Professional Documents
Culture Documents
Makalah Agama Terapan Fiqih Mu'Amalah
Makalah Agama Terapan Fiqih Mu'Amalah
FIQIH MU’AMALAH
DOSEN :
Muhammad Syaikhon, S.H.I., M.H.I. (1304854)
KELOMPOK 6 :
ANGGOTA PENYUSUN
1. Niken Ayu Kusumawardani (6130014026)
2. Rahmaniah Ulfah (6130014027)
3. Athiyatul Ulya (6130014028)
4. Nurma Islamiyah (6130014029)
5. Dana Madya Puspita (6130014030)
Segala puji dan syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT Yang Maha
Esa, karena atas berkat dan limpahan rahmat serta nikmatNyalah kami dapat
menyelesaikan sebuah makalah dengan tepat waktu. Berikut ini kami
persembahkan sebuah makalah dengan judul “Fiqih Mu’amalah” yang menurut
kami dapat memberikan manfaat yang besar untuk mempelajari lebih dalam
tentang sewa rahim dalam pandangan islam.
Makalah ini disusun secara khusus untuk memenuhi tugas Agama
Terapan. Pada kesempatan ini penulis sampaikan terima kasih kepada Muhammad
Syaikhon, S.H.I., M.H.I. karena berkat beliau kami dapat menyelesaikan makalah
ini. Kami mengharapkan saran dan kritik yang bersifat membangun guna
menyempurnakan makalah ini di masa yang akan datang agar lebih baik dan bisa
bermanfaat bagi semua orang.
Dalam menyusun makalah ini, penulis mengalami berbagai kendala, di
antaranya keterbatasan buku serta jurnal nasional maupun internasional yang
dijadikan sebagai tinjauan dan referensi. Meskipun demikian, penulis telah
berusaha mengumpulkan data-data yang cukup untuk menyelesaikan makalah ini.
Dengan ini kami mempersembahkan makalah ini dengan penuh rasa
terimakasih dan semoga Allah SWT memberkahi makalah ini sehingga dapat
memberikan manfaat.
Penulis
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Fiqih merupakan bidang ilmu yang membahas tentang hukum-
hukumamaliyyah mustanbathah (praktis) yang diambil dari dalil-dalilnya secara
terinci. Adapun fiqih muamalah adalah salah satu dari cabang fiqih, yang mana di
dalamnya mengatur hubungan antara satu individu dengan individu lain, atau
antara individu dengan negara Islam, dan negara Islam dengan negara lain.
Adapun dalam pembahasan kali ini akan dibahas mengenai asuransi
syari’ah, asuransi konvensional, syirkah, dan riba’ dimana ketiganya merupakan
bagian dari fiqih muamalah. Asuransi syari’ah, asuransi konvensional, syirkah,
dan riba’ merupakan sesuatu yang berhubungan dengan kegiatan perekonomian di
suatu negara, termasuk di Indonesia. Ketiganya sudah tak asing lagi di telinga
masyarakat.
Asuransi syariah adalah sebuah usaha untuk saling melindungi dan saling
tolong menolong di antara sejumlah orang, di mana hal ini dilakukan melalui
investasi dalam bentuk aset (tabarru) yang memberikan pola pengembalian untuk
menghadapi risiko tertentu melalui akad (perikatan) yang sesuai dengan syariah.
Dalam asuransi syariah, diberlakukan sebuah sistem, di mana para peserta akan
menghibahkan sebagian atau seluruh kontribusi yang akan digunakan untuk
membayar klaim jika ada peserta yang mengalami musibah.
Asuransi Konvensional adalah asuransi yang berdasarkan jual beli,
sehingga tentu akan berbeda dengan jenis asuransi yang lain. Asuransi
Konvensional mengembang misi perusahaan yaitu ekonomi dan sosial. Asuransi
Konvensional, sumber penghasilan lebih di dasarkan pada sistem bunga yang
sangat mungkin mengandung unsur spekulatif dan riba.
Syirkah berarti kerja sama antara dua orang atau lebih dalam berusaha
yang keuntungan dan kerugiannya ditanggung bersama.
