You are on page 1of 14

DAFTAR ISI

DAFTAR ISI.............................................................................................................................. 1
THE NONRATIONAL ESCALATION OF COMMITMENT ............................................. 2
HEURISTIC & BIAS THEORY............................................................................................ 2
The Availability Heuristic .................................................................................................. 3
The Representativeness Heuristic ....................................................................................... 3
The Confirmation heuristic ................................................................................................. 3
The Affect Heuristic (pengaruh heuristik).......................................................................... 4
Teori Bias ........................................................................................................................... 5
PROSPECT THEORY ........................................................................................................... 5
FRAMING THEORY ............................................................................................................ 6
PROBABILISTIC MENTAL MODEL ................................................................................. 8
FUZZY THEORY .................................................................................................................. 8
CONTINGENCY THEORY .................................................................................................. 9
TEORI RESOURCE-BASED VIEW (RBV) ........................................................................ 9
TEORI LEGITIMASI (INSTITUSIONAL) ........................................................................ 10
Perspektif Legitimasi Organisasi ...................................................................................... 11
DAFTAR PUSTAKA .............................................................................................................. 13

1
THE NONRATIONAL ESCALATION OF COMMITMENT

Eskalasi komitmen adalah tendensi dari pengambil keputusan untuk tetap bertahan
atau mengeskalasi komitmennya pada serangkaian tindakan yang gagal. Bazerman (1994)
mendefinisikan eskalasi adalah derajat dimana individu mengeskalasikan komitmen untuk
tindakan-tindakan tertentu yang dilakukan sebelumnya sampai satu titik yang melewati model
pengambilan keputusan yang rasional. Staw (1997) menjelaskan bahwa eskalasi komitmen
terjadi ketika individu maupun organisasi memilih serangkaian tindakan untuk tetap bertahan
meskipun tengah ada kerugian yang didapat dimana kesempatan untuk tetap bertahan atau
meninggalkan komitmen tersebut sama-sama memiliki ketidakpastian dalam konsekuensinya.
Fenomena eskalasi sebagai keputusan untuk tetap melanjutkan proyek meskipun prospek
ekonominya mengindikasikan bahwa proyek tersebut harus dihentikan (Ruchala, 1999).
Menurut Santoso (2012), eskalasi komitmen diartikan sebagai fenomena yang menjelaskan
bahwa seseorang memutuskan untuk meningkatkan atau menambah investasinya, walaupun
bukti baru menjelaskan bahwa keputusan yang telah dilakukan adalah salah. Eskalasi
komitmen merupakan tindakan meningkatkan atau memperluas suatu komitmen awal
terhadap suatu proyek atau investasi tertentu meskipun proyek atau investasi 2 tersebut telah
memberikan umpan balik negatif atau tidak menguntungkan (Tanjung, 2012). Koroy (2008)
mengemukakan eskalasi komitmen adalah keputusan untuk melanjutkan proyek bahkan
ketika suatu prospek dalam kondisi ekonomi yang diharapkan mengindikasikan bahwa
proyek tersebut harus dihentikan.

Eskalasi sering dikaitkan dengan perilaku pengabaian atas sinyal kegagalan. Ross dan
Staw (1993) menyebutkan bahwa penyebab timbulnya fenomena eskalasi diantaranya
dipengaruhi oleh faktor-faktor seperti psikologis dan sosial, faktor organisasi, serta faktor
proyek. Faktor psikologis dan sosial menunjukkan adanya sikap ego dan keinginan untuk
menjaga reputasi diri yang membuat seseorang enggan mengakui kesalahan dan kegagalan.
Faktor organisasi menunjukkan adanya permainan politik yang membawa pada minat
terselubung yang ditunjukkan oleh beberapa orang berpengaruh dalam organisasi. Sementara
itu, faktor proyek lebih menunjukkan pada tingkat return kegiatan bisnis yang tidak segera
dicapai.

HEURISTIC & BIAS THEORY

Teori Heuristik berkaitan dengan pemecahan masalah dengan cara menunjukkan


pemikiran seseorang dalam melakukan proses pemecahan sampai masalah tersebut
terselesaikan. Heuristik mungkin tidak selalu mencapai hasil yang diinginkan atau
memecahkan masalah atau mungin justru menimbulkan masalah baru untuk dipecahkan,
tetapi proses heuristik ini dapat teramat berharga pada proses berpikir seseorang di mana
pada proses pemecahan masalah banyak menuntut pemikiran relasional antar komponen yang
membentuk masalah tersebut sehingga dapat meningkatkan kualitas pemikiran yang lebih
tinggi. Heuristik yang baik secara dramatis bisa mengurangi waktu yang diharuskan
memecahkan masalah dengan menghapuskan keperluan untuk mempertimbangkan
kemungkinan atau relasi antar komponen pembentuk masalah yang mungkin tidak relevan
digunakan.

2
Bazerman & Moore (2013), Heuristik mendeskripsikan selanjutnya tidak individual
yang spesifik atau tertentu, penelitian telah menunjukkan bahwa mereka dapat
mengaplikasikan di segala populasi. 4 heuristik umum yatu : The Availability heuristic, The
Representativeness heuristic, The confirmation heuristic, The affect heuristic.

The Availability Heuristic

Orang-orang menilai frekuensi, probabilitas, atau kemungkinan penyebab suatu


peristiwa dengan tingkat yang contoh dan kejadian yang ada di memori (Tversky &
Kahneman 1973). Sebuah kejadian yang membangkitkan emosi dan hidup, mudak
dibayangkan dan spesifik akan lebih tersedia daripada sebuah acara yang bersifat tidak
emosional, hambar, sulit untuk dibayangkan atau samar.

