
harus muncul. Ini adalah kewajiban moral yang dihadapi para kepala sekolah.
Kepemimpinan moral dan otentik sangat didukung oleh nilai-nilai para pemimpin. Model-
model tersebut mengasumsikan bahwa para pemimpin bertindak dengan integritas, dengan
menggunakan nilai-nilai pribadi dan profesional yang dipegang teguh. Ini berfungsi untuk
menginformasikan visi dan misi sekolah dan untuk mendukung pengambilan keputusan.

5. Kepemimpinan Guru
Ada hubungan yang jelas antara kepemimpinan guru dan kepemimpinan terdistribusi. Frost
(2008) mencirikan yang pertama sebagai melibatkan kepemimpinan bersama, kepemimpinan
guru dari pekerjaan pengembangan, pengembangan pengetahuan guru, dan suara guru. Penelitian
Muijs dan Harris (2007), di tiga sekolah di Inggris menunjukkan bahwa:
Kepemimpinan guru ditandai oleh berbagai pengelompokan formal dan informal, sering
difasilitasi oleh keterlibatan dalam program eksternal. Kepemimpinan guru terlihat untuk
memberdayakan guru, dan berkontribusi terhadap peningkatan sekolah melalui pemberdayaan ini
dan penyebaran praktik yang baik dan inisiatif yang dihasilkan oleh guru.
Mengembangkan kepemimpinan guru dengan cara-cara yang mempromosikan prestasi
siswa menghadirkan kesulitan. Para pemimpin guru dengan penerimaan yang tinggi di antara
rekan-rekan mereka belum tentu mereka yang memiliki keahlian yang sesuai. Sebaliknya, politik
mikro di sekolah dapat mengurangi penerimaan mereka yang memiliki keahlian. Interpretasi
kepemimpinan guru adalah manajerialis di alam dan secara inheren konservatif. Kepemimpinan
guru, 'sebagian besar tetap merupakan topik akademis dan, meskipun terobosan telah dibuat,
kepemimpinan guru tetap lebih merupakan konsep daripada aktualitas'. Muijs dan Harris (2007)
menyimpulkan bahwa:
Kepemimpinan guru memerlukan langkah aktif untuk diambil untuk membentuk tim
kepemimpinan dan memberikan guru dengan peran kepemimpinan. Budaya kepercayaan dan
kolaborasi sangat penting, seperti visi bersama tentang ke mana sekolah harus dituju, struktur
manajemen lini yang jelas dan program pengembangan kepemimpinan yang kuat.Sulit
membayangkan kepemimpinan terdistribusi menjadi tertanam di sekolah tanpa pemimpin guru.
Ini menunjukkan bahwa kepemimpinan guru harus dikonseptualisasikan sebagai model bersama,
daripada solo. Kedua model ini didukung oleh gagasan nilai-nilai bersama. Seperti disebutkan di
atas, kesulitan muncul ketika asumsi ini tidak disadari dalam praktik.