Riba merupakan bentuk suatu penambahan dari pembayaran yang telah
jatuh tempo. Banyak orang yang menyamakan riba dengan kegiatan jual beli.
Anggapan tersebut jelaslah salah, karena keduanya memiliki perbedaan yang
sangat mencolok yang dapat dilihat dari aktivitas dan akibatnya. Riba memiliki
macam-macam dan sebab-sebab yang mengakibatkan terjadinya riba, yang sudah
tentu harus sangat diperhatikan dengan hukumnya.
Selain itu asuransi syari’ah, asuransi konvensional, syirkah, dan riba’,
semua kegiatan ekonomi ini pun harus mendapat perhatian, karena keabsahannya
pun masih dipertanyakan oleh para ulama. Oleh karena itu, untuk mengetahui
lebih jelas mengenai pembahasan asuransi syari’ah, asuransi konvensional,
syirkah, dan riba’, akan di bahas pada pembahasan makalah kali ini.
B. RUMUSAN MASALAH
Berdasarkan latar belakang diatas, maka rumusan masalah yang diambil yaitu:
1. Apa saja hal – hal yang harus diperhatikan dari asuransi syari’ah ?
2. Apa saja hal – hal yang harus diperhatikan dari asuransi konvensional ?
3. Apa saja hal – hal yang harus diperhatikan dari syirkah ?
4. Apa saja hal – hal yang harus diperhatikan dari riba’ ?
C. TUJUAN MAKALAH
Tujuan dari pembuatan pembahasan kali ini yaitu:
1. Untuk mengetahui hal – hal yang terdapat dalam asuransi syari’ah
2. Untuk mengetahui hal – hal yang terdapat dalam asuransi konvensional
3. Untuk mengetahui hal – hal yang terdapat dari syirkah
4. Untuk mengetahui hal – hal yang terdapat dari riba’
BAB 2
PEMBAHASAN
Asuransi Syariah
a. Prinsip Asuransi Syariah
Suatu asuransi diperbolehkan secara syar'i, jika tidak menyimpang
dari prinsip – prinsip dan aturan – aturan syariat Islam. Untuk itu dalam
muamalah tersebut harus memenuhi ketentuan – ketentuan sebagai berikut:
Asuransi syariah harus dibangun atas dasar taawun (kerja sama ), tolong
menolong, saling menjamin, tidak berorentasi bisnis atau keuntungan
materi semata. Allah SWT berfirman," Dan saling tolong
menolonglah dalam kebaikan dan ketaqwaan dan jangan saling
tolong menolong dalam dosa dan permusuhan."
Asuransi syariat tidak bersifat mu'awadhoh, tetapi tabarru' atau
mudhorobah.
Sumbangan (tabarru') sama dengan hibah (pemberian), oleh karena itu
haram hukumnya ditarik kembali. Kalau terjadi peristiwa, maka
diselesaikan menurut syariat.
Setiap anggota yang menyetor uangnya menurut jumlah yang telah
ditentukan, harus disertai dengan niat membantu demi menegakan
prinsip ukhuwah. Kemudian dari uang yang terkumpul itu diambilah
sejumlah uang guna membantu orang yang sangat memerlukan.
Tidak dibenarkan seseorang menyetorkan sejumlah kecil uangnya
dengan tujuan supaya ia mendapat imbalan yang berlipat bila terkena
suatu musibah. Akan tetepi ia diberi uang jamaah sebagai ganti atas
kerugian itu menurut izin yang diberikan oleh jamaah.
Apabila uang itu akan dikembangkan, maka harus dijalankan menurut
aturan syar'i.
b. Ciri-ciri Asuransi syari'ah
Asuransi syariah memiliki beberapa ciri utama :
1. Akad asuransi syari'ah adalah bersifat tabarru', sumbangan yang
diberikan tidak boleh ditarik kembali. Atau jika tidak tabarru', maka
andil yang dibayarkan akan berupa tabungan yang akan diterima jika
terjadi peristiwa, atau akan diambil jika akad berhenti sesuai dengan
kesepakatan, dengan tidak kurang dan tidak lebih. Atau jika lebih maka
kelebihan itu adalah kentungan hasil mudhorobah bukan riba.