Contohnya bahwahan yang bekerja di dekat kantor manajer cenderung menerima


evaluasi kinerja yang lebih kritis di akhir tahun daripada pekerja yang duduk di aula karena
manajer akan lebih sadar mengenai kesalahan bawahan yang terdekat. Sama dengan manajer
produk yang mendasarkan penilaiannya terhadap kemungkinan kesuksesan produk baru pada
ingatannya tentang keberhasilan dan kegagalan produk serupa di masa lalu

The Representativeness Heuristic

Ketika membuat pertimbangan tentang individu ( atau objek atau kejadian), orang-
orang cenderung mencari sifat individual yang mungkin memiliki respon dengan bentuk
stereotypes sebelumnya. “Seorang ahli botani menetapkan tanaman ke satu spesies bukan
spesies lain dengan menggunakan strategi pertimbangan ini” tulis Nisbett dan Ross (1980,
Hal 7). “tanaman ini dikategorikan sebagai milik spesies yang ciri utamanya paling mirip”.

Manajer juga menggunakan representative heuristic. Mereka mungkin memprediksi


kinerja seseorang bergantung pada kategori yang dibangun dari orang orang yang
individualnya digambarkan untuk mereka. Jika manajer berfikir bahwa seorang sales yang
baik seperti ekstrovet, mantan atlet, atau pria putih contohnya, kemudian manajer akan
menyukai orang-orang semacam itu untuk pekerjaan sales mereka. Sama halnya dengan
banker dan pemodal ventura akan memprediksi kesuksesan dari bisnis baru yang bergantung
pada kemiripan kesuksesan ventura di masa lampau dan ketidaksuksesan ventura. Jika
seorang entrepeneur menganggukan sebuah ide yang mengingakan pemodal ventura seperti
Amazon.com pemiliknya yaitu Jeff Bezos, yang mengingkatkan bahwa pemodal ventura dari
pemilik perusahaan yang kurang sukes.

The Confirmation heuristic

Pertimbangkan tanggapan anda terhadap pertanyaan berikut :

a. Apakah penggunaan ganja terkait dengan kenakalan?


b. Apakah pasangan yang menikah diusia dibawah 25 tahun kemungkinan lebih memiliki
keluarga yang lebih besar daripada pasangan yang menikah diusia tua?

3
Dalam menilai pertanyaan ganja, kebanyakan orang biasanya mencoba mengingat
beberapa pengguna ganja dan mengingat apakah orang-orang ini nakal. Namun analisis yang
tepat akan meminta anda untuk mengingat empat kelompok orang : pengguna ganja yang
nakal, pengguna ganja yang tidak nakal, nakal yang tidak menggunakan ganja, dan bukan
tidak nakal yang tidak juga menggunakan ganja.

Analisis yang sama berlaku untuk pertanyaan tentang pernikahan. Penilaian rasional
apakah mereka yang menikah muda lebih cenderung memiliki keluarga besar daripada
mereka yang menikah nanti termasuk dalam 4 kelompok : pasangan yang menikah muda dan
memiliki keluarga besar, pasangan yang menikah muda dan memiliki keluarga kecil,
pasangan yang menikah di usia tua dan memiliki keluarga besar, dan pasangan yang menikah
dalam usia tua memiliki keluarga kecil. Memang setidaknya ada empat situasi terpisdah yang
harus dipertimbangkan saat menilai hubungan antara dua peristiwa dengan asumsi masing-
masing hanya memiliki dua kemungkinan hasil. Namun, oengambilan keputusan sehari-hati
kita biasanya mengabaikan fakta ini. Sebagai gantinya, kita secara intuitif menggunakan data
selektif saat menguji hipotesis seperti contoh dimana variabel peminat (misalnya penggunaan
ganja atau pernikahan dini) ada (klayman & Ha 1987). Fokus kami pada data selektif atau
kemungkinan efek tunggal seperti kenakalan atau keluarga besar dapat menyebabkan kita
mengabaikan penyebab alternatif dari efek tersebut dan menyimpulkan bahwa hubungan
antara sebab akibat tunggal yang kita pertimbangkan lebih kuat daripada kenyataan
(Fernbach,Darlow& Sloman 2011). Dengan demikian kita dapat menyimpulkan bahwa
penggunaan ganja memiliki hubungan yang lebih kuat dengan kenakalan yang terjadi pada
kenyataan dan bahwa pernikahan dini memiliki hubungan dengan keluarga besar daripada
yang terjadi pada kenyataannya.

The Affect Heuristic (pengaruh heuristik)

Sebagian besar penilaian kami mengikuti evaluasi afektif atau emosional yang terjadi
bahkan sebelum penalaran tingkat tinggi terjadi (Kahneman 2003). Sementara evaluasi
afektif ini sering tidak disadari, slovic, finucane, peters, dan MacGregor (2002) memberikan
bukti bahwa orang-orang tetap menggunakannya sebagai dasar keputusan mereka daripada
melakukan analisis dan proses penalaran yang lebih lengkap.

Sebuah manifestasi dari sistem 1 berpikir, mempengaruhi heuristik adalah semua yang
lebih mungkin digunakan saat orang sibuk atau berada di bawah batasan waktu (Gilbert,
2002). misalnya, penilaian karyawan potensial dapat dipengaruhi oleh berbagai variabel yang
mempengaruhi pengaruh manajer, terlepas dari kualitas pemohon. Variabel ini bisa
mencakup suasana hati manajer atau sejauh mana pemohon mengingatkan manajer tentang
pasangan ini atau mantan pasangannya. Kondisi lingkungan yang mengubah perasaan
masyarakat juga bisa mempengaruhi pengambilan keputusan. Harga saham naik pada hari
yang cerah, mungkin karena suasana hati dan optimisme yang baik akibat cuaca. dan
perasaan bisa menimpa keputusan yang lebih beralasan di pengadilan. bukti menunjukkan
bahwa juri memutuskan hukuman dan penghargaan sebagian besar berdasarkan perasaan
marah mereka daripada penilaian logis atas bahaya yang diciptakan oleh terdakwa
(Kahneman, schkade & sunstein 1998).

