You are on page 1of 13

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Cangkang Kelapa Sawit

Kelapa sawit (Elaeis guineensis Jacq) memiliki beberapa varietas,

diantaranya dura, pisifera, dan tenera (Naibaho, 1998). Taksomomi tumbuhan

kelapa sawit tergolong sebagai ordo palmales, famili palmae, spesies (1)

E. guineensis Jacq (2) E. melanococa atau E. oleifera yang berasal dari amerika

latin.

Cangkang sawit adalah bagian berkayu yang ada didalam buah sawit.

Bahan ini berwarna coklat tua sampai kehitaman dengan tektur yang cukup keras

dan berfungsi sebagai pelindung daging buah biji sawit (endosperm). Cangkang

kelapa sawit sebagai salah satu limbah padat pengolahan minyak CPO dan PKO,

dapat dimanfaatkan sebagai sumber energi. Dengan kandungan karbon terikat

sebesar 20,5%, cangkang kelapa sawit mampu dijadikan sebagai sumber energi

alternative (Husain dkk., 2002).

Cangkang sawit seperti halnya kayu diketahui mengandung komponen-

komponen serat seperti selulosa, hemiselulosa, dan lignin. Menurut Widiarsi

(2008) cangkang kelapa sawit mempunyai komposisi kandunan selulosa

(26,27 %), hemiselulosa (12,61 %), dan lignin (42,96 %). Ketiga komponen ini

apabila mengalami kondensasi dari pirolisanya akan menghasilkan asap cair yang

mengandung senyawa-senyawa fenol, karbonil, dan asam. Menurut Girard (1992),

5
ketiga senyawa tersebut mempunyai sifat fungsional sebagai antibakteri,

antioksidan, dan mempunyai peranan dalam memberikan citarasa yang spesifik.

Sampai saat ini, limbah kelapa sawit belum dimanfaatkan secara optimal.

Tondok (1999) menyatakan bahwa banyak minyak sawit dan inti sawit yang telah

dimanfaatkan sebagai bahan baku pada berbagai industri hilir, sedangkan

beberapa produk sampingan yang belum diteliti pemanfaatannya meliputi tandan

kosong yang kemungkinan bisa dimanfaatkan untuk industri kertas dan pupuk;

limbah cair dan pelepah kelapa sawit dimanfaatkan untuk hijauan ternak.

Kebanyakan limbah padat seperti tandan kosong, pulp, serat dan cangkang hanya

dimanfaatkan sebagai bahan bakar di pabrik (Saono dan Sastrapradja, 1983).

2.2. Pembuatan Asap Cair

Asap cair didefinisikan sebagai cairan kondensat dari asap kayu yang

telah mengalami penyimpanan dan penyaringan untuk memisahkan tar dan bahan

bahan tertentu. Asap cair dapat diaplikasikan untuk antioksidan memberikan

flavor pada daging sapi, daging unggas, ikan salmon, kacang, dan makanan

ringan lainnya; juga dapat digunakan untuk menambahkan flavor asap pada saus,

sup, sayuran yang dikalengkan, bumbu, dan campuran rempah-rempah, makanan

binatang peliharaan, dan beberapa pakan unggas (Pszczola, 1995).

Asap merupakan sistem komplek, terdiri dari fase cairan terdispersi dan

medium gas sebagai pendispersi. Asap cair merupakan suatu campuran larutan

dan dispersi koloid dari uap asap kayu dalam air yang diperoleh dari hasil pirolisa

kayu atau dibuat dari campuran senyawa murni (Maga, 1988). Asap cair

merupakan dispersi uap asap dalam air. Salah satu cara membuat asap cair yaitu

6
dengan mengkondensasikan asap hasil pembakaran dari kayu. Selama

pembakaran, komponen utama dari kayu yaitu selulosa, hemiselulosa dan lignin

akan mengalami pirolisa menghasilkan bermacam senyawa yaitu fenol, karbonil,

asam, furan, alkohol, lakton, hidrokarbon polisiklis aromatis dan lain sebagainya

(Girard, 1992).

