Professional Documents
Culture Documents
Abstract: The objective of this research was to identify and analyze deeply various poverty roots
of problem developing in both coastal and agriculture area as basis of formulating public policy in
poverty alleviation. Qualitative with multicase study method was applied in two villages in order to
gain complete description concerning roots of rural poverty. In-depth interview and observation
were used to collect qualitative data. Informants taken from farmer and fisherman leading actors,
development agencies from district to village level, and other community organization actors were
purposively selected followed by snow-ball sampling in order to get more comprehensive data.
Data was analyzed by interactive model consisting of interactive activities from data collection,
reduction, display and verification/conclusion drawing. Results of this study show that roots of
poverty in coastal villages are more complicated than those of agriculture one. This circumstance
indicates that coastal village area is the primary pocket of poverty. Some causes of poverty that
should be paid attention by policy makers are low of education level, disadvantage development
policy and marketing system for farmers as well as fishermen, and degraded coastal environment.
Therefore, developmental efforts aimed at alleviating the poverty should be directed to improve
the primary roots of poverty problem.
Key words: agriculture village, coastal village, policy formulation, poverty alleviation, roots of
poverty.
Upaya penanggulangan kemiskinan sudah men- 2001:395; McCulloch, et al, 2007:1). Namun
dapatkan perhatian pemerintah sejak masa rejim demikian, problem kemiskinan di pedesaan tetap
Orde Baru. Berbagai pendekatan telah dikem- belum dapat diatasi oleh program-program
bangkan baik dari sisi kelembagaan, wilayah, tersebut. Laju kemiskinan di wilayah pedesaan
maupun strategi khusus. Apalagi strategi pertum- bahkan menunjukkan lonjakan yang sangat
buhan ekonomi yang dipilih oleh rejim Orde Baru drastis. Statistik menunjukkan bahwa persentase
diarahkan untuk meningkatkan pendapatan per penduduk miskin pedesaan tahun 2006 (21,90
kapita masyarakat. Disamping itu, berbagai persen) lebih tinggi 2,12 persen dibandingkan
upaya untuk memenuhi kebutuhan pokok teru- tahun 1996 (19,78 persen) (BPS, 2007).
tama dalam memenuhi kebutuhan pangan men- Selanjutnya pada tahun 2009, menurut BPS
jadi bagian dari kebijakan pemerintah saat itu dilaporkan bahwa penduduk miskin pedesaan
dalam rangka pengentasan kemiskinan. hanya turun 1,5 persen atau 1,57 juta jiwa yang
Berbagai program pengentasan kemis- terentaskan dari jurang kemiskinan. Ini berarti
kinan seperti Inpres Desa Tertinggal, Program bahwa selama puluhan tahun dana triliunan ru-
Pengembangan Kecamatan, Jaring Pengaman piah dan berbagai macam program pengentasan
Sosial telah diimplementasikan oleh pemerintah, kemiskinan tidak banyak mengubah komposisi
utamanya dengan desa sebagai muaranya. Ala- penduduk miskin di Indonesia. Dengan kata lain,
sannya, fenomena kemiskinan mudah ditemukan penduduk pedesaan mendominasi kemiskinan
di wilayah pedesaan (Ashley dan Maxwell, dengan 20,62 juta jiwa atau 63,38 persen dari
114
Perumusan Kebijakan Publik dalam Menggali Akar Kemiskinan, (Rosyadi & Tobirin) 115
total penduduk. Bahkan beberapa peneliti kemiskinan harus diformulasikan secara kompre-
mensinyalir telah terjadi proses pemiskinan hensif dan memperhatikan berbagai kaitan antar
masyarakat pedesaan di Indonesia (Sujarwoto kebijakan lain yang berorientasi pada pengentasan
dan Yumarni, 2007:7). kemiskinan (Mawardi dan Sumartono, 2003:1).
Fenomena kemiskinan juga ditemukan di Dalam konteks studi formulasi kebijakan,
Kabupaten Brebes Jawa Tengah. Kondisi kemis- pilihan kebijakan pengentasan kemiskinan ter-
kinan di Kabupaten Brebes menurut data Badan tentu merupakan hasil konversi input menjadi
Pusat Statistik (BPS) Kabupaten Brebes (Brebes output (Easton, 1992:184). Input kebijakan bisa
Dalam Angka Tahun 2007, dari jumlah penduduk berasal dari lingkungan kebijakan yang menye-
Kabupaten Brebes yang saat ini sebanyak babkan munculnya masalah kebijakan seperti
1.727.708 jiwa adalah hampir sepertiganya atau aspirasi dan tuntutan masyarakat yang belum
708.360.28 jiwa (109.168 KK) merupakan diakomodasi oleh sistem kebijakan. Dengan kata
masyarakat miskin. Dari jumlah penduduk 1,7 juta lain, input kebijakan berperan sebagai arus infor-
jiwa itu, sebanyak 25.510 orang bermata masi penting bagi para pengambil kebijakan untuk
pencaharian sebagai nelayan, 315.773 orang merumuskan pilihan solusi kebijakan apa yang akan
petani, 436.773 orang buruh tani, 36.742 orang diambil terhadap masalah tertentu seperi masalah
buruh industri, dan 66.623 orang buruh kemiskinan. Mengacu pada asumsi teori tersebut,
bangunan. memahami lingkungan kebijakan sebagai sumber
Dari 17 kecamatan yang ada, sebanyak input perumusan kebijakan perlu dilakukan secara
lima kecamatan dihuni oleh para nelayan yang komprehensif.
