You are on page 1of 18

INFLAMMATORY DISORDERS OF

THE EYELIDS
BLEPHARITIS
It is a subacute or chronic inflammation of the lid
margins. It is an extremely common disease which
can be divided into following clinical types:
Seborrhoeic or squamous blepharitis,
Staphylococcal or ulcerative blepharitis,
Mixed staphylococcal with seborrhoeic blepharitis,
Posterior blepharitis or meibomitis, and
Parasitic blepharitis.
Seborrhoeic or squamous blepharitis
Etiology
.
It is usually associated with seborrhoea of
scalp (dandruff). Some constitutional and metabolic
factors play a part in its etiology. In it, glands of Zeis
secrete abnormal excessive neutral lipids which are
split by
Corynebacterium
acne
into irritating free fatty
acids.
Symptoms
.
Patients usually complain of deposition
of whitish material at the lid margin associated with
mild discomfort, irritation, occasional watering and a
history of falling of eyelashes.
Signs
.
Accumulation of white dandruff-like scales are
seen on the lid margin, among the lashes (Fig. 14.7).
On removing these scales underlying surface is found
to be hyperaemic (no ulcers). The lashes fall out
easily but are usually replaced quickly without
distortion. In long-standing cases lid margin is
thickened and the sharp posterior border tends to be
rounded leading to epiphora.
Treatment
.
General measures
include improvement
of health and balanced diet. Associated
seborrhoea
of the scalp
should be adequately treated.
Local
measures
include removal of scales from the lid margin
with the help of lukewarm solution of 3 percent soda
bicarb or baby shampoo and frequent application of
combined antibiotic and steroid eye ointment at the
lid margin.
Ulcerative blepharitis
Etiology
.
It is a chronic staphylococcal infection of
the lid margin usually caused by coagulase positive
strains. The disorder usually starts in childhood and
may continue throughout life. Chronic conjunctivitis
and dacryocystitis may act as predisposing factors.
Symptoms
.
These include chronic irritation, itching,
mild lacrimation, gluing of cilia, and photophobia. The
symptoms are characteristically worse in the morning.
Signs
(Fig. 14.8). Yellow crusts are seen at the root of
cilia which glue them together. Small ulcers, which
bleed easily, are seen on removing the crusts. In
between the crusts, the anterior lid margin may show
dilated blood vessels (rosettes).
Complications and sequelae
.
These are seen in long-
standing (non-treated) cases and include chronic
conjunctivitis, madarosis (sparseness or absence of
lashes), trichiasis, poliosis (greying of lashes), tylosis
(thickening of lid margin) and eversion of the punctum
leading to epiphora. Eczema of the skin and ectropion
may develop due to prolonged watering. Recurrent
styes is a very common complication.
Treatment
.
It should be treated promptly to avoid
complication and sequelae.
Crusts should be removed
Terjadi penurunan prevalensi kebutaan penduduk umur ≥6
tahun dari 0,9 persen (2007)
menjadi 0,4 persen (2013), sedangkan prevalensi katarak
semua umur tahun 2013 adalah
1,8 persen, kekeruhan kornea 5,5 persen, serta pterygium 8,3
persen. (riskesdas2013)

