You are on page 1of 12

395

PENGADILAN HAK ASASI MANUSIA SEBAGAI UPAYA PERTAMA DAN


TERAKHIR DALAM PENYELESAIAN PELANGGARAN BERAT HAK ASASI
MANUSIA DI TINGKAT NASIONAL

Lina Hastuti

Email: …..

Abstract

This article is to examine national courts as a forum first and final settlement of the case
enforcement as a gross violation of human rights and that mechanism. Research that is theoretical
research, encourage a fuller understanding of the conceptual basis of the principles of law and the
process of finding the rule of law, legal principles and legal doctrines in order to answer the legal
issues at hand. Based on Presidential Decree No. 53 of 2001 and Act No. 26 of 2004 established an ad
hoc human rights court in East Timor, to prosecute accused perpetrators responsible for gross
human rights abuses in East Timor after the popular consultation in 1999 and the results are very far
from expectations. The cause of the failure of the judicial process can be grouped in the legal and
non-legal factors. Legal factors are many weaknesses Act No. 26 of 2004. In addition, law
enforcement officers are not credible, so that the resulting decisions do not fulfil international
standards as an impartial tribunal and sense of fairness to all parties. While the non-legal factors
associated with the political aspects, such as perceived political will is lacking. National mechanisms
should be the first and last attempt to resolve as a gross violation of human rights, so there will be
no interference from the international court because of the inability and unwillingness of Indonesia.

Key words : gross human rights violations, law enforcement, national mechanism.

Abstrak

Tulisan ini mengkaji pengadilan nasional sebagai forum penyelesaian yang pertama sekaligus terakhir
dalam penyelesian kasus pelanggaran berat hak asasi manusia beserta mekanismenya. Penelitian yang
merupakan theoritical research, mendorong pemahaman lebih lengkap dasar konseptual dari asas-
asas hukum dan merupakan proses menemukan aturan hukum, prinsip-prinsip hukum maupun doktrin-
doktrin hukum guna menjawab isu hukum yang dihadapi. Berdasar Keppres Nomor 53 tahun 2001 dan
Undang-undang Nomor 26 tahun 2004 dibentuk pengadilan HAM ad hoc Timor Timur, untuk mengadili
pelaku yang didakwa bertanggung jawab atas pelanggaran berat HAM di Timor Timur pasca jajak
pendapat tahun 1999 dan hasilnya sangat jauh dari harapan. Penyebab kegagalan proses peradilan,
dapat dikelompokkan dalam faktor hukum dan non-hukum. Faktor hukum merujuk pada kelemahan
Undang-undang Nomor 26 tahun 2004. Selain itu, aparat penegak hukum tidak kredibel, sehingga
putusan-putusan yang dihasilkan tidak memenuhi standar internasional sebagai pengadilan yang tidak
memihak dan memenuhi rasa keadilan bagi semua pihak. Sementara faktor non-hukum terkait dengan
aspek politik, diantaranya kemauan politik pemerintah dirasakan masih sangat kurang. Mekanisme
nasional seharusnya menjadi upaya pertama dan terakhir untuk menyelesaikan pelanggaran berat
HAM, sehingga tidak akan ada campur tangan dari pengadilan internasional karena ketidakmampuan
dan ketidakmauan Indonesia.

Kata kunci : pelanggaran berat HAM, penegakan hukum, mekanisme nasional.

Pendahuluan mengadili pelaku pelanggaran berat HAM di Ti-


Keputusan pemerintah Indonesia untuk mor Timur pasca jajak pendapat tahun 1999
merupakan suatu upaya yang dimungkinkan da-

Artikel ini merupakan artikel hasil penelitian Hibah Pe- lam hukum internasional. Melalui Undang-un-
nelitian Mahasiswa Program Doktor Program Pascasar-
jana UNAIR 2011, sumber dana dari DIKTI dengan No. dang Nomor 26 tahun 2000 tentang Pengadilan
Kontrak Pelaksanaan Penelitian No. 76/H3.8/KEU/2011 HAM dan Keppres Nomor 53 Tahun 2001 diben-
tanggal 30 Juni 2011.
396 Jurnal Dinamika Hukum
Vol. 12 No. 3 September 2012

tuk pengadilan ad hoc terhadap pelang-garan Permasalahan


berat HAM yang terjadi di Tanjung Priok tahun Berdasarkan uraian di atas, dalam tulisan
1984 dan di Timor Timur tahun 1999. Upaya ini ini, fokus pembahasan adalah bagaimana peng-
dilakukan oleh Indonesia sebagai wujud tang- adilan nasional dapat menjadi forum penyele-
gung jawab Indonesia dan upaya yang dilakukan saian yang pertama sekaligus terakhir dalam
oleh pemerintah Indonesia dalam rangka me- kasus penyelesaian pelanggaran Hukum Interna-
nyelesaikan kasus tersebut di tingkat nasional. sional, yang dikatagorikan sebagai pelanggaran
Sebagai salah satu mekanisme dalam pe- berat hak asasi manusia. Selain itu, akan dikaji
nyelesaian pelanggaran terhadap hukum inter- hal-hal apa yang harus mendapat perhatian
nasional, penyelesaian melalui mekanisme na- agar mekanisme nasional menjadi efektif.
sional diharapkan dapat menjadi mekanisme
yang efektif, selain mekanisme internasional Metode Penelitian
dan campuran (hybrid). Hal ini didasarkan pada Penelitian hukum ini akan menjawab isu
pemikiran bahwa saat ini keinginan mewujud- hukum sebagaimana di atas adalah penelitian,
kan keadilan universal, mekanisme internasio- yang menurut Terry Hutchinson dalam bukunya
nal hanyalah sebagai pelengkap dari sistem pe- Researching and Writing in Law, sebagai theo-
negakan melalui mekanisme nasional. Mekanis- retical research, yaitu research which fosters a
me internasional dilaksanakan ketika mekanis- more complete understanding of the concep-
me nasional mengalami kegagalan, ketidak- tual bases of legal principles and of the com-
mampuan ataupun ketidakmauan untuk mene- bined effects of a range of rules and proce-
gakkan keadilan. Berdasar pada pemikiran bah- dures that touch on a particular area of acti-
wa pengadilan internasional tidak akan pernah vity. Sebagai penelitian hukum, penelitian ini
mampu mengadili semua kasus internasional, merupakan proses untuk menemukan aturan
tanggung jawab utama masih pada negara un- hukum, prinsip-prinsip hukum maupun doktrin-
tuk menuntut dan menghukum kejahatan paling doktrin hukum guna menjawab isu hukum yang
serius menurut hukum internasional.1 dihadapi. Pendekatan yang dipergunakan dalam
Penyelesaian melalui mekanisme nasio- penelitian pendekatan peraturan perundangan
nal sudah menjadi pilihan, keputusan pemerin- (statuta approach), pendekatan konseptual
tah dengan membentuk pengadilan di tingkat (conceptual approach), dan pendekatan historis
nasional juga merupakan pilihan tepat. Namun (historical approach). Ketiga pendekatan meru-
demikian, Pengadilan ad hoc yang dimulai pada pakan satu kesatuan yang utuh dan sesuai de-
bulan Maret 2002 menunjukkan ketidaksunggu- ngan tipe penelitian, pendekatan konseptual
han dari pemerintah Indonesia. Sebanyak 12 si- (conseptual approach) lebih banyak diperguna-
dang pada peradilan ini, dari 18 terdakwa, ha- kan dibanding dua pendekatan lainnya.
nya 6 (enam) yang dinyatakan bersalah. Terda-
pat berbagai faktor, mulai dari kelemahan-ke- Pembahasan
lemahan dalam Undang-undang nomor 26 ta- Mekanisme Penegakan Pelanggaran Berat Hak
hun 2000, ketidakprofesionalan aparat penegak Asasi Manusia dalam Hukum Internasional
hukumnya, ringannya hukuman yang sering di Anggapan bahwa hukum internasional
bawah minimum hukuman yang diatur dalam merupakan hukum yang lemah (weak law) ka-
undang-undang dan terdakwa yang divonis te- rena tidak dapat ditegakkan dan semakin luntur
tap bebas di saat belum ada keputusan ban- dengan perkembangan yang terjadi dalam ma-
ding, dan sebagainya menjadi alasan para pihak syarakat internasional. Pelanggaran atas Hukum
untuk mengatakan pengadilan telah gagal. Internasional tidak lagi dibebankan hanya kepa-
da negara, melainkan juga kepada individu. Hal
1
Michael Cottier, “War Crimes in International Law: An
ini sesuai dengan perkembangan yang terjadi
Introduction”, Jurnal Hukum Humaniter, Vol.1, No.1, setelah Perang Dunia II terkait dengan pengaku-
Juli 2005, Pusat Studi Hukum Humaniter dan HAM
(terAS), FH Universitas Trisakti, Jakarta, hlm. 37.
an beberapa entitas selain negara sebagai sub-
Pengadilan Hak Asasi Manusia sebagai Upaya Pertama dan Terakhir… 397

