You are on page 1of 16

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Ada suatu kecenderungan alamiah yang menganggap peradangan sebagai
sesuatu yang tidak diinginkan, karena peradangan dapat menyebabkan keadaan
yang menggelisahkan. Tetapi peradangan sebenarnya adalah gejala yang
menguntungkan dan pertahanan, yang hasilnya adalah netralisasi dan pembuangan
agen penyerang, penghancuran jaringan nekrosis, dan pembentukan keadaan yang
dibutuhkan untuk perbaikan dan pemulihan.
Sifat menguntungkan dari reaksi peradangan secara drmatis diperlihatkan
dengan apa yang terjadi jika penderita tidak dapat menimbulkan reaksi
peradangan yang dibutuhkan. Misalnya, jika diperlukan memberikan dosis
tinggi obat-obatan yang mempunyai efek samping yang menekan reaksi
peradangan. Dalam hal ini, , ada peluang besar timbulnya infeksi yang sangat
hebat, penyabaran yang cepat atau infeksi yang mematikan, yang disebabkan oleh
mikroorganisme yang biasanya tidak berbahaya.
Reaksi peradangan itu sebenarnya adalah peristiwa yang terkoodinasi
dengan baik yang dinamis dan kontinyu. Untuk menimbulkan reaksi peradangan,
maka jaringan harus hidup dan khususnya harus memiliki mikrosirkulasi
fungsional. Jika jaringan yang nekrosis luas, maka reaksi jaringan tidak ditemukan
ditengah jaringan, tetapi pada tepinya, yaitu antara jaringan mati dan jaringan
hidupdengan sirkulasi yang utuh. Juga jika cidera yang langsung mematikan
hospes, maka tidak ada petunjuk adanya reaksi peradangan, karena untuk
timbulnya reaksi peradangan diperlukan waktu.
Sebab-sebab peradangan banyak sekali dan beraneka ragam, dan penting
sekali untuk diketahui bahwa peradangan dan infeksi itu tidak bersinonim.
Dengan demikian, maka infeksi (adanya mikrooganisme hidup dalam jaringan)
hanya merupakan salah satu penyebab dari peradangan. Peradangan dapat terjadi
denagan mudah steril sempurna, seperti waktu sebagian jaringan mati karena
hilangnya suplai darah. Karena banyaknya keadaan yang mengakibatkan
peradangan, maka pemahaman proses ini merupakan dasar bagi ilmu biologi dan

1
kesehatan. Tanpa memahami proses ini, orang tidak dapat memahami prinsip-
prinsip penyakit manular, pembedahan, penyembuhan luka, dan respon terhadap
berbagai trauma atau prinsip-prinsip bagaimana tubuh menanggulangi bencana
kematian jaringan, sperti stroke, serangan jantung dan sebagainya.
Walaupun ada banyak sekali penyebab peradangan dan ada berbagai
keadaan dimana dapat timbulnya peradangan, kejadiannya secara garis besar
cenderung sama, hanya saja pada pada berbagai jenis peradangan terdapat
perbedaan secara kuanntitatif. Oleh karena itu, reaksi peradangan dapat dipelajari
sebagai gejala umum dan memperlakukan perbedaan kuantitatif secara sekunder.

1.2 Rumusan Masalah


1. Pengertian peradangan
2. Gambaran makroskopis peradangan akut
3. Aspek cairan pada peradangan
4. Aspek seluler dari peradangan
5. Jenis dan fungsi leukosit
6. Bentuk peradangan
7. Faktor-faktor yang mempengaruhi peradangan dan penyembuhan
8. Aspek sistemik dari proses peradangan

2
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Pengertian Peradangan


Bila sel-sel atau jaringan tubuh mengalami cidera atau mati, selama hospes
tetap hidup, ada respon yang mencolok pada jaringan hidup disekitarnya, respon
tersebut itulah yang dinamakan dengan peradangan.
Secara khusus, peradangan adalah reaksi vaskuler yang hasilnya
merupakan pengiriman cairan, zat-zat terlarut pada sel-sel dari sirkulasi darah ke
jaringan-jaringan interstisial pada daerah cidera atau nekrosis.