4
Teori Bias

Teori bias bisa mempengaruhi kita dalam mengambil suatu keputusan. Bisa jadi
keputusan yang diambil tidak sesuai dengan logika akal sehat. Bias kognitif merupakan pola
sistematis penyimpangan dari norma atau rasionalitas dalam penilaian dimana penilaian
terhadap orang lain dan situasi menjadi sesuatu yang tidak masuk akal. Individu membuat
sendiri realitas sosial berdasarkan persepsi dan masukan infor yang mereka peroleh sendiri.
Dan hal ini dapat mempengaruhi kebiasaan mereka di dunia sosial. Maka dari itu boas
kognitif bisa menyebabkan distorsi persepsi penilaian yang tidak akurat, intepretasi yang
tidak logis atau tidak masuk akal.

Terdapat macam-macam bias yaitu anchoring bias. Pada hal ini biasanya orang akan
sangat percaya dan bergantung pada informasi yang mereka dapat pertama kali. Contohnya
ketika ingin membeli mobil atau motor bekas yang dilihat pertama kali adalah jumlah
kilometer yang telah ditempuh, padahal hal itu bukanlah parameter untuk menentukan mobil
itu bagus atau tidak tapi dapat dilihat juga perawatan mesinnya. Yang kedua yaitu Blindspot
Bias. Artinya bias kognitif yang mengakui dampak bias pada penilaian orang lain, gagal
untuk melihat dampak dari bias pada penilaian sendiri. Contoh misalnya kita melakukan test
IQ dan ternyata hasilnya rendah, kita tidak merasa percaya akhirnya kita melakukan test IQ
lagi di tempat yang lain dan ternyata hasilnya tinggi meskipun testnya kurang valid. Ketiga
Choice-supportive Bias yaitu ketika orang memilih sesuatu dan orang tersebut cenderung
memberi nilai positif terhadap pilihannya. Keempat Confirmation bias yaitu kecenderungan
orang untuk mendukung informasi yang menegaskan keyakinan atau hipotesis mereka.
Kelima Conservatism Bias yaitu ketika orang lebih percaya dalam teori yang lama daripada
teori yang baru. Keenam Information Bias yaitu kecenderungan untuk mencari informasi
yang sudah jelas tidak mempengaruhi suatu kejadian dll.

PROSPECT THEORY

Brockner (1992) dalam M.Nur dkk (2012), penelitian ini berargumen bahwa teori
prospek tidaklah mampu sepenuhnya menjelaskan sebab-sebab terjadinya eskalasi komitmen.
Lebih spesifik lagi, teori prospek dapat menjelaskan eskalasi tergantung dari kondisi-kondisi
tertentu dalam pengambilan keputusan. Kondisi-kondisi itu mencakup juga atribut-atribut
pribadi dari para pengambil keputusan. teori prospek (Bazerman, 1984; Kahneman dan
Tversky, 1979) memusatkan analisisnya pada bagaimana informasi disajikan dan
pemprosesan kognitifnya. Dalam teori prospek, tiap keputusan dibuat setelah informasi
terlebih dahulu disaring melalui „decision frame‟ atau „bingkai keputusan‟ oleh pengambil
keputusan atau “konsepsi atas tindakan, hasil dan kontinjensi yang berkaitan dengan pilihan
tertentu” (Kahneman dan Tversky, 1979).

Putut Tri (2012) Teori prospek merupakan teori yang dikembangkan oleh Daniel
Kahneman dan Amos Tversky. Teori ini berawal dari penelitian yang dilakukan oleh
Kahneman & Tversky (1979) mengenai perilaku manusia yang dianggap aneh dan
kontradiktif dalam mengambil suatu keputusan. Subjek penelitian yang sama dengan
beberapa pilihan yang sama namun diformulasikan dengan cara yang berbeda maka hasil

5
keputusan seseorang akan berbeda. Kahneman & Tversky (1979) menamakan perilaku orang
tersebut sebagai risk aversion behavior dan risk seeking behavior. Misalnya : dalam pasar
modal apabila harga saham naik maka orang cenderung akan menjual sahamnya agar
mendapatkan keuntungan (selling fast), sedangkan apabila harga saham turun maka orang
akan cenderung menahan saham tersebut dengan harapan saham tersebut dapat naik kembali
dan tidak mengalami kerugian (not selling). Perilaku tersebut juga dapat dikategorikan
sebagai risk aversion dan risk seeking.

Dalam teori prospek, Kahneman & Tversky (1979) mengungkapkan bahwa seseorang
akan mencari informasi terlebih dahulu kemudian akan dibuat beberapa“decision frame” atau
konsep keputusan. Setelah konsep keputusan dibuat maka seseorang akan mengambil
keputusan dengan memilih salah satu konsep yang menghasilkan expected utility yang
terbesar. Konsep keputusan tersebut dipengaruhi oleh beberapa hal antara lain formulasi
masalah yang dihadapi, horma atau kebiasaan, karakteristik para pengambil keputusan.