prevalensi pterygium, kekeruhan kornea, dan katarak secara


nasional berturut-turut adalah 8,3 persen; 5,5 persen; dan 1,8
persen. Prevalensi pterygium tertinggi ditemukan di Bali (25,2%),
diikuti Maluku (18,0%) dan Nusa Tenggara Barat (17,0%). Provinsi
DKI Jakarta mempunyai prevalensi pterygium terendah, yaitu 3,7
persen, diikuti oleh Banten 3,9 persen. Prevalensi kekeruhan
kornea tertinggi juga ditemukan di Bali (11,0%), diikuti oleh DI
Yogyakarta (10,2%) dan Sulawesi Selatan (9,4%). Prevalensi
kekeruhan kornea terendah dilaporkan di Papua Barat (2,0%) diikuti
DKI Jakarta (3,1%). Prevalensi katarak tertinggi di Sulawesi Utara
(3,7%) diikuti oleh Jambi(2,8%) dan Bali (2,7%).
Prevalensi katarak terendah ditemukan di DKI Jakarta (0,9%) diikuti
Sulawesi Barat (1,1%). Tiga alasan utama penderita katarak belum
dioperasi adalah karena ketidaktahuan (51,6%), ketidakmampuan
(11,6%), dan ketidakberanian (8,1%).
Gambar 3.15. 6 menunjukkan bahwa prevalensi pterygium nasional
adalah sebesar 8,3 persen dengan prevalensi tertinggi ditemukan di
Bali (25,2%), diikuti Maluku (18,0%) dan Nusa Tenggara Barat
(17,0%). Provinsi DKI Jakarta mempunyai prevalensi pterygium
terendah yaitu 3,7 persen, diikuti oleh Banten 3,9 persen.
Prevalensi kekeruhan kornea nasional adalah 5,5 persen dengan
prevalensi tertinggi juga ditemukan di Bali (11,0%), diikuti oleh DI
Yogyakarta (10,2%) dan Sulawesi Selatan (9,4%). Prevalensi
kekeruhan kornea terendah dilaporkan di Papua Barat (2,0%) diikuti
DKI Jakarta (3,1%).
Tabel 3.15.3 menunjukkan bahwa prevalensi pterygium dan
kekeruhan kornea semakin meningkat dengan bertambahnya umur.
Tidak lazim pterygium terjadi pada anak umur 0-4 tahun, sehingga
data prevalensi pterygium pada anak balita dalam analisis ini dinilai
kurang valid.
Prevalensi kekeruhan kornea yang meningkat seiring bertambahnya
usia mungkin disebabkan karena kurangnya ke ahli an enumerator
dalam melakukan penilaian untuk kekeruhan kornea, sehingga data
yang dikumpulkan cenderung kurang valid. Prevalensi pterygium
dan kekeruhan kornea pada laki-laki cenderung sedikit lebih tinggi
dibanding prevalensi pada perempuan. Prevalensi pterygium dan
kekeruhan kornea yang paling tinggi (16,8% untuk pterygium dan
13,6% untuk kekeruhan kornea) ditemukan pada kelompok
responden yang tidak sekolah. Petani/nelayan/buruh mempunyai
prevalensi pterygium dan kekeruhan kornea tertinggi (15,8% untuk
pterygium dan 9,7% untuk kekeruhan kornea) dibanding kelompok
pekerja lainnya. Tingginya prevalensi pterygium pada kelompok
pekerjaan tersebut mungkin berkaitan dengan tingginya paparan
matahari yang mengandung sinar ultraviolet. Sinar ultraviolet
merupakan salah satu faktor yang dapat meningkatkankejadian
pterygium. Prevalensi kekeruhan kornea yang tinggi pada kelompok
pekerjaan petani/nelayan/buruh mungkin berkaitan dengan riwayat
trauma mekanik atau kecelakaan kerja pada mata, mengingat
pemakaian alat pelindung diri saat bekerja belum optimal
dilaksanakan di Indonesia

Sistem indera merupakan salah satu sistem yang sangat berperan


dalam mengoptimalkan
proses perkembangan setiap individu. Sejak bayi sistem indera
merupakan alat utama manusia
untuk mengumpulkan berbagai informasi visual, audio, olfaktoris,
rasa, dan fisik. Informasi visual
ditangkap oleh mata (indera penglihatan), informasi audio ditangkap
oleh telinga (indera
pendengaran), informasi olfaktoris diterima oleh hidung (indera
penciuman), informasi rasa
ditangkap oleh lidah (indera perasa) dan informasi fisik diterima
melalui permukaan kulit (indera
peraba). Sekitar 90 persen informasi berupa informasi visual dan
audio, yang dikumpulkan
melalui indera penglihatan dan pendengaran. Pengukuran fungsi
indera yang lazim dilakukan
secara objektif adalah pengukuran fungsi penglihatan (tajam
penglihatan/visus) dan fungsi
pendengaran (tajam pendengaran).

Prevalensi severe low vision pada usia produktif (15-54 tahun)


sebesar 1,49 persen dan prevalensi kebutaan sebesar 0,5 persen.
Prevalensi severe low vision dan kebutaan meningkat pesat pada
penduduk kelompok umur 45 tahun keatas dengan rata-rata
peningkatan sekitar dua sampai tiga kali lipat setiap 10 tahunnya.
Prevalensi severe low vision dan kebutaan tertinggi ditemukan pada
penduduk kelompok umur 75 tahun keatas sesuai peningkatan
proses degeneratif pada pertambahan usia.

