Professional Documents
Culture Documents
Secara etimologis, syariat islam terdiri dari dua kata, syariat artinya hukum agama dan
islam artinya agama yang diajarkan oleh nabi muhammad SAW, berpedoman pada kitab suci al-
quran, yang diturunkan kedunia melalui wahyu Allah SWT.
Dapat disimpulkan bahwa Syariat islam adalah Ajaran islam yang berpedoman pada kitab
suci al-qur’an. Jadi pengertian tersebut harus bersumber dan berdasarkan kitab suci al-qur’an,
pandangan normative dari syariat islam harus bersumber dari nilai-nilai dan kaidah-kaidah yang
tercantum dalam al-qur’an. Al-qur’an lah yang menjadi pangkal tolak dari segala pemahaman
tentang syari’at islam. Kerangka dasar ajaran islam adalahakidah,
syar’iyah dan akhlak. Ketiganya bekerja sama untuk mencapai suatu tujuan yang bersumber
pada tauhid, sebagai inti akhidah yang kemudian melahirkan syar’iyah, sebagai jalan berupa
ibadah dan muamalah, serta akhlak sebagai tingkah laku baik kepada Allah SWT maupun kepada
makhluk ciptaan-Nya yang lain.
Menurut M. Daud Ali, Syariat adalah jalan yang harus ditempuh, dalam arti teknis,
syariat adalah seperangkat norma ilahi yang mengatur hubungan manusia dengan Allah, hubungan
manusia dengan manusia lain dalam kehidupan social, hubungan manusia dengan benda dan alam
lingkungan hidupnya.
Akhlak adalah peringai atau tingkah laku yang berkenaan dengan sikap manusia, terbagi
atas akhlak terhadap Allah SWT dan terhadap sesama makhluk. Akhlak terhadap sesama makhluk
terbagi atas akhlak terhadap manusia, yakni diri sendiri, keluarga, dan masyarakat,
serta akhlak terhadap makhluk bukan manusia yang ada di sekitar lingkungan hidup, yakni
tumbuh-tumbuhan, hewan, bumi, air, serta udara.
Menurut M. Daud Ali, Syariat adalah jalan yang harus ditempuh. Dalam arti teknis, syariat
adalah seperangkat norma ilahi yang mengatur hubungan manusia dengan Allah, hubungan
manusia dengan manusia lain dalam kehidupan sosial, hubungan manusia dengan benda dan alam
lingkungan hidupnya. Syariat islam ini berlaku bagi hamba-Nya yang berakal, sehat, dan telah
menginjak usia baligh atau dewasa. (dimana sudah mengerti/memahami segala masalah yang
dihadapinya). Tanda baligh atau dewasa bagi anak laki-laki, yaitu apabila telah bermimpi
bersetubuh dengan lawan jenisnya, sedangkan bagi anak wanita adalah jika sudah mengalami
datang bulan (menstruasi).
Bagi orang yang mengaku Islam, keharusan mematuhi peraturan ini diterangkan dalam
firman Allah SWT. "kemudian Kami jadikan engkau (Muhammad) mengikuti syariat (peraturan)
dari agama itu, maka ikutilah syariat itu, dan janganlah engkau ikuti keinginan orang-orang yang
tidak mengetahui." (QS. 45/211-Jatsiyah: 18).
B. SYARIAT ISLAM DAN QANUN
Syari’at Islam adalah tuntunan ajaran Islam dalam semua aspek kehidupan.Pelaksanaan
Syari’at Islam diatur dalam Peraturan Daerah Propinsi Daerah Istimewa Aceh nomor 5 tahun
2000 tentang Pelaksanaan Syari’at Islam(Dinas Syari’at Islam, 2009: 257). Adapun
aspek-aspek pelaksanaan Syari’at Islam adalah seperti terdapat dalam Perda Daerah Istimewa
Aceh nomor 5 tahun 2000 tentang Pelaksanaan Syari’atIslam. Bab IV Pasal 5 ayat 2,
yaitu: Aqidah, Ibadah, Muamalah, Akhlak, Pendidikan dandakwah Islamiyah/amar makruf anhi
munkar, Baitulmal, kemasyarakatan, Syiar Islam, Pembelaan Islam, Qadha, Jinayat, Munakahat,
dan Mawaris.
Tujuan Allah SWT merumuskan hukum islam adalah untuk kemaslahatan umat manusia,
baik didunia maupun di akhirat. Tujuan dimaksud hendak dicapai melalui taklif.
Taklif itu baru dapat dilaksanakan bila memahami sumber hukum islam, kemudian tujuan
itu tidak akan tercapai kecuali dengan keluarnya seseorang dari diperbudak oleh hawa nafsunya,
menjadi hamba Allah dalam arti tunduk keada-Nya. Salah satu ayat al-quran yang menunjukkan
pernyataan bahwa tujuan hukum islam adalah untuk kemaslahatan umat manusia yaitu surat al-
anbiya ayat 107 yang berbunyi: ”dan tiadalah kami mengutus kamu, melainkan untuk (menjadi)
rahmat bagi semesta alam”.
Untuk mewujudkan kemaslahatan ada lima hal pokok yang harus diwujudkan dan
dipelihara, yaitu agama, nyawa, akal,keturunan, dan harta. Lima masalah pokok ini wajib
dipelihara oleh setiap manusia. Untuk itu, didatangkan hukum islam berupa perintah, larangan,
dan keijinan yang harus dipatuhi oleh setiap mukallaf.
Masing-masing lima pokok tersebut dalam mewujudkan dan memeliharanya
dikategorikan kepada beberapa klasifikasi menurut tingkat prioritas kebutuhan, yaitu
kebutuhan daruriyat, kebutuhan hajiyat, dan kebutuhan tahsiniat. Ketiganya harus terwujud dan
terpelihara. Memelihara kebutuhan daruriyat dimaksudkan perwujudan dan perlindungan terhadap
lima pokok yang telah diuraikan dalam batas jangan sampai terancam eksistensinya. Memelihara
kebutuhan hajiyat dimaksudkan perwujudan dan perlindungan terhadap hal-hal yang diperlukan
dalam kelestarian lima pokok tersebut, tetapi di bawah kadar batas kepentingan daruriyat. Tidak
terpeliharanya kebutuhan ini, tidak akan membawa terancamnya eksistensi lima pokok tersebut,
tetapi membawa kepada kesempitan dan kepicikan, baik dalam usaha mewujudkan maupun dalam
pelaksanaannya; sedangkan kepicikan dan kesempitan itu di dalam ajaran Islam perlu
disingkirkan. Berdasarkan uraian di atas, untuk mewujudkan dan melestarikan tiga kategori
kebutuhan tersebut, Allah SWT menurunkan hukum-Nya. Melaksanakan taklif hukum-Nya itu,
maka kebutuhan yang diperlukan oleh setiap manusia mukallaf akan terwujud dan terpelihara,
yang merupakan kebahagiaan bagi umat manusia atau yang biasa disebut keadilan sosial bagi
seluruh rakyat Indonesia.
Dalam perjalanan Syariat Islam di Aceh, jika dibandingkan dengan daerah lain di Indonesia,
maka Aceh memiliki keunikan karena masyarakatnya mampu menyerap budaya dan
menyesuaikan diri. Dalam konsiderans UU no. 44 tahun 1999 tentang Penyelenggaraan
Keistimewaan Propinsi Daerah Istimewa Aceh menempatkan ulama pada peran yang terhormat
dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Contohnya, para ulama di Aceh
mendapatkan tempat yang istimewa dalam hal memberikan pandangan-pandangan, saran-saran,
dan masukan-masukan untuk menetapkan suatu kebijakan. Hal tersebut tidak didapatkan para
ulama di daerah lain. Contoh lain, para ulama Aceh sejak abad ke-17 telah dapat menerima dan
bahkan mendorong kehadiran perempuan dalam ranah kegiatan publik, seperti menjadi anggota
Dewan PerwakilanRakyat, hakim pada mahkamah, panglima perang, sampai menjadi kepala
negara (Sultan), yang di banyak tempat dianggap sebagai tidak sejalan dengan ajaran Islam.