memiliki tingkat kehidupan yang masih mem- Berpijak dari latar belakang masalah di
prihatinkan, masing-masing di Kecamatan atas, penelitian ini berorientasi pada permasa-
Brebes, Wanasari, Bulakamba, Tanjung, dan lahan sejauh mana formulasi kebijakan dalam
Kecamatan Losari. Tidak berbeda jauh dengan upaya mengatasi masalah kemiskinan. Masalah
kemiskinan nelayan, wilayah pertanian di Kabu- kemiskinan tidak lagi hanya dipahami dari satu
paten Brebes juga sarat dengan persoalan kemis- perspektif, tetapi merupakan masalah yang kom-
kinan. Meskipun berbagai program pemba- pleks. Dengan pemahaman seperti ini, rumusan
ngunan baik dari Pusat maupun Daerah telah kebijakan pengentasan kemiskinan perlu mem-
diimplementasikan, persoalan kemiskinan hing- perhatikan berbagai sebab kemiskinan agar diper-
ga saat ini tidak kunjung dapat diatasi secara sig- oleh pilihan program yang rasional. Atas dasar
nifikan. Kegagalan tersebut dapat bersumber dari permasalahan tersebut, studi ini utamanya ber-
dua faktor: Pertama pemahaman para pengambil tujuan untuk mengidentifikasikan akar kemis-
kebijakan mengenai definisi masalah kemiskinan kinan dalam perspektif multidimensional baik di
sebagai semata-mata ketidakmampuan seseorang pedesaan berkarakter pertanian maupun pesisir
dalam memenuhi kebutuhan material dasarnya sebagai input dalam formulasi kebijakan. Per-
(Mawardi dan Sumartono, 2003:1). Program-pro- spektif multidimensional disini dikembangkan
gram penanggulangan kemiskinan selama ini dari studi Bradshaw (2007:10-11) dan Kusnadi
cenderung meredusir derajat kemanusiaan seperti (2006:19) yang mengidentifikasikan penyebab
menyetarakan kemiskinan dengan beberapa kilo kemiskinan dari level individu, budaya, struktur
beras per hari dan mengabaikan aspirasi dan kon- ekonomi dan politik, dan ekologi.
sekuensinya mengabaikan kebutuhan masyarakat
miskin itu sendiri; dan Kedua paradigma dan METODE
pemahaman yang kurang tepat tentang penyebab
kemiskinan. Kemiskinan tidak lagi hanya dipaha- Penelitian ini dilakukan selama Juni-Sep-
mi sebagai masalah yang dipengaruhi oleh satu tember 2008 di dua desa. Lokasi penelitian
faktor tunggal, melainkan multidimensional. diambil dengan teknik gugus bertahap dengan
Konsekuensinya, pilihan kebijakan pengentasan memperhatikan kepadatan penduduk dan rumah
116 Jurnal Ilmu Administrasi Negara, Volume 10, Nomor 2, Juli 2010: 114- 125
tangga miskin penerima bantuan langsung tunai (BLT) perekonomian Desa Pamulihan Kecamatan
di wilayah pedesaan di Kabupaten Brebes, yaitu Larangan. Potensi pertanian yang tersedia di Desa
Desa Pamulihan Kecamatan Larangan mewakili Pamulihan memberikan kontribusi yang besar
desa agraris dan Desa Sawojajar Kecamatan dalam proses pembangunan ekonomi lokal. Data
Wanasari mewakili desa pesisir. BPS Tahun 2007. Kabupaten Brebes menun-
Sesuai dengan permasalahan dan fokus jukkan bahwa 42,7 persen masyarakat Desa
penelitian maka, sumber data penelitian ini ada- Pamulihan sangat bergantung pada pekerjaan di
lah: Pertama informan. Pemilihan informan di- sektor pertanian baik sebagai petani maupun
dasari dengan teknik purposive sampling, yaitu buruh tani. Jenis tanaman pertanian yang
pemilihan subyek penelitian yang menguasai dominan dikembangkan adalah padi dan bawang
sumber permasalahan yang berkaitan dengan merah. Kapasitas produksi padi per hektar saat
fokus penelitian atau disebut juga informan ini telah mencapai 67,8 kwintal dengan total
kunci. Namun demikian, informan yang dipilih dapat produksi 43.663,2 kwintal. Sementara itu, rata-rata
menunjuk informan lain yang lebih tahu, maka produksi bawang merah mencapai 92,8 kwintal per
informan dapat berkembang sesuai dengan hektar dengan kapasitas produksi tahun ini sebanyak
kebutuhan dan kemantapan peneliti dalam 107.927,2 kwintal per hektar.
memperoleh data (snow-ball sampling); Kedua Namun demikian, dari aspek teknis duku-
tempat dan peristiwa, meliputi lokasi penelitian, ngan sarana pengairan untuk sawah di Desa Pamu-
sarana dan prasarana yang tersedia, keadaan so- lihan sangat terbatas. Petani lebih mengandalkan
sial ekonomi dan budaya, perilaku serta kejadian teknologi dan sumber pengairannya dari teknologi
yang berkaitan dengan permasalahan yang dite- pompa air mesin, sistem pengairan sederhana, dan
liti; Ketiga tim pelaksana kebijakan dari tingkat tadah hujan karena belum tersedianya waduk dan
kabupaten dan desa, organisasi pertanian, organi- dam serta irigasi teknis maupun setengah teknis.
sasi nelayan, dan lembaga kemasyarakatan lain- Akibatnya, kapasitas produksi baik padi dan bawang
nya dan tokoh masyarakat; dan Keempat doku- merah juga terbatas dan sangat rentan terhadap
men yang berkaitan dengan permasalahan dan faktor alam seperti curah hujan, ketersediaan air
fokus penelitian. tanah maupun sungai.