2. Akad asuransi ini bukan akad mulzim (perjanjian yang wajib
dilaksanakan) bagi kedua belah pihak. Karena pihak anggota ketika
memberikan sumbangan tidak bertujuan untuk mendapat imbalan, dan
kalau ada imbalan, sesungguhnya imbalan tersebut didapat melalui izin
yang diberikan oleh jama'ah (seluruh peserta asuransi atau pengurus
yang ditunjuk bersama).
3. Dalam asuransi syari'ah tidak ada pihak yang lebih kuat karena semua
keputusan dan aturan-aturan diambil menurut izin jama'ah seperti dalam
asuransi takaful.
4. Akad asuransi syari'ah bersih dari gharar dan riba.
5. Asuransi syariah bernuansa kekeluargaan yang kental.
B. Syirkah
Syirkah dalam fiqih Islam ada beberapa macam: di antaranya yang
kembali kepada perjanjiannya, dan ada juga yang kembali kepada kepemilikan.
Dari sisi hukumnya menurut syariat, ada yang disepakati boleh, ada juga yang
masih diperselisihkan hukumnya.
1. Definisi
Syirkah dalam bahasa Arabnya berarti pencampuran atau interaksi.
Bisa juga artinya membagikan sesuatu antara dua orang atau lebih menurut
hukum kebiasaan yang ada.
Sementara dalam terminologi ilmu fiqih, arti syirkah yaitu:
Persekutuan usaha untuk mengambil hak atau beroperasi. Aliansi
mengambil hak, mengisyaratkan apa yang disebut Syirkatul Amlak.
Sementara aliansi dalam beroperasi, mengisyaratkan Syirkatul Uqud
(Syirkah Transaksional).
2. Masyru'iyah
Syirkah disyariatkan berdasarkan Al – Quran Al – Kariem, As –
Sunnah dan Al – Ijma'.
ُ فَإِن كَانُ َواْ أ َ ْكث َ َر ِمن ذَلِكَ فَ ُه ْم
ِ ُش َركَاء فِي الثُّل
ث
tetapi jika saudara-saudara seibu itu lebih dari seorang, maka mereka
bersekutu dalam yang sepertiga itu…" (QS. An-Nisa: 12).
Saudara – saudara seibu itu bersekutu atau beraliansi dalam
memiliki sepertiga warisan sebelum dibagi-bagikan kepada yang lain.
َ ش ْيءٍ فَأ َ َّن ِ هلِلِ ُخ ُم
ُ سه َ َوا ْعلَ ُمواْ أَنَّ َما َغنِ ْمتُم ِ همن
Ketahuilah, sesungguhnya apa saja yang dapat kamu peroleh sebagai
rampasan perang, maka sesungguhnya seperlima untuk Allah. (QS. Al-
Anfal: 41).
Harta rampasan perang adalah milik Rasulullah dan kaum
muslimin secara kolektif sebelum dibagi-bagikan. Mereka semua – nya
beraliansi dalam kepemilikan harta tersebut.
Riwayat yang shahih bahwa al – Barra bin Azib dan Zaid bin
Arqam keduanya bersyarikat dalam perniagaan. Mereka membeli barang-
barang secara kontan dan nasi’ah. Berita itu sampai kepada Rasulullah a.
Maka beliau memerintahkan agar menerima barang – barang yang mereka
beli dengan kontan dan menolak barang – barang yang mereka beli dengan
nasi'ah.
4. Syirkatu Inan
Syirkatu Inan adalah kerja sama dua pihak atau lebih dengan modal
mereka bersama, untuk berusaha bersama dan membagi keun-tungan
bersama. Jadi merupakan persukutan dalam modal, usaha dan keuntungan.