Aceh dapat dikatakan sebagai daerah yang memiliki pengalaman sejarah seperti yang telah
disebutkan di atas dalam penyesuaiannya sudah relatif sangat lentur dengan budaya lokal dan dapat
menjadi tempat untuk pelaksanaan Syariat Islam secara kaffah. Senada dengan hal tersebut, Daud
Rasyid mengatakan bahwa Aceh seharusnya menjadi pilot project bagi perjuangan Syariat.
Menurut Rusdi Ali Muhammad dalam pidato pengukuhan Guru Besar Rektor UIN Ar-
Raniry Banda Aceh bahwa kurangnya pemahaman terhadap Al-Qur’an akan membawa kepada
pola penalaran yang tidak memiliki semangat universalitas, fleksibilitas, kering akan nuansa
sosiologis dan bahkan akan menyulitkan penerapan Syariat Islam dalam kehidupan manusia.
Padahal hakekat keberadaan Syariat Islam adalah membawa kemaslahatan bagi manusia baik di
dunia maupun di akhirat.
BAB II
SEJARAH SYARIAT ISLAM DI ACEH
Kerajaan Aceh mencapai gemilang masa pemerintahan iskandar muda (1607-1636). Salah
satu usaha beliau adalah meneruskan perjuangan sultan sebelumnya untuk melawan kekuasaan
portugis yang sangat membenci islam. Dia juga mendorong penyebaran agama islam keluar
kerajaan Aceh, seperti malaka dan pantai barat pulau sumatera. (Zakaria Ahmad, 1973:20-22).
Peradilan islam dibentuk untuk mengatur tatanan hokum yang di atur oleh ulama. Pengadilan
diberikan kewenangan sepenuhnya untuk mengatur jalan roda hokum tanpa meminta persetujuan
pihak atasan, peranan Qadhi malikul Adil (hakim agung kesultanan) di pusat kerajaan Aceh
memiliki kewenangan seperti Mahkamah Agung sekarang ini.
Setiap kawasan ada Qadhi ulee baling yang memutuskan perkara di daerah tersebut. Jika ingin
mengajukan banding diteruskan pada Qadli Maliku Adil. Kedua Qadhi ini diangkat dari kalangan
ulama yang cakap dan berwibawa.
Sultan Aceh merupakan pelindung ajaran islam sehingga banyak ulama dating ke Aceh. Pada
masa itu hidup ulama seperti Hamzah fansuri, Syamsuddin As-samathrani dan syekh Ibrahim as-
syami. Pada masa iskandar thani (1636-1641) dating Nuruddin arraniri. Pada tahun 1603, bukhari
al jauhari mengarang buku tajussalatih (mahkota raja-raja), sebuah buku yang membahas tata
Negara yang berpedoman pada syariat islam ( zakaria ahmad, 1973: 22).
Di bawah perintah sultan juga ditulis buku mit’at-uttullah karangan syekh abdurra’uf disusun
pada masa pemerintahan sultanah safiattuddin syah ( 1641-1675 ), dan buku safinat-ulhukkamyi
takhlish khashham karangan syekh jalaluddin at-tarussani disusun masa pemerintahan sultan
alaiddin johansyah (1732-1760). Buku ini ditulis sebagai pegangan hakim dalam menyelesaikan
perkara yang berlaku di seluruh wilayah di seluruh kerajaan Aceh sendiri dan di seluruh rantau
takluknya. Kedua buku ini bersumber pada buku-buku fiqih bermazhab syafi’i.
Hukum berlaku untuk setiap lapisan masyarakat termasuk kaum bangsawan dan kerabat raja.
Dari cerita mulut ke mulut iskandar muda menjatuhkan hukuman rajam kepada anak kandungnya
sendiri karena terbukti berzina dengan salah seorang isteri bangsawan di lingkungan istana. Raja
ling eke XIV masa sultan ala’uddin ri’ayatsyah-al qahhar (1537-1571) di jatuhi hukuman oleh
qadli malikul adil untuk membayar 100 ekor kerbau kepada keluarga adik tirinya yang dia bunuh
dengan sengaja ( al yasa’ abu bakar, 2006:389-390)
Masa Aceh di bawah tampuk kerajaan masa dulu sudah di terapkan syariat islam,buktinya
adalah:
A. datangnya ulama-ulama besar, berarti kebutuhan dan penghargaan terhadap ulama masa itu
sangat besar.
B. Di bentuknya peradilan islam yang di atur oleh ulama tanpa campur tangan penguasa,
ada keleluasaan untuk menjalankan hukum syariah.
C. Pengadilan di buat sistematis, dari tingkat daerah hingga pusat. Masalah yang tidak selesai
di tingkat daerah( qadhi ulee baling) diteruskan ke mahkamah yang lebih tinggi (qadhi malikul
adil).
D. Jika kisah iskandar muda yang menghukum anaknya berzina adanya, berarti hukum rajam
bagi pelaku zina sudah diberlakukan pada saat itu.
Ketika kemerdekaan Indonesia di deklarasikan soekarno pada 17 agustus 1945, aceh belum
menjadi bagian dari NKRI. Kesediaan bergabung dalam wilayah RI karena adanya janji soekarno
yang ingin memberikan kebebasan untuk mengurus diri sendiri termasuk pelaksanaan syariat
islam. Janji itu terucap pada tahun 1948, bung karno dating ke aceh mencari dukungan moril dan
materil bagi perjuangan bangsa Indonesia melawan belanda. Kebebasan melaksakan syariat
merupakan imbalan jika bangsa Aceh bersedia memberikan bantuan.
Gayung pun bersambut. Di bawah komando daud beureueh berhasil terkumpul dana sebanyak
500.000 dolar AS. Untuk membiayai ABRI 250.000 dolar,50.000 dolar untuk perkantoran
pemerintahan,100.000 dolar untuk biaya pengembalian pemerintahan RI dari Yogya ke Jakarta.
Bangsa Aceh juga menyumbang emas lantakan untuk membelia oblogasi pemerintahan dan dua
pesawat terbang, selawah agam dan selawah dara.
Janji yang di lontarkan sang presiden RI di wujudkan malah provinsi Aceh di satukan dengan
provinsi sumatera utara tahun 1951. Hak mengurus wilayah sendiri dicabut. Rumah
rakyat,dayah,menasah yang hancur porak-porandaakibat peperangan melawam Belanda dibiarkan
begitu saja. Dari sinilah daud beureueh menggulirkan ide pembentukan Negara islam Indonesia(
DII ), april 1953 dia bergerilya ke hutan. Namun pada tahun 1962 bersedia menyerah karena di
janjikan akan di buatkan UU syariat Islam bagi rakyat Aceh (majalah Era Muslim “untold history”.
] 30 September 2009 jam 22:35)
Setelah itu di berikan otonomi khusus untuk menjalankan proses keagamaan, peradatan dan
pendidikan namun pelaksanaan syariat islam masih sebatas yang di izinkan pemerintah pusat. Hal
itu tertuang dalam keputusan penguasa perang (panglima militer 1 Aceh/ iskandar muda, colonel
M.Jasin) no KPTS/PEPERDA-061/3/1962 tentang kebijaksanaan unsure-unsur syariat agama
islam bagi pemeluknya di Daerah Istimewa Aceh yang berbunyi :
“ pertama: terlaksananya secara tertib dan seksama unsur-unsur syariat agama islam bagi
pemeluknya di Daerah Istimewa Aceh, dengan mengindahkan peraturan perundangan Negara.
Kedua: penertiban pelaksanaan arti dan maksud ayat pertama di serahkan sepenuhnya kepada
pemerintah Daerah Istimewa Aceh. (al yasa Abu Bakar, 2006:33).
Pada tahun 1966 orde baru yang berkuasa, di sahkan peraturan daerah nomor 1 tahun 1966
tentang pedoman dasar majelis permusyawaratan ulama. Fungsi majelis ini adalah sebagai
lembaga pemersatu umat, sebagai penasehat pemerintah daerah dalam bidang keagamaan dan
sebagai lembaga fatwa yang akan memberikan pedoman kepada umat islam dalam hidup
keseharian dan keagamaanya.