6. Kepemimpinan Demokratis
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (1996) dikemukakan bahwa demokrasi adalah
gagasan atau pandangan hidup yang mengutamakan persamaan hak dan kewajiban serta
perlakuan yang sama atau menjamin kemerdekaan dan persamaan mengemukakan pendapat
sebagai suatu keseluruhan yang utuh. Model pemimpin ini berlandaskan pada pemikiran bahwa
aktivitas dalam organisasi akan dapat berjalan secara lancar dan dapat mencapai suatu tujuan
yang telah ditetapkan apabila berbagai masalah yang timbul diputuskan bersama antara pejabat
yang memimpin maupun para pejabat yang dipimpin seorang pemimpin demokratik menyadari
bahwa organisasi harus disusun sedemikian rupa sehingga menggambarkan secara jelas aneka
tugas dan kegiatan yang harus dilaksanankan demi tercapainya tujuan pembelajaran yang telah
ditetapkan. Seorang guru dalam memimpin dengan tipe demokratis melihat bahwa dalam
perbedaan sebagai kenyataan hidup, harus terjanlin kebersamaan antara siswa satu dengan yang
lainnya.
Seorang guru yang memiliki model pemimpin demokratis selalu menyadari bahwa
dirinya merupakan bagian dari kelompoknya. Nilai yang dianutnya berangkat dari filsafat hidup
yang menjunjung tinggi harkat martabat manusiawi. Nilai tersebut tercermin dari sikapnya dalam
mengambil sebuah keputusan didalam kelas, misalnya siswa diajak untuk menentukan suatu
keputusan yang akan disepakati secara bersama agar siswa memiliki sifat tanggung jawab yang
besar. Dalam hal menindak siswa yang melanggar disiplin atau aturan yang sudah disetujui dan
etika kerja kelompok cenderung bersifat koperatif, korektif dan edukatif. Hal ini agar mendorong
siswa agar mendorong rasa tanggung jawab yang besar terhadap siswa, selain itu juga dapat
menumbuhkembangkan daya inovatif dan kreativitasnya.
7. Kepemimpinan Kharismatik
Charismatic leadership is throwback to the old conception of leader as being those who
by the force of their personal abilities are capable of having profound and extraordinary effects
on followers (Umar, 2017: 12). Uraian di atas tentang kepemimpinan kharismatik dapat dimaknai
sebagai kepemimpinan yang memiliki kekuasanan yang kuat dan tetap serta dipercayai oleh
pengikut-pengikutnya, kemampuan mempengaruhi orang lain dengan mendayagunakan
keistimewaan atau kelebihan dalam sifat/aspek kepribadiaan pemimpin, sehingga menimbulkan
rasa hormat, rasa segan dan kepatuhan yang tinggi pada para pengikutnya.
Seorang pemimpin yang berkharisma memiliki karakteristik khusus, yaitu daya tariknya
sangat memikat, sehingga mampu memperoleh pengikut yang sangat banyak dan sangat besar.
Para pengikutnya tidak selalu bisa menggambarkan secara konkret bagaimana orang tertentu itu
dikagumi. Pengikutnya tidak mempersoalkan nilai yang dianut, akan tetapi orang tersebut tetap
mengikutinya. Bila seseorang pemimpin yang kharismatik menggunakan gaya otokratik, para
pengikutnya tetap setia untuk mengikutinya. Hal ini diketahui bahwa pemimpin yang demikian
mempunyai daya tarik yang amat besar dan karenanya pada umumnya mempunyai pengikut
yang sangat besar, meskipun para pengikut tersebut itu sering pula tidak menjelaskan mengapa
mereka menjadi pengikut dari pemimpin itu. Karena kurangnya pengetahuan tentang sebab-
akibat seseorang menjadi pemimpin yang kharismatik, maka sering hanya dikatakan bahwa
pemimpin yang demikian diberkahi dengan “kekuatan ajaib”.

8. Kepemimpinan Laissez Faire


Model kepemimpinan ini pada dasarnya berpandangan bahwa anggota mampu mandiri
dalam membuat keputusan atau mampu mengurus dirinya masing-masing, dengan sedikit
mungkin pengarahan atau pemberian petunjuk dalam merealisasikan tugas pokok masing-masing
sebagai bagian dari tugas pokok organisasi. Dalam persepsi seorang pemimpin Laissez
Fairemelihat peranannya sebagai polisi lalu lintas, dengan anggapan bahwa anggota sudah
mengetahui dan cukup dewasa untuk taat pada peraturan yang berlaku. Seorang pemimpin ini
cenderung memilih peran yang pasif dan memberikan organisasi berjalan menurut temponya
sendiri.
9. Kepemimpinan Otokratik
Model kepemimpinan ini menghimpun sejumlah perilaku atau gaya kepemimpinan yang
bersifat terpusat pada pemimpin (sentralistik) sebagai satu-satunya penentu, penguasa dan
pengendali anggota organisasi dan kegiatannya dalam usaha mencapai tujuan organisasi.
Pemimpin ini tidak mengikutsertakan dan tidak memperbolehkan bawahan berpartisipasi dalam
proses pengambilan keputusan dan tidak mentoleransi adanya penyimpangan. Pemimpin
otokratik merasa memperoleh dan memiliki hak-hak istimewa dan harus diistimewakan oleh
bawahannya.
Model pemimpin otokratik adalah seseorang yang egois. Egois yang dimaksud adalah
akan memutar balikkan faktor yang sebenarnya sesuai dengan apa yang secara keseluruhan dan
subjektif di interpretasikan sebagai kenyataan. Dengan egoismenya itu, pemimpin otokratik
melihat peranannya sebagai sumber segala sesuatu dalam kehidupan di kelas. Seorang pemimpin
yang otokratis ialah seorang pemimpin yang:
a. Menganggap bawahan/siswa sebagai milik pribadi;
b. Mengidentikan tujuan pribadi dengan tujuan pembelajaran yang ingin dicapai;
c. Menganggap bawahan/siswa sebagai suatu alat mata-mata; (d) Tidak mau menerima
kritik, saran, dan pendapat dari siswa;
d. Terlalu tergantung dengan kekuasanaan formilnya (guru sebagai sumber ilmu);
e. Dalam tindakan penggerakannya sering mempergunakan approach yang mengandung
unsur paksaan dan bersifat menghukum siswa seenaknya sendiri.

