You are on page 1of 36

LAPORAN HASIL DISKUSI

MODUL MUSKULOSKELETAL
PEMICU 3

Kelompok Diskusi 1

Morich Kristoper I11112049


Muthiah Azzahra I11112071
Gilang Pramanayudha I1011131006
Febriska Taradipa I1011131084
Alfian A A Dja’afara I1011151014
Syarif M Nur Taufiq I1011151019
Naila Husnul Fikri A I1011151030
Nina Nafila Ritonga I1011151038
Erika Yulinar I1011151044
Catherine Sugandi I1011151045
Andreas Ade Mahendra I1011151064
Dewinta Putri Utami I1011151070

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN DOKTER


FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS TANJUNGPURA
PONTIANAK
2016
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Pemicu
A 28-year-old male was brought to the emergency department with
complaints of severe pain on his left lower leg and ankle. He stated that he
was involved in a traffic accident one day prior to his ED visit, His left lower leg
was trapped under his motorcycle. Soon after the accident, he was brought by
his parents to the traditional massage therapist since he felt a sharp pain in his
left leg. Four hours later he started to feel worsening pain in his left leg and
ankle, as well as increased walking difficulty. Upon arrival in the ED, he stated
that the pain was intolerable, accompanied by swelling, tightness, and
numbness.
On physical examination, the patient was only able to move his toes
slightly and plantarflexion of the ankle intensified the pain in the front of the
calf. The calf was swollen, pale, and very sensitive to palpation. The left
dorsalis pedis or posterior tibial pulses were palpable but weak.
Anteroposterior view of the leg demonstrated a transverse fracture of
mid tibial shaft with minor displacement and soft tissue swelling.

1
1.2 Klarifikasi dan Definisi
1) Fracture
Fracture is a breaking of a part especially a bone; a break or rupture in a
bone.
2) Swelling
Swelling is an abnormal bodily protoberance or localized enlargement.

1.3 Kata Kunci


1) A 28 year old male
2) Pain on his left lower leg and ankle
3) Transverse fracture
4) Swelling, tightness numbness
5) Traditional massage therapist
6) Sensitive to palpation

1.4 Rumusan Masalah


A 28 year old male came with transverse fracture of mid tibial and before
that his parent brought him to traditional massage therapist and after 4 hour
later, he felt worsening pain on his left leg and ankle.

2
1.5 Analisis Masalah

1.6 Hipotesis
A 28 year old male suffered diaphysis tibia fracture and woesened by
traditional massage therapy.

3
1.7 Pertanyaan Diskusi
1) Bagaimana anatomi dan fisiologi normal tibia ?
2) Fraktur :
a. Definisi
b. Klasifikasi
c. Etiologi
d. Patofisiologi
e. Komplikasi
f. Diagnosis
g. Tatalaksana
3) Jelaskan mengenai deformitas pada sistem muskuloskeletal !
4) Jelaskan mengenai kompartemen sindrome !
a. Definisi
b. Etiologi
c. Patofisiologi
d. Gejala klinis
e. Tatalaksana
5) Bagaimana proses penyembuhan jaringan tulang ?
6) Faktor yang mempengaruhi penyembuhan tulang ?
7) Bagaimana hubungan fraktur terhadap fungsi dan kerja saraf ?
8) Bagaimana hubungan terapi pijat tradisional terhadap fraktur ?
9) Bagaimana edukasi pada kasus ini ?

4
BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Anatomi dan Fisiologi Tulang Tibia


Hampir semua tulang berongga di bagian tengah-tengahnya. Struktur
demikian memaksimalkan kekuatan dengan bahan yang relatif kecil atau
ringan. Kekuatan tambahan diperoleh dari susunan kolagen dan mineral
dalam jaringan tulang. Jaringan tulang dapat berbentuk anyaman atau
lamelar. Tulang yang berbentuk anyaman terlihat saat pertumbuhan cepat,
seperti sewaktu perkembangan janin atau sesudah terjadinya patah tulang,
yang selanjutnya keadaan ini akan diganti oleh tulang yang lebih dewasa
yang berbentuk lamelar. Pada orang dewasa, tulang anyaman ditemukan
pada insersi ligamentum atau tendon. Tulang lamelar terdapat di seluruh
tubuh orang dewasa. Tulang lamelar tersusun dari lempengan-lempengan
mineral yang sangat padat, dan bukan merupakan suatu massa kristal yang
padat. 1
Tulang tibia (Gambar 1) termasuk kedalam kelompok tulang panjang.
Secara anatomi, tulang panjang terdiri dari beberapa bagian khas yaitu
(Gambar 2) :1
1. Diafisis (batang)
Diafisis adalah bagian tengah tulang yang berbentuk silinder. Bagian ini
tersusun dari tulang kortikal yang memiliki kekuatan yang besar.
2. Metafisis
Metafisis adalah bagian tulang yang melebar di dekat ujung akhir
batang. Daerah ini tersusun oleh tulang trabekular atau tulang
spongiosa yang mengandung sel-sel hematopoetik. Metafisis juga
menopang sendi dan menyediakan daerah yang cukup luas untuk
perlekatan tendon dan ligamen epifisis.
3. Epifisis
Lempeng epifisis adalah daerah pertumbuhan longitudinal pada anak-
anak, dan bagian ini akan menghilang pada tulang dewasa. Bagian
epifisis langsung berbatasan dengan sendi tulang panjang yang bersatu
dengan metafisis sehingga pertumbuhan memanjang tulang terhenti.

5
Seluruh tulang diliputi oleh lapisan fibrosa yang disebut periosteum.
Periosteum mengandung sel-sel yang dapat berproliferasi dan berperan
dalam proses pertumbuhan transversal tulang panjang. Kebanyakan tulang
panjang mempunyai arteria nutrisi khusus. Lokasi dan keutuhan dari arteri-
arteri inilah yang menentukan berhasil atau tidaknya proses penyembuhan
suatu tulang yang patah. 1

Gambar 1. Tulang Kering (Tibia)2

6
Gambar 2. Anatomi Tulang Panjang1

2.2 Fraktur
a. Definisi
Fraktur adalah terputusnya kontinuitas jaringan tulang, yang
biasanya disertai dengan luka sekitar jaringan lunak, kerusakan otot,
rupture tendon, kerusakan pembuluh darah, dan luka organ-organ tubuh
dan ditentukan sesuai jenis dan luasnya, terjadinya fraktur jika tulang
dikenai stress yang lebih besar dari yang besar dari yang dapat
diabsorbsinya.3
Fraktur adalah keadaan dimana hubungan kesatuan jaringan
tulang terputus. Tulang mempunyai daya lentur dengan kekuatan yang
memadai, apabila trauma melebihi dari daya lentur tersebut maka terjadi
fraktur, terjadinya fraktur disebabkan karena trauma, stress kronis dan
berulang maupun pelunakan tulang yang abnormal. Fraktur adalah
suatu patahan kontinuitas struktur tulang, patahan mungkin lebih dari
satu retakan.4
Fraktur ekstremitas bawah adalah terputusnya kontinuitas jaringan
tulang atau tulang rawan yang terjadi pada ekstremitas bawah yang
umumnya disebabkan oleh ruda paksa. Trauma yang menyebabkan
fraktur dapat berupa trauma langsung, misalnya yang sering terjadi