Langkah untuk mewujudkan syariat islam melalui PERDA yang mengatur rambu-rambu
pelaksanaan stariat islam di Aceh ditempuh dengan membuat panitia khusus yang terdiri dari
cendekiawan dan ulama di luar DPRD. Rancangan ini disahkan DPRD menjadi peraturan daerah
nomor 6 tahun 1968 tentang pelaksanaan unsure syariat islam Daerah Istimewa Aceh. Ketika
peraturan daerah ini di ajukan kedepartemen dalam negeri untuk mengesahkan namun di tolak dan
secara halus (tidak resmi) meminta DPRD dan PEMDA Aceh mencabut PERDA tersebut.
Tahun 1974 pemerintah mengesahkan undang-undang tentang pokok pemerintahan didaerah
yang antara lain menyatakan bahwa sebutan Daerah Istimewa Aceh hanyalah sekedar nama,
peraturan sama dengan daerah lain. Syariat islam yang berlaku di tingkat gampong dig anti dengan
undang-undang no:5 tahun 1979 tentang pemerintahan desa ( alyasa abu bakar, 2006:31-39)
Tidak ada penerapan syariat islam sama sekali baik pada masa orde lama maupun orde baru.
Syariat islam Cuma senjata politik untuk memuluskan rencana penguasa.
Periode orde lama, soekarno menggunakan janji keleluasaan penerapan syriat islam untuk
mencari dukungan dari pemimpin Aceh, Abu Beureueh dan berhasil. Saat janji yang tak pernah di
tepati itu ditagih melalui perlawanan bersenjata, kembali jurus syariat islam yang di pergunakan
dan sekali lagi berhasil. Beberapa PERDA yang mengatur tata pelaksanaan syariat namun sebatas
yang di bolehkan penguasa. Masa orde lama pun tak jauh beda. Syariat islam Cuma sekedar usaha
penguatan kedudukan di mata masyarakat yang sudah hilang kesabaran menanti janji pemerintah.
Setelah kepercayaan masyarakat tumbuh malah syariat islam yang di laksnakan turun-temurun
tingkat desa malah di hapuskan dan di ganti dengan peraturan yang berlaku di seluruh Indonesia.
Penerapan syariat islam era otonomi khusus untuk aceh akrab dengan kata-kata “ penerapan
syariat islam secara kaffah di Aceh”. Bisa di artikan usaha untuk memberlakukan islam sebagai
dasar hukum dalam tiap tindak-tanduk umat muslim secara sempurna.
Istilah kaffah digunakan karena Negara akan melibatkan diri dalam pelaksanaan syariat islam
di Aceh. Membuat hukum positif yang sejalan dengan syariat, merumuskan kurikulum yang
islami, dan masalah-maslah lain yang berkaitan dengan syariat.
Dasar hukum pelaksanaan syariat islam di Aceh adalah diundangkan UU no 44 tahun 1999
dan UU no 18 tahun 2001. Dalam undang-undang nomor 44 syariat islam didefinisikan sebagai
semua aspek ajaran islam. Dalam undang-undang nomor 18 disebutkan bahwa mahkamah
syar’iyah akan melaksanakan syariat islam yang di tuangkan ke dalam qanun terlebih dahulu.
Qanun adalah peraturan yang dibuat oleh pemerintah daerah Aceh untuk melaksanakan syariat
islam bagi pemeluknya di Aceh ( al yasa abu bakar, 2004:61).
Pelaksanaan syariat islam secara kaffah mempunyai beberapa tujuan , di antaranya yaitu:
1. Alas an agama: pelaksanaan syariat islam merupakan perintah agama untuk dapat menjadi
muslim yang lebih baik,sempurna, lebih dekat dengan ALLAH.
2. Alas an psikologis: masyarakat akan merasa aman dan tenteram karena apa yang mereka jalani
dalam pendidikan, dalam kehidupan sehari-hari sesuai dan sejalan dengan kesadaran dan kata hati
mereka sendiri.
3. Alasan hukum: masyarakat akan hidup dalam tata aturan yang lebih sesuai dengasn kesadaran
hukum, rasa keadilan dan nilai-nilai yang tumbuh dan berkembang di tengah masyarakat.
4. Alas an ekonomi dan kesejahteraan sosial: bahwa nilai tambah pada kegiatan ekonomi, serta
kesetiakawanan sosial dalam bentuk tolong menolong, baik untuk kegiatan ekonomi atau kegiatan
sosial akan lebih mudah terbentuk dan lebih solid.
B. LEMBAGA YANG TERKAIT PENERAPAN SYARIAT ISLAM.
a. Dinas syariat islam.
b. Majelis permusyawaratan ulama (MPU)
c. Wilayatul hisbah (WH)
Syariat islam yang akan menjadi hukum materil dituliskan dalam bentuk qanun terlebih
dahulu, untuk mencegah kesimpangsiuran. Penerapan hukum jika hakim mengambil langsung dari
buku-buku fikih dan berijtihad sendiri dari al-quran dan sunnah rasul.
Sebelum terbentuknya qanun terlebih dahulu di buat rancangan oleh sebuah team untuk
disosialisasikan kepada masyarakat untuk memperoleh masukan dan tanggapan. Setelah itu
dilakukan konsultasi antara DPRD dengan MPU.
Hukuman cambuk
Hukuman cambuk merupakan salah satu hukum yang berlaku dalam syariat islam NAD. Ketentuan
dlam hukum cambuk antara lain:
a. Terhukum dalam kondisi sehat.
b. Pencambuk adalah wilayatul hisbah yang di tunjuk jaksa penuntut umum.
c. Cambuk yang digunakan adalah rotan dengan diameter 0.75 s/d 1.00 cm.
d. Jarak pencambuk dengan terhukum kira-kira 70 cm.
e. Jarak pencambuk dengan orang yang menyaksikan paling dekat 10 meter.
f. Pencambukan di hentikan jika menyebabkan luka, di minta dokter atas pertimbangan medis, atau
terhukum melarikan diri.
g. Pencambukan akan dilanjutkan setelah terhukum dinyatakan sehat atau setelah terhukum
menyerahkan diri atau tertangkap.
BAB III
Kajian modern tentang warisan intelektual Islam klasik umumnya berakhir dengan Ibn khaldun,
kebetulan atau tidak, kenyataannya bahwa Dunia Islam, tidak seberapa lama sesudah kepergian
pemikir besar itu, berada dalam hubungan yang tidak menguntukan dengan dunia luar Islam,
khususnya Eropa barat. Kehebatan prestasi Ibn Khaldun dikontraskan dengan situasi Dunia Islam
dalam konteks global yang kurang beruntung tersebut memang dapat menimbulkan kesan amat
kuat tentang mendekatnya kegiatan Intelektual Umat sesudah pemikir besar itu.
Kelompok ini lebih cendrung kepada sufisme yang kental bercampur dengan filsafat. Mereka
lahir dan berkembang setelah Perang Dunia II, F. Schuon, Hossein Nasr, Hamid Algar, Roger
Garaudy, Martin Lings, Muhammad Naquib Al-Attas, barang kali dapat digolongkan kelompok
ini. Kecuali Nasr dan Al-Attas yang memang berasal dari kultur Islam, yang lain adalah sarjana-
sarjana barat yang menyebrang menjadi muslim setelah mereka dewasa.
2. Kelompok Modernis dan Penerusnya Neo-Modernis Islam
Tokoh-tokoh kelompok ini antara lain Al-Afghani, Muhammad Abduh, Ahmad Khan,
Syibli, Nu’mani, Namik Kemal, H.Agus Salim, Muhammad Natsir, Buya Hamka, Fazlur Rahman
dan Ali Syariati. Kelompok ini dikenal sebagai kelompok pembela ijdtihad sebagai metode utama
untuk meretas kebekuan berfikir umat Islam. Mereka sadar sepenuhnya bahwa kejatuhan umat
Islam sama sekali bukan karena agamanya, tapi semata-mata karena keasalah pahaman dan ketidak
cerdasan meraka dalam membaca ajaran Islam.
