Professional Documents
Culture Documents
Tn. A, 37 tahun dibawa ke UGD Rs. Raden Mataher setelah mengalami kecelakaan lalulintas saat
mengendarai motornya. Lokasi kejadian berjarak 2 jam dari IGD. Tn. A tidak memakai helm saat
dibawa dan Tn. A sempat pingsan > 15 menit ketika sadar ia kembali mengeluh kekepalanya terasa
sakit dan muntah sebanyak 3 kali.
Saat dilakukan periksaan fisik ditemukan Tn.A membuka mata saat dirangsang nyeri dan
menunjukkan fleksi abnormal pada sisi kanan dan tidak dapat digerakkan pada sisi kiri. TD: 80/50
mmHg, pernafasan: cheynes stokes, Nadi: 52x/menit, T : 37,8 C tampak jejas dengan ukuran
5x10cm pada parietal kanan. Pupil mengalami dilatasi ipsilateral dan refleks cahaya pada kedua
pupil menurun. Respon verbal hanya berupa erangan. Apa yang terjadi pada pasien ini?
Klarifikasi Istilah
1. Pingsan suatu kondisi kehilangan kesadaran yang mendadak, dan biasanya sementara, yang
disebabkan oleh kurangnya aliran darah dan oksigen
2. Muntah suatu gejala/simptom, bukan penyakit. Gejala ini berupa keluarnya isi lambung
(dan usus) melalui mulut dengan paksa atau dengan kekuatan
3. Cheynes stoke Pernapasan dalam cepat kemudian dangkal irregular, pola pernapasan tak
normal yang ditandai dengan osilasi dari ventilasi antara apnea dan hiperapnea, untuk
mengompensasi perubahan tekanan parsial oksigen dan karbon dioksida di dalam serum
4. Jejas istilah untuk menunjukkan trauma mekanik yang dapat dihindari atau tidak dapat
dihindari,
5. Pupil lubang pada bagian tengah iris mata, tempat masuknya cahaya kedalam mata
6. Dilatasi Keadaan seperti pada saluran atau struktur tabung yang lebar atau teregang dalam
batas dimensi normal
7. Ipsilateral terletak pada atau mengenai pada sisi yang sama
8. Refleks aksi atau gerakan yang dipantulkan, atau jumlah total setiap respon otomatis yang
diperantai oleh sistem saraf
Identifikasi Masalah
1. Tn. A, 37 tahun, dibawa ke UGD setelah mengalami kecelakaan lalulintas saat mengendarai
motornya dan lokasi kejadian berjarak 2 jam dari IGD
1
2. Tn. A tidak memakai helm saat dibawa dan Tn. A sempat pingsan > 15 menit ketika sadar ia
kembali mengeluh kekepalanya terasa sakit dan muntah sebanyak 3 kali
3. Saat dilakukan pemeriksaan fisik ditemukan Tn.A membuka mata saat dirangsang nyeri dan
menunjukkan fleksi abnormal pada sisi kanan dan tidak dapat digerakkan pada sisi kiri, respon
verbal hanya berupa erangan
4. TD: 80/50 mmHg, pernafasan: cheynes stokes, Nadi: 52x/menit, T : 37,8 C dan Tampak jejas
dengan ukuran 5x10cm pada parietal kanan, Pupil mengalami dilatasi ipsilateral dan refleks
cahaya pada kedua pupil menurun
Analisis Masalah
1. Tn. A, 37 tahun, dibawa ke UGD setelah mengalami kecelakaan lalu lintas saat mengendarai
motornya dan lokasi kejadian berjarak 2 jam dari IGD a. Bagaimana mekanisme traumanya?
Jawab:
Trauma kepala dapat menyebabkan cedera pada otak karena adanya aselerasi, deselerasi
dan rotasi dari kepala dan isinya. Karena perbedaan densitas antara tengkorak dan isinya;
- bila ada aselerasi, gerakan cepat yang mendadak dari tulang tengkorak diikuti dengan
lebih lambat oleh otak. Ini mengakibatkan benturan dan goresan antara otak dengan
bagian-bagian dalam tengkorak yang menonjol atau dengan sekat-sekat duramater.
- Bila terjadi deselerasi (pelambatan gerak), terjadi benturan karena otak masih bergerak
cepat pada saat tengkorak sudah bergerak lambat atau berhenti.
- Mekanisme yang sama terjadi bila ada rotasi kepala yang mendadak. Tenaga gerakan
ini menyebabkan cedera pada otak karena kompresi (penekanan) jaringan, peregangan
maupun penggelinciran suatu bagian jaringan di atas jaringan yang lain. Ketiga hal ini
biasanya terjadi bersama-sama atau berturutan. Kerusakan jaringan otak dapat terjadi
di tempat benturan (coup), maupun di tempat yang berlawanan (countre coup). Diduga
countre coup terjadi karena gelombang tekanan dari sisi benturan (sisi coup) dijalarkan
di dalam jaringan otak ke arah yang berlawanan; teoritis pada sisi countre coup ini
terjadi tekanan yang paling rendah, bahkan sering kali negatif hingga timbul kavitasi
dengan robekan jaringan. Selain itu, kemungkinan gerakan rotasi isi tengkorak pada
setiap trauma merupakan penyebab utama terjadinya countrecoup, akibat benturan-
benturan otak dengan bagian dalam tengkorak maupun tarikan dan pergeseran antar
2
jaringan dalam tengkorak. Yang seringkali menderita kerusakan-kerusakan ini adalah
daerah lobus temporalis, frontalis dan oksipitalis
3
Breathing (membantu bernafas)
Tindakan kedua setelah meyakini bahwa jalan nafas tidak ada hambatan adalah membantu
pernafasan. Pastikan pernafasan pasien masih ada. Karena henti nafas seringkali terjadi
pada kasus trauma kepala bagian belakang yang mengenai pusat pernafasan atau bisa juga
penanganan yang salah pada pasien pada pasien cedera kepala justru membuat pusat
pernafasan terganggu dan menimbulkan henti nafas. Keterlambatan dalam mengenali
gangguan pernafasan dan membantu ventilasi/pernafasan akan dapat menimbulkan
kematian. Sehingga kemampuan dalm memberikan bantuan pernafasan menjadi prioritas
kedua.
2. Tn. A tidak memakai helm saat dibawa dan Tn. A sempat pingsan > 15 menit ketika sadar ia
kembali mengeluh kekepalanya terasa sakit dan muntah sebanyak 3 kali a. Apa akibat tidak
memakai helm?
Jawab:
- Resiko cedera kepala lebih besar
- dapat terjadi benturan langsung ke kepala saat terjadi kecelakaan yang dapat
mengakibatkan cedera kepala yang lebih berat.
- dapat ditilang polisi lalulintas
5
Gambar 1. Lapisan kranium
B. Tulang Tengkorak
Tulang tengkorak terdiri dari kubah (kalvaria) dan basis kranii. Kalvaria khususnya
di regio temporal adalah tipis, namun disini dilapisi oleh otot temporalis. Basis kranii
berbentuk tidak rata sehingga dapat melukai bagian dasar otak saat bergerak akibat
proses akselerasi dan deselerasi.tengkorak dasar dibagi atas 3 fosa yaitu anterior, fosa
media dan fosa posterior, a anterior adalah tempat lobus frontalis, fosa adalah tempat
lobus temporalis dan fosa posterior adalah ruang bagi bagian bawah 5 otak dan
serebelum.
C. Meningen
Selaput meningen menutupi seluruh permukaan dan terdiri dari 3 lapisan yaitu: dura
mater,arakhnoid dan pia mater. Dura mater adalah , selaput yang keras, terdiri atas
jaringan ikat yang melekat erat pada pemukaan dalam dari kranium. Karena tidak
melekat pada selaput arakhnoid di bawahnya, maka terdapat ruang potensial (ruang
subdura) yang antara dura mater dan araknoid, dimana dijumpai perdarahan subdural.
6
Pada otak, pembuluh-pembuluh vena yang pada permukaan otak menuju sinus superior
di garis tengah atau disebut Bridging Veins, dapat mengalami robekan dan ikan
perdarahan subdural. Pada beberapa tempat tertentu duramater membelah 2 lapis
membentuk sinus venosus besar mengalirkan darah vena dari otak. Sinus superior
mengalirkan darah vena ke sinus transversus dan sinus sigmoideus. Sinus moideus
umumnya lebih dominan di sebelah nan. Laserasi dari sinus-sinus ini dapat
Higakibatkan perdarahan hebat.