Beberapa penelitian mengenai teori prospek antara lain penelitian yang dilakukan oleh
White, dkk (1993). Penelitian White, dkk (1993) menggunakan teori prospek untuk
memprediksi ketaatan wajib pajak. Hasil penelitian White, dkk menunjukkan bahwa wajib
pajak yang berada pada posisi due tax memiliki kecenderungan untuk lebih tidak taat dalam
memenuhi kewajiban pajaknya dibandingkan dengan wajib pajak yang berada pada posisi tax
refund. Olah karena itu, teori prospek menunjukkan bahwa orang yang memiliki
kecenderungan irasional untuk lebih enggan mempertaruhkan keuntungan (gain) daripada
kerugian (loss). Apabila seseorang dalam posisi untung maka orang tersebut cenderung untuk
menghindari risiko atau disebut risk aversion, sedangkan apabila seseorang dalam posisi rugi
maka orang tersebut cenderung untuk berani menghadapi risiko atau disebut risk seeking.
Glen Whyte (1993), Meskipun teori prospek sangat terkait dengan perilaku pilihan
individu, adalah mungkin untuk meningkatkan teori prospek ke tingkat analisis kelompok.
Proses yang akan dibahas menyiratkan bahwa pengambilan keputusan kelompok harus
memiliki dua dampak utama 1. Kecenderungan eskalasi akan lebih sering terjadi daripada
dalam pengambilan keputusan individual 2. Kecenderungan eskalasi akan lebih parah
daripada dalam pengambilan keputusan individual.

FRAMING THEORY

Dalam hal ini framing teori berasal dari kata frame yang dimana berarti bingkai yang
dimana berdasarkan Wikipedia Analisis framing merupakan salah satu metode analisis
media, seperti halnya analisis isi dan analisis semiotik. Secara sederhana, Framing adalah
membingkai sebuah peristiwa, atau dengan kata lain framing digunakan untuk mengetahui
bagaimana perspektif atau cara pandang yang digunakan wartawan atau media massa ketika
menyeleksi isu dan menulis berita. Framing merupakan metode penyajian realitas di mana
kebenaran tentang suatu kejadian tidak diingkari secara total, melainkan dobelokkan secara
halus, dengan memberikan penonjolan pada aspek tertentu. Penonjolan aspek-aspek tertentu
dari isu berkaitan dengan penulisan fakta. Ketika aspek tertentu dari suatu peristiwa dipilih,
bagaimana aspek tersebut ditulis. Hal ini sangta berkaitan dengan pamakaian diksi atau kata,
kalimat, gambar atau foto, dan citra tertentu untuk ditampilkan kepada khalayak. Analisis

6
framing digunakan untuk mengkaji pembingkaian realitas (peristiwa, individu, kelompok,
dan lainnya) yang dilakukan oleh media massa. Pembingkaian tersebut merupakan proses
konstruksi, yang berarti realitas dimaknai dan direkonstruksi dengan cara dan makna tertentu.
Akibatnya, hanya bagian tertentu saja yang lebih bermakna, lebih diperhatikan, dianggap
penting, dan lebih mengena dalam pikiran khalayak. Dalam praktik, analisis framing banyak
digunakan untuk melihat frame surat kabar, sehingga dapat dilihat bahwa masing-masing
surat kabar sebenarnya meiliki kebijakan politis tersendiri.
Dalam hal ini menurut L carter dalam Gilang Desti suatu frame memiliki ciri-ciri sebagai
berikut:
1) Melakukan perorganisasian (organizing). Framing bervariasi dalam bagaimana
framing memframing informasi dengan sukses, komprehensif, dan lengkap.
Bagaimana frame diorganisasikan tidaklah sekedar rangkuman bagian-bagian pada
kisah tertentu melainkan frame-frame merupakan sesuatu yang lebih besar daripada
satu kisah saja sebab berita-berita peristiwa biasanya memiliki referensi ke sesuatu
yang serupa atau telah terjadi sebelumnya.
2) Mengandung prinsip-prinsip (principles). Frame didasarkan pada prinsip-prinsip
abstrak dan tidak sama dengan teks-teks yang mana framing muncul
memanifestasikan dirinya. Frame memiliki kualitas-kualitas abstrak, alat atau
‘skemata’ interpretasi yang mengarahkan pembacaan atas suatu isu atau peristiwa
spesifik ke dalam pemahaman tertentu (Carter, ibid.). Oleh karena frame
mengorganisasi informasi, mau tidak mau frame merupakan bagian dari seprangkat
struktur atau ideologi sosial yang dapat terbaca pada teks.
3) Dihayati bersama (socially shared). Suatu frame pada derajat tertentu dapat dipahami
oleh banyak orang karena adanya penghayatan budaya yang sama. Suatu peristwa
diinterpretasi seeorang lalu hal itu dikisahkan ke orang lain dalam frame tertentu.
Adanya penghayatan bersama memungkinkan frame tersebut dapat dipahami dan
dianggap penting pula oleh orang yang mengkisahkan maupun bagi para
pendengarnya.
4) Berlaku ajeg (persistent). Signifikansi frame terletak pada durabilitas yaitu keajegan
dan penggunaan rutin dari waktu ke waktu. Frame-frame yang berpengaruh adalah
frame yang ajeg dari waktu ke waktu dan bukan tidak mungkin frame yang sering
muncul itu dianggap sebagai realitas itu sendiri. Keajegan, pengulangan terus
menerus suatu frame menciptakan makna-makna yang kebal akan perubahan.
Informasi di masa depan yang terdiri dari peristwa yang serupa akan diproses dan
dibandingkan dengan kejadian masa lalu, yang kemudian diinterpretasi oleh frame.
semakin ajeg suatu frame, semakin sering frame tersebut digunakan sebagai
komparator untuk informasi baru.
5) Terrepresentasi secara simbolis (symbolic). Frame dapat dikenali pada bentuk-bentuk
ekspresi simbolis. Teknik-teknik frame bekerja dengan menggunakan simbol-simbol
yang diharapkan jurnalis dapat mempengaruhi audiens. Representasi-representas
simbolis itu dkomunikasikan pada berbagai level yang jauh di bawah ‘permukaan’
atau konten yang manifes.
6) Mengandung struktur (structure). Frame-frame terorganisir dengan pola-pola atau
struktur-struktur, yang bervariasi pada kompleksitasnya. Ketika sebuah isu dibingkai

