You are on page 1of 6

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Proses penuaan merupakan suatu proses alamiah yang tidak dapat


dicegah dan merupakan hal yang wajar dialami oleh orang yang diberi karunia
umur panjang, di mana semua orang berharap akan menjalani hidup dengan
tenang, damai, serta menikmati masa pensiun bersama anak dan cucu tercinta
dengan penuh kasih sayang (Hamid, 2007)

Menurut Nurhidayat (2011) lansia akan mengalami berbagai gejala


akibat terjadinya penurunan fungsi biologis (penurunan fungsi biologis pada
lansia merupakan menurunnya struktur pembuluh darah dan organ-organ tubuh
pada manusia), psikologis (psikologis lansia akan terganggu dikarenakan rasa
takut kematian atau perubahan postur tubuh lansia), sosial dan ekonomi (sosial
dan ekonomi pada lansia akan berubah dengan mengalami pensiunan). Perubahan
ini akan memberikan pengaruh pada seluruh aspek kehidupan, termasuk
kesehatannya.

Jumlah lanjut usia (lansia) di seluruh dunia semakin meningkat. Pada


tahun 2005 di perkirakan ada 500 juta dengan usia rata-rata 60 tahun dan di
perkirakan pada tahun 2025 akan bertambah. Menurut data Biro Pusat Statistik
(BPS 2013) di Benua Eropa, jumlah penduduk 147,3 juta, dari angka tersebut
terdapat 16,3 juta jiwa (11%) berusia 50 tahun ke atas, dan kurang lebih 6,3 juta
jiwa berusia 60 tahun ke atas. Dari 6,3 juta jiwa (4,3%) tersebut terdapat 822.831
(13,06%) jiwa tergolong jompo, yaitu para lansia yang memerlukan bantuan
khusus sesuai undang-undang bahkan mereka harus di pelihara oleh negara. Pada
tahun 2010 jumlah lansia di prediksi naik menjadi 9,58% dengan usia harapan
hidup 67,4 tahun. Pada tahun 2020 angka tersebut diperkirakan akan meningkat
menjadi 11,20% dengan harapan hidup 70,1 tahun (Kartinah, 2014). Menurut data
World Health Organization (2015) jumlah penduduk lansia tahun 2020 di
perkirakan mencapai 28,8 juta jiwa dengan peningkatan sekitar 11,34% dan usia
harapan hidup sekitar 71,1 tahun.

Indonesia mengalami perkembangan populasi penduduk lansia yang


amat pesat dari 4,48% pada tahun 1971 (5,3 juta jiwa) menjadi 9,77 % pada tahun
2010 (23,9 juta jiwa). Bahkan pada tahun 2020 di prediksi akan ada ledakan
jumlah penduduk lansia sebesar 11,34 % atau sekitar 28,8 juta jiwa. Berdasarkan
data dari BPS (2010) jumlah penduduk lansia di Indonesia pada tahun 2010
meningkat menjadi 9,7 % dari jumlah lansia 23,9 juta jiwa dengan usia harapan
hidup 66,2 %, tahun 2013 mengalami peningkatan 6,6 % dari jumlah lansia 25
juta jiwa, usia harapan hidup 69 tahun (Nugroho, 2008).

Peningkatan harapan hidup di satu pihak menjadi indikator kemajuan


suatu bangsa, tetapi dipihak lain akan banyak menimbulkan masalah terutama
masalah kesehatan dan kerawanan sosial akibat banyaknya lansia yang terlantar.
Penanganan yang tidak bijaksana akan menimbulkan masalah baru terutama
secara psikologis lansia tidak mendapatkan tempat secara sosial di masyarakat
(Hadi, 2005).

Salah satu masalah psikologis yang paling sering terjadi pada lanjut
usia adalah gangguan depresi. Depresi lebih sering terjadi pada lanjut usia
dibandingkan pada populasi umum. Seseorang yang menginjak lanjut usia akan
semakin meningkat perasaan isolasinya dan kondisi ini rentang terhadap depresi.
(Kaplan H.I dan Sadock B.J, 1997).

Depresi pada lansia kadang-kadang tidak terdiagnosis dan tidak


mendapatkan penanganan yang semestinya karena gejala-gejala yang muncul
seringkali dianggap sebagai suatu bagian dari proses penuaan yang normal. Perlu
ditegaskan bahwa depresi adalah suatu gangguan atau penyakit, sedangkan proses
penuaan bukanlah penyakit, meskipun ada beberapa penyakit yang berhubungan
dengan proses penuaan (Sadock, 2003).

Gangguan depresi dapat diobati, sehingga para lansia dapat terbebas


dari penderitaan yang diakibatkan oleh depresinya serta bila mendapat dukungan
dari lingkungan atau keluarganya diharapkan dapat meningkatkan kualitas
hidupnya. Banyaknya penyebab depresi yaitu: masalah fisik, genetik, jenis
kelamin, penyalahgunaan obat-obatan (Kaplan, 2010). Adapun upaya penanganan
dan terapi guna memperbaiki kondisi lansia tersebut sangat diperlukan. Pada
umumnya, terapi depresi pada lansia berupa terapi farmakologis, obat dapat
membantu secara sitomatis, akan tetapi menyebabkan efek yang merugikan bagi
lansia jika digunakan dalam kurun waktu yang lama (Stuart, 2006). Oleh karena
itu perlu dikembangkan terapi non farmakologis yang dapat menurunkan depresi
pada lansia untuk tetap awet muda dan yang muda tetap muda, serta mempererat
hubungan antara anggota keluarga. (Prof. Dr. Lucille Name how, pakar yang
menangani masalah penuaan Connecticut, America Serikat). Salah satunya terapi
non farmakologis yang dapat mencegah dan mengatasi depresi pada lansia adalah
psikodinamik, psikoterapi interpersonal, terapi kognitif beck, terapi perilaku,
terapi humanistik eksistensial dan terapi tertawa (laughter therapy) Kaplan
(2010) dan Setyoadi (2011).

