You are on page 1of 13

RESPIRATORY DISTRESS SYNDROME

(RDS)

1. Definisi
Respiratory distress syndrome adalah suatu bentuk gagal nafas yang ditandai
dengan hipoksemia penurunan compliance paru, dispnea, edema pulmonal bilateral
tanpa gagal jantung dan infiltrat yang menyebar (Somantri, 2009).
Respiratory distress syndrome (RDS) merupakan kumpulan gejala yang terdiri
atas dispnea, frekuensi pernafasan yang lebih dari 60 kali permenit, adanya sianosis,
adanya rintihan pada saat ekspirasi (ekspiratory grunting), serta adanya retraksi
suprasternal, interkostal, dan epigastrium saat inspirasi. Penyakit ini adalah penyakit
membran hialin, dimana terjadi perubahan atau berkurangnya komponen surfaktan
pulmonal (zat aktif alveoli yang dapat mencegah kolaps paru dan mampu menahan
sisa udara pada akhir ekspirasi) (Hidayat, 2008).
Respiratory distress syndrome juga dikenal sebagai penyait membran hialin,
biasanya dikaitkan dengan bayi preterm dan merupakan masalah yang paling
serius (Meadow & Newell, 2005).
2. Klasifikasi
Dibagi menjadi dua stadium, yaitu :
a. Eksudatif
Ditandai dengan adanya perdarahan pada permukaan parenkim paru, edema
interstisial atau elveolar, penekanan pada bronkiolus terminalis, dan kerusakan
pada sel alveolar tipe I (Somantri, 2009).
b. Fibroproliferatif
Ditandai dengan adanya kerusakan pada sel alveolar tipe II, peningkatan tekanan
puncak inspirasi, penurunan compliance paru, hipoksemia, penurunan fungsi
kapasitas residual, fibrolisis interstisial, dan peningkatan ruang rugi
ventilasi(Somantri, 2009).
Pada foto thorak menurut kriteria Bomsel ada 4 stadium RDS yaitu :
a. Stadium 1
Terdapat sedikit bercak retikulogranular dan sedikit bronchogram udara
b. Stadium 2
Bercak retikulogranular homogen pada kedua lapangan paru dan gambaran air
broncogram udara terlihat lebih jelas dan meluas sampai ke perifer menutupi
bayangan jantung dengan penurunan aerasi paru.
c. Stadium 3
Kumpulan alveoli yang kolaps bergabung sehingga kedua lapangan paru
terlihat lebih opaque (white lung) dan bayangan jantung hampir tidak terlihat,
bronchogram udara lebih luas.
d. Stadium 4
Seluruh thorak sangat opaque (white lung) sehingga jnatung tidak dapat
terlihat. (Warman, Waskito, & Romadhon, 2012).
3. Etiologi
Faktor risiko terjadinya respiratory distress syndrome adalah :
a. Bayi kurang bulan atau bayi premature
Pada bayi kurang bulan, paru bayi secara biokimiawi masih imatur dengan
kekurangan surfaktan uang melapisi rongga paru.
b. Kegawatan neonatal
Seperti kehilangan darah dalam periode perinatal, aspirasi mekonium,
pnemotoraks akibat tinadakan resusitasi, dan hipertensi pulmonal.
c. Bayi dari ibu diabetes mellitus
Pada bayi dengan diabetes terjadi keterlambatan pematangan paru sehingga
terjadi distress respirasi. (Warman et al., 2012)
4. Manifestasi Klinis
a. Sesak nafas atau pernafasan cepat
b. Frekuensi nafas > 60 x/menit
c. Pernafasan cepat dan dangkal timbul setelah 6-8 jam setelah lahir
d. Retraksi interkostal, epigastrium, atau suprasternal pada inspirasi
e. Sianosis dan pernafasan cuping hidung
f. Grunting pada ekspirasi (terdengan seperti suara rintihan saat ekspirasi)
g. Takikardi (170 x/menit) (Suryanah, 1996).
Evaluasi gawat nafas menurut skor down
Pembeda 0 1 2 Keterangan
Frekuensi < 60 x/menit 60-80 > 80 x/menit Skor < 4
nafas x/menit tidak gawat
Retraksi dada Tidak ada Ringan Berat nafas
Sianosis Tida sianosis Hilang Menetap Skor 4-7
dengan O2 walaupun gawat nafas
diberikan O2
Air entry Udara masuk Penurunan Tidak ada
bilateral baik ringan udara udara masuk
masuk
Merintih atau Tidak Terdengar Terdengar Skor > 7
grunting merintih dengan tanpa alat ancaman
stetoskop bantu gawat nafas