Proses pirolisis dapat dibagi menjadi beberapa tahap yaitu : tahap

permulaan pemanasan, di mana terjadi penguapan air dalam kayu sampai dengan

suhu 170 ºC ; dekomposisi hemiselulosa sampai suhu 260 ºC, di mana distilat

yang terjadi sebagian besar mengandung metanol, asam cuka dan asam-asam

lainnya; tahap dekomposisi selulosa pada suhu 260 – 310 ºC; dekomposisi lignin

yang terjadi pada suhu 310 – 500 ºC ; dan tahap terakhir pada suhu 500 – 1000 ºC

diperoleh gas dari kayu yang sukar dikondensasikan, seperti gas hidrogen (Maga,

1988).

Tranggono dkk. (1996) melaporkan bahwa bahan baku pembuatan asap

cair yang digunakan dalam penelitiannya yaitu kayu jati, lamtoro gung, mahoni,

kamper, kruing, glugu, dan tempurung kelapa mengandung selulosa 38,9% -

63,89%, terdapat kadar lignin sebesar 19,35% - 50,44%. Pirolisis bahan tersebut

diperoleh rendemen asap cair sebesar 50,4% dan rendemen arang 31,14%.

Kemudian menurut Maga (1988) komposisi asap cair adalah air 11% - 92%,

senyawa fenolat 0,2% - 2,9%, asam 2,8% - 9,5%, karbonil 2,6% - 4,4%, dan Tar

1% - 17%.

7
2.3. Komponen Asap Cair

Selama pembakaran, komponen utama dari kayu yaitu selulosa,

hemiselulosa dan lignin akan mengalami pirolisis menghasilkan bermacam-

macam senyawa, yaitu fenol, karbonil, asam, furan, alkohol, lakton, hidrokarbon

polisiklis aromatis dan lain sebagainya. Girard (1992) mengemukakan bahwa

lebih dari 300 senyawa dapat diisolasi dari asap kayu dari keseluruhan yang

jumlahnya lebih dari 1000. Senyawa yang berhasil dideteksi dalam asap dapat

dikelompokkan menjadi beberapa golongan:

a. Fenol, terdapat 85 macam yang telah diidentifikasi dalam kondensat dan 20

macam dalam produk asap.

b. Karbonil, keton dan aldehid, 45 macam yang telah diidentifikasi dalam

kondensat.

c. Asam, 35 macam yang telah diidentifikasi dalam kondensat.

d. Furan, 11 macam yang telah diidentifikasi dalam kondensat.

e. Alkohol dan ester, 15 macam yang telah diidentifikasi dalam kondensat.

f. Lakton, 13 macam yang telah diidentifikasi dalam kondensat.

g. Hidrokarbon alifatik, 1 macam yang telah diidentifikasi dalam kondensat dan

20 macam dalam produk asap.

h. Polisiklik aromatik hidrokarbon (PAH), 47 macam yang telah diidentifikasi

dalam kondensat, 20 macam dalam produk asap.

Tiga komponen utama dari asap yang berperan di dalam proses

pengasapan yaitu senyawa fenol, karbonil, dan asam.

8
Komponen-komponen kimia dalam asap sangat berperanan dalam menen-

tukan kualitas produk pengasapan karena selain membentuk flavor, tekstur dan

warna yang khas, pengasapan juga dapat menghambat kerusakan produk (Girard,

1992). Hubungan komponen-komponen dalam asap dan peranannya pada

sifat-sifat produk pengasapan dapat dilihat pada Gambar 2.1 dibawah ini.

Fenol
- Flavor
Karbonil

- Warna Karbonil
Kualitas
produk
pengasapan Difenol (antioksidan)
- Daya simpan Fenol
Bakteriostatik
Formaldehid

- Tekstur Asam
Formaldehid

Gambar 2.1. Hubungan komponen-komponen dalam asap dan peranannya pada


sifat-sifat produk (Girard, 1992).