Konjungtiva
Konjungtiva adalah membrane mukosa yang transparan dan tipis yang membungkus
permukaan posterior kelopak mata (konjungtiva palpebralis) dan permukaa anterior
sclera (konjungtiva bulbaris). Konjungtiva bersambungan dengan kulit pada tepi
palpebra (suatu sambungan mukokutan) dan dengan epitel kornea di limbus.
Konjungtiva palpebralis melapisi permukaan posterior kelopak mata dan melekat erat
ke tarsus. Di tepi superior dan inferior tarsus, konjungtiva melipat ke posterior (pada
forniks superior dan inferior) dan membungkus jaringan episklera menjadi konjungtiva
bulbaris.

Angka keja-
dian pterigium di Desa Waai tahun 2013 sebesar
36,8% serta adanya hubungan antara paparan sinar
matahari ditinjau dari faktor pekerjaan dan lama
aktifitas diluar ruangan.
Etiologi pterygium belum diketahui secara pasti. Tapi penyakit ini lebih sering terjadi pada
orang yang hidup di daerah beriklim panas. Oleh karena itu, pandangan yang paling diterima
adalah respons terhadap efek lingkungan yang berkepanjangan seperti paparan sinar matahari
(Sinar ultraviolet), panas kering, angin kencang dan kelimpahan debu. (comprehensive)
Patologi
Patologis pterygium adalah kondisi degeneratif dan hiperplastik
penghubung. Jaringan subconjuncternal mengalami degenerasi elastotik dan berproliferasi
sebagai jaringan granulasi vaskularisasi di bawah epitel, yang akhirnya mengganggu kornea.
Epitel kornea, lapisan Bowman dan stroma superfisial dihancurkan.

Pembagianpterigiumberdasarkan perjalanan penyakit dibagi atas 2 tipe, yaitu progresif

dan regresif :

 Progresifpterigium: tebal dan banyak pembuluh darah dengan beberapa infiltrat di depan

kepala pterigium(disebut cap pterigium).

 Regresifpterigium: tipis, atrofi, sedikit pembuluh darah. Akhirnya membentuk membrane,

tetapi tidak pernah hilang.

Jenis.
Bergantung pada perkembangannya, pterygium progresif atau regresif.
Pterygium progresif bersifat kental, berdaging dan vaskular dengan beberapa infiltrat di kornea, di
depan kepala pterygium (disebut pterygium).

Pterygium regresif bersifat tipis, atrofik, dilemahkan dengan vaskularitas sangat sedikit. Tidak ada topi
Akhirnya itu menjadi membran tapi tidak pernah hilang

Etiologi
Secara histologis pterygium identik dengan pinguecula.However, itu berbeda
Itu bisa tumbuh ke kornea; Kepala kelabu pterygium akan tumbuh secara bertahap menuju pusat kornea
Perkembangan ini diduga akibat adanya gangguan pada lapisan kornea Bowman, yang memberikan
substrat pertumbuhan yang diperlukan untuk pterygium. (opthalmologi)

Pterigium juga dibagi dalam 4 derajat yaitu :

1. Derajat 1 : Jika pterigium hanya terbatas pada limbus kornea


2. Derajat 2 : Jika pterigium sudah melewati limbus cornea tetapi tidak lebih dari 2 mm
melewati Kornea
3. Derajat 3 : Jika pterigium sudah melebihi derajat 2 tetapi tidak melebihi pinggiran pupil
mata ,dalam keadaan cahaya normal ( pupil dalam keadaan normal sekitar 3 – 4 mm)
4. Derajat 4 : Jika pertumbuhan pterigium sudah melewati pupil sehingga mengganggu
penglihatan.
Tesis langkat

Pembagian pterigium berdasarkan perjalanan penyakit dibagi atas 2 tipe, yaitu progresif
dan regresif :

 Progresif pterigium: tebal dan banyak pembuluh darah dengan beberapa infiltrat di depan
kepala pterigium(disebut cap pterigium).