Tokoh-tokoh utama kelompok ini, diantaranya adalah Ali Abd Raziq, Kemal Atturk,
Sukarno, Bassam Tibi, Abdullah Laroui, Detlev H. Khalid. Mungkin juga Abu Kalam Azad dapat
pula dimasukkan dalam kelompok ini. Atribut sekularis disini hendaklah dibatsi dalam pandangan
mereka tentang hubungan Islam dan politik. Bagi mereka, agama (termasuk Islam) harus
dipisahkan menjadi sistem etika belaka. Bassam Tibi, misalnya, melalui karya-karyanya dalam
bahasa Jerman (sebagian telah diterjemahkan kedalam bahasa Inggris), telah mengangkat kembali
masalah hubungan Islam dengan kekuasaan.
[1] Muhammad Khudhary Beyk, Tarikh al-Tasyri al-Islam, (Surabaya: Maktabah al-Hidayah, t.tp.,) hal.
4-5. Sebagaimana dikutip oleh Muhammad Iqbal, Hukum Islam Indonesia Modern, (Tanggerang, Gaya Media
Pratama, 2009), hal. 21.
[2] Asaf A.A Fyzee, Out Lines of Muhammad Law, (Delhi: Oxford University Press, 1974), hal. 32-37.
Sebagaimana dikutip. Ibid.
[3] Dedi Supriyadi, Sejarah Peradaban Islam, (Bandung: Pustaka Setia, 2008), hal. 22.
BAB IV
POKOK PEMBAHASAN DAN JINAYAT
B. Jinayat
Secara teoritis, jinayat atau hukum pidana Islam didefinisikan sebagai hukum syara’ yang
berkaitan dengan masalah perbuatan yang dilarang yang lazimnya disebut
dengan jarimah atau tindak pidana dan ancaman hukumannya(uqubah). Uqubah adalah
pembalasan yang ditetapkan untuk kemaslahatan masyarakat karena adanya pelanggaran atas
ketentuan-ketentuan syara’.dalam hukum pidana Islam dikenal tiga macam ketentuan pidana
yaitu hudud, qishash/diyat, dan ta’zir.
1. Hudud
Hudud atau alhudud adalah bentuk jamak dari kata hadd yang berarti batas, rintangan,
halangan dan pagar. Dalam Al-qur’an, hudud sering kali diartikan sebagai hukum atau ketetapan
Allah SWT. Dalam ilmu fiqh, hudud atau hadd ialah hukuman atas perbuatan pidana
tertentu(jarimah hudud) yang jenis dan bentuk hukumannya telah ditentukan syar’i .yang
termasuk ke dalam hudud adalah sebagai berikut :
a. Zina ,adalah hubungan seksual antara seorang laki-laki dengan perempuan diluar akad
nikah. hukuman bagi pezina ghairu muhsan ialah dicambuk seratus kali.
b. Qadhaf ,adalah tuduhan berzina terhadap seseorang tanpa menghadirkan saksi yang memenuhi
syarat. Hukuman bagi penuduh zina ini aalah didera delapan puluh kali.
c. Pencurian (sariqa), seseorang yang secara sengaja diam-diam mencuri harta orang lain . si
pencuri dikenakan had potong tangan.
d. Perampokan(qat’ul al thariq), merupakan suatu perbuatan yang sangat di benci dalam Islam karena
dapat merusak keamanan masyarakat. Pemberontakan(al-bughyi), suatu perbuatan yang berusaha
untuk menghancurkan negara islam dan imamnya yang adil dengan tujuan menjadikan negara
tersebut sebagai negara kafir.orang-orang atau kelompok yang melakukan pemberontakan tersebut
disebut denganbughat.
e. Al riddah atau murtad,berarti keluar dari agama Islam . hukumannya tidak disebutkan secara jelas.
f. Minum khamar(syurb),merupakan salah satu kesalahan jinayah dalam Islam .hukumannya biasanya
ialah disebat dengan tali atau di cambuk.
2. Qishash
Qishash merupakan suatu ketentuan Allah yang berkenaan dengan pembunuhan sengaja
dimana pelakunya dikenakan hukuman mati.akan tetapi keluarga si korban dapat menurunkan
hukuman mati menjadi hukuman denda atau diyat.diyat ialah denda yang harus di bayarkan oleh
seseorang dikarenakan telah melakukan pembunuhan, jumhur ulama sepakat bahwa jumlah diyat
yang harus dibayarkan kepada keluarga terbunuh ialah 100 ekor unta. qisash/diyat, meliputi :
pembunuhan dan penganiayaan.
3. Ta’zir yaitu hukuman yang dijatuhkan kepada orang yang melakukan pelanggaran syariat selain
hudud dan qishash/diyat.ta’zir adalah perbuatan pidana yang jenis dan hukumannya tidak
ditentukan lebih dahulu dalam nash. Seperti: maisir (perjudian), penipuan, pemalsuan,
khalwat(mesum),dan meniggalkan salat fardhu dan puasa Ramadhan.
a. Maisir atau perjudian, Pada tanggal 15 juli 2003,Gubernur provinsi NAD mengesahkan qanun
provinsi nomor 13 tentang maisir dengan persetujuan DPRD Provinsi NAD . khasus pertama yang
sampai ke pengadilan terjadi di Aceh Tenggara , di ajukan ke mahkamah syariah Kutacane serta
diputuskan tanggal 19 Januari dengan putusan nomor:01/JN.S/2005/MSY-KC.
b. Khalwat/mesum, adalah perbuatan yang dilakukan oleh dua orang yang berlawanan jenis atau
lebih, tanpa ikatan nikah atau bukan muhrim pada tempat tertentu yantg sepi yang memungkinkan
terjadinya perbuatan maksiat di bidang seksual atau yang berpeluang pada terjadinya perbuatan
perzinaan .
c. Terhukum melarikan diri dari tempat pencambukan sebelum hukuman cambuk selesai
dilaksanakan.
BAB V
QANUN, EKSITENSI DAN ESENSI SYARIAT ISLAM DI ACEH
A. DEFINISI QANUN
Kata Qanun berasal dari bahasa Arab yang berarti Undang-Undang. Qanun dapat juga
bermakna kumpulan materi hukum yang tersusun secara sistematis dalam suatu lembaga yang
dikenal dengan Undang-Undang. Jadi, Qanun adalah hukum materil yang menghimpun ketentuan-
ketentuan pidana.
Qanun Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam adalah Peraturan Daerah sebagai pelaksana
undang-undang di wilayah Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam dalam penyelenggaraan otonomi
kuhus (pasal 1 ayat (8) Undang-Undang Nomor 18 tahun 2001). Dari pengertian tersebut, dapat
dipahami bahwa isi muatan Qanun hanya mengatur ketentuan-ketentuan yang bersifat delegasi
suatu Undang-undang dalam rangka pelaksanaan otonomi khusus. Dengan kata lain, Qanun hanya
dapat mengatur atas dasar pendelegasian suatu ketentuan undang-undang dalam penyelenggaraan
otonomi khusus.[1]
PERDA tersebut menyebutkan bahwa seluruh elemen pelaksanaan syariat islam akan
dilaksanakan termasuk didalamnya hal-hal yang berhuungan dengan aqidah, ibadah, mua’amalah,
akhlak, pembelaan islam, qadha, pendidikan, masalah perdata dan pidana, dan perayaan hari besar
islam, pendidikan dan dakwah, dan baitulmal. Peraturan tersebut juga menyiapkan/mengatur
sebuah lembaga pengawas pelaksanaan syariat islam di masyarakat, yang kemudian disebut
dengan Wilayatul Hisbah (WH).
2. Qanun yang kedua berhubungan langsung dengan pelaksanaan syariat islam adalah qanun No. 10
tahun 2002 tentang pembentukan makahma syar’iyah yang kewenangannya tidak hanya sebatas
permasalahan keluarga dan perwarisan. Kewenangan lebih luas yang diberikan ke sistem
pengadilan yang baru di Indonesia ini adalah kewenangan terhadap kriminal (jinayah).
3. Qanun yang ketiga adalah No. 11 tahun 20026 tentang pelaksanaan syariat islam dalam bidang
aqidah, ibadah, dan penerapan simbo-simbol islam.
4. Qanun keempat yang mengatur langsung pelaksanaan syariat islam adalah qanun No. 12 tahun 2003
tentang khamar. yang melarang semua jenis minuman yang dapat mengganggu kesehatan,
kesadaran, dan pikiran.