Arteri-arteri meningea terletak antara duramater in permukaan dalam dari kranium
(ruang dural). Adanya fraktur dari tulang kepala at menyebabkan laserasi pada arteri-
arteri dapat menyebabkan perdarahan epidural. ing paling sering mengalami cedera
adalah ten meningea media yang terletak pada fosa nporalis (fosa media).
Di bawah dura mater terdapat lapisan kedua ii meningen, yang tipis dan tembus
pandang tebut selaput arakhnoid. Lapisan ketiga ilah pia mater yang melekat erat pada
mukaan korteks serebri. Cairan serebro inal bersirkulasi dalam ruang subarakhnoid.
Perdarahan sub arakhnoid umumnya disebabkan akibat cedera kepala.
D. Otak
Otak manusia terdiri dari serebrum, serebelum dan batang otak. Serebrum terdiri
atas hemisfer kanan dan kiri yang dipisahkan oleh falks serebri, yaitu lipatan dura mater
dari sisi inferior sinus sagitalis superior. Pada hemisfer serebri kiri terdapat pusat bicara
manusia yang bekerja dengan tangan kanan, dan juga pada lebih dari 85% orang kidal.
Hemisfer otak yang mengandung pusat bicara sering disebut sebagai hemisfer
dominan. Lobus frontal berkaitan dengan fungsi emosi, fungsi motorik dan pada sisi
dominan mengandung pusat ekspresi bicara (area bicara motorik). Lobus parietal
berhubungan dengan fungsi sensorik dan orientasi ruang. Lobus temporal mengatur
fungsi memori tertentu. Pada semua orang yang bekerja dengan tangan kanan dan
sebagian besar orang kidal, lobus temporal kiri bertanggungjawab dalam kemampuan
penerimaan rangsang dan integrasi bicara.
Lobus oksipital bertanggungjawab dalam proses penglihatan.
Batang otak terdiri dari mesensefalon (midbrairi), pons dan medula oblongata.
Mesensefalon dan pons bagian atas berisi sistem aktivasi retikular yang berfungsi
dalam kesadaran dan kewaspadaan. Pada medula oblongata terdapat pusat
7
kardiorespiratorik, yang terus memanjang sampai medula spinalis di bawahnya. Lesi
yang kecil saja pada batang otak sudah dapat menyebabkan defisit neurologis yang
berat Serebelum bertanggungjawab dalam fungsi koordinasi dan keseimbangan,
terletak dalam fosa posterior, berhubungan dengan medula spinalis, batang otak dan
juga kedua hemisfer serebri.
E. Cairan Serebrospinalis
Cairan serebro spinal (CSS) dihasilkan oleh pleksus khoroideus (terletak di atap
ventrikel) dengan kecepatan produksi sebanyak 20 ml/jam. CSS mengalir dari ventrikel
lateral melalui foramen Monro menuju ventrikel III, akuaduktus dari Sylvius menuju
ventrikel IV. Selanjutnya CSS keluar dari sistim ventrikel dan masuk ke dalam ruang
subarakhnoid yang berada di seluruh permukaan otak dan medula spinalis. CSS akan
direabsorbsi ke dalam sirkulasi vena melalui granulasio arakhnoid yang tardapat pada
sinus sagitalis superior. Adanya darah dalam. CSS dapat menyumbat granulasio
arakhnoid sehingga mengganggu penyerapan CSS dan menyebabkan kenaikan tekanan
intrakranial (hidrosefalus komunikans pasa trauma).
F. Tentorium
Tentorium serebeli mernbagi rongga tengkorak menjadi ruang supratentorial
(terdiri dari fosa kranii anterior dan fosa kranii media) dan ruang infratentorial(berisi
fosa kranii posterior). Mesensefalon (midbrairi) menghubungkan hemisfer serebri
dengan batang otak (pons dan medula oblongata) dan berjalan melalui celah lebar
tentorium serebeli yang disebut insisura tentorial. Nervus okuiomotgrius (Nervus IE)
berjalan di sepanjang tepi tentorium, dan saraf ini dapat tertekan bila terjadi herniasi
lobus temporal, yang umumnya diakibatkan oleh adanya massa supratentorial atau
edema otak. Serabut-serabut parasimpatik yang berfungsi melakukan konstriksi pupil
mata berjalan pada sepanjang permukaan nervus okulomotorius. Paralisis
serabutserabut ini yang disebabkan oleh penekanan Nervus in akan mengakibatkan
dilatasi pupil oleh karena tidak adanya hambatan aktivitas serabut simpatik.
Bagian otak yang sering mengalami herniasi melalui insisura tentorial adalah sisi
medial lobus temporal yang disebut Unkus. Herniasi Unkus juga menyebabkan
penekanan traktus kortikospinal (piramidalis) yang berjalan pada otak tengah. Traktus
8
piramidalis atau traktus motorik menyilang garis tengah menuju sisi berlawanan pada
level foramen magnum, sehingga penekanan pada traktus ini menyebabkan paresis
otot-otot sisi tubuh kontralateral. Dilatasi pupil ipsilateral disertai hemiplegia
kontralateral dikenal sebagai sindrom klasik herniasi unkus. Kadang-kadang, lesi
massa yang terjadi akan menekan dan mendorong otak tengah ke sisi berlawanan pada
tepi tentorium serebeli dan mengakibatkan hemiplegia dan dilatasi pupil pada sisi yang
sama dengan hematoma intrakraniahya (sindroma lekukan Kernohan).
FISIOLOGI
A. Tekanan Intrakranial
Berbagai proses patologis yang mengenai otak dapat menyebabkan kenaikan tekanan
intrakranial (TIK). Kenaikan TEC dapat menurunkan perfusi otak dan menyebabkan
atau memperberat iskemia. UK normal pada keadaan istirahat sebesar 10 mmHg. TIK
lebih tinggi dari 20 mm Hg, terutama bila menetap, berhubungan langsung dengan hasil
akhir yang buruk.
B. Doktrin Monro-Kellie
Adalah suatu konsep sederhana yang dapat menerangkan pengertian dinamika TIK.
Konsep utamanya adalah bahwa volume intrakranial harus selalu konstan. Hal ini jelas
karena rongga kranium pada dasarnya merupakan rongga yang rigid, tidak mungkin
mekar. Segera setelah trauma, massa seperti gumpalan darah dapat terus bertambah
sementara TIK masih dalam batas normal Saat pehgaliranCSS dan darah intravaskuler
mencapai titik dekompensasi, TK secara cepat akan meningkat.
d. Bagaimana patofisiologinya?
Jawab:
Pada saat trauma, terjadi robekan dan perdarahan dari a. meningea media.
Perdarahan kemudian berhenti oleh karena spasme pembuluh darah dan pembentukan
gumpalan darah. Beberapa jam kemudian terjadi perdarahan ulang; penumpukan darah di
ruang epidural ini akan melepaskan duramater dari tulang tengkorak.
10
Pada waktu nyeri kepala menghebat dan kesadaran menurun, telah terjadi kenaikan
tekanan intrakranial yang kedua. Pada saat ini timbul gejala-gejala distorsi otak.
Mekanismenya:
Nyeri Kepala dan muntah
Arteri Meningeal medial r uptur perdarahan hematoma epidural menekan
durameter melepasnya durameter dari basis cranii dan hematoma bertambah dasar
terjadi peningkatan TIK Nyeri Kepala dan muntah
Pingsan
Peningkatan TIK kompresi pada siklus ateria formation retikularis di medulla
oblongata penurunan kesadaran pingsan
11
Dapat ditemukan pada: keganasan/tumor, infeksi cranium, trauma kapitis, Hypercapnia (
PCo2 lebih besar dari 42mmHg), Hypoxia ( PO2 kurang dari 50 mmHg), dll
3. Saat dilakukan pemeriksaan fisik ditemukan Tn.A membuka mata saat dirangsang nyeri dan
menunjukkan fleksi abnormal pada sisi kanan dan tidak dapat digerakkan pada sisi kiri, respon
verbal hanya berupa erangan
a. Bagaimana menilai GCS dan interprestasinya?
Jawab:
Interprestasi:
Cedera kepala berat nilai GCS sama atau kurang dari 8 (3-8)
Cedera kepala sedang memiliki nilai GCS 9-13 dan, Cedera kepala ringan dengan
nilai GCS 14-15
12
Jawab:
GCS pada pasien ini yaitu 7 (Cedera Kepala Berat), ditandai dengan:
mata saat dirangsang nyeri Nilai 2
menunjukkan fleksi abnormal pada sisi kanan dan tidak dapat digerakkan pada sisi kiri
Nilai 3
respon verbal hanya berupa erangan Nilai 2
c. Mengapa fleksi abnormal pada sisi kanan dan tidak dapat digerakkan pada sisi kiri?