7
pertama kali, pola-pola mungkin belum terlihat. Namun ketika media meliput isu-isu
terkait peristiwa itu kemudian, pola frame muncul dan menjadi struktur dominan yang
mempengaruhi interpretasi
Entman (1993: 56), teori framing bermanfaat untuk mengarahkan perhatian para
sarjana mengenai bagaimana suatu teks mengandung kuasa. Ia menyarankan untuk
menjadikan framing sebagai pradigma riset, yaitu teori umum yang menjadi prinsip keilmuan
pada suatu pengoperasian dan hasil-hasil dari sistem pemikiran dan aksi tertentu.

PROBABILISTIC MENTAL MODEL

Dalam hal ini berdasarkan Chang dalam zahid (2017) menjelaskan terkait teori mental
probabilistik yang dikembangkan oleh Gigerenzer dalam zahid (2017)yang menjelaskan dan
memprediksiperilaku individu yang terlalu percaya diri dalam pengambilan keputusan.
Kuhberger (1995) mengemukakan bahwa teori mental probabilistik dapat digunakan untuk
menjelaskan framing effect. Gigerenzer menjelaskan bahwa seseorang dihadapkan dalam dua
pilihan alternatif. Pertama, local mental model akan dibentuk oleh individu yang digunakan
untuk menyelesaikan masalah berdasarkan memori jangka panjang dan operasi logika
dasar. Pada umumnya local mental model dapat digunakan jika (1) angka yang epat dapat
diambil dari memory jangka panjang untuk membandingkan alternatif, (2) fitur informasi
yang berkaitan dengan alternatif tidak tumpang tindih dan (3) operasi logika dasar. Kedua,
jika permasalahan tidak dapat diselesaikan secara langsung dengan menggunakan local
mental model maka akan menggunakan probabilistic mental model. Menurut Teori
probabilistic mental model, untuk membuat keputusan, hal pertama yang dilakukan individu
adalah membuat sebuah kelas referensi untuk masalah khusus. Gigerenzer et al. (1991)
mengungkapkan bahwa probabilistic mental model berbeda dengan local mental model
dalam beberapa aspek. Pertama, pada kelas referensi dari objek. Kedua, pada variabel
ditambah dengan solusi strategi.

FUZZY THEORY

Logika fuzzy diperkenalkan oleh Prof. Lotfi Astor Zadeh pada 1962. Logika fuzzy
adalah metodologi sistem kontrol pemecahan masalah, yang cocok untuk diimplementasikan
pada sistem, mulai dari sistem yang sederhana, sistem kecil, embedded system, jaringan PC,
multichannel atau workstation berbasis akuisisi data dan sistem kontrol. Menurut (Sutojo,
2011), ada beberapa alasan mengapa orang menggunakan logika fuzzy,antara lain (1) Konsep
logika fuzzy mudah dimengerti. Konsep matematis yang mendasaripenalaran fuzzy sangat
sederhana dan mudah dimengerti. (2) Logika fuzzy sangat fleksible (3) Logika fuzzy
memiliki toleransi terhadap data-data yang tidak tepat. (4) Logika fuzzy mampu memodelkan
fungsi-fungsi nonlinier yang sangat kompleks. (5) Logika fuzzy dapat membangun dan
mengaplikasikan pengalaman-pengalaman para pakar secara langsung tanpa harus melalui
proses pelatihan. (6) Logika fuzzy dapat bekerjasama dengan teknik-teknik kendal secara
konvensional. (7) Logika fuzzy didasarkan pada bahasa alami. (Kusumadewi S. , 2003) Pada
teori himpunan fuzzy, peranan derajat keanggotaan sebagai penentu keberadaan elemen
dalam suatu himpunan sangatlah penting. Nilai keanggotaan atau derajat keanggotaan atau

8
membership function menjadi ciri utama dari penalaran dengan logika fuzzy tersebut.
(Kusumadewi S. P., 2010)
Sebelum munculnya teori logika fuzzy (fuzzy logic), dikenal sebuah logika tegas
(crisp logic) yang memiliki nilai benar atau salah secara tegas. Sebaliknya logika fuzzy
merupakan sebuah logika yang memiliki nilai kekaburan atau kesamaran (fuzzyness) antara
benar dan salah. Dalam teori logika fuzzy sebuah nilai bisa bernilai benar atau salah secara
bersamaan namun berapa besar kebenaran dan kesalahan suatu nilai tergantung kepada bobot
keanggotaan yang dimilikinya.
CONTINGENCY THEORY

Teori kontingensi mengatakan bahwa desain dan penggunaan dari sistem


pengendalian tergantung pada pengaturan perusahaan dimana pengendalian tersebut
dioperasikan. Padupadan yang sesuai antara sistem pengendalian dan variabel kontingensi
kontekstual diperkirakan akan menghasilkan kinerja perusahaan atau individual yang
semakin meningkat. Teori kontingensi timbul sebagai respon dari pendekatan universal yang
menyatakan bahwa desain pengendalian yang optimal itu dapat diterima pada semua
pengaturan dan perusahaan.
TEORI RESOURCE-BASED VIEW (RBV)

