You are on page 1of 15

MARPOL (Marine Polution) adalah sebuah peraturan nternasional yang bertujuan untuk

mencegah terjadinya pencemaran di laut. Setiap system dan peralatan yang ada di kapal yang
bersifat menunjang peraturan ini harus mendapat sertifikasi dari klas.
Berikut ruang lingkup MARPOL, dimana setiap kapal harus dilengkapi berbagai system yang
sesuai dengan regulasi ini:

Regulasi tentang pencegahan pencemaran oleh minyak ( annex I )

Untuk menyesuaikan dengan peraturan ini, maka setiap kapal harus memenuhi perlengkapan
sebagai berikut:

 Oil record book

adalah suatu record kapal tentangsegala aktivitas yang berhubungan dengan oil. Mulai dari
proses discharge cargo, discharge slop tank, pembersihan cargo tank, dan sebagainya. SEgala
bentuk pencatatan harus selalu ada di kapal, bila ada pemeriksaan berkala atau pemeriksaan
setempat.

 Oil discharge monitoring system

adalah suatu system yang mengontrol kadar minyak dalam air yang akan dibuang ke laut.
System monitoring harus berfungsi dengan baik dalam berbagai kondisi lingkungan untuk
memonitor dan mongontrol segala macam pembuangan minyak ke laut karena pembuangan
dari air ballast kotor dan segala macam minyak bercampur air dari cargo tank ke laut yang
tidak terkontrol oleh system monitoring adalah suatu bentuk pelanggaran.

Sistem monitoring ini terdiri dari:

1. Meteran minyak untuk mengukur kadar minyak dalam air


2. Indikator kecepatan kapal untuk mengetahui kecepatan kapal (dalam knots)
3. Indikator posisi kapal untuk mengetahui posisi kapal
4. Discharge control untuk mengatur pembuangan minyak
5. Data recorder untuk mencatat data-data pada waktu discharge
6. Data display untuk menunjukkan data-data ketika discharge sedang berlangsun
Sistem ini dihubungkan ke alarm yang akan berbunyi dan otomatis menutup saluran
pembuangan jika minyak bercampur air yang dikeluarkan melebihi 30 liter per mil laut dan
kandungan minyak yang dibuang melebihi 15 ppm (part per million).

Regulasi tentang pencegahan pencemaran oleh NOx cair ( annex II )

Kategori bahan-bahan kimia yang dimaksud dalam annex ini adalah:

Kategori X:

 NOx jika dibuang ke laut dianggap menimbulkan tingkat bahaya paling tinggi kepada
lingkungan laut, kesehatan manusia, sehingga diberikan larangan untuk pembuangan
zat kimia tipe ini.

Kategori Y:

 NOx jika dibuang ke laut menimbulkan bahaya terhadap lingkungan laut dan
kesehatan manusia, sehingga diberikan batasan mengenai jumlah dan kualitas zat
kimia ini untuk dibuang ke laut.

Kategori z:

 NOx jika dibuang ke laut menimbulkan bahaya yang relative kecil terhadap
lingkungan laut dan kesehatan manusia, sehingga diberikan batasan yang tidak terlal
ketat tentang pembuangan zat imia ini ke laut.

Substansi lainya:
Adalah substansi diluar kategori X, Y, dan Z karena tdak menimbulkan bahaya apapun jika
dibuang ke laut.

Regulasi tentang pencegahan pencemaran oleh substansi berbahaya yang diangkut dalam
bentuk kemasan ( annex III )

Substansi berbahaya dan kemasan yang dimaksud adalah substansi yang masuk dalam criteria
IMDG (International Maritime Dangerous Good) code. Peraturan ini dimaksudkan untuk
mencegah terjadinya pencemaran laut oleh barang-barang yang memiliki sifat berbahaya
(baik secara fisis maupun kimia) sehingga perlu mendapatkan perlakuan-perlakuan khusus.
Sebagai pengimplementasian dari aturan tersebut, maka harus dilakukan beberapa prosedur
sebagai berikut:

Packing :

 Kemasan harus cukup untuk meminimalisasi bahaya yang mungkin ditimbulkan


kepada lingkungan.