Jawab:
(patofisiologi)
4. TD: 80/50 mmHg, pernafasan: cheynes stokes, Nadi: 52x/menit, T : 37,8 C dan Tampak jejas
dengan ukuran 5x10cm pada parietal kanan, Pupil mengalami dilatasi ipsilateral dan refleks
cahaya pada kedua pupil menurun a. Makna klinis dari tanda vital?
Jawab:
TD: hipotensi, Nadi: bradikardi, T: febris, Pernafasan: Cheynes stokes
13
Trauma
hematoma epidural
14
5. Apa yang terjadi pada Tn. A? Jawab:
Tn. A mengalami cedera kepala berat suspect epidural hematoma
b. Difusa
1. Komosio ringan
2. Komosio klasik
15
3. Cedera aksonal difusa
Kerangka Konsep
Kemungkinan
mekanisme
- Primary survey
Anatomi dan CEDERA - Secondary survey
fisiologi KEPALA - Algoritme
penatalaksaan
Macam/klasifikasi:
- Mekanisme EPIDURAL
- Morfologi HEMATOMA
- Beratnya
Hipotesis
Tn. A (37 tahun) mengalami cedera kepala berat et causa suspect epidural hematoma
SINTESIS
CEDERA KEPALA
16
1. Definisi
Cedera kepala adalah trauma mekanik pada kepala yang terjadi baik secara langsung atau
tidak langsung yang kemudian dapat berakibat kepada gangguan fungsi neurologis, fungsi
fisik, kognitif, psikososial, bersifat temporer atau permanent. Menurut Brain Injury Assosiation
of America, cedera kepala adalah suatu kerusakan pada kepala, bukan bersifat congenital
ataupun degeneratif, tetapi disebabkan oleh serangan/benturan fisik dari luar, yang dapat
mengurangi atau mengubah kesadaran yang mana menimbulkan kerusakan kemampuan
kognitif dan fungsi fisik
2. Epidemiologi
Di Amerika Serikat, kejadian cedera kepala setiap tahunnya diperkirakan mencapai 500.000
kasus. Dari jumlah tersebut, 10% meninggal sebelum tiba di rumah sakit. Yang sampai di
rumah sakit, 80% dikelompokkan sebagai cedera kepala ringan (CKR), 10% termasuk cedera
kepala sedang (CKS), dan 10% sisanya adalah cedera kepala berat (CKB). Insiden cedera
kepala terutama terjadi pada kelompok usia produktif antara 15-44 tahun. Kecelakaan lalu
lintas merupakan penyebab 48%-53% dari insiden cedera kepala, 20%-28% lainnya karena
jatuh dan 3%-9% lainnya disebabkan tindak kekerasan, kegiatan olahraga dan rekreasi.
Data epidemiologi di Indonesia belum ada, tetapi data dari salah satu rumah sakit di
Jakarta, RS Cipto Mangunkusumo, untuk penderita rawat inap, terdapat 60%-70% dengan
CKR, 15%-20% CKS, dan sekitar 10% dengan CKB. Angka kematian tertinggi sekitar
35%50% akibat CKB, 5%-10% CKS, sedangkan untuk CKR tidak ada yang meninggal
3. Etiologi
Penyebab trauma kepala, yaitu:
1. Kecelakaan, jatuh, kecelakaan kendaraan bermotor atau sepeda, dan mobil.
2. Kecelakaan pada saat olah raga, anak dengan ketergantungan.
3. Cedera akibat kekerasan.
4. Benda tumpul, kerusakan terjadi hanya terbatas pada daerah dimana dapat merobek otak.
dapat menyebabkan cedera seluruh kerusakan terjadi ketika energi/ kekuatan diteruskan
kepada otak
5. Kerusakan menyebar karena kekuatan benturan, biasanya lebih berat sifatnya.
17
6. Benda tajam, kerusakan terjadi hanya terbatas pada daerah dimana dapat merobek otak,
misalnya tertembak peluru atau benda tajam. Trauma benda tajam dapat menyebabkan
cedera setempat.
4. Patofisiologi
Pada cedera kepala, kerusakan otak dapat terjadi dalam dua tahap yaitu cedera primer dan
cedera sekunder. Cedera primer merupakan cedera pada kepala sebagai akibat langsung dari
suatu ruda paksa, dapat disebabkan benturan langsung kepala dengan suatu benda keras
maupun oleh proses akselarasi-deselarasi gerakan kepala.
Dalam mekanisme cedera kepala dapat terjadi peristiwa coup dan contrecoup. Cedera
primer yang diakibatkan oleh adanya benturan pada tulang tengkorak dan daerah sekitarnya
disebut lesi coup. Pada daerah yang berlawanan dengan tempat benturan akan terjadi lesi yang
disebut contrecoup. Akselarasi-deselarasi terjadi karena kepala bergerak dan berhenti secara
mendadak dan kasar saat terjadi trauma. Perbedaan densitas antara tulang tengkorak (substansi
solid) dan otak (substansi semisolid) menyebabkan tengkorak bergerak lebih cepat dari muatan
intrakranialnya. Bergeraknya isi dalam tengkorak memaksa otak membentur permukaan dalam
tengkorak pada tempat yang berlawanan dari benturan (contrecoup).
18
Gambar 2. Coup dan countercoup
Cedera sekunder merupakan cedera yang terjadi akibat berbagai proses patologis yang
timbul sebagai tahap lanjutan dari kerusakan otak primer, berupa perdarahan, edema otak,
kerusakan neuron berkelanjutan, iskemia, peningkatan tekanan intrakranial dan perubahan
neurokimiawi.
Pada tulang tengkorak dapat terjadi fraktur linier (±70% dari fraktur tengkorak), fraktur
impresi maupun perforasi. Penelitian pada lebih dari 500 penderita trauma kepala
menunjukkanbahwa hanya ± 18% penderita yang mengalami frakturtengkorak. Fraktur tanpa
kelainan neurologik, secara klinis tidak banyak berarti.
Fraktur linier pada daerah temporal dapat merobek atau menimbulkan aneurisma pada
arteria meningea media dan cabang-cabangnya; pada dasar tengkorak dapat merobek atau
menimbulkan aneurisma a. karotis interna dan terjadi perdarahan lewat hidung, mulut dan
telinga. Fraktur yang mengenai lamina kribriform dan daerah telinga tengah dapat
menimbulkan rinoroe dan otoroe (keluarnya cairan serebrospinal lewat hidung atau telinga.
Fraktur impresi dapat menyebabkan penurunan volume dalam tengkorak, hingga
menimbulkan herniasi batang otak lewat foramen magnum. Juga secara langsung
menyebabkan kerusakan pada meningen dan jaringan otak di bawahnya akibat penekanan.
Pada jaringan otak akan terdapat kerusakan-kerusakan yang hemoragik pada daerah coup
dan countre coup, dengan piamater yang masih utuh pada kontusio dan robek pada laserasio
serebri. Kontusio yang berat di daerah frontal dan temporal sering kali disertai adanya
perdarahan subdural danintra serebral yang akut. Tekanan dan trauma pada kepala akan
19
menjalar lewat batang otak kearah kanalis spinalis; karena adanya foramen magnum,
gelombang tekanan ini akan disebarkan ke dalam kanalis spinalis. Akibatnya terjadi gerakan
ke bawah dari batang otak secara mendadak, hingga mengakibatkan kerusakan-kerusakan di
batang otak. Saraf otak dapat terganggu akibat trauma langsung pada saraf, kerusakan pada
batang otak, ataupun sekunder akibat meningitis atau kenaikan tekanan intrakranial.
Adapun kerusakan-kerusakan saraf yang sering terjadi, yaitu:
Kerusakan pada saraf otak I kebanyakan disebabkan oleh fraktur lamina kribriform di dasar
fosa anterior maupun countre coup dari trauma di daerah oksipital. Pada gangguan yang
ringan dapat sembuh dalam waktu 3 bulan. Dinyatakan bahwa ± 5% penderita trauma
kapitis menderita gangguan ini.
Gangguan pada saraf otak II biasanya akibat trauma didaerah frontal. Mungkin traumanya
hanya ringan saja (terutama pada anak-anak), dan tidak banyak yang mengalami fraktur di
orbita maupun foramen optikum. Dari saraf-saraf penggerak otot mata, yang sering terkena
adalah saraf VI karena letaknya di dasar tengkorak. Ini menyebabkan diplopia yang dapat
segera timbul akibat trauma, atau sesudah beberapa hari akibat dari edema otak.