Seorang pemimpin otokratik cenderung menganut nilai yang ber-kekaisaran pada


pembenaran segala cara maupun keputusannya untuk menguntungkan pihak-pihak tertentu guna
mencapai tujuan pribadi di atas tujuan golongan atau kelompok. Seorang pemimpin ini akan
lebih menonjolkan keakuannya dalam mengambil keputusan, dan selalu mengabaikan peranan
bawahan/siswa dalam proses pengambilan keputusan, serta enggan menerima saran, kritik
maupun pandangan dari bawahan/siswanya.

10. Kepemimpinan Paternalistik


Kepemimpinan paternalistik adalah pemimpin yang perannya diwarnai oleh sikap
kebapak-bapakan dalam arti bersifat melindungi, mengayomi, dan menolong anggota organisasi
yang dipimpinnya. Model kepemimpinan ini masih banyak terdapat di lingkungan masyarakat
agraris. Persepsi orang bertipe pemimpin ini dalam kehidupan berorganisasi dapat dikatakan
akan diwarnai dengan harapan oleh bawahan/siswanya. Harapan tersebut agar legitimasi
kepemimpinannya merupakan penerima atas peranannya yang dominan dalam kehidupan suatu
organisasi. Pemimpin ini tergolong sebagai pemimpin yang diidam-idamkan oleh beberapa
bawahan/siswanya, biasanya bersifat sebagai berikut:
a. Menganggap bawahannya sebagai orang yang tidak dewasa;
b. Bersikap terlalu melindungi;
c. Jarang memberikan kesempatan bawahannya untuk mengambil suatu keputusan;
d. Jarang memberikan kesempatan bawahannya untuk mengambil inisiatif;
e. Jarang memberikan kesempatan bawahannya daya kreasi dan fantasi demi kemajuan
kelompok;
f. Sering bersikap maha tau.

Orientasi Model kepemimpinan ini di dalam kelas ditujukan dengan dua hal, yaitu
penyelesaian tugas dan terpeliharanya hubungan baik antara guru dan siswa sebagaimana
seorang bapak yang akan selalu melindungi, memelihara dan hubungan serasi dengan anak-
anaknya. Seorang pemimpin seperti ini dalam hal-hal tertentu amat diperlukan, akan tetapi
sebagai seorang pemimpin di kelas pada umumnya kurang baik
Kelima model kepemimpinan di atas dalam praktiknya saling mengisi atau saling
menunjang secara bervariasi, yang disesuaikan dengan situasinya. Dengan kata lain, untuk
mencapai keefektifan suatu pembelajaran, guru dalam hal penerapan beberapa model
kepemimpinan di atas perlu disesuaikan dengan tuntutan, tujuan, dan ruang lingkup keadaan
sekitar sekolah. Inilah yang disebut dengan kepemimpinan situasional.
Dalam kenyataan di lapangan, untuk dapat mengembangkan gaya kepemimpinan
situasional ini, guru perlu memiliki tiga kemampuan dasar dalam kepemimpinan (Ali, 2015:
119), yaitu:
1. Kemampuan analitis, yaitu kemampuan itu lebih untuk menilai tingkat pengalaman,
melihat dan motivasi situasi siswa dalam hal melaksanakan pembelajaran;
2. Kemampuan untuk fleksibel, yaitu kemampuan untuk menerapkan gaya
kepemimpinan yang paling tepat berdasarkan analisis situasi;
3. Kemampuan berkomunikasi, yaitu kemampuan untuk menjelaskan kepada siswa
tentang ruang lingkup materi secara jelas, padat dan mudah dipahami oleh semua
siswa di kelas tersebut.

