You are on page 1of 19

TUGAS BAHASA INDONESIA

MERANGKUM ISI BUKU

Oleh : PUPUT RIZKY TRIJAYANTI/XI IPS 2/23

SMAN 1 Wonoayu
2012/2013
Identitas Buku

o Judul buku : Blitz (Thriller Novel)


o Pengarang : Rudiyant
o Tahun terbit : 2012
o Penerbit : JAL Publising
o Tebal buku : i + 255 halaman ; 12 x 17 cm
o Kota terbit : Jakarta
o No. ISBN : 602-95576-6-1
Gagasan Pokok

BAB 1 : Harus ikut

BAB 2 : Villa di kaki gunung

BAB 3 : Menjejakkan kaki di sarang harimau

BAB 4 : Tidak sendiri

BAB 5 : Kita bisa mencapai tempat itu

BAB 6 : Tamu tak diundang

BAB 7 : Pagi tak banyak arti

BAB 8 : Persimpangan jalan

BAB 9 : Matanya kuning berkilat

BAB 10 : Pertama dari tim

BAB 11 : Sekutu baru

BAB 12 : Pertikaian di bibir jurang

BAB 13 : Kekasihku terjun bebas

BAB 14 : Peraturan yang harus dipatuhi

BAB 15 : Saling curiga

BAB 16 : Seseorang telah mencelakaiku

BAB 17 : Yang pergi biarkan pergi

BAB 18 : Bagian dari mereka

BAB 19 : Jalan spesial

BAB 20 : Topeng belaka

BAB 21 : Harus meninggalkannya

BAB 22 : Mereka tetap bersahabat


BAB 23 : Dia bukan manusia

BAB 24 : Dalam senyumnya

BAB 25 : Apakah kamu mau meninggalkanku?

BAB 26 : Efek Blitz


Rangkuman

Erick berdiri diberanda luar apartemennya. Dia memandang kosong pemandangan


kota diwaktu malam seperti ini. Wajahnya terlihat ragu sambil sesekali melihat kearah ponsel
yang dipegangnya. Erick melirik arlojinya, masih tersisa waktu satu jam setengah sebelum
waktu berangkat. Masih cukup waktu untuk menjemput Rani, kekasihnya.

Sudah berulang kali Erick berusaha untuk membujuk Rani. Meyakinkannya kalau
liburan di puncak gunung akan terasa lebih indah dan mengesankan dibandingkan dengan
liburan dirumah yang terasa membosankan. Ia mencari segala cara agar kekasihnya itu ikut.
Di pikirannya hanya terngiang, kalau Rani harus ikut pergi. Karena kalau Rani kekasihnya itu
tidak ikut, maka Erick juga tidak boleh ikut ke puncak gunung.

Biasalah kepercayaan kuno tentang pendakian dengan jumlah yang ganjil, maka
penunggu sana akan meminta satu dari mereka untuk membuatnya menjadi genap. Dan
memang kalau Rani tidak ikut, maka otomatis jumlah mereka menjadi ganjil. Rombongan
remaja ini pun berangkat. Mereka meninggalkan kota dengan menggunakan dua mobil.
Berdelapan mereka berangkat untuk menakhlukkan gunung yang masih terkenal
kealamiannya, Gunung Perawan.

Rona matahari pagi disambut oleh kicauan burung-burung yang selalu ingin
memperdengarkan suaranya. Entah sejak kapan ritual itu terjadi pada bangsa mereka. Yang
jelas, setiap pagi mereka akan selalu berkicau. Tentunya, jika cuacanya sesuai dengan selera
mereka.

Dua mobil berbeda jenis itu akhirnya berhenti di depan sebuah villa. Villa itu berdiri
sendiri di pinggiran hutan. Tidak ada bangunan lain disana.

Mereka berdelapan, empat orang cowok dan empat orang cewek. Dan mereka
semuanya berpasangan. Erick dengan Rani, Robby dengan Viola, Subhi dengan Nuria, dan
Zakih dengan Safira.

Delapan muda-mudi ini berencana untuk menghabiskan liburannya di Gunung


Perawan. Pukul sepuluh siang tadi mereka sudah memulai pendakian. Tujuannya adalah
puncak Gunung Perawan. Maklum mereka semuanya mempunyai hobi yang sama yaitu
mendaki gunung.
Shubi yang menjabat sebagai ketua tim berjalan paling depan. Ditangannya
tergenggam sebuah golok tajam yang selalu menebas kesana kemari, membabat semak
belukar untuk memudahkan perjalanan kawan-kawannya yang berjalan dibelakangnya. Dia
sudah sangat berpengalaman dalam membuka jalan.