2.2 Gambaran Mikroskopis Peradangan Akut


Peradangan akut adalah respon langsung dari tubuh terhadap cideraatau
kematian sel. Gambaran mikroskopis peradangan sudah diuraikan 2000 tahun
yang lampau dan masih dikenal sebagai tanda-tanda pokok peradangan yang
mencakup kemerahan (rubor), panas (kalor), nyeri (dolor), dan pembengkakan
(tumor).
Tanda pokok yang kelima ditambahkan pada abad sekarang ini, yaitu perubahan
fungsi
(function laesa).

1. Rubor (kemerahan)
Rubor biasanya merupakan hal pertama yang terlihat pada daerah yang
mengalami peradangan. Waktu reaksi peradangan mulai timbul, maka arteriol
yang mensuplai daerah daerah tersebut melebar, dengan demikian lebih bannyak
darah mengalir kedalam mikrosirkulasi local. Kapiler-kapiler yang sebelumnya
kosong atau sebagian saja yang meregang dengan cepat akan terisi oleh darah.
Keadaan ini yang dinamakan hyperemia atau kongesti, menyebabkan warna
merah lokal karena peradangan akut. Timbulnya hyperemia pada permulaan
reaksi peradangan diatur oleh tubuh, baik secara neurogenik maupun secara kimia,
melalui pengeluaran zat seperti histamine.

3
2. Kalor (panas)
Kalor terjadi bersamaan dengan kemerahan dari reaksi peradangan akut.
Sebenarnya panas merupakan sifat reaksi peradangan yang hanya terjadi pada
permukaan tubuh, yang dalam keadaan normal lebih dingin dari 370 C, yaitu suhu
dalam tubuh. Daerah peradangan pada kulit menjadi lebih panas dari
sekelilingnya, sebab darah (pada suhu 370 C) yang disalurkan tubuh ke
permukaan daerah yang terkena lebih lebih banyak dari pada yang disalurkan
kedaerah normal. Fenomena panas lokal ini tidak terlihat pada daerah-daerah yang
terkena radang jauh didalam tubuh, karena jaringan-jaringan tersebut sudah
mempunyai suhu inti 370 C dan hyperemia tidak menimbulkan perubahan.

3. Dolor (nyeri)
Dolor dari reaksi peradangan dapat disebabkan oleh beberapa hal,
misalnya, bahan pH lokal atau kongesti lokal ion-ion tertentu dapat merangsang
ujung-ujung saraf. Pengeluaran zat kimia tertentu seperti histamin atau zat kimia
bioaktif lainnya juga dapat merangsang sel-sel saraf. Selain itu, pembengkakan
jaringan yang meradang juga dapat mengakibatkan penigkatan tekanan lokal yang
tanpa diragukan lagi juga dapat menimbulkan nyeri.

4. Tumor (pembengkakan)
Segi paling mencolok dari peradangan akut mungkin adalah
pembengkakan lokal (tumor). Pembengkakan ditimbulkan oleh pengiriman cairan
dan sel-sel dari sirkulasi darah kejaringan-jaringan interstisial. Campuran dari
cairan dan sel yang tertimbun paada daerah peradangan disebut eksudat, pada
keadaan dini reaksi peradangan , sebagian besar eksudat adalah cair, seperti yang
terjadi pada lepuhan yang disebabkan oleh luka bakar ringan. Kemudian sel-sel
darah putih atau leukosit meninggalkan aliaran darah dan tertimbun sebagai
bagian dari eksudat.

5. Function laesa (perubahan fungsi)

4
Adalah reaksi peradangan yang telah dikenal, sepintas lalu mudah
dimengerti, mengapa bagian yang bengkak, nyeri disertai denagn sirkulasi
abnormal dan lingkungan kimiawi yang abnormal, berfungsi juga secara
abnormal. Namun sebetulnya kita tidak mengetahui secara mendalam dengan cara
apa fungsi jaringan yang meradang itu terganggu.