Teori Resources-Based View of the firm ( RBV) adalah teori yang mengemuka menjelang
tahun 1990-an dalam bidang manajemen strategis. Teori RBV ini mencoba untuk
menjelaskan mengapa dalam industri yang sama terdapat perusahaan yang sukses sementara
banyak yang tidak sukses. Menurut Barney (1991) dalam Mulyono (2013), sukses tidaknya
sebuah perusahaan akan sangat ditentukan oleh kekuatan dan kelemahan yang ada dalam
internal perusahaan, bukan lingkungan eksternalnya, dengan asumsi:
1. Adanya heterogenitas sumber daya dalam perusahaan; dan
2. Beberapa sumber daya yang ada dalam perusahaan bersifat sulit untuk dikopi atau
tidak elastik dalam pasokannya (Ferreira et al., 2011).
Heterogenitas sumber daya perusahaan memiliki arti bahwa dalam sebuah industri tidak
mungkin semua perusahaan mampu memiliki sumber daya yang persis sama. Heterogenitas
sumber daya ini disebabkan oleh adanya kemampuan perusahaan, termasuk masalah
finansial, dan masa lalu perusahaan yang saling berbeda. Ada beberapa sumber daya
perusahaan yang akan sulit dikopi oleh pesaingnya, terutama dalam masalah sumber daya
manusianya. Dengan kata lain keberhasilan perusahaan amat ditentukan oleh sumber daya
yang dimilikinya dan kapabilitas perusahaan yang mampu merubah sumber daya itu menjadi
sebuah economic benefit (Ferreira et al., 2011).
Inti dari teori RBV adalah competitive advantage, ketika perusahaan memiliki sumber
daya yang unik dan sulit ditiru oleh para pesaingnya atau merupakan superior resources -
yang kemudian diolah melalui kapabilitas perusahaan yang baik, maka perusahaan akan
mampu meraih competitive advantage yang kemudian akan mengarah kepada kinerja unggul
(Ferreira et al., 2011; Fahy, 2000). Sumberdaya perusahaan (Firm Resource) bisa berwujud
(misalnya: pabrik, tanah, kendaraan, bahan baku dan mesin) maupun tidak berwujud (misal:
merk, reputasi dan keahlian, budaya perusahaan, struktur, persepsi dan proses yang dimiliki).

9
Gabungan kedua jenis resources ini amat berperan penting bagi kelangsungan
dan pertumbuhan perusahaan, karena tanpa salah satu resource, tidak mungkin ada
perusahaan yang muncul, karena tidak mungkin akan ada produk yang berhasil
diproduksi untuk kemudian dipasarkan. Tetapi walaupun demikian, dalam upaya
memunculkan keunggulan bersaing yang akan mengarah kepada kinerja perusahaan
yang tinggi, Suraj & Bontis (2012) menyatakan bahwa aset tidak berwujud ini lebih mampu
menciptakan nilai tambah bagi perusahaan yang memastikan tercapainya competitive
advantage. Penciptaan nilai tambah ini dimungkinkan oleh beberapa sifat sumber daya tidak
berwujud yang sulit untuk diimitasi pesaing perusahaaan, antara lain seperti kelangkaannya.
Sementara di lain pihak sumber daya berwujud biasanya gagal memenuhi kondisi yang
diperlukan menjadi sebuah faktor kritis bagi terciptanya sebuah competitive advantage, yaitu:
bernilai, heterogenitas, kelangkaan, durabilitas, mobilitas tidak sempurna, tidak dapat
digantikan dan sulit untuk diimitasi (Cater & Cater, 2009).

TEORI LEGITIMASI (INSTITUSIONAL)

Teori legitimasi berhubungan erat dengan teori stakeholder. Teori legitimasi menyatakan
bahwa organisasi secara berkelanjutan mencari cara untuk menjamin operasi mereka berada
dalam batas dan norma yang berlaku di masyarakat. Dalam perspektif teori legitimasi, suatu
perusahaan akan secara sukarela melaporkan aktifitasnya jika manajemen menganggap
bahwa hal ini adalah yang diharapkan komunitas (Deegan, 2000). Teori legitimasi
bergantung pada premis bahwa terdapat ’kontrak sosial’ antara perusahaan dengan
masyarakat di mana perusahaan tersebut beroperasi. Kontrak sosial adalah suatu cara untuk
menjelaskan sejumlah besar harapan masyarakat tentang bagaimana seharusnya organisasi
melaksanakan operasinya. Harapan sosial ini tidak tetap, namun berubah seiring berjalannya
waktu. Hal ini menuntut perusahaan untuk responsif terhadap lingkungan di mana mereka
beroperasi.
Menurut Guthrie & Parker (1989), jika perusahaan merasa bahwa legitimasinya
dipertanyakan maka dapat mengambil beberapa strategi perlawanan, yaitu:
1) Perusahaan dapat berupaya untuk mendidik dan menginformasikan kepada
stakeholder-nya mengenai perubahan yang terjadi dalam perusahaan.
2) Perusahaan dapat berupaya untuk merubah pandangan stakeholder tanpa mengganti
perilaku perusahaan.
3) Perusahaan dapat berupaya untuk memanipulasi persepsi stakeholder dengan cara
membelokkan perhatian stakeholder dari isu yang menjadi perhatian kepada isu lain
yang berkaitan dan menarik.
4) Perusahaan dapat berupaya untuk mengganti dan mempengaruhi harapan pihak
eksternal tentang kinerja (performance) perusahaaan.
Dalam teori legitimasi, organisasi harus secara berkelanjutan menunjukkan telah beroperasi
dalam perilaku yang konsisten dengan nilai social. Hal ini seringkali dapat dicapai melalui
pengungkapan (disclosure) dalam laporan perusahaan (Wilmshurst & Frost, 2000).
Organisasi dapat menggunakan disclosure untuk mendemonstrasikan perhatian manajemen
akan nilai sosial, atau untuk mengarahkan kembali perhatian komunitas akan keberadaan
pengaruh negatif aktifitas organisasi. Sejumlah studi terdahulu melakukan penilaian atas