Syirkah semacam ini dibolehkan berdasarkan ijma'. Kalaupun ada
perbedaan, hanya dalam beberapa bentuk rincian dan satuannya.
a. Rukun Syirkatu Inan
Rukun syirkatu inan adalah [1] adanya dua pihak, [2] adanya
objek transaksi, dan [3] adanya pelafalan akad.
1) Dua Pihak
Dua pihak yang menjadi transaktor. Keduanya harus
memiliki kompetensi, yakni akil baligh dan mampu membuat pilihan.
Boleh saja seorang muslim beraliansi dengan non – muslim dengan
catatan pihak non-muslim itu tidak boleh mengurus modal sendirian,
karena dikhawatirkan akan memasuki lubang-lubang bisnis yang
diharamkan.
Kalau segala aktivitas non-muslim itu selalu dipantau oleh
pihak muslim, tidak menjadi masalah. Dan persoalannya akan lebih
bebas dan terbuka bila beraliansi dengan sesama muslim.
2) Objek Transaksi.
Objek transaksi ini meliputi [1] modal, [2] usaha dan [3] keuntungan.
Modal
Disyaratkan dalam modal tersebut harus diketahui. Kalau
tidak diketahui jumlahnya, hanya spekulatif, tentu hukumnya
tidaklah sah. Karena modal itu akan menjadi rujukan ketika aliansi
dibubarkan. Dan hal tidak mungkin dilakukan tanpa mengetahui
jumlah modal.
Selain itu modal harus real, yaitu modal itu memang ada
pada saat transaksi pembelian. Karena dengan itulah aliansi ini bisa
terlaksana, sehingga eksistensinya dibutuhkan. Kalau saat transaksi
tidak ada, maka transaksi dianggap batal. Dan tentu saja modal itu
bukan berupa hutang pada orang yang kesulitan, demi
menghindari terjadinya riba.
Pencampuran modal dan kesamaan jumlahnya bukan
merupakan syarat sahnya bentuk syirkah ini. Akan tetapi garansi
terhadap modal yang hangus hanya bisa dilakukan dalam aliansi ini
dengan adanya pencampuran harta secara hakiki atau secara
justifikatif. Caranya, masing-masing melepaskan modal dari
pengelola dan tanggungjawabnya secara pribadi untuk dimasukkan
dalam pengelolaan dan tanggung jawab bersama.
Usaha
Masing – masing pihak bebas mengoperasikan modalnya
sebagaimana layaknya para pedagang dan menurut kebiasaan yang
berlaku di antara mereka. Kalau orang yang mengelola modal
orang saja bebas mengoperasikan hartanya, apalagi bisnis patner
dalam syirkah ini.
Karena mengelola modal orang lain hanya merupakan
syirkah praktis, bukan syirkah substansial. Sementara dalam kasus
ini yang terjadi adalah syirkah praktis dan sekaligus substansial
secara bersamaan.
Keuntungan
Disyaratkan keuntungan itu harus diketahui jumlahnya.
Kalau jumlahnya tidak diketahui, syirkah tersebut dianggap rusak,
kecuali kalau terdapat kebiasaan setempat yang sudah merata yang
membolehkan pem-bagian keuntungan dengan cara tertentu, hal itu
boleh dilakukan.
Keuntungan itu juga harus merupakan sejumlah
keuntungan dengan prosentasi tertentu. Kalau berupa nilai uang
tertentu saja, maka syirkah itu tidak sah. Karena ada kemungkinan
bahwa aliansi tersebut hanya menghasilkan keuntungan kadar itu
saja, sehingga tidak bisa dibuktikan syirkah dalam keuntungannya.
Boleh saja terdapat perbedaan keuntungan antara sesama
mitra usaha. Tidak disyaratkan bahwa keuntungan harus sesuai
dengan jumlah modal. Itu adalah pen-dapat yang dipilih oleh
Hanafiyah dan Hambaliyah.
3) Pelafalan Akad
Perjanjian dapat terlaksana dengan adanya indikasi ke arah
itu menurut kebiasaan, melalui ucapan dan tindakan, berdasarkan
kaidah yang ada bahwa yang dijadikan ukuran adalah pengertian dan
hakikat sebenarnya, bukan sekedar ucapan dan bentuk lahiriyahnya
saja.