2.3 Aspek Cairan pada Peradangan


Biasanya dinding saluran darah yang terkecil (kapiler dan venula)
memungkinkan molekul-molekul kecil lewat, tetapi akan menahan molekul-
molekul yang besar seperti protein plasma untuk tetap didalam lumen pembuluh.
Sifat pembuluh yang semipermeabel ini menyebabkan gaya osmotik yang
cenderung untuk menahan cairan dalam pembuluh. Hal ini juga diimbangi oleh
dorongan keluar dari tekanan hidrostatik didalam pembuluh. Pergeseran cairan
dalam reaksi peradangan sangat cepat. Eksudat dari peradangan luka bakar akibat
cidera termal mengandung protein plasma yang cukup berarti. Jadi, peristiwa
penting dari peradangan akut adalah perubahan permeabilitas pembuluh-
pembuluh yang sangat kecil yang menyebabkan kebocoran protein dan diikuti
pergeseran keseimbangan osmotik dan air keluar bersama protein, sehingga
menimbulkan pembengkakan jaringan. Dilatasi arteriol yang menimbulkan
hiperemia lokal dan kemerahan juga mengakibatkan kenaikan tekanan
intravaskuler lokal, karena pembuluh darah penuh.
Dalam sistem limfatik, biasanya ada penembusan lambat cairan interstisial
kedalam saluran limfe jaringan dan limfe yang terbentuk dibawa kesentral dalam
badan dan bergabung kembali kedarah vena. Daerah yang terkena radang biasanya
terjadi kenaikan yang mencolok pada aliran limfe daerah tersebut. Selama
peradangan akut, tidak hanya aliran limfe yang bertambah, tetapi kandungan
protein dan sel dari cairan limfe juga bertambah dengan cara yang sama seperti
pada sistem vaskuler darah.
Tetapi sebaliknya, bertambahnya aliran bahan-bahan melalui pembuluh
limfe menguntungkan, karena cenderung mengurangi pembengkakan jaringan
yang meradang dengan mengosongkan sebagian dari eksudat.

5
Bila pembuluh limfe terkena radang, disebut dengan limfangitis dan jika kelenjar
limfe yang terkena radang, maka disebut dengan limfadenitis. Limfadenitis
regional sering menyertai peradangan, salah satu contoh yang terkenal adalah
pembesaran kelenjar limfe servikal, yang nyeri terlihat pada tonsillitis.

2.4 Aspek Seluler pada Peradangan


1. Marginal dan Emigrasi
Pada awal peradangan akut, waktu arteriol berdilatasi, aliran darah radang
bertambah, namun sifat aliran darah segera berubah. Hal ini disebabkan karena
cairan bocor keluar dari mikrosirkulasi yang permeabilitasnya bertambah.
Sejumlah besar dari eritrosit, trombosit dan leukosit ditinggalkan, dan viskositas
naik, sirkulasi didaerah yang terkena radang menjadi lambat. Hal menyebabkan
leukosit akan mengalami marginasi, yaitu bergerak kebagian arus perifer
sepanjang aliran pembulh darah, dan mulai melekat pada endotel. Akibatnya
pembuluh darah tampak seperti jalan berbatu, peristiwa ini disebut dengan
emigrasi.

2. Kemotaksis
Pergerakan leukosit pada interstisial dari jaringan yang meradang, waktu
mereka sudah beremigrasi, merupakan gerakan yang bertujuan. Hal ini disebabkan
adanya sinyal kimia. Fenomena ini disebut dengan kemotaksis.

3. Mediator peradangan
Banyak substansi yang dikeluarkan secara endogen, yang dikenal dengan
substansi dari peradangan.
Mediator dapat digolongkan kedalam beberapa kelompok:
 Amina vasoaktif
 Substansi yang dihasilkan oleh sistem enzim plasma
 Metabolit asam arakhidona
 Berbagai macam produk sel

4. Histamine

6
Amina vasoaktif yang terpenting adalah histamin, yang mampu
menghasilkan vasodilatasi dan penigkatan permeabilitas vaskuler. Sebagian besar
histamin disimpan dalam sel mast yang tersebar luas dalam tubuh.

5. Factok-faktor plasma
Plasma darah adalah sumber yang kaya akan sejumlah mediator penting.
Agen utama yang mengatur sistem ini adalah faktor Hageman (faktor XII), yang
berada dalam plasma, dalam bentuk tidak aktif dan dapat diaktifkan oleh berbagai
cidera.

6. Metabolit asam arakhidonat


Berasal dari banyak fosfolipid membrane sel, ketika fosfolipid diaktifkan
oleh cidera atau mediator lain. Asam arakhidonat dapat dimetabolisasikan dalam
dua jalur yang berbeda, yaitu jalur siklooksigenase dan jalur lipoksigenase,
menghasilkan sejumlah prostaglandin, trombokson dan leukotrin.