 Regresif pterigium: tipis, atrofi, sedikit pembuluh darah. Akhirnya membentuk membrane,
tetapi tidak pernah hilang. (comprehensive)

Ada beberapa teori penyebab terjadinya pterigium, salah satunya


teori penyinaran sinar ultraviolet. Di mana sinar ultraviolet dapat
menyebabkan perubahan histologis sel epitel, jaringan konjungtiva
sub mukosa dan destruksi sel stem pada limbus, akibatnya fungsi
barier limbus tidak ada sehingga konjungtiva yang mengalami
inflamasi dan degenerasi dapat dengan mudah menjalar melewati
limbus menuju kornea dan membentuk jaringan pterigium di daerah
interpalpebra (celah kelopak) biasanya bagian nasal.
(distribusi)

Pterygium umumnya asimptomatis atau akan memberikan


keluhan berupa mata sering berair
dan tampak merah dan mungkin menimbulkan astigmatis
ma yang memberikan keluhan
gangguan penglihatan. Pada kasus berat dapat menimb
ulkan diplopia. , Biasanya penderita
mengelukan adanya sesuatu yang tumbuh di kornea dan
khawatir akan adanya keganasan atau
alasan kosmetik, Keluhan subjektif dapat berupa ras
a panas, gatal, ada yang mengganjal
(pterygium Microsoft)

Fitur klinis
.
Pterygium lebih sering terjadi pada pria usia lanjut yang melakukan pekerjaan di
luar rumah. Ini mungkin unilateral Atau bilateral. Ini menyajikan lipatan segitiga
konjungtiva yang melapisi kornea di area bukaan palpebral, biasanya di sisi
hidung, tapi mungkin juga terjadi pada sisi temporal. Deposisi zat besi terlihat
terkadang di epitel kornea anterior
Memajukan kepala pterygium disebut garis stocker.
Bagian Pterygium yang berkembang sepenuhnya terdiri dari tiga bagian:
Kepala (bagian apikal hadir pada kornea),
Leher (bagian limbal), dan
Tubuh (bagian skleral) membentang antara limbus dan canthus. (comprehensive)
Bagian Pterygium, terdiri dari tiga bagian :
1.Kepala (puncak yang melekat pada kornea)
2. Leher (pada limbus)
3. Badan(pada sklera) yang melanjutkan diri antara
limbus dan kantus. (langkat dan lubak sby
comprehensive)

Pterygium hanya menghasilkan gejala saat kepalanya mengancam pusat kornea


dan dengan itu sumbu visualnya. Gaya tarik yang bekerja pada kornea dapat
menyebabkan astigmatisme kornea parah. Sebuah pterygium yang terus maju
yang mencakup jaringan konjungtiva bekas luka juga dapat secara bertahap
mengganggu motilitas okular; Pasien kemudian akan mengalami penglihatan
ganda dalam penculikan. (ophthalmology)

Pterigum lebih sering dijumpai pada laki-laki usia lanjut yang bekerja diluar rumah.
Muncul sebagai lipatan berbentuk segitiga pada konjungtiva yang meluas ke kornea
pada daerah fissure interpalpebralis, biasanya di sisi nasal, tapi mungkin juga terjadi
pada sisi temporal. Deposit besi dapat dijumpai pada bagian epitel kornea anterior dari
kepala pterigium (stoker’s line) (comprehensive dan langkat dan bulak surabaya)
Kira kira 90 % pterigium terletak didaerah nasal . Nasal dan temporal pterigium dapat
terjadi sama pada mata , temporal pterigium jarang ditemukan . Kedua mata sering
terlibat ,tetapi jarang asimetris .Perluasan pterigium dapat sampai medial dan lateral
limbus sehingga menutupi visual axis , menyebabkan penglihatan kabur
(langkat)

Pterygium didapatkan lebih sering pada laki-laki dewasa


muda yang bekerja diluar. Dapat terjadi unilateral
maupun bilateral. Terlihat sebagai bentukan seperti
sayap pada konjungtiva yang Mengarah ke Kornea pada
daerah aperture kelopak mata, lebih sering pada daerah
nasal. Deposit iron kadang-kadang terlihat pada anterior
epitel kornea ke puncak dari pterygium yang disebut
dengan stocker’S line
(bulak surbya)

Gejala
.
Pterygium adalah kondisi asimtomatik pada tahap awal, kecuali
intoleransi kosmetik. Gangguan visual terjadi saat daerah encer pupil
atau akibat astigmatisme kornea yang diinduksi akibat fibrosis pada
tahap regresif. Kadang diplopia mungkin terjadi karena keterbatasan
gerakan okular. (comprehencis)

Pada fase awal pterigium tanpa gejala , tetapi keluhan kosmetik . Gangguan penglihatan
terjadi ketika pterigium mencapai daerah pupil atau menyebabkan cornea astigmatisma
menyebabkan pertumbuhan fibrosis pada tahap regresif . Kadang terjadi diplopia
sehingga menyebabkan terbatasnya pergerakan mata. (langkat)
.