Berdasar pada jenis dan sumber data yang Dalam upaya menjelaskan mengapa
diperlukan, teknik pengumpulan data yang digu- petani menjadi kelompok miskin berdasarkan
nakan meliputi: observasi langsung, wawancara penelitian diindentifikasikan beberapa gambaran
mendalam, dan analisis dokumentasi.Dalam akar penyebab kemiskinan masyarakat petani
penelitian ini, digunakan analisis data model Desa Pamulihan.
interaktif. Ada tiga komponen penting dalam
model interaktif, yaitu: reduksi data, penyajian
Keterbatasan kualitas sumber daya manusia
data, dan penarikan kesimpulan. Ketiga kegiatan Perhatian masyarakat terhadap pendidi-
analisis ini dan kegiatan pengumpulan data itukan di desa Pamulihan masih buruk, terbukti
sendiri merupakan proses siklus dan interaktif.
hampir seluruh masyarakat Pamulihan masih
Artinya, proses analisis data dimungkin bergerak bolak-
banyak yang buta huruf sehingga menjadi target
balik diantara ketiga kegiatan analisis tersebut atau
program KKN (kuliah kerja nyata) dari Univer-
kembali ke tahap pengumpulan data hingga terbangun
sitas-universitas dengan program PBA (pembe-
deskripsi masalah secara lengkap. rantasan Buta Huruf). Buruknya potret pendidi-
kan masyarakat petani juga ditandai dengan
HASIL fasilitas pendidikan di desa Pamulihan masih ku-
rang. Untuk sekolah dasar tersedia 2 SD di Dusun
Akar Kemiskinan pada Komunitas Agraris Sembung dan Pamulangan, untuk Setingkat SMP
Hingga saat ini, sektor pertanian masih terdapat 1 sekolah yang terletak di Dusun
memegang peranan cukup penting dalam struktur Pamulihan.
Perumusan Kebijakan Publik dalam Menggali Akar Kemiskinan, (Rosyadi & Tobirin) 117
Sistem Pemasaran Hasil Pertanian yang Brebes, dengan luas wilayah 1.841 Ha terbagi ke
menguntungkan salah satu pihak. dalam 4 dusun dengan 10 RW dan 52 RT. Pada
Sistem pemasaran yang dilakukan adalah pe- pertengahan tahun 1970-an desa ini merupakan
masaran hasil panen melalui pedagang perantara salah satu desa dengan jumlah nelayan terbesar di
atau yang sering mereka sebut sebagai tengkulak. Pantai Utara Jawa. Namun saat ini kondisinya
Hasil panen yang berupa bawang mereka jual berubah. Hampir mayoritas penduduknya sudah
kepada tengkulak sebesar Rp. 2000-2500 /kg, na- beralih ke-mata pencaharian non-nelayan.
mun di bawah harga pasaran yang berlaku. Sis- Berdasarkan data monografi Desa Sawojajar tahun
tem ini dinilai kurang menguntungkan bagi pet- 2007 hanya sekitar 2639 jiwa saja atau 24 % dari
ani, karena modal dan tenaga yang mereka ke- total penduduk Sawojajar yang tetap menjadikan
luarkan untuk mengolah tidak sebanding dengan nelayan sebagai sumber mata pencaharian utama.
hasil penjualan. Sebaliknya, sistem ini sangat me- Sebagian besar penduduk kini menekuni bidang
nguntungkan bagi para tengkulak karena mereka pertanian dan tambak, tercatat sekitar 4275 jiwa
mendapatkan untung yang lebih besar. Bahkan me- atau 40 % penduduk memiliki mata pencaharaian di
nurut para informan, harga yang diterima seringkali kedua sektor tersebut, baik sebagai pemilik lahan
tidak seimbang dengan modal dan pengorbanan yang maupun buruh (pekerja).
dia keluarkan, dan bahkan seringkali rugi (tombok). Kemiskinan Nelayan Sawojajar tergam-
Untuk komoditas pengganti bawang seperti jagung, bar dari kehidupan sehari-hari mereka, penghasilan
konsumen atau pembelilangsungmembelikepadapetani yang tidak menentu tidak hanya bisa mencukupi
di Pamulihan, sehingga relatif tidak merugikan petani. kebutuhan makan sehari-hari, bahkan di musim
paceklik banyak nelayan yang menganggur dan
Terbatasnya Peluang Kerja di Sektor Non- mengantungkan hidupnya dari utang. Padahal,
Pertanian banyak diantara mereka yang jumlah anggota
Keterbatasan peluang kerja di luar keluarganya lebih dari 5 orang. Ketika hasil
pertanian sangat tinggi. Hal ini diakibatkan tangkapan melimpah, penghasilan mereka hanya
keterbatasan pendidikan, ketrampilan dan modal digunakan untuk untuk menutupi hutang. Peran istri
yang mereka miliki. Karena ketrampilan yang dan anak nelayan di sektor publik adalah dengan
dimiliki oleh masyarakat hanya bertani, profesi bekerja serabutan sebagai buruh tambak, buruh
alternatif pada waktu kemarau yang tersedia pengupas kulit kerang, penjual es balok, sampai
hanyalah menjadi kuli bangunan di kota besar. menjadi TKI keluar negeri.