jek hukum internasional.2 Sejalan dengan peng- wab individu untuk tiga jenis kejahatan yang
akuan individu sebagai subjek hukum Interna- dikatagorikan sebagai kejahatan internasional,
sional, untuk pelanggaran terhadap hukum in- yaitu kejahatan terhadap perdamaian (crimes
ternasional yang dikatagorikan sebagai kejahat- against peace), kejahatan perang (war crimes)
an internasional, dikenal tanggung jawab pida- dan kejahatan terhadap kemanusiaan (crimes
na individu. against humanity).5
Pelanggaran berat hak asasi manusia da- Meskipun kedua tribunal seringkali dika-
lam lingkup hukum internasional merupakan ke- takan sebagai pengadilan dari pihak pemenang
jahatan internasional, kejahatan yang diang- perang untuk pihak yang kalah perang (victory
gap sebagai musuh bersama umat manusia (hos- justice), namun beberapa hal dapat dicatat
tis humanis generis), karena berkaitan dengan memberikan sumbangan bagi perkembangan
kepentingan masyarakat internasional secara hukum internasional. Dalam tanggung jawab pi-
keseluruhan. Oleh karena menjadi tanggung ja- dana individu, seseorang tidak dapat berlindung
wab semua umat manusia (obligatio erga om- di balik negara, mekipun pada saat itu sedang
nes) untuk menyelesaikannya secara hukum, melaksanakan tugas negara.6
menghukum pelakunya secara adil.3 Terhadap Keberhasilan Tribunal Nuremberg dan
pelaku kejahatan internasional akan diminta Tokyo menjadi inspirasi pada beberapa waktu
pertanggungjawaban individu secara pidana kemudian untuk membentuk pengadilan ad hoc
dan yurisdiksi yang berlaku dalam hal ini adalah dalam penyelesaian kasus yang terjadi di Yu-
yurisdiksi universal. Yurisdiksi universal adalah goslavia dan Rwanda. Berdasar Resolusi Dewan
respon hukum internasional atas fenomena im- Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa (selan-
punitas bagi pelaku pelanggaran kejahatan se- jutnya disingkat DK PBB) 827 tanggal 2 Mei 1993
rius menurut hukum internasional, yang karena dibentuk International Criminal Tribunal for
mendapatkan impunitas, pelaku dengan bebas Former Yugoslavia (ICTY) dan berdasar Resolusi
melakukan kegiatan di berbagai belahan dunia, DK PBB 955 8 November 1994 dibentuk Interna-
tanpa tuntutan hukum.4 tional Criminal Tribunal for Rwanda (ICTR).
Keinginan masyarakat internasional un- Perkembangan berikutnya dalam rangka
tuk meminta pertanggungjawaban pidana indi- penegakan kejahatan internasional adalah pe-
vidu telah lama ada, namun baru terlembaga ngadilan campuran (hybrid tribunal) yang me-
setelah Perang Dunia II, yaitu dengan adanya madukan atau menggabungkan antara unsur-un-
International Military Tribunal at Nuremberg sur lokal/nasional dan internasional. Bentuk pe-
1945 dan International Military Tribunal for ngadilan yang demikian merupakan jawaban
Far East 1946. Setelah dua tribunal tersebut, atas pengalaman dari pengadilan-pengadilan
konsep tanggung jawab pidana individu (indivi- sebelumnya, yaitu ”gap” antara pengadilan na-
dual criminal responsibility) semakin diakui da- sional dan internasional. Untuk pengadilan na-
lam hukum internasional. Dalam tribunal terse- sional, masalah utama adalah kurangnya kre-
but, pertama kali dikenal konsep tanggung ja- dibilitas dan inkompeten, sementara pengadi-
lan internasional memiliki keterbatasan dalam
2
Rein A. Mullerson, “Human Rights and the Individual as hal kewenangan dan mandat. Saat ini telah di-
a Subject of International Law: A Soviet View”, Europe-
an Journal of International Law (EJIL), Vol.1 No. 1, bentuk empat pengadilan campuran, tiga didiri-
1990, Badia Fiesolana: European University Institut. kan antara tahun 1999 dan 2001 di Timor Timur
hlm.34.
3
Asmara Nababan, “Penyelesaian Pelanggaran Hak Asasi (the Special Panels for Serious Crimes of the
Manusia yang Berat: Belajar dari Pengalaman”, Jurnal District Court of Dili), di Kosovo (Regulation
HAM Komisi Nasional Hak Asasi Manusia, Vol.2 N0.2,
Nopember 2004, Jakarta: Komisi Nasional Hak Asasi 64” Panels in the Courts of Kosovo), di Sierra
Manusia. hlm. 94.
4
Ridarson Galingging, “Universal Jurisdiction in Absentia
5
*Congo v. Belgium, ICJ, Feb.14, 2002”, Jurnal Hukum Edoardo Greppi, “The Evolution of Individual Criminal
Internasional Vol. 1 No. 2, Agustus 2002, Jakarta: Lem- Responsibility under International Crime”, International
baga Pengkajian Hukum Internasional Fakultas Hukum Review of the Red Cross No.835, 1999, hlm. 531-534.
6
Universitas Indonesia, hlm. 103. Ibid, hlm. 535.
398 Jurnal Dinamika Hukum
Vol. 12 No. 3 September 2012