7
benturan pada ekstremitas bawah yang menyebabkan fraktur pada tibia
dan fibula dan juga dapat berupa trauma tidak langsung misalnya jatuh
bertumpu pada tangan yang menyebabkan tulang klavikula atau radius
distal patah.5

b. Klasifikasi
1. Berdasarkan ada tidaknya hubungan antara patahan tulang dengan
dunia luar di bagi menjadi 2 antara lain:1
a) Fraktur tertutup (closed)
Dikatakan tertutup bila tidak terdapat hubungan antara
fragmen tulang dengan dunia luar, disebut dengan fraktur bersih
(karena kulit masih utuh) tanpa komplikasi. Pada fraktur tertutup
ada klasifikasi tersendiri yang berdasarkan keadaan jaringan
lunak sekitar trauma, yaitu:
 Tingkat 0 : fraktur biasa dengan sedikit atau tanpa cedera
jaringan lunak sekitarnya.
 Tingkat 1 : fraktur dengan abrasi dangkal atau memar kulit
dan jaringan subkutan.
 Tingkat 2 : fraktur yang lebih berat dengan kontusio jaringan
lunak bagian dalam dan pembengkakan.
 Tingkat 3 : Cedera berat dengan kerusakan jaringan lunak
yang nyata dan ancaman sindroma kompartement.
b) Fraktur terbuka (open/compound fraktur)
Dikatakan terbuka bila tulang yang patah menembus otot
dan kulit yang memungkinkan / potensial untuk terjadi infeksi
dimana kuman dari luar dapat masuk ke dalam luka sampai ke
tulang yang patah. Derajat patah tulang terbuka :
 Derajat I Laserasi < 2 cm, fraktur sederhana, dislokasi
fragmen minimal.
 Derajat II Laserasi > 2 cm, kontusio otot dan sekitarnya,
dislokasi fragmen jelas.
 Derajat III Luka lebar, rusak hebat, atau hilang jaringan
sekitar.

8
2. Berdasarkan derajat kerusakan tulang dibagi menjadi 2 yaitu: 1
a) Patah tulang lengkap (Complete fraktur)
Dikatakan lengkap bila patahan tulang terpisah satu
dengan yang lainya, atau garis fraktur melibatkan seluruh
potongan menyilang dari tulang dan fragmen tulang biasanya
berubak tempat.
b) Patah tulang tidak lengkap ( Incomplete fraktur )
Bila antara oatahan tulang masih ada hubungan sebagian.
Salah satu sisi patah yang lainya biasanya hanya bengkok yang
sering disebut green stick. kekuatan dan sudut dari tenaga
fisik,keadaan tulang, dan jaringan lunak di sekitar tulang akan
menentukan apakah fraktur yang terjadi itu lengkap atau tidak
lengkap. Fraktur lengkap terjadi apabila seluruh tulang patah,
sedangkan pada fraktur tidak lengkap tidak melibatkan seluruh
ketebalan tulang.
3. Klasifikasi muller :
Sistem ini dikembangkan oleh Muller dan koleganya yang
sekarang telah dikembangkan dan di perbaharui. Pada system ini,
digit pertama menspesifikkan tulang. (1 = humerus, 2 = radius/ulna,
3 = femur, 4 = tibia/fibula) dan digit kedua letak fraktur (1 = proximal,
2 = diaphyseal, 3 = distal, 4 = malleolar). Untuk huruf untuk
menspesifikkan pola fraktur (untuk diafisis : A = simple, B = irisan, C
= kompleks; untuk metafisis: A = extra-articular, B = partial articular,
C = complete articular). Dua nomor lain menspesifikkan morfologi
detail dari fraktur.6

9
4. Fraktur berdasarkan sudut patah :1
a. Fraktur transversal adalah fraktur yang garis patahnya tegak
lurus terhadap sumbu panjang tulang. Pada fraktur semacam
ini, segmen-segmen tulang yang patah direposisi atau direduksi
kembali ke tempatnya semula, maka segmen-segmen itu akan
stabil dan biasanya mudah dikontrol dengan bidai gips.
b. Fraktur oblik adalah fraktur yang garis patahnya membentuk
sudut terhadap tulang. Fraktur ini tidak stabil dan sulit
diperbaiki.
c. Fraktur spiral timbul akibat torsi pada ekstremitas.

c. Etiologi
Trauma yang menyebabkan tulang patah dapat berupa trauma
langsung, misalnya benturan pada lengan bawah yang menyebabkan
patah tulang radius dan ulna, dan dapat berupa trauma tidak langsung,
misalnya jatuh bertumpu pada tangan yang menyebabkan tulang
klavikula atau radius distal patah.1

10
Fraktur tidak selalu disebabkan oleh trauma yang berat; kadang-
kadang trauma ringan saja dapat menimbulkan fraktur bila tulangnya
sendiri terkena penyakit tertentu. Jika trauma ringan yang terus menerus
dapat menimbulkan fraktur. Berdasarkan ini, maka dikenal berbagai
jenis fraktur : 1
 Fraktur disebabkan trauma yang berat
 Fraktur spontan/patologik
 Fraktur stress/fatigue
Trauma dapat bersifat:
 Eksternal : tertabrak, jatuh dan sebagainya.
 Internal : kontraksi otot yang kuat dan memdadak seperti pada
serangan epilepsi, tetanus, renjatan listrik, keracunan strinkin.
 Trauma ringan tetapi terus menerus.
Fraktur patologik adalah fraktur yang terjadi pada tulang yang
sebelumnya telah mengalami proses patologik, misalnya tumor tulang
primer atau sekunder, myeloma multiple, kista tulang, osteomyelitis, dan
sebagainya. Trauma ringan saja sudah dapat menimbulkan fraktur.
Fraktur stress disebabkan oleh trauma ringan tetpai terus menerus,
misalnya fraktur march pada metatarsal fraktur tibia pada penari balet,
fraktur fibula pelari jarak jauh, dan sebagainya.6
Fraktur dapat terjadi akibat adanya tekanan yang melebihi
kemampuan tulang dalam menahan tekanan. Tekanan pada tulang
dapat berupa tekanan berputar yang menyebabkan fraktur bersifat spiral
atau oblik, tekanan membengkok yang menyabkan fraktur transversal,
tekanan sepanjang aksis tulang yang menyebabkan fraktur impaksi,
dislokasi, atau fraktur dislokasi, kompresi vertical dapat menyebabkan
fraktur kominutif atau memecah, misalnya pada badan vertebra, talus,
atau fraktur buckle pada anak-anak.6
Fraktur disebabkan oleh pukulan langsung, gaya meremuk,
gerakan puntir mendadak, dan bahkan kontraksi otot ekstrem.Umumnya
fraktur disebabkan oleh trauma di mana terdapat tekanan yang
berlebihan pada tulang. Fraktur cenderung terjadi pada laki-laki,
biasanya fraktur terjadi pada umur di bawah 45 tahun dan sering
berhubungan dengan olahraga, pekerjaan, atau luka yang disebabkan

11
oleh kecelakaan kendaraan bermotor. Pada orang tua, perempuan lebih
sering mengalami fraktur daripada laki-laki yang berhubungan dengan
meningkatnya insiden osteoporosis yang terkait dengan perubahan
hormone pada menopause.7
Penyebab fratur tulang yang paling sering adalah trauma, terutama
pada anak-anak dan dewasa muda. Jatuh dan cedera olahraga adalah
penyebab umum fraktur traumatik. Beberapa fraktur dapat terjadi
setelah trauma minimal atau tekanan ringan apabila tulang lemah. Hal
ini disebut fraktur patologis. Fraktur patologis sering terjadi pada lansia
yang mengalami osteoporosis atau individu yang mengalami tumor
tulang, infeksi, atau penyakit lain.8

d. Patofisiologi
Fraktur dapat terjadi akibat trauma langsung, trauma tidak
langsung, maupun peristiwa patologis. Fraktur dapat juga terjadi akibat
tarikan otot, stress, dan kelemahan tulang. 1 Peristiwa-peristiwa ini akan
menyebabkan tulang menjadi patah. Jika tulang sudah patah, jaringan
lunak disekitarnya akan rusak, periosteum terpisah dari tulang, dan
terjadi perdarahan. Perdarahan dapat terjadi akibat rusaknya pembuluh
darah.1 Kemudian akan terbentuk bekuan darah di daerah yang
mengalami fraktur. Setelah itu terjadilah inflamasi, tubuh akan
melepaskan mediator-mediator inflamasi di daerah tersebut, sehingga
timbullah rasa nyeri. Selain itu rasa nyeri juga dapat dipicu oleh
rusaknya sistem saraf yang ada di sekitar daerah fraktur. Nyeri ini akan
terus menerus dan bertambah berat sampai fragmen tulang
diimobilisasi.1
Pada saat terjadi fraktur, tulang yang patah juga akan mengalami
pergeseran (deformitas). Pergeseran itu akan memicu kerusakan pada
jaringan-jaringan lunak disekitarnya. Gejala klinis dari fraktur ialah nyeri,
hilangnya fungsi, deformitas, pemendekan ekstremitas, krepitus,
pembengkakan lokal, dan perubahan warna.5