Marking and labeling :

 Kemasan yang berisi substansi berbahaya harus dilengkapi dengan informasi


terperinci dan terpasang label bahwa merupakan marine pollutant.
 Material untuk penandaan dan pemberian label harus bertahan selama 3 bulan
pelayaran.

Documentation :

 Semua barang harus dilengkapi dengan sertifikat-sertifikat sebagai bahan


pemeriksaan.

Stowage :

 Semua barang yang berbahaya harus tersimpan dengan aman sehingga tidak
menimbulkan pencemaran pada lingkungan laut dengan tidak membahayakan kapal
dan penumpangnya.

Quantity limitations :

 Pembatasan jumlah substansi yang sekiranya dapat membahayakan lingkungan laut.

Regulasi tentang pencegahan pencemaran oleh sampah ( annex V )

Beberapa tipe sampah dapat diklasifikasi sebagai berikut :

1. Plastic ( tali sintetis, jala, tas plastic, dll )


2. Sampah campuran
3. Sisa makanan
4. Kertas, kain, kaca, metal,

Implementasi regulasi:

 Pemasangan plakat
Setiap kapal dengan panjang lebih dari 12 meter harus tersedia plakat sebagai peringatan
kepada kru kapal tentang pembuangan sampah.

 Ship garbage management plan

Setiap kapal di atas 400 ton GT dan kapal dengan kapasitas kru 15 orang atau lebih harus
memiliki garbage management plan yang harrus dipatuhi semua kru.

Hal ini termasuk pemisahan sampah berdasarkan jenisnya, dan pemasangan fasilitas
treatment untuk sampah, contoh: incinerator.

 Ship garbage record book

Setiap kapal di atas 400 ton GT dan kapal dengan kapasitas kru 15 orang atau lebih harus bias
menunjukkan garbage record book kepada pihak pelabuhan ketika akan berlabuh.

A. The International Covention on Oil Pollution Preparedness Response And Cooperation


1990 (OPRC)
OPRC adalah kerjasama internasional untuk menanggulangi pencemaran yang terjadi
akibat tumpahan minyak dan barang beracun yang berbahaya. Dalam konvensi tersebut
disebutkan bahwa apabila terjadi kecelakaan dan pencemaran, tindakan tepat segera diambil
untuk menanggulanginya. Hal ini tergantung adanya kerjasama antara rencana
penanggulangan darurat di atas kapal, instalasi perminyakan lepas pantai dan di pelabuhan
serta fasilitas bongkar muatnya, bersama-sama dengan rencana penanggulangan darurat
nasional dan regional. Konvensi ini berkaitan dengan masalah persiapan dan tindakan atau
respon terhadap pencemaran minyak dalam segala bentuk termasuk barang beracun dan
berbahaya yang mengancam kelestarian lingkungan maritim.
Ketentuan-ketentuan dalam OPRC diperuntukan sebagai usaha pencegahan dan
penanggulangan tumpahan minyak terutama tumpahan minyak dalam sekala besar. Dalam
preambulnya konvensi ini menyebutkan bahwa “in the event of an oil pollution incident,
prompt and effective action is essential in order to minimize the damage which may result
from such an incident”. Jika terjadi tumpahan minyak maka diperlukan tindakan yang segera
dan efektif, hal ini untuk meminimalkan kerusakan yang terjadi akibat tumpahan minyak,
termasuk tindakan yang dapat diperkenankan dalam system nasional dalam suatu Negara.
Konvensi ini menyatakan bahwa “Each Party shall establish a national system for
responding promptly and effectively to oil pollution incidents”.
Dengan demikian upaya untuk menanggulangu tumpahan minyak agar dapat
dilakukan dengan segera dan efektif, maka Negara-negara dapat menetapkannya dengan
suatu system nasional. Dalam hal upaya penganggulangan agar dapat lebih berhasil,
Konvensi ini menyebutkan bahwa “each Party, within its capabilities either individually or
through bilateral or multilateral cooperation and, as appropriate, in cooperation with the oil
and shipping industries, port authorities and other relevant entities.” Dengan demikian
upaya penanggulangan tumpahan minyak dapat lebih berhasil, maka Negara-negara baik
secara individu, secara bilateral maupun secara multilateral dapat bekerjasama dengan
industri perminyakan, industri perkapalan, pejabat pelabuhan dan instansi terkait lainnya.
Garis besar dan konvensi ini adalah:

1. International Cooperation And Mutual Assistance – Kerja Sama Internasional


Saling Membantu

Negara anggota setuju melakukan kerjasama dan saling membantu anggota yang
meminta bantuan menanggulangi pencemaran yang terjadi, dengan ketentuan memiliki
kesanggupan dan sarana yang cukup dan pihak yang meminta bantuan harus membayar
kepada pihak yang membantu biaya bantuan yang diberikan. Untuk negara berkembang,
dijanjikan akan diberikan keringanan pembayaran.

2. Pollution Reporting – Laporan Pencemaran

Negara anggota menyetujui bahwa kapal, offshore units, pesawat terbang, pelabuhan
dan fasilitas bongkar muat lainnya akan melaporkan semua pencemaran yang terjadi ke
pantai terdekat suatu negara atau ke penguasa pelabuhan negara tetangga terdekat, dan
memberitahukan negara tetangga termasuk International Maritime Organization (IMO).

3. Oil Pollution Emergency Plans – Rencana Penanggulangan Pencemaran oleh


Minyak diperlukan untuk

a. Kapal tangki minyak ukuran 150 GT atau lebih, dan kapal jenis lain ukuran 400 GRT atau
lebih.
b. Semua instalasi terpasang atau terapung lepas pantai atau struktur yang digunakan dalam
kegiatan operasi migas, eksplorasi, produksi, dan bongkar muat.
c. Semua pelabuhan dan fasilitas bongkar muat yang berisiko menimbulkan pencemaran.

4. National And Regional Preparedness and Response Capability – Kesiapan


Penanggulangan
Dalam pencemaran baik lingkup nasional maupun regional, suatu konvensi
mengharuskan dibentuk sistem nasional untuk segera menanggulangi secara efektif
pencemaran yang terjadi. Ini termasuk dasar minimum pembentukan National Contingency
Plan, penentuan petugas nasional yang berwenang dan penanggung jawab operasi
penanggulangan pencemaran persiapan dan pelaksanaannya, pelaporan, dan permintaan
bantuan yang diperlukan.
Setiap anggota, apakah sendiri ataukah melalui kerjasama dengan negara lain, atau
dengan industri harus menyiapkan:
 Peralatan pencegahan pencemaran minimum, yang proporsional dengan risiko yang
diperkirakan akan terjadi dan program penggunaannya.
 Program latihan organisasi penanggulangan pencemaran dan rencana training untuk
beberapa personil.
 Rencana yang detail dan kesanggupan berkomunikasi untuk menangani penanggulangan
pencemaran.
Rencana koordinasi penanggulangan kecelakaan, termasuk kesanggupan untuk
memobilisasi sarana yang diperlukan.

5. Technical Cooperation And Transfer Of Technology – Kerjasama Teknik Dan


Alih Teknologi

Kerjasama antara anggota di bidang teknik dan training agar dapat menggunakan dan
memanfaatkan sarana dan peralatan yang tersedia untuk rnenanggulangi pencemaran. Selain
itu, para anggota dapat melakukan kerjasama alih teknologi secara aktif.

6. Research And Development- Penelitian Dan Pengembangan

Kerjasama langsung atau melalui Badan IMO untuk melakukan simposium


internasional secara reguler tukar-menukar pengalaman dan penemuan baru melakukan
penangulangan, peralatan yang digunakan dan hasil penelitian yang dilakukan, teknologi dan
teknik pemantauan, penampungan, dispersion yang digunakan, pembersihan dan pemulihan
kembali.