Hal ini diperkuat dengan penjelasan Kepala Desa Sawojar sebagai salah satu desa nelayan
Pamulihan bahwa pada musim kemarau banyak diwilayah pesisir Pantai Utara Pulau Jawa pada
petani yang mengalami gagal panen dan rugi umumnya menghadapi persoalan yang hampir
karena kekurangan air dan mahalnya pupuk dan sama, yaitu nelayan yang bisa bertahan atau me-
obat-obatan pertanian. Para petani yang tidak lagi ningkat kesejahteraan hidupnya adalah nelayan
memiliki modal untuk mengatasi gagal panen yang bermodal besar. Jumlah Nelayan yang me-
lebih memilih menjadi kuli bangunan di kota miliki kemampuan jelajah penangkapan hingga
besar seperti Jakarta. ke lepas pantai (off-shore) relatif kecil. Berikut
Dengan adanya pernyataan tersebut ini adalah gambaran akar permasalahan kemis-
diatas, semakin memperkuat bahwa keterbatasan kinan nelayan Desa Sawojajar.
pendidikan dan modal membuat petani semakin
kesulitan dalam beralih profesi. Keterbatasan Kualitas Sumber Daya Manusia
SDM merupakan salah satu penyebab
Akar Kemiskinan pada Komunitas Nelayan internal akar permasalahan kemiskinan di desa
Desa Sawojajar merupakan salah satu nelayan. Masyarakat neayan identik dengan
desa nelayan di Kabupaten Brebes. Ia terletak di kualitas modal manusia yang rendah. Keterbatasan
Kecamatan Wanasari sekitar 8 Km arah utara Kota tingkat pendidikan berdampak pada pemahaman
Perumusan Kebijakan Publik dalam Menggali Akar Kemiskinan, (Rosyadi & Tobirin) 119
teknik penangkapan dan pemanfaatan hasil tangkap sehingga menyebabkan hasil (pendapatan)
tangkapan. Nelayan sering mengambil jalan pintas nelayan menjadi rendah.
untuk mendapatkan hasil produksi tangkapan seperti Permasalahan yang hampir terjadi di
menggunakan bom ikan/dinamit, racun ikan atau Desa Nelayan, seperti halnya yang terjadi di Desa
potasium. Nelayan tidak pernah memikirkan dampak Sawojajar, modal sebagian besar bersumber pada
di masa yang akan datang bahwa ikan yang di bom bakul, tabungan sendiri, lembaga ekonomi sim-
atau di potasium secara alamiah akan merusak pan pinjam, KUD. Kondisi inilah yang sering-
ekosistem laut yang berakibat pada hilangnya bibit- kali merugikan nelayan. Para nelayan tidak dapat
bibit ikan. berbuat banyak ketika menjual hasil tangkapan-
Sedangkan dari aspek pasca penangka- nya. Bakul (tengkulak) dengan mudah menentu-
pan, nelayan tidak mempunyai inovasi produksi kan harga karena nelayan sudah berhutang. Kon-
ikan sehingga berdampak pada nilai jual hasil disi ini tentunya merugikan para nelayan di Desa
penangkapan. Mereka lebih memilih menjual lang- Sawojajar.
sung kepada perusahaan atau pengepul ikan Belum berfungsinya TPI secara optimal
meskipun dengan nilai yang sangat rendah. Atau, mengakibatkan para nelayan tidak diuntungkan
seringkali nelayan terjebak pada bakul-bakul ikan dengan sistem utang-piutang yang dilakukan ne-
yang mudah dijumpai ketimbang menjual di tempat layan untuk modal menangkap ikan. Seperti yang
pelelangan ikan (TPI). Apabila kondisinya demikian, ditegaskan oleh informan nelayan bahwa modal
maka akan terjadi mata rantai permasalahan yang sebagian besar ia dapatkan dari bakul dengan
bersumber pada rendahnya tingkat pendidikan, konsekuensi semua hasil tangkapan di jual hanya
berkaitan dengan kualitas SDM di Desa Sawojajar, kepada bakul.
berdasarkan data demografi Desa Sawojajar tahun Kondisi keterbatasan modal menjadi hal
2007 di lihat dari tingkat pendidikan, penduduk yang yang dilematis. Nelayan membutuhkan modal
belum tamat SD mencapai 1.258 jiwa dan yang tamat yang cepat, namun lembaga resmi seperti KUD
SD/MI mencapai 5.237 jiwa, sedangkan yang dan perbankan tidak dapat memenuhi hal ter-
memiliki pendidikan tinggi hanya 41 jiwa yang sebut. Lembaga seperti LEPM Mandiri yang
berpendidikan S1 dan 150 jiwa yang berpendidikan menjalin kerjasama dengan BUKOPIN yang
D3/Sarjana Muda. Di lihat dari segi pendidikan kua- telah didirikan untuk penyaluran modal tidak
litas pendidikan cukup signifikan, bahwa tingkat dapat memiliki peran optimal. Prosedur yang
pendidikan masih rendah. Hal ini berdasarkan berbelit berkaitan dengan ”agunan” mengakibat-
perbandingan penduduk yang berpendidikan kan munculnya ketidakpuasan oleh karenanya
tinggi dengan penduduk yang berpendidikan menemui para bakul merupakan cara termudah.
rendah mengalami kesenjangan yang tajam. Hal ini diakui oleh DKP bahwa masalah per-
modalan merupakan hal yang sulit, peran
Modal dan Teknologi Penangkapan LEPM Mandiri belum optimal karena prosedur
Nelayan dalam memproduksi ikan me- pinjaman yang tidak mengakui bukti kepe-
merlukan input produksi atau faktor produksi. milikan perahu. Akibatnya nelayan mengalami
Adapun wujud dari input produksi berupa modal kesulitan permodalan. Sehingga kondisi ini
(Uang), alat tangkap dan peralatan melaut lainnya seringkali dimanfaatkan bagi para pemilik
seperti kapal/perahu. Kebanyakan nelayan di In- modal besar untuk mempermainkan nasib para
donesia menjadikan modal sebagai persoalan nelayan.