2.4. Rekayasa Ide (Implementasi Teori Kepemimpinan pada Guru dalam Proses
Pembelajaran)
a. Guru sebagai fasilitator dalam proses pembelajaran
Dalam proses pembelajaran, guru menjadi fasilitator untuk mendidik dan mengajar
materi kepada siswa. Salah satu tugas sebagai fasilitator yang dapat dilakukan guru
adalah memotivasi siswa agar lebih semangat untuk belajar, meningkatkan
keingintahuannya dalam pembelajaran dan meningkatkan kesadaran siswa untuk
belajar dengan giat. Salah satu teori kepemimpinan yang dapat diimplementasikan
pada situasi ini adalah kepemimpinan instruksional, karena tujuan kepemimpinan
instruksional adalah untuk memberikan layanan prima kepada semua siswa agar
mereka mampu mengembangkan potensi kualitas dasar dan kualitas instrumentalnya
untuk menghadapi masa depan yang belum diketahui dan sarat dengan tantangan-
tantangan yang sangat turbulen.untuk untuk memfasilitasi pembelajaran agar
siswanya meningkat prestasi belajarnya, meningkat kepuasan belajarnya, meningkat
motivasi belajarnya, meningkat keingintahuannya, kreativitasnya, inovasinya, jiwa
kewirausahaannya, dan meningkat kesadarannya untuk belajar secara terus-menerus
sepanjang hayat karena ilmu pengetahuan dan teknologi serta seni berkembang
dengan pesat.

b. Guru memberikan pengajaran pada kegiatan belajar mengajar


Pada saat kegiatan belajar mengajar berlangsung, guru dapat mengimplementasikan
teori kepemimpinan transformasional, yaitu guru memberikan layanan pendidikan
(mengajar, menjamin kesejahteraan murid, kegiatan ekstra kurikuler). Selain menjadi
fasilitator, guru juga harus menjadi pengajar yang baik bagi siswa terutama saat
proses kegiatan belajar mengajar berlangsung, dengan pengimplementasian
kepemimpinan transformasional guru diharapkan dapat mengubah pola fikir siswa
dari tidak tahu menjadi tahu, karena sesuai dengan artinya yaitu transfrorm, sehingga
teori kepemimpinan ini tepat digunakan dalam pembelajaran. Diharapkan setelah
melakukan pengajaran kepada siswa dapat menstransformasi salah satu visi sekolah
menjadi realita.

c. Guru menetapkan peraturan kelas


Sebelum kegiatan belajar mengajar berlangsung, guru biasanya akan menetapkan
peraturan-peraturan yang harus dipatuhi siswa selama pembelajaran berlangsung.
Pada kegiatan penetapan peraturan ini, guru dapat mengimplementasikan teori
kepemimpinan otokratik,karena kepemimpinan ini terpusat pada pemimpin
(sentralistik) sebagai satu-satunya penentu, penguasa dan pengendali siswa dan
kegiatannya dalam usaha mencapai tujuan pembelajaran.
Selain kepemimpinan otokratik, teori kepemimpinan yang dapat diimplentasikan pada
saat menetapkan peraturan kelas adalah kepemimpinan kharismtik, karena
kepemimpinan ini memiliki kekuasanan yang kuat dan tetap serta dipercayai oleh
pengikut-pengikutnya yaitu siswa, kemampuan mempengaruhi orang lain dengan
mendayagunakan keistimewaan atau kelebihan dalam sifat/aspek kepribadiaan
pemimpin, sehingga menimbulkan rasa hormat, rasa segan dan kepatuhan yang tinggi
pada para siswanya.

d. Guru mengelola kelas pada saat kegiatan belajar mengajar


Pada saat kegiatan belajar mengajar, guru harus bisa mengelola kelas dengan baik,
agar tercipta suasana yang kondusif sehingga proses pembelajaran berjalan dengan
baik. Untuk mengelola kelas guru dapat mengimplementasikan teori kepemimpinan
manajerial karena dengan kemampuan mengorganisir program yang dimiliki oleh
guru akan membawa suasana educative, tidak membosankan bagi peserta didik dan
berfokus kepada bagaimana membuat peserta didik disiplin, kondusif dan dapat
merespon pelajaran yang diberikan oleh guru tersebut yang berada di kelas.
Dalam mengelola kelas juga perlu mengimplementasikan kepemimpinan moral,
dimana seorang guru harus memperhatikan etikanya untuk dapat mengelola kelas
dengan baik. Contohnya, dengan menggunakan kata-kata yang baik agar peserta didik
mau memperhatikan proses pembelajaran di kelas. Etika yang baik ini juga dapat
dicontoh oleh peserta didik nantinya dalam bertutur kata dalam lingkungan sekolah.
e. Kelompok belajar pada saat pembelajaran
Teori kepemimpinan yang bisa diimplementasikan saat guru membuat kelompok
belajar pada saat kegiatan belajar mengajar adalah kepemimpinan demokratis. Guru
dapat menanyakan pendapat peserta didik untuk mengambil keputusan dalam
membuat kelompok, seperti apakah peserta didik ingin kelompok dibagi oleh guru
langsung atau memilih kelompok masing-masing atau dengan cara lainnya yang lebih
demokratis.
Selain itu, kepemimpinan demokratis juga bisa diimplementasikan saat kegiatan
kelompok belajar berlangsung, guru harus memberikan kebebasan siswa dalam
bertanya maupun berpendapat selama diskusi kelompok belajar dilakukan.