Gangguan saraf III yang biasanya menyebabkan ptosis,midriasis dan refleks cahaya negatif
sering kali diakibatkan hernia tentori.
Gangguan pada saraf V biasanya hanya pada cabang supra-orbitalnya, tapi sering kali
gejalanya hanya berupa anestesi daerah dahi hingga terlewatkan pada pemeriksaan.
Saraf VII dapat segera memperlihatkan gejala, atau sesudah beberapa hari kemudian. Yang
timbulnya lambat biasanya cepat dapat pulih kembali, karena penyebabnya adalah edema.
Kerusakannya terjadi di kanalis fasialis, dan seringkali disertai perdarahan lewat lubang
telinga.
Banyak didapatkan gangguan saraf VIII pada. trauma kepala, misalnya gangguan
pendengaran maupun keseimbangan. Edema juga merupakan salah satu penyebab
gangguan.
Gangguan pada saraf IX, X dan XI jarang didapatkan, mungkin karena kebanyakan
penderitanya meninggal bila trauma sampai dapat menimbulkan gangguan pada sarafsaraf
tersebut.
Akibat lain dari trauma kapitis adalah kenaikan tekanan intrakranial. Pada saat trauma,
terdapat peningkatan tekanan pada sisi benturan dan penurunan tekanan pada sisi yang
20
berlawanan. Kenaikan tekanan intrakranial yang terjadi beberapa waktu kemudian dapat oleh
karena edema otak atau kenaikan volume darah otak. Bila timbulnya lebih lambat lagi (lebih
dari 10 hari), ini mungkin disebabkan oleh adanya hematoma kronik atau gangguan sirkulasi
cairan serebro spinal.
Kenaikan tekanan intra kranial ini menyebabkan:
aliran darah ke otak menurun,
Brain shift maupun herniasi, p
erubahan metabolisme, yaitu terjadi asidosis metabolic yang selanjutnya memperberat
edema,
gangguan faal paru-paru. Ini terjadi karena kerusakan pada batang otak sesudah trauma
mengakibatkan terjadinya apnea atau takipnea. Hal ini menimbulkan edema paru-paru yang
selanjutnya mengganggu pertukaran gas. Gangguan ini menyebabkan hipoksia yang
akanmemperberat edema di otak maupun di paru-paru.
5. Klasifikasi
Cedera kepala diklasifikasikan dalam berbagai aspek. Secara praktis dikenal 3 deskripsi
klasifikasi yaitu berdasarkan: (1) Mekanisme, (2) Beratnya, (3) Morfologi
A. Mekanisme Cedera Kepala
Cedera otak dibagi atas cedera tumpul dan cedera tembus. Cedera tumpul biasanya berkaitan
dengan kecelakaan kendaraan bermotor, jatuh atau pukulan benda tumpul.
Cedera tembus disebabkan oleh luka tembak ataupun tusukan.
B. Beratnya Cedera
Glasgow Coma Scale (GCS) digunakan secara umum dalam deskripsi beratnya penderita
cedera otak. Penderita yang mampu membuka kedua matanya secara spontan, mematuhi
perintah dan berorientasi mempunyai nilai GCS total sebesar 15, sementara pada penderita
yang keseluruhan otot ekstremitasnya flaksid dan tidak dapat membuka mata sama sekali
nilai GCS-nya minimal atau sama dengan 3 (Lihat , label 2, Glasgow Coma Scale). Nilai
GCS sama kurang dari 8 didefinisikan sebagai koma icedera otak berat. Berdasarkan nilai
GCS penderita cedera otak dengan nilai GCS 9 - 1 dikategorikan sebagai cedera otak
sedang, penderita dengan nilai GCS 14-15 lategorikan sebagai cedera otak ringan.
21
Dalam GCS, jika terdapat asimetri ekstremitas /kiri maka yang dipergunakan adalah
motorik pada yang terbaik. Dalam hal , respon motorik pada kedua sisinya harus dicatat.
C. Morfologi
1. Fraktur Kranium
Fraktur Kranium dapat terjadi pada atap atau lisar tengkorak, dapat berbentuk
garis/linear itau bintang/stelata, dan dapat pula terbuka lita tertytup. Fraktur dasar
tengkprak biasanya memerlukan pemeriksaan CT scan dengan tknik "bone window"
untuk memperjelas garis aktumya. Adanya tanda-tanda klinis fraktur lasar tengkorak
menjadikan petunjuk kecurigaan untuk melakukan pemeriksaan lebin rinci. Tandatanda
tersebut antara lain ekimosis erjorbital (Raccopn eyes sign), ekimosis stfoaurikuler
(Battle Sign), kebocoran CSS (Mijorrhea, otorrhea), paresis nervus fasialis
ankphilangan pendengaran, yang dapat timbul atau beberapa hari setelah trauma.
Umumnya prognosis pemulihan paresis nervus sialis lebih baik pada keadaan paresis
yang HJadi beberapa waktu kemudian, sementara (rognosis pemulihan N VIII buruk.
Fraktur iasar tengkorak yang menyilang kanalis taiotikus dapat merusak arteri karotis
(diseksi, pseudoaneurisma atau trombosis) dan dianjurkan untuk dilakukan arteriografi.
Fraktur kranium terbuka dapat mengakibatkan idanya hubungan antara laserasi
kulit kepala lengan permukaan otak karena robeknya selaput dura.
Adanya fraktur tengkorak tidak dapat kemehkan, karena menunjukkan bahwa
enturan yang terjadi cukup berat. Pada eiderita sadar, bila ditemukan fraktur linier pada
kalvaria kemungkinan adanya perdarahan intrakranial meningkat sampai 400 kali. Pada
penderita koma kemungkinan ditemukannya perdarahan intra-kranial pada fraktur linier
adalah 20 kali karena resiko adanya perdarahan intrakranial memang sudah lebih tinggi.
2. Lesi intrakranial
Lesi ini diklasifikasikan sebagai lesi fokal atau lesi difus, walaupun kedua jenis lesi
ini sering terjadi bersamaan. Termasuk dalam lesi fokal yaitu perdarahan epidural,
perdarahan subdural, kontusio, dan perdarahan intra cerebral. a. Cedera otak difus
Mulai dari konkusi ringan dimana gambaran CT scan normal sampai kondisi yang
sangat buruk. Pada konkusi, penderita biasanya kehilangan kesadaran dan mungkin
mengalami amnesia retro/anterograd.
22
Cedera otak difus yang berat biasanya diakibatkan hipoksia, iskemi dari otak karena
syok yang berkepanjangan atau periode apneu yang terjadi segera setelah trauma.
Pada beberapa kasus, CT scan sering menunjukkan gambaran normal, atau
gambaran edema dengan batas area putih dan abu-abu yang kabur. Kasus yang lebih
jarang, biasanya pada kecelakaan motor dengan kecepatan tinggi, pada CT scan
menunjukkan gambaran titik-titik perdarahan multipel di seluruh hemisfer otak yang
terkonsentrasi di batas area putih dengan abu-abu. Selama ini dikenal isilah Cedera
Aksonal Difus (CAD) untuk mendefinisikan trauma otak berat dengan prognosis
yang buruk. Penelitian secara mikroskopis menunjukkan adanya kerusakan pada
akson dan terlihat pada manifestasi klinisnya
b. Perdarahan epidural
Relatif jarang, lebih kurang 0,5% dari semua cedera otak dan 9% dari penderita yang
mengalami koma Hematoma epidural terletak di luar dura tetapi di dalam rongga
tengkorak dan cirinya berbentuk bikonveks atau menyerupai lensa cembung. Sering
terletak di area temporal atau temporoparietal yang dan biasanya disebabkan oleh
robeknya a. meningea media akibat fraktur tulang tengkorak. Gumpalan darah yang
terjadi biasanya berasal dari pembuluh arteri, namun dapat juga terjadi akibat
robekan dari vena besar.
c. Perdarahan subdural
Perdarahan subdural lebih sering terjadi daripada perdarahan epidural (kira-kira 30
% dari cedera otak berat). Perdarahan ini terjadi akibat robeknya vena-vena kecil di
permukaan korteks serebri. Perdarahan subdural biasanya menutupi selnruh
permukaan hemisfer otak. Biasanya kerusakan otak di bawahnya lebih berat dan
prognosisnyapun jauh lebih buruk dibanding pada perdarahan epidural.