yang sangat serius. Hal ini dikarenakan nelayan Berkaitan dengan teknologi penangkapan
memiliki keterbatasan modal. Nelayan masih ikan nelayan di Desa Sawojajar dapat dikatakan
mengandalkan modal dari juragan sehingga hasil masih menggunakan alat yang sederhana. Seba-
produksinya tidak bisa dinikmati secara optimal oleh gian besar nelayan menggunakan alat tangkap buatan
nelayan yang bersangkutan. Belum lagi diperparah sendiri berupapa jaring (arad) dan badut. Sementara
oleh posisi nelayan yang 80% masih sebagai buruh kapal yang digunakan oleh nelayan 15 %
120 Jurnal Ilmu Administrasi Negara, Volume 10, Nomor 2, Juli 2010: 114- 125
diperparah oleh kebiasaan nelayan yang kurang Kebiasaan nelayan yang menggunakan jaring arad
mendukung terhadap perbaikan lingkungan. Salah yang tidak ramah lingkungan menambah semakin
satunya adalah penggunaan jaring trawl (pukat rusaknya ekositem.
harimau) seperti jaring dogolan, arad. Padahal dari Kondisi dan kebiasaan nelayan yang
DKP sendiri sudah melarang penggunaan jenis jaring demikian mendukung terjadinya kerusakan
tersebut. Secara tegas, DKP sudah mengeluarkan ekosistem yang terjadi di pesisir pantai utara Desa
kebijakan tentang larangan kepada masyarakat Sawojajar. Pihak DKP Kabupaten Brebes juga
untuk tidak menggunakan alat tangkap laut yang tidak mengakui bahwa masalah krusial yang dihadapi
ramah lingkungan seperti arad, garok karena alat masyarakat Desa Nelayan sebenarnya adalah
tersebut dapat merusak ekosistem laut, ikan kecil kerusakan lingkungan dan terjadinya overfish-
telur dan benih. Namun demikian, praktek ing. Kondisi ini sulit untuk dipulihkan dalam
penangkapan yang tidak ramah lingkungan tersebut jangka pendek meskipun beberapa upaya peme-
masih terus berlanjut sampai sekarang. rintah telah dilakukan.
Bahwa penggunaan jaring arad dapat meru-
sak ligkungan dan mengurangi hasil tangkapan, para Kebijakan Pembangunan Perikanan dan
nelayan sebenarnya sudah mengalaminya. Walaupun kelautan
penyebabnya tidak dominan penggunaan alat Faktor lain pemicu laju kemiskinan
tangkap yang merusak lingkungan, namun dari hasil nelayan buruh ialah kebijakan pemerintah berupa
wawancara dengan para informan nelayan terungkap motorisasi perahu dan peralatan tangkap mod-
bahwa hasil tangkapan mereka dari tahun-ketahun ern, yang dikenal dengan nama “revolusi biru”.
mengalami pengurangan. Dengan demikian, situasi Kebijakan pemerintah ini telah mendorong tim-
ini menunjukkan bahwa sosialisasi untuk membangun bulnya kegiatan tangkap berlebih dan pengurasan
kesadaran nelayan agar tidak menggunakan alat sumber daya perikanan di perairan pantai maupun
tangkap yang tidak merusak lingkungan tidak efektif. di perairan lepas pantai. Banyak kasus konflik
nelayan terjadi akibat kebijakan pemerintah ini
Kerusakan Ekosistem telah memicu persaingan yang tidak sehat dan
Modernisasi perikanan membawa dam- cenderung meminggirkan kaum nelayan tradi-
pak yang signifikan terhadap penurunan hasil sional. Dampak negatif kebijakan itu sangat
tangkapan nelayan tradisional. Penggunaan alat dirasakan oleh rumah tangga-rumah tangga
tangkap modern yang tidak memperhatikan nelayan buruh dan memperparah situasi kemis-
lingkungan telah menimbulkan gangguan terha- kinan mereka secara umum.
dap keseimbangan ekosistem pesisir dan laut. Aspek lain yang juga sangat signifikan
Dalam hal ini, penggunaan jaring trawl atau terhadap terpuruknya kehidupan nelayan adalah
pukat harimau menyebabkan hasil tangkapan tinggginya BBM, kebutuhan solar untuk melaut
nelayan tradisional berkurang. tidak lagi terjangkau oleh para nelayan tradisio-
Hal ini juga dialami nelayan Desa nal. Hampir sebagian besar nelayan kecil
Sawojajar yang sebagian besar (85%) adalah mengeluhkan tingginya bahan bakar solar.
nelayan tradisional menghadapi permasalahan Padahal bahan bakar ini merupakan sarana vi-
penurunan hasil tangkapan. Kondisi ini disebab- tal untuk mengarungi lautan dalam usaha
kan terjadinya perusakan ekosistem baik diakibat- menangkap ikan.
kan oleh nelayan itu sendiri maupun oleh alam. Kebijakan pembangunan yang saat ini
Namun kerusakan terparah disebabkan oleh nelayan yang diharapkan oleh masyarakat nelayan adalah
yang belum memiliki kesadaran akan pentingnya pembuatan jalur pelabuhan kapal di Desa
menjaga ekosistem. Pencemaran laut akibat Sawojajar karena selama ini penyebab para nela-
pembuangan sisa bahan bakar sering terjadi di yan merantau ke luar daerah adalah sulitnya kapal
pesisir Pantai Utara Desa Sawojajar. Akibatnya, untuk berlabuh di Desa Sawojajar. Di saat musim
mata rantai ekosistem laut semakin terganggu. kering terjadi pendangkalan sungai, sedangkan
122 Jurnal Ilmu Administrasi Negara, Volume 10, Nomor 2, Juli 2010: 114- 125
musim hujan, arusnya tidak kuat, karena terbentur kan berdasarkan penawaran atau melalui mekanisme
dengan sungai pamali (dekat pintu sungai). lelang, tetap saja nilai juan hasil tangkapan nelayan
Pemerintah sendiri sebenarnya pernah telah dikendalikan oleh para pedangan. Nilai jual yang
berencana membangun jalur perahu semacam relatif rendah sedangkan biaya produksi yang
pelabuhan dengan melakukan pengerukan di dikeluarkan oleh nelayan sangat tinggi maka
daerah ”kalen dawa”, namun karena ada peno- pendapatan bersih yang diperoleh nelayan akan
lakan dari petani tambak, maka rencana pem- sedikit. Sehingga take home pay yang diperoleh
bangunan tersebut dibatalkan. nelayan menjadi sangat kecil.