5. Komplikasi
a. Komplikasi jangka pendek dapat terjadi :
1. Kebocoran alveoli
Apabila dicurigai terjadi kebocoran udara seperti pneumothorak,
pneumomediastinum, pneumopericardium, emfisema intersisiel, pada bayi
dengan RDS yang tiba-tiba memburuk dengan gejala klinikal hipotensi,
apnea, atau bradikardi atau adanya asidosis yang menetap.
2. Jangkitan penyakit karena keadaan penderita yang memburuk dan adanya
perubahan jumlah leukosit dan thrombositopeni. Infeksi dapat timbul kerana
tindakan invasif seperti pemasangan jarum vena, kateter, dan alat-alat
respirasi.
3. Perdarahan intrakranial
Perdarahan intraventrikuler terjadi pada 20-40% bayi prematur dengan
frekuensi terbanyak pada bayi RDS dengan ventilasi mekanik.
b. Komplikasi jangka panjang
Dapat disebabkan oleh keracunan oksigen, tekanan yang tinggi dalam paru,
memberatkan penyakit dan kekurangan oksigen yang menuju ke otak dan organ
lain. Komplikasi jangka panjang yang sering terjadi :
1) Bronchopulmonary Dysplasia (BPD)
2) Retinopathy prematur (Azizah, 2013).
6. Pemeriksaan Penunjang
a. Tes Kematangan Paru
1. Tes Biokimia
Paru janin berhubungan dengan cairan amnion, maka jumlah fosfolipid dalam
cairan amnion dapat untuk menilai produksi surfaktan, sebagai tolok ukur
kematangan paru.
2. Test Biofisika
Tes biokimia dilakukan dengan shake test dengan cara mengocok cairan
amnion yang dicampur ethanol akan terjadi hambatan pembentukan
gelembung oleh unsur yang lain dari cairan amnion seperti protein, garam
empedu dan asam lemak bebas. Bila didapatkan ring yang utuh dengan
pengenceran lebih dari 2 kali ( cairan amnion : ethanol ) merupakan indikasi
maturitas paru janin. Pada kehamilan normal, mempunyai nilai prediksi positip
yang tepat dengan resiko yang kecil untuk terjadinya neonatal RDS.
c. Analisis Gas Darah
d. Gas darah menunjukkan asidosis metabolik dan respiratorik bersamaan dengan
hipoksia. Asidosis muncul karena atelektasis alveolus atau over
distensi jalan napas terminal.
e. Radiografi Thoraks
Pada bayi dengan RDS menunjukkan retikular granular atau gambaran ground-
glass bilateral, difus, air bronchograms, dan ekspansi paru
yang jelek. Gambaran air bronchograms yang mencolok menunjukkan
bronkiolus yang terisi udara didepan alveoli yang kolap. Bayangan jantung bisa
normal atau membesar. Kardiomegali mungkin dihasilkan oleh asfiksi prenatal,
diabetes maternal , patent ductus arteriosus (PDA), kemungkinan kelainan
jantung bawaan. Temuan ini mungkin berubah dengan terapi surfaktan dini dan
ventilasi mekanik yang adekuat. (Warman et al., 2012).
7. Penatalaksanaan
a. Ventilasi Mekanis
Ventilasi mekanis merupakan prosedur bantuan hidup yang invasif dengan
berbagai efek pada sistem kardiopulmonal.
Tujuan : Ventilasi mekanis adalah membaiknya kondisi klinis pasien dan
optimalisasi pertukaran gas dan pada FiO2 (fractional concentration of inspired
oxygen) yang minimal, serta tekanan ventilator atau volume tidal yang minimal.
Indikasi :
1. Indikasi absolut
a. prolonged apnea
b. PaO2 kurang dari 50 mmHg atau FiO2 diatas 0,8 yang bukan disebabkan
oleh penyakit jantung bawaan tipe sianotik
c. PaCO2 lebih dari 60 mmHg dengan asidemia persisten
d. Bayi yang menggunakan anestesi umum
2. Indikasi relatif
a. Frequent intermittent apnea
b. Bayi yang menunjukkan tanda-tanda kesulitan nafas
c. Pada pemberian surfaktan (Effendi & Firdaus, 2010).
b. Terapi surfaktan
Saat ini preparat surfaktan yang tersedia antara lain adalah surfaktan
sintetis dan surfaktan natural yang berasal dari ekstrak paru-paru sapi atau dari
bilas paru-paru domba atau babi. Surfaktan dapat diberikan pada 6 sampai 24
jam setelah bayi lahir apabila bayi mengalami respiratory distress syndrome
yang berat. Selanjutnya surfaktan dapat diberikan 2 jam (umumnya 4-6 jam)
setelah dosis awal apabila sesak menetap dan bayi memerlukan tambahan
oksigen 30% atau lebih. Surfaktan dapat diberikan langsung melalui selang
ETT atau dengan menggunakan nebulizer. Pemberian langsung kedalam
selang ETT memungkinkan distribusi surfaktan yang lebih cepat sampai ke
bagian perifer paru-paru, efektivitas nya lebih baik dan efek samping yang
dapat ditimbulkan lebih sedikit. Pemberian surfaktan juga dapat dilakukan
dengan menggunakan nebulizer disertai dengan ventilasi mekanis (2-3 menit),
dilanjutkan dengan postural drainage (Effendi & Firdaus, 2010).
Nama produk surfaktan Dosis Dosis tambahan
Galfactant 3 ml/KgBB Dapat diulang sampai 3
kali pemberian dengan
interval tiap 12 jam
Beractant 4 ml/KgBB Dapat diulang setelah 6
jam, sampai total 4 dosis
dalam 48 jam
Colfosceril 5 ml/KgBB Diberikan dalam 4 menit
Dapat diulang setelah 12
dan 24 jam
Porcine 2,5 ml/KgBB Dosis 1,25 ml/KgBB dapat
diberikan tiap 12 jam