6. Pemeriksaan Klinis
Pemeriksaan klinis pada pasien cedera kepala secara umum meliputi anamnesis,
pemeriksaan fisik umum, pemeriksaan neurologis dan pemeriksaan radiologis. Pada anamnesis
informasi penting yang harus ditanyakan adalah mekanisme trauma. Pada pemeriksaan fisik
secara lengkap dapat dilakukan bersamaan dengan secondary survey. Pemeriksaan meliputi
tanda vital dan sistem organ. Penilaian GCS awal saat penderita datang ke rumah sakit sangat
penting untuk menilai derajat kegawatan cedera kepala. Pemeriksaan neurologis, selain
pemeriksaan GCS, perlu dilakukan lebih dalam, mencakup pemeriksaan fungsi batang otak,
saraf kranial, fungsi motorik, fungsi sensorik, dan refleks refleks.
Pemeriksaan radiologis yang paling sering dan mudah dilakukan adalah rontgen kepala
yang dilakukan dalam dua posisi, yaitu anteroposterior dan lateral. Idealnya penderita cedera
kepala diperiksa dengan CT Scan, terutama bila dijumpai adanya kehilangan kesadaran yang
cukup bermakna, amnesia, atau sakit kepala hebat.
24
dan perubahan jaringan otak. Catatan : Untuk mengetahui adanya infark / iskemia jangan
dilekukan pada 24 - 72 jam setelah injuri
2. MRI : sama dengan CT –Scan dengan atau tanpa kontraks.
3. Angiografi Serebral : menunjukkan kelainan sirkulasi serebral seperti pergeseran jaringan
otak akibat edema, perdarahan dan trauma.
4. EEG : memperlihatkan keberadaan/ perkembangan gelombang.
5. Sinar X : mendeteksi adanya perubahan struktur tulang (faktur pergeseran struktur dan garis
tengah (karena perdarahan edema dan adanya frakmen tulang).
6. BAER (Brain Eauditory Evoked) : menentukan fungsi dari kortek dan batang otak..
7. PET (Pesikon Emission Tomografi) : menunjukkan aktivitas metabolisme pada otak.
8. Pungsi Lumbal CSS : dapat menduga adanya perdarahan subaractinoid, serta untuk
menentukan ada tidaknya darah pada LCS harus dilakukan sebelum 6 jam dari saat
terjadinya trauma
9. Kimia/elektrolit darah : mengetahui ketidakseimbangan yang berpengaruh dalam
peningkatan TIK.
10. GDA (Gas Darah Arteri) : mengetahui adanya masalah ventilasi atau oksigenasi yang akan
dapat meningkatkan TIK.
11. Pemeriksaan toksitologi : mendeteksi obat yang mungkin bertanggung jawab terhadap
penurunan kesadaran.
12. Kadar antikonvulsan darah : dapat dilakukan untuk mengetahui tingkat terapi yang cukup
efektif untuk mengatasi kejang
7. Tatalaksana
Penatalaksanaan cedera kepala sesuai dengan tingkat keparahannya, berupa cedera kepala
ringan, sedang, atau berat.3 Tidak semua pasien cedera kepala perlu di rawat inap di rumah
sakit. Indikasi rawat antara lain :
1. Amnesia posttraumatika jelas (lebih dari 1 jam)
2. Riwayat kehilangan kesadaran (lebih dari 15 menit)
3. Penurunan tingkat kesadaran
4. Nyeri kepala sedang hingga berat
5. Intoksikasi alkohol atau obat
25
6. Fraktura tengkorak
7. Kebocoran CSS, otorrhea atau rhinorrhea
8. Cedera penyerta yang jelas
9. Tidak punya orang serumah yang dapat dipertanggungjawabkan
10. CT scan abnormal
Prinsip penanganan awal pada pasien cedera kepala meliputi survei primer dan survei
sekunder. Dalam penatalaksanaan survei primer hal-hal yang diprioritaskan antara lain airway,
breathing, circulation, disability, dan exposure, yang kemudian dilanjutkan dengan resusitasi.
Pada penderita cedera kepala khususnya dengan cedera kepala berat survei primer sangatlah
penting untuk mencegah cedera otak sekunder dan mencegah homeostasis otak.
Indikasi untuk tindakan operatif pada kasus cedera kepala ditentukan oleh kondisi klinis
pasien, temuan neuroradiologi dan patofisiologi dari lesi. Secara umum digunakan panduan
sebagai berikut :
1. volume masa hematom mencapai lebih dari 40 ml di daerah supratentorial atau lebih dari
20 cc di daerah infratentorial
2. kondisi pasien yang semula sadar semakin memburuk secara klinis, serta gejala dan tanda
fokal neurologis semakin berat
3. terjadi gejala sakit kepala, mual, dan muntah yang semakin hebat
4. pendorongan garis tengah sampai lebih dari 3 mm
5. terjadi kenaikan tekanan intrakranial lebih dari 25 mmHg.
6. terjadi penambahan ukuran hematom pada pemeriksaan ulang CT scan
7. terjadi gejala akan terjadi herniasi otak
8. terjadi kompresi / obliterasi sisterna basalis
27
Definisi: Penderita sadar dan berorientasi (GCS14-15) Riwayat:
• Nama, umur, jenis kelamin, ras, pekerjaan • Tingkat kewaspadaan
• Mekanisme cedera • Amnesia: Retrograde, Antegrade
• Waktu cedera • Sakit kepala: ringan,
sedang, berat
• Tidak sadar segera setelah cedera
Kami telah memeriksa dan ternyata tidak ditemukan indikasi bahwa cedera kepala anda
serius. Namun gejala-gejala baru dan komplikasi yang tidak terduga dapat muncul
dalam
beberapa jam atau beberapa had setelah cedera. 24 jam pertama adalah waktu yang
kritis
dan anda hams tinggal bersama keluarga atau kerabat dekat anda sedikitnya dalam
waktu
28
itu. Bila kelak timbul gejala-gejala berikut seperti tertera di bawah Ini maka anda
harus
segera menghubungi dokter anda atau
kembali ke RS.
1. Mengantuk berat atau sulit dibangunkan (penderita harus dibangunkan setiap 2 jam
3. Kejang.
8. Salah satu pupil mata (bagian mata yang gelap) lebih besar dari yang lain, gerakan-
gerakan aneh bola mata, melihat dobel atau gangguan penglihatan lain.
9. Denyut nadi yang sangat lambat atau sangat cepat atau pola nafas yang tidak teratur
Bila timbul pembengkakan pada tempat cedera, letakkan kantung es di atas selembar
kain/handuk pada kulit tempat cedera. Bila pembengkakan semakin hebat walau
telah
dibantu dengan kantung es, segera
hubungi RS.
Anda boleh makan dan minum seperti biasa nainun tidak diperbolehkan minum minuman
yang mengandung alkohol sedikitnya 3 hari
setelah cedera.
Jangan minum obat tidur atau obat penghilang nyeri yang lebih kuat dari Acetaminophen
sedikitnya 24 jam setelah cedera. Jangan minum obat
mengandung aspirin.
29
Bila ada hal yang ingin anda tanyakan, atau dalam keadaan gawat darurat, kami dapat
dihubungidi nomor
telepon:........................
Nama dokter:....................................
II. Penatalaksanaan Cedera Otak Sedang (GCS= 9-13)
Sepuluh persen dari penderita cedera kepala di UGD menderita cedera otak sedang.
Mereka umumnya masih mampu menuruti perintah sederhana, namun biasanya tampak
bingung atau mengantuk dan dapat disertai defisit neurologis fokal seperti hemiparesis.
Sebanyak 10-20% dari penderita cedera otak sedang mengalami perburukan dan jatuh
dalam koma. Saat diterima di UGD, dilakukan anamnesis singkat dan segera dilakukan
stabilisasi kardiopuhnoner sebelum pemeriksaan neurologis dilaksanakan. CT scan kepala
harus selalu dilakukan dan segera menghubungai ahli Bedah Saraf. Penderita harus dirawat
di ruang perawatan intensif atau yang setara, dimana observasi ketat dan pemeriksaan
neurologis serial dilakukan selama 12 - 24 jam pertama. pemeriksaan CT scan lanjutan
dalam 12 - 24 jam direkomendasikan bila hasilnya abnormal atau terdapat penurunan status
neurologis penderita
30
ALGORITME 2
Penatalaksanaan Cedera Kepala Sedang
31
III. Penatalaksanaan Cedera Otak Berat (GCS:3-8)
Penderita dengan cedera kepala berat tidak mampu melakukan perintah sederhana
walaupun status kardiopulmonernya telah stabil. Walaupun definisi ini mencakup berbagai
jenis cedera otak, tetapi dapat mengidentifikasi penderita yang memiliki resiko morbiditas
dan mortalitas yang paling besar. Pendekatan
"Tunggu dan lihat" pada penderita cedera otak berat adalah sangat berbahaya,
karena diagnosis serta terapi yang cepat sangatlah penting. Jangan menunda transfer
penderita karena menunggu CT scan.