Ketiga senyawa utama yang terdapat dalam asap cair dan peranannya

dalam proses pengasapan adalah sebagai berikut :

2.3.1. Fenol

Senyawa fenol disebut sebagai konstituen mayor yang berperan dalam

pembentukan flavor pada produk asapan (Girard, 1992). Karakteristik flavor pada

produk asapan disebabkan oleh adanya komponen fenol yang terabsorbsi pada

permukaan produk. Senyawa fenol yang berperan dalam pembentukan flavor asap

adalah guaikol, 4-metilguaikol, dan 2,6-dimetoksi fenol. Guaikol memberikan

9
rasa asap sementara siringol memberi aroma asap (Daun, 1979). Senyawa fenol

yang berperan dalam pembentukan flavor asap adalah fenol dengan titik didih

rendah. Tilgner (1962) dalam Draudt (1963), menunjukkan bahwa nilai ambang

fenol dari kondensat asap adalah 0,147 ppm untuk rangsangan rasa dan 0,023 ppm

untuk rangsangan bau.

Meskipun senyawa-senyawa fenolat sangat berperanan di dalam citarasa

asap tetapi bukan hanya konstituen asap saja yang terlibat, tetapi suatu campuran

kompleks nampaknya juga diperlukan untuk menghasilkan aroma dan citarasa

produk asapan. Terdapatnya senyawa-senyawa lain dalam jumlah kecil seperti

karbonil, lakton dan lain-lain nampaknya dapat merubah citarasa semula yang

diberikan oleh fenol (Daun, 1979; Girard, 1992).

Kadar fenol bervariasi antara 2,10 – 5,13 % tergantung pada macam dan

bentuk kayu dengan rata-rata 2,85 %, sedangkan untuk tempurung kelapa sebesar

5,13 %. Asap cair komersial yang diizinkan mengandung fenol 1250 – 2500 mg/l

(Tranggono dkk., 1996).

2.3.2. Karbonil

Senyawa karbonil dibentuk karena dekomposisi termal dan reaksi

penataan ulang selulosa dan hemiselulosa (Girard, 1992). Senyawa-senyawa yang

terdapat di dalam asap cair meliputi formaldehid, aseton, aldehid, glikolat,

hidroksiaseton, glikoaldehid, metiglioksal, diasetil. Senyawa karbonil yang

berperan pada pembentukan warna coklat adalah formaldehid, aseton, glikolat

dan metilglioksal (Maga, 1988). Kadar senyawa karbonil dari berbagai jenis kayu

10
bervariasi antara 8,56 – 15,23 % dengan variasi rata – rata 11,84 % sedangkan

untuk tempurung kelapa sebesar 13,28 % (Tranggono dkk., 1996).

2.3.3. Asam

Asap mempunyai peranan penting dalam penilaian organoleptik pada

produk asapan secara keseluruhan. Asam-asam yang ada di dalam distilat asap

cair adalah asam format, asetat, propionat, butirat, valerat, dan isokaproat. Asam-

asam yang berasal dari asap cair dapat mempengaruhi flavor, pH, dan umur

simpan bahan makanan tetapi mempunyai pengaruh yang kecil terhadap kualitas

organoleptik keseluruhan (Ockerman et al., 1963 dalam Girard, 1992).

Karena dimungkinkan terdapat interaksi antara konstituen asap dan produk

yang diasap, maka citarasa produk pengasapan tidak hanya disebabkan oleh

konstituen-konstituen asap saja tetapi juga dipengaruhi oleh produk interaksinya.

Dalam hal ini konstituen-konstituen asap dapat dianggap sebagai prekursor dari

senyawa citarasa yang sesungguhnya (Girard, 1992).

2.4. Proses Distilasi dan Fraksinasi Asap Cair

Menurut Ketaren (1986), distilasi atau penyulingan adalah proses

pemisahan suatu komponen yang berupa cairan dari dua macam campuran atau

lebih berdasarkan perbedaan titik uapnya. Dalam praktek distilasi atau

penyulingan dilakukan dengan menguapkan dan mengembunkan kembali bahan

yang akan dipisahkan. Sedangkan Stephen Maill dalam Guenther (1990),

mendefinisikan penyulingan sebagai pemisahan suatu larutan yang terdiri atas dua

komponen atau lebih berdasarkan perbedaan titik uapnya.