Dan satu hal yang tidak diragukan lagi, bahwa dasar dari
syirkah ini menurut para ulama fiqih adalah penjaminan dan amanah.
Masing-masing dari pihak yang beraliansi menjadi pen-jamin atau
wakil, sekaligus yang mewakilkan kepada yang lain. Ia dapat
beroperasi dalam apa yang menjadi haknya menurut hukum asal, dan
juga dalam apa yang menjadi hak pihak lain dengan status sebagai
wakil. Sementara sudah dimaklumi bahwa wikalah atau penjaminan
adalah perjanjian yang juga dibolehkan ber-dasarkan kesepakatan
ulama. Oleh sebab itu, seseorang tidak boleh memaksa pihak lain
untuk menuruti apa yang menjadi kei-nginannya di bawah intimidasi.
Demikian juga hukum asal dari sistem syirkah ini, karena syirkah ini
juga harus menggunakan penjaminan agar bisa berjalan, dan juga
membutuhkan spon-sorship agar bisa bertahan. Wikalah atau
penjaminan menjadi syarat dalam sistem perniagaan ini, untuk
memulainya dan agar tetap bertahan. Kalau penjaminan itu terputus
dengan pemba-talan dari salah satu pihak, maka hak-hak kepemilikan
bagi masing-masing pihak untuk mengoperasikan modal pihak lain
juga hilang.
Syirkah berakhir dengan kematian salah satu pihak yang
beraliansi, atau karena gila, karena idiot dan sejenisnya.
Syirkah Simultan
Yakni dengan melayangkan modal para pengelola modal
muslim ke dalam sebuah musyarakah yang simultan pada ber-bagai
proyek yang sudah berdiri atau proyek-proyek yang sedang dalam
perencanaan. Kerja sama mereka tersebut terlaksana de-ngan bersama-
sama menanggung untung ruginya acara sama.
Gambaran pertama:
Pihak investor dengan pengelola bersepakat untuk menetapkan
jumlah jatah masing-masing ber-kaitan dengan saham dan syarat-
syaratnya. Lalu saham-saham investor dijual kepada pengelola setelah
syirkah berakhir dengan perjanijian baru, dimana si investor berhak
menjual sahamnya kepada si pengelola sebagai patner usahanya, atau
kepada orang lain. Demikian juga yang berlaku bagi seorang penanam
saham terhadap bank yang mengelola modalnya. Ia berhak menjual sa-
hamnya itu kepada bank sebagai patner usahanya atau kepada pihak lain.
Gambaran kedua:
Hendaknya investor dengan pengelo-lanya bersepakat dalam
syirkah itu untuk pendanaan penuh atau sebagian sebagai biaya
pelaksanaan proyek yang memiliki pros-pek keuntungan. Yakni
berdasarkan kesepakatan bank dengan penanam saham lain, di mana
pihak bank memperoleh prosentase keuntungan bersih yang berbukti
secara riil, di samping haknya untuk tetap menyimpan sisa dana dari
yang telah dikeluarkan, yakni jumlah khusus yang telah disepakati untuk
disisihkan (dana tertahan) untuk menutupi kekurangan pendanaan bank
yang dilakukan oleh pihak bank.
Gambaran ketiga:
Ditentukan bagian bagi pihak investor dan pengelola serta
penanam saham lain dalam satu cara pem-bagian saham yang dapat
menggambarkan total harga barang penjualan sebagai objek syirkah
Masing-masing pihak mendapat-kan jatah keuntungan dari keuntungan
yang pasti. Pihak penanam modal bisa membeli sejumlah saham yang
masih dikuasai bank tersebut setiap tahunnya, sehingga saham-saham
yang masih di tangan bank itu berkurang sedikit demi sedikit, dan pada
akhir-nya pihak penanam modal itu dapat memiliki seluruh saham yang
ada dan menjadi pemilik tunggal dari syirkah tersebut.