Dibelakang Shubi ada Nuria, cewek yang menjadi kekasihnya. Sudah cukup lama
keduanya membina hubungan, tepatnya ketika melakukan pendakian ke puncak Gunung
Bromo dua tahun yang lalu. Dibelakang Nuria ada Erick, Rani, Robby, Viola, Safira dan
Zakih. Khusus untuk Zakih, kemana pun tujuan mereka dalam pendakian maka tugasnya
selalu berjalan paling belakang. Dia menjabat sebagai juru kunci dalam tim. Robby memiliki
badan paling besar dibandingkan semua lelaki di tim ini yang membuatnya mendapatkan
jabatan sebagai keamanan tim.

Grooaaarr....

Suara auman binatang buas menggema. Langkah kaki semua terhenti. Suara itu
menggema dimana-mana.

“Harimau,” desis Viola.

Suasana langsung hening, semua langsung terpaku dengan apa yang baru saja mereka
dengar. Bagaimana kalau jalan yang penuh ilalang dan semak belukar ini dibawa Shubi ke
sarang harimau?

Perjalanan pun akhirnya dilanjutkan kembali. Sampai kemudian langkah Shubi yang
berjalan paling depan terhenti. Secara otomatis barisan pendaki itu juga terhenti. Shubi
berjongkok dan membelai daun rumput yang patah di sisi jalan setapak itu. Dia mengamati
dengan kening berkerut. Shubi memperlihatkan daun rumput yang dipegangnya.

“Rumput ini masih terlihat hijau dan belum terlalu layu. Kemungkinan dia baru saja
terinjak dan patah,” kata Shubi.

“Manusia!”, potong Zakih.

“Berarti kita tidak sendiri disini!”, timpal salah satu dari mereka.

Batas waktu sampai senja tiba, adalah rencana yang mengelilingi delapan orang
pendaki ini. Namun ketika matahari telah lelah dan memejamkan matanya, ternyata
pendakian muda-mudi ini hanya sampai di suatu perbukitan. Shubi si Dewa Pembuka Jalan
hanya mampu membawa rekan-rekannya di suatu perbukitan yang banyak terdapat bebatuan.
Dia tidak mampu membawa langkah rombongannya lebih jauh lagi. Ini sudah menjadi batas
maksimalnya untuk hari ini.

Namun Robby yang memiliki sifat tempramen yang sangat tinggi dan keras, malah
menyebut Shubi sebagai seorang pengecut, karena dia merasa bahwa ide bermalam di tempat
ini hanya untuk menyembunyikan kepengecutan Shubi mendaki di malam hari. Yang dia
inginkan hanyalah bisa mencapai puncak itu segera.

Shubi tidak mudah terpancing emosi, demi menghindari pertikaian diantara dia dan
sahabatnya itu, akhirnya dia meminta kawan-kawannya saja yang memutuskan, mau terus
mengikuti jalan setapak yang memerlukan waktu yang cukup lama untuk sampai di puncak
atau membuat jalan baru lurus ke puncak sana. Akhirnya mereka memilih untuk melewati
jalan setapak yang lebih muda untuk dilewati pada malam hari.

Sebenarnya melakukan pendakian di malam hari bukanlah ide yang baik. Mereka
sama sekali tidak leluasa melihat ke sekitar tempat di mana mereka berada. Pandangan mata
mereka terbatas, hanya sampai beberapa meter ke depan saja. Gelap telah menyelimuti
keadaan semuanya.

Meskipun tidak sesuai rencana, tetapi masih dikategorikan beruntung karena sesuai
dengan harapan. Meski lebih dari dua jam perjalanan akan tetapi akhirnya rombongan ini tiba
juga di puncak Gunung Perawan.

Kebiasaan Erick dan Rani tidak pernah berubah sejak dulu. Setiap kali berhasil
menjejakkan diri di puncak tertinggi gunung, mereka berdua selalu berteriak sekeras-
kerasnya. Membuat suara mereka bergema dibeberapa tempat.

Mereka membagi tugas masing-masing, Shubi dan Zakih mencari kayu bakar, Erick
dan Robby yang mendirikan tenda. Sementara yang perempuannya memasak untuk persiapan
makan malam.

Sebelum mereka mengerjakan tugasnya. Erick mengajak kawan-kawannya untuk


berfoto menggunakan kameranya. Kamera dua belas megapixel dengan super blitz, yang
khusus dia beli untuk mengabadikan moment pertama mereka menginjakkan kaki di puncak
Gunung Perawan.
Semuanya langsung ambil posisi berbaris yang berlatar belakang kawah. Berdiri
empat berjongkok tiga. Erick mundur beberapa langkah sampai kawan-kawannya berada
dalam area fotonya.

“Semuanya senyum dan bilang ciisss...!” teriak Erick.

“Ciisss...!”

Ctlaack...!

Tiba-tiba saja seiring lampu blitz yang menyala, permukaan bebatuan yang mereka
pijak bergetar hebat. Tanpa dikomando semua berlarian menjauhi kawah, wajah semua
remaja tersebut langsung panik. Mereka tiarap, meratakan diri dengan permukaan yang
mereka pijak. Setelah menunggu sejenak dan tak ada gempa susulan akhirnya mereka
memutuskan untuk mengerjakan tugas masing-masing.