2.5 Jenis dan Fungsi Leukosit


a. Granulosit
Granulosit terdiri dari netrofil, eosinofil dan basofil, masing-masing
memiliki granula dalam sitoplasma.
Sel-sel pertama yang timbul dalam jumlah besar didalam eksudat adalah netrofil.
Netrofil mampu bergerak aktif seperti amoeba dan mampu menelan berbagai zat
(fagositosis).
Eosinofil memberikan respon terhadap rangsangan kemotaktik khas
tertentu pada reksi alergi dan mengandung zat-zat yang toksik terhadap parasi-
parasit tertentu dan zat-zat yang memperantarai peradangan.
Basofil berasal dari sumsum tulang seperti granulosit lainnya. Basofil darah
dan sel mast jaringan dirangsang untuk melepaskan kandungan granulanya
kedalam lingkungan sekitarnya pada berbagai keadaan cidera, baik rekasi
imunologis maupun reaksi nonspesifik.

7
b. Monosit
Merupakan bentuk monosit yang berbeda dari granulosit, karena susunan
morfologi intinya dan sift sitoplasmanya yang relatif agranular. Sel yang sama,
yang terdapat dalam pembuluh darah disebut juga dengan monosit, dan jika
terdapat dalam eksudat, disebut dengan makrofag.
Makrofag mempunyai fungsi yang sama denganfugsi netrofil
polimorfonuklear, dimana makrofag adalah sel yang bergerak aktif yang memberi
respon terhadap rangsang kemotaksis, fagosit aktif dan mampu mematikan serta
mencerna berbagai agen.

c. Limfosit
Umumnya terdapat pada eksudat dalam jumlah yang sangat kecil, dalam
waktu yang cukup lama, yaitu sampai reaksi peradangan menjadi kronik.
Leukosit yang telah dimobilisasi tidak hanya menangkap mikroba yang menyerbu,
tetapi juga menghancurkan sisa jaringan hingga proses perbaikan dapat dimulai.

2.6 Bentuk Peradangan


1. Eksudat nonseluler
 Eksudat serosa
Jenis eksudat nonseluler yang paling sederhana adalah eksudat serosa, yang
pada dasarnya terdiri dari protein yang bocor dari pembuluh-pembuluh darah saat
radang. Contoh eksudat serosa adalah cairan luka melepuh. Pengumpulan yang
disebabkan oleh tekanan hidrostatik, bukan disebabkan oleh peradangan, disebut
dengan transudat.

 Eksudat fibrinosa
Terbentuk jika protein yang dikeluarkan dari pembuluh dan terkumpul pada
daerah peradangan yang mengandung banyak fibrinogen. Eksudat fibrinosa sering
dijumpai diatas permukaan serosa yang meradang.

 Eksudat misinosa

8
Jenis eksudat ini hanya dapat terbentuk diatas membrane mukosa, dimana
terdapat sel-sel yang dapat mensekresi musin. Eksudat ini merupakan sekresi sel,
bukan dari bahan yang keluar dari pembuluh darah. Contoh eksudat ini adalah
pilek yang disertai berbagai infeksi pernapasan bagian atas.

2. Eksudat seluler
 Eksudat netrofilik
Disebut juga dengan purulen yang terbentuk akibat infeksi bakteri. Infeksi
bakteri sering menyebabkan konsentrasi netrofil yang luar biasa tingginya
didalam jaringan, banyak dari sel-sel ini mati dan membebaskan enzim-enzim
hidrolisis yang kuat kesekitarnya.

 Eksudat campuran
Campuran eksudat seluler dan nonseluler, dinamakan sesuai dengan
campurannya. Misalnya, eksudat fibrinopurulen terdiri dari fibrin dan netrofil
polimorfonuklear.

3. Peradangan granulamatosa
Jenis radang ini ditandai dengan pengumpulan makrofag dalam jumlah
besar dan pengelompokannya menjadi gumpalan nodular yang disebut granuloma.