f. Saat terdapat masalah di dalam kelas


Pada saat pembelajaran maupun di luar pembelajaran apabila terdapat masalah di
dalam kelas guru harus bisa menangani masalah tersebut. Teori kepemimpinan yang
dapat diimplementasikan dalam kondisi ini adalah kepemimpinan paternalistic,
dimana pemimpin yang perannya diwarnai oleh sikap kebapak-bapakan dalam arti
bersifat melindungi, mengayomi, dan menolong anggota organisasi yang
dipimpinnya. Jadi, dengan implementasi teori kepemimpinan paternalistic guru dapat
melindungi atau mengayomi peserta didik sehingga apabila terdapat masalah di dalam
kelas guru dapat menyelesaikannya dengan cara yang baik.
Pada saat ini teori kepemimpinan kharismatik dan moral juga dapat
diimplementasikan karena untuk menyelesaikan masalah pemimpin yaitu guru harus
mempunyai charisma yang membuat peserta didik segan dan hormat padanya, serta
kepemimpinan moral dan otentik artinya guru harus bertindak sesuai dengan
integritas seorang guru.

g. Peserta didik melakukan praktikum


Selain pembelajaran yang dilakukan di kelas, proses kegiatan belajar mengajar juga
dapat dilakukan di laboratorium yaitu melakukan praktikum. Pada saat peserta didik
melakukan praktikum, guru dapat mengimplementasikan teori kepemimpinan Laissez
Faire, yaitu dengan cara pengarahan atau pemberian petunjuk dalam melakukan
percobaan praktikum dan membagi tugas pokok masing-masing kelompok. Setelah
itu, peserta didik dapat secara mandiri melakukan percobaan praktikum tersebut dan
guru hanya membimbing dan mengawasi peserta didik dalam melakukan tugasnya
masing-masing.
LEMBAR ANGKET SIKAP SISWA SELAMA PROSES BELAJAR

A. IDENTITAS SISWA
Nama :
Kelas :

B. PETUNJUK
1. Dimohon kesediaannya unuk mengisi angket ini sesuai dengan pengalaman anda
selama proses pembelajaran
2. Mengerjakan angket dengan cara membubuhkan tanda “√” pada kolom pemilihan yang
tersedia sesuai dengan pilihan anda dengan keterangan :
SB : Sangat Baik
B : Baik
K : Kurang
SK : Sangat Kurang

No Kriteria SB B K SK
1 Penyampaian tujuan pembelajaran oleh guru

Penyampaian materi pelajaran oleh guru


2

3
Guru memberikan semangat kepada siswa
4
setiap pembelajaran

5
Guru Mampu menguasai
materi pembelajaran

Guru memanfaatkan sumber


6
belajar/media dalam pembelajaran
Memicu keaktifan siswa
7
dalam pembelajaran

ANGKET PENILAIAN SISWA TERHADAP PERSIAPAN MENGAJAR GURU

Nama Guru : ………………..


Mata Pelajaran : ………………..

Petunjuk Pengisian :
Berilah skor 1, 2, 3, 4, 5 pada butir-butir persiapan mengajar dengan kriteria :

1 Sangat tidak baik


2 Tidak baik
3 Kurang baik
4 Baik
5 Sangat baik

1 Guru menguasai materi yang diajarkan dan menyampaikan materi dengan jelas :

2 Guru menyampaikan materi dengan menarik :

3 Guru memotivasi siswa :

4 Guru memberi informasi aktual dan wawasan baru terkait dengan materi :

5 Guru mampu menghubungkan materi dengan pengalaman siswa :

6 Guru berpenampilan rapi, santun, berwibawa dan menarik :

7 Guru memperlihatkan antusiasme dalam menyampaikan materi :

8 Guru memberikan respon jawaban terhadap pertanyaan yang disampaikan siswa

9 Guru memberikan masukan (feedback) terkait dengan tugas-tugas yang dilaksanakan oleh
siswa :

10 Guru memberikan contoh yang relevan (sesuai) dengan materi dan kebutuhan siswa :

Jika siswa mempunyai saran, usulan atau komentar tentang kinerja Guru, silahkan di tulis disini
:

You might also like