Terapi tertawa merupakan tertawa yang dimulai dengan tahap demi


tahap. Sehingga efek yang dirasakan bagi yang tertawa benar-benar bermanfaat.
Tertawa 5-10 menit bisa merangsang pengeluaran endhorphin dan serotonin, yaitu
sejenis morfin alami tubuh dan juga melatonin. Ketiga zat ini merupakan zat baik
untuk otak sehingga kita bisa merasa lebih tenang. Tertawa dapat dihasilkan dari
humor atau dari terapi tertawa yang dilakukan dalam kelompok dan tertawa ini
bisa berlangsung 15 detik (Setyoadi, 2011). Beberapa penelitian mengatakan
tentang manfaat terapi tertawa seperti yang dilakukan di India, tertawa dapat
menangani kecemasan dan perasaan depresi, yaitu sebanyak 19,5% (Kataria,
2004). Penelitian lain Katona (2012) tertawa menyebabkan menurunnya tekanan
darah dalam diri individu, meningkatkan energi dalam merespon stress, memberi
perasaan rileks, mempertahankan kesehatan mental dan emosi lebih positif.

Menurut Widyatuti (2008) Keperawatan holistik saat ini sangat


dikenal sebagai pendekatan terbaik untuk menyeimbangkan kehidupan dan
kesehatan seseorang dengan cara menyatukan aspek fisik, mental, dan
spiritualnya sebagai manusia yang utuh, serta memanfaatkan teknologi perawatan
modern maupun beragam terapi alternatif (komplementer), yang dimana terapi
tersebut dapat meningkatakan kesehatan secara menyeluruh. Terapi
komplementer memiliki empat kelompok, salah satunya yaitu terapi pikiran tubuh
atau mind body therapy dan contohnya yaitu yoga.

Yoga merupakan suatu mekanisme penyatuan dari tubuh (body),


pikiran (mind) dan jiwa (soul) (Yoga, 2016).Yoga mengkombinasikan antara
teknik bernapas (pranayama), relaksasi dan meditasi serta latihan peregangan atau
postur (asana) (Jain, 2011). Asana pada yoga dapat menstimulasi pengeluaran
hormon endorphin, hormon ini dapat berfungsi sebagai obat penenang alami yang
diproduksi otak yang melahirkan rasa nyaman, dan meningkatnya kadar
endorphin dalam tubuh dapat mengurangi tekanan darah tinggi. Pranayama dalam
yoga adalah bentuk latihan pernafasan, pola penafasan yang terkontrol secara
volunter dapat memengaruhi peningakatan aktivitas sistem saraf parasimpatis dan
juga dapat meningkatkan kadar dopamin yang berfungsi untuk menurunkan stress
emosional yang juga dapat merelaksasikan pembuluh darah (Sindhu,2014)

Berdasarkan kejadian diatas, peneliti bermaksud untuk mengaitkan


terapi yoga tertawa dengan penurunan tingkat depresi pada lansia dan ingin
melakukan penelitian tentang hubungan yoga tertawa dengan penurunan tingkat
depresi pada lansia di kota denpasar.
B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah diatas, maka dapat dirumuskan permasalahan


penelitian yaitu “apakah ada hubungan antara yoga tertawa dengan penurunan
tingkat depresi pada lansia di kota denpasar?”

C. Tujuan Penelitian
1. Tujuan Umum

Untuk mengetahui hubungan antara yoga tertawa terhadap penurunan tingkat


depresi pada lansia di kota denpasar

2. Tujuan Khusus
a. Mengidentifikasi tingkat setres pada lansia.
b. Mengidentifikasi efektifitas yoga tertawa pada lansia.
c. Menganalisa hubungan yoga tertawa terhadap penurunan tingkat depresi
pada lansia.

D. Manfaat Penelitian

Dalam membahas mengenai hubungan antara yoga tertawa dengan penurunan


tingkat depresi pada lansia di kota denpasar maka diharapkan dapat memberikan
manfaat, baik secara teoritis maupun manfaat secara praktis

1. Manfaat Teoritis
Hasil penelitian ini diharapkan berguna untuk menambah wawasan dan
pengetahuan tentang hubungan yoga tertawa terhadap penurunan tingkat
depresi pada lansia di kota denpasar.

2. Manfaat Praktis
Secara praktis, penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat pada:
a. Bagi Lansia
Bagi lansia dapat termotivasi untuk melakukan terapi yang akan
mengurangi beban psikologis seperti terapi tertawa dan kegiatan yang
disukai oleh para lansia yang tidak menyebabkan beban psikologis
terganggu
b. Bagi Institusi
Penelitian selanjutnya yang berkaitan dengan hubungan yoga tertawa
terhadap tingkat depresi pada lansia dan sebagai bahan bacaan atau
tambahan pengetahuan di perpustakaan
c. Bagi penelitian
Sebagai tambahan ilmu pengetahuan dan pengalaman dalam dunia
kesehatan dan dapat menerapkan terapi tertawa untuk menurunkan tingkat
depresi serta sebagai acuan untuk melakukan penelitian selanjutnya

You might also like