Setelah para laki-lakinya selesai mengerjakan tugasnya yaitu, mendirikan tenda dan
mencari kayu bakar.

Sekarang giliran para perempuannya yang masak dibagian dapur belakang tenda,
sementara laki-lakinya bernyanyi dengan diiringi petikan gitar dan tepuk tangan. Mereka
sedang melatunkan tembang-tembang populer saat ini.

Suara riuh mereka terhenti ketika seorang pemuda yang mungkin berusia tidak jauh
dengan mereka menghampiri. Dia kemudian memperkenalkan siapa dirinya dan apa
maksudnya datang kemari.

“Namaku Badhun dan aku kehilangan sesuatu...!” kata pemuda desa itu.

Shubi kemudian bertanya benda apa yang hilang darinya. Kemudian Badhun si
pemuda desa itu menunjuk ke tumpukan kayu yang berada dekat dapur.

Sifat beringas Robby kambuh lagi, ia tak suka dengan kedatangan Badhun. Robby
pun akhirnya mengusir tamu tak diundang tersebut. Dan Badhun pun segera pergi.

Tiba-tiba, entah bagaimana ceritanya tidak ada yang tahu. Tabung gas satu kilo
meledak dan menciderai bagian atas tubuh Robby termasuk juga dengan bagian wajahnya.

Pagi pun tiba ditandai dengan terbitnya matahari. Semuanya memandang ke lereng
kawah sebelah timur, kecuali Robby yang sedang istirahat di dalam tenda. Cahaya tipis
kekuningan tersembul disana. Semakin lama area kuningnya semakin melebar dan terus
melebar. Menyingkirkan rona gelap yang berkuasa selama malam tadi. Berbagai pujian rasa
takjub keluar dari bibir para muda-mudi ini. Tapi indah pagi pun tak lama mereka rasakan.
Kali ini pagi tak banyak arti karena mereka harus secepatnya berkemas membawa Robby
turun. Robby harus cepat mendapatkan perawatan rumah sakit.

Ketika pagi tengah merayap merambati hari, ketika itulah delapan remaja ini
berangkat. Mereka kembali menyusuri jalan setapak tempat mereka datang semalam. Tiba-
tiba rombongan perjalanan berhenti. Shubi pun memberitahukan kawan-kawannya kalau di
depan ada persimpangan jalan. Padahal diingatan mereka, semalam sepertinya mereka tidak
melihat jalan bersimpang seperti ini. Shubi pun akhirnya memilih jalan ke arah kanan.

Jam tiga sore, Shubi pun memberikan saran agar sebaiknya singgah dan bermalam di
samping sebuah air terjun, sambil mengisi perbekalan air. Mereka pun akhirnya setuju dengan
saran Shubi. Malam kedua untuk rombongan muda-mudi ini di Gunung Perawan akhirnya
tiba.

Saat matahari terbit keesokan paginya, saat Shubi, Zakih dan Erick masih terlelap
tidur. Rani bangun untuk pertama kali dan langsung menanyakan Safira yang tidak ada di
tenda bersamanya. Zakih kekasih Safira pun panik atas hilangnya keberadaan Safira. Zakih
pun langsung pergi untuk mencari Safira. Shubi, Erick, Nuria, dan Rani pun ikut menyusul.

Safira adalah orang pertama dari tim yang menghilang secara tiba-tiba.

Sampai menjelang pukul sepuluh siang, Safira tidak juga diketemukan. Dia seperti
menghilang begitu saja dalam lebatnya pepohonan hutan. Zakih paling stress dengan keadaan
ini. Dia seperti orang gila, yang terus memanggil-manggil nama kekasihnya. Harapannya
hanya satu Safira menyahuti panggilannya.

Tiba-tiba dihadapan mereka telah berdiri penebang kayu yang kemarin malam di usir
oleh Robby. Muda-mudi ini pun akhirnya meminta tolong kepada Badhun si tukang kayu itu,
untuk menjadi juru pandu mereka agar bisa cepat sampai di kaki gunung dan lalu meminta
bantuan kepada tim SAR untuk mencari Safira. Badhun pun menyutujuinya.

Tetapi di sela-sela keberangkatan mereka, Robby yang pada awal perjalanan tidak
suka dengan Shubi lalu menuduhnya, bahwa hilangnya Safira adalah karena ulahnya. Karena
salah telah memilih jalan ke arah kanan sehingga membuat mereka akhirnya bermalam
kembali dan menyebabkan Safira kemudian menghilang.

Zakih terpancing kata-kata Robby dia berpikir kalau apa yang dikatakan Robby ada
benarnya juga. Robby hanya tersenyum karena merasa mendapat sekutu baru.