7. International Arrangement and Support – Dukungan Internasional

IMO bertanggung jawab fungsi kegiatan berikut :


 Menyebarkan Informasi
 Pendidikan dan Training
 Bantuan teknik
Dalam konvensi ini, prinsip-prinsip yang digunakan adalah Precautionary principle,
Prevention principle, Polluters pay principle, Cooperation and assistance serta Strict liability.

B. Convention on the Prevention of Marine Pollution by Dumping of Wastes and Other


Matter 1972 (London Dumping Convention)

Konvensi ini merupakan proses dari akumulasi dari masyarakat internasional untuk
mencegah dilakukannya dumping. Pasal 1 Konvensi London menyebutkan bahwa :
Contracting Parties shall individually and collectively promote the effective control of all
sources of pollution of the marine environment, and pledge themselves especially to take all
practicable steps to prevent the pollution of the sea by the dumping of waste and other matter
that is liable to create hazards to human health, to harm living resources and marine life, to
damage amenities or to interfere with other legitimate uses of the sea.

Negara-negara peserta diwajibkan, baik secara indivual maupun bersama-sama untuk


mengembangan pengawasan yang efektif atas semua sumber pencemaran yang dapat
mencemari lingkungan laut. Negara-negara juga diharuskan untuk mengambil tindakan nyata
untuk mencegah terjadinya pencemaran lingkungan laut yang disebabkan oleh dumping, dan
masalah lain yang dapat membahayakan kesehatan manusia, merugikan kehidupan sumber
daya dan dan lingkungan laut dan merusak kenyamanan atas penggunaan yang sah atas laut.
Konvensi London mengatur secara rinci zat-zat yang dilarang untuk dilakukan dumping.[1]
Beberapa zat yang dilarang untuk didumping dengan metode apapun adalah senyawa
organohalogen, air raksa, cadmium, plastik dan bahan sintetik lain yang tidak mudah rusak,
crude oil dan limbahnya, produk hasil refineri minyak bumi, minyak bumi, sisa residu
minyak bumi dan campuran dari komponen seperti radioaktif bahan (padat, cairan, semi cair,
gas dan dalam media hidup yang digunakan untuk peperangan biologi dan kimia). Negara
peserta juga diharuskan untuk mengambil tindakan segera untuk mencegah dan menghukum
pencemar.[2]
Pada tahun 1996 dikeluarkan protocol terhadap Konvensi London, dimana terdapat
perubahan penting yaitu “precautionary approach”. Pengecualian dari dibolehkannya
dumping adalah jika diakibatkan oleh adanya “cases of force majeure” atau keadaan yang
membahayaka kehidupan manusia, atau keadaan yang nyata-nyata mengancam keselamatan
kapal.[3]
Dalam konvensi ini, prinsip-prinsip yang digunakan adalah rights to explore without
causing harm principle, Precautionary principle, effective control principle Prevention
principle, Polluters pay principle, dan the responsibility of states.

C. International Convention for the Prevention of Pollution from Ships 1973 (Marine
Pollution)
International Convention for the Prevention of Pollution from Ships 1973 yang
kemudian disempurnakan dengan Protocol pada tahun 1978 dan konvensi ini dikenal dengan
nama MARPOL 1973/1978. MARPOL 1973/1978 memuat 6 (enam) Annexes yang berisi
regulasi-regulasi mengenai pencegahan polusi dari kapal terhadap :

1. Annex I : Prevention of pollution by oil ( 2 october 1983 )

Total hydrocarbons (oily waters, crude, bilge water, used oils, dll) yang diizinkan untuk
dibuang ke laut oleh sebuah kapal adalah tidak boleh melebihi 1/15000 dari total muatan
kapal. Sebagai tambahan, pembuangan limbah tidak boleh melebihi 60 liter setiap mil
perjalanan kapal dan dihitung setelah kapal berjarak lebih 50 mil dari tepi pantai terdekat.
Register Kapal harus memuat daftar jenis sampah yang dibawa/dihasilkan dan jumlah limbah
minyak yang ada. Register Kapal harus dilaporkan ke pejabat pelabuhan.

