You are on page 1of 15

ISLAM DAN KEBIJAKAN LUAR NEGERI INDONESIA:

PERAN INDONESIA DALAM KONFLIK DI RAKHINE, MYANMAR

Oleh: Novandre Satria & Ahmad Jamaan

ABSTRACT

This research was intended to explore the religion influence on the role of
Indonesia’s engagement in ethnic conflict in Rakhine State, Myanmar, between
Arakanese Buddhist and Rohingya Muslims in mid 2012. Since the discussion
would be focused on the influencing factors and the role of Indonesia itself, thus,
this research is categorized as a foreign policy analysis. The religion implication
on the role of Indonesia was observed using and guided by Holistic Constructivism
perspective which underlined that state’s behavior was constituted by identity
which was formed by the values and norms occurred either on the structural
(international norms) or in the sub-systemic area (domestic). The foreign policy
analysis itself, was derived from Constructivist framework, where, the actor was
not considered as a goal-oriented or self-oriented unit which its behavior was the
result of rational calculations or sensible considerations to any benefits or loss to
reach a maximum achievement of any goals, instead it was an object, a social
actors to be precise, that are always embedded in a social context, which heavily
impacts on their behavior. In a deeper look based on these theoretical frameworks,
this research found that the Indonesia’s role in the conflict was a form of identity-
based interest - a behavior constituted by the identity of Indonesia as a home to the
world’s largest Muslim population. In domestic area, the role was taken as a
respond of the insistence and enforcement of the people of Indonesia over the
indication of discrimination to Muslims. While in structural area, it was a
manifestation of a discourse on islam in international affairs; attempt to play a
bigger role in Islamic world, and bridging islam and the west.

Keywords: Identity, political intervention, Constructivism, foreign policy

Pendahuluan

Pada Juni 2012, konflik etnis terjadi di bagian barat Negara Bagian Rakhine, Myanmar,
antara Etnis Arakan yang mayoritas beragama Budha dengan Etnis Rohingya yang mayoritas
beragama Islam. Puncak dari konflik tersebut terjadi pada 8-12 Juni 2012,1 yang berujung pada
meningkatnya arus pengungsi Rohingya keluar Myanmar untuk mencari perlindungan ke
Bangladesh dan beberapa negara di Asia Tenggara,2 antara lain Thailand, Malaysia, dan Indonesia
sebagai dampak dari eskalasi konflik yang terus meningkat.3

1
Smith, Matthew. F, The Government Could Have Stopped This: Sectarian Violence and Ensuing Abuses in Burma’s
Arakan State (USA: Human Right Watch, 2012). Hal. 18.
2
Lihat dalam, misalnya, “Warga Malaysia dan Rohingya Kepung Kedubes Myanmar,” OKEZONE.com, 6 Agustus 2012
(diakses pada: 7 September 2012). Lihat juga dalam, “Ratusan Pengungsi Rohingya Menyebar di Indonesia,”
Metrotvnews.com, 5 Agustus 2012 (diakses pada: 7 September 2012).
3
“Sekjen ASEAN Meminta Penjelasan Myanmar atas Pelanggaran HAM Terhadap Etnis Muslim Rohingya,” ANTARA, 31
Juli 2012. Lihat juga dalam, “Muslim Rohingya Masih Trauma,” KOMPAS.com, 2 Juli 2012.

1
Sejalan dengan itu, kecaman dari komunitas-komunitas internasional terus bermunculan
terkait konflik yang terjadi di Rakhine, Myanmar. Di Iran, sentimen negatif terhadap Myanmar
tumbuh pesat, karena konflik etnis ini dianggap sebagai upaya pembantaian terhadap umat Muslim
di sana.4 Organisasi Kerjasama Islam (OKI) mengutuk kekerasan terhadap masyarakat minoritas
Muslim Rohingya.5 ASEAN, sebagai organisasi regional di mana Myanmar bernaung juga meminta
penjelasan secara menyeluruh dari pemerintah Myanmar. ASEAN menganggap, jika konflik etnis
ini benar asimetris dan berat sebelah, maka hal tersebut sangat tidak wajar terjadi di lingkungan
ASEAN yang demokratis. Dengan demikian, pemerintah Myanmar diminta untuk secepatnya
menyelesaikan persoalan ini.6 Di Indonesia sendiri, berbagai protes, kritik, dan keberatan dari
hampir seluruh aspek masyarakat atas peristiwa tersebut diartikulasikan melalui aksi demonstrasi di
hampir seluruh provinsi di Indonesia. langkah tersebut ditempuh untuk mendesak pemerintah
Indonesia agar mengambil langkah-langkah strategis untuk menghentikan kekerasan terhadap etnis
Muslim Rohingya.7 Mereka menganggap ada upaya pembantaian Etnis Rohingya dalam konflik
tersebut yang dilakukan oleh Etnis Arakan dan pemerintah Myanmar.8
Sebagai wujud keprihatinan atas apa yang terjadi di Myanmar, pemerintah Indonesia
kemudian turut aktif baik secara bilateral, multilateral maupun regional membahas dan berupaya
menyelesaikan permasalahan yang berkaitan dengan Etnis Rohingya, baik di PBB, ASEAN, dan
OKI. Pemerintah Indonesia juga menerima kedatangan para pengungsi dan pencari suaka dari etnis
Rohingya, kemudian bekerja sama dengan badan-badan PBB dan lembaga internasional lain untuk
menyelesaikan, memberikan status, menyalurkan pada pihak ketiga, dan sebagainya.
Sedikit keluar dari pembahasan mengenai peran pemerintah Indonesia terkait konflik etnis
di Rakhine, Myanmar - sebelum konflik tersebut mencuat, Indonesia juga pernah beberapa kali ikut
terlibat dalam konflik-konflik yang nyaris serupa kalau tidak boleh dikatakan sama. Dalam tanda
petik, terlibat aktif dalam konflik yang melibatkan dua pihak yang berbeda identitas, walaupun
boleh jadi konflik tersebut bukan merupakan konflik horizontal seperti yang terjadi di Arakan.
Sebagai contoh; pada tahun 2006, Indonesia ikut mengupayakan penyelesaian konflik di Lebanon
antara Israel dengan Hizbullah melalui jalur diplomatik; Indonesia berperan aktif dalam kegiatan
OKI terkait pembahasan mengenai friksi dan pergesekan antara pemerintah Filipina dengan
kelompok minoritas Muslim Moro yang bernaung dalam wadah Moro National Liberation Front
(MNLF) di Filipina Selatan;9 Indonesia juga tetap kukuh bertahan pada opsi penyelesaian dua
negara - yang berarti Palestina menjadi sebuah negara merdeka - alih-alih sekadar daerah otoritas -
dan dapat hidup berdampingan secara damai dengan Israel.10 Seiring hal tersebut, pemerintah
Indonesia tetap konsisten menyalurkan bantuan kemanusiaan kepada warga negara Palestina yang
berdomisili di Jalur Gaza berupa bahan pangan, selimut, obat-obatan dan ambulan.11
Kembali ke pembahasan, peran pemerintah Indonesia dalam konflik etnis di Negara Bagian
Rakhine, Myanmar, khususnya untuk terus mendorong pemerintah Myanmar agar memperhatikan
etnis Muslim Rohingya yang mengalami diskriminasi dan kekerasan kemudian menarik untuk
disimak. Jika benar peran tersebut dilakukan atas dasar keprihatinan terhadap kemanusiaan dan hak

4
“Ayatollah Kashani: Membantai Rohingya Berarti Melawan Islam,” ANTARANEWS.com, 28 Juli 2012.
5
“Tiga Rekomendasi OKI Untuk Rohingya,” Aceh Barat News, 4 Agustus 2012.
6
“Sekjen ASEAN Meminta Penjelasan Myanmar atas Pelanggaran HAM Terhadap Etnis Muslim Rohingya,” ANTARA, 28
Juli 2012.
7
Lihat dalam, misalnya, “Ulama Serukan Umat Bantu Muslim Rohingya,” REPUBLIKA Online, 27 Juli 2012.
8
Lihat dalam, misalnya, “Muslim Rohingya Ditindas, Inilah Sikap MUI,” REPUBLIKA Online, 25 Juli 2012.
9
Lihat dalam, Kemlu RI, Indonesia dan Perdamaian Filipina-MNLF, 3 Juli 2012. Juga dalam, Kemlu RI, Indonesia Kawal
Proses Perdamaian di Filipina Selatan, 27 Juni 2012.
10
Kemlu RI, RI Dukung Palestina Soal Resolusi Dewan Keamanan, 28 September 2012.
11
Kemlu RI, Bantuan Kemanusiaan RI Diserahkan di Rafah Mesir, 1 Oktober 2009.

2
asasi manusia yang ternodai - sebagaimana statement Menlu Indonesia, Marty Natalegawa,12 lalu
mengapa Indonesia tidak turut memainkan peran yang sama terhadap Etnis Kachin yang juga
mendapat perlakuan represif yang relatif sama dengan apa yang dirasakan oleh Etnis Rohingya dari
pemerintah Myanmar?13
Dari paparan di atas, pemahaman mengenai peran agama terhadap kebijakan suatu negara
dirasa perlu untuk dapat mengurai fenomena yang dipaparkan sebelumnya. Oleh karena itu,
pertanyaan berikut; “Bagaimana pengaruh agama terhadap peran Indonesia dalam konflik etnis di
Rakhine, Myanmar?” dirumuskan untuk memberikan arah yang jelas dalam memandu peneliti
mencapai kesimpulan akhir. Sebagaimana dijabarkan secara ringkas di bagian abstraksi, argumen
utama dalam paper ini yakni, Agama memiliki pengaruh dalam politik luar negeri Indonesia di isu-
isu tertentu; isu-isu eksternal yang berhubungan dengan Islam, terutama yang mendiskreditkan, baik
nilai maupun entitas yang berafiliasi dengannya. Nilai dan norma Islam yang dianut oleh sebagian
besar masyarakat Indonesia menggariskan persepsi mereka atas realita. Terkait isu-isu pada kalimat
sebelum ini, masyarakat cenderung menjadi reaktif, menyebabkan persepsi individu bertransformasi
menjadi persepsi kolektif - disebabkan oleh kesamaan identitas, dalam hal ini agama, berujung pada
desakan kepada Pemerintah Indonesia untuk mengambil sikap. Bagaimanapun, demokratisasi di
Indonesia pasca perubahan rezim pada tahun 1998 memiliki pengaruh signifikan. Ia membuka
ruang yang lebih besar bagi media, opini, dan partisipasi publik untuk mempengaruhi proses
perumusan kebijakan.

Konstruktivisme: Agama dan Identitas

Argumen ini dibangun dengan berpijak pada pendekatan Konstruktivisme yang


menggariskan bahwa perilaku suatu aktor internasional dikonstitusikan oleh identitas yang dibentuk
oleh nilai dan norma yang berlaku baik di wilayah struktural maupun di ranah sub-sistemik. Analisa
politik luar negeri pun dirangkai dalam kerangka pikir Konstruktivisme, di mana aktor tidak
dianggap sebagai unit yang goal-oriented dan self-oriented yang perilakunya merupakan buah dari
pertimbangan-pertimbangan rasional terhadap untung rugi dalam upaya memaksimalkan
pencapaian, melainkan sebagai objek yang dalam perumusan kebijakannya selalu
mempertimbangkan konteks sosial di mana ia berada.14 Sedangkan untuk menjabarkan aktor-aktor
yang mempengaruhi dan seberapa besar pengaruh tersebut berdampak pada perumusan kebijakan
luar negeri, peneliti mengadopsi pemikiran Mark Webber dan Michael Smith yang mengurai
masalah ini dengan membedakan entitas-entitas yang terkait dengan politik luar negeri; pembuat
kebijakan - mereka yang terlibat secara langsung, berkelanjutan dan efektif; dan mereka yang
mempengaruhi proses perumusan kebijakan tersebut dari waktu ke waktu.15 Mereka menjabarkan
bahwa aktor-aktor yang mempengaruhi kebijakan luar negeri dan besarnya pengaruh aktor tersebut
sangat bergantung pada isu yang diamati dan sistem politik domestik negara bersangkutan.16
Untuk memahami bagaimana agama dapat memainkan peranan penting dalam hubungan
internasional, gagasan Jonathan Fox dan Schmuel Sandler akan diadopsi sebagai pisau bedah

12
“Menlu: Kasus Rohingya Adalah Isu Kemanusiaan,” VIVA News, 6 Agustus 2012.
13
Untuk memahami konflik Kachin-Pemerintah Myanmar, lihat dalam, misalnya, “China: Refugees Forcibly Returned to
Burma - Thousands of Kachin at Risk from Conflict, Abuses, Aid Shortages,” Human Right Watch Report, 24 Agustus
2012.
14
Proposisi ontologis Konstruktivisme lainnya dapat dilihat dalam, Reus-smit, Christian. “Constructivism,” Theories of
rd
International Relations - 3 Edition, (New York: Palgrave Macmillan, 2005), hlm. 196-198. Bandingkan dengan tulisan
Andrew Bradley Phillips, dalam, Griffiths, Martin (Ed). International Relations Theory for the Twenty-First Century: An
Introduction, (New York: Routledge, 2007), hlm. 62-63.
15
Webber, Mark & Smith, Michael (Ed). op.cit., hlm. 39.
16
Webber, Mark & Smith, Michael (Ed). op.cit., hlm. 41.

3
teoritik. Mereka menjabarkan bahwa agama memiliki pengaruh dan memainkan peranannya melalui
empat sisi, antara lain;17 Religion is one of the sources of people’s worldviews; religion is a source
of identity; religion is a source of legitimacy; religion is associated with formal institution.
Demi koherensi dan konstruksi agar mudah dipahami, paper ini akan disajikan dengan
memusatkan pembahasan pada; pertama, latar belakang dan sejarah konflik di rakhine, Myanmar;
kemudian dilanjutkan dengan analisis terhadap identitas Indonesia dan reaksi masyarakat indonesia
terhadap konflik di Rakhine dengan memusatkan perhatian pada komposisi masyarakat berdasarkan
agama; selanjutnya, penjabaran tindakan-tindakan yang ditempuh oleh pemerintah Indonesia dalam
upaya menyelesaikan konflik etnis di Rakhine, Myanmar. Termasuk di dalamnya, pelibatan OKI
sebagai organisasi yang merepresentasikan komunitas negara-negara Muslim dunia; terakhir,
merupakan bagian penutup yang menyajikan kesimpulan dan jawaban atas pertanyaan
permasalahan yang telah diutarakan di awal tulisan.

Rohingya dan Konflik Etnis di Rakhine

Konflik etnis - terutama yang melibatkan Etnis Rohingya - pada kenyataannya bukan
merupakan hal baru di Negara Bagian Arakan, Myanmar. Irish Centre for Human Rights dalam
laporannya menyebutkan bahwa konflik - atau dalam bahasa mereka, ‘pengusiran paksa terhadap
Etnis Rohingya’ - ‘yang terdokumentasikan’ - sebelumnya juga pernah dilakukan oleh Pemerintah
Myanmar sebanyak dua kali, yakni pada bulan Februari 1978 dan pada bulan Mei 1991 hingga
Maret 1992.18
Sementara konflik yang terjadi pada tahun 2012 terjadi sebanyak dua kali, yakni pada bulan
Juni dan terulang kembali pada bulan oktober.19 Pada Oktober 2012, konflik kembali terjadi. Dalam
gelombang kedua ini, serangan yang dilakukan oleh Etnis Arakan bersama militer Myanmar
terhadap komunitas muslim20 lebih terkoordinasi dan tersusun rapi. Laporan resmi pemerintah
Myanmar menyebutkan bahwa selama konflik kedua berlangsung, terhitung sejak 21-30 oktober, 89
orang meninggal dunia, 136 terluka, dan 5351 tempat tinggal dihancurkan.21 Terkait konflik ini,
Natalie Brinham dalam artikelnya menyebutkan bahwa 36.000 Muslim dipaksa keluar dari
Myanmar menuju Bangladesh.22
Perlakuan diskriminatif terhadap Etnis Rohingya seperti yang terlihat dari beberapa contoh
kasus yang terdokumentasikan di atas antara lain disebabkan oleh status mereka yang berbeda.
Tidak seperti etnis lain, Etnis Rohingya tidak diakui sebagai warga negara oleh pemerintah
Myanmar melainkan sebagai pendatang ilegal. Pelanggaran-pelanggaran yang dilakukan terhadap

17
Fox, Jonathan and Sandler, Shmuel, Bringing Religion Into International Relations, (New York: Palgrave Macmillan,
2004), 176-177.
18
“Crimes against Humanity in Western Burma: The Situation of the Rohingyas,” Irish Centre for Human Rights, (2010),
hlm. 91. Lihat juga dalam, “Perilous Plight: Burma’s Rohingya Take to the Seas,” Human Rights Watch, (Mei, 2009), hlm.
6. Bandingkan dengan apa yang ditemukan oleh Tamia Dian Ayu Faniati dalam penelitiannya yang memperlihatkan
bahwa upaya persekusi sitematis terhadap Etnis Rohingya oleh pemerintah Myanmar sebelum tahun 2012 telah
dilakukan sebanyak 19 kali melalui berbagai operasi militer, lihat dalam, Faniati, T. D. Ayu., “Tinjauan Hukum
Internasional Terhadap Etnis yang Tidak Memiliki Kewarganegaraan: Studi Kasus Etnis Rohingya, Myanmar,” Skripsi tidak
untuk diterbitkan. Depok: Fakultas Hukum Program Ilmu Hukum Universitas Indonesia, 2012, hlm. 96. Bandingkan
dengan laporan Donald M. Seekins yang menyebutkan jumlah yang relatif lebih kecil. Lihat dalam, Seekins, Donald. M.,
Historical Dictionary of Burma (Myanmar) (Toronto: Scarecrow Press, Inc., 2006). hlm. 11.
19
Ibid., hlm. 26-31.
20
Kata ‘Komunitas Muslim’ dipakai karena dalam konflik ini entitas Muslim yang menjadi korban bukan hanya Etnis
Rohingya namun juga komunitas Muslim Kaman.
21
“Myanmar: Storms Cloud on the Horizon,” International Crisis Group Asia Report, No. 238, 12 November 2012, hlm. 1.
22
Brinham, Natalie, “The Conveniently Forgotten Human Rights of the Rohingya,” FMR 41, hlm. 40-41.

4
Etnis Rohingya, seperti;23 tidak diberikan izin usaha; pengenaan pajak yang tinggi dan berlebihan
hanya kepada Etnis Rohingya - jika pajak tersebut tidak mampu dibayarkan, maka lahan pertanian,
tambak, atau properti apapun yang mereka miliki akan disita; diperlukan izin untuk keluar dari
otoritas lokal; khusus bagi Etnis Rohingya yang terkonsentrasi di Rakhine utara, mereka
dimasukkan ke dalam kamp-kamp konsentrasi dan dieksploitasi sebagai pekerja paksa; tidak
diberikan akses untuk mencicipi pendidikan; sulitnya mendapatkan izin perkawinan; pemerkosaan
terhadap perempuan Rohingya; serta penahanan tanpa melalui proses peradilan.
Sejarah keberadaan Etnis Rohingya di Myanmar hingga penelitian ini ditulis masih
merupakan masalah yang terus diperdebatkan. Banyak pendapat ilmiah yang menerangkan bahwa
eksistensi Etnis Rohingya sebagai penduduk asli Rakhine merupakan fakta sejarah yang tidak dapat
dibantah, namun tidak sedikit yang menolak pendapat yang menyatakan bahwa Etnis Rohingya
merupakan penduduk asli Myanmar yang terkonsentrasi di wilayah yang kini menjadi Negara
Bagian Rakhine - pemerintah dan masyarakat Myanmar cenderung membenarkan pendapat kedua.
Namun bagaimanapun, kedua pendapat tersebut sulit untuk dibuktikan disebabkan oleh; minimnya
data pendukung; akurasi data yang lemah dan cenderung bias disebabkan oleh manipulasi yang
terjadi seiring gejolak politik domestik Myanmar; serta akses yang terbatas, baik bagi akademisi
maupun jurnalis - kalaupun akses itu diberikan, ia yang memohon akses akan diawasi dengan
ketat.24
Selain faktor historis sebagaimana telah dijabarkan di atas, akar penindasan terhadap Etnis
Rohingya juga dapat ditemui dalam konstitusi - termasuk di dalamnya, berbagai amandemen dan
penambahan peraturan baru - dan pengejawantahannya oleh masing-masing rezim berkuasa di
Myanmar. Faktor ini memberikan pengaruh besar terhadap dinamika konflik internal karena dalam
prakteknya, konstitusi yang digariskan, dan penegakannya oleh rezim berkuasa cenderung tidak
mengindahkan - kalau tidak boleh dikatakan membunuh - eksistensi nilai-nilai budaya etnis asli
lain.25 Dalam konteks ini, ia seringkali dijadikan alat etnis mayoritas - dalam kasus ini, Etnis Burma
- untuk memaksakan nilai-nilai yang mereka anut untuk diterapkan dalam komunitas plural multi-
etnis dan multi-agama.26

Islam dan pembentukan identitas Indonesia

Indonesia adalah sebuah negara kepulauan dengan jumlah penganut Islam terbesar di
dunia.27 Dari 237.641.326 total penduduk yang terdata pada sensus penduduk tahun 2010,
207.176.162 penduduknya beragama Islam.28 Jumlah ini bahkan hampir menyamai jumlah total
seluruh penganut Islam di negara-negara berbahasa Arab.29
Berbanding lurus dengan angka di atas, dominasi pemeluk agama Islam dalam jumlah di
Indonesia juga tercermin dalam komposisi anggota Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia

23
Lewa, Chris, “Burma’s Displaced People: Asia’s New Boat People,” FMR 30, hlm. 40. Lihat juga dalam, Ekeh, Chizom,
“Minorities in Burma,” Minority Rights Group International, (Oktober, 2007), hlm. 4.
24
Steinberg, David I., Burma/Myanmar: What Everyone Needs to Know, (New York: Oxford University Press, 2010), hlm.
8-10.
25
Sakhong, Lian H., “The Dynamics of Sixty Years of Ethnic Armed Conflict in Burma,” Burma Centre for Ethnic Studies:
Peace and Reconciliation Analysis Paper, No. 1, (Januari 2012), hlm. 4.
26
Ibid.
27 th
Schlager, Neil & Weisblatt, Jayne (Eds), World Encyclopedia of Political Systems and Parties - 4 Edition, (New York:
Facts on File, Inc., 2006), hlm. 606. Lihat juga dalam, Gall, Timothy L. & Hobby, Jeneen M (Eds), Worldmark Encyclopedia
th
of the Nations, Volume 4 - 12 Edition, (Farmington Hills: Thomson Gale, 2007), 237. Juga dalam, Robbers, Gerhard (Ed),
Encyclopedia of Constitutions, (New York: Facts on File, Inc., 2007), hlm. 408.
28
Data Sensus Penduduk Badan Pusat Statistik, 2010.
29
Buehler, Michael, “Islam and Democracy in Indonesia,” Insight Turkey Vol. 11 No. 4, (2009), hlm. 51.

5
(DPR RI). Walaupun pada dasarnya setiap individu yang duduk di DPR merupakan perwakilan
langsung dari partai-partai dan bertanggung jawab untuk mengartikulasikan kepentingan-
kepentingan partai mereka masing-masing dalam parlemen - dengan demikian terkotak-kotak dalam
warna, namun sejatinya, masing-masing dari mereka merupakan refleksi dari konstituen yang
mereka wakilkan. Hasil survey yang diselenggarakan oleh Tim ITB-UNPAD terhadap komposisi
anggota DPR RI periode 2009-2014 menunjukkan bahwa 83,96% anggota DPR adalah pemeluk
Islam.30
Indonesia juga merupakan rumah bagi organisasi Islam dengan jumlah keanggotaan
terbesar di dunia,31 Nahdlatul Ulama (NU),32 yang didirikan untuk mempertahankan kepercayaan
Islam tradisional yang dipraktekkan oleh ulama-ulama konservatif sebagai reaksi terhadap
meningkatnya pengaruh gerakan Islam modernis yang diusung oleh Muhammadiyah - organisasi
Islam terbesar kedua di Indonesia setelah NU - yang telah terlebih dahulu terbentuk, yakni pada
tahun 1912.
Dewi Fortuna Anwar, menyebutkan bahwa Muslim Indonesia adalah Muslim moderat,
toleran, yang memiliki wawasan ke luar. Ia menyandarkan pendapat ini pada fakta bahwa walaupun
mayoritas penduduk Indonesia adalah muslim, namun Indonesia bukan sebuah negara Islam dan
tidak menempatkan Islam sebagai agama resmi negara.33 Ia mempertegas pendapat tersebut dengan
memperlihatkan bahwa, Indonesia, dalam upaya untuk mencapai titik temu antara mereka yang
menginginkan berdirinya negara Islam dengan kelompok yang menentang gagasan tersebut,
merumuskan sebuah ideologi yang diberi nama Pancasila - ideologi yang tidak sepenuhnya sekular
dan tidak pula religius, dengan ‘Ketuhanan Yang Maha Esa’ sebagai poin pertama dari lima sila
yang dikandungnya.34 Pengejawantahan dari sila pertama ini yakni, negara menjamin kemerdekaan
setiap warganya untuk memilih dan secara sadar memeluk agama atau kepercayaan sesuai dengan
keyakinan masing-masing tanpa ada paksaan dan berusaha memaksakan keyakinan tersebut kepada
orang lain,35 karena agama, dalam konteks ini, adalah perkara transenden antara masing-masing
individu dengan Tuhannya.
Faktor lain yang membuat Islam di Indonesia mengejutkan adalah mulusnya - jika kata
‘sukses’ terkesan berlebihan - peralihan menuju dan penerapan demokrasi dalam sistem politik
negara pasca runtuhnya Orde Baru di bawah rezim Soeharto pada tahun 1998. Indonesia, sebagai
negara dengan jumlah penduduk Muslim terbesar di dunia, juga merupakan negara demokratis
ketiga terbesar di dunia setelah Amerika dan India. Hal yang menurut beberapa pemikir sulit untuk
diwujudkan.36

30
“Cuplikan Hasil Survey Tim ITB-UNPAD untuk Penyusunan Renstra DPR RI 2010-2015,” Project Manajer-PMO RB Setjen
DPR RI, (3 September 2012).
31
Dalam situs resminya, NU mengestimasi jumlah warga NU lebih dari 40 juta orang. Lihat dalam,
http://www.nu.or.id/a,public-m,static-s,detail-lang,id-ids,1-id,9-t,basis+pendukung-.phpx. Diakses pada: 18 Desember
2012.
32
Lihat dalam, salah satunya, Fox, James J, “Currents in Contemporary Islam in Indonesia,” Paper dipaparkan dalam
Harvard Asia Vision 21, (Cambridge, 29 April-1 Mei 2004), hlm. 4.
33
Anwar, Dewi Fortuna, “Foreign Policy, Islam, and Democracy in Indonesia,” Artikel dibacakan dalam Seminar
Understanding Indonesia 2006: Foreign Policy, Islam and Democracy, (New Zealand, Mei 2006), hlm. 43.
34
Ibid.
35
Lihat dalam UUD 1945 Pasal 28 dan 29. Juga dalam UU No. 30 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, Pasal 22.
36
Lihat, misalnya dalam, Mujani, Saiful, Muslim Demokrat: Islam, Budaya Demokrasi, dan Partisipasi Politik di Indonesia
Pasca Orde Baru, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2007), hlm. 13. Atau dalam, Lewis, Bernard, The Crisis of Islam:
Holy War and Unholy Terror, (London: Phoenix, 2004). Bandingkan dengan dua tulisan Samuel P. Huntington; The Clash
of Civilization and the Remaking of World Order, (India: Penguin Books, 1997) & Gelombang Demokrasi Ketiga, (Jakarta:
Grafiti, 1997), hlm. 89. Juga dalam, Fukuyama, Francis, The End of History and The Last Man, (New York: The Free Press,
1992), hlm. 217.

6
Walaupun begitu, demokrasi pada akhirnya dapat dimanifestasikan dalam kehidupan politik
Indonesia meskipun penilaian atas kinerjanya tidak berujung pada satu simpul yang sama. Larry
Diamond yang mengkomparasikan pergerakan demokrasi Indonesia dengan penerapan demokrasi
di negara-negara Asia Selatan dengan berpijak pada dimensi perilaku, sikap, dan komitmen
konstitusional sebagai alat ukur, menemukan bahwa laju pertumbuhan demokrasi Indonesia adalah
yang tercepat di antara negara-negara lain yang ditimbang.37 Sementara Aspinall menemukan
bahwa “demokrasi di Indonesia hanya bersifat artifisial di mana lingkaran oligarkis era Orde Baru
masih dapat memanfaatkan negara untuk tujuan pribadi mereka.”38 Penilaian yang lebih kritis
menyebutkan bahwa, kemajuan demokrasi Indonesia berjalan timpang dan terhambat oleh
maraknya korupsi dan lemahnya penegakan hukum.39 Aung Kyaw Phyo menilai bahwa walaupun
sistem politik telah bergeser dari otoritarian menuju demokrasi, namun demokrasi di Indonesia
masih sangat muda. Dalam kondisi tersebut, dinamika politik cenderung belum stabil dan dapat
menghambat pertumbuhan ekonomi.40 Beberapa lembaga juga mempublikasikan penilaiannya
terhadap penerapan demokrasi di Indonesia. Economist Intellegence Unit pada tahun 2010
menempatkan Indonesia pada urutan ke-60 dalam kategori negara flawed democracy dengan skor
total 6,53 (dalam skala 1-10).
Terlepas dari kurang atau lebihnya penerapan demokrasi di Indonesia sebagaimana telah
dijabarkan di atas. Bagaimanapun, diadopsinya demokrasi telah mendorong; pembuat kebijakan
untuk lebih peka terhadap opini publik dan tekanan-tekanan masyarakat yang bersifat bottom-up;41
juga mendorong terbentuknya partisipasi politik masyarakat yang lebih besar - dalam hal ini,
partisipasi politik tidak lagi hanya terbatas pada keikutsertaan masyarakat dalam pemilihan umum,
namun meluas hingga mempengaruhi arah kebijakan pemerintah.42 Sejalan dengan itu,
diterapkannya demokrasi menyebabkan kekuatan-kekuatan politik lain di luar struktur pembuat
kebijakan memiliki peluang yang lebih besar untuk mempengaruhi kebijakan pemerintah - yakni
dengan mengubah arah kebijakan ke haluan yang benar-benar baru atau hanya sekedar membentuk
ulang dan memperhalus kebijakan-kebijakan yang sudah diterapkan - terutama jika suatu fenomena
bersinggungan langsung dengan identitas, basis ideologis, dan nilai-nilai atau norma yang diyakini.
Beberapa contoh di mana identitas masyarakat - dan dengan demikian identitas negara -
dapat mempengaruhi sebuah kebijakan yakni, tidak adanya hubungan diplomatik antara Indonesia
dengan Israel. Dalam kasus ini, upaya yang coba disosialisasikan oleh pemerintah - rezim
Abdurrahman Wahid khususnya - untuk membuka dan menjalin kerjasama ekonomi antara
Indonesia dengan Israel dikecam keras oleh berbagai elemen masyarakat, ormas-ormas Islam, dan
parlemen Indonesia. kecaman ini berujung pada kandasnya rencana kerjasama tersebut;43 kasus
pelecehan karikatur Nabi Muhammad oleh beberapa oknum di Denmark. Terkait hal ini - dan
desakan populasi Muslim di Indonesia, pemerintah melalui Menteri Luar Negerinya - saat itu,
Hassan Wirajuda - memanggil Duta Besar Denmark dan meminta negara tersebut untuk mengambil

37
“Indeks Demokrasi Asia 2011: Potret Indonesia,” laporan riset disampaikan dalam Seminar (De)Monopolisasi
Demokrasi di Asia, diselenggarakan oleh FISIP UI, (25 November 2011), hlm. 3.
38
Ibid., hlm. 4.
39
Ibid.
40
Phyo, Aung Kyaw, Policy Outcomes in Indonesia Before and After Democratization, (Martin School of Public Policy),
hlm. 41.
41
Lihat dalam, Murphy, Ann Marie, “Democratization and Indonesian Foreign Policy: Implications for the United States,”
Asia Policy, Number 3, (Januari 2012), hlm. 98. Juga dalam, Iisgindarsah, “Indonesia’s Democratic Politics and Foreign
Policy Making: A Case Study of Iranian Nuclear Issue,” Rajaratnam School of International Studies Working Paper, No.
236, (April 2012).
42
Budiardjo, Miriam (Ed), Partisipasi dan Partai Politik, (Jakarta: PT. Gramedia, 1982), hlm. 1.
43
Barton, Greg & Rubenstein, Colin, “Indonesia and Israel: A Relationship in Waiting,” Jewish Political Study Review 17:1-
2, (2005), hlm. 6.

7
langkah korektif untuk meredakan kemarahan umat Islam, khususnya umat Islam di Indonesia.;44
pemerintah Indonesia yang memilih untuk abstain dalam resolusi United Nations Security Council
(UNSC) No. 1803 Tahun 2008 mengenai sanksi tambahan bagi Iran setelah sebelumnya ikut
menyetujui dan mendukung Resolusi UNSC No. 1747 Tahun 2007 mengenai pemberian sanksi
terhadap Iran atas aktivitas pengayaan uraniumnya, Iisgindarsah menemukan bahwa perubahan arah
kebijakan Indonesia dipengaruhi sepenuhnya oleh tekanan politik domestik dan desakan
masyarakat.45

Identitas Indonesia dalam struktur internasional

“We are a proud nation who cherish our independence and national unity. We are
the fourth most populous nation in the world. We are home to the world’s largest
Muslim population. We are the world’s third largest democracy. We are also a
country where democracy, Islam and modernity go hand-in-hand. We will stay our
course with ASEAN as the cornerstone of our foreign policy. And our heart is
always with the developing world, to which we belong. These are the things that
define who we are and what we do in the community of nations.”46

Petikan pidato ini dengan gamblang mendefinisikan identitas Indonesia yang ditampilkan
dalam interaksinya dengan negara lain dalam hubungan internasional. Pembangunan identitas
Indonesia sebagai negara demokratis dengan penduduk Muslim terbesar di dunia juga dapat
ditafsirkan dari pidato Sudjadnan Parnohadiningrat - pada saat itu menjabat sebagai Duta Besar
Indonesia untuk Amerika - dalam kunjungannya ke University of Illinois pada tahun 2007.47
Bagaimanapun, penekanan terhadap Islam yang diindikasikan pidato di atas merupakan
respon pemerintah terhadap faktor domestik dan internasional. Faktor domestik, sejalan dengan
penjabaran sebelumnya, yakni populasi Muslim yang sangat besar di Indonesia dan diadopsinya
demokrasi sebagai tatanan politik. Sedangkan faktor internasional, menurut Ann Marie Murphy,
merupakan reaksi terhadap mencuatnya pengaruh agama dalam hubungan internasional setelah
keruntuhan World Trade Center (WTC) pada 11 September 2011 dan deklarasi ‘war on terror’
Amerika.48 Faktor-faktor tersebut mendorong presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) untuk
menetapkan dua sasaran berbeda dalam politik luar negeri Indonesia namun saling terkait satu sama
lain. Pertama, Indonesia berupaya memainkan peranan yang lebih besar di dunia Muslim. Dalam
pidato kenegaraannya mengenai Rancangan Undang-Undang tentang Anggaran Pendapatan dan
Belanja Negara tahun 2006 beserta Nota Keuangannya pada bulan Agustus 2005, SBY menegaskan
bahwa, “Indonesia akan terus meningkatkan peranannya dalam Organisasi Konferensi Islam (OKI),
meneruskan dukungan bagi pembebasan Palestina, dan meningkatkan peranan yang lebih penting di
dunia Islam.”49 Kedua, berusaha menjembatani jarak antara dunia Islam dan Barat.

44
Lihat dalam, “departemen luar negeri panggil duta besar denmark berkaitan dengan kartun nabi,” tempo interaktif,
oktober 2006.
45
Iisgindarsah, “Indonesia’s Democratic Politics and Foreign Policy Making: A Case Study of Iranian Nuclear Issue,”
Rajaratnam School of International Studies Working Paper, No. 236, (April 2012), hlm. 22-23.
46
Pidato Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dalam diskusi bersama The Indonesian Council on Public Affairs (ICWA),
Jakarta, 19 Mei 2005, lihat dalam http://www.presidenri.go.id/index.php/pidato/2005/05/19/332.html.
47
Parnohadinigrat, Sudjanan, “Challenging Stereotypes: Indonesia as the World’s Largest Majority Muslim Country,”
WSEC TV Ambassador Series Broadcast, (Springfield, Mei 2007).
48
Murphy, Ann Marie, op.cit., hlm. 96.
49
Pidato Kenegaraan Presiden Republik Indonesia serta Keterangan Pemerintah tentang Rancangan Undang-Undang
tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Tahun 2006 beserta Nota Keuangannya dalam Rapat Paripurna
Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia, Jakarta, 16 Agustus 2005.

8
Sebagai perwujudan dari upaya pemenuhan tujuan-tujuan tersebut, Indonesia terus berusaha
mendorong penguatan nilai-nilai dan struktur institusional OKI agar lebih mampu menghadapi
tantangan-tantangan di abad 21; ini berujung pada diadopsinya piagam yang disepakati dalam 11th
Annual Islamic Summit yang diselenggarakan di Dakar pada 13-14 Maret 2008 yang dirancang
untuk: mempercepat proses pengambilan keputusan dalam organisasi tersebut, penyebaran prinsip-
prinsip demokrasi, penerapan prinsip-prinsip good governance di tiap-tiap negara anggota.50
Indonesia juga mendorong pembentukan Independent Permanent Human Rights Commission
(IPHRC) dalam struktur OKI untuk memajukan hak asasi manusia di antara negara-negara OKI dan
untuk memberi penegasan pada mereka yang pesimis bahwa pada dasarnya Islam dapat bersanding
dengan demokrasi dan hak asasi manusia.51

Respon masyarakat Indonesia

Walaupun konflik etnis di Rakhine pada dasarnya tidak memberi dampak langsung apapun
terhadap Indonesia, namun pemberitaan yang menyebutkan bahwa konflik berlangsung asimetris;
cenderung mengarah pada upaya pembantaian Etnis Muslim Rohingya, pada akhirnya memancing
kemarahan masyarakat Indonesia dan berbagai kelompok sosial politik domestik - dengan
mengingat pre-kondisi domestik Indonesia seperti yang telah dijabarkan dalam sub-bab
sebelumnya.
Hampir seragamnya konten media massa di Indonesia - baik nasional maupun daerah, baik
cetak maupun elektronik (termasuk di dalamnya, internet dan jejaring sosial) - yang mewartakan
konflik etnis yang terjadi di Rakhine serta intensitas pemberitaan yang tinggi, tidak bisa tidak,
menjadi salah satu penyebab - dan dengan demikian, merupakan agen utama - yang mengawali
konstruksi opini publik terkait isu tersebut - dengan mempertimbangkan bahwa salah satu fungsi
utama media adalah sebagai sumber informasi. Penggunaan kata atau kalimat yang cenderung
provokatif seperti ‘genosida Muslim’, ‘pembantaian umat Islam di Myanmar’, ‘pembersihan Etnis
Rohingya’,52 bagaimanapun akan diterima oleh masyarakat Indonesia yang mayoritas beragama
Islam sebagai kekerasan terhadap umat Islam dan bermuara pada terbentuknya opini orang perorang
menyangkut isu terkait dan secara kolektif ditransformasikan menjadi opini publik. Sedangkan
pemberitaan mengenai kelambanan Pemerintah Indonesia sebagai representasi negara dengan
jumlah penduduk Islam terbesar di dunia,53 pada akhirnya mendorong masyarakat Indonesia
mendesak pemerintahnya untuk mengambil sikap yang pantas sesuai dengan identitas yang
disandang. Upaya pendesakan tersebut diejawantahkan dengan melakukan berbagai aksi
demonstrasi.
Dengan fakta bahwa Indonesia merupakan negara dengan populasi Muslim terbesar di
dunia, maka, adalah sesuatu yang wajar apabila sebagian besar penduduk Indonesia merasa simpati
atas apa yang menimpa Etnis Rohingya yang juga beragama Islam. Rasa simpati sebagai sesama
Muslim tersebut kemudian diartikulasikan dengan melaksanakan berbagai aksi solidaritas dan aksi
demonstrasi di hampir seluruh provinsi di Indonesia dengan tuntutan yang hampir seragam, yakni

50
Murphy, Ann Marie, op.cit., hlm. 97.
51 th
Pidato Marty Natalegawa pada 13 Working Group Meeting on the Universal Periodic Review for Indonesia, (Jenewa,
23 Mei 2012). Dikutip dari, “Komitmen Indonesia terhadap Pemajuan dan Perlindungan HAM,” Tabloid Diplomasi, Juni
2012.
52
Lihat, misalnya dalam, “PKS: Muslim Rohingya Korban Genosida Militer Myanmar,” Republika Online, 27 Juli 2012.
Juga dalam, “Badan HAM PBB: Junta Militer Myanmar Terlibat Pembersihan Etnis Rohingya,” ANTARA, 28 Juli 2012.
53
Lihat misalnya dalam, “Pelanggaran HAM Junta Militer Myanmar Terhadap Rohingya Permalukan Indonesia Sebagai
Ketua ASEAN,” Republika, 1 Juli 2012.

9
meminta pemerintah Indonesia untuk segera mengambil langkah efektif untuk menyelesaikan
konflik tersebut dan melindungi Etnis Muslim Rohingya.54
Hizb ut-Tahrir Indonesia, salah satu organisasi Islam dengan jumlah anggota yang besar,
selain melakukan aksi yang lebih terorganisir di beberapa daerah di Indonesia,55 juga
mempublikasikan 4 butir tuntutan dalam pernyataan sikap mereka yang secara umum berisi kutukan
dan desakan terhadap pemerintah.56 Sementara itu, Said Aqil Siroj dalam kapasitasnya sebagai
Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU), menghimbau pemerintah untuk memberi
dukungan terhadap Muslim Rohingya di Myanmar dan secepatnya melayangkan surat protes ke
pemerintah Myanmar terkait konflik tersebut.57 Majelis Ulama Indonesia (MUI), di sisi lain,
menyesalkan sikap pemerintah Myanmar yang - menurut mereka - seolah-olah membiarkan konflik
ini berlangsung tidak seimbang.58 Mereka juga menganggap pernyataan presiden Myanmar
mengenai status kewarganegaraan Etnis Rohingya tidak pada tempatnya, serta mendesak
pemerintah Indonesia untuk mengambil langkah-langkah strategis untuk menghentikan kekerasan
terhadap etnis Muslim Rohingya.59
Tanggapan seragam juga dilontarkan oleh wakil-wakil Partai Keadilan Sejahtera (PKS)
yang duduk di kursi Parlemen Indonesia. Namun, di samping mengutuk, menganjurkan pemberian
suaka politik, dan meminta presiden Indonesia untuk membantu Muslim Rohingya
memperjuangkan hak kemanusiaan dan politiknya, serta pengakuan identitas keagamaan mereka,
mereka juga menyarankan agar Indonesia mengirim delegasi resmi sesegera mungkin untuk
berperan aktif mengumpulkan informasi dan memaksimalkan upaya penyelesaian konflik.60
Pramono Anung, selaku Wakil Ketua DPR RI juga mendesak pemerintah untuk secepatnya
mengambil sikap politik terkait kekerasan yang dialami oleh Etnis Rohingya di Myanmar.61 Ketua
DPR RI sendiri, Marzuki Ali, mendesak pemerintah untuk “proaktif memberikan teguran yang
keras kepada Myanmar dan mendesak negara tersebut untuk menyelesaikan konflik etnis yang ada
dengan memberikan hak hidup dan kewarganegaraan terhadap Etnis Rohingya seperti warga
lainnya.”62

Indonesia dan penyelesaian konflik Rakhine

Hampir meratanya desakan masyarakat Indonesia kepada pemerintah agar mengambil sikap
yang tegas terkait konflik yang melibatkan Etnis Rohingya di Negara Bagian Rakhine, Myanmar,
pada akhirnya berujung pada pidato yang dipublikasikan melalui beberapa media besar nasional dan
dapat dianggap sebagai jawaban resmi pemerintah yang langsung disampaikan oleh Presiden Susilo
Bambang Yudhoyono (SBY) dalam kapasitasnya sebagai Presiden Indonesia. Satu hari sebelum
pidato tersebut, Presiden SBY juga telah mengirimkan surat tertulis langsung kepada Presiden

54
Lihat, misalnya dalam, “LSM dan mahasiswa galang aksi solidaritas Rohingya,” Padang Media, 11 September 2012;
“Aksi Solidaritas KAMMI Garut untuk Rohingya,” 28 Agustus 2012.
55
Lihat, misalnya dalam, “Aksi Solidaritas Bela Muslim Rohingya,” Liputan 6, 3 Agustus, 2012. Atau dalam, “Aksi
Solidaritas Rohingya,” ANTARA, 5 Agustus 2012.
56
Statement of Hizb ut-Tahrir Indonesia: Rally to Express Solidarity for Rohingya Muslims, 10 Oktober 2012.
57
“PBNU Minta Pemerintah Dukung Muslim Rohingya,” Nahdlatul Ulama Online, 26 Juli 2012. Lihat juga dalam, “PBNU
Desak Presiden SBY Bantu Etnis Rohingya,” Nahdlatul Ulama Online, 29 Juli 2012.
58
“Muslim Rohingya Ditindas, Inilah Sikap MUI,” REPUBLIKA Online, 25 Juli 2012.
59
Ibid. lihat juga dalam, “MUI Datangi Menlu Minta Penjelasan Kontribusi Pemerintah untuk Rohingya,” Arrahmah, 3
Agustus, 2012.
60
Lihat dalam, misalnya, “PKS: Muslim Rohingya Korban Genosida Myanmar,” REPUBLIKA Online, 27 Juli 2012.
61
“Pramono Anung Desak Pemerintah Segera Bertindak Membantu Muslim Rohingya, “ Arrahmah, 1 Agustus 2012.
62
“Pembantaian Muslim Rohingya Bentuk Pelanggaran HAM Berat,” Bulletin Parlementaria Edisi 735, (Agustus 2012),
hlm. 10.

10
Myanmar, Thein Sein, yang “mengungkapkan harapan Indonesia kepada pemerintah Myanmar
untuk menyelesaikan permasalahan atas Etnis Rohingya ini dengan sebaik-baiknya.”63 Berikut
kutipan pidato presiden tersebut:

“…menyangkut Etnis Rohingya ini. Pemerintah juga memiliki keprihatinan. Dan


Pemerintah bukan hanya berprihatin, tetapi Pemerintah telah, sedang, dan akan
terus melakukan upaya, baik diplomasi maupun upaya lain, yang berkaitan dengan
isu kemanusiaan atas Etnis Rohingya yang ada di Myanmar tersebut…untuk
menjadi pengetahuan masyarakat luas, saya ingin menyampaikan apa saja yang
dilakukan oleh Indonesia, utamanya Pemerintah Indonesia. Pemerintah secara
baik multilateral dan regional aktif untuk ikut membahas permasalahan yang
berkaitan dengan etnis Rohingya ini, baik di PBB, di ASEAN maupun forum-forum
yang lain. Secara bilateral, kita juga aktif menjalin diplomasi dan kerja sama.”64

Bagaimanapun, dari pidato di atas, tersirat bahwa Pemerintah Indonesia telah melakukan
beberapa langkah konkrit untuk membantu pemerintah Myanmar melewati - jika tidak bisa disebut
menyelesaikan - konflik tersebut. Upaya itu sendiri ditempuh dalam berbagai tingkatan: diplomasi
bilateral, regional, dan multilateral. Di tingkat bilateral, Indonesia melalui Menteri Luar Negeri
Marty Natalegawa menempuh jalur diplomasi untuk mendorong rekonsiliasi nasional dan
penyelesaian konflik di Myanmar yang melibatkan Etnis Rohingya dengan menemui Menteri Luar
Negeri Myanmar, Wunna Maung Lwin, pada tanggal 7 Agustus 2012 di Myanmar. Dalam
pertemuan tersebut, Marty menganjurkan agar Myanmar membuka dan memberi akses bagi bantuan
kemanusiaan dan OKI untuk meninjau situasi faktual pasca konflik di Negara Bagian Rakhine.
Anjuran ini ditindak lanjuti oleh Pemerintah Myanmar dengan membuka tapal batasnya bagi
bantuan-bantuan asing dan OKI.65 Sebagaimana tercermin dalam paparan Marty Natalegawa pada
rapat kerja antara Komisi I DPR RI dengan Menteri Luar Negeri pada tanggal 10 Oktober 2012,
sebagai berikut:

“Terkait dengan upaya penyelesaian konflik di wilayah Rakhine State, dengan


berbagai upaya yang telah dilakukan termasuk oleh Indonesia, Pemerintah
Myanmar telah membuka akses kemanusiaan untuk membantu penduduk di
wilayah tersebut termasuk etnis Rohingya…
…Atas usul Indonesia, OKI juga telah diberikan akses untuk meninjau secara
langsung perkembangan pasca konflik dan memberikan bantuan nyata terhadap
etnis Rohingya.”66

Sebagai bentuk komitmennya, lebih lanjut Indonesia juga memberikan bantuan capacity
building, termasuk di dalamnya sharing dan bertukar pandangan serta pelatihan bagi beberapa
elemen masyarakat sipil di Myanmar, antara lain; Komnas HAM, Komisi Pemilihan Umum,
Penasehat Presiden dan Lembaga Swadaya di Myanmar dalam melanjutkan proses transformasi
politik dalam rangka demokratisasi dan rekonsiliasi nasionalnya.67 Langkah berikutnya,

63
ibid.
64
Transkrip Keterangan Pers Presiden Republik Indonesia mengenai Permasalahan Etnis Rohingya, Myanmar. Puri Cikeas
Indah, Bogor, 4 Agustus 2012.
65
Lihat misalnya dalam, “Myanmar may Allow Rakhine Probe,” JakartaGlobe, 8 Agustus 2012.
66
Paparan Menteri Luar Negeri Republik Indonesia dalam Rapat Kerja antara Komisi I DPR RI dengan Menteri Luar
Negeri, 10 Oktober 2012.
67
Ibid. lihat juga dalam, “Terima Delegasi Myanmar, Menlu Bahas Kebutuhan Demokrasi dan Penyelesaian Konflik,”
Pusat Berita dan Agenda Kemlu, 17 September 2012.

11
Kementerian Luar Negeri Indonesia juga tengah menyusun ‘Blue Book’ 2013-2015 yang akan
menjadi panduan pelaksanaan program peningkatan kapasitas sesuai kebutuhan Myanmar di empat
bidang, yakni: demokratisasi, rekonsiliasi nasional, good governance, dan HAM, serta
pembangunan sosial ekonomi.68
Di ranah regional, atas usul dan inisiatif Marty Natalegawa, Menteri Luar Negeri ASEAN
pada tanggal 17 Agustus 2012 telah menyepakati pernyataan bersama ASEAN dalam menyikapi
perkembangan terakhir di Negara Bagian Rakhine, Myanmar. Pernyataan bersama tersebut
disepakati setelah Menteri Luar Negeri RI berkomunikasi secara intensif dengan Menteri Luar
Negeri Myanmar sebelumnya di Myanmar. Pernyataan tersebut terangkum dalam 4 poin.69 Secara
garis besar, dalam pernyataan tersebut, Menteri Luar Negeri ASEAN mendukung berbagai upaya
yang dilakukan oleh Pemerintah Myanmar untuk mengembalikan situasi yang kondusif khususnya
mengatasi situasi kemanusiaan di Rakhine, Myanmar. Negara ASEAN senantiasa siap atas
permintaan pemerintah Myanmar untuk memberikan bantuan kemanusiaan kepada Myanmar untuk
mengatasi situasi di Rakhine.70
Indonesia juga turut mengangkat wacana mengenai etnis rohingya melalui kerangka
multilateral. Ini dapat dilihat dalam upaya Marty Natalegawa yang mendorong OKI untuk tetapkan
agenda dan langkah konkrit guna menyelesaikan permasalahan umat secara umum, dan menempuh
tindakan-tindakan konstruktif terhadap Etnis Rohingya secara khusus saat berlangsungnya
Pertemuan ke-4 Konferensi Tingkat Tinggi Luar Biasa OKI di Mekkah pada bulan Agustus 2012.
Dalam konteks ini, terkait dengan kesepakatan yang dihasilkan dalam diplomasi bilateral antara
Menteri Luar Negeri Myanmar dan Menteri Luar Negeri Indonesia mengenai dibukanya akses oleh
pemerintah Myanmar bagi OKI untuk meninjau langsung kondisi Etnis Rohingya; Marty
Natalegawa meminta OKI untuk melakukan kunjungan ke Myanmar, terutama sekali Rakhine agar
dapat memahami situasi sebenarnya, khususnya kebutuhan bantuan kemanusiaan yang diperlukan
oleh Etnis Muslim Rohingya.71
Sebagai tanggapan atas dorongan ini, negara-negara anggota OKI kemudian menyatakan
sikap; mengutuk kekerasan yang terjadi di Rakhine yang melibatkan Etnis Rohingya. Lebih jauh,
OKI memutuskan untuk; mengirimkan delegasi untuk memantau langsung kondisi faktual di
Rakhine; memberikan bantuan dana untuk mendukung proses demokratisasi di Myanmar.72

Kesimpulan

Agama memiliki pengaruh dalam politik luar negeri Indonesia di isu-isu tertentu; isu-isu
eksternal yang berhubungan dengan Islam, terutama yang mendiskreditkan, baik nilai maupun
entitas yang berafiliasi dengannya. Hal ini menjadi mungkin dikarenakan nilai dan norma Islam
yang dianut oleh sebagian besar masyarakat Indonesia menggariskan persepsi mereka atas realita.
Terkait isu-isu yang disinggung sebelumnya, masyarakat cenderung menjadi reaktif, dan hal
tersebut menggiring dan mengkonvergensikan persepsi individu menjadi persepsi kolektif, yang
berujung pada desakan kepada Pemerintah Indonesia untuk mengambil sikap.
Dominasi Islam secara kuantitas di Indonesia, bagaimanapun, membentuk salah satu
identitas sosial Indonesia, yakni; sebagai ‘negara dengan penduduk Muslim terbesar di dunia’. Di

68
Ibid.
69
Statement of ASEAN Foreign Ministers on the Recent Developments in the Rakhine State, Myanmar, Phnom Penh,
Kamboja, 17 Agustus 2012.
70
“RI Dorong Penyelesaian Permasalahan Konflik Etnis di Rakhine, Myanmar,” Pusat Berita dan Agenda Kemlu, 8 Agustus
2012.
71
Pidato Marty Natalegawa dalam Pertemuan ke-4 Konferensi Tingkat Tinggi Luar Biasa OKI, Mekkah 14-15 Agustus
2012.
72
“Islamic Body to take Rohingya Issue to United Nations,” Democratic Voice of Burma, 16 Agustus 2012.

12
ranah internasional - dengan memperhatikan struktur nilai dan norma internasional, identitas
tersebut mengkonstitusikan kepentingan Indonesia untuk memainkan peran yang lebih besar di
dunia Islam dan menjadi jembatan penghubung Islam-Barat. Dalam konteks ini, peran Indonesia
dalam upaya penyelesaian konflik di Rakhine yang melibatkan Etnis Rohingya merupakan dampak
langsung dari tekanan domestik dan merupakan bentuk pengejawantahan dari kepentingan yang
digariskan berdasar pada; identitas dan definisi atas Self dan Others.
Bagaimanapun, demokratisasi di Indonesia pasca perubahan rezim pada tahun 1998
memiliki pengaruh signifikan. Ia membuka ruang yang lebih besar bagi media, opini, dan partisipasi
publik untuk mempengaruhi proses perumusan kebijakan.

REFERENSI

Buku:
Bahar, Abid, Burma’s Missing Dots, (Montreal: Flapwing Publishers, 2009).
Baldwin, David A (Ed). Neorealism and Neoliberalism: The Contemporary Debate, (New York:
Columbia University Press, 1993).
Bozdaglioglu, Yucel. Turkish Foreign Policy and Turkish Identity: A Constructivist Approach,
(New York: Routledge, 2005).
Budiardjo, Miriam., Dasar-Dasar Ilmu Politik (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2008).
Budiardjo, Miriam (Ed), Partisipasi dan Partai Politik, (Jakarta: PT. Gramedia, 1982).
Coplin, William D. Introduction to International Politics: A Theoritical Overview (Chicago:
Markham Publishing Company, 1971).
Dark, K. R (Ed). Religion and International Relations, (Hampshire: Macmillan Press, Ltd, 2000).
Esposito, John L., What Everyone Needs to Know About Islam, (New York: Oxford University
Press, Inc., 2002).
Fox, Jonathan and Sandler, Shmuel., Bringing Religion Into International Relations (New York:
Palgrave MacMillan, 2004).
Gall, Timothy L. & Hobby, Jeneen M (Eds), Worldmark Encyclopedia of the Nations, Volume 4 -
12th Edition, (Farmington Hills: Thomson Gale, 2007).
Given, Lisa. M (Ed), The SAGE Encyclopedia of Qualitative Research Methods: Volume 1 & 2
(London: SAGE Publications, Inc., 2008).
Griffiths, Martin (Ed). International Relations Theory for the Twenty-First Century: An
Introduction, (New York: Routledge, 2007).
Husaini, Adian, Wajah Peradaban Barat: Dari Hegemoni Kristen ke Dominasi Sekular-Liberal,
(Jakarta: Gema Insani, 2005).
Jackson, Robert & Sorensen, Georg. Introduction to International Relations: Theories and
Approaches - 4th Edition, (London: Oxford University Press, 2006).
Petito, Fabio & Hatzopoulos, Pavloz (Ed). Religion in International Relations: The Return from
Exile, (New York: Palgrave Macmillan, 2003).
Reus-smit, Christian. Theories of International Relations - 3rd Edition, (New York: Palgrave
Macmillan, 2005).
Robbers, Gerhard (Ed), Encyclopedia of Constitutions, (New York: Facts on File, Inc., 2007).
Schlager, Neil & Weisblatt, Jayne (Eds), World Encyclopedia of Political Systems and Parties - 4th
Edition, (New York: Facts on File, Inc., 2006).
Seekins, Donald M., Historical Dictionary of Burma (Myanmar) (Toronto: Scarecrow Press, Inc.,
2006).
Smith, Matthew F., The Government Could Have Stopped This: Sectarian Violence and Ensuing
Abuses in Burma’s Arakan State (USA: Human Right Watch, 2012).

13
Steinberg, David I., Burma/Myanmar: What Everyone Needs to Know, (New York: Oxford
University Press, 2010).
Sukma, Rizal, Islam in Indonesian Foreign Policy, (London: Routledge, 2003).
Webber, Mark & Smith, Michael (Ed). Foreign Policy in a Transformed World, (Harlow: Pearson
Education Limited, 2002).
Wendt, Alexander. Social Theory of International Politics, (Cambridge: Cambridge University
Press, 1999).
Zehfuss, Maja, Constructivism in International Relations: The Politics of Reality (Cambridge:
Cambridge University Press, 2004).

Jurnal & Tesis:


Anwar, Dewi Fortuna, “Foreign Policy, Islam, and Democracy in Indonesia,” Artikel dibacakan
dalam Seminar Understanding Indonesia 2006: Foreign Policy, Islam and Democracy, (New
Zealand, Mei 2006).
Anwar, M. Syafi’i, “Islam and Pluralism in Indonesia: A Participant Observer’s Account,” Paper
dipresentasikan dalam International Seminar on Muslim in the East: Islam in Pluralism,
(Sevilla, 9-10 November 2009).
Azis, Avyanthi., “Locating the Rohingya in a Difficult World of Nation: A Study in Statelessness,”
(makalah disampaikan dalam Orientation and Country Workshop of API Fellowship,
kerjasama antara Nippon Foundation dan LIPI, Depok, 23-24 Maret 2011).
Barton, Greg & Rubenstein, Colin, “Indonesia and Israel: A Relationship in Waiting,” Jewish
Political Study Review 17:1-2, (2005).
Brinham, Natalie, “The Conveniently Forgotten Human Rights of the Rohingya,” FMR 41.
Buehler, Michael, “Islam and Democracy in Indonesia,” Insight Turkey Vol. 11 No. 4, (2009).
Chan, Aye, ”The Development of a Muslim Enclave in Arakan (Rakhine) State of Burma
(Myanmar),” SOAS Bulletin of Burma Research, Vol. 3 No. 2, (2005).
Desker, Barry, “Islam and Society in Southeast Asia after September 11,” Institute of Defence and
Strategic Studies Singapore No. 33, (2002).
Ekeh, Chizom, “Minorities in Burma,” Minority Rights Group International, (Oktober, 2007).
Eliraz, Giora, “Islam and Polity in Indonesia: An Intriguing Case Study,” Research Monographs on
the Muslim World Series No. 1 Paper No. 5, (Februari 2007).
Fox, James J, “Currents in Contemporary Islam in Indonesia,” Paper dipaparkan dalam Harvard
Asia Vision 21, (Cambridge, 29 April-1 Mei 2004).
Iisgindarsah, “Indonesia’s Democratic Politics and Foreign Policy Making: A Case Study of Iranian
Nuclear Issue,” Rajaratnam School of International Studies Working Paper, No. 236, (April
2012).
Kirkland, Russell., Defining Religion (1976).
Lewa, Chris, “Burma’s Displaced People: Asia’s New Boat People,” FMR 30.
Murphy, Ann Marie, “Democratization and Indonesian Foreign Policy: Implications for the United
States,” Asia Policy, Number 3, (Januari 2012).
Phyo, Aung Kyaw, Policy Outcomes in Indonesia Before and After Democratization, (Martin
School of Public Policy).
Parnini, Syeda Naushin, “Non-Traditional Security and Problems of Rohingya Across the
Bangladesh-Myanmar Borders,” British Journal of Arts and Social Sciences, Vol. 5 No. 2,
(2012).
Parnohadinigrat, Sudjanan, “Challenging Stereotypes: Indonesia as the World’s Largest Majority
Muslim Country,” WSEC TV Ambassador Series Broadcast, (Springfield, Mei 2007).
Sakhong, Lian H., “The Dynamics of Sixty Years of Ethnic Armed Conflict in Burma,” Burma
Centre for Ethnic Studies: Peace and Reconciliation Analysis Paper, No. 1, (Januari 2012).

14
Smith, Martin., “Ethnic Groups in Burma: Development, Democracy, and Human Rights,” Anti-
Slavery International’s Series No. 8, 1994.
Solihin, “Pandangan M. Amien Rais tentang politik Islam di Indonesia: Telaah atas Hubungan
Islam dan Negara Periode 1985-2000,” Executive Summary UIN SGD, (Bandung, 2007).
Taba, Abdul Asis, “Islam dan Negara dalam Politik Orde Baru (1966-1994),” Tesis tidak untuk
dipublikasikan, (Yogyakarta: Program Pasca Sarjana Universitas Gajah Mada, 1994).
Wanto, Adri, “Indonesian Islam: What went Right?” Rajaratnam School of International Studies
Commentaries No. 168, (Desember 2010).
Widodo, B. R. Tri., “Misi Memelihara Perdamaian Indonesia dalam Mendukung Politik Luar
Negeri Bebas Aktif,” Tesis tidak untuk dipublikasikan. Universitas Pertahanan Indonesia.

Laporan & Keterangan Resmi:


“China: Refugees Forcibly Returned to Burma - Thousands of Kachin at Risk from Conflict,
Abuses, Aid Shortages,” Human Right Watch Report, 24 Agustus 2012.
“Crimes against Humanity in Western Burma: The Situation of the Rohingyas,” Irish Centre for
Human Rights, (2010).
Constitution of the Republic of the Union of Myanmar 2008.
Data Sensus Penduduk Badan Pusat Statistik, 2010.
Kemlu RI, Bantuan Kemanusiaan RI Diserahkan di Rafah Mesir, 1 Oktober 2009.
Kemlu RI, Indonesia dan Perdamaian Filipina-MNLF, 3 Juli 2012.
Kemlu RI, Indonesia Kawal Proses Perdamaian di Filipina Selatan, 27 Juni 2012.
Kemlu RI, Misi PBB di Lebanon, RI Tercatat Kontributor Terbesar. 30 Mei 2012.
Kemlu RI, RI Dukung Palestina Soal Resolusi Dewan Keamanan, 28 September 2012.
“Menakar Demokrasi di Indonesia,” Indeks Demokrasi Indonesia 2009, UNDP, 2011.
“Myanmar: Storms Cloud on the Horizon,” International Crisis Group Asia Report, No. 238, 12
November 2012. “Perilous Plight: Burma’s Rohingya Take to the Seas,” Human Rights
Watch, (Mei, 2009).
Paparan Menteri Luar Negeri Republik Indonesia dalam Rapat Kerja antara Komisi I DPR RI
dengan Menteri Luar Negeri, 10 Oktober 2012.
Statement of Hizb ut-Tahrir Indonesia: Rally to Express Solidarity for Rohingya Muslims, 10
Oktober 2012.
Transkrip Keterangan Pers Presiden Republik Indonesia Mengenai Permasalahan Etnis Rohingya,
Myanmar. Puri Cikeas Indah, Bogor - Jawa Barat. 4 Agustus 2012.
UUD RI 1945
UU No. 30 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia.
UU No. 37 Tahun 1999 tentang Hubungan Luar Negeri.
Pidato Kenegaraan Presiden Republik Indonesia serta Keterangan Pemerintah tentang Rancangan
Undang-Undang tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Tahun 2006 beserta Nota
Keuangannya dalam Rapat Paripurna Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia, Jakarta,
16 Agustus 2005.
Pidato Marty Natalegawa dalam Pertemuan ke-4 Konferensi Tingkat Tinggi Luar Biasa OKI,
Mekkah 14-15 Agustus 2012.
Pidato Marty Natalegawa pada 13th Working Group Meeting on the Universal Periodic Review for
Indonesia, (Jenewa, 23 Mei 2012).
Pidato Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dalam diskusi bersama The Indonesian Council on
Public Affairs (ICWA), Jakarta, 19 Mei 2005.
Statement of ASEAN Foreign Ministers on the Recent Developments in the Rakhine State,
Myanmar, Phnom Penh, Kamboja, 17 Agustus 2012.

15

You might also like