11
Senyawa-senyawa yang terkandung dalam asap cair tersebut mempunyai

titik didih yang berbeda-beda maka asap cair dapat difraksinasi untuk

mendapatkan sifat fungsional yang diinginkan. Salah satu cara fraksinasi yang

dapat dilakukan adalah dengan distilasi asap cair. Proses distilasi asap cair juga

dapat menghilangkan senyawa yang tidak diinginkan yaitu senyawa tar dan

hidrokarbon polisiklis aromatik (PAH) (Gorbatov et al., 1971). Menurut Darmadji

(2001) proses distilasi satu tingkat asap cair mempunyai kondisi proses yang

optimum pada suhu 125 ⁰C.

Perry (1973), berpendapat bahwa proses pemisahan dari suatu komponen

larutan dapat terjadi bila larutan tersebut mempunyai perbedaan komposisi, titik

didih dan tekanan parsial. Proses pemisahan tersebut disebut penyulingan bila

pemisahannya menggunakan uap terhadap larutan tersebut di atas. Karena

pemisahan terjadi oleh penguapan salah satu komponen dari campuran, artinya

dengan cara mengubah bagian-bagian yang sama dari keadaan cair menjadi

bentuk uap, maka persyaratan utama adalah kemudahan menguap (volatility) dari

komponen yang akan dipisahkan berbeda satu dengan yang lainnya (Frank, 2004).

Berikut ini dikemukakan beberapa pengertian dan gejala fisik yang

berkaitan dengan penguapan. Di atas setiap cairan terdapat uap, yang terbentuk

karena terlepasnya sejumlah molekul yang berenergi tinggi dari permukaan cairan

ke ruangan sekelilingnya (mengatasi gaya tarik-menarik, gaya kohesi dari

molekul-molekul yang tertinggal). Peristiwa ini disebut sebagai penguapan dalam

arti yang luas. Molekul-molekul dalam ruang di atas cairan akan menimbulkan

tekanan, yang disebut tekanan uap dari cairan yang bersangkutan. Ketika tekanan

12
uap suatu bahan sama dengan tekanan sekeliling maka suhu pada saat itu disebut

suhu didih (titik didih). Titik didih cairan bergantung pada tekanan. Apabila

tekanan sekeliling meningkat, maka titik didih akan naik dan sebaliknya. Jika

suatu cairan misalnya karena pemanasan mencapai suhu didihnya, maka

pemanasan selanjutnya hanya membuat cairan tersebut menguap tanpa terjadi

peningkatan suhu (Bernasconi dkk., 1995).

Fraksinasi adalah proses untuk memisahkan menjadi bagian-bagian

tertentu (Badudu, 2007). Pada asap cair, untuk memisahkan senyawa-senyawa

dalam asap cair dapat dilakukan dengan adsorbsi menggunakan zeolit atau arang

aktif atau distilasi. Menurut Dumadi (2008) distilasi merupakan salah satu jenis

fraksinasi berdasarkan titik didih komponen-komponen dalam bahan.

Pada dasarnya terdapat dua jenis proses distilasi, yaitu (1) distilasi suatu

campuran yang berwujud cairan yang tidak saling bercampur, hingga membentuk

dua fasa atau dua lapisan. (2) distilasi suatu cairan yang tercampur sempurna

sehingga hanya membentuk satu fasa. Pada keadaan ini pemisahan minyak atsiri

menjadi beberapa komponennya, sering disebut fraksinasi, tanpa menggunakan

uap air (Sastrohamidjojo, 2004).

Sebagian besar tar yang terbentuk pada proses pembakaran tempurung

kelapa berasal dari dekomposisi lignin (Darmadji, 2002). Redestilasi asap cair

yaitu mendistilasi asap cair pada suhu yang dapat menguapkan senyawa dalam

asap sehingga dihasilkan senyawa distilat total asap cair bebas tar.

Menurut Darmadji (2001), pemurnian asap cair dilakukan berdasarkan

pada suhu didih masing-masing komponen dalam asap cair. Data titik didih

13
beberapa senyawa yang berperan dalam asap cair dapat dilihat pada Tabel 2.1

dibawah ini.