Leone (Special Court of Sierra Leone) dan di PBB mendirikan International Commis-
Kamboja (the Extraordinary Chambers in the sion of Inquiry on East Timor (ICIET) atau Ko-
Courts of Cambodia).7 misi Internasional Pencari Fakta untuk Timor
Puncak keberhasilan masyarakat interna- Timur. Di dalam negeri, upaya yang dilakukan
sional dalam upaya penegakan hukum atas pe- Komnas HAM adalah membentuk Komisi Penye-
langgaran hukum internasional, utamanya keja- lidik Pelanggaran HAM di Timor Timur (selan-
hatan internasional dengan tanggung jawab pi- jutnya disebut KPP-HAM) pada tanggal 22 Sep-
dana individu, terjadi pada tahun 1998. Saat tember 1999 dengan Surat Keputusan Nomor
itu, di Roma 17 Juli 1998, 120 negara sepakat 770/TUA/IX/99, kemudian dengan mengingat
menandatangani Statuta Roma 1998, yang me- UU No. 39 tahun 1999 tentang HAM dan Perpu
nandai berdirinya International Criminal Court No. 1 tahun 1999 tentang Pengadilan HAM,
(ICC) yang menjadi pengadilan pidana interna- disempurnakan dengan Surat Keputusan Nomor
sional yang bersifat permanen. 797/TUA/X/99 tanggal 22 Oktober 1999.
Meskipun ICC merupakan pengadilan yang International Commission of Inquiry on
bersifat permanen, namun sebagaimana tersu- East Timor (ICIET) merekomendasikan agar PBB
rat Mukadimah Statuta Roma 1998, yaitu em- mendirikan pengadilan hak asasi manusia untuk
phasizing that the international criminal court para pelaku pelanggaran berat hak asasi manu-
established under the Statute shall be comple- sia di Timor Timur sejak Januari 1999. Para ha-
mentary to national criminal jurisdiction. Prin- kim akan diusulkan oleh PBB, tetapi lebih di-
sip komplementaris ini memperkuat dan me- utamakan berasal dari Timor Timur dan Indo-
lengkapi mekanisme nasional, dengan tetap nesia, sedang tempat kedudukannya bisa di In-
menghormati kedaulatan setiap negara. Hal ini donesia, Timor Timur ataupun di tempat lain
disebabkan karena setiap negara tetap mempu- yang relevan. Sementara hal yang sama juga di-
nyai kesempatan yang sama untuk mengatur lakukan oleh KPP-HAM agar DPR dan Pemerin-
mekanisme nasionalnya atas pelanggaran hu- tah segera membentuk pengadilan untuk me-
kum internasional yang termasuk kejahatan in- ngadili pelanggaran berat hak asasi manusia
ternasional. dengan mengacu pada hukum nasional dan hu-
kum internasional, khususnya hukum hak asasi
Pengadilan HAM Ad Hoc untuk Pelanggaran manusia dan hukum humaniter.10 Pada tanggal
HAM Berat di Timor-Timur 23 November 2000, DPR mensahkan berlakunya
Tindak kekerasan yang terjadi pasca ja- Undang-undang Nomor 26 tahun 2000 tentang
jak pendapat dikenal sebagai pelanggaran berat Pengadilan HAM yang menggantikan Perppu No-
hak asasi manusia terjadi setelah Pemerintah mor 1 tahun 1999.
Republik Indonesia mengeluarkan opsi pada Sebagai proses untuk ke pengadilan, KPP-
tanggal 27 Januari 1999. Opsi tersebut me- HAM melakukan penyelidikan dan kemudian
nyangkut masa depan Timor Timur, yaitu mene- hasilnya ditindaklanjuti oleh Tim Penyelidik Ke-
rima atau menolak otonomi khusus.8 Hasil ja- jaksaan Agung yang menyelesaikan tugasnya
jak pendapat memperlihatkan, 78,5 % pemilih pada tanggal 1 September 2000. Hasil penyeli-
menginginkan merdeka dari Indonesia.9 dikan KPP-HAM dan penyidikan Kejaksaan A-
gung dapat dilihat dari tabel di bawah ini:11
7
Andrey Sujatmoko, “Pengadilan Campuran (“Hybrid
Tribunal”) sebagai Forum Penyelesaian atas Kejahatan
10
Internasional”, Jurnal Hukum Humaniter, Vol.3, No.5, Rudi M. Rizki, “Beberapa Catatan tentang Pengadilan
Oktober 2007, Jakarta: Pusat Studi Hukum Humaniter Pidana Internasional Ad Hoc untuk Yugoslavia dan
dan HAM (terAS), FH Universitas Trisakti, hlm. 977-978. Rwanda serta Penerapan Prinsip Tanggung Jawab Nega-
8
Catriona Drew, “The East Timor Story: International ra dalam Pelanggaran Berat HAM”, Jurnal Hukum Hu-
Law on Trial”, European Journal of International Law maniter, Vol.1, No.2, April 2006, Pusat Studi Hukum
(EJIL), Vol. 2 No. 4, 2001, Badia Fiesolana: European Humaniter dan HAM (terAS), FH Universitas Trisakti,
University Institut. hlm. 675. Jakarta, hlm. 277-278.
9 11
Suzannah Linton, “New Approaches to International David Cohen, 2004, Dimaksudkan supaya Gagal Proses
Justice in Cambodia and East Timor”, RICR Mars ICRC, Persidangan pada Pengadilan HAM Ad Hoc di Jakarta,
Vol. 84 No. 845, 2002, hlm.103. International Center for Transitional Justice, hlm. 11.
Pengadilan Hak Asasi Manusia sebagai Upaya Pertama dan Terakhir… 399

Tabel 1. Perbandingan Hasil Penyelidikan KPP-HAM dengan Kejaksaan Agung pada Kasus Pelanggaran
Berat HAM di Timor Timur.