Gambaran pertama jelas dibolehkan berdasarkan kesepa-katan
para ulama. Karena perjanjian usaha ini mengandung dua akar yang
terpisah yang masing-masing secara terpisah hukum-nya dibolehkan.
Sedangkan keduanya adalah perjanjian syirkah dan perjanjian jual beli,
sehingga tidak diharamkan dan tidak ada hal yang diragukan. Demikian
juga dengan gambaran ketiga yang tidak berbeda dengan gambaran
pertama, hanya penjualannya saja yang dilakukan secara bertahap,
sementara dalam gambaran pertama dilakukan secara langsung satu kali
saja. Namun kedua-nya tidak diragukan kehalalannya, selama penjualan
itu dila-kukan setelah selesainya syirkah dengan perjanjian terpisah.
Adapun gambaran kedua, masih diselimuti beberapa keran-cuan.
Karena pihak bank telah bekerja sama semenjak pertama dengan
persyaratan modal itu akan kembali kepadanya dengan prosentase
tertentu dari keuntungan proyek.
Yang menyebabkan terjadinya kerancuan tergabungnya dua
halsyirkah dan jual beli dalam satu perjanjian. Kita tidak menga-takan
secara pasti bahwa itu termasuk riba. Karena kalau modal itu hangus,
berarti menjadi kerugian bersama, bukan menjadi tanggung jawab
pengelola saja. Inilah yang membedakan secara signifikan antara
perjanjian usaha ini dengan peminjaman yang menjadi tanggung jawab
peminjam saja. Demikian pula halnya ketika terjadi kerugian, kerugian
itu ditanggung secara bersama.
Di antara hal yang membedakan perjanjian usaha dengan riba
secara signifkan pula adalah bahwa permintaan investor untuk meminta
kembali modal yang telah diberikannya, tergantung pada keberhasilan
proyek dan keuntungan yang didapatkan. Kalau ke-untungan itu tidak
terbukti, si investor tidak bisa mengambil ke-untungan sedikitpun. Hal itu
tidak berpengaruh pada perjanjian usaha syirkah yang dilaksanakan di
antara kedua belah pihak. Jatah bank tetap ada dalam bentuk saham. Dan
pemasukannya juga tetap dalam bentuk jumlah tertentu dari keuntungan.
Hukum – Hukum Syirkatul Abdan (Usaha)
Yakni kerjasama dua pihak atau lebih dalam hasil kerja tangan
mereka. Seperti kesepakatan para pemilik usaha dan kerajinan untuk
menerima pekerjaan dan berserikat dalam hasilnya. Di antara contohnya
misalnya kesepakatan beberapa orang tenaga medis untuk mendirikan
poliklinik dan menerima perawatan orang-orang sakit. Masing-masing
bekerja sesuai dengan spesialisasinya. Kemudian akhirnya mereka
membagi keuntungan bersama. Atau kesepakatan sekelompok mekanik
untuk mengerjakan satu pro-yek perbaikan mobil, masing-masing bekerja
sesuai dengan ketrampilannya, baru kemudian mereka membagi
keuntungan bersama.
Syirkah ini dinamakan juga syirkah shana’i, syirkah taqabbul
dan syirkah ‘amal.
Pertama: Usaha.
Para ulama berbeda pendapat tentang ditetapkannya kesa-tuan
usaha sebagai syarat sahnya kerja sama ini. Kalangan Hana-fiyah dan
Hambaliyah dalam salah satu riwayat pendapat mereka berpendapat
bahwa kesatuan usaha itu tidak disyariatkan. Karena tujuan dari syirkah
tersebut adalah memperoleh keuntungan. Tak ada bedanya antara
keuntungan dari satu jenis usaha atau dari beberapa jenis usaha. Tidak
ada alasan sama sekali untuk mene-tapkan kesatuan usaha sebagai syarat
sahnya syirkahini.
Berbeda halnya dengan kalangan Malikiyah dan juga kalangan
Hambaliyah dalam riwayat lain. Mereka menyatakan disyariatkannya
kesatuan usaha sebagai syarat sahnya syirkahini. Karena konsekuensi
syirkah ini adalah bahwa usaha yang diterima oleh masing-masing pihak
juga ditekankan kepada yang lain. Kalau usaha yang dilakukan berbeda,
hal itu tidak mungkin terjadi.