c. Continuos Positive Airway Pressure (CPAP)


Continuos Positive Airway Pressure (CPAP) adalah merupakan suatu alat untuk
mempertahankan tekanan positif pada saluran napas neonatus selama pernafasan
spontan. CPAP merupakan suatu alat yang sederhana dan efektif untuk tatalaksana
respiratory distress pada neonatus. Penggunaan CPAP yang benar terbukti dapat
menurunkan kesulitan bernafas, mengurangi ketergantungan terhadap oksigen,
membantu memperbaiki dan mempertahankan kapasitas residual paru, mencegah
obstruksi saluran nafas bagian atas, dan mecegah kollaps paru, mengurangi apneu,
bradikardia, dan episode sianotik.
Kontra indikasi :
1. Bayi dengan gagal nafas, dan memenuhi kriteria untuk mendapatkan support
ventilator
2. Respirasi yang irreguler
3. Adanya anomali kongenital
4. Hernia diafragmatika
5. Fistula tracheo-oeshophageal
6. Trauma pada nasal, yang kemungkinan dapat memburuk dengan
pemasangan nasal prong
7. Instabilitas cardiovaskuler, yang akan lebih baik apabila mendapatkan
support ventilator (Effendi & Ambarwati, 2014).
d. Extracorporeal Membrane Oxygenation
Extracorporeal membrane oxygenation (ECMO) merupakan alat yang
menghubungkan langsung darah vena pada alat paru-paru buatan (membrane
oxygenator), dimana oksigen ditambahkan dan CO2 dikeluarkan, kemudian darah
dipompa balik pada atrium kanan pasien (Venovenosis ECMO) atau aorta
(venoarterial). Prosedur ini membuat paru-paru dapat beristirahat dan menghindari
tekanan tinggi ventilator. (Effendi & Firdaus, 2010).
Secara umum penatalaksanaan pada pasien dengan respiratory distress syndrome
adalah :
a. Memperthankan stabilitas jantung paru yang dapat dilakukan dengan mengadakan
pantauan mulai dari kedalaman, kesimetrisan dan irama pernafasan, kecpatan,
kualitas dan suara jantung, mempertahankan kepatenan jalan nafas, memmantau
reaksi terhadap pemberian atau terapi medis, serta pantau PaO2. Selanjutnya
melakukan kolaborasi dalam pemberian surfaktan eksogen sesuai indikasi.
b. Memantau urine, memantau serum elketrolit, mengkaji status hidrasi seperti turgor,
membran mukosa, dan status fontanel anterior. Apabila bayi mengalami kepanasan
berikan selimut kemudian berikan cairan melalui intravena sesuai indikasi.
c. Mempertahankan intake kalori secara intravena, total parenteral nurition dengan
memberikan 80-120 Kkal/Kg BB setian 24 jam, mempertahankan gula darah
dengan memantau gejala komplikasi adanya hipoglikemia, mempertahankan intake
dan output, memantau gejala komplikasi gastrointestinal, sepertia danya diare,
mual, dan lain-lain.
d. Mengoptimalkan oksigen, oksigenasi yang optimal dilakukan dengan
mempertahankan kepatenan pemberian oksigen, melakukan penghisapa lendir
sesuai kebutuhan, dan mempertahankan stabilitas suhu.
e. Pemberian antibiotik.
f. Bayi dengan respiratory distress syndrome perlu mendapat antibiotik untuk
mencegah infeksi sekunder. Dapat diberikan penisilin dengan dosis 50.000-100.000
U/kgBB/hari atau ampisilin 100 mg/kgBB/hari, dengan atau tanpa gentamisin 3-5
mg/kgBB/hari.(Hidayat, 2008).
Konsep Asuhan Keperawatan