Dakwaan Laporan KPP-HAM


Kejaksaan Agung
Pola 1. Pembunuhan 1. Pembunuhan massal
Kejahatan 2. Penganiayaan 2. Penyiksaan & penganiayaan
3. Penghilangan paksa
4. Perbudakan seksual dan perkosaan
Empat peristiwa : 5. Operasi bumi hangus
1. Pembantaian 6. Pemindahan paksa dan deportasi
di Liquica 7. Penghancuran dan penghilangan bukti
2. Pembantaian
Peristiwa di Gereja Suai Enam belas kasus utama, meskipun tidak terbatas
Kejahatan 3. Penyerangan
rumah Manuel
Carrascalao
4. Penyerangan
rumah Uskup
Belo
Tempat Tiga lokasi/kabu- Di semua 13 kabupaten Timor Timur
Kejahatan paten:
1. Suai
2. Dili
3. Liquica
Yang 16 individu Lebih dari 100 individu,termasuk mereka yang di-duga melakukan
diduga kejahatan secara langsung dan me-reka yang berada pada komando paling
pelaku tinggi
Rentang April 1999 dan Januari hingga September 1999
Waktu September 1999

Dalam kasus Timor Timur, Pengadilan dengan perbedaan hasil penyelidikan oleh KPP-
HAM ad hoc Jakarta Pusat mempunyai kompe- HAM dengan hasil penyidikan oleh Kejaksaan
tensi dan kewenangan untuk mengadili perkara Agung memperlihatkan apa yang dilakukan
tersebut. Hal ini sesuai dengan Pasal 2 Keppres hanyalah untuk meredam desakan yang muncul
RI nomor 96 tanggal 1 Agustus 2001, yang meru- dari berbagai elemen masyarakat. Putusan yang
pakan penyempurnaan dari Keppres RI nomor dijatuhkan kepada para terdakwa memperlihat-
53 tahun 2001 yang memutuskan bahwa yang kan adanya suatu kelemahan dari sistem yang
berwenang untuk memeriksa dan mengadili ada. Suatu proses pengadilan dikatakan sesuai
perkara pelanggaran HAM yang berat yang ter- dengan standar internasional haruslah memenu-
jadi di Timor Timur adalah Pengadilan HAM Ja- hi kriteria sebagai suatu pengadilan yang adil
karta Pusat. (fair trial). Banyaknya terdakwa yang bebas bu-
kan berarti dapat dikatakan tidak ber-langsung
Pengadilan yang Gagal peradilan yang sesuai dengan standar interna-
Sebanyak 12 persidangan pada peradilan sional, namun yang lebih penting adalah meka-
HAM ad hoc yang berlangsung sejak bulan Maret nisme yang ada telah sesuai dengan kriteria pe-
2002 di PN Jakarta Pusat, telah menghasilkan ngadilan yang mandiri dan tidak memihak.
putusan sebagaimana tampak pada Tabel 2 di Pada pengadilan yang berlangsung, para
bawah ini. Proses yang diadakan untuk menye- terdakwa dinyatakan melakukan pelanggaran
lesaikan kasus yang terjadi di Timor Timur, dari hak asasi manusia, yaitu kejahatan terhadap
penyelidikan, penyidikan sampai persidangan, kemanusiaan. Namun, dalam pelaksanaannya,
penilaian bahwa proses tersebut dilakukan ti- majelis hakim tidak mempunyai persepsi yang
dak dengan persiapan yang matang dan sung- sama, terutama mengenai makna unsur meluas
guh-sungguh tidak dapat diabaikan. Dimulai dan sistematik. Adanya pemahaman yang tidak
400 Jurnal Dinamika Hukum
Vol. 12 No. 3 September 2012

Tabel 2. Rekapitulasi Persidangan HAM Ad Hoc di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat

Vonis
Berkas Terdakwa Tuntutan
Tingkat I Banding Kasasi PK
I Timbul Silaen Pidana Penjara 10 Bebas - Bebas -
(Kapolda Tim-Tim Tahun 6 Bulan
II Abilio Jose Soares Pidana Penjara 10 Pidana Penjara 3 Tahun 3 Tahun Bebas
(Mantan Gubernur Tahun 3 Tahun
Tim-Tim
III Herman Sedyono Pidana Penjara 10 Bebas - Bebas -
(Mantan Bupati KDH Tahun
Tk. II Covalima)
Liliek Koeshadianto Pidana Penjara 10 Bebas - Bebas -
(Mantan PLH Dandim Tahun 6 Bulan
Suai)
Gatot Subiyaktoro Pidana Penjara 10 Bebas - Bebas -
(Mantan Kapolres Tahun 3 Bulan
Suai)
Achmad Syamsudin Pidana Penjara 10 Bebas - Bebas -
(Mantan Kasdim Tahun
1635 Suai)
Sugito (Mantan Pidana Penjara 10 Bebas - Bebas -
Danramil Suai Tahun
Johny W. Usman - - - Bebas -
Daud Sihombing Bebas
IV Asep Kuswani Pidana Penjara 10 Bebas - Bebas -
(Mantan Dandim Tahun
Liquisa)
Adios Salopa Pidana Penjara 10 Bebas - Bebas -
(Mantan Kapolres Tahun
Liquisa)
Leonito Martin Pidana Penjara 10 Bebas - Bebas -
(Mantan Bupati Tahun
Liquisa)
V Endar Priyanto Pidana Penjara 10 Bebas - Bebas -
(Mantan Dandim Tahun
Dili)
VI Sudjarwo (Mantan Pidana Penjara 10 Pidana Penjara Bebas Bebas -
Dandim Dili) Tahun 5 Tahun
VII Hulman Gultom Pidana Penjara 10 Pidana Penjara Bebas Bebas -
(Mantan Kapolres Tahun 5 Tahun
Dili)
VIII Eurico Guterres Pidana Penjara 10 10 Tahun 5 Tahun 10 Tahun -
(Mantan Wakil Tahun
Panglima Pro
Integrasi)
IX Adam Damiri Bebas Pidana Penjara Bebas Bebas -
(Mantan Pangdam 3 Tahun
Udayana
X Tono Suratman Pidana Penjara 10 Bebas - Bebas, kare- -
(Mantan Danrem Tahun na JPU lupa
Wiradharma) membuat me-
mori kasasi
XI Noer Muis (Mantan Pidana Penjara 10 Pidana Penjara Bebas Bebas -
Danrem Tahun 5 Tahun
Wiradharma)
XII Yayat Sudarajat Pidana Penjara 10 Bebas - Bebas -
(Mantan Dansatgas Tahun
Tribuana)
Pengadilan Hak Asasi Manusia sebagai Upaya Pertama dan Terakhir… 401