Kedua: Keuntungan.
Keuntungan dalam syirkah ini adalah berdasarkan kesepa-katan
semua pihak yang beraliansi, dengan cara disamaratakan atau ada pihak
yang dilebihkan. Karena usahalah yang berhak mendapatkan keuntungan.
Sementara perbedaan usaha dalam syirkah ini dibolehkan. Maka juga
dibolehkan juga adanya per-bedaan jumlah keuntungan.
Berdasarkan hal ini, kalau mereka pempersyaratkan usaha
dibagi dua (1-1) dan keuntungannya 1-2, boleh-boleh saja. Karena modal
itu adalah usaha dan keuntungan adalah modal. Usaha bisa dihargai
dengan penilaian kualias, sehingga bisa diperkirakan harganya dengan
prediksi kualitasnya, dan itu tidak diharamkan.
Syirkatul Wujuh
Syirkah wujuh adalah akad yang dilakukan dua pihak atau lebih
untuk membeli sesuatu dengan mempergunakan nama baik mereka
secara berhutang. Bila menghasilkan keuntungan, mereka bagi berdua.
Syirkah jenis ini mengikat dua orang pelaku atau lebih yang
tidak memiliki modal uang. Namun mereka memiliki prestige atau nama
baik di tengah masyarakat sehingga membuka kesempatan buat mereka
untuk bisa membeli secara berhutang. Mereka ber-sepakat untuk
membeli barang secara berhutang dengan tujuan untuk dijual, lalu
keuntungannya jual beli itu mereka bagi ber-sama.
d. Riba
1. Pengertian Riba
Menurut bahasa, riba memiliki beberapa pengertian, yaitu :
a) Bertambah, karena salah satu perbuatan riba adalah memintatambahan
dari sesuatu yang dihutangkan.
b) Berkembang, berbunga, karena salah satu perbuatan ribaadalah
membungakan harta uang atau yang lainnya yangdipinjamkan kepada
orang lain.
c) Berlebihan atau menggelembung.
Sedangkan menurut istilah, yang dimaksud dengan riba
menurut Al – Mali yang artinya adalah “akad yang terjadi atau
penukaran barang tertentu yang tidak diketahui perimbangannya
menurut ukuran syara’, ketika berakad atau dengan
mengakhirkantukaran kedua belah pihak atau salah satu
keduanya”. Menurut Abdurrahman al-Jaiziri, yang dimaksud dengan
ribaialah akad yang terjadi dengan penukaran tertentu, tidak
diketahuisama atau tidak menurut aturan syara’ atau terlambat
salahsatunya.
2. Hukum Riba
Riba itu haram. Banyak ayat-ayat Al-Qur’an yang menerangkan
riba, demikian pula hadis-hadis yang menerangkan larangan riba danyang
menerangkan siksa bagi pelaku riba.Hukum riba haram sebagaimana
firman Allah SWT yang artinya :
“bahwasanya jual-beli itu seperti riba, tetapi Allah menghalalkan
jual-beli dan mengharamkan riba”. (Q.S Al Baqarah, ayat 275).
Dalam hadis, tentang larangan riba dinyatakan :Nabi Muhammad
SAW. bersabda yang artinya :Dari Jabir R.A ia berkata : Rasulullah SAW
telah melaknati orang-orang yang suka makan riba, orang yang jadi
wakilnya, juru tulisnya, orang yang menyaksikan riba. Rasulullah selanjut
bersabda : “merekasemuanya sama”. (dalam berlaku maksiat dan dosa.