2. Annex II : Control of pollution by noxious liquid substances ( 6 april 1987

Aturan ini memuat sekitar 250 jenis barang yang tidak boleh dibuang ke laut, hanya dapat
disimpan dan selanjutnya diolah ketika sampai di pelabuhan. Pelarangan pembuangan limbah
dalam jarak 12 mil laut dari tepi pantai terdekat.

3. Annex III : Prevention of pollution by harmful substances in packaged form ( 1


july 1992 )

Aturan tambahan ini tidak dilaksanakan oleh semua negar yaitu aturan standar pengemasan,
pelabelan, metode penyimpanan dan dokumentasi atas limbah berbahaya yang dihasilkan
kapal ketika sedang berlayar
4. Annex IV : Prevention of pollution by sewage from ships ( 27 september 2003 )

Aturan ini khusus untuk faecal waters dan aturan kontaminasi yang dapat diterima pada
tingkatan (batasan) tertentu. Cairan pembunuh kuman (disinfektan) dapat dibuang ke laut
dengan jarak lebih dari 4 mil laut dari pantai terdekat. Air buangan yang tidak diolah dapat
dibuang ke laut dengan jarak lebih 12 mil laut dari pantai terdekat dengan syarat kapal
berlayar dengan kecepatan 4 knot.

5. Annex V : Prevention of pollution by garbage from ships ( 31 december 1988)

Aturan yang melarang pembuangan sampah plastik ke laut.

6. Annex IV : Prevention of air pollution by ships

Aturan ini tidak dapat efektif dilaksanakan karena tidak cukupnya negara yang meratifiskasi
(menandatangani persetujuan.)
MARPOL 1973/1978 memuat peraturan untuk mencegah seminimum mungkin
minyak yang mencemari laut. Tetapi, kemudian pada tahun 1984 dilakukan beberapa
modifikasi yang menitik-beratkan pencegahan hanya pada kagiatan operasi kapal tangki pada
Annex I dan yang terutama adalah keharusan kapal untuk dilengkapai dengan Oily Water
Separating Equipment dan Oil Discharge Monitoring Systems.
Oleh karena itu, pada peraturan MARPOL 1973/1978 dapat dibagi dalam 3 (tiga)
katagori:

1. Peraturan untuk mencegah terjadinya pencemaran


2. Peraturan untuk menanggulangi pencemaran
3. Peraturan untuk melaksanakan ketentuan tersebut.

Kewajiban umum Negara-negara tertuang dalam Pasal 1 yang menyebutkan bahwa :


The Parties to the Convention undertake to give effect to the provisions of the present
Convention and those Annexes thereto by which they are bound, in order to prevent the
pollution of the marine environment by the discharge of harmful substances or effluents
containing such substances in contravention of the present Convention.
Hal ini berarti bahwa Negara-negara peserta konvensi memiliki kewajiban untuk
menerapkan preventive principle yaitu mencegah polusi khususnya minyak yang dapat
mencemari lingkungan laut.
D. United Nation Covention on the Law of the Sea 1982 (UNCLOS)

Konvensi Hukum Laut 1982 secara lengkap mengatur perlindungan dan pelestarian
lingkungan laut (protection and preservation of the marine environment) yang terdapat dalam
Pasal 192-237. Pasal 192 berbunyi : yang menegaskan bahwa setiap Negara mempunyai
kewajiban untuk melindungi dan melestarikan lingkungan laut. Pasal 193 menggariskan
prinsip penting dalam pemanfaatan sumber daya di lingkungan laut, yaitu prinsip yang
berbunyi : bahwa setiap Negara mempunyai hak berdaulat untuk mengeksploitasi sumber
daya alamnya sesuai dengan kebijakan lingkungan mereka dan sesuai dengan kewajibannya
untuk melindungi dan melestarikan lingkungan laut.