sama dari majelis hakim nampak juga pada pelanggaran berat hak asasi manusia di Timor
konsep tanggung jawab komandan. Formulasi Timur gagal memperlihatkan proses yang me-
yang tidak jelas atas kejahatan terhadap kema- menuhi standar internasional. Persidangan yang
nusiaan dan kurangnya pemahaman tentang ada tidak dilaksanakan secara konsisten seba-
tanggung jawab komandan nampak pada pu- gaimana maksud diadakan pengadilan tersebut,
tusan bebas untuk seluruh terdakwa, khususnya yaitu mewujudkan keadilan dan membawa me-
atas dakwaan tanggung jawab komandan.12 reka sebagai pelaku untuk bertanggung ja-
Penyebab lain dari kegagalan proses pe- wab.14 Berbagai pihak yang melakukan penga-
ngadilan ini adalah terkait dengan hukum aca- matan dan analisa mengungkapkan bahwa pe-
ranya. Meskipun Undang-undang Nomor 26 Ta- ngadilan yang telah berlangsung di bawah stan-
hun 2000 menjadi dasar dari suatu pengadilan dar, kurangnya penguasaan mengenai perkara
hak asasi manusia yang merupakan perkara dan hukum acaranya, dan kemauan politik pe-
pidana yang luar biasa (extra ordinary crime), merintah yang tidak kuat.
namun tidak dilengkapi dengan hukum acara Dari hasil tersebut, dicoba untuk menge-
yang luar biasa juga. Bahkan untuk hukum aca- lompokkan hal-hal yang dianggap menjadi kele-
ra, merujuk pada hukum acara pidana biasa mahan dan hambatan dari proses peradilan ter-
yang diatur melalui Kitab Undang-undang Hu- sebut, sebagai berikut. Pertama, Undang-un-
kum Acara Pidana (KUHAP). Hal ini menunjuk- dang Nomor 26 Tahun 2000. Harapan besar la-
kan ketidaksesuaian antara kriteria kejahatan hir pada awal diundangkannya Undang-undang
dengan prosedur hukum dalam implementasi- Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan hak
nya. asasi manusia. Selain akan menjadi payung hu-
Terkait dengan pengadilan ad hoc untuk kum bagi penyelesaian kasus-kasus pelanggaran
Timor Timur, banyak pihak yang dari awal me- berat hak asasi manusia, juga menunjukkan
ragukan keberhasilan pengadilan untuk Timor martabat dan harga diri bangsa. Namun kenya-
Timur, bahkan Sekjen PBB Kofi Anan dalam taannya jauh panggang dari api, karena sampai
kunjungannya ke Timor Leste menyatakan: ka- saat ini belum ada satupun kasus yang ada,
mi berjanji untuk memastikan bahwa pihak- tuntas diselesaikan melalui proses pengadilan
pihak yang terbukti melakukan pelanggaran yang memenuhi rasa keadilan. Pengadilan HAM
HAM semasa dan pasca penentuan jajak pen- hingga kini gagal menekan impunitas.15
dapat bulan Agustus 1999 akan dibawa ke pe- Tidak dapat dipungkiri, lahirnya Undang-
ngadilan. Jika ingin menghindari pengadilan in- undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadil-
ternasional, pemerintah Indonesia harus mem- an Hak Asasi Manusia sebagai akibat dari desak-
buktikan bahwa pengadilan HAM yang dilaku- an masyarakat nasional maupun internasional
kannya benar-benar transparan dan memenuhi terhadap peristiwa yang terjadi di Timor Timur.
standar internasional.13 Atas dasar itulah, pada tanggal 8 Oktober 1999,
untuk melaksanakan ketentuan Pasal 104 ayat
Kelemahan Pengadilan Hak Asasi Manusia ad (1) Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999, diun-
hoc Timor Timur dangkan Peraturan Pemerintah Pengganti Un-
Proses pengadilan HAM ad hoc untuk Ti- dang-Undang (Perppu) Nomor 1 Tahun 1999
mor Timur di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat tentang Pengadilan HAM.
telah selesai dan hasilnya jauh dari memuas-
kan. Uji coba pengadilan ad hoc nasional untuk
14
Suzannah Linton, “Unravelling the First Three Trials at
Indonesia's Ad Hoc Court for Human Rights Violations in
12
Devy Sondakh, “Kejahatan terhadap Kemanusiaan”, East Timor”, Leiden Journal of International Law,
Jurnal Hukum Humaniter, Vol.2, No.3, Oktober 2006, Vol.17 issue 02, 2004, Rapenburg: Universiteit Leiden.
Pusat Studi Hukum Humaniter dan HAM (terAS), FH hlm.303.
15
Universitas Trisakti, Jakarta, hlm. 550-551. Halili, “Pengadilan HAM dan Pelanggengan Budaya
13
Dikutip dari Tb Rony Rahman Nitibaskara, “Pengadilan Impunitas”, CIVICS (Jurnal Kajian Kewarganegaraan),
Hak Asasi Manusia (HAM) dan Masyarakat internasional”, Vol. 7 No. 1, Juni 2010, Yogyakarta: Jurusan Pendidikan
Kompas, 20 Februari 2002, h.4. Kewarganegaraan Fakultas Ilmu Sosial UNY. hlm. 2.
402 Jurnal Dinamika Hukum
Vol. 12 No. 3 September 2012

Oleh karena Perppu 1/1999 tersebut di dalam penjelasan Pasal 7 dinyatakan untuk
atas dianggap tidak memadai oleh Dewan Per- kejahatan genosida dan kejahatan terhadap
wakilan Rakyat (DPR) untuk dijadikan Undang- kemanusiaan sesuai dengan Pasal 6 dan 7 Sta-
undang, maka Perppu tersebut dicabut dan se- tuta Roma 1998;17 undang-undang tidak menga-
bagai penggantinya, pada 23 November 2000, tur ketentuan yang sangat penting bagi pelak-
diundangkan Undang-Undang Nomor 26 Tahun sanaan proses peradilan yang merdeka dan ti-
2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia. dak memihak sebagaimana diatur dalam Pasal
Dalam Pasal 4 Undang-Undang Nomor 26 Tahun 70 dan 71 Statuta Roma 1998 mengenai offen-
2000 ini menetapkan kewenangan Pengadilan ses against the administration of justice dan
HAM yang dibentuk menurut Undang-undang sanctions for misconduct before the court;18
ini, yaitu memeriksa dan memutus perkara pe- dan dapat dicatat disini, bahwa Undang-undang
langgaran hak asasi manusia yang berat. Nomor 26 Tahun 2000 tidak secara lengkap me-
Selain desakan dari dalam negeri, pem- ngatur mengenai kejahatan internasional yang
bentukan pengadilan HAM juga akibat desakan menjadi kompetensi yurisdiksi ICC, yaitu keja-
luar negeri. Adanya kerusuhan sebelum dan se- hatan perang dan kejahatan agresi. Terlepas
sudah jajak pendapat di Timor Timur menye- dari pendapat mengenai termasuk tidaknya
babkan Dewan Keamanan (untuk selanjutnya kejahatan perang dalam pelanggaran berat hak
disingkat DK) PBB mengeluarkan Resolusi nomor asasi manusia atau tidak, sudah seharusnya In-
1264 pada tanggal 15 September 1999. Resolu- donesia mempunyai mekanisme hukum atau
si ini mendesak pemerintah Indonesia agar se- pengadi-lan untuk setiap pelanggaran Hukum
gera mengadili mereka yang bertanggung jawab Humaniter Internasional atau kejahatan pe-
terhadap terjadinya kekerasan di Timor Timur. rang19 (dalam persidangan, dalam kasus Abilio
Resolusi ini memberikan kewajiban internasio- Soares dan dua kasus lainnya, majelis hakim
nal secara mandatory kepada pemerintah Indo- menya-takan peristiwa yang terjadi di Timor
nesia untuk mengadili pelaku pelanggaran HAM Timur juga pelanggaran terhadap Pasal 3 com-
berat di Timor Timur melalui pengadilan ad mon article Konvensi Jenewa 1949 mengenai
hoc. Berdasarkan Pasal 25 Piagam PBB, Indone- konflik bersenjata yang berkarakter non-inter-
sia terikat secara hukum terhadap resolusi DK. nasional).
Jika Indonesia tidak melaksanakan kewajiban- Kedua, aspek hukum acara Undang-un-
nya, DK PBB dapat menjatuhkan sanksi penang- dang Nomor 26 tahun 2000 tidak disertai prose-
guhan hak-hak dan keistimewaan sebagai ang- dur hukum acara dalam rangka pengadilan hak
gota PBB (Pasal 5), mengeluarkan Indonesia da- asasi manusia tersebut. Hal ini berbeda dengan
ri keanggotaan PBB (Pasal 6) dan membentuk Statuta Roma 1998 yang dilengkapi dengan hu-
pengadilan ad hoc internasional (Pasal 29).16 kum acara khusus dan penjelasan unsur-unsur
Dengan kondisi yang demikian, Undang- kejahatan yang menjadi yurisdiksi ICC, yaitu
undang Nomor 26 Tahun 2000 lahir. Sebagai dalam Rules of Procedure dan Ele-ment of Cri-
akibatnya, berbagai kelemahan mulai muncul me.20
pada saat undang-undang yang menjadi dasar
17
berdirinya pengadilan HAM ad hoc diimplemen- Bhatara Ibnu Reza, “Yurisdiksi Universal Praktik, Prinsip
dan Realitas”, Jurnal HAM Komisi Nasional Hak Asasi
tasikan. Beberapa hal yang dapat dicatat seba- Manusia, Vol.2 N0.2, Nopember 2004, Jakarta: Komisi
gai kelemahan Undang-undang nomor 26 tahun Nasional Hak Asasi Manusia. hlm.77.
18
Muladi, “Mekanisme Domestik untuk Mengadili Pelang-
2000 adalah: undang-undang hanya mengadopsi garan HAM Berat melalui Sistem Pengadilan atas dasar
Statuta Roma 1998 yang melandasi berdirinya UU No.26 th 2000”, Seri Bacaan Kursus HAM untuk
Pengacara X tahun 2005, Jakarta: Lembaga Studi dan
ICC secara parsial, sementara secara tersurat Advokasi Masyarakat (ELSAM), hlm.8.
19
Rina Rusman, “Konsep Pelanggaran Berat Hak Asasi
16
Sumaryo Suryokusumo, “Aspek Moral dan Etika dalam Manusia dilihat dari Sisi Hukum Humaniter”, Jurnal HAM
Penegakan Hukum Internasional”, Jurnal Hukum Komisi Nasional Hak Asasi Manusia, Vol.2 N0.2,
Internasional Vol. 2 No. 2, Agustus 2003, Jakarta: Nopember 2004, Jakarta: Komisi Nasional Hak Asasi
Lembaga Pengkajian Hukum Internasional Fakultas Manusia. hlm. 5.
20
Hukum Universitas Indonesia, hlm. 104-105. Halili, op.cit., hlm. 6.
Pengadilan Hak Asasi Manusia sebagai Upaya Pertama dan Terakhir… 403