Pinguecula adalah kondisi degeneratif yang sangat umum dari konjungtiva. Hal ini
ditandai dengan terbentuknya tambalan putih kekuningan pada konjungtiva
bulbar di dekat limbus. Kondisi ini disebut pinguecula, karena kemiripannya
dengan lemak, artinya pinguis. Pinguecula (Gambar 4.27) adalah kondisi bilateral,
biasanya stasioner, yang dipresentasikan sebagai patch segitiga putih kekuningan
di dekat limbus. Apeks segitiga jauh dari kornea. Ini mempengaruhi sisi hidung
terlebih dahulu dan kemudian sisi temporal. Bila konjungtiva macet, ia menonjol
sebagai keunggulan avaskular
compre

Ini adalah lesi buram kecil, berwarna krem, sedikit terangkat pada konjungtiva,
biasanya di sisi hidung kornea tapi terkadang di sisi temporal. Pinguecula biasanya
tidak menyebabkan gejala. Hal ini biasa terjadi di daerah tropis, dan mungkin
terkait dengan paparan sinar matahari. Tidak ada perawatan yang diperlukan
kecuali untuk meyakinkan bahwa itu bukan pertumbuhan. Pembedahan untuk
alasan kosmetik jarang dibutuhkan. Color atlas

Pemeriksaan penunjang dalam menentukan diagnosis


pterigium tidak harus
dilakukan, karena dari anamnesis dan pemeriksaan fisik
kadang sudah dapat
digunakan untuk menegakkan diagnosis pterigium. Peme
riksaan histopatologi
dilakukan pada jaringan pterigium yang telah diekstirpasi.
Gambaran pterigium yang
didapat adalah berupa epitel yang irreguler dan tampak
adanya degenerasi hialin pada
stromanya.
Satuan acara buku ajar pedoman

Mendiagnosis pterygium sangat mudah. Dokter mata Anda mungkin bisa


mendiagnosis kondisi ini berdasarkan pemeriksaan fisik menggunakan lampu
celah. Lampu ini memungkinkan dokter Anda untuk melihat mata Anda dengan
bantuan pembesaran dan pencahayaan yang terang. Jika dokter Anda perlu
melakukan tes tambahan, mereka mungkin termasuk:

Sebuah uji ketajaman visual, yang melibatkan membaca huruf pada grafik mata
Topografi kornea, yang digunakan untuk mengukur perubahan lengkung pada
kornea Anda
Dokumentasi foto, yang melibatkan pengambilan gambar untuk melacak
tingkat pertumbuhan pterygium
webhelath

Sebuah pseudopterygium karena cincin parut konjungtiva berbeda dari pterygium


karena ada pembacaan antara parit merah konjungtiva dan kornea dan sklera.
Penyebabnya meliputi cedera kornea dan / atau luka kimia dan luka bakar.
Pseudopterygia menyebabkan nyeri dan penglihatan ganda. Pengobatan terdiri
dari lisis adhesi, eksisi jaringan sendi merah parut, dan cakupan defek (ini dapat
dicapai dengan graft konjungtiva bebas yang dipanen dari aspek temporal).
Opthal

Pengobatan.
Eksisi bedah adalah satu-satunya perawatan yang memuaskan, yang dapat diindikasikan untuk:
(1) alasan kosmetik, (2) melanjutkan perkembangan yang mengancam untuk menyerang ke
daerah pupil (setelah pterygium telah menembus area pupillary, tunggu sampai ia
menyeberang di sisi lain) , (3) diplopia akibat gangguan gerakan okular.
Kambuhnya pterygium setelah eksisi bedah adalah masalah utama (30-50%). Namun, hal itu
dapat dikurangi dengan langkah-langkah berikut:
1. Transplantasi pterygium di bagian bawah fornix (operasi McReynold) tidak dilakukan
sekarang.
2. Iradiasi beta pasca operasi (tidak digunakan sekarang).
3. Penggunaan obat antimitosis pasca operasi seperti mitomycin-C atau thiotepa.
4. Eksisi bedah dengan sklera telanjang.
5. Eksisi bedah dengan graft konjungtiva bebas yang diambil dari mata yang sama atau mata
lainnya saat ini adalah teknik yang disukai.
6. Pada pterygium rekuren rekuren, eksisi bedah harus digabungkan dengan keratektomi
lamelar dan keratoplasti lamelar. compre