5. Qanun kelima adalah qanun No. 7 tahun 2004 tentang manajemen zakat.
Qanun tersebut memberikan mandate pembentukan baitul mal, yang diatur untuk dapat
menerima/menyimpan denda dari para pelanggar syariat Islam.
[1] Dr. Husni Jalil, SH, MH, “Kedudukan Qanun dalam Peraturan Perundang-undanagn Indonesia”
[2] Peraturan Daerah Provinsi Daerah Istimewa Aceh No. 5 Tahun 2000 Tentang Pelaksanaan Syariat Islam.
Lembaran Daerah Provinsi Daerah Istimewa Aceh No : 30 Tanggal 25 Agustus 2000.
[3] Hasnil Basri Siregar, (2008) : op.cit,12.
BAB VI
PELAKSANAAN SYARIAT ISLA DI ACEH
A. PILAR PELAKSANAAN SYARIAT ISLAM
Untuk mempercepat pelaksanaan syariat Islam Prof.Dr.Al-yasa Abu Bakar,M.A sebagai
kepala dinas Syariat Islam pertama bersama Kabag Litbang dan program Dinas Syariat Islam yaitu
Drs.M.Saleh Suhaidi (Alm) membuat program Lima sasaran utama pelaksanaan syariat islam di
Aceh.Lima Pilar Pelaksanaan Syariat Islam adalah :
1. MenghidupkanMeunasah
2. Pemberdayaan Zakat
3. Lingkungan Kantor danSekolah yang Islami
4. PengawasanPelaksanaanSyariat Islam, dan
5. PerluasanKewenanganMahkamahSyar’iyah
1. Menghidupkan meunasah
Dalam kehidupan masyarakat Aceh, sebagai salah satu landasan pilar budaya,terdapat satu
lembaga yang di namakan dengan meunasah,sebagai simbol masyarakat Aceh. pada setiap
kampung atau lingkungan yang berdekatan senantiasa dijumpai uatu bangunan meunasah yang
bentuknya sama dengan rumah kediaman biasa. Namun tanpa dilengkapi dengan
jendela,lorong,atau sekatan-sekatan. Bentuk dan kondisi meunasah semacam itu pada kurun
sekarang ini mungkin sudah sedikit dan kondisi sudah jauh berbeda mengikuti arus kemajuan
zaman.
2. Pemberdayaan zakat
Wujud dari pemberdayaan zakat adalah terbentuknya Baitul mal pada tingkat
Kampung,Kabupaten/Kota dan Provinsi. Sumber zakat pada tingkat kampung di fokuskan pada
hasil pertanian kampung dan usaha-usaha pada tingkat kampung, sedang sumber zakat Baitul mal
Kabupaten adalah dari hasil perdagangan dan usaha pada tingkat Kabupaten/Kota. Dan untuk
sumber zakat Baitul mal Provinsi adalah dari perusahaan yang bergerak pada level provinsi.
Sebagai pedoman dan petunjuk bagi manusia di dalam mengatur diri dan masyarakat
Alat penyeimbang antara unsur yang baik dan yang tidak baik yang terdapat dalam diri manusia.
Alat mendidik manusia menjadi suci lahir bathin.sayriat turun menuntun dan membimbing manusia
untuk membersihkan diri agar ia mampu membaca arti sebuah kehidupan. Karena
itulah,kebahagiaan abadi hanya dapat di gapai oleh manusia yang bersih.
BAB VII
A. KEDUDUKAN, TUGAS DAN WEWENANG DINAS SYARIAT ISLAM DALAM
PELAKSANAAN SYARIAT ISLAM DI ACEH
Pembentukan Dinas Syariat Islam Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam adalah untuk
meningkatkan kelancaran pelaksanaan tugas operasional Pemerintah Daerah di bidang
Pelaksanaan Syariat Islam sebagai tindak lanjut pelaksanaan Undang-Undang Nomor 44 tahun
1999.
Dinas Syariat Islam adalah unsur pelaksanaan Syariat Islam di lingkungan Pemerintah
Daerah yang berada di bawah Gubernur dan bertanggung jawab kepada Gubernur melalui
Sekretaris Daerah.
Tugas dari Dinas Syariat Islam di provinsi Aceh di atur dalam Peraturan Daerah Provinsi
Aceh Nomor 33 tahun 2001 pada Pasal 3.Dinas Syariat Islam mempunyai tugas melaksanakan
tugas umum dan khusus Pemerintah Daerah dan pembangunan serta bertanggung jawab di bidang
pelaksanaan Syariat islam.
Untuk melaksanakan tugas tersebut di atas, Dinas Syariat Islam menjalankan lima fungsi,
yakni :
1. Perencanaan dan penyiapan qanun yan berhubungan dengan Syariat Islam;
2. Penyiapan dan pembinaan sumber daya manusia yang berhubungan dengan pelaksanaan
syariat Islam;
3. Pelaksanaan tugas yang berhubungan dengan kelancaran dan ketertiban pelaksanaan
peribadatan dan penataan sarananya serta penyemarakan syiar Islam;
4. Bimbingan dan pengawasan terhadap pelaksanaan Syariat Islam;
5. Bimbingan dan penyuluhan Syariat Islam.
[1] Rusjdi Ali Muhammad. Revitalisasi Syari’at Islam di Aceh. Ciputat : Logos Wacana Ilmu.
2003. hlm XXXVI
[2] Dinas Syariat Islam. Himpunan Undang – Undang keputusan Presiden Peraturan Daerah /
Qanun Intruksi Gubernur Edaran Gubernur Berkaitan Pelaksanaan Syariat Islam. Aceh.2008.hlm 40
[3] Safwan Idris. Syariat di Wilayah Syariat. Aceh : Yayasan Ulul Urham. 2002.hlm 21
BAB VIII
Fungsi, Tugas, Kedudukan dan Kewenangan Majelis Permusyawaratan
Ulama (Mpu) dan Baitul Mal
A. Fungsi MPU
Fungsi MPU sebagai penasehat yang memberi saran, pertimbangan kepada pemerintahan
daerah (eksekutif dan legislatif) dan sebagai pengawas terhadap pelaksanaan kebijakan daerah,
baik bidang pemerintahan, pembangunan maupun pembinaan kemasyarakatan serta tatanan
hukum dan tatanan ekonomi yang islami.
Meskipun secara yuridis MPU kedudukannya sebagai mitra sejajar pemerintah daerah dan
DPRD, tetapi dalam prakteknya belum berjalan secara maksimal, hanya sebatas hubungan
konsultatif. Sebagai badan konsultatif maka produk utama MPU adalah berupa saran.
MPU mempunyai kedudukan yang bebas dan tidak tergantung pada Kepala Daerah dan
DPRD atau kekuatan-kekuatan sosial dalam masyarakat.Dalam melaksanakan fungsinya tersebut,
MPU mempunyai hak dan kewajiban yaitu:
pertama, MPU berhak mengajukan usul kepada pemerintahan daerah (Eksekutif dan
legislatif). Kedua, MPU berkewajiban memberi masukan, pertimbangan dalam menentukan
kebijakan daerah dari aspek syariat Islam secara kaffah serta memberi jawaban atas pertanyaan
kepala daerah.
Dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah, MPU bersifat pasif dalam memberikan
pertimbangan, usulan kepada pemerintah daerah dan DPRD. Selama ini MPU memberi fatwa tapi
pelaksanaanya tidak berjalan secara efektif. Hal ini karena MPU tidak cukup mempunyai aparat
yang dapat mengamati seluruh kebijaksanaan Kepala Daerah yang telah dilaksanakan sejalan
dengan pertimbangan yang telah diberikan.
Hal penting adalah fungsi atau tugas MPU telah dilaksanakan walaupun tidak seluruhnya
diterima oleh Kepala Daerah. Diterima atau tidaknya pertimbangan-pertimbangan MPU menjadi
tanggungjawab moral Kepala Daerah untuk diperhatikan.
Secara normatif pertimbangan-pertimbangan MPU yang disampaikan kepala daerah tidak
terikat, namun sangat dipengaruhi atas kesadaran kepala daerah, sebagai penyelenggaraan
pemerintahan yang bertanggunggunjawab, sesuai dengan asas-asas umum pemerintahan yang
layak, dan kualitas pertimbangan yang disampaikan oleh MPU yang menyebabkan kepala deaerah
tidak ada pilihan lain untuk tidak menerimanya.