Kemudian mereka pun berangkat dan ditemani oleh Badhun. Langkah kaki para
muda-mudi ini pun terhenti di depan sebuah jurang besar. Jalan yang mereka tempuh untuk
mencapai kaki gunung ternyata buntu. Padahal mereka tengah menyusuri jalan kembali yang
kemarin mereka tempuh. Shubi berdiri di bibir jurang dan menatap kosong kebawahnya.

Jalan kembali yang mereka telusuri malah membawa mereka kepada jurang besar
yang terbentang bebas. Seperti biasa sifat tempramen Robby muncul kembali. Robby
menuduh Shubi lagi bahwa hal ini juga salah Shubi. Pertikaian di bibir jurang pun tak
terelakkan lagi. Kesinisan Robby semakin terlihat jelas ketika melihat peluang pada
musuhnya. Shubi hanya terpaku dengan kata-kata Robby yang seperti hujan deras mengguyur
tandusnya hati. Dia setengah tidak percaya orang yang dulunya pernah dekat dengan dirinya
sebagai sahabat kini malah berseberangan dengannya.

“Jangan main di dekat jurang nanti kalian kecemplung kedalamnya,” tiba-tiba satu
suara terdengar dari arah belakang. Semuanya berpaling.

Percekcokan diantara Robby dan Shubi pun semakin meledak. Tiba-tiba Viola tengah
melesat cepat kearah Robby. Meski dalam keadaan wajah dibalut perban, tapi pemuda ini
masih bisa melihat kilatan cahaya di genggaman kekasihnya, yaitu sebuah pisau. Robby yang
tidak menyangka kekasihnya itu akan menyerang dirinya dengan pisau. Robby memiringkan
dirinya kekiri sehingga bertubrukan dengan Zakih. Viola yang berlari cepat di depannya.
Tusukan pisaunya hanya mengenai angin kosong. Dia berusaha menghentikan laju larinya,
tapi yang terjadi tetaplah terjadi. Tubuh itu terus meluncur bersama jeritan panjang dan hilang
tertelan dasar jurang.

Shubi dan Zakih pun langsung turun kedasar jurang untuk mencari Viola. Sementara
Robby hanya duduk menyendiri di atas sebuah batu yang cukup besar. Yang ia ingat-ingat
dibenaknya adalah bahwa kekasihnya terjun bebas.
Jasad Viola tak diketemukan keberadaannya. Akhirnya mereka memutuskan untuk
melanjutkan perjalanan kembali agar lebih cepat sampai di kaki gunung dan meminta bantuan
tim SAR dan warga sekitar untuk mencari Safira dan Viola, hidup atau mati.

Di tengah-tengah perjalanan mereka, Badhun pun memberikan pesan agar tidak ada
yang boleh menoleh kebelakang selama perjalanan. Dan ini adalah suatu peraturan yang
harus dipatuhi.

Dari delapan anggota tim kini tinggal berenam. Empat cowok dan dua cewek. Sambil
terus melangkah mengikuti Badhun. Nuria dan Rani mengobrol sambil bisik-bisik. Mereka
saling curiga kalau Viola pasti tahu sesuatu tentang Safira, dan mereka menganggap kalau ini
ada hubungannya dengan Robby. Sehingga Viola sampai ingin membunuh Robby.

Tiba-tiba dalam perjalanan Zakih mendengar sesuatu. Zakih lalu diam ditempatnya.
Dia menoleh kebelakang dan mencoba melihat lebih jelas. Entah mengapa dia merasa kalau
ada sesuatu dibelakangnya yang memanggil-manggil namanya. Sesuatu yang seolah begitu
dikenalnya.

Zakih pun berusaha untuk tak memperdulikan suara tersebut. Tapi di dalam lubuk hati
Zakih masih penasaran asal suara itu. Dia mendengar lagi sesuatu yang terdengar sayup-
sayup.

“Zakih kau mau meninggalkanku?”

Langkah kaki Zakih langsung terhenti. Dia mengenal suara itu, Safira. Safira juga
berkata kalau “Seseorang telah mencelakaiku.”

Zakih Marjduki pun menurunkan tas besar dan gitarnya. Dia tetap mengedarkan
pandangan, mencoba meraba-raba dari mana suara itu berasal. Sementara yang lainnya tetap
berjalan terus dan tidak menyadari kalau Zakih berhenti di tengah perjalanan mereka.

Hari sudah memasuki wilayah senja, kabut telah turun menyekap daratan. Mereka pun
beristirahat sejenak sambil menyegarkan tenggorokan mereka dengan air persediaan. Shubi
lalu menyadari kalau Zakih temannya tidak ada di tempat mereka beristirahat. Erick lalu
memutuskan untuk pergi mencari Zakih. Shubi hanya terdiam sesaat semua mata
memandangnya. Agak bingung juga ia memutuskan permasalahan ini. Kalau membiarkan
Erick mencari, berarti sebagian orang lagi harus menunggu. Tapi yang jadi masalah bukan
itu, yang jadi masalahnya adalah bagaimana kalau Erick juga tidak kembali?
“Yang pergi biarkan pergi!”, Badhun berkata seolah sebagai jawaban atas rencana
Erick untuk mencari Zakih.