2.7 Reaksi Peradangan


Bila jaringan cedera misalnya karena terbakar, teriris atau karena infeksi
oleh kuman, maka pada jaringan ini akan terjadi rangkaian reaksi yang
menyebabkan musnahnya agens yang membahayakan jaringan atau yan mencegah
agens ini menyebar lebih luas. Reaksi-reaksi ini juga kemudian juga
menyebabkan jaringan yang cedera diperbaiki atau diganti dengan jaringan baru.
Rangkaian reaksi yang terjadi pada tempat jaringan cedera ini disebut
radang. Reaksi peradangan merupakan reaksi defensif (pertahanan diri) sebagai
respon terhadap cedera berupa reaksi vaskular yang hasilnya merupakan
pengiriman cairan, zat-zat yang terlarut dan sel-sel dari sirkulasi darah ke

9
jaringan-jaringan interstitial pada daerah cedera atau nekrosis. Peradangan dapat
juga dimasukkan dalam suatu reaksi non spesifik, dari hospes terhadap infeksi.
Hasil reaksi peradangan adalah netralisasi dan pembuangan agen penyerang,
penghancuran jaringan nekrosis dan pembentukan keadaan yang dibutuhkan untuk
perbaikan dan pemulihan.

Syarat reaksi radang adalah :


1. Jaringan harus hidup.
2. Memiliki mikrosirkulasi fungsional.
Bentuk peradangan dapat timbul didasarkan atas jenis eksudat yang
terbentuk, organ atau jaringan tertentu yang terlibat dan lamanya proses
peradangan. Tata nama proses peradangan memperhitungkan masing-masing
variable ini. Berbagai eksudat diberi nama deskriptif, berdasarkan lamanya respon
peradangan disebut akut, subakut dan kronik. Lokasi reaksi peradangan disebut
dengan akhiran -tis yang ditambahkan pada nama organ (misalnya; apendisitis,
tonsillitis, gastritis dan sebagainya).
Peradangan dan infeksi itu tidak sinonim. Pada infeksi ditandai adanya
mikroorganisme dalam jaringan, sedang pada peradangan belum tentu, karena
banyak peradangan yang terjadi steril sempurna. Jadi infeksi hanyalah merupakan
sebagian dari peradangan.

2.8 Faktor yang Mempengaruhi Peradangan dan Penyembuhan


Seluruh proses peradangan bergantung pada sirkulasi yang utuh kedaerah
yang terkena. Jadi, jika ada defisiensi suplai darah kedaerah yang terkena, maka
proses peradangannya sangat lambat, infeksi yang menetap dan penyembuhan
yang jelek.
Banyak faktor yang mempengaruhi penyembuhan luka atau daerah cidera
atau daerah peradangan lainnya, salah satunya adalah bergantung pada poliferasi
sel dan aktivitas sintetik, khususnya sensitif terhadap defisiensi suplai darah lokal
dan juga peka terhadap keadaan gizi penderita.
Penyembuhan juga dihambat oleh adanya benda asing atau jaringan nekrotik
dalam luka, oleh adanya infeksi luka dan immobilisasi yang tidak

10
sempurna.Komplikasi pada penyembuhan luka kadang-kadang terjadi saat proses
penyembuhan luka. Jaringan parut mempunyai sifat alami untuk memendek dan
menjadi lebih padat, dan kompak setelah beberapa lama. Akibatnya adalah
kontraktur yang dapat membuat dareah menjadi cacat dan pembatasan gerak pada
persendian.
Komplikasi penyembuhan yang kadang-kadang dijumpai adalah amputasi
atau neuroma traumatik, yang secara sederhana merupakan poliferasi regeneratif
dari serabut-serabut saraf kedalam daerah penyembuhan dimana mereka terjerat
pada jaringan parut yang padat.

2.9 Aspek Sistemik dari Peradangan


Demam adalah fenomena umum yang sering terjadi sejajar dengan proses
peradangan lokal, yang manular maupun yang tidak manular. Penyebab demam
adalah dilepaskannya pirogen endogendari netrofil dan makrofag. Zat-zat ini
mempengaruhi pusat pengaturan suhu dihipotalamus. Hal lain yang mencolok
yang mengikuti proses peradangan lokal adalah perubahan-perubahan
hematologis yang biasa ditemukan.
Rangsangan yang berasal dari pusat peradangan yang mempengaruhi proses
pendewasaan (maturasi) dan pengeluaran leukosit dari sumsum tulang yang
mengakibatkan kenaikan jumlah suatu leukosit, kenaikan ini disebut dengan
leukositas. Pada cidera yang hebat, gejala berupa malaise, anoreksia dan
ketidakmampuan melakukan sesuatu yang beratnya berbeda-beda, bahkan sampai
tidak berdaya melakukan apapun.