Ketiga, aparat penegak hukum dari pro- ma menguak kebenaran serta menyediakan
ses yang ada, timbul penilaian bahwa peradilan kompensasi dan rehabilitasi untuk para korban
yang berlangsung tersebut tidak didukung de- dengan mendirikan suatu Komisi Kebenaran dan
ngan aparat penegak hukum yang handal dan hanya menuntut pelaku utama untuk diajukan
memadai. Penguasaan mereka pada materi, ka- ke pengadilan.
rakteristik kejahatan, pemahaman mekanisme Berdasarkan Undang-undang Nomor 26
yang ada yang mungkin bisa merujuk pada pro- Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM dan Un-
ses pengadilan internasional yang telah ada se- dang-undang Nomor 27 tahun 2004 tentang Ko-
belumnya, kurang nampak, hanya sedikit dari misi Kebenaran dan Rekonsiliasi, terdapat dua
hakim yang benar-benar menguasai. format penyelesaian kasus pelanggaran hak a-
Keempat, faktor-faktor lainnya selain sasi manusia di Indonesia. Penegakan hukum
faktor di atas (faktor hukum), ketidakberhasi- untuk pelanggaran hak asasi manusia semesti-
lan dari proses yang ada disebabkan faktor la- nya sangat menjanjikan dengan adanya dua
innya seperti politik, sosial dan budaya. Tidak mekanisme tersebut, namun kenyataannya ja-
bisa diabaikan, lahirnya Undang-undang Nomor uh dari harapan.
26 Tahun 2000 tidak murni lahir atas kesadaran
dan kesungguhan pemerintah Indonesia untuk Menjadikan Pengadilan Nasional sebagai yang
penegakan HAM, melainkan akibat tekanan Pertama dan Terakhir
yang terus menerus dari masyarakat, baik na- Berdirinya Pengadilan HAM ad hoc di In-
sional maupun internasional. Sebagai akibat- donesia, khususnya untuk Timor Timur, sebe-
nya, Undang-undang Nomor 26 Tahun 2000 ti- narnya merupakan kesempatan yang sangat ba-
dak dipersiapkan secara matang dan sungguh- gus bagi Indonesia dalam hal penegakan dan
sungguh, yang akan menjadi dasar mekanisme penghormatan akan hak asasi manusia. Seba-gai
nasional yang efektif. Terbukti, meskipun dise- anggota masyarakat internasional, merupa-kan
butkan mengadopsi Statuta Roma 1998, namun kesempatan untuk membuktikan bahwa Indo-
tidak secara keseluruhan kompetensi yurisdiksi nesia berkehendak (willing) dan mampu (able)
ICC juga menjadi kompetensi yurisdiksi penga- menyelesaikan pelanggaran berat hak asasi ma-
dilan HAM ad hoc berdasar Undang-undang No- nusia, khususnya yang terjadi di Timor Timur.
mor 26 Tahun 2000. Nampak tidak adanya ke- Sayangnya proses peradilan yang ada tidak
mauan politik pemerintah untuk membuat per- memperlihatkan kesungguhan tersebut. Banyak
undang-undangan nasional yang efektif. pihak menilai pengadilan yang dilaksanakan di
Faktor sosial dan budaya, dapat dilihat Indonesia hanyalah untuk menghindari pengadi-
pada lemahnya penegakan hukum di tingkat lan internasional dan bertujuan melindungi pi-
nasional, tidak hanya untuk kasus pelanggaran hak-pihak yang bersalah. Catatan lainnya ada-
berat HAM di Timor Timur, namun juga pelang- lah keterlambatan dari mulai hasil penyelidikan
garan hukum lainnya. Dalam konteks penangan- KPP-HAM sampai terbentuknya Undang-undang
an pelanggaran hak asasi manusia di Indonesia, Nomor 26 tahun 2000, hasil KPP-HAM yang tidak
terdapat tiga pendekatan untuk menyelesaikan- dijadikan pegangan untuk menuntut oleh jaksa
nya.21 Pertama, memaafkan dan melupakan (to penuntut umum, perekrutan jaksa dan hakim
forgive and to forget). Kedua, menuntut semua yang tidak transparan dan berbagai persoalan
pelaku melalui jalur hukum dengan pengadilan lainnya yang mengakibatkan pengadilan yang
hak asasi manusia (to punish). Ketiga, meneri- berlangsung jauh dari harapan.
ma apa yang terjadi pada masa lalu, pada suatu Menurut hukum internasional, mekanisme
tingkat dan kondisi tertentu dengan fokus uta- nasional memang merupakan prioritas dalam
menyelesaikan kasus-kasus sebagaimana diatas.
21
Agung Yudhawiranata, “Menyelesaikan Pelanggaran Hak Setelah ICC berdiri pun, meskipun per-manen,
Asasi Manusia di Masa Lalu: Masalah Indonesia Pasca namun sifatnya adalah melengkapi (komple-
Transisi Politik”, Dignitas, Vol. I No.I tahun 2003,
hlm.25. mentaris) terhadap pengadilan nasional. De-
404 Jurnal Dinamika Hukum
Vol. 12 No. 3 September 2012