Shubi meradang kearah Badhun, “Yang hilang itu teman kami Dhun! Kok bisa-
bisanya kamu berkata seperti itu. Seolah-olah yang hilang itu hanya sebuah barang biasa. Itu
nyawa tahu!! Kalian semua tunggu disini aku akan mencari Zakih.”

Shubi pun pergi dalam gelapnya malam sambil membawa lampu senter. Sambil
melangkah dengan senter, Shubi selalu berusaha meneliti tepian jalan setapak yang dilaluinya
itu. Dia berharap penuh untuk bisa menemukan orang yang dicarinya disana. Dalam
keheningan suasana tempat itu. Telinganya menagkap suara langkah kaki mendekat dari arah
depan sana, kontan saja Shubi memerintahkan bola matanya untuk tetap melihat kedepan.
Tepat di depan Shubi, sejarak tujuh langkah, Viola berdiri mematung memandang kearahnya.
Ia masih tidak percaya kalau temannya itu selamat dari kejadian siang tadi dibibir jurang.
Shubi pun lalu mengajak Viola untuk ikut mencari Zakih dan setelah itu kembali ke teman-
teman mereka.

“Aku telah menjadi bagian dari mereka!” sahut Viola.

Dengan tangannya yang gemeteran Shubi mengangkat lampu senternya untuk melihat
siapa yang dimaksud Viola dengan kata mereka. Perlahan cahaya lampu menerangi bagian
belakang Viola. Ternyata di belakang Viola telah berdiri belasan mayat hidup berpakaian
compang-camping dengan luka dimana-mana. Shubi tersurut mundur dengan wajah pucat
ketakutan. Detik selanjutnya dia sudah membalikkan tubuhnya dan lari tunggang langgang.
Siapapun tidak mau berurusan dengan mayat hidup di hutan belantara. Viola hanya tertawa
melihat Shubi yang lari ketakutan.

Shubi pun sampai di tempat teman-temannya beristirahat dengan wajah bercucuran


keringat. Shubi lalu berkata kepada teman-temannya bahwa ia tidak menemukan Zakih.
Mereka akhirnya bersiap-siap untuk melanjutkan perjalanan kembali.

“Aku akan membawa kalian ke jalan yang belum pernah di datangi para pendaki
gunung sebelumnya. Ini adalah jalan spesial yang hampir tak pernah terjamah oleh orang dari
luar daerah. Jalan yang pastinya akan sulit kalian terima dengan akal sehat,” kata Badhun.

Nuria menjauh dari Shubi. Dia mengambil tasnya dengan wajah cemberut dan
langsung berlalu meninggalkan Shubi yang masih berdiri menatapnya. Entah mengapa dia
masih belum bisa menerima kalau ada suatu hubungan antara Shubi dengan Viola atas apa
yang dibilang Robby kepadanya. Baginya ketidak jujuran Shubi mengenai hal itu yang jadi
permasalahannya. Ternyata kebersamaannya dengan Shubi selama ini hanyalah topeng
belaka.

Malam tanpa rembulan. Menyusuri jalan beraspal di kota tua dengan menggunakan
penerang lampu senter bukanlah hal yang sulit. Badhun seperti biasanya, berjalan paling
depan. Memimpin kelima remaja yang telah kehilangan tiga kawannya.

Shubi berjalan mendekati Nuria yang sedang berjalan sendiri. Tapi, nuria malah
minggir beberapa langkah ketika Shubi mendekatinya. Dia sengaja menjauh dari kekasihnya
itu untuk saat ini. Berdiri agak tengah jalan, memisahkan diri dari yang lainnya.

“Nona, sebaiknya kita berjalan dalam satu garis lurus saja. Aku hanya berkata untuk
hal yang baik. Bukankah orang tua kita selalu berpesan kepada kita. Kalau berjalan di jalan
raya maka kita harus berjalan di pinggir,” ujar Badhun kepada Nuria.

Tiba-tiba suara klakson mobil terdengar memekakkan telinga, bersamaan dengan itu
cahaya lampu terang benderang menghampar di tempat itu. Sebuah mobil truk melesat
dengan kecepatan tinggi dan menabrak Nuria. Tepat di depan mata teman-temannya. Tanpa
berusaha mengerem atau apa, truk itu terus melaju dengan kecepatan tinggi dan menghilang
dalam kegelapan. Truk itu meninggalkan Nuria yang terkapar bersimbah darah. Semua hanya
terpaku. Meski hubungannya sedang tidak baik, tapi Shubi tetap tak bisa menerima atas apa
yang terjadi. Baginya Nuria sangat berharga. Teman-teman mereka hanya terpaku, yang jadi
pertanyaan mereka adalah bagaimana mungkin ada mobil truk yang ngebut di kota tua tengah
hutan yang tak berpenghuni ini.