a. Pengkajian
1. Biodata
Respiratory distress sindrome merupakan suatu sindrom yang sering ditemukan
pada neonatus dan menjadi penyebab morbiditas utama pada bayi berat lahir
rendah (BBLR). Sindrom ini paling banyak ditemukan pada BBLR terutama
yang lahir pada masa gestasi < 28 minggu (Tobing, 2004).
2. Keluhan utama
Adanya dispnea yang akan diikuti dengan takipnea, pernafasan cuping hidung,
retraksi dinding toraks, dan sianosis (Tobing, 2004).
3) Riwayat kesehatan
a. Riwayat penyakit sekarang
Pada bayi yang mengalami respiratory ditress sindrome adalah sesak
nafas atau pernafasan cepat, frekuensi nafas > 60 x/menit, pernafasan cepat
dan dangkal timbul setelah 6-8 jam setelah lahir, retraksi interkostal,
epigastrium, atau suprasternal pada inspirasi, sianosis dan pernafasan cuping
hidung, grunting pada ekspirasi (terdengan seperti suara rintihan saat
ekspirasi), dan takikardi (170 x/menit) (Suryanah, 1996).
b. Riwayat penyakit dahulu
Pada pengkajian riwayat penyakit dahulu perlu prematuritas dan masa
kehamilan bayi (Tobing, 2004)..
c. Riwayat penyakit keluarga
Faktor – faktor risiko yang dapat kita pertimbangkan untuk meramalkan
terjadinya respiratory distress sindrome adalah riwayat kehamilan sebelumnya,
bedah caesarea, diabetes, ketuban pecah lama, penyakit ibu(Tobing, 2004).
4) Pemeriksaan fisik
a. Keadaan umum
Keadaan umum pasien dengan respiratory distress syndrome di dapatkan
kesadaran yang baik atau composmetis dan akan berubah sesuai dengan tingkat
gangguan yang melibatkan perfusi sistem saraf pusat.
b. Pemeriksaan fisik (B1-B6)
B1 (Breathing)
Takhipneu adalah manifestasi awal distress pernafasan pada bayi. Takhipneu
tanpa tanda lain berupa distress pernafasan merupakan usaha kompensasi
terhadap terjadinya asidosis metabolik, frekuensi nafas yang sangat lambat dan
ireguler sering terjadi pada hipotermi, kelelahan dan depresi SSP yang
merupakan tanda memburuknya keadaan klinik.Meningkatnya usaha nafas
ditandai dengan respirasi cuping hidung, retraksi dinding dada, yang sering
dijumpai pada obtruksi jalan nafas dan penyakit alveolar. Anggukan kepala ke
atas, merintih, stridor dan ekspansi memanjang menandakan terjadi gangguan
mekanik usaha pernafasan(Adun, 2012).
B2 (Blood)
Pemeriksaan kualitas nadi sangat penting untuk mengetahui volume dan aliran
sirkulasi perifer nadi yang tidak adekuat dan tidak teraba pada satu sisi
menandakan berkurangnya aliran darah atau tersumbatnya aliran darah pada
daerah tersebut. Perfusi kulit kulit yang memburuk dapat dilihat dengan adanya
bercak, pucat dan sianosis (Adun, 2012).
B3 (Brain)
Terjadi immobilitas, kelemahan, kesadaran lethargi, penurunan suhu
tubuh(Adun, 2012).
B4 (Bladder)
Pada ginjal terjadi penurunan produksi atau laju filtrasi glomerulus(Somantri,
2009).
B5 (Bowel)
Pasien biasanyan mual dan muntah, anoreksia akibat pembesaran vena dan
statis vena di dalam rongga abdomen, serta penurunan berat badan(Somantri,
2009).
B6 (Bone)
Pada keadaan perfusi dan hipoksemia, warna kulit tubuh terlihat
berbercak (mottled), tangan dan kaki terlihat kelabu, pucat dan teraba
dingin (Adun, 2012).
b. Diagnosa Keperawatan
1. Ketidakefektifan bersihan jalan nafas b.d edema pulmonal, cedera pulmonal.
2. Ketidakefektifan pola nafas b.d kolaps alveoli, peningkatan usaha nafas, takipnea.
3. Gangguan pertukaran gas b.d pembentukan membran hialin, cedera pulmonal.
4. Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh b.d reflek menghisap
berkurang, intake inadekuat.
5. Ketidakefektifan koping keluarga b.d perubahan status kesehatan, kecemasan
keluarga.
c. Intervensi
1. Ketidakefektifan bersihan jalan nafas b.d edema pulmonal, cedera pulmonal.
Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan dalam waktu 3 x 24 jam
bersihan jalan nafas kembali efektif.
Kriteria hasil :
a. Pasien dapat bernafas secara normal tanpa menggunakan otot bantu pernafasan.
b. Tidak ada bunyi nafas tambahan.
c. Pergerakan nafas normal.
Intervensi :
a. Beri penjelasan mengenai prosedur tindakan yang akan dilakukan pada
keluarga pasien.
Rasional : mencegah kesalahfahaman antara perawat dan keluarga
pasien serta meningkatkan pengetahuan keluarga pasien.
b. Kaji fungsi pernafasan (bunyi nafas, kecepatan, irama, kedalaman, dan
penggunaan otot bantu pernafasan).
Rasional : sebagai penurunan bunyi nafas menunnjukkan atelektasis,
sedangkan grunting menunjukkan adanya akumulasi sekret pada pulmonal dan
edema.
c) Lakukan pengisapan lendir dalam waktu kurang dari 15 detik.
Rasional : penghisapan lendir dapat mengurangi lendir pada saluran
pernafasan sehingga jalan nafas kembali efektif dan mencegah hipoksia.
d) Atur posisi pasien semi fowler
Rasional : posisi semi fowler memaksimalkan ekspansi paru dan
menurunkan usaha bernafas
e) Kolaborasi dengan dokter pemberian agen mukolitik.
Rasional : agen mukolitik menurunkan keketalan dan perlengketan
sekret sehingga memudahkan pembersihan jalan nafas.
2) Ketidakefektifan pola nafas b.d kolaps alveoli, peningkatan usaha nafas,
takipnea.
Tujuan : Setelah dilakukan tidakan keperawatan dalam waktu 3 x 24 jam tidak
terjadi perubahan pola nafas.
Kriteria hasil :
a. Pasien tidak sesak nafas
b. RR dalam batas normal
c. Tidak terjadi sianosis
Intervensi :
a. Beri penjelasan mengenai prosedur tindakan yang akan dilakukan oleh
perawat pada keluarga pasien
Rasional : mencegah kesalahfahaman antara perawat dan keluarga
pasien serta meningkatkan pengetahuan pasien.
b Observasi tanda-tanda vital
Rasional : peningkatan pernafasan dapat menunnjukkan adanya
ketidakefektifan pengembangan ekspansi paru.
c Kaji bunyi nafas.
Rasional : indikasi adanya edema paru sekunder akibat cedera
pulmonal.
d. Kolaborasi dengan dokter pemberian O2.
Rasional : meningkatkan intake O2 dalam tubuh sehingga kebutuhan
O2 dalam tubuh terpenuhi.
3) Gangguan pertukaran gas b.d pembentukan membran hialin, cedera pulmonal.
Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan dalam waktu 2x24 jam tidak
terjadi gangguan pertukaran gas.
Kriteri hasil :
a) Tidak terjadi dyspnea
b) Tidak ada tanda-tanda sianosis
c) SpO2 dalam batas normal
Intervensi :
a) Beri penjelasan mengenai prosedur tindakan yang akan dilakukan oleh perawat
pada keluarga pasien
Rasional : mencegah kesalahfahaman antara perawat dan pasien serta
meningkatkan pengetahuan keluarga pasien.
b) Obserfasi SpO2 dalam darah
Rasional : penurunan nilai SpO2 dalam darah dapat menunnjukan
adanya hipoksemia dalam tubuh.
c) Observasi warna kulit, membran mukosa dan kuku, catat adanya sianosis
perifer dan sianosis pusat
Rasional : sianosis kuku, membran mukosa dan sekitar mulut
menggambarkan vasokontriksi atau respons tubuh terhadap hipoksemia
sistemik..
d) Berikan oksigen lembab dengan masker CPAP sesuai indikasi.
Rasional : meningkatkan kadar oksigen dalam tubuh pasien sehingga
tidak terjadi hipoksia.
d. Implementasi
Implementasi adalah pengelolaan dan perwujudan dari rencana keperawatan
yang telah disusun pada tahap perencanaan. Implementasi keperawatan respiratory
distress syndrome sesuai dengan intervensi yang telah dibuat sebelumnya.
e. Evaluasi
Evaluasi adalah perbandingan yang sistemik atau terencana tentang kesehatan
pasien dengan tujuan yang telah ditetapkan, dilakukan dengan cara
berkesinambungan, dengan melibatkan pasien, keluarga dan tenaga kesehatan lainnya.
DAFTAR PUSTAKA