B. Tuagas MPU Ditingkat Propinsi dan Kabupaten/Kota
a. Tugas MPU ditingkat Propinsi
1. Memberikan masukan, pertimbangan, dan saran kepada Pemerintah Aceh dan DPRA dalam
menetapkan kebijakan berdasarkan syari’at Islam.
2. Melakukan pengawasn terhadap penyelenggaraan pemerintahan, kebijakan daerah
berdasarkan syari’at Islam.
3. Melakukan penelitian, pengembangan, penerjemahan, penerbitan, dan pendokumentasian
terhadap naskah-naskah yang berkenaan dengan syari’at Islam
4. Melakukan pengkaderan ulama.
C. Kedudukan MPU
Kedudukan Majelis Permusyawaratan Ulama (MPU) merupakan lembaga yang bersifat
Independen dan merupakan mitra kerja Pemerintahan Aceh. Secara legal formal keberadaan MPU
di Aceh merujuk pada Pasal 18 B Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia yaitu:
1). Negara mengakui dan menghormati satuan-satuan pemerintahan daerah yang bersifat
khusus atau bersifat istimewa yang diatur dengan Undang-undang.
2). Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat serta hak-
hak tradisonalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip
Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam undang-undang.
D. Kewenangan MPU di Tingkat Propinsi dan Kabupaten/kota
Secara etimologis baitul mal terdiri dari dua kata, yaitu Bait, artinya rumah dan mal yang
berarti harta. Jadi kalau digabungkan kedua kata itu maka baitul mal dapat berarti satu rumah yang
di dalamnya berupa harta. Sedangkan menurut terminologis, sebagaiman diajelaskan dalam Qanun
nomor 7 tahun 2004 tentang pengelolaan Zakat, yang disebutkan dalam pasal 1 ayat (1), bahwa
Badan Baitul Mal merupakan lembaga daerah yang berwenang melakukan tugas pengelolaan zakat
dan harta agama lainnyadi provinsi NAD, dan juga dalam Bab I Ketentuan umum oleh Qanun
Aceh Nomor 10 tahun 2007 tentang Baitul Mal adalah lembaga daerah non struktural yang diberi
kmewenangan untuk mengelola dan mengembangkan zakat, wakaf, harta agama dengan tujuan
untuk kemaslahatan ummat serta menjadi wali/wali pengawas terhadap anak yati piatu dan/atau
hartanya serta mengelola terhadap harta warisan yang tidak ada wali berdasarkan syari’at Islam.
Didalam literatur fiqh Islam, Baitul Mal adalah suatu badan atau lembaga yang bertugas
mengurusi kekayaan negara, terutama keuangan, baik yang berkenaan dengan pemasukan maupun
pengelolaan, namun terhadap pembentukan lembaga Baitul Mal ini tidak disebutkan secara tegas
didalam Al-quran maupun Al-hadist, akan tetapi karena manfaatnya dirasakan sangat besar maka
Baitul Mal tetap dipertahankan didalam pemerintahan Islam semenjak Umar bin Khattab. Namun
bagaimana bentuk dan tatacara pengelolaannya juga tidak ada pengaturan yang tegas didalam
sumber-sumber hukum Islam sama halnya seperti pembentukan lembaga Baitul Mal itu sendiri.
Hukum Islam dalam hal ini memberikan kebebasan kepada pemerintah untuk membuat aturan-
aturan yang dianggap sesuai dan memberi manfaat bagi negara dan rakyat, dengan demikian maka
bentuk dan sistem pengelolaan Baitul Mal dapat saja berubah sesuai dengan perkembangan dan
kebutuhannya disamping dapat pula berbeda-beda antara negara satu dengan yang lainnya.
Lembaga Baitul Mal di Propinsi Aceh adalah lembaga yang dibentuk oleh Pemerintah
Daerah berdasarkan amanat perundang-undangan, Keberadaan Baitul Mal di Aceh sendiri tidak
terlepas dari perkembangan pengelolaan Zakat yang telah ada semenjak abad ke 7 Masehi, yaitu
sejak agama Islam masuk ke Aceh, namun pada masa itu keberadaan Baitul Mal belum terlembaga
dan hanya terbatas pengelolaan zakat secara tradisonal yang berbentuk pemungutan dan
penyaluran zakat oleh Ulama atau lembaga Pengajian.
Pada perkembangan selanjutnya penegasan tentang zakat sebagai sumber pendapatan Asli
daerah terdapat juga di dalam Undang-undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh
(UUPA) yang menggantikan Undang-undang Nomor 18 tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi
daerah Istimewa Aceh sebagai Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam, Penegasan tersebut terdapat
di dalam 3 pasal,yaitu, Pasal 180 ayat (1) Pasal 191 dan Pasal 192.
Khusus di propinsi Aceh, pengurusan dan pengelolaan zakat ini merupakan kewenangan dari
Baitul Mal, dasar hukumnya adalah qanun nomor 10 tahun 2007 tentang Baitul Mal. sedangkan
pajak dikenakan kepada penduduk yang non muslim, untuk menghindari dari kewajiban
pembayaran double duties (kewajiban rangkap) berupa zakat dan pajak.
G. Dasar Hukum
Adapun yang menjadi dasar hukum Baitul Mal di Provinsi Aceh adalah sebagai berikut:
1. U.U. No.11/2006 tentang Pemerintahan Aceh yang mengatur masalah Zakat dan Baitul Mal.
2. Qanun Aceh No. 10/2007 tentang Baitul Mal, menetapkan Baitul Mal sebagai Lembaga
Daerah non struktural dan bersifat Independen.
3. Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 18/2008 tentang Pedoman Organisasi dan Tata Kerja
Lembaga Keistimewaan Provinsi NAD (termasuk Baitul Mal) menetapkan Sekretariat Baitul Mal
Aceh (BMA) sebagai Satuan Kerja Perangkat Aceh (SKPA) dalam jabatan struktural (Eselon
II.b, III.b dan IV.a)
4. Peraturan Menteri Dalam Negeri No.37/2009 tentang Pedoman Organisasi dan Tata Kerja
Lembaga Keistimewaan Kabupaten/Kota Prov.Aceh menetapkan sekretariat Baitul Mal
Kabupaten/Kota (BMK) sebagai Satuan Kerja Perangkat Kabupaten/Kota SKPK dalam jabatan
struktural eselon III.a dan IV.a
5. Peraturan Gubernur NAD No.33/2008 tentang Susunan Organisasi dan Tata Kerja Sekretariat
Lembaga Keistimewaan Aceh.
6. Keputusan MPU Aceh No.451.12/15/SK/2009 tanggal 5 Januari 2009 (Diperbaiki tanggal 29
April 2009) tentang Pengangkatan/Penetapan Tim Pembina Baitul Mal Aceh.
Dan masih banyak lagi.
H. Unit Pengumpul Zakat (UPZ)
Sesuai Qanun Aceh nomor 10 tahun 2007 tentang baitul Mal, maka unit pengumpul
zakat yang selanjutnya disebut dengan UPZ adalah satuan organisasi yang dibentuk oleh Baitul
Mal Aceh dan Kabupaten/Kota dengantugas mengumpulkan zakat para muzakki pada instansi
Pemerintah dan lingkungan swasta.
Di sisni terlihat bahwa kewenangan UPZ hanya sebatas melakukan pengumpulan pada
unit-unit masing dan tidak dibeerikan kewenangan untuk melakukan pengembangan dan
pendistribusian kepada mustahik.