2.10 Pemulihan Jaringan


Reaksi radang akan diikuti oleh upaya pemulihan jaringan yaitu upaya
penggantian sel parenkim yang rusak dengan sel yang baru melalui regenerasi
atau menggantinya dengan jaringan ikat. Reaksi radang akan berhenti bila
penyebab dapat dimusnahkan.
Pemulihan jaringan merupakan proses akhir dari suatu radang menuju
penyembuhan, sedangkan penyembuhan merupakan proses atau cara memperbaiki
jaringan yang rusak Penyembuhan luka dan pemulihan jaringan. Jaringan yang

11
rusak akan segera dipulihkan. Pemulihan jaringan yang cedera dilakukan dengan
pemusnahan dan pembuangan jaringan yang rusak, regenarasi sel atau
pembentukan jaringan granulasi.

1. Pemulihan melalui regenerasi parenkim yang rusak


Kemampuan regenerasi sel tergantung pada jenis sel
a. Sel labil. Sel ini mempunyai kemampuan regenerasi yang tinggi terjadi
pada penggantian terus menerus, mengganti sel yang rusak pada proses fisiologis.
Sel labil mempunyai fase Go yang singkat (fase istirahat). Sel yang hilang
merupakan stimulus untuk sel. Contoh : sel limfoid, sel hematopoetik, sel
epiteltraktus digestivus, saluran nafas, epitel traktus urinarius, sel germinal alat
kelamin pria dan wanita, dan sel basal epitel. Pemulihan jaringan yang
mengandung sel labil dapat terjadi bilamana masih dijumpai sel labil yang cukup.
b. Sel stabil. Mempunyai kapasitas regenerasi terbatas, mengganti sel yang
mati. Sel-sel tersebut berada pada fase Go pada waktu yang lama. Tetapi
mempunyai kemampuan untuk masuk siklus mitosis sel dimana dibutuhkan.
Contoh : sel hati, sel pancreas, kelenjar eksokrin dan pembuluh darah. Pemulihan
jaringan dpat terjadi bilamana terdapat jaringan penunjang sel parenkim masih
baik.
c. Sel permanen. Sel ini tidak dapat diganti bila rusak. Sel permanen tidak
mempunyai kemampuan membelah setelah kehidupan post natal. Contoh : neuron
saraf pusat maupun saraf tepi, otot jantung. Pemulihan jaringan hanya terjadi
melalui pembentukan jaringan ikat. Tidak terjadi regenerasi. Kerusakan sel
permanen merupakan kelainan ireversibel dan bilamana luas akan mengakibatkan
gangguan fungsional permanen.

2. Pemulihan jaringan dengan pembentukan jaringan granulasi


Jaringan yang rusak akan diganti oleh jaringan granulasi

3. Penyembuhan luka
Akibat suatu radang tergantung pada kuatnya reaksi radang, lamanya dan
luasnya serta organ yang terlibat. Luka akibat pisau operasi yang steril akan
sembuh segera dan disebut penyembuhan per primam, sedangkan luka yang luas

12
akibat trauma memerlukan waktu lebih lama dan tidak akan sembuh secara
sempurna (penyembuhan per sekundam)
A. Penyembuhan primer terjadi melalui beberapa tahap :
1. Timbulnya perdarahan dan pembekuan darah pada daerah luka. Darah akan
keluar dari pembuluh darah yang rusak dan mengisi jaringan interstisial.
Fibrin akan terbentuk mengisi daerah yang rusak.
2. Radang terjadi fagositosis jaringan nekrotik oleh sel radang serta tempat
untuk tumbuhnya pembuluh darah baru.
3. Pembentukan jaringan granulasi. Sel radang terutama sel makrofag akan
mengeluarkan zat yang akan memicu timbulnya angioblas dan fibroblast.
Pada awal penyembuhan, fibroblast mempunyai kemampuan kontraktil dan
disebut myofibroblas yang mengakibatkan tepi luka akan melekat. Jaringan
granulasi kaya akan pembuluh darah, dan akan membawa mikrofag yang
kemudian akan menstimulasi proliferasi fibroblas dan angioblas.
4. Pembentukan jaringan parut. Dengan berlangsungnya penyembuhan maka
fobroblas bertambah. Sel ini menghasilkan kolagen sehingga terjadi
perubahan dari jaringan granulasi menjadi jaringan parut kolagen.
5. Perbaikan jaringan parut. Terjadi melalui proses reorganisasi sehingga
jaringan tersebut mempunyai kekuatan dan daya elastic
6. Regenerasi epitel permukaan.