ngan demikian, sebenarnya mekanisme nasional Keenam, kejahatan perang sebaiknya dimasuk-
yang utama, dan hal sesuai dengan teori dalam kan dalam kompetensi yurisdiksi pengadilan na-
hukum internasional mengenai tanggung jawab sional, mengingat kejahatan perang merupakan
negara. Dalam hal terdapat pelanggaran hukum salah satu kejahatan internasional yang men-
internasional, maka sebelum diajukan tuntutan jadi kompetensi yurisdiksi ICC. Ketujuh, untuk
ke pengadilan internasional, langkah-langkah suatu mekanisme nasional yang efektif, yang
penyelesaian sengketa yang disediakan negara harus mendapat perhatian adalah persoalan
yang dituntut (local remedies) harus ditempuh mengadopsi instrumen hukum internasional ke
terlebih dahulu. dalam hukum nasional, dengan tetap menguta-
Untuk itu, agar mekanisme nasional men- makan kedaulatan negara serta tidak melupa-
jadi efektif, beberapa hal yang perlu diperhati- kan ketentuan Pasal 17 Statuta Roma 1998,
kan adalah sebagai berikut. Pertama, pengadil- terutama angka 2 dan 3.
an yang ada harus mencerminkan rasa keadilan
dari masya-rakat. Berbagai bentuk pengadilan Penutup
yang ada mempunyai tujuan untuk keadilan dan Simpulan
peng-hargaan atas hak korban. Pengadilan yang Pada Pengadilan HAM ad hoc untuk Ti-
lahir kemudian biasanya sebagi koreksi atas pe- mor Timur jelas sekali belum memenuhi stan-
ngadilan sebelumnya. Misalnya, pada IMT Nu- dar internasional sebagai mekanisme nasional
remberg dan Tokyo. Kesan bahwa pengadilan yang efektif. Kesan bahwa pengadilan diben-
tersebut dibentuk oleh pihak pemenang perang tuk hanya untuk menghindari pengadilan inter-
untuk mengadili pihak yang kalah perang sangat nasional nampak sekali. Undang-undang atau
dirasakan. Hal ini tidak mewakili keadilan ma- ketentuan hukum yang melandasi lahirnya pe-
syarakat internasional. Kedua, pengadilan yang ngadilan tersebut tidak disiapkan secara baik,
ada harus tidak memihak. Pada pengadilan ad sehingga banyak sekali kelemahan di dalam-
hoc Timor Timur sangat kuat kesan bahwa pe- nya, yang pada akhirnya menghasilkan proses
ngadilan diadakan untuk menghindari pengadil- peradilan yang jauh dari harapan. Aparat pe-
an internasional dan melindungi pihak-pihak negak hukum yang tidak siap, penguasaan me-
yang memang bersalah. Ketiga, apabila perun- ngenai kasus kurang sekali, sehingga dalam pe-
dangan nasional yang mengatur mengenai hal laksanaannya kesan bahwa sebagian jaksa dan
ini mengadopsi perjanjian internasional, maka hakim tidak menguasai nampak pada tuntutan
harus dilakukan secara menyeluruh. Mungkin dan keputusan.
ada yang disesuaikan dengan sistem hukum na- Untuk ke depan, bercermin dari kegagal-
sional, namun tidak mengurangi esensi dari ke- an mekanisme nasional harus tersedia model
tentuan yang telah ada. Keempat, pelanggaran mekanisme nasional yang lebih bagus dan efek-
berat HAM adalah extra ordinary crime. Dengan tif. Dengan pertimbangan bahwa mekanisme
demikian penegakan hukumnya akan berbeda nasional harus menjadi mekanisme penyelesai-
dengan hukum pidana biasa, demikian juga hu- an kasus-kasus serupa, agar tidak ada campur
kum acaranya. Pemahaman mengenai pelang- tangan pengadilan internasional. Model yang di-
garan berat HAM sebagai extra ordinary crime, maksud, selain dari kelemahan sistem yang per-
yang dengan demikian berbeda dengan hukum nah ada di pengadilan HAM ad hoc untuk Timor
pidana biasa mutlak diperlukan oleh para pene- Timur juga dengan mendasarkan pada pengadil-
gak hukum. Juga berkaitan dengan kasus-kasus an serupa yang pernah berlangsung di masyara-
pelanggaran terhadap kejahatan internasional kat internasional. Semuanya ditujukan agar me-
tidak bisa terlepas dari kasus serupa yang telah kanisme nasional melalui pengadilan HAM ad
diadili oleh pengadilan internasional menjadi hoc bisa menjadi upaya pertama dan terakhir
yurisprudensi bagi kasus serupa di tanah air. untuk penyelesaian pelanggaran berat HAM.
Kelima, kesiapan aparat penegak hukum apabi-
la suatu saat menghadapi kasus-kasus serupa. Saran
Pengadilan Hak Asasi Manusia sebagai Upaya Pertama dan Terakhir… 405

Pengalaman Indonesia dalam menyele- Cottier, Michael. “War Crimes in International