Setiap tingkat Baitul Mal empunyai struktur organisasi masing-massing, semakin tinggi
tingkat organisasi Baitul Mal semakin besar pula komponen struktur oranosasinya, sebagiama
disebutkan berikut:
a) Badan Pelaksana Baitul Mal Aceh adalah terdiri dari: Kepala, Sekretaris, Bendahara, Bidang
Pengawasan, Bidang Pengumpulan, Bidang Pedistribusian dan Pendayagunaan Bidang Sosialisasi
dan Pengembangan dan Bidang Perwalian yang terdiri dari Sub Bidang dan Sub Bagian.
b) Badan Pelaksana Baitul Mal Kabupaten/Kota adalah terdiri dari: Kepala, Sekretaris, Bendahara,
Bagin Pengumpulan, Bagian Pedistribusian dan Pendayagunaan Bagian Sosialisasi dan Pembinaan
dan Bagian Perwalian yang terdiri dari Sub Bagian dan Seksi.
c) Badan Pelaksana Baitul Kemukiman adalah terdiri dari: Ketua yang karena jabatannya
dilaksanakan oleh Imuem Mesjid kemukiman atau nama lain, Sekretaris, Bendahara, Seksi
Perwalian, Seksi Perencanaan dan Pendataan dan Seksi Pewngawasan yang ditetapkan oleh
Imuem Mukim atau nama lain.
d) Badan Pelaksana Baitul Gampong atau nama lain, yang terdiri atas Ketua yang karena jabatannya
dilaksanakan oleh Imuem Meunasah atau Imuem Mesjid atau nama lain, Sekretaris, Bendahara,
Urusan Perwalian, Urusan Pengumpulan dan Urusan Penyaluran yang ditetapkan oleh Geuchik
atau nama lain.
BAB IX
EKSEKUTIF DAN LEGISLATIF
A.Pengertian Eksekutif dan Legislatif
1.Eksekutif
Esekutif adalah suatu pemerintahan negara yang memiliki kekuasaan untuk
menyelenggarakan pemerintahan dan perundang-undang. Dalam sistem kabinet presidensial,
presiden disamping berfungsi sebagai kepala negara juga berfungsi sebagai kepala eksekutif.
2.Legislatif
Lembaga legislatif secara etimologi dalam kemelut politik adalah lembaga yang memiliki
kekuasaan untuk membuat/mengeluarkan UU sedangkan Legislatif dalam terminology fiqh
disebut sebagai lembaga penengah dan pemberi fatwa. Istilah lembaga legislative dalam Islam
lebih popular dengan sebutan Afl al-Halli wa al-‘aqd. Secara harfiah Ahl al-Halli wa al-‘aqd berarti
orang yang dapat memusatkan dan mengikat.
Adapun para ahli fiqh siyasah merumuskan istilah ini sebagai orang yang memiliki
kewenangan untuk memutuskan dan menentukan sesuatu atas nama umat, dengan kota lain ahl-
Halli wa al-‘aqd adalah lembaga perwakilan yang menampung dan menyalurkan aspirasi/suara
masyarakat. Adapun dalam pemerintahan Islam, pembentukan lembaga Ahl al-Halli wa al-‘aqd
perlu mengingat banyaknya permasalahan kenegaraan yang harus diputuskan secara bijak dan
pandangan yang tajam sehingga mampu menjaga kemaslahatan umat.
BAB X
SYARIAT DAN ADAT ACEH
A. Pengertian Adat Aceh
Aceh adalah salah satu provinsi di Indonesia yang sangat menjunjung tinggi adat
istiadat dalam masyarakatnya. Hal ini terlihat dengan masih berfungsinya institusi-institusi adat di
tingkat gampong atau mukim. Meskipun Undang-undang no 5 tahun 1975 berusaha
menghilangkan fungsi mukim, keberadaan Imum Mukim di Aceh masih tetap diakui dan berjalan.
Hukum adat di Aceh tetap masih memegang peranan dalam kehidupan masyarakat. Dalam
masyarakat Aceh terdapat institusi-institusi adat di tingkat gampong dan mukim. Institusi ini juga
merupakan lembaga pemerintahan. Jadi, setiap kejadian dalam kehidupan bermasyarakat, Ureueng
Aceh selalu menyelesaikan masalah tersebut secara adat yang berlaku dalam masyarakatnya.
Pengelolaan sumber daya alam pun di atur oleh lembaga adat yang sudah terbentuk.
Adat adalah kebiasaan-kebiasaan yang telah berlaku antar generasi dalam satu
masyarakat, dimana keberadaannya berfungsi sebagai pedoman dalam berfikir dan bertindak
dimasyarakat pemangku adat tersebut.
B. Jenis jenis adat aceh :
3 jenis adat aceh :
Adat meukuta alam yaitu adat yang diwarisi dari sultan-sultan terdahulu yang telah disesuaikan
menurut keadaan.
Adat mahkamah yaitu adat yang berbentuk undang-undang yang dibuat oleh majelis kerajaan.
Adat tunah yaitu adat yng dibuat oleh penguasa atau panglima negeri di daerah masing-masing
didalam kerajaan, yang keadaannya bergantung pada situasi dan kebiasaan dalam daerah yang
brkenaan.
4. Keuchik
Keuchik/geuchik adalah kepala persekutuan masyarakat adat gampong. Keuchik
tidak hanya memiliki otoritas dalam bidang pemerintahan, seperti penyelenggara pemerintahan
gampong, tetapi juga bertugas untuk melestarikan adat istiadat dan hukum adat. Selain itu Keuchik
juga bertugas untuk menjaga keamanan, kerukunan, ketentraman, dan ketertiban masyarakat.
Ibrahim Alfian menganalogikan keuchik sebagai “bapak/ayah gampong” karena besamya
tanggung jawab yang dipercayakan kepadanya untuk pengendalian dan pemeliharaan
pemerintahan serta adat di tingkat gampong.
5. Tuha Peut
Tuha peut adalah suatu lembaga permusyawaratan di tingkat gampong. Badan ini
berfungsi untuk memberikan nasihat dan pertimbangan kepada Keuchik pada setiap pengambilan
keputusan dalam rangka menjalankan pemerintahan gampong.Lembaga ini disebut dengan Tuha
peut karena jumlah mereka sebanyak empat orang yang terdiri dari unsur pemerintahan, agama,
tokoh adat dan cerdik pandai yang berada di gampong.
6. Tuha Lapan
Tuha lapan adalah lembaga adat yang terdapat pada tingkat mukim dan gampong dan
bertugas sebagai penasihat imeum mukim dan keuchik dalam menjalankan pemerintahannya
dengan sebaik-baiknya. Lembaga ini terdiri dari unsur-unsur Pemerintah, Agama, tokoh Adat,
tokoh masyarakat, cerdik pandai, pemuda, perempuan dan kelompok organisasi masyarakat
7. Imeum Meunasah
Imeum meunasah adalah orang yang memimpin kegiatan-kegiatan masyarakat
di gampong yang berkenaan dengan bidang agama Islam, pelaksanaan dan penegakan syari'at
Islam. Hubungan antara keuchik dan imeum meunasah sangat erat. Sehingga imeum meunasah
dapat dianalogikan sebagai “ibu gampong”.
8. Keujreun Blang
Keujruen blang adalah orang yang membantu keuchik dan imeum mukimdi bidang
pengaturan dan penggunaan air irigasi untuk persawahan. Lembaga ini bertuugas mempertahankan
Hukum Adat di bidang pertanian. Selain bertugas mengelola lingkungan di wilayah persawahan,
keujruen blang juga bertugas untuk menindak pelanggaran hukum adat dan menyelesaikan
sengketa yang timbul di wilayah kewenangannya.
9. Panglima Laot
Panglima laot adalah orang yang memimpin adat istiadat atau kebiasaan yang berlaku
di bidang penangkapan ikan di laut. Selain itu lembaga ini juga bertugas mengatur tempat/areal
penangkapan ikan, penambatan perahu dan menyelesaikan sengketa bagi hasil. Kekuasaan
panglima laot hanya berlaku di wilayah laut meliputi semua aspek kehidupan di laut. Tugas
panglimat laot tidak hanya sekedar melakukan pengaturan tetapi juga memberikan sanksi pada
setiap pelanggaran adat dan sebagai hakim perdamaian ketika terjadi persengketaan di wilayahnya
bertugas.
10. Pawang Glee/Uteun
Pawang glee/uteun adalah orang yang memimpin dan mengatur adat istiadat yang
berkenaan dengan pengelolaan dan pelestarian lingkungan hutan.