10
pengungkapan lingkungan sukarela laporan tahunan dan memandang pelaporan informasi
lingkungan dan sosial sebagai metode yang digunakan organisasi untuk merespon tekanan
publik (Guthrie & Parker, 1990).
Berdasarkan kajian tentang teori stakeholder dan teori legitimasi, dapat disimpulkan
bahwa kedua teori tersebut memiliki penekanan yang berbeda tentang pihak-pihak yang dapat
mempengaruhi luas pengungkapan informasi di dalam laporan keuangan perusahaan. Teori
stakeholder lebih mempertimbangkan posisi para stakeholder yang dianggap powerfull.
Kelompok stakeholder inilah yang menjadi pertimbangan utama bagi perusahaan dalam
mengungkapkan dan/atau tidak mengungkapkan suatu informasi di dalam laporan keuangan.
Sedangkan teori legitimasi menempatkan persepsi dan pengakuan publik sebagai dorongan
utama dalam melakukan pengungkapan suatu informasi di dalam laporan keuangan.
Perspektif Legitimasi Organisasi

1. Perspektif Institutional Legitimacy


Perspektif ini memandang bahwa legitimasi merupakan produk dari sistem, organisasi
bertindak agar terlihat masuk akal, perusahaan yang penting bertindak yang sesuai
legitimasi, meski kurang memperhatikan efisiensi. DiMaggio & Powell (1983)
mengatakan bahwa, organisasi akan berupaya untuk menyesuaikan diri atau isomorphic
(sama dalam tampilan tetapi berbeda didalamnya) akibat tekanan dari luar jika ingin
bertahan hidup. Menurut Meyer & Rowan (1977), banyak posisi, kebijakan, program,
dan prosedur organisasi modern dipengaruhi oleh opini publik, pandangan konstituen,
dan pengetahuan melalui sistem pendidikan, prestis sosial, hukum, dan pengadilan.
Daft & Lane (2013) mengungkapkan bahwa ada tiga proses bagaimana organisasi
menyesuaikan diri. Pertama, coersive isomorphism yaitu proses penyesuaian menuju
kesamaan dengan “pemaksaan”. Tekanan datang dari pengaruh politik dan masalah
legitimasi. Misalnya, tekanan muncul karena peraturan pemerintah yang memiliki sanksi
bagi yang melanggarnya. Begitu pula dalam sebuah perusahaan milik negara atau
BUMN. BUMN yang sahamnya sebagian besar dimiliki oleh negara mendapatkan
tekanan untuk meningkatkan prestis sosial. BUMN secara tidak langsung diharuskan
memberikan pelayanan yang maksimal karena berada di bawah pengawasan pemerintah.
Pemerintah sebagai pihak yang kompeten dalam urusan negara dianggap lebih mampu
mengawasi jalannya suatu usaha yang nantinya akan bermanfaat bagi seluruh masyarakat
juga. Dengan adanya paksaan dan tekanan, pemerintah memberikan perhatian lebih
kepada BUMN maupun BUMD yang tersebar di seluruh Indonesia. Dalam proses
menyesuaikan diri ini, ketika perusahaan milik negara (BUMN) berhadapan dengan
perusahan lain (BUMD) yang mungkin lebih berkuasa, pemerintah selaku pemegang
saham terbesar BUMN bisa jadi merasa berada dalam tekanan publik, sehingga pihak
pemerintah akan berupaya lebih birokratis agar memenuhi tuntutan masyarakat. Dimana
hal ini lebih mengarah kepada prestis sosial/ memunculkan citra positif bagi BUMN dan
juga pemerintah itu sendiri. Namun, jika BUMN tidak berhasil meningkatkan prestis,
maka citra pemerintah akan dinilai buruk di mata masyarakat.
Kedua, mimetic isomorphism yaitu proses di mana organisasi meniru organisasi lain
yang berhasil dalam satu bidang, meskipun organisasi peniru tidak tahu persis mengapa
mereka meniru, bukan karena dorongan supaya lebih efisien. Menurut DiMaggio &

11
Powell (1983), biasanya proses peniruan ini muncul di lingkungan yang tidak pasti.
Sebagai contoh, manajemen perusahaan Jepang banyak ditiru oleh perusahaan dari
negara lainnya karena dianggap berhasil; pesatnya pertumbuhan hotspot wi-fi di kafe,
hotel, bandara, dan area umum lainnya. Starbucks adalah salah satu perusahaan pertama
yang mengadopsi wi-fi, yang memungkinkan pelanggan untuk menggunakan laptop dan
komputer genggam di tokonya. Praktik ini dengan cepat disalin oleh perusahaan besar
dan kecil. Seringkali, pemodelan ini dilakukan tanpa bukti nyata bahwa kinerja akan
meningkat. Ketiga, normative isomorphism sering diasosiasikan dengan tekanan untuk
berubah untuk mencapai standar profesionalisme dan mengadopsi teknik yang dianggap
oleh komunitas profesional agar up to date dan efektif. Perubahan mungkin terjadi di
area manapun, seperti teknologi informasi, persyaratan akuntansi, teknik pemasaran, atau
hubungan kolaboratif dengan organisasi lain.
2. Perspektif Strategic Legitimacy
Dalam hal ini pendekatannya lebih proaktif. Organisasi yang memperoleh legitimasi
mendapat akses ke sumber daya, dapat bertahan hidup dan berkembang. Dalam hal ini
legitimasi dipandang sebagai sumber daya strategik dan fokus pada inisiatif perusahaan,
karena dapat membantu perusahaan memperoleh sumber daya yang lain. Legitimasi
strategik berbeda dengan legitimasi institusional karena adanya inisiatif untuk bermain di
tengah tekanan berbagai institusi. Organisasi menghadapi berbagai pemangku
kepentingan dan berbagai tekanan, menuntut kepelbagaian pula dalam menghadapinya,
sehingga oorganisasi dapat memainkan inisiatifnya secara subyektif.