Pengobatan hanya diperlukan bila pterygium menghasilkan gejala yang didiskusikan


atas. Pembedahan bedah ditunjukkan dalam kasus tersebut. Kepala dan badan pterygium
sebagian besar dikeluarkan, dan sklera dibiarkan terbuka di lokasi.
Kornea kemudian diratakan dengan reamer berlian atau laser ex cimer (khusus
Laser yang beroperasi pada kisaran ultraviolet pada panjang gelombang 193 nm). Opthal

Khas fitur histologis pterygia.


J: Pada stadium lanjut pterygium, epitel konjungtiva (Conj) bergabung dengan tiba-tiba menjadi epitel
kornea (Jagung). Lapisan Bowman yang mendasari (panah) adalah
Terfragmentasi dan mendahului stroma fibrovaskular (asterisk).
B, C: Goblet cell hyperplasia terlihat pada pterygium (B), dibandingkan dengan conjlying swartiched (C).
Perhatikan ketebalan lapisan epitel (panah berkepala dua di B dan C).
D: kapal pengumpan utama yang menonjol; Inset menunjukkan pembuluh subepitel yang melebar.
E: Perubahan elastotik (double asterisk) pada stroma pterygium.
F: infiltrat inflamasi di epitel.
G: pembuluh stroma sarat dengan leukosit polimorfonuklear. Semua bagian diwarnai dengan H & E.
Pembesaran asli:
200 (A dan D); 400 (B, C, D inset, danE); 1000 emersion minyak (F dan G).
Optal dua)

Secara histopalogis ditemukan epitel konjungtiva irrekuler


kadang-kadang
berubah menjadi gepeng. Pada puncak pteregium, epitel
kornea menarik dan
pada daerah ini membran bauman menghilang. Terdapat
degenerasi stauma
yang berfoliferasi sebagai jaringan granulasi yang penuh
pembulih darah.
Degenerasi ini menekan kedalam kornea serta merusak
membran bauman dan
stoma kornea bagian atas
pemfis rifaldi

Khas fitur histologis pterygia.


J: Pada stadium lanjut pterygium, epitel konjungtiva (Conj) bergabung dengan
tiba-tiba menjadi epitel kornea (Jagung). Lapisan Bowman yang mendasari
(panah) adalah
Terfragmentasi dan mendahului stroma fibrovaskular (asterisk).
B, C: Goblet cell hyperplasia terlihat pada pterygium (B), dibandingkan dengan
conjlying swartiched (C). Perhatikan ketebalan lapisan epitel (panah berkepala
dua di B dan C).
D: kapal pengumpan utama yang menonjol; Inset menunjukkan pembuluh
subepitel yang melebar.
E: Perubahan elastotik (double asterisk) pada stroma pterygium.
F: infiltrat inflamasi di epitel.
G: pembuluh stroma sarat dengan leukosit polimorfonuklear. Semua bagian
diwarnai dengan H & E. Pembesaran asli:
200 (A dan D); 400 (B, C, D inset, danE); 1000 emersion minyak (F dan G).
Gambaran histologis umum yang diamati termasuk epitel pterygium proliferatif
dan invasif secara lokal yang secara tiba-tiba beralih ke epitel kornea di tepi yang
meningkat (Gambar 2A). Di persimpangan antara epitel pterygium dan kornea
normal, stroma sering ditandai oleh pembuluh darah pengumpan (Gambar 2A,
tanda bintang) yang mendahului stroma fibroblastik. Tepi pterygium yang maju
diberi garis batas oleh lapisan Bowman yang terfragmentasi (Gambar 2A, panah).
Hiperplasia sel goblet menonjol pada epitel pterygium (Gambar 2B), dibandingkan
dengan konjungtiva normal autologous (Gambar 2C). Pelepasan feeder
memperpanjang panjang lesi secara teratur dicatat (Gambar 2D), serta
neovaskularisasi subpithelial (Gambar 2D, inset). Stromal elastosis (Gambar 2E,
tanda bintang ganda) dan kedua intra dan subepitel (Gambar 2F) dan peradangan
intravaskular hadir pada 60% kasus.