B. Penyembuhan sekunder terjadi pada luka yang luas, tepi luka berjauhan
sehingga terbentuk rongga yang diisi oleh beku darah dan jaringan nekrotik.
Proses selanjutnya sama dengan penyembuhan per primam tetapi memakan waktu
lebih lama dan pembentukan jaringan granulasi lebih mencolok.
Berbagai faktor yang menghambat pemulihan jaringan :
1. Usia lanjut. Kemampuan untuk terjadinya reaksi radang yang adekuat,
menurun dengan bertambanya usia
2. Gizi. Metabolism sel akan terganggu pada keadaan manultrisi
3. Penurunan imunitas
4. Penyakit tertentu misalnya diabetes yang mengakibatkan gangguan sirkulasi
sehingga memperlambat reaksi vaskuler.

13
5. Tumor ganas. Tumor ganas misalnya leukemia akan menghambat mobilisasi
lekosit
6. Obat. Obat sitostatik akan mengakibatkan penekanan fungsi sumsum tulang.
7. Infeksi. Misalnya infeksi akibat jamur, bakteri.
8. Kerusakan akibat reaksi radang. Radang yang mengakibatkan fistula,
perforasi atau abses akan menghalangi penyembuhan.
C. Akibat radang yang tidak diinginkan :
1. Perforasi
Proses radang yang menjalar ke seluruh organ akan mengakibatkan kerusakan
dinding dan dapat mengakibatkan perforasi atau ruptur.
Jaringan appendiks dapat mengalami perforasi dan seluruh isi feses dapat tersebar
ke rongga abdomen dan mengakibatkan peritonitis.
Radang purulen tuba akan mengakibatkan radang purulen pada berbagai organ
dalam pelvis.
2. Pembentukan fistula
3. Fibrosis luas
a. Keloid ialah jaringan kolagen yang dibentuk berlebihan akan
mengakibatkan jaringan parut luas.
b. Obstruksi usus karena timbulnya jaringan ikat yang mengakibatkan
gerakan usus terganggu
c. Sterilitas terjadi karena penutupan tuba Fallopii oleh jaringan ikat
d. Kontraktur. Jaringan otot lurik yang diganti jaringan ikat akan
mengakibatkan kontraksi daerah yang terkena
4. Abses luas pada otak, hati yang dibatasi oleh jaringan ikat kan sulit
sembuh
5. Jaringan parut pada otak akan mengakibatkan epilepsy fokal
6. Perlekatan pleura, paru dan dinding toraks akibat proses pemulihan
jaringan.

14
BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Dapat kita simpulkan bahwa radang bukanlah suatu penyakit, melainkan
manifestasi dari suatu penyakit. Dimana radang merupakan respon fisiologis
lokal terhadap cidera jaringan. Radang dapat pula mempunyai pengaruh yang
menguntungkan, selain berfungsi sebagai penghancuran mikroorganisme yang
masuk dan pembuatan dinding pada rongga akses, radang juga dapat mencegah
penyebaran infeksi. Tetapi ada juga pengaruh yang merugikan dari radang, karena
secara seimbang radang juga memproduksi penyakit. Misalnya, abses otak dan
mengakibatkan terjadinya distori jaringan yang permanen dan menyebabkan
gangguan fungsi.

3.2 Saran
Harapan penulis, semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi pembaca.
Dengan membaca dan mempelajari isi makalah ini, diharapkan pengetahuan
pembaca tentang radang dapat bertambah, serta mengerti tentang akibat dan
pengaruh yang disebabkan oleh radang itu sendiri. Penulis
menyadari bahwapenulisan makalah ini belum sempurna dan masih
banyak terdapat kekurangan, untuk itu kritik dan saran yang sifatnya membangun
sangat diharapkan demi perbaikan penulisan yang akan datang.

15
DAFTAR PUSTAKA

Price, Dkk. 1995. Potofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit Edisi 4,

Buku 1. Jakarta: Buku Kedokteran EGC

Tambayong, dr. Jan.2000. Patofisiologi untuk keperawatan. Jakarta: Buku

Kedokteran EGC

J. Corwin, Elisabeth. 2007. Buku Saku Patofisiologi. Jakarta: Buku Kedokteran

EGC

16

You might also like