Kewajiban Negara
Konvensi Hukum Laut 1982 meminta setiap Negara untuk melakukan upaya-upaya
guna mencegah (prevent), mengurangi (reduce), dan mengendalikan (control) pencemaran
lingkungan laut dari setiap sumber pencemaran, seperti pencemaran dari pembuangan limbah
berbahaya dan beracun yang berasal dari sumber daratan (land-based sources), dumping, dari
kapal, dari instalasi eksplorasi dan eksploitasi. Dalam berbagai upaya pencegahan,
pengurangan, dan pengendalian pencemaran lingkungan tersebut setiap Negara harus
melakukan kerja sama baik kerja sama regional maupun global sebagaimana yang diatur oleh
Pasal 197-201 Konvensi Hukum Laut 1982.
Negara peserta Konvensi Hukum Laut 1982 mempunyai kewajiban untuk menaati
semua ketentuan Konvensi tersebut berkenaan dengan perlindungan dan pelestarian
lingkungan laut, yaitu antara lain sebagai berikut :

1. Kewajiban membuat peraturan perundang-undangan tentang perlindungan dan


pelestarian lingkungan laut yang mengatur secara komprehensif termasuk
penanggulangan pencemaran lingkungan laut dari berbagai sumber pencemaran,
seperti pencemaran dari darat, kapal, dumping, dan lainnya. Dalam peraturan
perundang-undangan tersebut termasuk penegakan hukumnya, yaitu proses
pengadilannya
2. Kewajiban melakukan upaya-upaya mencegah, mengurangi, dan mengendalikan
pencemaran lingkungan laut,
3. Kewajiban melakukan kerja sama regional dan global, kalau kerja sama regional
berarti kerja sama ditingkat negara-negara anggota ASEAN, dan kerja sama global
berarti dengan negara lain yang melibatkan negara-negara di luar ASEAN karena
sekarang persoalan pencemaran lingkungan laut adalah persoalan global, sehingga
penanganannya harus global juga.
4. Negara harus mempunyai peraturan dan peralatan sebagai bagian dari contingency
plan
5. Peraturan perundang-undangan tersebut disertai dengan proses mekanisme
pertanggungjawaban dan kewajiban ganti ruginya bagi pihak yang dirugikan akibat
terjadinya pencemaran laut.

Kerja Sama Regional Dan Internasional :


Dalam melaksanakan kewajiban untuk melindungi dan melestarikan lingkungan laut
tersebut, setiap Negara diharuskan melakukan kerja sama baik kerja sama regional maupun
global. Keharusan untuk melakukan kerja sama regional dan global (global and regional co-
operation) diatur oleh Pasal 197-201 Konvensi Hukum Laut 1982. Pasal 197 Konvensi
berbunyi : “Negara-negara harus bekerja sama secara global dan regional secara langsung
atau melalui organisasi internasional dalam merumuskan dan menjelaskan ketentuan dan
standard internasional serta prosedur dan praktik yang disarankan sesuai dengan Konvensi
bagi perlindingan dan pelestarian lingkungan laut dengan memperhatikan keadaan regional
tersebut”.
Kerja sama regional dan global tersebut dapat berupa kerja sama dalam
pemberitahuan adanya pencemaran laut, penanggulangan bersama bahaya atas terjadinya
pencemaran laut, pembentukan penanggulangan darurat (contingency plans against
pollution), kajian, riset, pertukaran informasi dan data serta membuat kriteria ilmiah
(scientific criteria) untuk mengatur prosedur dan praktik bagi pencegahan, pengurangan, dan
pengendalian pencemaran lingkungan laut sebagaimana ditegaskan oleh Pasal 198-201
Konvensi Hukum Laut 1982. Di samping itu, Pasal 207-212 Konvensi Hukum Laut 1982
mewajibkan setiap Negara untuk membuat peraturan perundang-undangan yang mengatur
pencegahan dan pengendalian pencemaran laut dari berbagai sumber pencemaran, seperti
sumber pencemaran dari darat (land-based sources), pencemaran dari kegiatan dasar laut
dalam jurisdiksi nasionalnya (pollution from sea-bed activities to national jurisdiction),
pencemaran dari kegiatan di Kawasan (pollution from activities in the Area), pencemaran
dari dumping (pollution by dumping), pencemaran dari kapal (pollution from vessels), dan
pencemaran dari udara (pollution from or through the atmosphere).