Jumhur Ulama membagi riba dalam dua bagian, yaitu riba fadhl dan riba
nasi’ah.
a) Riba Fadhl
Menurut ulama Hanafiyah, riba fadhl adalah tambahan zat
harta pada akad jual – beli yang diukur dan sejenis.Dengan kata lain,
riba fadhl adalah jual-beli yangmengandung unsur riba pada barang
sejenis dengan adanyatambahan pada salah satu benda tersebut.Oleh
karena itu, jika melaksanakan akad jual – beli antar barang yang sejenis,
tidak boleh dilebihkan salah satunyaagar terhindar dari unsur riba.
b) Riba Nasi’ah
Menjual barang dengan sejenisnya, tetapi satu lebih
banyak,dengan pembayaran diakhirkan, seperti menjual satu
kilogramgandum dengan satu tengah kilogram gandum, yang
dibayarkan setelah dua bulan. Contoh jual – beli yang tidakditimbang,
seperti membeli satu buah semangka dengan duabuah semangka yang
akan dibayar setelah sebulan.
Abbas,Usamah Ibn jaid Ibn Arqam, Jubair, Ibn Jabir, danlain-lain
berpendapat bahwa riba yang diharamkan hanyalah riba nasi’ah.
Menurut Ulama Syafi’iyah, membagi riba menjadi tigas jenis :
a) Riba Fadhl
Riba fadhl adalah jual-beli yang disertai adanya tambahansalah
satu pengganti (penukar) dari yang lainnya. Dengan katalain, tambahan
berasal dari penukar paling akhir. Riba ini terjadipada barang yang
sejenis, seperti menjual satu kilogramkentang dengan satu setengah
kilogram kentang.
b) Riba yad
Jual – beli dengan mengakhirkan penyerahan (al – qabdu),
yakni bercerai – cerai antara dua orang yang akad sebelumtimbang
terima, seperti menganggap sempurna jual – beli antaragandum dengan
sya’ir tanpa harus saling menyerahkan danmenerima di tempat akad.
Menurut ulama Hanafiyah, riba ini termasuk riba nnasi’ah yakni
menambah yang tampak dari utang..
Riba Nasi’ah
A. Kesimpulan
Asuransi syariah adalah suatu asuransi diperbolehkan secara syar'i,
jika tidak menyimpang dari prinsip – prinsip dan aturan – aturan syariat Islam.
Asuransi konvensional adalah suatu jenis asuransi yang berdasarkan
kepada jual-beli, sehingga dapat dikatakan asuransi konvensional berbeda
dengan asuransi syariah. Asuransi jenis ini dapat dikatakan asuransi yang
berdasarkan pada investasi dana yang bebas dengan menggunakan aturan dan
prinsip tertentu. Asuransi konvensional ini mengembangkan misi perusahaan
yaitu ekonomi dan juga sosial. Setiap perusahaan-perusahaan asuransi
memiliki kebijakan-kebijakan sendiri, yang menyangkut kesejahteraan para
nasabahnya dan tentunya berbagai kebijakan tersebut harus di patuhi dan di
sepakati bersama-sama. Ada berbagai macam yang bisa diasuransikan
diantaranya seperti jiwa, kesehatan, pendidikan, kepemilikan sesuatu, dan lain-
lain.
Syirkah adalah persekutuan usaha untuk mengambil hak atau
beroperasi. Aliansi mengambil hak, mengisyaratkan apa yang disebut Syirkatul
Amlak. Sementara aliansi dalam beroperasi, mengisyaratkan Syirkatul Uqud
(Syirkah Transaksional). Syirkah terdiri dari dua macam yaitu syirkah Amlak
dan Uqud. Syirkah diperbolehkan berdasarkan ijma’ nya.
Riba ialah penambahan-penambahan yang diisyaratkan oleh orang
yang memiliki harta kepada orang yang meminjam hartanya (uangnya), karena
pengunduran janji pembayaran oleh peminjam dari waktu yang telah
ditentukan. Hukum riba yaitu haram. Riba terbagi ke dalam tiga macam yaitu
riba fadhl, riba yadd, dan riba nasi’ah.
DAFTAR PUSTAKA
Ghazal, H. Abdul Rahman, dkk. (2010). Fiqh Muamalat. Jakarta : Kencana
Prenada Media Group.
Suhendi, H. Hendi. (2005). Fiqih Muamalah. Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada.