You are on page 1of 19

PENGARUH HINDU, JAWA, ISLAM, CINA DAN KOLONIAL PADA

ARSITEKTUR MASJID PANJUNAN DAN MASJID AGUNG SANG


CIPTA RASA DI CIREBON

(SUATU KAJIAN TATA RUANG DAN ORNAMEN)

Mochammad Idna Fathur Khairi


Mahasiswa S1 Jurusan Arsitektur Universitas Katolik Parahyangan

Abstract
Cirebon city belong to a silk route or trade route, therefore, Cirebon city is much
visited by many merchants who were trading or just stopping by. It is undeniable, many
cultures are brought in and thriving in this city. Cirebonese mosque’s architecture is a
cultural product that is inseparable from cultural diversity.
In Islam, it is known a private and sacred place. According to Islamic teaching,
that place is a worship place to become closer to The Creator. The sacred space
allocation is represented in space composition from the opening entry gate to an
enclosed space. Basically, the ornament is a characteristic of a particular region or a
cultural representation that is brought in to that particular region. So there is a distinction
on every culture influencing composition and ornament. This study aims to discover any
cultural influences that affects the spatial and ornamentation in Panjunan Mosque’s and
Sang Cipta Rasa Great Mosque’s architecture, so that by discovering the cultural
influence, the persistence of utilization and physical change form on mosque building.
Cultural diversity that influences mosque architecture affects its form and ornaments.
However, as the time progressed, either in ritual space ordinances or social perspective,
cultural influences is also developing.
This conducted study is a qualitative study utilizing analytical description method.
The study was conducted in August to November 2017 and collecting research object of
Panjunan mosque and Sang Cipta Rasa great mosque. Selection of research object is
utilizing purposive sampling method. Data used on this study is data from the field and
relevant literature references. This study sums up that Javanese and Hindu culture are
the most influential culture on those two mosques.

KeyWords: Culture, Cirebon, Mosque, Ornament, Change, Space Order

Abstrak
Kota Cirebon merupakan kota yang termasuk dalam jalur sutera atau jalur
perdagangan, oleh karena itu Kota Cirebon banyak dikunjungi oleh saudagar-saudagar
yang berdagang maupun singgah dan tidak bisa dipungkiri berbagai budaya ikut terbawa
dan berkembang di kota Cirebon. Arsitektur Masjid Cirebon merupakan produk budaya,
tidak bisa dilepaskan dari pengaruh keragaman budaya.
Penelitian yang dilakukan bersifat kualitatif, dengan menggunakan metode
deskriptif analisis. Penelitian dilakukan pada bulan Agustus hingga November 2017 dan
mengambil objek penelitian berupa Masjid Panjunan serta Masjid Agung Sang Cipta
Rasa. Pemilihan objek dilakukan dengan metoda purposive sampling. Data yang
digunakan pada penelitian ini merupakan data dari lapangan, dan buku-buku referens
yang relevan dengan topik penelitian.
Dalam Agama Islam dikenal dengan tempat kesakralan yang bersifat privat,
menurut ajaran Islam tempat tersebut adalah tempat ibadah untuk mendekatkan diri

MAKALAH• SKRIPSI ARSITEKTUR • 43 • SEMESTER GASAL 2017-2018 1


dengan Sang Pencipta. Pembagian ruang sakral tersebut direpresentasikan pada
gubahan ruang dari pintu masuk yang terbuka hingga ruang yang tertutup. Ornamen
pada dasarnya merupakan ciri khas suatu daerah tersebut atau representasi dari budaya
yang masuk ke Cirebon. Sehingga terdapat perbedaan pada setiap budaya yang
memengaruhi gubahan bentuk serta ornamen. Penelitian ini melihat pengaruh budaya
apa saja yang memengaruhi tata ruang dan ornamentasi Arsitektur Masjid Panjunan dan
Arsitektur Masjid Agung Sang Cipta Rasa, sehingga dengan diketahuinya pengaruh
budaya tersebut persistensi penggunaan serta perubahan-perubahan wujud-fisik pada
bangunan masjid. Keanekaragaman budaya yang memengaruhi arsitektur masjid, turut
memengaruhi bentuk dan ragam ornamennya. Namun seiring berkembangnya zaman.
Baik dari tata cara ritual maupun perspektif sosial maka pengaruh budaya pun turut
berkembang.

Kata Kunci : Masjid, Cirebon, Tata Ruang, Ornamen, Budaya, Perubahan

1. Pendahuluan
Masjid Sang Cipta Rasa dan Masjid Panjunan Cirebon termasuk dalam beberapa
masjid peninggalan pada zaman Kerjaaan Majapahit abad ke-15. Dilihat dari segi kota,
Kota Cirebon merupakan kota pelabuhan yang menjadi tempat persinggahan untuk para
saudagar-saudagar dan pedagang yang datang ke Jawa Barat. Maka dari itu banyak
sekali budaya yang masuk ke Kota Cirebon sehingga banyak terjadi akulturasi, antara
lain budaya Hindu, Jawa, Cina dan Islam, serta Kolonial. Masjid Sang Cipta rasa dan
Masjid Panjunan merupakan contoh dari tempat ibadah agama Islam yang kental akan
akulturasi budaya pada bangunannya. Masjid Sang Cipta Rasa merupakan masjid yang
dirancang oleh Sunan Kali Jaga dan Raden Sepat. Sunan Kali Jaga merupakan salah
satu dari Wali Songo yang membawa pengaruh Islam di Pulau Jawa. Raden Sepat
adalah seorang Arsitek Majapahit yang menjadi tawanan setelah perang Demak-
Majapahit. Sunan Kali Jaga sendiri dipercaya menjadi arsitek Masjid Agung Demak.
Raden Sepat ditunjuk sebagai arsitek juga untuk membangun Masjid Sang Cipta Rasa
karena pembangunan masjid ini terjadi pada abad ke-15 yaitu masih jaman Kerajaan
Majapahit. Raden Sepat merupakan salah satu mantan pemimpin pasukan di Jawa
Barat, sehingga beliau dan pasukannya ditunjuk untuk membantu proses pembangunan
Masjid Sang Cipta Rasa ini.
Masjid Panjunan merupakan masjid yang dirancang oleh Sunan Gunung Jati.
Dahulu masjid ini bernama Masjid Al-Atiyah yang artinya pemberian karunia. Setelah
Sunan Gunung Jati menjadi raja maka kepengurusan masjid ini diserahkan kepada
Syekh Abdurrahman Al-Magrobi atau yang dikenal dengan Pangeran Panjunan. Nama
masjid Merah sendiri diberikan bukan karena warnanya yang serba merah, melainkan
karena di Masjid ini tidak pernah dipakai solat Jumat. Merah artinya libur. Setiap hari
solat Jumat dilaksanakan di Masjid Agung Sang Cipta Rasa Kasepuhan Cirebon,
sehingga kegiatan di Masjid Merah “diliburkan”. Awalnya masjid ini merupakan langgar
atau musala sederhana. Namun karena lingkungan tersebut menjadi tempat bertemu
pada pedagang dari berbagai suku bangsa, Pangeran Panjunan berinisiatif membangun
musala tersebut menjadi masjid dengan perpaduan budaya dan agama sebelum Islam.
Dalam pandangan masyarakat bangunan ibadah agama Islam, sudah terbentuk
dengan sendirinya oleh adanya pengaruh lingkungan pada masyarakat tersebut. Dari hal
tersebut sangat jelaslah bahwa kedua bangunan ibadah ini (Masjid Sang Cipta Rasa dan
Masjid Panjunan) sangat kental akan fungsi masjid yang tercampur dengan budaya
lainnya.
Pengaruh paling sederhana yang terlihat adalah pengaruh pada ornamen dan tata
ruang pada kedua masjid tersebut. Hal ini sangat menarik untuk diteliti karena ornamen
dan tata ruang merupakan hal yang paling mudah dilihat akan budaya yang
memengaruhinya.

Mochammad Idna Fathur Khairi


2 Pengaruh Hindu, Jawa, Islam, Cina dan Kolonial pada Arsitektur Masjid Panjunan dan Masjid Agung Sang
Cipta Rasa di Cirebon (Suatu Kajian Tata Ruang dan Ornamen)
2. Langgam Arsitektur
Langgam arsitektur adalah bagian dari budaya sedangkan budaya adalah hasil
karya dari manusia. Langgam itu adalah bahasa indonesia terjemahan dari kata style,
atau kata gaya kadang bertabrakan arti dengan force, contoh gaya berat dll. Langgam
arsitektur ini berarti suatu hal yang terkait dengan suatu ciri khas , yang terdiri dari bentuk
atau sosok, tata ruang dan massa dan ornamentasi. Sebuah karya arsitektur dapat
berlanggam arsitektur modern, langgam arsitektur post-modern, langgam arsitektur
dekontruksi, langgam arsitektur klasik, langgam arsitektur vernakular dan yang lainnya.

Gambar 1 : Skema Langgam Arsitektur

Suatu langgam arsitektur di dalam suatu komunitas atau daerah dapat terbentuk
oleh suatu kebutuhan akan bangunan yang kemudian kebutuhan itu dibentuk melalui
kegiatan bersama yang pada akhirnya menjadi identitas komunitas tersebut. Suatu
proses penggabungan langgam arsitektur terjadi karena adanya budaya-budaya atau
langgam arsitektur yang masuk ke dalam komunitas tersebut dan diterima oleh
komunitas tersebut, sehingga terjadilah suatu bentuk proses sosial yang berupa
percampuran budaya yang menghasilkan suatu identitas dan jati diri dari sebuah
peradaban baru.

Ruang merupakan elemen yang sangat penting dalam arsitektur. Secara harfiah,
ruang (space) berasal dari bahasa Latin, yaitu spatium yang berarti ruangan atau luas
(extent). Jika dilihat dalam bahasa Yunani dapat diartikan sebagai tempat (topos) atau
lokasi (choros) yaitu ruang yang memiliki ekspresi kualitas dimensi tiga. Menurut
Aristoteles, ruang adalah suatu yang terukur dan terlihat, dibatasi oleh kejelasan fisik,
enclosure yang terlihat sehingga dapat dipahami keberadaanya dengan jelas dan mudah.

Menurut Mircea Eliade, kesakralan selalu memanisfestasikan dirinya sebagai


sebuah realitas yang secara keseluruhannya dari realitas-realitas alami. Yang sakral
identik dengan hal-hal yang bersifat keilahian (ketuhanan) dan transenden. Semua
agama yang dianut manusia di muka bumi ini berurusan dengan penghambaan dirinya
kepada Tuhan yang berada di tempat yang tidak terjangkau (transenden). Tempat yang
tidak terjangkau ini identik dengan Yang di atas. Yang di atas merupakan orientasi, oleh
karenanya Yang sakral memberikan syarat adanya sebuah orientasi. (Eliade, 1959;
1
Akkach, 2005). Bangunan keagamaan adalah bangunan yang sakral.

MAKALAH• SKRIPSI ARSITEKTUR • 43 • SEMESTER GASAL 2017-2018 3


3. Budaya
Budaya merupakan suatu manifestasi dari daerah yang ada karena setiap daerah
memiliki budaya sendiri. Atau bisa dibilang budaya sendiri merupaka hal bawaan dari
para pengunjung yang diadaptasi oleh penduduk setempat, dimana hal terbut bisa
menjadi ciri khas suatu daerah dan berdampak pada masyarakat yang tinggal dan
mengunjunginya.

Budaya Hindu Memahami ruang candi pada hakikatnya tidak hanya merujuk pada
massa solid (ruang dalam) saja melainkan juga berkaitan dengan void (ruang luarnya).
Komposisi yang sinergis antara ruang dalam dan luar membentuk susunan cluster
geometrik merupakan karakter tata ruang dan massa yang ditunjukkan dari suatu candi.
Perletakan pengelompokan candi diduga berhubungan erat dengan alam pikiran dan
keadaan masyarakat pada jaman itu. Bentuk perletakan tersebut oleh para ahli kemudian
dianalogikan dengan sistem pemerintahan dari kerajaan tersebut, yang terdiri dari daerah
bawahan (swahtara) yang mempunyai kedudukan sama, baik sentralistik maupun
federal. Namun demikian bahwa komposisi perletakan candi tidak terlepas dari konsep
mandala yang dipergunakan, baik yang bersifat Hindu maupun Budha.

Persyaratan bangunan suci menurut manasara-silpasastra-silpaprakasa sebaiknya


didirikan di dekat thirtha/air baik di sungai, terutama di dekat pertemuan dua buah sungai,
danau, laut, bahkan jika diperlukan harus dibuat kolam buatan di halaman kuil, atau
diletakkan sebuah jambangan berisi air dekat gerbang masuk. Tempat yang ideal untuk
mendirikan kuil menurut Tantra Samuccaya adalah di daerah ksetra meliputi puncak
bukit, di lereng gunung, di hutan, di lembah. (Kramrisch 1946,1:3-7). Dalam
hubungannya dengan air, maka hal ini sangat sesuai dengan inti ritual Hinduisme yaitu
‘mandi’. Perletakan candi masa Majapahit memiliki 3 tipe yaitu :

Gambar 2 : Tata Peletakan Candi Tipe 1 Gambar 3 : Tata Peletakan Candi Tipe 2

Gambar 4 : Tata Peletakan Candi Tipe 3

Budaya Cina Klenteng di Indonesia, khususnya di pulau Jawa memiliki dua


kelompok utama bentuk denah dasar ruang utama klenteng, yaitu ruang tunggal dan
ruang yang menyatu dalam pola denah courtyard San-He-Yuan. Dan biasanya, klenteng
yang mempergunakan pola denah courtyard adalah klenteng yang termasuk ke dalam
golongan klenteng tua. Di negeri asalnya, denah dasar courtyard atau yang disebut
dengan Si-He-Yuan merupakan perkembangan dari bentuk denah yang lebih sederhana.

Mochammad Idna Fathur Khairi


4 Pengaruh Hindu, Jawa, Islam, Cina dan Kolonial pada Arsitektur Masjid Panjunan dan Masjid Agung Sang
Cipta Rasa di Cirebon (Suatu Kajian Tata Ruang dan Ornamen)
Dimulai dari denah 3 jian (ruang). Denah tipe ini biasa disebut dengan satu hall dua
kamar Yi-Tang-Er-Nei atau satu terang dua gelap.

Gambar 5 : Denah awal San-He-Yuan Gambar 6 : Denah San-He-Yuan

Perkembangan selanjutnya adalah hunian yang lebih besar dan dianggap lengkap
yang dikenal dengan bentuk Si-He-Yuan dengan courtyard di dalam. Denahnya biasanya
berorientasi sumbu simetris Utara-Selatan, serta muka bangunan dianjurkan menghadap
Selatan untuk memperoleh panas dan sinar matahari secara maksimal. Dinding sisi
Utara yang rapat melindungi penghuni dari arus hawa dingin dan debu pasir yang bertiup
dari arah ini. Suatu penyikapan tradisional untuk memberikan privasi namun
mendapatkan udara dan sinar matahari.

Gambar 7 : Denah San-He-Yuan

Budaya Jawa konsep ruang dalam rumah tinggal menurut tradisi arsitektur Jawa
pada kenyataannya berbeda dengan konsep ruang menurut tradisi Barat. Tidak ada
sinonim kata ruang dalam bahasa Jawa, yang mendekati adalah Nggon, kata kerjanya
menjadi Manggon dan Panggonan berarti tempat atau Place. Jadi bagi masyarakat
tradisional Jawa lebih tepat pengertian tempat dari pada ruang. Rumah tinggal bagi
masyarakat Jawa dengan demikian adalah tempat atau tatanan tempat, konsep ruang
geometris tidak relevan dalam pengertian rumah tinggal Jawa. Pengertian tempat lebih
lanjut dapat dilihat pada bagian-bagian rumah tinggal orang Jawa.

Gambar 8 : Konsep Ruang pada Rumah Tradisional Jawa

MAKALAH• SKRIPSI ARSITEKTUR • 43 • SEMESTER GASAL 2017-2018 5


Pada rumah induk (omah) istilah dalem dapat diartikan sebagai keakuan orang
Jawa karena kata dalem adalah kata ganti orang pertama (aku) dalam bahasa Jawa
halus. Dasar keakuan dalam pandangan dunia Jawa terletak pada kesatuan dengan Illahi
yang diupayakan sepanjang hidupnya dalam mencari sangkan paraning dumadi dengan
selalu memperdalam rasa yaitu suatu pengertian tentang asal dan tujuan sebagai mahluk
(Magnis Suseno,1984:40). Sentong tengah yang terletak dibagian Omah merupakan
tempat bagi pemilik rumah untuk berhubungan dan menyatu dengan Illahi sedangkan
Pendopo merupakan sarana untuk berkomunikasi dengan sesama manusianya
(Priyotomo,1984:35). Demikianlah pengertian ruang dalam rumah tinggal Jawa ini
mencakup aspek tempat, waktu dan ritual. Rumah tinggal merupakan tempat
menyatunya jagad-cilik (micro cosmos) yaitu manusia Jawa dengan jagad-gede (macro-
cosmos) yaitu alam semesta dan kekuatan gaib yang menguasainya. Bagi orang Jawa
rumah tinggalnya merupakan poros dunia (axis-mundi) dan gambaran dunia atau imago-
mundhi dan memenuhi aspek kosmos dan pusat (Tjahjono,1989:22).

Gambar 9 : Tatanan Massa Rumah Jawa

Budaya Islam Arsitektur Arab sangat berhubungan erat dengan arsitektur Islam,
hal ini tidak terlepas dari penyebaran agama Islam yang bermula dari daerah jazirah
Arab. Nilai-nilai spritualitas dalam arsitektur Islam biasanya diimbangi dengan nilai-nilai
estetika yang dimilikinya, yang merupakan sebuah kolaborasi dari keindahan lahiriah
dengan nilai-nilai batiniah yang terdapat di dalamnya.

Sosok yang paling identik dengan arsitektur Islam adalah Masjid. Sosok atau
bentuk masjid berbeda-beda di setiap sesuai dengan kultur masing-masing wilayah
tempat masjid itu berdiri, hal ini disebabkan sebuah pertimbangan memadukan unsur –
unsur budaya lama dengan budaya baru dalam arsitektur Islam menandakan adanya
proses perpaduan budaya dalam perwujudan arsitektur Islam.

Penyebaran agama Islam dilakukan tanpa kekerasan sehingga sebagian nilai–


nilai lama masih tetap diterima untuk dikembangkan. Ajaran Islam yang masuk tanpa
kekerasan dan bersifat terbuka terhadap
unsur–unsur kebudayaan lama yang telah ada
mempengaruhi wujud dalam arsitektur Islam,
khususnya arsitektur Mesjid. Karena itulah
bangunan–bangunan mesjid yang ada di dunia
ini dipengaruhi oleh faktor sejarah, latar
belakang kebudayaan daerah, lingkungan,
serta adat istiadat masyarakat setempat.

Budaya Kolonial Arsitektur Kolonial


didasari dari perilaku penggunanya, secara
rentang waktu Bangsa Kolonial datang ke
Indonesia tidak semata-matakan mereka
mengganti pola ruang yang sudah ada, namun Gambar 10 : Variasi Bentuk Gable
pada dasarnya mereka menggabungkan

Mochammad Idna Fathur Khairi


6 Pengaruh Hindu, Jawa, Islam, Cina dan Kolonial pada Arsitektur Masjid Panjunan dan Masjid Agung Sang
Cipta Rasa di Cirebon (Suatu Kajian Tata Ruang dan Ornamen)
penggunaan ruang yang sudah ada di Indonesia dengan kegiatan mereka pada saat
disini. Arsitektur kolonial menyiratkan adanya akulturasi diiringi oleh proses adaptasi
antara dua bangsa berbeda. Proses adaptasi yang dialami oleh dua bangsa terbentuk
dengan apa yang dinamakan Arsitektur Kolonial. Hal ini mencakup penyelesaian
masalah-masalah yang berhubungan dengan perbedaan iklim, ketersediaan material,
cara membangun, ketersediaan tenaga kerja, dan seni budaya yang terkait dengan
estetika. Ditinjau dari proses akulturasi yang terjadi, terdapat dua faktor yang
mempengaruhi terbentuknya Arsitektur Kolonial Belanda, yaitu faktor budaya setempat
dan faktor budaya asing Eropa atau Belanda. Menurut Yuswadi Saliya, penggunaan
ruang teras yang pada awalnya berukuran kecil dan digunakan sebagai ruang kumpul,
dimodifikasi dengan cara memperbesar ruang tersebut. Karena pada waktu tertentu
penggunaan ruang teras digunakan sebagai Tea Time dan dipakai untuk berkumpul
sehingga ruang lebih besar. Dalam bentuk pengaplikasian lainnya, Arsitektur Kolonial
biasanya menggunakan gable pada fasad bangunannya dan biasanya berentuk segitiga.

4. Masjid
Masjid Panjunan terletak di Jalan Kolektoran, dimana Jalan Kolektoran
merupakan sebuah jalan kolektor ( jalan kecil ) yang merupakan penghubung jalan besar
yaitu Jalan Karang Getas. Bila melihat kondisi seperti ini masjid panjunan terletak di
daerah yang tidak terlalu ramai sehingga tidak mengganggu masyarakat yang sedang
beribadah di masjid ini. Di dukung dengan kondisi keadaan sekitar masjid yang dikelilingi
oleh bangunan bangunan rumah tinggal. Bangunan rumah tinggal di sekitar masjid ini
rata rata bergaya arsitektur kolonial.

Gambar 11 : Masjid Panjunan

Masjid ini merupakan salah satu masjid tertua di Cirebon. Umur masjid ini lebih
tua dari masjid Sang Cipta Rasa yang terletak di wilayah Keraton Kasepuhan Cirebon.
Masjid Panjunan terletak disebelah utara Keraton Kasepuhan, seperti keraton yang
lainnya Keraton Kasepuhan berorientasi ke arah utara. Meskipun terletak dalam satu
garis lurus tidak terindikasi adanya hubungan antara Masjid Merah Panjunan dengan
Keraton Kasepuhan, hal ini dilatarbelakangi oleh pendiri dari masing – masing tempat
yang berbeda dimana Masjid Merah Panjunan didirikan oleh Maulana Abdul Rahman
sedang Keraton Kasepuhan didirikan oleh Sunan Gunung Jati. Menurut penuturan warga
di sekitar objek penelitian, Sunan Gunung Jati hanya turut serta dalam proses
pengembangan Masjid Merah Panjunan Cirebon bukan ikut serta dalam perancangan
awal masjid.

MAKALAH• SKRIPSI ARSITEKTUR • 43 • SEMESTER GASAL 2017-2018 7


Masjid ini merupakan salah satu masjid tertua di Cirebon. Umur masjid ini lebih
tua dari masjid Sang Cipta Rasa yang terletak di wilayah Keraton Kasepuhan Cirebon.
Masjid Panjunan terletak disebelah utara Keraton Kasepuhan, seperti keraton yang
lainnya Keraton Kasepuhan berorientasi ke arah utara. Meskipun terletak dalam satu
garis lurus tidak terindikasi adanya hubungan antara Masjid Merah Panjunan dengan
Keraton Kasepuhan, hal ini dilatarbelakangi oleh pendiri dari masing – masing tempat
yang berbeda dimana Masjid Merah Panjunan didirikan oleh Maulana Abdul Rahman
sedang Keraton Kasepuhan didirikan oleh Sunan Gunung Jati. Menurut penuturan warga
di sekitar objek penelitian, Sunan Gunung Jati hanya turut serta dalam proses
pengembangan Masjid Merah Panjunan Cirebon bukan ikut serta dalam perancangan
awal masjid.

Masjid ini merupakan sebuah masjid berumur sangat tua yang didirikan pada
tahun 1480 oleh Maulana Abdul Rahman atau Pangeran Panjunan. Ia adalah seorang
keturunan Arab yang memimpin sekelompok imigran dari Baghdad, dan kemudian
menjadi murid Sunan Gunung Jati. Masjid Merah Panjunan terletak di sebuah sudut jalan
di Kampung Panjunan, kampung dimana terdapat banyak pengrajin tembikar.

Masjid Panjunan semula bernama mushala Al-Athya namun karena pagarnya


yang terbuat dari bata merah menjadikan masjid ini lebih terkenal dengan sebutan Masjid
Merah Panjunan. Awalnya masjid ini merupakan tajug atau Mushola sederhana, karena
lingkungan tersebut adalah tempat bertemunya pedagang dari berbagai suku bangsa,
Pangeran Panjunan berinisiatif membangun Mushola tersebut menjadi masjid dengan
perpaduan budaya dan agama sejak sebelum Islam masuk ke daerah pesisir jawa, yaitu
Hindu – Budha. Masjid Merah Panjunan ini tidak memiliki mimbar, karena masjid ini
hanya digunakan untuk sholat sehari-hari, tidak untuk ibadah sholat Jumat, atau sholat
berjamaah di Hari Raya Islam. Selain itu Masjid Merah Panjunan juga di sebut juga
Masjid Awal dan akhir karena di bangun sebelum dan sesudahnya Masjid Kasepuhan,
Cirebon. Terdapat sebuah ruangan yang disakralkan atau disucikan derajatnya di masjid
ini sehingga ruangan tersebut hanya dibuka pada hari besar umat muslim yaitu pada Hari
Raya Idul Fitri dan Idul Adha. Masjid Merah Panjunan saat ini telah dimasukkan sebagai
objek cagar budaya di Cirebon.

Masjid Agung Sang Cipta Rasa terletak di Jalan Kasepuhan, dimana jalan
Kasepuhan merupakan bagian dari wilayah Keraton Kasepuhan Cirebon. Bila melihat
kondisi seperti ini Masjid Agung Sang Cipta Rasa terletak di daerah yang ramai karena
pada dasarnya Masjid Agung Sang Cipta Rasa biasa disebut juga sebagai Masjid
Kasepuhan, karena letaknya yang berada pada komplek Keraton Kasepuhan. Bagian
belakang masjid saat ini merupakan kawasan perumahan sedangkan bagian depan
masjid merupakan alun-alun Kota Cirebon.

Gambar 12 : Masjid Agung Sang Cipta Rasa

Mochammad Idna Fathur Khairi


8 Pengaruh Hindu, Jawa, Islam, Cina dan Kolonial pada Arsitektur Masjid Panjunan dan Masjid Agung Sang
Cipta Rasa di Cirebon (Suatu Kajian Tata Ruang dan Ornamen)
Situs pemerintah propinsi Jawa Barat menyebutkan bahwa : “Mesjid Agung Sang
Cipta Rasa dibangun pada tahun 1489 M oleh Wali Sanga atas prakarsa Sunan Gunung
Jati. Pembangunannya dipimpin oleh Sunan Kalijaga dengan arsitek Raden Sepat (dari
Majapahit) bersama dengan 200 orang pembantunya (tukang) yang berasal dari Demak.
Mesjid ini dinamai Sang Cipta Rasa karena merupakan pengejawantahan dari rasa dan
kepercayaan.
Penduduk Cirebon pada masa itu menamai mesjid ini Mesjid Pakungwati karena
dulu terletak dalam komplek Keraton Pakungwati. Sekarang mesjid ini terletak di depan
komplek Keraton Kesepuhan. Menurut cerita rakyat, pembangunan mesjid ini hanya
dalam tempo satu malam; pada waktu subuh keesokan harinya telah dipergunakan untuk
shalat Subuh”.
Masjid Sang Cipta Rasa ini menjadi tempat tutup usianya Ratu Dewi Pakungwati
binti Pangeran Cakrabuana yang menikah dengan Sunan Gunung Jati, dalam usia yang
sangat tua di tahun 1549. Nama keraton Pakungwati bagi keraton kesultanan Cirebon
(kini menjadi keraton Kasepuhan) dinisbatkan kepada dirinya karena memang dibangun
oleh Pangeran Cakrabuana, ayahanda beliau yang juga merupakan putra dari Prabu
Siliwangi, Raja Pajajaran.
Adapun Raden Sepat sebelumnya merupakan panglima pasukan Majapahit yang
ditugasi memimpin pasukan menyerbu dan menaklukan Kesultanan Demak yang baru
berdiri. Penyerbuan yang berahir dengan kekalahan. Beliau dan sisa pasukannya tak
pernah kembali ke Majapahit karena memutuskan untuk mengabdi kepada Sultan Demak
dan masuk Islam.
Bangunan Masjid Agung Sang Cipta Rasa ini dapat dikenali dari tembok pagar
dan gapuranya yang sangat khas. Tembok pagar masjid ini menggunakan susunan bata
merah tanpa di plester memberikan kesan yang sangat unik, ditambah dengan padanan
gerbang paduraksa yang kini menjadi ikon masjid Sang Cipta Rasa.

4. Tata Ruang
Tata ruang Masjid Panjunan ini mengadopsi tata ruang masjid pada umumnya
hanya masjid ini tidak memiliki minaret atau menara. Selain itu pembagian ruang pada
bangunan inti masjid ini yang terdiri dari ruang sakral, ruang shalat dan ruang pendopo
yang serupa dengan pembagian ruang pada rumah tradisional Jawa yaitu pendapa,
pringitan dan dalem atau omah. Hal ini dapat dikatakan serupa karena pembagian sifat
ruangan yang semakin kedalam semakin bersifat privat, dalam kepercayaan masyarakat
Jawa semakin dalam ruang pada rumah semakin bersifat sakral yang dalam hal ini dapat
diartikan privat.

Gambar 13 : Zoning Ruang Masjid Panjunan

Konfigurasi ruang rumah tradisional Jawa membentuk tatanan tiga bagian linier ke
belakang. Bagian depan pendopo, di tengah peringgitan dan yang paling belakang dan
terdalam adalah dalem atau omah. Rumah tinggal orang Jawa selalu memperhatikan

MAKALAH• SKRIPSI ARSITEKTUR • 43 • SEMESTER GASAL 2017-2018 9


keselarasan dengan kosmosnya dalam pengertian selalu memperhatikan dan
menghormati potensi-potensi tapak yang ada disekitarnya. Konsep ruang tidak seperti
yang dimiliki oleh konsep ruang barat tetapi lebih berkarakter tempat (place) yang sangat
dipengaruhi oleh dimensi waktu dan ritual

Gambar 14 : Perbandingan dengan Jogjlo

Tata ruang Masjid Agung Sang Cipta Rasa ini sama dengan Masjid Panjunan
sama-sama tidak memiliki minaret atau menara. Selain itu pembagian ruang pada
bangunan inti masjid ini yang terdiri dari ruang sakral, ruang shalat dan ruang pendopo
yang serupa dengan pembagian ruang pada rumah tradisional Jawa yaitu pendapa,
pringitan dan dalem atau omah. Hal ini dapat dikatakan serupa karena pembagian sifat
ruangan yang semakin kedalam semakin bersifat privat, dalam kepercayaan masyarakat
Jawa semakin dalam ruang pada rumah semakin bersifat sakral yang dalam hal ini dapat
diartikan privat.

Gambar 15 : Zoning Ruang Masjid Agung Sang


Cipta Rasa

Sedangkan tata ruang pada Arsitektur Cina dan Arsitektur Jawa masa Majapahit
tidak terdapat pada tata ruang pada Masjid Agung Sang Cipta Rasa. Contoh tata ruang
Arsitektur Cina adalah seperti denah San-He-Yuan dan tata ruang arsitektur Jawa masa
Majapahit adalah seperti denah candi.

Mochammad Idna Fathur Khairi


10 Pengaruh Hindu, Jawa, Islam, Cina dan Kolonial pada Arsitektur Masjid Panjunan dan Masjid Agung Sang
Cipta Rasa di Cirebon (Suatu Kajian Tata Ruang dan Ornamen)
Gambar 16 : Denah San-He-Yuan Gambar 17 : Denah Candi Jabung

5. Ornamen
Keragaman ornamen-ornamen yang ditemukan pada Masjid Panjunan ini
beragam. Hal ini diperkuat dengan ditemukannya ornamen-ornamen yang berasal dari
langgam arsitektur Jawa masa Majapahit, langgam Arsitektur Cina dan langgam
Arsitektur Islam pada masjid ini. Secara umum ornamen yang ditemukan pada Masjid
Panjunan merupakan ornamen-ornamen yang mengacu pada bentuk-bentuk geometris
dan flora. Tidak ditemukan ornamen-ornamen yang berbentuk relief cerita ataupun
patung-patung dikarenakan fungsi bangunan ini adalah masjid dan masjid merupakan
tempat shalat atau tempat beribadah bagi umat Muslim. Selain itu tidak adanya ornamen
berbau relief atau patung dikarenakan ajaran umat Muslim yang melarang segala hal
yang berbau supranatural atau mistik karena dikhawatirkan akan menyimpangkan iman
pada saat beribadah. Berikut ini akan dibahas secara merinci tentang ornamen-ornamen
yang terdapat pada Masjid Panjunan.

Gambar 18 : Memolo

Gambar 19 : Pembagian Kolom

MAKALAH• SKRIPSI ARSITEKTUR • 43 • SEMESTER GASAL 2017-2018 11


Gambar 20 : Kepala Kolom

Gambar 21 : Badan dan Kaki Kolom

Gambar 22 : Ornamen pada Balok

Gambar 23 : Ornamen pada Pintu Gambar 24 : Ornamen pada Pintu

Gambar 25 : Ornamen pada Pintu Gambar 26 : Ornamen pada Pintu

Mochammad Idna Fathur Khairi


12 Pengaruh Hindu, Jawa, Islam, Cina dan Kolonial pada Arsitektur Masjid Panjunan dan Masjid Agung Sang
Cipta Rasa di Cirebon (Suatu Kajian Tata Ruang dan Ornamen)
Gambar 27 : Ornamen pada Dinding

Gambar 28 : Ornamen pada Dinding

Gambar 31 : Ornamen pada Pagar

Gambar 29 : Ornamen pada Pagar

Gambar 32 : Ornamen pada Pagar

Gambar 30 : Ornamen pada Pagar

Gambar 33 : Ornamen pada Pagar

MAKALAH• SKRIPSI ARSITEKTUR • 43 • SEMESTER GASAL 2017-2018 13


Gambar 34 : Ornamen pada Mihrab Gambar 35 : Ornamen pada Mihrab

Keragaman ornamen-ornamen yang ditemukan pada Masjid Agung Sang Cipta


Rasa ini sangatlah beragam. Hal ini diperkuat dengan ditemukannya ornamen-ornamen
yang berasal dari langgam arsitektur Jawa masa Majapahit, langgam Arsitektur Cina dan
langgam Arsitektur Islam pada masjid ini. Secara umum ornamen yang ditemukan pada
Masjid Agung Sang Cipta Rasa merupakan ornamen-ornamen yang mengacu pada
bentuk-bentuk geometris dan flora. Tidak ditemukan ornamen-ornamen yang berbentuk
relief cerita ataupun patung-patung dikarenakan fungsi bangunan ini adalah masjid dan
masjid merupakan tempat shalat atau tempat beribadah bagi umat Muslim. Selain itu
tidak adanya ornamen berbau relief atau patung dikarenakan ajaran umat Muslim yang
melarang segala hal yang berbau supranatural atau mistik karena dikhawatirkan akan
menyimpangkan iman pada saat beribadah. Berikut ini akan dibahas secara merinci
tentang ornamen-ornamen yang terdapat pada Masjid Agung Sang Cipta Rasa.

Gambar 36 : Ornamen pada Lisplang

Gambar 37 : Ornamen pada Kepala Kolom

Mochammad Idna Fathur Khairi


14 Pengaruh Hindu, Jawa, Islam, Cina dan Kolonial pada Arsitektur Masjid Panjunan dan Masjid Agung Sang
Cipta Rasa di Cirebon (Suatu Kajian Tata Ruang dan Ornamen)
Gambar 38 : Ornamen pada Kaki Kolom Gambar 39 : Ornamen pada Balok

Gambar 40 : Ornamen pada Pintu Gambar 41 : Ornamen pada Pintu

MAKALAH• SKRIPSI ARSITEKTUR • 43 • SEMESTER GASAL 2017-2018 15


Gambar 42 : Ornamen pada Dinding Gambar 43 : Ornamen pada Dinding

Gambar 44 : Ornamen pada Dinding

Gambar 45 : Ornamen pada Dinding

Gambar 46 : Ornamen pada Dinding

Gambar 47 : Ornamen pada Pagar

Gambar 48 : Ornamen pada Pagar

Mochammad Idna Fathur Khairi


16 Pengaruh Hindu, Jawa, Islam, Cina dan Kolonial pada Arsitektur Masjid Panjunan dan Masjid Agung Sang
Cipta Rasa di Cirebon (Suatu Kajian Tata Ruang dan Ornamen)
Gambar 49 : Ornamen pada Pagar

Gambar 50 : Ornamen pada Pagar

Gambar 51 : Ornamen pada Pagar

Gambar 52 : Ornamen pada Pagar Gambar 53 : Ornamen pada Pagar

MAKALAH• SKRIPSI ARSITEKTUR • 43 • SEMESTER GASAL 2017-2018 17


Gambar 54 : Ornamen pada Mihrab

Gambar 55 : Ornamen pada Mihrab

Gambar 56 : Ornamen pada Mihrab

Gambar 57 : Ornamen pada Mihrab

Mochammad Idna Fathur Khairi


18 Pengaruh Hindu, Jawa, Islam, Cina dan Kolonial pada Arsitektur Masjid Panjunan dan Masjid Agung Sang
Cipta Rasa di Cirebon (Suatu Kajian Tata Ruang dan Ornamen)
6. Penutup
Tata ruang dan ornamentasi dari Masjid Panjunan dan Masjid Agung Sang Cipta
Rasa merupakan campuran dari beberapa budaya yang masuk ke Kota Cirebon. Kedua
masjid tersebut sangat didominasi oleh pengaruh dari Arsitektur Jawa zaman Kerajaan
Majapahit. Hal ini bisa terjadi karena pada dasarnya pembangunan masjid tersebut pada
abad ke-15, pada saat itu masih jaman Kerajaan Majapahit.
Pada kedua masjid tersebut, dapat dinyatakan bahwa terjadi percampuran
budaya yang sangat terlihat, dimana percampuran budaya tersebut menjadi proses
manifestasi dari sejarah yang telah lampau. Peninggalan-peninggalan tersebut
merupakan sumber ilmu pengetahuan akan sejarah suatu bangunan bahkan suatu kota
yang terpatri dalam sebentuk bangunan.

Acuan

1
Mircea, Eliade, 1959. Encyclopedia of Philosophy
2
Prajudi, Rahadian, H. 1999. Kajian Tipo-morfologi Arsitektur Candi di Jawa
3
Depdikbud, RI. 1998. Arsitektur Tradisional D.I. Yogyakarta
4
Laurence G, Liu. 1989. Chinese Architecture.
5
Knapp, Roland G. 1990. Chinese House: Craft, Symbol, and Folk Tradition
6
Critchlow, Keith. 1992. Islamic Patterns An Analytical and Cosmological Approach
7
Fanani, Achmad. 2009. Arsitektur Masjid
8
Nas, J.M. Peter. 2006. The Past in The Present Architecture in Indonesia

MAKALAH• SKRIPSI ARSITEKTUR • 43 • SEMESTER GASAL 2017-2018 19

You might also like