Perhatian pemerintah terhadap kesejah- Dari penjelasan di atas terungkap bahwa
teraan nelayan secara khusus juga dinilai oleh peran Tempat Pelelangan Ikan (TPI) tidak efektif.
para informan belum signifikan. Pemerintah sela- Menurut para informan nelayan, hasil tangkapan
ma ini hanya memberikan bantuan berupa ban- mereka langsung dijual ke bakul (tengkulak ikan)
tuan sembako dimasa peceklik (kebijakan umum). karena lebih mudah daripada kepada TPI. Hal ini
disebabkan nelayan sudah terlanjur membuat ikatan
Sistem Pemasaran perjanjian tertentu dengan para bakul.
Persoalan besar lainnya yang setiap hari Mekanisme pemasaran yang demikian je-
dihadapi para nelayan buruh ialah monopoli las merugikan nelayan tradisional, keterikatan
jaringan pemasaran hasil tangkapan. Bila musim pada para bakul menjadikan nelayan mau tidak
ikan berlang-sung, belum tentu pendapatan para mau harus menjual hasil tangkapannya ke bakul.
nelayan meningkat dengan sendirinya karena Kondisi ini telah melahirkan ketimpangan kese-
jaringan pemasaran dikuasai sepenuhnya oleh jahteraan yang mencolok antara nelayan yang
pedagang perantara. Hubungan para nelayan dirugikan dan para bakul yang lebih diuntungkan.
dengan pedagang perantara biasanya cukup erat.
Para nelayan selalu membutuhkan uang tunai Penegakan Hukum Terhadap Perusakan
yang biasanya selalu disediakan oleh pedagang Lingkungan
perantara dengan sistem pinjam berbunga tinggi. Perusakan ekosistem telah mengakibat-
Oleh karenanya, para nelayan kerap dirugikan kan berkurangnya hasil tangkapan karena hal ini
dalam hubungan tersebut. Peranan pedagang mengganggu keseimbangan sumber daya laut. Di
perantara dalam proses produksi dan pemasaran pihak masyarakat nelayan sebenarnya telah ada
hasil tangkapan nelayan telah menggantikan upaya-upaya untuk merehabilitasi ekosistem pe-
kedudukan dan peranan organisasi formal seperti sisir yang telah rusak. Masyarakat sudah menya-
KUD Mina. Teknologi pengawetan hasil dari akibat perusakan terhadap lingkungan teru-
tangkapan pun biasanya dikuasai oleh pedagang tama hutan bakau. Masyarakat beserta petugas
perantara tersebut. Dengan demikian, turun dari lingkungan hidup dan dinas kelautan beru-
naiknya harga ikan sangat bergantung pada saha terus menjaga dan mengawasi kelestarian
kemauan pedagang perantara ini. hutan bakau yang masih baik. Perbaikan
Selain itu terkait mekanisme pemasaran, lingkungan yang dimulai dengan menanami kembali
posisi tawar nelayan secara umum lemah. Untuk hutan mangrove seluas 20 ha di Desa Sawojajar
mendapatkan kebutuhan produksinya nelayan menjadi bukti kesadaran masyarakat untuk menjaga
harus membeli dari penjual yang terjadi dibanyak lingkungan dan memperbaiki ekosistem lebih yang
tempat selalu dimonopoli oleh penjual atau lebih baik.
pengusaha tertentu. Dari sisi penjualan hasil tang- Namun, upaya rehabilitas hutan man-
kapan ikan, harga ikan lebih banyak ditentukan grove tidak didukung dengan penegakan hukum
oleh bakul. Posisi nelayan sangat dilematis yang tegas. Penggunaan jaring arad yang jelas-
karena mereka (terpaksa) menjual ikannya jelas merusak ekosistem belum mendapatkan tin-
dengan harga yang ditentukan oleh pedagang dakan yang tegas dari aparat penegak hukum atau
perantara. Walaupun seolah-olah harga ditentu- instansi terkait. Demikian pula penegakan hukum
Perumusan Kebijakan Publik dalam Menggali Akar Kemiskinan, (Rosyadi & Tobirin) 123
terhadap perusakan hutan mangrove tidak men- juragan, ketergantungan yang tinggi terhadap okupasi
dapatkan tindakan tegas. Walaupun sudah ada melaut, dampak penggunaan peralatan tangkap yang
petugas penjaga hutan, namun perannya tidak tidak ramah lingkungan, kerusakan ekosistem pesisir,
lebih sebagai pengawasan lingkungan. Akibat kebijakan pembangunan perikanan dan kelautan
ketiadaan penegakan hukum yang tegas, potensi yang tidak memihak buruh nelayan, sistem pemasaran
sumber daya laut yang dimiliki oleh komunitas nela- yang menguntungkan tengkulak, penegakan hukum
yan Desa Sawojajar semakin mengalami proses yang lemah terhadap perusakan lingkungan, dan
degradasi. langkanya peluang kerja. Sementara itu, tekanan
kemiskinan di komunitas desa agraris hanya
Keterbatasan peluang Kerja mencakup faktor keterbatasan sumber daya
Dalam menghadapi masa paceklik nela- manusia, kesulitan melakukan diversifikasi usaha
yan Sawojajar di hadapkan pada masalah yang pertanian, ketergantungan yang tinggi terhadap
cukup krusial. Tidak adanya kemampuan alternatif pekerjaan petani, kebijakan pembangunan yang
yang dimiliki menjadikan mereka sulit dalam mencari tidak memberdayakan petani, sistem pemasaran
peluang kerja yang lain. Adanya keterbatasan hasil pertanian yang menguntungkan salah satu
peluang kerja, selain karena kondisi geografis yang pihak, dan terbatasnya peluang kerja di sektor
tidak memungkin untuk usaha lain, nelayan juga non-pertanian. Kompleksnya tekanan sosial
terkadang pasrah terhadap kehidupannya. Ruang ekonomi di wilayah desa pesisir menunjukkan
gerak para nelayan untuk berpindah ke profesi lain bahwa desa nelayan merupakan wilayah kantong
sudah kecil, karena secara umum masyarakat utama kemiskinan.