Tanggung Jawab Dan Kewajiban Ganti Rugi


Konvensi Hukum Laut 1982 mengatur persoalan tanggung jawab dan kewajiban ganti
rugi berkenaan dengan perlindungan dan pelestarian lingkungan laut. Pasal 235 Konvensi
menegaskan bahwa setiap Negara bertanggung jawab untuk melaksanakan kewajiban
internasional mengenai perlindungan dan pelestarian lingkungan laut, sehingga semua Negara
harus memikul kewajiban ganti rugi sesuai dengan hukum internasional.
Setiap Negara harus mempunyai peraturan perundang-undangan tentang kompensasi
yang segera dan memadai atas kerugian (damage) yang disebabkan oleh pencemaran
lingkungan laut yang dilakukan orang (natural person) atau badan hukum (juridical person)
yang berada dalam jurisdiksinya. Oleh karena itu, setiap Negara harus bekerja sama dalam
mengimplementasikan hukum internasional yang mengatur tanggung jawab dan kewajiban
ganti rugi untuk kompensasi atas kerugian akibat pencemaran lingkungan laut, dan juga
prosedur pembayarannya seperti apakah dengan adanya asuransi wajib atau dana kompensasi.
Tanggung jawab dan kewajiban ganti rugi dari Negara atau disebut tanggung jawab
Negara (state sovereignty) merupakan prinsip fundamental dalam hukum internasional,
sehingga kalau terjadi pelanggaran kewajiban internasional akan timbul tanggung jawab
Negara. Pelanggaran kewajiban internasional tersebut seperti tidak melaksanakan ketentuan-
ketenuan yang terdapat dalam Konvensi Hukum Laut 1982 yang sudah mengikat negaranya.
Belum ada perjanjian yang secara khusus mengatur tanggung jawab Negara dalam hukum
internasional. Selama ini persoalan tanggung jawab Negara mengacu pada Draft Articles on
Responsibility of States for International Wrongful Acts yang dibuat oleh Komisi Hukum
Internasional (International Law Commission) Majelis Umum PBB.