Shubi lalu ingin membawa jasad Nuria yang terkapar berlumuran darah. Tapi Badhun
berkata kepada Shubi bahwa ia harus meninggalkannya. Shubi terdiam, dalam hati ia
membenarkan ucapan badhun. Selama ini apa yang diucapkannya selalu benar adanya. Tapi
untuk meninggalkan jenazah Nuria, sungguh hal yang sangat sulit untuk diturutinya.

Tapi Shubi tak punya pilihan lain, ia harus meninggalkan jenazah Nuria. Perjalanan
pun akhirnya mereka lanjutkan. Mereka melewati sebuah rel kereta api. Kaki Robby terjepit
batangan besi rel yang melintang. Terjepit batas kaki. Dan entah bagaimana ceritanya, yang
jelas besi itu seperti mengait kaki Robby tanpa melepaskannya. Tiba-tiba terdengar suara
terompet besar rel kereta api. Berdua dengan Erick, Shubi lalu cepat-cepat menarik Robby.
Sekuat tenaga mereka lakukan, besi itu sepertinya tidak bergeser sedikit pun. Besi pengait rel
itu seperti borgol mati yang kukuh dan tidak mau melepaskan sanderanya. Shubi langsung
berlari menuju tasnya di kaki Rani. Dia cepat membuka resleting dan cepat-cepat mencari
benda yang ingin digunakannya untuk memotong putus kaki Robby. Tapi belum juga Shubi
menemukan benda yang ia cari, kereta lewat dengan cepat di depan mereka semua dan
menabrak tubuh Robby. Percikan darah segar memercik kemana-mana.

Shubi jatuh berlutut di hadapan rel tempat dimana tadi Robby terkait kakinya. Meski
belakangan hubungan mereka agak renggang, tapi masa lalu tidak mengubah keadaan.
Mereka tetap bersahabat.

Tinggal bertiga. Jumlah yang tidak pernah diharapkan keberadaannya. Mereka lalu
melanjutkan perjalanannya kembali. Sambil berjalan Erick mengambil sebuah kamera dari
tas Robby. Rani menimang-nimang kamera yang tadi diambil Erick. Rani kemudian menekan
tombol power untuk menghidupkan kamera digital itu dengan jari telunjuknya. Tiba-tiba
langkah kaki Rani terhenti. Dia terpaku melihat gambar di layar kamera dan melihat ke depan
sana. Wajah gadis itu memucat dengan bibir bergetar. Penuh rasa penasaran, Erick
menghampiri Rani dan mengambil kamera itu darinya. Dia melihat Shubi di layar display itu
dan langsung terperangah tidak percaya. Seapasang kekasih yang tersisa dari tim ini hanya
saling pandang, kemudian mereka berlari menghampiri Shubi. Mendengar derap langkah
orang berlari ini, Shubi menoleh. Erick melintangkan jari telunjuknya di depan bibirnya,
sebagai isyarat untuk tidak ada pernyataan yang keluar dari mulut Shubi. Erick lalu
memperlihatkan kameranya kepada Shubi. Shubi menurut, dia melihat layar kamera itu dan
terkejut luar biasa. Bulu kuduk ketiga muda-mudi ini langsung meremang berdiri.

“Dia bukan manusia,” bisik Erick pelan ke telinga Shubi.

Yang membuat ketiga anggota tim ini melengak luar biasa adalah, gambar Badhun
tidak ada dalam kamera.

Erick, Rani, dan Shubi terus melangkah tanpa tahu apa yang harus mereka lakukan
untuk saat ini. Ketiganya mengalami keadaan yang sama, takut, ngeri dan tidak tahu harus
berbuat apa untuk menangani Badhun.

Badhun bukan orang biasa. Apa yang diucapkannya seperti kutukan buat mereka para
muda-mudi tersebut yang mendengarnya. Dan apa yang diucapkannya seperti antrian karcis
kematian buat mereka. Satu persatu dari mereka pun tewas mengenaskan usai mendengar
kalimatnya.

Seperti, “Api kecil itu kawan dan api besar adalah musuh...!”

Setelah Badhun berkata seperti itu, Robby lalu terkena ledakan tabung gas dan
mengenai mukanya.

Yang kedua, “Jangan bermain dekat jurang, nanti kalian kecemplung kedalamnya!”

Yang terjadi setelah itu, Viola malah masuk kedalam jurang karena sebelumnya terjadi
pertikaian antara Robby dan Viola.

Yang ketiga, “Kalian boleh mengikuti langkahku tapi tidak ada yang boleh menoleh
kebelakang!”

Lalu kemudian Zakih tiba-tiba menghilang dan tak ketemu juga setelah dicari.

Yang keempat, “Bukankah orang tua kita selalu berpesan kepada kita, kalau berjalan
di jalan raya maka kita harus berjalan di pinggir!”