Definisi: Penderita tidak mampu melakukan perintah sederhana karena kesadaran yang
• ABCDE
• Rawat pada fasilitas yang mampu melakukan tindakan perawatan defmitif Bedah saraf
• Manitol
• Hiperventilasi sedang (PCO2O5 mmHg)
• Antikonvulsan
Tes Diagnostik (sesuai urutan)
32
• CT Scan
• Ventrikulografi udara
• Angiogram
33
Tabel 5- Prioritas Evaluasi Awal Dan Triase
1. Semua penderita cedera otak dengan koma harus segera diresusitasi (ABCDE) setibanya di
2. Segera setelah tekanan darah normal, pemeriksaan neurologis dilakukan (GCS dan refleks
pupil). Bila tekanan darah tidak bisa mencapai normal, pemeriksaan neurologis tetap
3. Bila tekanan darah sistolik tidak bisa > 100 mmHg setelah dilakukan resusitasi agresif,
4. Pada kasus ini penderita dilakukan DPL dan ultrasound di UGD atau langsung ke kamar
operasi untuk seliotomi. CT scan kepala dilakukan setelah seliotomi. Bila timbul tanda-tanda
klinis suatu massa intrakranial maka dilakukan ventrikulografi, burr hole eksplorasi atau
5. Bila TDS > 100 mmHg setelah resusitasi dan terdapat tanda klinis suatu lesi intrakranial
(pupil anisokor, hemiparesis), maka prioritas pertama adalah CT Scan kepala. DPL dapat
dilakukan di UGD, ruang CT Scan atau di kamar operasi, namun evaluasi neurologis dan
6. pada kasus yang meragukan, misalnya tekanan darah dapat terkoreksi tapi cenderung untuk
turun, upayakan utuk membawa ke ruang CT scan sebelum ke kamar operasi untuk seliotomi
atau thorakotomi. Beberapa kasus membutuhkan koordinasi yang kuat antara ahli bedah
34
trauma dengan ahli bedah saraf.
2. Sirkulasi
Hipotensi biasanya tidak disebabkan oleh cedera otak itu sendiri kecuali pada
stadium terminal dimana medula oblongata sudah mengalami gangguan. Perdarahan
intrakranial tidak dapat menyebabkan syok hemoragik. Pada penderita dengan hipotensi
harus segera dilakukan stabilisasi untuk mencapai euvolemia.
Hipotensi merupakan petunjuk adanya kehilangan darah yang cukup berat,
walaupun tidak selalu tampak jelas. Harus juga diperhitungkan kemungkman penyebab
lain seperti trauma medula spinalis (syok neurogenik), kontusio jantung atau tamponade
jantung, dan tension pneumothorax.
Sementara penyebab hipotensi dicari, segera lakukan (pemberian cairan untuk
mengganti rolume yang hilang. DPL (Diagnostik peitoneal Lavage) atau pemeriksaan
trasonografi (bila tersedia) merupakan lemeriksaan rutin pada penderita hipotensi
mengalami koma, dimana pemeriksaan dinis tidak mungkin menentukan tanda-tanda
idanya akut abdomen. (Lihat Bab 3, Syok, dan tabel 5, Prioritas Evaluasi Awal dan
Triase ita dengan Cedera Otak Berat) bentukan prioritas antara pemeriksaan DPL an CT
scan kepala kadang-kadang nenimbulkan konflik antara ahli bedah trauma an ahli bedah
saraf. Perlu diketahui bahwa emeriksaan neurologis pada penderita potensi tidak dapat
dipercaya kebenarannya, in bahkan bila terdapat cedera otak berat, ipotensi terbukti
menyebabkan cedera otak ider. Penderita hipotensi yang tidak terhadap stimulasi
apapun dapat i respon normal segera setelah tekanan a normal.
B. Pemeriksaan Neurologis
Pemeriksaan neurologis langsung dilakukan segera setelah status kardiopulmuner
penderita stabil. Pemeriksaan ini tefdiri dari GCS dan refleks cahaya pupil. Pada penderita
36
koma, respon motorik dapat dibangkitkan dengan merangsang/mencubit otot trapezius atau
menekan dasar kuku penderita. Bila penderita menunjukkan reaksi yang bervariasi, yang
digunakan adalah respon motorik terbaik karena merupakan indikator prognostik yang
paling akurat dibandingkan respon yang paling buruk. Gerakan bola mata (Doll's eye
Phenomena, refleks okulosefalik), Test Kalori dengan suhu dingin (refleks okulo
vestibuler) dan refleks kornea ditunda sampai kedatangan ahli bedah saraf.
Pemeriksaan Doll's eye (oculocephalis) refleks aires (oculovestibular)dan refleks
kornea hanya boleh dilakukan bila sudah jelas tidak terdapat cedera servikal.
Yang sangat penting adalah melakukan pemeriksaan GCS dan refleks pupil
sebelum penderita dilakukan sedasi atau paralisis, karena akan menjadi dasar untuk
tindakan selanjutnya. Selama primary survey, pemakaian obat-obat paralisis jangka
panjang tidak ianjurkan. Succinylcholine, vecuronium, atau dosis kecil pancuronium dapat
dipakai untuk intubasi endotrakea atau untuk tindakan diagnostik lainnya. Bila diperlukan
analgesia, sebaiknya digunakan morfin dosis kecil dan diberikan secara intravena.
C. Secondary Survey
Pemeriksan neurologis serial (GCS, lateralisasi, dan refleks pupil) haras selalu
silakukan untuk deteksi dini gangguan neurologis. Tanda awal dari herniasi lobus temporal
(unkus) adalah dilatasi pupil dan hilangnya refleks pupil terhadap cahaya. Adanya trauma
langsung pada mata sering merupakan penyebab abnormalitas respon pupil dan dapat
membuat pemeriksaan pupil menjadi sulit Bagaimanapun, dalam hal ini pemikiran
terhadap adanya trauma otak harus dipikrkan terlebih dahulu.
1. Cairan intravena
37
Cairan intravena diberikan secukupnya untuk resusitasi agar penderita tetap dalam
keadaan normovolemia. Keadaan hipovolemia pada pasien sangatlah berbahaya.
Namun, perlu diperhatikan untuk tidak memberikan cairan berlebih. Jangan berikan
cairan hipotonik. Penggunaan cairan yang mengandung glukosa dapat menyebabkan
hiperglikemia yang berakibat buruk pada otak yang cedera. Karena itu cairan yang
dianjurkan untuk resusitasi adalah larutan garam fisiologis atau Ringer's Lactate. Kadar
natrium serum perlu diperhatikan pada pasien dengan cedera kepala. Keadaan
hiponatremia sangat berkaitan dengan timbulnya edema otak yang harus dicegah.
2. Hiperventilasi
Pada kebanyakan pasien, keadaan normokarbia lebih disukai. Hiperventilasi
dilakukan dengan menurunkan PCOa dan akan menyebabkan vasokonstriksi pembuluh
darah otak. Hiperventilasi yang berlangsung terlalu lama dan agresif dapat
menyebabkan iskemia otak aidbat terjadinya vasokonstriksi serebri berat sehingga
menimbulkan gangguan perhisi otak. Hal ini terjadi terutama bila PCOz dibiarkan turun
sampai di bawah 30 mm Hg (4,0 kPa).
Hiperventilasi sebaiknya dilakukan secara sdeksif dan hanya dalam waktu tertentu.
Jmumnya, PCOz dipertahankan pada 35 mmHg atau lebih. Hiperventilasi dalam waktu
singkat PCCb antara 25-30 mm Hg) dapat diterima jika diperlukan pada keadaan
deteriorasi neurologis akut.
3. Manitol
Manitol digunakan untuk menurunkan TIK yang meningkat. Sediaan yang tersedia
biasanya caiian dengan konsentrasi 20%. Dosis yang biasa dipakai adalah 1 g/kgBB
diberikan secara bolus intravena. Dosis tinggi manitol jangan diberikan pada pasien
yang hipotensi karena manitol adalah diuretik osmotik yang poten. Indikasi
Knggunaan manitol adalah deteriorasi neurologis yang akut, seperti terjadinya dilatasi
pupil, hemiparesis atau kehilangan kesadaran saat pasien dalam observasi. Pada
keadaan ini pemberian bolus manitol (1 g/kg) harus diberikan secara cepat (dalam
waktu 5 menit) dan penderita segera dibawa ke CT scan atau langsung ke kamar
operasi bila lesi penyebabnya sudah diketahui dengarvCT scan.