Tabel 2.1 Titik didih senyawa pendukung sifat fungsional asap cair
Senyawa Titik Didih
(OC , 760 mmHg)
Fenol
Guaikol 205
4-metilguaikol 211
Eugenol 244
Siringol 267
Furfural 162
Pirokatekol 240
Hidroquinon 285
Isoeugenol 266
Karbonil
Glioksal 51
Metilglioksal 72
Diasetil 88
Formaldehid -21
Asam
Asam asetat 118
Asam butirat 162
Asam propionat 141
Asam isovalerat 176
Sumber : Buckingham (1982)

Distilasi bertingkat digunakan untuk memisahkan komponen mudah

menguap dari komponen yang sukar menguap. Dahroni (2007) menyatakan

bahwa komponen titik didih rendah cenderung ke atas dan keluar sebagai distilat

dan komponen titik didih tinggi cenderung turun ke bawah kembali ke bejana atau

ketel bahan. Sedangkan Sastrohamidjojo (2004) menyatakan pada proses distilasi

senyawa yang memiliki titik didih yang lebih tinggi, namun lebih larut dalam air

akan menguap lebih dahulu bila dibandingkan dengan senyawa yang titik

didihnya rendah tetapi kelarutannya dalam air kecil.

14
Pada asap cair, distilasi dilakukan untuk menghilangkan senyawa-senyawa

yang tidak diinginkan seperti benzo[a]piren (titik didih 310oC). Menurut Krylova

et al. (1963) dalam Gorbatov et al. (1971), senyawa yang bersifat karsinogenik

dapat dihilangkan dengan cara distilasi atau penyaringan menggunakan bubur

selulosa.

Koedman (1980) dalam Mayuni (2006), menjelaskan bahwa tingkat

pemisahan komponen volatil dalam destilasi dipengaruhi oleh proses

termodinamika yang terjadi pada bahan karena adanya pengaruh panas. Dengan

adanya pemberian panas maka akan menimbulkan terjadinya suatu titik

keseimbangan dalam tingkat pemisahan komponen kimia bahan, dimana pada titik

ini proses yang berlanjut akan mempengaruhi komposisi bahan. Nilai volatilitas

relatif yang tinggi, akan semakin memudahkan komponen tersebut dipisahkan

dalam proses distilasi.

2.5. Response Surface Metodology RSM

Response Surface Metodology (RSM) merupakan kumpulan teknik

matematik dan statistik yang digunakan untuk modeling dan analisis

permasalahan pada respon yang dipengaruhi oleh beberapa variabel dan bertujuan

memperoleh optimasi respon (Montgomery, 2001).

Jika respon merupakan model fungsi linier pada variable terikat, fungsi

pendekatannya adalah model ordo satu :

15
Jika respon merupakan model fungsi lengkung dalam system maka

digunakan persamaan polynomial tingkat tinggi seperti pada model ordo dua :

Prediksi optimasi respon diperoleh dari titik X1, X2,…..,Xk. Titik tersebut

dinamakan titik stasioner. Titik stasioner dapat dalam bentuk (1) titik respon

maksimum, (2) titik respon minimum, atau (3) titik saddle (pelana). Contour plot

mempunyai peranan sangat penting dalam response surface. Contour plot

menggunakan computers software generated untuk analisis response surface,

eksperimen dapat selalu dikarakterisasi bentuk surface dan lokasi optimum

dengan ketepatan mendekati kebenaran.

Beberapa titik numerik yang dapat digunakan untuk mengatasi masalah ini

adalah multi respon. Teknik yang menjadi referensi adalah metode programming

nonlinier. Pendekatan lain optimasi respon yang banyak digunakan yaitu optimasi

teknik simulasi yang dipopulerkan oleh Derringer dan Suich (1980) dalam

Montgomery (2001). Prosedur ini membuat lebih mudah menggunakan fungsi

desirability. Pendekatan secara umum adalah pertama memasukkan setiap respon

yi ke dalam individu fungsi desirability di yang kisaran lebih bervariasi.

16
2.6. Hipotesis

a. Diduga bahwa suhu dan waktu distilasi berpengaruh pada laju distilasi,

dan laju produksi fenol, asam, karbonil pada masing-masing tingkat

kondensor.

b. Diduga untuk menghasilkan laju distilasi dan laju produksi fenol, asam,

karbonil dibutuhkan kondisi operasi yang berbeda.

17

You might also like