Dan kejadian selanjutnya Nuria tertabrak truk dan mati seketika, padahal saat itu
mereka sedang menyusuri kota tua yang ada di tengah-tengah hutan. Dan kota tua tersebut
pun telah menjadi kota mati dan tak berpenghuni. Bagaimana mungkin ada truk yang melaju
dengan kecepatan tinggi.

Yang kelima, “Perhatikan langkah kalian!”

Dan yang terjadi justru langkah kaki Robby malah terkait besi rel kereta api, yang
membuatnya tertabrak kereta api. Terkecuali Safira yang entah mengapa hilang begitu saja
dalam lebatnya pepohonan hutan. Tanpa jejak atau sesuatu yang memungkinkan untuk
ditelusuri keberadaannya. Safira seperti lenyap tertelan bumi.

Tanpa disadari Badhun sedang mengarahkan mereka pada satu jalan yang akan
mengakhiri riwayat mereka.

Tiba-tiba Shubi membuka tasnya, dia mengeluarkan botol air mineral kosong.
Ditatapnya benda itu sesaat dengan jantung berdebar tidak karuan. Dalam hati, kekasih Nuria
ini berdoa untuk selamat, semoga rencana yang dilakukannya ini berhasil. Shubi berpura-pura
merasa kehausan dan mencoba meminta tolong kepada Badhun untuk mencari sumber air dan
membawanya kembali air tersebut menggunakan botol kosong tersebut. Badhun pun
menyanggupinya. Badhun kemudian pergi ke arah ujung jalan. Dia melenggang santai
dengan botol tergenggam di tangannya. Bayangannya pun lenyap dalam kegelapan sana.

Sekitar lima belas menit kemudian dia kembali. Dia tertegun dan memandang kesana-
kemari, seolah mencari bayangan mereka dalam gelapnya malam. Badhun mendesiskan nama
ketiga remaja itu pelan. Yang tersisa di tempat itu hanya ketiga tas mereka. Badhun menarik
nafas panjang dan menghembuskannya perlahan. Dia kembali tersenyum sambil memandang
arah yang berlawanan dengan dia mengambil air tadi. Dalam senyumnya, pemuda desa itu
menggeleng pelan sekali. Tiga kelinci yang sudah menjadi mangsa di depan matanya, lepas.

Derap langkah ketiga remaja itu menggema ke seantero kota mati. Ketiganya terus
berlari dan berlari. Kota mati itu seperti menjadi saksi atas kegelisahan dan ketakutan ketiga
remaja ini. Langkah lari ketiga remaja ini melambat tatkala melihat siapa yang
memanggilnya di depan mereka itu. Ketiganya langsung menghampiri.

“Zakih...!” panggil Shubi.

Zakih pun segera mengajak ketiganya untuk keluar dari tempat ini.

Begitu Rani dan Erick keluar dari gerbang pembatas kota itu, secara mengejutkan
pintu besi itu menutup. Shubi panik karena dia masih berada di dalamnya. Shubi ingin
menembak kunci gembok, ia menoleh dan terperangah luar biasa. Di belakangnya telah
berbaris puluhan mayat hidup yang sedang melangkah mendekatinya. Dan yang paling
mengejutkan adalah ketika melihat Robby, Safira, Nuria, dalam kelompok mereka. Shubi pun
langsung memanggil nama Nuria.

“Apakah kamu mau meninggalkan aku, Bhi?” tanya Nuria mengiba.

Shubi menjadi ragu, dia kembali melirik kekasihnya yang telah mati itu.

“Shubi jangan tinggalkan aku, tinggallah disini,” kata Nuria kembali.

“Temani kami Bhi,” kata Robby.

Shubi menoleh keluar gerbang, menatap ketiga temannya itu bergantian.“Pergilah,


tinggalkan aku bersama mereka!!” teriak Shubi.
Sekarang yang tersisa hanyalah sepasang kekasih Erick dan Rani yang terus berlari
dalam kegelapan malam, yang dipandu dengan roh Zakih tapi Erick dan Rani tidak
menyadari kalau Zakih juga telah mati. Berulang kali Rani dan Erick jatuh bangun. Kulit
wajah atau tangan mereka pun terkadang tergores ranting-ranting semak atau ilalang yang
mereka lewati. Tapi demi selembar nyawa mereka terus memperjuangkannya. Itulah asa bagi
mereka, sedapat mungkin mereka harus sejauhnya meninggalkan hutan belantara terkutuk itu.

Sampai pada akhirnya Zakih yang berlari paling depan berhenti tepat di depan
pesawahan penduduk.

Kemudian Erick dan Rani mengajak Zakih untuk secepatnya menyusuri pematang
sawah dan segera pulang dari tempat itu. Tapi Zakih hanya berdiri mematung. Wajahnya
terlihat sedih, dia menarik nafas panjang dan menghembuskannya perlahan. Dipandanginya
wajah kedua temannya yang selamat itu. Dia menggeleng pelan dengan kepala sedikit
tertunduk.

Rani dan Erick saling pandang tanda tak mengerti. Zakih mengangguk.