Komplikasi pre operatif dan post


operatif da
pat timbul pada pasien pterigium.
22
Komplikasi yang dapat
timbul pada pterygium,
adalah d
istorsi dan penglihatan berkurang
,
m
ata merah
,i
ritasi
, scar atau jaringan parut
kronis pada konjungtiva dan kornea
, dan p
ada
pasien yang belum
eksisi
, scar pada otot
rectus medial dapat menyebabkan terjadinya
diplopia.
Komplikas
i post eksisi pterygium, adalah
i
nfeksi, reaksi bahan jahitan (benang),
diplopia, scar cornea, conjungtiva graft
longgar dan komplikasi yang jarang termasuk
perforasi bola mata, vitreous hemorrh
age
atau retinal detachment.
Penggunaan
mytomicin C post operasi dapat menyebabkan
ectasia atau melting pada sclera dan kornea.
Komplikasi yang terbanyak pada eksisi
pterygium adalah rekuren pterygium post
operasi.
Prognosis pasien dengan pterigium
adalah
dubia ad bonam
.P
asien dapat
beraktivitas lagi setelah 48 jam post operasi.
Pasien dengan pterigium rekuren dapat
dilakukan eksisi ulang dan
graft
dengan
konjungtiva
autograft
atau transplantasi
membran amnion.
20
Prognosis pasien ini
baik.
Namun masih ada
kemungkinan untuk
terjadinya rekurensi akibat dari teknik
bare
sclera
yang
digunakan
sebagai
penatalaksanaan pada pasien ini.
Pasien juga
diberikan edukasi berupa informasi mengenai
pentingnya dilakukan
graft
konjungtiva bila
terjadi rekurensi.

Laki2 52 th
Konservatif
Pada
pterygium
yang ringan tidak perlu diobati dan biasanya cukup diatasi
dengan menghindari faktor iritan serta memakai pelindung
mata untuk
meminimalisasi kontak mata dengan lingkungan. Untuk
pterygium
derajat 1
-
2
yang mengalami inflamasi, pasien dapat diberikan obat
tetes mata kombinasi
antibiotik dan steroid 3 kali sehari selama 5
-
7 hari. Diperhatikan juga bahwa
penggunaan kortikosteroid tidak dibenarkan pada
penderita dengan tekanan
intraokular tinggi atau mengalami kelainan pada kornea.
9
2.
Bedah
Pada
pterygium
deraja
t3
-
4 dilakukan tindakan bedah berupa avulsi
pterygium
. Sedapat mungkin setelah avulsi
pterygium
maka bagian konjungtiva
bekas
pterygium
tersebut ditutupi dengan cangkok konjungtiva yang diambil
dari
konjugntiva bagian superior untuk menurunkan angka
kekam
buhan.
Tujuan utama
pengangkatan
pterigyum
yaitu memberikan hasil yang baik secara kosmetik,
mengupayakan komplikasi seminimal mungkin, angka
kekambuhan yang rendah.
Penggunaan
Mitomycin
-
C
(MMC) sebaiknya hanya pada kasus
pterygium
yang
rekuren, mengingat
komplikasi dari pemakaian MMC juga cukup berat
smf buku ajar third grade bulak sby
Penglihatan dan kosmetik pasien setelah dieksisi adalah baik .
rasa
tidak nyaman pada hari pertama postoperasi dapat dit
olerans i ,
kebanyakan pasien setelah 48 jam postop dapat beraktivitas
kembali . Pasien
denga
n rekuren pteri
gium dapat dilak
ukan eksisi ulang dan graft dengan
conjungt iva autograft atau transplantasi membran amnion .
Pasien dengan resiko tinggi timbulny
a pteri
gium sepert i riwayat
keluarga atau karena terpapar sinar matahari yang lama
dianjurkan memakai
kacamata sunblock dan mengurangi terpapar sinar matahari.
Langkat dan smf

You might also like