38
4. Furosemid (Lasix @)
Obat ini diberikan bersama manitol untuk menurunkan TIK. Dosis yang biasa
diberikan adalah 03-0,5 mg/kgBB, diberikan secara intravena. Seperti pada
penggunaan manitol, furosemid sebaiknya jangan diberikan kepada lasien
hipovolemik.
5. Steroid
Berbagai penelitian tidak menunjukkan manfaal steroid untuk mengendalikan
kenaikan TIK maupun memperbaiki hasil terapi penderita dengan cedera otak berat
Karenanya penggunaan steroid pada penderita cedera otal tidak dianjurkan.
6. Barbiturat
Barbiturat bermanfaat untuk menurunkan TIK yang refrakter terhadap obatobatan
lain. Namun obat ini jangan diberikan dalam keadaar hipotensi atau hipovolemi.
Nantinya hipotensi sering terjadi pada penggunaan barbiturat Karena itu barbiturat
tidak diindikasikan pada fase akut resusitasi.
7. Antikonvulsan
Epilepsi pascatrauma terjadi pada 5% penderita yang dirawat di RS dengan
cedera kepala tertutup dan 15% pada cedera kepala berat Terdapat 3 faktor yang
berkaitan dengar insidensi epilepsi (1) kejang awal yang terjadi dalam minggu
pertama, (2) perdarahart intrakranial, atau (3) fraktur depresi. Penelitian tersamar ganda
menunjukkan bahwa fenitoin bermanfaat dalam mengurangi terjadinya kejang dalam
minggu pertama cedera nanlun tidak setelah itu. Fenitoin atau fosfenitoin adalah obal
yang biasa diberikan dalam fase akut Untuk dewasa dosis awalnya adalah 1 g yang
diberikan secara intravena dengan kecepatan pemberian tidak lebih cepat dari 50
mg/menit Dosis pemeliharaan biasanya 100 mg/8 jam, dengan titrasi untuk mencapai
kadar terapetik serum. Pada pasien dengan kejang lama, diazepam atau lorazepam
digunakan sebagai tambahan fenitoin sampai kejang berhenti. Untuk mengatasi kejang
yang terus menerus mungkin memerlukan anestesi umum. Sangat jelas bahwa
kejang harus dihentikan dengan segera karena kejang yang berlangsung lama (30
sampai 60 menit) dapat meyebabkan cedera otak sekunder.
39
E. TATA LAKSANA PEMBEDAHAN
1. Luka Kulit Kepala
Hal yang penting adalah membersihkan luka sebelum melakukan penjahitan. Penyebab
tersering infeksi luka kepala adalah pembersihan dan debridement yang tidak adekuat.
Kehilangan darah dari luka kulit kepala cukup ekstensif terutama pada anak-anak. Pada
pasien dewasa, perdarahan akibat luka di kulit kepala bukan penyebab syok hemoragik.
Perdarahan dari luka kulit kepala dapat diatasi dengan penekanan, kauterisasi atau
ligasi pembuluh besar. Penjahitan, pemasangan klips atau staples kemudian dapat
dilakukan. Inspeksi secara cermat dilakukan untuk menemukan adanya fraktur
tengkorak atau benda asing. Adanya LCS pada luka menunjukkan adanya robekan
dura. Ahli bedah saraf hams dikonsulkan pada semua kasus dengan fraktur tengkorak
terbuka atau depresi. Tidak jarang, perdarahan subgaleal teraba seperti fraktur depresi.
Dalam keadaan ini diperlukan pemeriksaan foto polos tengkorak atau CT scan.
Indikasi untuk melakukan kraniotomi oleh bukan ahli bedah saraf hanya sedikit, dan
penggunaan tindakan ini secara luas sebagai upaya terakhir tidak direkomendasi oleh
Komisi Trauma. Tindakan ini dibenarkan hanya bila tindakan bedah saraf definitif sama
sekali tidak memungkinkan. Komisi Trauma sangat menganjurkan bahwa barang siapa
yang mungldn akan melakukan tindakan ini harus menerima pelatihan dari seorang ahli
bedah saraf.
8. Komplikasi
Komplikasi-komplikasi yang dapat terjadi akibat cedera kepala, diantaranya:
o Kebocoran cairan serebrospinal akibat fraktur pada fossa anterior dekat sinus frontal atau
dari fraktur tengkorak bagian petrous dari tulang temporal.
o Kejang. Kejang pasca trauma dapat terjadi segera (dalam 24 jam pertama dini, minggu
pertama) atau lanjut (setelah satu minggu).
o Diabetes Insipidus, disebabkan oleh kerusakan traumatic pada rangkai hipofisis
meyulitkan penghentian sekresi hormone antidiuretik
o Fistula carotis o Herniasi
o Gangguan neurologis
Dapat berupa : gangguan visus, strabismus, parese N.VII dan gangguan N. VIII, disartria,
disfagia, kadang ada hemiparese
o Sindrom pasca trauma
Dapat berupa : palpitasi, hidrosis, cape, konsentrasi berkurang, libido menurun, mudah
tersinggung, sakit kepala, kesulitan belajar, mudah lupa, gangguan tingkah laku, misalnya:
menjadi kekanak-kanakan, penurunan intelegensia, menarik diri, dan depresi.
o Kematian
9. Prognosis
Hal-hal yang dapat membantu menentukan prognosis :
41
Usia dan lamanya koma pasca traumatik, makin muda usia, makin berkurang pengaruh
lamanya koma terhadap restitusi mental
Tekanan darah pasca trauma. Hipertensi pasca trauma memperjelek prognosis.
Pupil lebar dengan fefleks cahaya negatif, prognosis jelek.
Reaksi motorik abnormal (dekortikasi/deserebrasi) biasanya tanda penyembuhan akan
tidak sempurna.
Hipertermi, hiperventilasi, Cheyne-Stokes, deserebrasi: menjurus ke arah hidup vegetatif.
Apnea, pupil tak ada reaksi cahaya, gerakan refleks mata negatif, tak ada gerakan apapun
merupakan tanda-tanda brain death. Ini perlu dilengkapi dengan EEG yang isoelektrik
EPIDURAL HEMATOMA
1. Pengertian
Epidural hematom adalah salah satu jenis perdarahan intracranial yang paling sering terjadi
karena fraktur tulang tengkorak. Otak di tutupi olek tulang tengkorak yang kaku dan keras.
Otak juga di kelilingi oleh sesuatu yang berguna sebagai pembungkus yang di sebut dura.
Fungsinya untuk melindungi otak, menutupi sinus-sinus vena, dan membentuk periosteum
tabula interna.. Ketika seorang mendapat benturan yang hebat di kepala kemungkinan akan
terbentuk suatu lubang, pergerakan dari otak mungkin akan menyebabkan pengikisan atau
robekan dari pembuluh darah yang mengelilingi otak dan dura, ketika pembuluh darah
mengalami robekan maka darah akan terakumulasi dalam ruang antara dura dan tulang
tengkorak, keadaan inlah yang di kenal dengan sebutan epidural hematom. Epidural hematom
sebagai keadaan neurologist yang bersifat emergency dan biasanya berhubungan dengan linear
42
fraktur yang memutuskan arteri yang lebih besar, sehingga menimbulkan perdarahan. Venous
epidural hematom berhubungan dengan robekan pembuluh vena dan berlangsung perlahan-
lahan. Arterial hematom terjadi pada middle meningeal artery yang terletak di bawah tulang
temporal. Perdarahan masuk ke dalam ruang epidural, bila terjadi perdarahan arteri maka
hematom akan cepat terjadi
2. Lokasi
Sebagian besar hematoma epidural (EDH) (70-80%) berlokasi di daerah
temporoparietal, di mana bila biasanya terjadi fraktur calvaria yang berakibat robeknya arteri
meningea media atau cabang-cabangnya, sedangkan 10% EDH berlokasi di frontal maupun
oksipital. Volume EDH biasanya stabil, mencapai volume maksimum hanya beberapa menit
setelah trauma, tetapi pada 9% penderita ditemukan progresifitas perdarahan sampai 24 jam
pertama.