E. International Conventions on Civil Liability for Oil Pollution Damage 1969 (Civil
Liability Convention)
Konvensi Internasional Mengenai Pertanggungjawaban Perdata Terhadap Pencemaran
Minyak di Laut (International Convention on Civil Liability for Oil Pollution Damage). CLC
1969 merupakan konvensi yang mengatur tentang ganti rugi pencemaran laut oleh minyak
karena kecelakaan kapal tanker. Konvensi ini berlaku untuk pencemaran lingkungan laut di
laut territorial Negara peserta. Dalam hal pertanggungjawaban ganti rugi pencemaran
lingkungan laut maka prinsip yang dipakai adalah prinsip strict liability.[4]
Lingkup Aplikasinya
Apliaksi konvensi ini ada pada kerusakan pencemaran minyak mentah (persistent oil)
yang tertumpah dan muatan kapal tangki. Konvensi tersebut mencakup kerusakan
pencemaran lokasi termasuk perairan negara anggota konvensi Negara Bendera Kapal dan
Kebangsaan pemilik kapal tangki tidak tercakup dalam tingkup aplikasi dan CLC
Convention. Notasi “kerusakan pencemaran” (Pollution Damage), termasuk usaha melakukan
Pencegahan atau mengurangi kerusakan akibat pencemaran didaerah teritorial negara anggota
konvens, (Preventive measures).
Konvensi ini diberlakukan hanya pada kerusakan yang disebabkan oleh tumpahan
muatan minyak dari kapal tangki dan tidak termasuk tumpahan minyak yang bukan muatan
atau usaha pencegahan murni yang dilakukan dimana tidak ada sama sekali Minyak yang
tumpah dari kapal tangki. Konvensi ini juga hanya berlaku pada kapal yang mengangkut
minyak sebagai muatan yakni kapal tangki pengangkut minyak. Tumpahan (Spills) dari kapal
tangki dalam pelayaran “Ballast Condition” dan spills dari bunker oil atau kapal selain kapal
tangki tidak termasuk dalam konvensi ini, Kerusakan yang disebabkan oleh “Non-presistent
Oil” seperti gasoline, kerosene, light diesel oil, dsb, juga tidak termasuk dalam CLC
Convention.
Strict Liability
Pemilik kapal tangki mempunyai kewajiban ganti rugi terhadap kerusakan
pencemaran yang disebabkan oleh tumpahan minyak dan kapalnya akibat kecelakaan.
Pemilik dapat terbebas dan kewajiban tersebut hanya dengan alasan :
 Kerusakan sebagai akibat perang atau bencana alam.
 Kerusakan sebagai akibat dan sabotase pihak lain, atau
 Kerusakan yang disebabkan oleh karena pihak berwenang tidak memelihara alat bantu
navigasi dengan baik.
Alasan pengecualian tersebut diatas sangat terbatas, dan pemilik boleh dikatakan
berkewajiban memberikan ganti rugi akibat kerusakan pencemaran pada hampir semua
kecelakaan yang terjadi.
Batas Kewajiban Ganti Rugi (Limitation of Liability)
Pada kondisi tertentu, pemilik kapal memberikan kompensasi ganti rugi dengan batas
133 SDR (Special Drawing Rights) perton dari tonage kapal atau 14 juta SDR, atau sekitar
US$ 19,3 juta diambil yang lebih kecil. Apabila pihak yang mengklaim (Claimant) dapat
membuktikan bahwa kecelakaan terjadi karena kesalahan pribadi (actual fault of privity) dari
pemilik, maka batas ganti rugi (limit his liability) untuk pemilik kapal tidak diberikan.
Permintaan Ganti Rugi (Channeling of Liability)
KIaim terhadap kerusakan pencemaran di bawah CLC Convention hanya dapat
ditujukkan pada pemilik kapal terdaftar. Hal ini tldak menghalangi korban mengklaim
kompensasi ganti rugi diluar konvensi ini dari orang lain selain pemlik kapal. Namun
demikian, konvensi melarang melakukan klaim kepada perwakilan atau agen pemilik kapal.
Pemilik kapal harus mengatasi masalah klaim dari pihak ketiga berdasarkan hukum nasional
yang berlaku.

F. The Basel Convention on Control of Transboundary Movements of Hazardous


Wastes and Their Disposal 1989

Perjanjian Internasional telah dibuat untuk membahas pergerakan limbah B3,


(termasuk yang dihasilkan kapal) dalam The Basel Convention. Konvensi ini membahas
tentang pergerakan limbah berbahaya lintas negara yang ditandatangani lebih dari 100
negara. Kesepakatan yang dihasilkan dalam konvensi ini adalah :

 Mengurangi produksi limbah berbahaya.


 Mengurangi perpindahan lintas batas (transboundary) limbah berbahaya
 Pembuangan limbah sedekat mungkin dengan tempat dihasilkannya.

Konvensi ini juga mengeluarkan prinsip-prinsip yang harus dijalankan oleh


penghasil/pembuang limbah :

 The “polluter pays” principle :

Penghasil limbah bertanggungjawab secara legal dan finansial untuk penanganan limbah
yang aman, ramah lingkungan dan memberikan insentif untuk menghindari limbah.

 The “precautionary”principle :

Prinsip yang mengatur masalah perlindungan kesehatan dan keselamatan.

 The “duty of care” principle :


Penghasil limbah bertanggungjawab membuang limbah secara aman

 The “proximity” principle :

You might also like