saikan pelanggaran Hukum Internasional di Pe- Law : an Introduction”. Jurnal Hukum
ngadilan ad hoc Timor Timur pada tahun 2002, Humaniter. Vol. 1 No. 1 edisi Juli 2005.
Jakarta: Pusat Studi Hukum Humaniter
menjadi pelajaran yang sangat berharga bagi dan HAM (terAS), FH Universitas Trisakti;
kehidupan berbangsa dan bernegara. Meskipun
David Cohen, 2004. Dimaksudkan supaya Gagal
proses pengadilan tersebut telah selesai bebe- Proses Persidangan pada Pengadilan HAM
rapa tahun yang lalu, namun untuk ke depan Ad Hoc di Jakarta. International Center
selalu relevan menjadi pedoman bagi kasus-ka- for Transitional Justice;
sus yang mungkin akan dihadapi oleh Indone- Drew, Catriona. “The East Timor Story: Inter-
sia. national Law on Trial”. European Journal
Kesiapan Indonesia dengan mempunyai of International Law (EJIL). Vol. 2 No. 4,
2001. Badia Fiesolana: European Univer-
seperangkat perundang-undangan nasional yang
sity Institute;
efektif untuk penyelesaian pelanggaran Hukum
Galingging, Ridarson. “Universal Jurisdiction in
Internasional, utamanya kejahatan internasio-
Absentia *Congo v. Belgium, ICJ, Feb.14,
nal akan menunjukkan martabat dan harga diri 2002”. Jurnal Hukum Internasional Vol. 1
bangsa. Sebagai negara yang merdeka dan ber- No. 2, Agustus 2002. Jakarta: Lembaga
daulat, yang menjadi subjek hukum internasio- Pengkajian Hukum Internasional Fakultas
nal, mutlak diperlukan suatu tindakan nyata Hukum Universitas Indonesia;
dalam hal persiapan dan kemampuan untuk me- Greppi, Edoardo. “The Evolution of Individual
nyelesaikan kasus-kasus yang menjadi kepenti- Criminal Responsibility under Interna-
tional Crime”. International Review of
ngan masyarakat internasional secara keselu- the Red Cross No. 835 tahun 1999;
ruhan. Untuk itu, diperlukan kemauan politik
Halili. “Pengadilan HAM dan Pelanggengan Bu-
dari pemerintah Indonesia, karena hal ini juga daya Impunitas”. CIVICS (Jurnal Kajian
merupakan kewajiban dari suatu negara dalam Kewarganegaraan). Vol. 7 No. 1 Edisi Juni
hal perlindungan warga negaranya. 2010. Yogyakarta: kantor Jurusan Pendi-
Tanpa melakukan upaya yang memadai dikan Kewarganegaraan Fakultas Ilmu So-
sial UNY;
dalam hal implementasi Hukum Internasional di
tingkat nasional, akan merugikan Indonesia sen- Juwana, Hikmahanto. “Hukum Internasional se-
bagai Instrumen Politik: Beberapa Penga-
diri. Terutama dalam masalah hak asasi manu-
laman Indonesia sebagai Studi Kasus”.
sia, keterlibatan hukum internasional (baca: Jurnal Hukum Internasional. Vol. 1 No. 1
negara maju) dalam urusan domestik negara edisi Oktober 2003. Jakarta: Lembaga
berkembang dikarenakan tidak diperhatikan- Pengkajian Hukum Internasional Fakultas
nya masalah hak asasi manusia oleh elit politik Hukum Universitas Indonesia;
dalam menjalankan roda pemerintahan, tidak Linton, Suzannah. “New Approaches to Inter-
akan bisa dihindari. Terlebih, saat ini, pelang- national Justice in Cambodia and East
Timor”. RICR Mars ICRC. Vol. 84 No. 845
garan hak asasi manusia di suatu negara lain edisi 2002;
akan menjadi perhatian bagi negara lain, ka-
Linton, Suzannah. “Unravelling the First Three
rena sudah dianggap sebagai pelanggaran luar Trials at Indonesia's Ad Hoc Court for
biasa terhadap kemanusiaan.22 Human Rights Violations in East Timor”.
Leiden Journal of International Law. Vol.
17 issue 02 2004. Rapenburg: Universiteit
Daftar Pustaka Leiden;
Muladi. “Mekanisme Domestik untuk Mengadili
Pelanggaran HAM Berat melalui Sistem
22
Hikmahanto Juwana, Hukum Internasional sebagai
Pengadilan atas dasar UU No.26 th 2000”
Instrumen Politik : Beberapa Pengalaman Indonesia Seri Bacaan Kursus HAM untuk Pengacara
sebagai Studi Kasus, Jurnal Hukum Internasional Vol.1 X tahun 2005, Lembaga Studi dan Advo-
No. 1 Oktober 2003,Jakarta: Lembaga Pengkajian kasi Masyarakat (ELSAM), Jakarta;
Hukum Internasional Fakultas Hukum Universitas
Indonesia, hlm.89.
406 Jurnal Dinamika Hukum
Vol. 12 No. 3 September 2012

Mullerson, Rein A. “Human Rights and the In- Hak Asasi Manusia. Vol. 2 No. 2 edisi No-
dividual as a Subject of International vember 2004. Jakarta: Komisi Nasional
Law: A Soviet View”. European Journal Hak Asasi Manusia;
of International Law (EJIL). Vol. 1 No. 1 Sondakh, Devy. “Kejahatan terhadap Kemanu-
Tahun 1990. Badia Fiesolana: European siaan”. Jurnal Hukum Humaniter. Vol. 2
University Institut; No. 3 edisi Oktober 2006. Jakarta: Pusat
Nababan, Asmara. “Penyelesaian Pelanggaran Studi Hukum Humaniter dan HAM (terAS),
Hak Asasi Manusia yang Berat : Belajar FH Universitas Trisakti;
dari Pengalaman”. Jurnal HAM Komisi Sujatmoko, Andrey. “Pengadilan Campuran
Nasional Hak Asasi Manusia. Vol. 2 No. 2 (“Hybrid Tribunal”) sebagai Forum
edisi Nopember 2004. Jakarta: Komisi Penyelesaian atas Kejahatan Internasio-
Nasional Hak Asasi Manusia; nal”. Jurnal Hukum Humaniter. Vol. 3
Reza, Bhatara Ibnu. “Yurisdiksi Universal Prak- No. 5 edisi Oktober 2007. Jakarta: Pusat
tik, Prinsip dan Realitas” Jurnal HAM Ko- Studi Hukum Humaniter dan HAM (terAS),
misi Nasional Hak Asasi Manusia. Vol. 2 FH Universitas Trisakti;
N0. 2 edisi Nopember 2004. Jakarta: Ko- Suryokusumo, Sumaryo. “Aspek Moral dan Etika
misi Nasional Hak Asasi Manusia; dalam Penegakan Hukum Internasional”.
Rizki, Rudi M. “Beberapa Catatan tentang Pe- Jurnal Hukum Internasional. Vol. 2 No. 2
ngadilan Pidana Internasional Ad Hoc un- edisi Agustus 2003. Jakarta: Lembaga
tuk Yugoslavia dan Rwanda serta Pene- Pengkajian Hukum Internasional Fakultas
rapan Prinsip Tanggung Jawab Negara Hukum Universitas Indonesia;
dalam Pelanggaran Berat HAM”. Jurnal Tb Rony Rahman Nitibaskara, “Pengadilan Hak
Hukum Humaniter. Vol. 1, No. 2 edisi Ap- Asasi Manusia (HAM) dan Masyarakat In-
ril 2006. Jakarta: Pusat Studi Hukum Hu- ternasional”. Kompas, 20 Februari 2002;
maniter dan HAM (terAS), FH Universitas
Trisakti; Yudhawiranata, Agung. “Menyelesaikan Pelang-
garan Hak Asasi Manusia di Masa Lalu:
Rusman, Rina. “Konsep Pelanggaran Berat Hak Masalah Indonesia Pasca Transisi Politik”.
Asasi Manusia dilihat dari Sisi Hukum Dignitas. Vol. I No. I tahun 2003;
Humaniter”. Jurnal HAM Komisi Nasional

You might also like