12
e. Komplikasi
Komplikasi awal 9,10
a. Shock terjadi karena kehilangan banyak darah dan meningkatnya
permeabilitas kapiler yang bisa menyebabkan menurunnya
oksigenasi. Ini biasanya terjadi pada fraktur. Shock neurogenik
sering terjadi pada fraktur femur.
b. Kerusakan arteri. Pecahnya arteri karena trauma bisa ditandai oleh
tidak adanya nadi, CRT (Cappillary Refill Time) menurun, sianosis
bagian distal, hematoma yang lebar, dan dingin pada ekstremitas.
c. Kompartemen sindrom adalah suatu keadaan peningkatan tekanan
yang berlebihan di dalam satu ruangan yang disebabkan
perdarahan masif pada suatu tempat. Kompartemen sindrom
merupakan suatu kondisi di mana terjebaknya otot, tulang, saraf,
dan pembuluh darah dalam jaringan parut akibat suatu
pembengkakkan dari edema atau perdarahan yang menekan otot,
saraf, dan pembuluh darah.
d. Infeksi, Sistem pertahanan tubuh rusak bila ada trauma pada
jaringan. Pada trauma orthopedic infeksi dimulai pada kulit
(superficial) dan masuk ke dalam. Ini biasanya terjadi pada kasus
fraktur terbuka, tapi bisa juga karena penggunaan bahan lain dalam
pembedahan seperti pin dan plat.
e. Avascular necrosis (AVN), pada umumnya berkaitan dengan
aseptika atau necrosis iskemia. AVN terjadi karena aliran darah ke
tulang rusak atau terganggu yang bisa menyebabkan nekrosis
tulang. AVN diawali dengan adanya “Volkman’s Ischemia”.
f. Fat embolism syndroma,terjadi karena sel-sel lemak yang
dihasilkan sumsum tulang kuning masuk ke aliran darah dan
menyebabkan tingkat oksigen dalam darah rendah yang ditandai
dengan gangguan pernapasan, takikardi, hipertensi, takipnea, dan
demam. Faktor resiko terjadinya emboli lemak ada fraktur
meningkat pada laki-laki usia 20-40 tahun, usia 70 sampai 80 fraktur
tahun.

13
Komplikasi Lama 9,10
a. Malunion, adalah suatu keadaan dimana tulang yang patah telah
sembuh dalam posisi yang tidak pada seharusnya, membentuk
sudut atau miring.
b. Delayed union adalah proses penyembuhan yang berjalan terus
tetapi dengan kecepatan yang lebih lambat dari keadaan normal.
Hal ini disebabkan karena penurunan suplai darah ke tulang.
c. Nonunion, patah tulang yang tidak menyambung kembali dalam
waktu antara 6-8 bulan dan tidak terjadi konsolidasi sehingga
terdapat pseudoartrosis (sendi palsu). Pseudoartrosis dapat terjadi
tanpa infeksi tetapi dapat juga terjadi bersama infeksi yang disebut
infected pseudoarthrosis.
Komplikasi lainnya 9,10
a. Tromboembolic complicastion, trombo vena dalam sering terjadi
pada individu yang imobiil dalam waktu yang lama karena trauma
atau ketidak mampuan lazimnya komplikasi pada perbedaan
ekstremitas bawah atau trauma komplikasi paling fatal bila terjadi
pada bedah ortopedil.
b. Refleks symphathethic dysthropy, hal ini disebabkan oleh hiperaktif
sistem saraf simpatik abnormal syndroma ini belum banyak
dimengerti. Mungkin karena nyeri, perubahan tropik dan vasomotor
instability.

f. Diagnosis
Manifestasi klinis fraktur adalah nyeri, hilangnya fungsi,
deformitas, pemendekan ekstremitas, krepitasi, pembengkakan lokal
dan perubahan warna.11
1. Nyeri terus menerus dan bertambah berat sampai fragmen tulang
diimobilisasi.
2. Pergeseran fragmen tulang menyebabkan deformitas tulang yang
bisa diketahui dengan membandingkan dengan bagian yang
normal.
3. Pemendekan tulang yang disebabkan karena kontraksi otot yang
melekat diatas maupun dibawah tempat fraktur.

14
4. Pada pemeriksaan palpasi ditemukan adanya krepitasi akibat
gesekan antara fragmen satu dengan yang lainnya.
5. Pembengkakan dan perubahan warna lokal kulit terjadi sebagai
akibat trauma dan perdarahan yang mengikuti fraktur.
Diagnosis fraktur terbuka dapat ditegakkan dengan riwayat
penderita, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan radiologis. 12
Riwayat 12
Faktor trauma kecepatan rendah atau taruma kecepatan tinggi
sangat penting dalam menentukan klasifikasi fraktur terbuka karena
akan berdampak pada kerusakan jaringan itu sendiri. Riwayat trauma
kecelakaan lalu lintas, jatuh dari tempat ketinggian, luka tembak
dengan kecepatan tinggi atau pukulan langsung oleh benda berat akan
mengakibatkan prognosis jelek dibanding trauma sederhana atau
trauma olah raga. Penting adanya deskripsi yang jelas mengenai
keluhan penderita, biomekanisme trauma, likasi dan derajat nyeri.
Umur dan kondisi penderita sebelum kejadian seperti penyakit
hipertensi, diabetes melitus dan sebagainya merupakan faktor yang
perlu dipertimbangkan juga. Kalau fraktur terjadi akibat cedera ringan,
curigailah lesi patologi. Nyeri, memar, dan pembengkakan adalah
gejala yang sering ditemukan, tetapi gejala itu tidak membedakan
fraktur dari cedera jaringan lunak. Deformitas jauh lebih mendukung.
Selalu tanyakan mengenai gejala-gejala cedera yang berkaitan,
seperti baal atau hilangnya gerakan, kulit yang pucat/ sianosis, darah
dalam urin, nyeri perut, hilangnya kesadaran untuk sementara.
Tanyakan juga tentang cedera sebelumnya.

Pemeriksaan fisik
Jaringan yang mengalami cedera juga harus ditangani dengan
hati-hati. Untuk menimbulkan krepitus atau gerakan yang abnormal
tidak perlu menimbulkan nyeri, diagnosis dengan foto rontgen lebih
dapat diandalkan. Namun butir-butir pemeriksaan klinik yang biasa
harus selalu dipertimbangkan, kalau tidak kerusakan pada arteri dan
saraf dapat terlewatkan. Pemeriksaan yang harus dilakukan adalah
identisifikasi luka secara jelas dan gangguan neurovaskular bagian

15
distal dan lesi tersebut. Pulsasi arteri bagian distal penderita hipotensi
akan melemah dan dapat menghilangkan sehingga dapat terjadi
kesalahan penilaian vaskular tersebut.bila disertai trauma kepala dan
tulang belakang maka akan terjadi kelainan sensasi nervus perifer di
distal lesi tersebut. Pemeriksaan kulit seperti kontaminasi dan tanda-
tanda lain perlu dicatat. 12
Pemeriksaan yang dilakukan adalah :
1. Look (inspeksi)
Pembengkakan, memar, dan deformitas mungkin terlihat jelas,
tetapi hal yang penting adalah apakah kulit itu utuh atau tidak.
Kalau kulit robek dan luka memiliki hubungan dengan fraktur,
cedera itu terbuka (compound). 12
2. Feel (palpasi)
Terdapat nyeri tekan setempat, tetapi perlu juga memeriksa
bagian distal dari fraktur untuk merasakan nadi dan untuk menguji
sensasi. Cedera pembuluh darah adalah keadaad darurat yang
memerulkan pembedahan. 12
3. Movement (gerakan)
Krepitus dan gerakan abnormal dapat ditemukan, tetapi lebih
penting untuk menanyakan apakah pasien dapat menggerakkan
sendi-sendi di bagian distal dari cedera. 12

Pemeriksaan radiologis
Pemeriksaan radiologis bertujuan untuk menentukan keparahan
kerusakan tulang dan jaringn lunak yang berhubungn dengan derajat
energi dari trauma itu sendiri. Bayangan udara di jaringan lunak
merupakan petunjuk dalam melakukan pembersihan luka atau irigasi
dalam melakukan debridement. Bila bayangan udara tersebut tidak
berhubungandengan daerah fraktur maka dapat ditentukan bahwa
fraktur tersebut adalah fraktur tertutup. Radiografi dapat terlihat
bayangan benda asing disekitar lesi sehingga dapat diketahui derajat
keparahan kontaminasi disamping melihat kondisi fraktur atau tipe
fraktur itu sendiri. Diagnosis fraktur dengan tanda-tanda klasik dapat
ditegakkan secara klinis, namun pemeriksaan radiologis tetap

16
diperlukan untuk konfirmasi untuk melengkapi deskripsi fraktur, kritik
medikolegal, rencana terapi dan dasar untuk tindakan selanjutnya.
Sedangkan untuk fraktur-fraktur yang tidak memberikan gejala kalsik
dalam menentukan diagnosa harus dibantu pemeriksaan radiologis
sebagai gold standart. 12
Untuk menghindari kesalahan maka dikenal formulasi hukum dua,
yaitu :
1. Dua pandangan
Fraktur atau dislikasi mungkin tidak terlihat pada film
rontgentunggal, dan sekurang-kurangnya harus dilakukan dua
sudut pandang (anteroposterior dan lateral).
2. Dua sendi
Pada lengan bawah atau kaki, satu tulang dapat mengalami fraktur
dan angulasi. Tetapi, angulasi tidak mungkin terjadi kecuali kalau
tulang yang lain juga patah, atau suatu sendi mengalami dislokasi.
Sendi-sendi di atas dan di bawah fraktur keduanya harus
disertakan pada foto rontgen.
3. Dua tungkai
Pada rontgen tulang anak-anak epifisis yang normal dapat
mengacaukan diagnosis fraktur. Foto pada tungkai yang tidak
cedera akan bermanfaat.
4. Dua cedera
Kekuatan yang hebat sering menyebabkan cedera pada lebih dari
satu tingkat. Karena itu, bila ada fraktur pada kalkaneus atau
femur, perlu juga diambil foto rontgen pada pelvis dan tulang
belakang.
5. Dua kesempatan
Segera setelah cedera, suatu fraktur (skafoid karpal) mungkin sulit
dilihat. Kalau ragu-ragu, sebagai akibat resorpsi tulang,
pemeriksaanlebih jauh 10-14 hari kemudian dapat memudahkan
diagnosis.

17
Pencitraan khusus
Kadang-kadang fraktur atau keseluruhan fraktur tidak nyata pada
foto rontgen biasa. Tomografi mungkin berguna untuk lesi spinal atau
fraktur kondilus tibia. CT atau MRI mungkin merupakan satu-satunya
cara untuk menunjukkan apakah fraktur vertebra mengancam akan
menekan medula spinalis, sesungguhnya potret transeksional sangat
penting untuk visualisasi fraktur secara tepat pada tempat yang sukar
misalnya kalkaneus atau asetabulum, dan potret rekonstruksi tiga
dimensi bahkan lebih baik. Scanning radioisotop berguna untuk
mendiagnosis fraktur tekanan yang dicurigai atau fraktur tidak bergeser
yang lain. 12

g. Tatalaksana
Ada 6 prinsip dalam penatalaksanaan cedera musculoskeletal yaitu :13
1. Do no harm
Ketika beberapa masalah dan komplikasi fraktur disebabkan oleh
original injury, yang lain disebabkan oleh penyembuhan dari injuri
itu dan iatrogenic (kesalahan dari dokter/tenaga medis). Maka dari
itu, kesalahan iatrogenic harus dihindari. Contoh kesalahan
iatrogenic seperti membuka jalan infeksi pada area fraktur akibat
kecerobohan pada saat reduksi, merusak jaringan yang berada di
sekitar akibat kesalahan pertolongan pertama, merusak jaringan
lunak maupun pembuluh darah akibat traksi yang terlalu kuat.
2. Penyembuhan berdasarkan Diagnosis dan prognosis yang akurat
Diagnosis dan prognosis yang akurat dapat diperoleh dengan
anamnesis, pemeriksaan fisik, maupun pemeriksaan penunjang
lainnya. Hal ini sangat diperlukan supaya penatalaksaan dapat tepat
sasaran dengan metode yang sesuai untuk jenis fraktur tersebut.
3. Pilih penyembuhan dengan maksud yang spesifik dan terarah.
Maksud yang spesifik adalah menghilangkan rasa sakit,
mempertahankan posisi dari fragmen fraktur, mendukung
penyambungan tulang, dan mengembalikan fungsi optimal dari
tungkai atau lengan atau saraf yang fraktur.
4. Bekerjasama dengan “Hukum Alam”

18
Maksudnya adalah jaringan musculoskeletal bereaksi terhadap
fraktur dengan berdasarkan pada “Hukum Alam” yaitu
penyembuhan secara alami yang dilakukan oleh tubuh. Contohnya
seperti immobilisasi yang berfungsi untuk mempertahankan posisi
tulang yang fraktur agar seperti posisi semula sehingga
memudahkan penyembuhan.
5. Penyembuhan yang realistic dan Dapat Dilakukan
6. Pilihlah penyembuhan yang tepat untuk pasien dengan melihat
identitas dan riwayat dari pasien tersebut.
Menurut konsep dasar yang harus dipertimbangkan pada waktu
menangani fraktur yaitu : rekognisi, reduksi, retensi, dan rehabilitasi. 1
Reduksi fraktur berarti pengembalian fragmen tulang pada posisi
anatomisnya. Reduksi tertutup pada kebanyakan kasus dilakukan
dengan mengembalikan fragmen tulang ke posisinya (ujung-ujungnya
saling berhubungan). Reduksi juga dapat dipertahankan dengan
memasang traksi. Traksi adalah pemasangan gaya tarikan ke bagian
tubuh untuk meminimalisasi spasme otot, mereduksi, mensejajarkan,
serta mengurangi deformitas.14
Reduksi terbuka pada fraktur memrlukan pendekatan bedah,
fragmen tulang direduksi alat fiksasi interna dalam bentuk pin, kawat,
sekrup, plat, paku, atau batangan logam dapat digunakan untuk
mempertahankan fragmen tulang dalam posisinya sampai
penyembuhan tulang solit terjadi.1
Setelah fraktur direduksi, fragmen tulang harus di imobilisasi atau
dipertahankan dalam posisi dan kesejajaran yang benar sampai terjadi
penyatuan. Imobilisasi dapat dilakukan dengan fiksasi eksterna dan
interna. 1,14

2.3 Deformitas pada Sistem Muskuloskeletal


Deformitas tulang merupakan ketidaksejajaran tulang yang terjadi
akibat tulang panjang mengalami torsional atau angulasi. Deformitas tulang
bisa juga merupakan suatu abnormalitas panjang tulang, dimana tulang
memendek atau memanjang melebihi normal.15

19
Faktor yang menyebabkan deformitas tulang :15
a. Pertumbuhan abnormal tulang bawaan. Kelainan bawaan pada tulang
dapat berupa aplasia, displasia, duplikasi, atau pseudoartrosis.
b. Fraktur. Deformitas juga dapat terjadi akibat fraktur berupa mal-union
atau non-union.
c. Gangguan pertumbuhan lempeng epifisis.
d. Pembengkokan abnormal tulang. Misalnya pada penyakit metabolik
tulang yang bersifat umum, rakitis, dan osteomalasia.
e. Pertumbuhan berlebihan pada tulang matur. Pada penyakit paget
(osteitis deformans) terjadi penebalan tulang. Kelainan ini dapat pula
terjadi pada osteokondroma di mana terjadi pertumbuhan lokal.

2.4 Kompartemen Sindrome


a. Definisi
Sindroma kompartemen merupakan suatu kondisi dimana terjadi
penekanan terhadap syaraf, pembuluh darah dan otot didalam
kompatement osteofasial yang tertutup. Hal ini mengawali terjadinya
peningkatan tekanan interstisial, kurangnya oksigen dari penekanan
pembuluh darah, dan diikuti dengan kematian jaringan. Dapat dibagi
menjadi akut, subakut dan kronik. Sindroma kompartemen akut
termasuk dalam kedaruratan medik dan biasanya disebabkan karena
cedera berat seperti fraktur, trauma jaringan lunak, kerusakan pada
arteri dan luka bakar. Sedangkan sindroma kompartemen kronik
biasanya disebabkan oleh aktivitas yang berulang-ulang, disebut juga
Chronic Exertional Compartment Syndrome (CECS) misalnya pada
pelari jarak jauh, pemain sepakbola, dan pemain basket.16,17

b. Etiologi
Terdapat berbagai penyebab dapat meningkatkan tekanan
jaringan lokal yang kemudian memicu timbullny sindrom kompartemen,
yaitu antara lain:17,18,19
1. Penurunan volume kompartemen kondisi ini disebabkan oleh:
 Penutupan defek fascia
 Traksi internal berlebihan pada fraktur ekstremitas

20
2. Peningkatan tekanan eksternal:
 Balutan yang terlalu ketat
 Berbaring di atas lengan
 Gips
3. Peningkatan tekanan pada struktur komparteman beberapa hal
yang bisa menyebabkan kondisi ini antara lain:
 Pendarahan
Perdarahan yang disebabkan oleh Trauma vaskuler dari edema
sampai massive atau kelainan perdarahan.
 Peningkatan permeabilitas kapiler
Pada keadaan syok, post ischemia, pembengkakan, latihan,
trauma langsung, luka bakar, pengobatan intraarterial, operasi
ortopedi.
 Peningkatan tekanan kapiler
Latihan atau obstruksi vena
 Penggunaan otot yang berlebihan
 Penggunaan traksi yang berlebihan
 Gigitan ular
Sejauh ini penyebab sindroma kompartemen yang paling sering
adalah cedera, dimana 45 % kasus terjadi akibat fraktur, dan 80%
darinya terjadi di anggota gerak bawah. Dalam keadaan kronik, gejala
juga timbul akibat aktifitas fisik berulang seperti berenang, lari ataupun
bersepeda sehingga menyebabkan exertional compartment syndrome.
Namun hal ini bukan merupakan keadaan emergensi. 17,18,19

c. Patofisiologi
Sindrom kompartemen melibatkan hemostasis jaringan lokal
normal yang menyebabkan peningkatan tekanan jaringan, penurunan
aliran darah kapiler, dan nekrosis jaringan lokal yang disebabkan
hipoksia. Tanpa memperhatikan penyebabnya, peningkatan tekanan
jaringan menyebabkan obstruksi vena dalam ruang yang tertutup.
Peningkatan tekanan secara terus menerus menyebabkan tekanan
arteriolar intramuskuler bawah meninggi. Pada titik ini, tidak ada lagi

21
darah yang akan masuk ke kapiler sehingga menyebabkan kebocoran
ke dalam kompartemen, yang diikuti oleh meningkatnya tekanan dalam
kompartemen. Penekanan terhadap saraf perifer disekitarnya akan
menimbulkan nyeri hebat. Metsen mempelihatkan bahwa bila terjadi
peningkatan intrakompartemen, tekanan vena meningkat. Setelah itu,
aliran darah melalui kapiler akan berhenti. Dalam keadaan ini
penghantaran oksigen juga akan terhenti, Sehingga terjadi hipoksia
jaringan (pale). Jika hal ini terus berlanjut, maka terjadi iskemia otot dan
nervus, yang akan menyebabkan kerusakan ireversibel komponen
tersebut. Terdapat tiga teori yang menyebabkan hipoksia pada
kompartemen sindrom yaitu, antara lain:18
 Spasme arteri akibat peningkatan tekanan kompartemen
 “Theori of critical closing pressure.”
Hal ini disebabkam oleh diameter pembuluh darah yang
kecil dan tekanan mural arteriol yang tinggi. Tekanan transmural
secara signifikan berbeda ( tekanan arterioltekanan jaringan), ini
dibutuhkan untuk memelihara patensi aliran darah. Bila tekanan
tekanan jaringan meningkat atau tekanan arteriol menurun maka
tidak ada lagi perbedaan tekanan. Kondisi seperti ini dinamakan
dengan tercapainya critical closing pressure. Akibat selanjutnya
adalah arteriol akan menutup
 Tipisnya dinding vena
Karena dinding vena itu tipis, maka ketika tekanan jaringan
melebihi tekanan vena maka ia akan kolaps. Akan tetapi bila
kemudian darah mengalir secara kontinyu dari kapiler maka,
tekanan vena akan meningkat lagi melebihi tekanan jaringan
sehingga drainase vena terbentuk kembali McQueen dan Court-
Brown berpendapat bahwa perbedaan tekanan diastolik dan
tekanan kompartemen yang kurang dari 30 mmHg mempunyai
korelasi klinis dengan sindrom kompartemen. Patogenesis dari
sindroma kompartemen kronik telah digambarkan oleh Reneman.
Otot dapat membesar sekitar 20% selama latihan dan akan
menambah peningkatan sementara dalam tekanan intra
kompartemen. Kontraksi otot berulang dapat meningkatkan tekanan

22
intamuskular pada batas dimana dapat terjadi iskemia berulang.
Sindroma kompartemen kronik terjadi ketika tekanan antara
kontraksi yang terus menerus tetap tinggi dan mengganggu aliran
darah. Sebagaimana terjadinya kenaikan tekanan, aliran arteri
selama relaksasi otot semakin menurun, dan pasien akan
mengalami kram otot. Kompartemen anterior dan lateral dari tungkai
bagian bawah biasanya yang kena.18

d. Gejala Klinis
Gejala klinis yang terjadi pada syndrome kompartemen dikenal
dengan 5 P yaitu: 18,19
1. Pain (nyeri)
Nyeri yang hebat saat peregangan pasif pada otot-otot yang
terkena, ketika ada trauma langsung. Nyeri merupakan gejala dini
yang paling penting. Terutama jika munculnya nyeri tidak
sebanding dengan keadaan klinik (pada anak-anak tampak
semakin gelisah atau memerlukan analgesia lebih banyak dari
biasanya). Otot yang tegang pada kompartemen merupakan
gejala yang spesifik dan sering.
2. Pallor (pucat) : diakibatkan menurunnya perfusi ke daereah
tersebut.
3. Pulselessness : berkurang atau hilangnya denyut nadi
4. Parestesia (rasa kesemutan)
5. Paralysis
Merupakan tanda lambat akibat menurunnya sensasi saraf
yang berlanjut dengan hilangnya fungsi bagian yang terkena
kompartemen sindrom., Sedangkan pada kompartemen syndrome
akan timbul beberapa gejala khas, antara lain:
 Nyeri yang timbul saat aktivitas, terutama saat olehraga.
Biasanya setelah berlari atau beraktivitas selama 20 menit.
 Nyeri bersifat sementara dan akan sembuh setelah
beristirahat 15-30 menit.
 Terjadi kelemahan atau atrofi otot.

23
Tanda – tanda klinis kompartemen sindrom adalah :18,19
1. Nyeri pada saat palpasi daerah kompartement yang bengkak.
2. Nyeri pada perenggangan pasif pada jari. Tanda ini kemungkinan
merupakan tanda adanya impending akut kompartement syndrome.
Namun tanda ini bukan merupakan tanda specific untuk akut
kompartemen sindrom tapi tanda yang biasanya muncul pada
pembengkakan otot dan iskemia.
3. Pembengkakan pada daerah yang terkena
4. Pada palpasi, bagian kompartement yang terkena teraba keras dan
kulit disekitarnya mengkilat.
5. Palpasi denyut nadi selalu menunjukan adanya akut kompartemen
sindrom, berkurang bila ada cedera dari arter. Pengisian arteri
kapiler pada jari terlambat namun masih dalam batas normal dan
pulsasi perifer masih ada pada keadaan akut.
6. Deficit sensoris pada daerah kompartement yang terganggu.
7. Kelemahan otot

e. Tatalaksana
Sindrom kompartemen akut
Penganganan sindrom kompartemen akut adalah dengan operasi
darurat. Tidak ada penagangan non bedah yang efektif untuk
menangani sindrom kompartemen ini. Insisi dan pembukaan kulit serta
fasia yang melindungi kompartemen dapat dilakukan, atau dikenal
dengan istilah fasiotomi. Terkadang pembengkakan dapat menjadi
sangat berat sehingga kulit yang diinsisi tidak dapat ditutup dengan
segera. Insisi diperbaiki ketika pembengkakan sudah menyusut.
Terkadang diperlukan pencangkokan kulit.19

24
Sindrom kompartemen kronis
Terapi non bedah. Terapi fisik, orthotics (sisipan untuk sepatu),
dan obat-obat anti inflamasi diperlukan untuk meredakan gejala.
Sarankan untuk menghindari aktivitas yang menyebabkan gejala
sindrom kompartemen muncul. Pelatihan dengan dampak aktivitas yang
rendah dapat disarankan.
Terapi bedah. Jika tindakan konservatif gagal, operasi mungkin
menjadi pilihan. Sama halnya dengan operasi pada sindrom
kompartemen akut, perasi dirancang untuk membuka fasia sehingga
ada lebih banyak ruang untuk otot membengkak.19

2.5 Proses Penyembuhan Tulang


Penyembuhan ini adalah bentuk penyembuhan alami pada tulang
panjang. Ada 5 tahapan yaitu :6
1. Destruksi jaringan dan hematoma
Pembuluh sobek dan hematoma terbentuk di sekitaran dan di dalam
fraktur. Tulang pada fraktur muncul, kurang pasokan darah, dan tulang
memendek beberapa millimeter.
2. Inflamasi dan proliferasi sel
Selama 8 jam pada fraktur, terjadi reaksi inflamasi akut dengan
migrasinya sel inflamasi dan inisiasi dari proliferasi dan diferensiasi sel
punca mesenkim dari periosteum, kanal medulla yang bocor dan otot
yang berada di sekitar. Fragmen akhir akan terlingkupi oleh jaringan
selular yang akan membentuk perancah di sekitaran daerah fraktur.
Mediator inflamasi pun banyak yang terlibat seperti sitokin maupun
bermacam-macam growth factor lainnya). Gumpalan hematoma akan
perlahan-lahan terserap dan kapiler baru tumbuh di area tersebut.
3. Formasi callus
Stem sel yang berdiferensiasi akan mulai membentuk tulang, dan juga
kartilago. Populasi sel kini termasuk osteoklas (kemungkinan diperoleh
dari pembuluh darah yang baru), yang mulai membersihkan tulang yang
sudah mati. Massa selular yang tebal, dengan pulau tulang imatur dan
kartilago, membentuk callus atau bidai periosteal dan endosteal. Tulang

25
fiber yang imatur ini menjadi semakin rapat termineralisasi, pergerakan
dari daerah fraktur berkurang dengan cepat dan pada waktu 4 minggu
setelah injuri pada fraktur bersatu.
4. Konsolidasi
Dengan aktivitas osteoklastik dan osteoblastic, tulang yang baru terjalin
itu akan berubah menjadi tulang lamellar. Sistemnya kini telah cukup
rapat untuk dilalui osteoklas untuk masuk melalui debris yang ada di
garis fraktur, dan menutup di belakang mereka. Proses ini lambat dan
membutuhkan waktu beberapa bulan sebelum tulang menjadi kuat
kembali untuk mampu mengangkat bawaan berat.
5. Remodeling
Fraktur ini telah dijembatani oleh tulang padat. Selama bebrapa bulan
hingga tahun, tulang ini dibentuk kembali oleh proses resorpsi dan
formasi tulang.

Gambar. Proses Penyembuhan Tulang

Remodeling adalah proses regenerasi yang terjadi secara terus


menerus dengan mengganti tulang yang lama (old bone) dengan tulang
yang baru (new bone).20 Tempat dimana terjadi peristiwa remodeling
diberi istilah basic multicelluler units (BMUs) atau bone remodeling unit.
Remodeling berlangsung antara 2-8 minggu dimana waktu terjadinya
pembentukan tulang berlangsung lebih lama dibanding dengan
terjadinya resorpsi tulang. Proses remodeling berlangsung sejak
pertumbuhan tulang sampai akhir kehidupan. Tujuan remodeling tulang
belum diketahui secara pasti, tetapi aktivitas tersebut dapat berfungsi
antara lain untuk:21,22,23
1. Mempertahankan kadar ion kalsium dan fosfat ekstraseluler.

26
2. Memperbaiki kekuatan skeleton sebagai respon terhadap beban
mekanik.
3. Memperbaiki kerusakan (repair fatique demage) tulang dan,
4. Mencegah penuaan sel tulang
Proses remodeling meliputi dua aktivitas yaitu : proses
pembongkaran tulang (bone resorption) yang diikuti oleh proses
pembentukan tulang baru (bone formation), proses yang pertama
dikenal sebagai aktivitas osteoklas sedangkan yang kedua dikenal
sebagai aktivitas osteoblas.24 Osteoblas berasal dari pluripotent
mesenchymal stem cell yaitu : fibroblast coloni forming unit (CFU-F),
sedang osteoklas berasal dari hematopoietic stem cell yaitu granulocyt-
macrophage colony-forming unit (CFU-GM).21,25 Proses remodeling
tulang merupakan suatu siklus yang meliputi tahapan yang komplek
yaitu :26
1. Tahap aktivasi (activation phase) adalah tahap interaksi antara
prekusor osteoblas dan osteoklas, kemudian terjadi proses
diferensiasi, migrasi, dan fusi multinucleated osteclast dan
osteoklas yang terbentuk kemudian akan melekat pada permukaan
matrik tulang dan akan dimulai tahap berikutnya yaitu tahap
resorpsi. Sebelum migrasi ke matrik tulang osteoklas tersebut akan
melewati sederetan lining sel osteoblas pada permukaan tulang
untuk dapat mengeluarkan enzim proteolitik. Interaksi sel antara
stromal cell (sel stroma) dan hematopoietik cell (sel hematopoietik)
menjadi faktor penentu perkembangan osteoklas. Perkembangan
osteoklas dari prekusor hematopoietik tidak bisa diselesaikan jika
tidak ada kehadiran sel stroma. Oleh karena itu hormon sistemik
dan lokal yang mempengaruhi perkembangan osteoklas disediakan
oleh stromal-osteoblastic lineage (sel stroma).
2. Tahap resorpsi (resorption phase) adalah tahap pada waktu
osteoklas akan mensekresi ion hydrogen dan enzim lisosom
terutama cathepsin K dan akan mendegradasi seluruh komponen
matriks tulang termasuk kolagen. Setelah terjadi resorpsi maka
osteoklas akan membentuk lekukan atau cekungan tidak teratur

27
yang biasa disebut lakuna howship pada tulang trabekular dan
saluran haversian pada tulang kortikal.
3. Tahap reversal (reversal phase), adalah tahap pada waktu
permukaan tulang sementara tidak didapatkan adanya sel kecuali
beberapa sel mononuclear yakni makrofag, kemudian akan terjadi
degradasi kolagen lebih lanjut dan terjadi deposisi proteoglycan
untuk membentuk coment line yang akan melepaskan faktor
pertumbuhan untuk dimulainya tahap formasi.
Tahap formasi (formation phase), adalah tahap pada waktu
terjadi proliferasi dan diferensiasi prekusor osteoblas yang
dilanjutkan dengan pembentukan matrik tulang yang baru dan akan
mengalami mineralisasi. Tahap formasi akan berakhir ketika defek
(cekungan) yang dibentuk oleh osteoklas telah diisi.

2.6 Faktor yang Mempengaruhi Penyembuhan Tulang


Pada beberapa kasus patah tulang, tidak semuanya dapat sembuh
meskipun telah mendapat penanganan bedah atau non-bedah. Ketika tulang
yang patah gagal untuk menyembuhkan, maka keadaan ini disebut
"Nonunion". "Delayed union" adalah keadaan ketika tulang yang patah
membutuhkan waktu lebih lama dari biasanya untuk penyembuhannya.27
Agar penyembuhan tulang terjadi, tulang membutuhkan stabilitas dan
suplai darah yang memadai. Nutrisi yang baik juga berperan dalam
penyembuhan tulang. 27
 Stabilitas. Pada semua pengobatan patah tulang terdapat satu aturan
dasar: Retakan/pecahan tulang harus dikembalikan ke posisi semula

28
dan meminimalisir terjadinya gerakan sampai tulang sembuh. Pada
beberapa kasus, tulang yang patah dapat diimobilisasi di posisinya
dengan pemasangan gips. Beberapa fraktur memerlukan fiksasi bedah
dengan perangkat seperti sekrup, pelat, batang dan frame. Tibia yang
rusak dapat distabilkan dengan pemasangan paku logam di kanal pusat
dan empat sekrup horisontal.
 Suplai darah. Darah memberikan komponen yang diperlukan untuk
penyembuhan ke daerah fraktur, seperti oksigen, sel-sel penyembuhan,
dan bahan kimia tubuh sendiri yang diperlukan untuk penyembuhan
(faktor pertumbuhan).
 Nutrisi. Tulang yang patah juga perlu nutrisi yang cukup untuk
penyembuhan. Diet makanan yang sehat dan seimbang yang mencakup
protein, kalsium, vitamin C, dan vitamin D adalah cara terbaik untuk
memastikan nutrisi tercukupi, sedangkan konsumsi suplemen yang
melampaui kebutuhan sehari-hari tidak teralu efektif. Pengecualian pada
pasien malnutrisi berat dengan banyak organ terluka. Dalam hal ini,
diperlukan pembahasan pedoman diet dan rekomendasi untuk
menambahkan suplemen pada pasien.

Nonunion terjadi ketika tulang tidak memiliki stabilitas yang memadai,


aliran darah tidak memadai, atau pun keduanya. Nonunion juga lebih
mungkin terjadi jika farktur yang diakibatkan trauma karena bentura keras,
seperti karena kecelakaan mobil. Hal ini dikarenakan luka yang parah sering
kali mengganggu suplai darah ke tulang yang patah. 27
Berikut ini beberapa faktor yang dapat meningkatkan risiko terjadinya
nonunion. 27
 Penggunaan tembakau atau nikotin dalam bentuk apapun (merokok,
mengunyah tembakau, dan penggunaan permen karet nikotin atau
patch) dapat menghambat penyembuhan tulang dan meningkatkan
kemungkinan nonunion
 Usia yang lebih tua
 Anemia berat
 Diabetes
 Tingkat vitamin D yang rendah
 Hypthyroidism
 Gizi buruk
 Infeksi
 Fraktur complete yang terbuka
 Fraktur yang menyebabkan suplai darah menjadi terbatas

29
2.7 Hubungan Fraktur Terhadap Saraf
Trauma saraf perifer lain yang sering ditemukan adalah:
1. Trauma saraf aksilaris disebabkan oleh dislokasi anterior bahu atau
fraktur humerus proksimalis
2. Trauma saraf radialis. Biasanya disebabkan oleh fraktur diafisis
humerus atau pemakaian torniquet di Iengan atas dalam jangka waktu
lama. Pada trauma, saraf radialis di kenal iesi atas (high lesion) dan
lesi bawah (low lesion). Pada lesi atas terjadi paralisis otot-otot
ekstensor sehingga tangan terkulai (wrist droop). Pada lesi bawah
karena fraktur dislokasi sendi siku, luka sekitar sendi atau akibat operasi
pada radius proksimalis. Gejala yang terjadi adalah kekakuan jari-jari
dan gangguan sendi MCP. ibu jari akan mengalami kelemahan untuk
melakukan gerakan abduksi dan ekstensi interphalanx.
3. Trauma saraf ulnaris pada sendi siku dapat disebabkan karena trauma
peregangan sewaktu terjadi fraktur epikondilus humerus medialis
sehingga setengah sisi ulnar tangan terjadi paralisis ototfleksor
digitorum profundus dan deformitas claw hand tidak begitu jeias. Lest
dapat juga terjadi pada daerah pergelangan tangan yang menyebabkan
deformitas claw hand terfihat jeias (hiperekstensi sendi MCP jari IV dan
V karena kelemahan dari otot-otot intrinsik ). Otot-otot hipotenar dan
interosseous terfihat atropi dibandingkan dengan sisi yang sehat.
Abduksi jari yang lemah dan adduksi ibu jari tidak ada sama sekali
sehingga penderita mengalami kesukaran untuk melakukan pinching.
Keadaan ini teriihat jetas bila pada penderita dilakukan tes Froment
(Gb.34). Lesi ini juga dapat terjadi sebagai akibat saraf uinaris terjepit
dalam kanatis Guyon terutama pada atlit sepeda jarak jauh atau karena
desakan oleh ganglion.
4. Trauma saraf medianus pada lesi ini dapar terjadi karena fraktur
suprakondilaris humeris atau fraktur ujung radius distalis pada daerah
pergelangan tangan dan dapat juga disertai cidera pada saraf uinaris.
Pada lesi bawah, pasien mengeluh paresis untuk melakukan abduksi ibu
jari dan anestesi pada ketiga jari sisi radial. Pada kasus lama otot-otot
tenar mengalami atrofi. Pada lesi atas keluhan dan klinisnya hampir
sama dengan lesi bawah hanya ada tambahan pada otot-otot fleksor ibu