Adun. (2012). RDS (Respiratiry Distress Syndrome). Retrieved January 24, 2016, from
http://adoen-berbagiilmu.blogspot.co.id/2012/04/rds-respiratiry-distress-syndrome.html

Azizah, N. (2013). Respiratory Distress Sindrome. Retrieved January 23, 2016, from
http://akbidwh.blogspot.co.id/2013/03/respiratory-distress-syndrome-rds.html

Effendi, S. H., & Ambarwati, L. (2014). Continuous Positive Airway Pressure ( CPAP ).
Bandung. Retrieved from http://pustaka.unpad.ac.id/wp-
content/uploads/2014/07/CPAP.pdf

Effendi, S. H., & Firdaus, A. (2010). Diagnosis dan Penatalaksanaan Respiratory Distress
Sindrome pada Neonatus. Padjajaran. Retrieved from http://pustaka.unpad.ac.id/wp-
content/uploads/2014/07/Distress-Pernafasan.pdf

Hidayat, A. aziz A. (2008). Pengantar Ilmu Kesehatan Anak untuk Pendidikan Kebidanan.
Jakarta: Salemba Medika.

Meadow, R., & Newell, S. (2005). Lecture Notes Pediatrika (edisi Ketu). Jakarta: Erlangga.

Somantri, I. (2009). Asuhan Keperawatan Gangguan Klien dengan Gangguan Sistem


Pernafasan(Edisi 2). Jakarta: Salemba Medika.

Suryanah. (1996). Keperawatan Anak untuk Siswa SPK. Jakarta: EGC.

Tobing, R. (2004). Kelainan Kardiovaskular pada Sindrom Gawat Nafas Neonatus. Sari
Pediatri, 6(1), 40–46.

Warman, F. I., Waskito, S., & Romadhon, M. (2012). Respiratory Distress Sindrome.
Retrieved January 23, 2016, from https://www.scribd.com/doc/97547993/Respiratory-
Distress-Syndrome

You might also like