Sawojajar telah terpetak-petak menjadi petani Diantara faktor-faktor pemicu kemiskinan,
darat, petani tambak dan nelayan. Sehingga masing- keterbatasan sumber daya manusia ditemukan baik
masing sudah ada bagiannya sendiri-sendiri. di desa agraris maupun desa pesisir. Rendahnya
Konflik kepentingan antara nelayan dan tingkat pendidikan dan penguasaan keterampilan di
petambak dalam masalah rencana pembuatan luar pekerjaan petani atau nelayan telah
pelabuhan juga semakin mempersulit kepen- menyebabkan minimnya kemampuan melakukan
tingan para nelayan. Di satu sisi, nelayan diversifikasi usaha dan ketergantungan yang tinggi
membutuhkan pelabuhan agar memudahkan pada pekerjaan bercocok tanam atau menangkap
nelayan untuk bersandar sehingga tidak perlu ikan. Temuan studi ini menguatkan hasil kajian
jauh di luar kota. Tetapi, disisi lain, menurut Furkon (2009:1) yang melaporkan bahwa akar
petambak pembuatan pelabuhan akan memakan masalah kemiskinan nelayan berasal dari modal
areal mereka (masalah pembebasan lahan). Hal sumber daya nelayan yaitu rendahnya tingkat
ini mengakibatkan pelung kerja nelayan semakin pendidikan dan penguasaan keterampilan. Karena
sempit karena sarana prasaran yang kurang derajat human capital yang rendah ini telah
mendukung. menyebabkan nelayan tidak mampu mengakses
pekerjaan pada saat masa paceklik dan mengolah
PEMBAHASAN hasil tangkapan menjadi produk yang bernilai tinggi
secara ekonomis.
Data dari hasil penelitian menunjukkan Temuan menarik lainnya dari studi ini adalah
bahwa tekanan kemiskinan di pedesaan pesisir faktor kebijakan publik berperan negatif terhadap
lebih berat terhadap pedesaan agraris. Tekanan upaya pengentasan kemiskinan. Kebijakan alokasi
kemiskinan di komunitas desa nelayan mencakup sumber daya baik untuk desa agraris dan desa
faktor-faktor seperti keterbatasan kualitas sumber pesisir ternyata gagal untuk memberdayakan posisi
daya manusia, kelangkaan modal dan teknologi petani maupun nelayan. Tata niaga pupuk yang
penangkapan, minimnya diversifikasi usaha terjadi selama ini ternyata tidak berpihak pada
penangkapan, pola hubungan kerja dalam organisasi organisasi dan kepentingan petani. Sementara itu,
penangkapan yang lebih menguntungkan pihak untuk konteks desa pesisir kebijakan publik yang
124 Jurnal Ilmu Administrasi Negara, Volume 10, Nomor 2, Juli 2010: 114- 125
tujuannya untuk memfasilitasi modernisasi alat dilakukan oleh (Kusnadi, 2003:115) bahwa
tangkap justru memicu kompetisi yang tidak sehat rusaknya lingkungan pesisir memberikan dampak
dengan nelayan tradisional sebagai pihak yang yang besar terhadap proses pemiskinan masyarakat
dirugikan. Situasi ini menunjukkan bahwa faktor yang tinggal di sekitarnya.
institusi kebijakan berperan krusial dalam proses
pemberdayaan dan pemerataan manfaat SIMPULAN
pembangunan dalam upaya pengentasan kemiskinan
(Rahman dan Westley, 2001:561; Njifonjou, et al, Studi ini menambahkan pengetahuan
2006:456). Akar masalah dari kegagalan kebijakan baru mengenai studi formulasi kebijakan publik
pengentasan kemiskinan tersebut dapat ditemukan untuk memahami akar kemiskinan. Dengan pen-
dari kurang dipertimbangkannya faktor ketimpangan dekatan multi dimensional terhadap masalah
struktur kekuasaan (Green, 2006:1113; Bieri, kemiskinan, studi ini menunjukkan bahwa faktor
2009:11) dan ekosistem suatu wilayah (Namba, konteks atau lingkungan kebijakan memberikan
2003:1; Samal, et al., 2003:157). Ketimpangan implikasi yang berbeda terhadap gejala kemiskinan
kekuasaan di pedesaan dan ekosistem masalah di wilayah pedesaan. Fakta menunjukkan bahwa
kemiskinan yang sangat kompleks dan sulit diatasi komunitas nelayan ditemukan sebagai komunitas
seringkali tidak mendapatkan perhatian dari perumus yang dihuni oleh kelompok miskin yang lebih besar
kebijakan. Akibatnya, banyak kebijakan kemiskinan daripada komunitas agraris. Hal ini dikarenakan akar
justru menimbulkan efek kontraproduktif. penyebab kemiskinan di desa nelayan mencakup
Temuan lain dari studi ini adalah sistem atribut individual (rendahnya pendidikan), struktur
pemasaran hasil pertanian maupun tangkapan ekonomi politik (sistem pemasaran dan kebijakan
nelayan hanya menguntungkan pemilik modal. yang tidak memihak nelayan) dan ekologi (kerusakan
Situasi problematik ini telah menyebabkan posisi lingkungan pesisir akibat praktek penangkapan ikan
nelayan ataupun petani tidak berdaya. Indika- yang destruktif dan eksploitatif). Oleh karena itu,
sinya adalah petani atau nelayan harus menjual perumusan kebijakan publik di masa yang akan
produk mereka dengan harga rendah tetapi harus datang perlu memperhatikan variasi perbedaan
membeli harga tinggi untuk input produksinya. konteks lokasi dan tidak lagi mengadopsi strategi
Fakta ini menunjukkan bahwa kelompok miskin “satu pendekatan untuk semua masalah”.