12
DAFTAR PUSTAKA

Anonim. 2017. Analisis Framing. Wikipedia Diakses tanggal 20 Februari 2018 dalam
https://id.wikipedia.org/wiki/Analisis_framing
Anonim. Psychology prosedural.
file:///C:/Users/Toshiba/Downloads/bos_01_psychology_procedural.pdf. Diakses 21
februari 2018.
Anonim. 2015. Bias Kognitif. http://www.nicois.me/2015/11/tentang-bias-kognitif-cognitive-
bias.html. Diakses 22 Februari 2018.
Anonim. 2015. Skripsi Nkap Sari.
http://erepo.unud.ac.id/10357/2/f704939250f31344020cf45a0ae2745c.pdf. Diakses 22
Februari 2018.
Cater, Tomaz & Cater, Barbara. 2009. (In)tangible resources as antecedents of a company’s
competitive advantage and performance. Journal for East European Management
Studies, Vol. 14, Issue. 2, pp. 186-209.
Daft, R. L., & Lane, P. G. (2003). Understanding the theory and design of organizations.
Mason: Thomson South-Western.
Deegan, C. (2000). Financial Accounting Theory. McGraw Hill Book Company: Sydney.
Desti Parahita, Gilang. 2017. Teori Framing. Yogyakarta: FISIPOL UGM.
DiMaggio, P., & Powell, W. (1983). The iron cage revisited: Institutional isomorphism and
collective rationality in organizational fields. American Sociological Review, 48(2),
147-160.
Fahy, John. 2000. The Resource-based view of the Firm : some stumbling-blocks on the road
to understanding sustainable competitive advantage. Journal of European Industrial
Training, pp. 94-104.
Ferreira, J.J. & Azevedo, G.S. & Fernandez, R. 2011. Contribution of Resource Based View
and Entrepreneurial Orientation on Small Firm Growth. Cuadernos de Gestin, Vol 11,
no 1, pp.95-116.
Glen Whyte. 1993. Escalating Commitment in Individual and Group Decision Making : A
Prospect thepry Approach. Organizational Behavior and Human Decision Proceses 54,
430-455 (1993).
Guthrie, J. & Parker, L.D. (1989). Corporate social reporting: A rebuttal of legitimacy theory.
Accounting and Business Research, Vol 19 No 76, pp. 343-52.
Guthrie, J. & Parker, L.D. (1990). Corporate social disclosure practice: A comparative
international analysis. Advances in Public Interest Accounting, Vol 3, pp. 159-75.
Istanti, S. L. W. (2013). Teori Kontingensi, Sistem Pengendalian Manajemen Dan Keluaran
Perusahaan: Hasil Yang Lalu Dan Arah Masa Depan. Potensio, 18(2).
Max H. Bazerman, Don A. Moore. 2013. Judgment in Managerial Decicion Making. John
Wiley & Sons, Inc. Eight Edition.
Meyer, J. & B. Rowan (1977). Institutionalized organizations: Formal structure as myth and
ceremony. American Journal of Sociology, 83, pp. 340-363

13
M.Nur Yahya dan Jen Surya. 2012. Pengaruh Franing Effect Sebagai Determinan Escalation
of Commitment Dalam Keputusan Investasi:Dampak dari Working Experiences. Jurnal
Akuntansi Vol.14 No.2 November 2012: 153-164.
Mulyono, F. (2013). Sumber Daya Perusahaan dalam Teori Resource-based View. Jurnal
Administrasi Bisnis, 9(1).
Putut Tri Aryobimo. 2012. Pengaruh Persepsi Wajib Pajak tentang Kualitas Pelayanan
Fiskus terhadap Kepatuhan Wajib Pajak dengan Kondisi Keuangan Wajib Pajak dan
Preferensi Risiko sebagai Variabel Moderating. Skripsi.
Suraj, Olunifesi Adekunle & Bontis, Nick. 2012. Managing intellectual capital in Nigerian
telecommunications companies. Journal of Intellectual Capital, Vol. 13 No. 2, pp. 262-
282.
Tang, Y. (2017). A Summary of Studies on Organizational Legitimacy. Open Journal of
Business and Management, 5(3), 487–500.
Wibowo, S. (2015). Penerapan Logika Fuzzy Dalam Penjadwalan Waktu Kuliah. Jurnal
Informatika Upgris, 1(1 Juni).
Wilmshurst T. & Frost, G. (2000). Corporate environmental reporting: A test of legitimacy
theory. Accounting, Auditing and Accountability Journal, Vol.13, No. 1, pp. 17.
Zahid Mozamil, Mohammad. 2017. Pola Penyajian Informasi, Urutan Informasi Dan Framing
Effect Dalam Pengambilan Keputusan Investasi. Stie Perbanas.

14

You might also like