3. Epidemiologi
Di Amerika Serikat, 2% dari kasus trauma kepala mengakibatkan hematoma epidural dan
sekitar 10% mengakibatkan koma. Secara Internasional frekuensi kejadian hematoma epidural
hampir sama dengan angka kejadian di Amerika Serikat.Orang yang beresiko mengalami EDH
adalah orang tua yang memiliki masalah berjalan dan sering jatuh. 60 % penderita hematoma
epidural adalah berusia dibawah 20 tahun, dan jarang terjadi pada umur kurang dari 2 tahun
dan di atas 60 tahun. Angka kematian meningkat pada pasien yang berusia kurang dari 5 tahun
dan lebih dari 55 tahun. Lebih banyak terjadi pada laki-laki dibanding perempuan dengan
perbandingan 4:1.
Tipe- tipe Epidural Hematoma :
a. Epidural hematoma akut (58%) perdarahan dari arteri
b. Subacute hematoma ( 31 % )
c. Cronic hematoma ( 11%) perdarahan dari vena
4. Etiologi
Hematoma epidural terjadi akibat trauma kepala, yang biasanya berhubungan dengan fraktur
tulang tengkorak dan laserasi pembuluh darah.
43
5. Patofisiologi
Pada hematom epidural, perdarahan terjadi di antara tulang tengkorak dan dura meter.
Perdarahan ini lebih sering terjadi di daerah temporal bila salah satu cabang arteria meningea
media robek. Robekan ini sering terjadi bila fraktur tulang tengkorak di daerah bersangkutan.
Hematom dapat pula terjadi di daerah frontal atau oksipital.
Arteri meningea media yang masuk di dalam tengkorak melalui foramen spinosum dan
jalan antara durameter dan tulang di permukaan dan os temporale. Perdarahan yang terjadi
menimbulkan hematom epidural, desakan oleh hematoma akan melepaskan durameter lebih
lanjut dari tulang kepala sehingga hematom bertambah besar.
Hematoma yang membesar di daerah temporal menyebabkan tekanan pada lobus
temporalis otak kearah bawah dan dalam. Tekanan ini menyebabkan bagian medial lobus
mengalami herniasi di bawah pinggiran tentorium. Keadaan ini menyebabkan timbulnya tanda-
tanda neurologik yang dapat dikenal oleh tim medis.
Tekanan dari herniasi unkus pda sirkulasi arteria yang mengurus formation retikularis di
medulla oblongata menyebabkan hilangnya kesadaran. Di tempat ini terdapat nuclei saraf
cranial ketiga (okulomotorius). Tekanan pada saraf ini mengakibatkan dilatasi pupil dan ptosis
kelopak mata. Tekanan pada lintasan kortikospinalis yang berjalan naik pada daerah ini,
menyebabkan kelemahan respons motorik kontralateral, refleks hiperaktif atau sangat cepat,
dan tanda babinski positif.
Dengan makin membesarnya hematoma, maka seluruh isi otak akan terdorong kearah yang
berlawanan, menyebabkan tekanan intracranial yang besar. Timbul tanda-tanda lanjut
peningkatan tekanan intracranial antara lain kekakuan deserebrasi dan gangguan tanda-tanda
vital dan fungsi pernafasan.
Karena perdarahan ini berasal dari arteri, maka darah akan terpompa terus keluar hingga
makin lama makin besar. Ketika kepala terbanting atau terbentur mungkin penderita pingsan
sebentar dan segera sadar kembali. Dalam waktu beberapa jam , penderita akan merasakan
nyeri kepala yang progersif memberat, kemudian kesadaran berangsur menurun. Masa antara
dua penurunan kesadaran ini selama penderita sadar setelah terjadi kecelakaan di sebut interval
lucid. Fenomena lucid interval terjadi karena cedera primer yang ringan pada Epidural
hematom. Kalau pada subdural hematoma cedera primernya hamper selalu berat atau epidural
hematoma dengan trauma primer berat tidak terjadi lucid interval karena pasien langsung tidak
sadarkan diri dan tidak pernah mengalami fase sadar.
44
Sumber perdarahan :
Artery meningea ( lucid interval : 2 – 3 jam )
Sinus duramatis
Diploe (lubang yang mengisis kalvaria kranii) yang berisi a. diploica dan vena diploica
6. Penatalaksanaan
Penanganan darurat :
• Dekompresi dengan trepanasi sederhana
• Kraniotomi untuk mengevakuasi hematom
Terapi Operatif
Operasi di lakukan bila terdapat :
• Volume hamatom > 30 ml ( kepustakaan lain > 44 ml)
• Keadaan pasien memburuk
• Pendorongan garis tengah > 3 mm
Indikasi operasi di bidang bedah saraf adalah untuk life saving dan untuk fungsional saving.
Jika untuk keduanya tujuan tersebut maka operasinya menjadi operasi emergenci. Biasanya
keadaan emergenci ini di sebabkan oleh lesi desak ruang.
Indikasi untuk life saving adalah jika lesi desak ruang bervolume :
• > 25 cc = desak ruang supra tentorial
• > 10 cc = desak ruang infratentorial
• > 5 cc = desak ruang thalamus
Sedangakan indikasi evakuasi life saving adalah efek masa yang signifikan :
• Penurunan klinis
• Efek massa dengan volume > 20 cc dengan midline shift > 5 mm dengan penurunan klinis
yang progresif.
• Tebal epidural hematoma > 1 cm dengan midline shift > 5 mm dengan penurunan klinis yang
progresif.
45
7. Prognosis
Prognosis tergantung pada :
• Lokasinya ( infratentorial lebih jelek )
• Besarnya
• Kesadaran saat masuk kamar operasi.
Jika ditangani dengan cepat, prognosis hematoma epidural biasanya baik, karena kerusakan
otak secara menyeluruh dapat dibatasi. Angka kematian berkisar antara 7-15% dan kecacatan
pada 5-10% kasus. Prognosis sangat buruk pada pasien yang mengalami koma sebelum
operasi.
46
Trauma
hematoma epidural
47
PENEGAKKAN DIAGNOSA KASUS INI:
2. SECONDARY SURVEY
Riwayat AMPLE
a. berikan manitol 20% 5 kolf
b. berikan Fenitoin 1 ampul (1gram)
c. Nilai Ventilasi
d. Pasang Kateter Folley
e. Reevaluasi neurologis: GCS
Respon buka mata
Respon motorik
Respon verbal
Refleks cahaya pupil
49
PENULISAN RESEP:
KELOMPOK TUTORIAL 7
ANGKATAN 2007 PSPD UNJA
R/ RL Kolf No. II
Manitol 20% Kolf No. V
Fenitoin amp. No. I
S1MM
Pro: Tn. A
Umur: 37 Tahun
50
3. Widjoseno-Gardjito. Trauma Kepala. Dalam: Buku Ajar Ilmu Bedah. Edisi Ke-Dua. Editor:
R. Syamsurijat dan Wim De Jong. Jakarta: EGC. 2004. Hal: 337-342
4. Hafid A. Epidural Hematoma. Dalam: Buku Ajar Ilmu Bedah. Edisi Ke-Dua. Editor: R.
Syamsurijat dan Wim De Jong. Jakarta: EGC. 2004. Hal: 818-819
5. Anderson S. McCarty L. Cedera Susunan Saraf Pusat. Dalam: Patofisiologi. Edisi Keempat.
Anugrah P. Jakarta: EGC. 1995. Hal: 1014-1016
6. Irwana, Olva. Cedera Kepala. Dalam: Files DrsMed Fakultas Kedokteran Universitas Riau.
2009.
7. Fakultas Kedokteran Universitas Riau. Cedera Kepala dan Fraktur Kruris. Dalam: Files
DrsMed Fakultas Kedokteran Universitas Riau. 2009.
8. Fakultas Kedokteran Universitas Pelita Harapan. Cedera Kepala. Jakarta : Deltacitra
Grafindo, 2005
9. Brain Injury Association of America. Types of Brain Injury. Http://www.biausa.org
10. Leksmono PR , A Hafid, dan M Sajid D. Cedera Otak dan Dasar-dasar Penanganannya.
Dalam: Cermin Dunia Kedokteran No. 34. 1984
11. Purwirantono, Toni. Akurasi Beberapa Tanda dan Gejala klinik dalam Menegakkan
Diagnosis Hematoma Epidural pada Kasus Cedera Kepala. Bagian Ilmu Bedah Fakultas
Kedokteran Universitas Dipenogoro Semarang. 2002
12. Price D. Epidural Hematoma. Http://www.emedicine.com
51