masih terisolasi dari pasar baik di tingkat lokal Bukti empirik menarik lainnya dari studi ini
maupun nasional (Irz, et al, 2001:451). Menurut adalah strategi kebijakan publik di masa lalu dalam
Rahman dan Westley (2001:560), akses pasar yang rangka pengentasan kemiskinan ternyata tidak efektif
lebih baik untuk kelompok miskin seperti petani dan memberdayakan komunitas miskin. Kegagalan ini
nelayan dapat dilakukan dengan pengembangan terjadi karena lembaga pelaksana kebijakan tidak
infrastruktur dan kelembagaan pasar yang ramah mampu mengendalikan kooptasi elit dalam dalam
terhadap kepentingan nelayan dan petani. perebutan sumber daya. Kesimpulan yang dapat
Penegakan hukum lingkungan yang lemah ditarik dari temuan ini adalah kemiskinan terjadi
terhadap praktek overfishing yang mengakibatkan karena struktur kekuasaan yang terkonsentrasi pada
kerusakan lingkungan pantai utara Jawa adalah sekelompok kecil invidu. Oleh karena itu, formulasi
faktor pemicu kemiskinan yang khas yang ditemukan kebijakan publik untuk menanggulangi kemiskinan
pada komunitas desa nelayan. Lingkungan pantai haruslah sensitif terhadap konteks kekuasaan yang
yang rusak ditengarai menyebabkan penurunan tidak berimbang.
kesejahteraan nelayan karena minimnya hasil
tangkapan laut. Berbeda dengan kondisi lahan DAFTAR RUJUKAN
pertanian pada masyarakat agraris, walaupun
kondisinya juga parah namun relatif dapat mudah Anonim, 2007. Tingkat Kemiskinan di Indonesia
diperbaiki dengan pembuatan sarana irigasi yang Tahun 2007. Berita Resmi Statistik No.
memadai. Data hasil studi ini menguatkan studi yang 38/07/Th. X, 2 Juli 2007, BPS.
Perumusan Kebijakan Publik dalam Menggali Akar Kemiskinan, (Rosyadi & Tobirin) 125
Ashley, Caroline dan Simon Maxwell, 2001. Growth and Poverty Alleviation. Devel-
Rethinking Rural Development. Develop- opment Policy Review, Vol. 19 No. 4 : 449-
ment Policy Review, Vol.19, No. 4 : 395-425. 466.
Bieri, Sabin. 2009. Power and Poverty: Reduc- Kusnadi, 2006. Akar Kemiskinan Nelayan. LKis.
ing Gender Inequality by Ways of Rural Yogyakarta.
Employment? Paper presented at the
FAO-IFAD-ILO Workshop on Gaps, Namba, Anton, 2003. Pendekatan Ekosistem
trends and current research in gender di- dalam Penanggulangan Kemiskinan:
mensions of agricultural and rural employ- Refleksi Penanggulangan Kemiskinan di
ment: differentiated pathways out of pov- Sulawesi Tengah. Jurnal Ekonomi
erty, Rome. Kerakyatan. Vol. 2, No. 1.
Bradshaw, Ted K. 2007. Theories of Poverty and Njifonjou, et al, 2006. Fisheries Co-Management
Anti Poverty Programs in Community and Poverty Alleviation in the Context
Development. Journal of the Community of the Sustainable Livelihoods Approach:
Development Society (Spring) Vol. 38 No.1: A Case Study in the Fishing Communi-
7-25. ties of Aby Lagoon in Cote d’Ivoire. In-
ternational Journal of Sustainable Devel-
Easton, David. 1992. “Categories for the Systems opment and World Ecology Vol. 13: 448-
Analysis of Politics” in Bernard Susser, 458.
Approaches to the Study of Politics, Prentice
Hall, USA. McCulloch, et al, 2007. Pathways Out of Pov-
erty during an Economic Crisis: An Em-
Furkon, Ukon Ahmad, 2009. Kajian Kemiskinan pirical Assessment of Rural Indonesia.
pada Komunitas Nelayan di Cirebon, Working Paper Series No. 4173. World
Lampung Selatan, dan Cilacap Dengan Bank.
Pendekatan Participatory Poverty As-
sessment. Master Thesis - Development Rahman, Atiqur dan John Wesley, 2001. The Chal-
Studies, ITB. lenge of Ending Rural Poverty. Develop-
ment Policy Review, Vol. 19, No. 4: 553-
Green, Maia. 2006. Representing Poverty and 562.
Attacking Representations: Perspectives
on Poverty from Social Anthropology. Sujarwoto dan Tri Yumarni, 2007. Desa Rawan
Journal of Development Studies, Vol. 42, Pangan: Kritik Terhadap Kebijakan
No. 7, 1108–1129. Pangan Nasional dalam Konteks
Pembangunan Pedesaan Indonesia.
Irz, Xavier, Lin Lin, Colin Thirtle, dan Steve Jurnal Administrasi Publik . FIA- Univer-
Wiggins, 2001. Agricultural Productivity sitas Brawijaya, Malang. Vol. VII. No. 2.