“Yeah. Aku sudah menjadi bagian dari mereka! Aku sudah mati, sama seperti mayat-
mayat hidup yang tadi kita lihat mengeroyok Shubi,” kata Zakih pelan.

Erick tidak percaya bahwa temannya itu telah mati, akhirnya Zakih menjelaskan
kejadian yang mengakibatkan ia tewas. Sepasang kekasih tersebut tertegun tidak percaya.

Meski terlihat berat, Zakih pemuda kurus itu tersenyum hambar.

“Kalian pergilah. Sampaikan kepada semua saudara, teman atau bahkan kerabat
lainnya, jangan pernah menginjakkan kaki di gunung ini. Begitu pula kalian, jangan ada yang
pernah kembali kesini. Lupakan kami semua!!”, kata Zakih dengan mimik sedih.

Air mata Rani secara tidak sadar bergulir jatuh.

“Kalian semua...?”, tanya Rani sambil terisak-isak.

“Ya, kami telah menjadi penghuni gunung ini bersama korban-korban lainnya. Dan
satu-satunya yang paling bertanggung jawab adalah Badhun. Dia adalah sumber bencana bagi
para pendaki,” jawab Zakih.

Erick kemudian bertanya dengan suara parau, “Bagaimana ini semua bisa terjadi ?”
“Kamu ingat ketika pertama kali kita foto di puncak gunung malam itu ?”, tanya
Zakih mencoba mengingatkan kembali.

Erick tidak menyahut.

“Almarhum nenekku pernah bercerita padaku tentang satu hukum langit. Jika ada
cahaya kilat menghampar dari langit, percayalah kalau saat itu juga semua setan dan makhluk
alam gaib keluar dari dalam bumi. Tapi begitu suara petir menggelegar datang, percayalah
kalau saat itu juga semua setan dan makhluk alam gaib langsung masuk kembali ke dalam
bumi,” kata Zakih menjelaskan.

Zakih menatap Erick dalam, “Mungkin ini hanya perkiraanku saja. Tapi aku rasa ini
adalah kenyataan yang memang terjadi kepada kita semua. Kamu telah memanggil Badhun si
penunggu gunung, untuk keluar dengan lampu Blitz foto saat kita berada di puncak gunung.
Kamu ingat, saat usai foto tiba-tiba gunung ini seperti dilanda gempa?”

“Badhun telah lepas dan bebas berkelana dalam hutan Gunung Perawan ini. Karena
ketika dia keluar akibat lampu Blitz-mu, dia tidak mendengar suara petir yang menakutkan.
Dan kurasa bukan Badhun seorang, tapi para penghuni lainnya juga. Pergilah Rick!! Tidak
ada yang bisa menjamin kalau mayat-mayat hidup itu tak akan mengejar kalian sampai
kesini. Pergilah....!!!” tambah Zakih memperingatkan.

Erick merasa sangat bersalah sekali mendengar penuturan tentang Badhun dan
makhluk lainnya. Karena dirinyalah, nyawa keenam sahabatnya tewas, Robby, Viola, Shubi,
Nuria, Safira dan juga Zakih.

Erick tidak mau membuang waktu lagi. Dia menyentuh lengan Rani dan langsung
mengajaknya meninggalkan tempat itu. Dengan segala kesedihan, dia berlari-lari kecil
menyusuri pematang sawah. Di belakangnya, Zakih hanya bisa berdiri mematung.
KESIMPULAN

Pendakian ke puncak gunung yang belum terjamah ternyata bukan hanya


sebuah sebuah ekspedisi yang menantang, tapi juga mengerikan. Tanpa mereka semua
menyadarinya, secara perlahan mereka tengah terjerat di sebuah kondisi dimana kepercayaan,
cinta, pengkhianatan dan kematian datang silih berganti. Alam menegaskan, ini tempat yang
salah untuk mereka datangi. Karena mereka semua tidak tahu apa dan siapa yang akan
mereka hadapi disini.

Permasalahan mereka berawal dari perkenalan mereka dengan Badhun. Badhun


adalah si penunggu gunung perawan. Badhun keluar akibat lampu Blitz foto saat para remaja
itu berada di puncak gunung. Badhun telah lepas dan bebas berkelana dalam hutan gunung
ini. Badhun menyamar sebagai seorang pemuda desa yang baik hati dan ingin membimbing
jalan pulang para muda-mudi ini ke arah yang benar agar tak kesasar lagi. Padahal
sebaliknya, Badhun hanya menyesatkan. Dia membimbing para remaja ini ke arah yang
salah, yang pada akhirnya akan membunuh mereka satu persatu. Badhun bukan orang biasa.
Apa yang diucapkannya seperti kutukan buat mereka para muda-mudi tersebut yang
mendengarnya. Dan apa yang diucapkannya seperti antrian karcis kematian buat mereka.
Satu persatu dari mereka pun tewas mengenaskan usai mendengar kalimatnya.

You might also like