11. Petua Seuneubok
Peutua seuneubok adalah orang yang memimpin dan mengatur ketentuan-ketentuan
yang berkaitan dengan pembukaan lahan untuk pertanian dan perkebunan. Dalam hal ini, lazimnya
pelopor yang membuka tanah mati untuk menjadi lahan pertanian langsung diangkat sebagai
peutua seuneubok.
12. Haria Pekan
Haria pekan adalah orang yang mengatur ketertiban, keamanan, dan kebersihan pasar
serta mengutip retribusi pasar gampong. Keberadaan lembaga haria pekan sangat penting karena
dapat menumbuhkan pasar-pasar strategis bagi perkembangan lalu lintas jual beli barang-barang
ekonomi rakyat. Selain itu lembaga ini dibutuhkan dalam rangka mengatur kehidupan ekonomi
pasar, mengawas penipuan yang terjadi di pasar dan menetramkan para konsumen dari segala
bentuk kejahatan di pasar.
13. Syahbanda
Syahbanda adalah orang yang memimpin dan mengurus tambatan perahu lalu lintas
keluar dan masuk perahu di bidang angkutan laut dan sungai. Pada masa lalu tugas syahbanda
tidak hanya terbatas pada manajemen pelabuhan, tetapi juga bertugas untuk mencegah terjadinya
pelanggaran-pelanggaran di pelabuhan.
Hubungan syariat Islam dan Adat Aceh, dalam adat pernikahan adanya KUA (penghulu)
yang mana tugas KUA mempersiapkan kartu nikah bagi kedua membelai. Seperti yang kita ketahui
dalam syariat Islam seperti itu cara pelaksanaannya, ketika memulai ijab kabul membelai wanita
tidak diharuskan mendampingi membelai pria, tetapi setelah dikatakan sah, maka membelai wanita
datang menghampiri membelai pria. Mahkamah Syar’iyah juga ikut berwenang dalam Adat
perkawinan.
Kemudian dalam adat bercocok tanam, adanya silaturahim antara masyarakat
dengan Keujruen Blang dan Petua Seuneubôk yang mengurus adat bercocok tanam. Dalam syariat
Islam mengharuskan adanya silaturahin agar terciptanya umat yang berbahagia.
Adat tron u laot, upacara dengan tujuan bersyukur kepada Allah SWT. Dalam syariat Islam
kita diwajibkan untuk selalu bersyukur atas apa yang telah Allah berikan kepada kita hamba-Nya.
Adat turun kesawah, Hal ini seperti hanjeut teumeubang watèe padé mirah. Maksudnya
adalah tidak boleh memotong kayu saat padi hendak dipanen. Kalau ini dilanggar, dipercaya akan
mendatangkan hama wereng (geusong).
BAB XI
ISU-ISU DALAM PELAKSANAAN SYARI’AT ISLAM DI ACEH
1. Syari’at Islam Dan Non Muslim Di Aceh
PLURALISME
Pengertian Pluralisme
Secara etimologi pluralisme berasal dari kata “plural” (inggris) yang berarti lebih dari satu
atau banyak dan berkenaan dengan keanekaragaman dan “ isme” yang berarti paham.Dengan
demikian pluralisme berarti paham kemajemukan Ada dua perspektif dalam memahami pluralisme.
Sikap dan Pemahaman Umat Islam Terhadap Pluralisme
Hubungan sosial antara umat manusia membuka dua pilihan yaitu harmoni atau konflik.
Harmoni terbangun ketika masing-masing berusaha untuk saling memahami, saling toleransi dan
menghilangkan berbagai prasangka negatif terhadap orang lain. Dengan cara tersebut, akan tercipta
suatu kehidupan yang rukun, nyaman, tentram dan penuh kedamaian. Sebaliknya, konflik terjadi
ketika masing-masing pihak memegang dengan teguh kebenaran yang diyakininya. Melihat pihak lain
sebagai lawan yang harus dikuasai dan ditundukkan. Sikap itulah yang merupakan penyebab suatu
konflik yang tidak dapat dihindari. Perbenturan kepentingan, hasrat yang menguasai dan sikap arogan
menjadi sebab lahir dan berkembangnya sebuah konflik pluralisme.
pluralisme dinilai sebagai hal yang membahayakan aqidah. Padahal makna pluralisme
tidaklah sama dengan relativisme.
b. Wilayah sosial.
Hampir setiap agama mengajarkan hal yang sama. Tiap pemeluk agama diharuskan untuk
dapat menghargai antar pemeluk agama.
Solusi Pluralisme
Bahwa perbedaan agama diantara mereka bukanlah penghalang untuk menjalin sebuah
kerjasama dan kedamaian dunia ini. Islam sendiri mengajarkan bahwa kebebasan memilih agama
merupakan hak asasi manusia yang harus dihormati.
Adapun untuk memecahkan masalah pluralitas agama dan keyakinan, Islam memiliki sikap
dan pandangan yang jelas, yakni mengakui identitas agama-agama selain Islam, dan membiarkan
pemeluknya tetap dalam agama dan keyakinannya. Islam tidak akan menghilanghkan identitas
agama-agama selain Islam.
Definisi HAM
HAM merupakan upaya untuk mendudukkan manusia sebagaimana mestinya dengan
memberikan hak- haknya tanpa ada diskriminasi.
Kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara, di antara salah satu asasnya adalah
asas kebebasan/kemerdekaan (al-Hurriyah). Kebebasan ini meliputi kebebasan berfikir, kebebasan
menyatakan pendapat,
Sikap dan Pemahaman Islam tentang HAM
Sebenarnya ajaran Islam menjunjung tinggi hak-hak asasi manusia dalam melaksanakan
prinsip kebebasan,karena sebuah paksaan itu menyebabkan jiwa tidak damai. Namun sisi
lain,sebagian besar ulama mengkategorikan sikap mengkonversi agama tidak dilihat dari perspektif
kebebasan melainkan dipandang sebagai tindak kriminal yang masuk dalam katagori tindak pidana
berat sehingga sanksi hukumnya berupa hudud yaitu suatu bentuk hukuman yang pasti dan telah
ditetapkan syari ̓ah. Hukuman itu tidak lain adalah hukuman mati. Penetapan hudud bagi pelaku
murtad dengan hukuman mati ini berdasarkan kepada hadits Nabi,“Siapa saja yang mengganti
agamanya (Islam), maka mati (bunuh) dia.” (HR. Bukhari, Muslim, Ahmad, dan Ashhabus Sunan).”
Akan tetapi, hukuman itu tidak boleh dilaksanakan jika orang murtad itu telah bertaubat.
FEMINISME
Pengertian Feminisme.
Feminisme menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah gerakan wanita yang menuntut
persamaan hak sepenuhnya antara kaum wanita dan pria. Sedangkan menurut dua orang feminis dari
Asia Selatan Kamla Bashin dan Nighat Said Khan,feminisme harus didefinisikan secara jelas agar
tidak terjadi kesalah pahaman.Mereka mendefinisikan feminisme secara lebih luas,yaitu sebagai
suatu kesadaran akan penindasan dan pemerasan terhadap perempuan dalam masyarakat , ditempat
kerja dan dalam keluarga serta tindakan sadar oleh perempuan atau laki-laki untuk mengubah kedaan
tersebut.
Solusi Feminisme
Perempuan merupakan sosok manusia yang mendapat peran ganda dalam konteks
kemerdekaan hidupnya.Ia dapat berkiprah dalam kehidupan rumah tangga,namun ia juga dapat
berkiprah di luar rumah dengan tetap menyeimbangkan kegiatannya pada ketentuan-ketentuan
syari’ah. Perempuan juga menjadi tokoh penentu keberhasilan sebuah rumah tangga yang di
dalamnya akan melahirkan generasi penerus kehidupan mendatang.
FUNDA MENTALISME
Pengertian Fundamentalisme
Kata “fundamental” adalah kata sifat yang berarti “bersikap mendasar/pokok” diambil dari
kata fundamen yang artinya “dasar, asas ,alas, fondasi”. Jika diartikan Sebagai sebuah gerakan
keagamaan, fundamentalis dipahami sebagai penganut gerakan keagamaan yang bersifat kolot dan
reaksioner, yang memiliki doktrin untuk kembali kepada ajaran agama yang asli seperti tersurat dalam
kitab suci.