30
jari, jari ke-2 dan jari ke-3 mengalami paralisis bersama dengan otot
pronator lengan bawah, sehingga jari kedua menjadi lurus yang disebut
pointing sign.
5. Trauma saraf skiatik sering diakibatkan oleh dislokasi posterior kaput
femoris atau trauma suntikan pada pantat. Pada lesi iatrogenik dapat
disebabkan operasi pergantian sendi panggul (total hip arthroplasty).
Penderita mengalami paralisis pada otot-otot betis, sensasi di bawah
lutut hilang kecuali pada sisi medial. Penderita berjalan dengan
mengangkat kaki tinggi-tinggi dan semua gejata ini menunjukkan lesi
komplit saraf tersebut.
6. Trauma saraf peroneus komonis yang terletak di subkutaneus di
daerah kaput fibularis sehingga rawan terhadap trauma bahkan akibat
bandage atau gip yang menekan erat, fraktur di sekitar lutut atau akibat
operasi koreksi pada deformitas valgus. Penderita akan mengeluh kaki
terkulai (droop foot) dan tidak dapat melakukan dorsi-fleksi maupun
eversi. Penderita berjalan dengan mengangkat kaki setinggi-tingginya
pada sisi tesi tersebut yang disebut high stepping gait. Lesi pada saraf
peroneus profundus dapat disebabkan karena sindrom kompartemen
anterior sehingga penderita mengeluh nyeri dan kelemahan untuk
melakukan dorsi fleksi serta hilangnya rasa di daerah kulit arrtara jari
pertama dan kedua. Lesi saraf peroneal superfisialis dapat disebabkan
oleh sindrom kompartemen lateralis dengan keluhan nyeri sisi lateral
tungkai bawah dan paresthesi kaki. Penderita mengalami kelemahan
untuk melakukan eversi kaki dan anestesi pada daerah dorsum kaki.

2.8 Hubungan Terapi Pijat Tradisional terhadap Fraktur


Pada dasarnya prinsip penanganan awal pada fraktur adalah
melakukan imobilisasi sehingga tidak terjadi peningkatan tekanan karena
adanya kontraksi otot di dalam kompartemen. Pemijatan dapat memberikan
efek peningkatan tekanan intrakompartemen. Karena sifat dari pembungkus
dari kompartemen (fasia) yang tidak dapat meregang, hal ini tentu dapat
memicu terjadinya sindrom kompartemen, yang mana dalam kasus ini
merupakan sindrom kompartemen akut.1,19

31
2.9 Tatalaksana pada Kasus
Penganganan sindrom kompartemen akut adalah dengan operasi
darurat. Hal ini karena tidak ada penagangan non bedah yang efektif untuk
menangani sindrom kompartemen ini. Insisi dan pembukaan kulit serta fasia
yang melindungi kompartemen dapat dilakukan, atau dikenal dengan istilah
fasiotomi.19 Selain itu, dapat juga dilakukan penanganan non bedah dengan
terapi dingin dan obat antiinflamasi non steroid.
Selain itu, pasien harusnya diberikan konseling untuk menghindari
berjalan di permukaan keras dan memakai sepatu lari dengan jumlah bantal
yang cukup dan hak yang lebar.

32
BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Pria 28 tahun mengalami fraktur tibia dan terjadi sindroma
kompartemen akut yang disebabkan oleh terapi pijat tradisional.

33
DAFTAR PUSTAKA

1. Price A S, Wilson. Patofisiologi. Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit Edisi


Vol. 2. Penerbit Buku Kedokteran. Jakarta: EGC. 2006
2. erika
3. Smeltzer, S.C., 2001, Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah, EGC, Jakarta
4. Apley, A. G. (1995). Buku Ajar Orthopedi dan Fraktur Sistem Apley. (Alih
bahasa Edi, N). (Edisi 7). Jakarta: Widya Medika.
5. Sjamsuhidajat, R & Jong, D. W. (2005). Buku Ajar Ilmu Bedah. (edisi 2).
Jakarta: EGC.
6. Salomon L, Warwick J, Nayagam S. Apleys System of Orthopaedics and
Fractures. Edisi ke 9. London: Hodder Education; 2010.
7. Buranda Theopilus et. al., Osteologi dalam : Diktat Anatomi Biomedik I.
.Makassar: Penerbit Bagian Anatomi FK Unhas; 2011. Hal 4-7
8. Corwin, Elizabeth J. Patofisiooligi. Edisi 3. Jakarta: EGC;2009.
9. Martono H, 2010. Buku Ajar Boedhi-Darmojo Geriatri (Ilmu Kesehatan Usia
Lanjut) Edisi IV. Jakarta: Universitas Indonesia.
10. Noor Helmi, Zairin. Buku Ajar Gangguan Muskuloskeletal. Jakarta : Salemba
Medika. 2014
11. Smeltzer, S. C., & Bare B. G. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah
Brunner & Suddarth ( Edisi 8 Volume 1). Jakarta: EGC, 2009.
12. Bhaskaranand, K. Textbook of Orthopaedic and Trauma. Jakarta. 2009
13. Salter RB. Textbook of Disorders and Injuries of The Musculoskeletal
System. USA : Lippincott Williams and Wilkins ; 1999.
14. Brunner & Suddarth. (2005). Keperawatan Medikal Bedah.(edisi 8). Jakarta :
EGC
15. Noor Helmi, Zairin. Buku Ajar Gangguan Muskuloskeletal. Jakarta : Salemba
Medika. 2014
16. Fette, Andreas M., 2012 . Special Aspects of Forearm Compartment
Syndrome in Children, Orthopedic Surgery, Dr Zaid Al-Aubaidi (Ed.), ISBN:
978-953-51-0231-1, InTech, Available from:
http://www.intechopen.com/books/orthopedic-surgery/compartment-
syndrome-of-the-forearm-in-children

34
17. Swiontkowski, MF., 2001. Manual of orthopaedics 6th edition. Lippincott
Williams & Wilkins.
18. Mabvuure, NT. et al., 2012. Acute Compartment Syndrome of the Limbs:
Current Concepts and Management. The Open Orthopaedics Journal, 2012,
6, (Suppl 3: M7) page 535-543. Available at :
http://benthamscience.com/open/toorthj/articles/V006/SI0503TOORTHJ/535
TOORTHJ.pdf.
19. American Acedemy of Orthopaedic Surgeons. 2009. Compartement
Syndrome. Diunduh dari: http://orthoinfo.aaos.org/topic.cfm?topic=a00204
20. Vestergaard P, Rejnmark L, Mosekilde L. Increased mortality in patients with
a hip fracture-effect of pre-morbid conditions and post-fracture complications.
Osteoporos Int. Dec 2007;18(12):1583-93. [Medline]
21. Deftos. Calcium and Phosphate Homeostasis; 2002. Available search:
http://www.endotext.org akses: 03 Desember 2014
22. Monologas SC, Kousteni, Jilka. Sex Steroid and Bone. Recent Progress in
Hormone Research; 2002. 57:385-409.
23. Murray RK. Hormone Action And Signal Transduction in Harper’s Illustrated
Biochemestry. Mc Grow Hill; 2003 :pp 456-473.
24. Razandi M, Pedram A, Greene GL, Levin ER. Cell Membrane and Nuclear
Estrogen Receptor (ERs) Originate from a Single Transcript: Studies ER α
and ER β expressed in CHO cell. Molecular Endocrinology; 1999. p13: 307-
319
25. Cooper C, Atkinson EJ, Jacobsen SJ, et al. Population-based study of
survival after osteoporotic fractures. Am J Epidemiol. May 1
1993;137(9):1001-5. [Medline].
26. Compston J, Bord S, Horner A, Beavan S. Estrogen Receptor Alfa and Beta
are Differentially Expressed in Developing Human Bone. The Journal of
Clinical Endocrinology & Metabolisme; 2001. 86(5):2309-2314.
27. Solomon, Louis., David Warwick., Selvadurai Nayagam. Apley’s System of
Orthopaedics and Fractures. –Ed. 9. –London : Hachette UK Company.
2010.

35

You might also like